Felisa Nur-LAPORAN KEGIATAN MINI PROJEC

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 63

LAPORAN KEGIATAN MINI PROJECT

“GAMBARAN DUKUNGAN PETUGAS KESEHATAN, PENGETAHUAN,


DAN SIKAP PADA PASIEN DIABETES MELLITUS UNTUK
MELAKUKAN SKRINING TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS SIDAYU”

Disusun Oleh :
dr. Felisa Nur Khayana

Pembimbing :
dr. Andriani Dwi Hefrida

PUSKESMAS SIDAYU KABUPATEN GRESIK


PERIODE NOVEMBER 2023 – MEI 2024
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit tidak menular yang
bersifat kronis dan akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga
menyebabkan penderitanya memliki kemungkinan 3 kali lebih tinggi
untuk menderita Tuberkulosis (TB) aktif (Kemenkes, 2015). Menurut
WHO tahun 2016, DM berkontribusi pada sekitar 15% pasien TB
(WHO,2016). Delapan dari sepuluh negara dengan prevalensi diabetes
tertinggi juga merupakan negara dengan infeksi TB tertinggi. Penelitian
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya prevalensi Diabetes Mellitus,
maka prevalensi Tuberkulosis juga meningkat (Magee, Blumberg, &
Narayan, 2011). Magee MJ (2011) dalam review menyatakan diantara 10
negara dengan prevalensi tertinggi TB ditemukan 11,4% kasus dan insiden
TB akibat DM dan pada tahun 2030 diperkirakan meningkat menjadi
sebesar 14,1% (Mihardja, Lolong, & Lannywati, 2015).

WHO (2012) memperkirakan, Indonesia adalah negara yang masuk


dalam peringkat 10 negara dengan kasus Diabetes Melitus-Tuberkulosis
(DM-TB) tertinggi di dunia (Lonnroth, Roglic, & Harries, 2014). Di
Indonesia sendiri, data infeksi TB pada pasien DM belum banyak
dilaporkan. Namun, diperkirakan peningkatan kasus TB pada pasien DM
juga terjadi seiring dengan peningkatan prevalensi DM di Indonesia
(Cahyadi & Venty, 2011). Adanya keterkaitan DM dan TB, Balitbangkes
melakukan uji coba di beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2014.
Hasil survey di RSUP H. Adam Malik menunjukkan dari 50 penyandang
DM yang diskrining TB sebanyak 24 pasien yang didiagnosis TB dan
terdapat 20 (40%) terkonfirmasi secara bakteriologis. Hasil survey di
RSUP dr. Karyadi menunjukkan dari 50 penyandang DM yang diskrining
TB sebanyak 25 pasien positif (KemenkesRI, 2015). Hasil penelitian oleh
Livia et al. (2015) menunjukkan bahwa dari 101 pasien DM yang
diperiksa di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, 15,8% memiliki
riwayat pernah menderita TB (Livia, Koesoemadinata, Mcallister, &
Crevel, 2015). Penelitian lain juga mengatakan bahwa diabetes dapat
menjadi penyebab perburukan gejala dan meningkatkan keparahan infeksi
TB (Wulandari & Sugiri, 2013).

Tindakan pengelolaan DM dengan baik penting dilakukan agar


tidak timbul penyakit penyulit lanjut (Misnadiarly, 2006). Kemungkinan
penentu yang paling penting dalam perkembangan TB adalah tingkat
keterkontrolan DM (Wijayanto,2015). Penelitian Nadliroh (2015) tentang
prevalensi tuberkulosis pada pasien DM di RSUP Kariyadi Semarang,
menunjukkan bahwa status gula darah pasien DM-TB yang tidak
terkontrol sebanyak 59,8% dari subjek penelitian. Selain mengelola DM
dengan baik dilakukan pula tindakan pencegahan tuberkulosis seperti
menutup mulut saat orang lain batuk atau bersin, tidak meludah di
sembarang tempat, konsumsi makanan bergizi dan lain-lain (Kemenkes
RI, 2015). Suatu penelitian di Bangladesh menunjukkan dari 420 pasien
diabetes melitus, hanya 15% dari subjek penelitian yang memiliki
pengetahuan baik, 52% memiliki sikap yang positif, dan hanya 7%
memiliki praktik yang baik terhadap pencegahan tuberkulosis (Afroz et al,
2017).

Belum ada penelitian yang mengungkapkan faktor yang


mempengaruhi perilaku pencegahan tuberkulosis pada pasien DM.
Namun, penelitian hampir terkait yang sama-sama meneliti tindakan
pencegahan tuberkulosis yaitu penelitian Edi Putra (2018) tentang faktor
yang mempengaruhi pasien diabetes melitus melakukan skrining
tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus. Hasil penelitian tersebut
mendapatkan faktor yang berhubungan dengan pasien diabetes melitus
melakukan deteksi dini tuberkulosis adalah tingkat pendidikan (CI=1,07-
1,67), riwayat keluarga menderita TB (CI=1,12-1,93), waktu tempuh
menuju tempat pelayanan kesehatan (CI=1,26-2,03), dan dukungan
kesehatan petugas kesehatan (CI= 1,06-1,70) (Putra, 2018).

Berdasarkan dari masalah tersebut peneliti tertarik melakukan


penelitian gambarann dukungan petugas kesehatan, pengetahuan dan sikap
penderita diabetes mellitus untuk melakukan skrining tuberculosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Sidayu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimana dukungan
petugas kesehatan, pengetahuan dan sikap penderita diabetes mellitus
untuk melakukan skrining tuberculosis di Wilayah Kerja Puskesmas
Sidayu ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan pasien DM dalam


melakukan skrining TB.
2. Untuk mengetahui gambaran sikap mengenai TB terhadap
keputusan pasien DM melakukan skrining TB Paru.
3. Untuk mengetahui gambaran dukungan petugas kesehatan terhadap
keputusan pasien DM melakukan skrining TB.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmiah
yang menyangkut bidang kesehatan masyarakat khususnya
mengenai infeksi TB pada pasien DM serta faktor yang
memengaruhi pasien DM melakukan skrining TB Paru. Selain itu,
hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan awal bagi penelitian
selanjutnya yang lebih mendalam.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi
petugas Kesehatan dalam pengembangan program skrining
TB paru pada pasien. Selain itu dapat diketahui pula faktor
yang menyebabkan pasien DM tidak melakukan skrining
TB Paru sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam upaya meningkatkan partisipasi pasien DM dalam
melakukan skrining TB Paru.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat mengenai
risiko pasien DM menderita TB Paru sehingga dapat
dilakukan upaya-upaya pencegahan penularan ke orang lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil Puskesmas
2.1.1. Gambaran Umum
Puskesmas Sidayu adalah salah satu Unit Pelayanan Teknis
Daerah dimana Puskesmas Sidayu merupakan perpanjangan tangan
Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik dalam upaya menjalankan
kebijakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja Kecamatan Sidayu.
Berikut gambaran umum Puskesmas Sidayu :
No. Kode Puskesmas : P3525130101
Nama Puskesmas : Sidayu
Kecamatan : Sidayu
Kabupaten : Gresik
Provinsi : Jawa Timur
Telepon : (031) 3949333
Email : [email protected]
2.1.2. Keadaan Geografi
Berikut keadaan geografi dari Puskesmas Sidayu
Letak/ Alamat :
- Jalan Raya Sidayu
- Kecamatan Sidayu
- Kabupaten Gresik
- Provinsi Jawa Timur
Batas Wilayah :
- Sebelah Utara : Kecamatan Ujungpangkah
- Sebelah Selatan : Kecamatan Bungah
- Sebelah Timur : Selat Madura
- Sebelah Barat : Kecamatan Panceng dan Dukun
2.1.3. Peta Wilayah Kerja

Gambar 1.1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Sidayu

2.1.4. Luas Wilayah Kerja dan Data Penduduk


Luas wilayah kerja Puskesmas Sidayu secara keseluruhan adalah
62,32 KM2. Luas wilayah tersebut terbagi kedalam 21 desa. Berikut ini
merupakan luas desa yang tergabung dalam wilayah kerja Puskesmas
Sidayu :

Luas Jml
No Desa L P Jml KK RT RW Dsn
Wil. Rumah
1 Bunderan 611 648 1,259 11 320 7 3 3 274
2 Purwodadi 1,069 1,007 2,076 125 664 6 3 3 471
3 Srowo 678 628 1,306 400 364 4 2 - 328
4 Sedagaran 459 473 932 877 281 3 1 - 225
5 Pengulu 324 319 643 6,5 177 4 2 - 145
6 Kauman 302 335 637 4,7 177 3 1 - 145
7 Sidomulyo 509 556 1,065 7,9 279 4 2 - 266
8 Mriyunan 1,033 1,064 2,097 178 597 10 4 - 602
9 Asempapak 574 570 1,144 19,5 314 5 2 - 276
10 Mojoasem 326 324 650 197 184 3 1 - 135
11 Ngawen 1,357 1,318 2,675 204 728 12 4 5 606
12 Randuboto 2,003 2,053 4,056 970 1,018 16 7 4 977
13 Racitengah 892 899 1,791 25 562 6 2 - 442
14 Racikulon 370 411 781 257 245 3 1 - 218
Tabel 1.1 Luas wilayah kerja dan data penduduk Puskesmas Sidayu
Luas Jml
No Desa L P Jml KK RT RW Dsn
Wil. Rmh
15 Golokan 2,869 2,879 5,748 695 1,646 27 5 - 1482
16 Sambipondok 414 390 804 53 232 5 2 - 217
17 Wadeng 3,771 3,838 7,609 292 2,310 34 9 2 1819
18 Gedangan 1,307 1,330 2,637 133 660 15 6 - 557
19 Sukorejo 1,233 1,262 2,495 108 693 14 6 - 631
20 Lasem 1,421 1,453 2,874 210 808 4 3 - 760
21 Kertosono 1,425 1,392 2,817 516 754 12 5 1 612
62,32 19
JUMLAH 22,947 23,149 46,096 13,013 71 18 11.188
Km2 7
Tabel 1.1 Luas wilayah kerja dan data penduduk Puskesmas Sidayu

Dari tabel diatas terlihat bahwa desa yang paling luas wilayahnya
adalah Desa Randuboto, yang terjauh Desa Gedangan yang otomatis
waktu tempuh ke puskesmas paling lama (35 menit). Sedangkan dengan
jumlah KK 2.310 dan jumlah rumah 1.819 terbanyak adalah Desa
Wadeng.
2.2 Diabetes Mellitus
Diabetes melitus (DM) adalah sindrom klinis kelainan metabolik
yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek sekresi insulin, defek kerja
insulin, atau gabungan keduanya (Waspadji, 2009). Selain itu, diabetes
melitus juga didefinisikan sebagai penyakit kronik yang terjadi karena
tubuh tidak menghasilkan cukup insulin atau tidak bisa menggunakan
insulin secara efektif (International Diabetes Federation [IDF], 2013).

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association


2010 dalam Ndraha 2014, dibagi dalam 4 jenis yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus


(IDDM)
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas
karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak
sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-
peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali.
Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Melitus
(NIDDM )
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi
insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih
tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya
glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas
akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini
terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,
penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki
risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu
5-10 tahun setelah melahirkan (Perkeni, 2011).
Gejala dari diabetes mellitus tipe 2 antara lain :
1. Poliuria
Sebagaimana fungsi insulin adalah mengubah gula menjadi
gugusan gula yang kecil atau glikogen. Glikogen ini yang akan diserap
oleh pembuluh darah. Kondisi insulin tidak bisa melaksanakan fungsinya
untuk membantu agar glikogen dapat diserap oleh pembuluh darah,
sehingga kadar gula di dalam darah menjadi tinggi. Bila terjadi kadar gula
darah tinggi, akan menyebabkan kemampuan ginjal melakukan
penyaringan lebih tinggi atau disebut sebagai hiperfiltrasi. Pada
hiperfiltrasi ini, termasuk penyerapan gula dan natrium yang diserap lebih
banyak. Hasil penyaringan dan penyerapan yang dilakukan ginjal akan
menyisahkan air kencing atai urine untuk dibuang oleh tubuh. Kondisi
inilah yang menyebabkan pada penderita diabetes yang mempunyai kadar
gula tinggi cepat kencing.
2. Polifagia
Pada penderita diabetes, gula yang dihasilkan dari hasil
metabolisme tidak dapat masuk ke dalam sel target untuk berubah menjadi
glikogen karena ketiadaan insulin atau insulin bekerja lambat. Dengan
demikian, sebagai fungsi gula adalah sumber energi, maka apabila tidak
ada gula yang masuk ke dalam jaringan berarti tidak ada energi yang
sudah tentu mengakibatkan penderita cepat merasa lapar.
3. Polidipsia
Penderita diabetes akan cepat haus karena gula di dalam darah
tinggi menyebabkan air yang ada dalam pembuluh darah diserap oleh
ginjal, sehingga di dalam pembuluh darah terjadi kekurangan air yang
menyebabkan penderita diabetes cepat haus. Proses ini disebut sebagai
proses filtrasi ginjal menjadi osmosis, atau penyerapan zat dari konsentrasi
tinggi ke rendah.
4. Lemas
Proses metabolisme pada orang normal adalah gula yang dibawa
oleh darah akan diserap oleh sel-sel dan diubah menjadi energi sebagai
sumber tenaga dalam melakukan kegiatan. Pada penderita diabetes, gula
yang dibawa oleh darah sulit diserap oleh sel sehinggal sel menjadi miskin
energi. Dalam kondisi ini, penderita akan merasakan lelah dan mengantuk
karena kekurangan energi
5. Penurunan Berat Badan
Berat badan penderita diabetes cepat menurun meskipun nafsu
makan selalu bertambah. Gejala ini terjadi karena dampak dari kurangnya
insulin atau karena pengaruh gangguan kerja insulin, atau resistensi insulin
mengakibatkan gula tidak dapat diserap oleh sel otot dan jaringan lemak
tubuh. Akibatnya, agar tubuh dapat memperoleh energi untuk dapat
menjalankan fungsi otot pada jaringan, maka otot dan jaringan lemak
memecahkan cadangan energi yang terdapat dalam dirinya sendiri, yang
disebut sebagai proses glikogenolisis dan lipolysis. Apabila proses ini
berlangsung secara terus-menerus akan berakibat massa otot dan jaringan
lemak aka berkurang, yang menyebabkan penurunan berat badan pada
penderita diabetes.
6. Mata Kabur
Pada penderita diabetes sering dijumpai seringnnya ganti ukuran
kacamata karena penglihatannya cepat kabur. Kondisi kadar gula darah
tinggi di dalam tubuh, terutama pada aliran darah yang menuju ke mata,
mengakibatkan lensa mata membengkak. Pada penderita diabetes, karena
kadar gula tinggi menyebabkan salah satu pembuluh darah kecil yang
disebabkan pembuluh darah mikrovaskular yang menuju ke mata
mengalami kerusakan, akibatnya informasi yang berasal dari saraf tidak
sampai ke mata dengan sempurna, sehingga mengakibatkan penglihatan
menjadi kabur atau bercabang.
7. Kesemutan
Kesemutan terjadi karena adanya gangguan pada pembuluh darah
kapiler yang kecil, pembuluh darah tepi mengalami kerusakan . Kondisi
ini menyebabkan jumlah darah yang mengalir ke ujung saraf menjadi
berkurang. Penderita diabetes yang mengalami gangguan ini akan
mengalami kesemutan terus menerus di ujung jari dan diikuti rasa sakit
lain, seperti nyeri di ujung telapak kaki, telapak kaki menebal seperti ada
bantalan dan panas. Keadaan ini juga menyebabkan kulit terasa panas
seperti tertusuk-tusuk jarum dan kram (Marewa, 2015).
2.3 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
(Kemenkes RI, 2014). Bakteri M. tuberculosis paling banyak ditemukan di
lokasi yang kering dan lembab dan memiliki sifat tidak tahan panas dan
akan mati pada suhu 6°C dalam waktu 15-20 menit. Biakan bakteri ini
dapat mati jika terkena sinar matahari lansung selama 2 jam. Dalam dahak,
bakteri M. tuberculosis dapat bertahan selama 20-30 jam (Hiswani, 2009).

Masa inkubasi kuman M. tuberculosis biasanya berlangsung dalam


waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Daya tahan
tubuh yang baik dapat menghentikan perkembangan kuman. Namun, ada
beberapa kuman yang dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun
dalam jaringan tubuh. Kuman tersebut akan beraktivitas kembali pada saat
daya tahan tubuh yang buruk sehingga individu yang bersangkutan dapat
menjadi penderita TB (Werdhani, 2008).

Gejala utama seseorang yang menderita TB adalah batuk berdahak


selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Suarni, 2009).
Setiap orang yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut
diatas dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB.

Pada umumnya kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga


mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari itu, TB dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO, 2014). TB Paru adalah TB
yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak termasuk pleura. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014).
TB Ekstra Paru adalah TB yang menyerang organ lain selain paru.
TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu TB ekstra paru ringan dan TB ekstra paru berat. TB ekstra paru
ringan yaitu meliputi TB kelenjar limfe, tulang (kecuali tulang belakang),
sendi, dan kelenjar adrenal, sedangkan TB ekstra paru berat yaitu meliputi
meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin
(Werdhani, 2008).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, TB Paru dibagi


menjadi TB Paru BTA positif, dengan kriteria minimal 1 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif, sedangkan TB Paru BTA negatif yaitu
dengan kriteria semua hasil dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif (Kemenkes RI, 2014).

2.4 Komorbiditi Tuberkulosis – Diabetes Mellitus


2.4.1 Patofisiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan
dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan
terserang infeksi, termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru pada
penderita DM adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme
pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel pernapasan serta
motilitas silia. Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan
patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru
yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama
seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati
saraf autonom berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan
lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan
kapasitas difusi karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi
karbondioksida (Mihardja, Lolong, & Lannywati, 2015). Beberapa
pengaruh DM terhadap imunitas tubuh dan fungsi pulmonal yang
menyebabkan terjadinya rentan infeksi disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Defek Imunologi dan Fungsi Fisiologi Pulmonal pada Penderita Diabetes
Mellitus

Kelainan Imunologi Disfungsi Fisiologi Pulmonal


Kelainan kemotaksis, adhesi, Reaktivitas bronchial berkurang /
fagositosis, dan fungsi mikrobisidal menghilang
polimorfonuklear
Penurunan monosit perifer dengan Elastisitas rekoil dan volume paru
gangguan fagositosis menurun
Kapasitas difusi berkurang
Penyumbatan saluran napas oleh
mucus
Penurunan respon ventilasi
terhadap hipoksemia

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa DM merupakan salah


satu faktor risiko terjadinya TB (Elorriaga et al., 2014). DM diduga dapat
meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam sistem imun yang
menyebabkan penurunan fungsi fagitosis sehingga lebih mudah terinfeksi
TB (Cahyadi et al., 2011). Sedangkan, TB dapat menyebabkan kenaikan
gula darah dan memacu terjadinya “laten diabetes” atau menjadi faktor
dekompensasi DM (Reviono et al., 2013). Selain itu, penderita yang
mengalami ko-morbiditi cenderung memiliki konversi yang lebih lama
daripada penderita TB tanpa DM sehingga meningkatkan risiko penularan,
resistensi kuman, kegagalan pengobatan TB, dan risiko kematian yang
jauh lebih tinggi (Baghaei et al., 2013).

Hasil skrining TB Paru pada pasien DM di China tahun 2012


menunjukkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM
jauh lebih tinggi yaitu berkisar antara 334 sampai 804/100.000
dibandingkan CNR TB pada populasi umum yang hanya 78/100.000
penduduk (Lin et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Dobler et al.
(2015) dengan rancangan cohort mengungkapkan bahwa besarnya risiko
(RR) penderita DM untuk terkena TB yaitu 1,5 kali dan pada penderita
DM yang menggunakan insulin yaitu jauh lebih tinggi mencapai 2,27 kali.
2.4.2 Skrining Tuberkulosis pada Penderita Diabetes Mellitus
Skrining TB paru merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam
menemukan penderita TB Paru dari suatu pupulasi tertentu. Dalam
melakukan skrining TB Paru, maka prosedur pertama yang dilakukan
yaitu melihat gejala yang tampak. Berdasarkan konsensus pengendalian
TB-DM di Indonesia, prosedur skrining TB Paru pada pasien DM yang
dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas
kesehatan tingkat lanjut (FKTL) adalah dengan melaksanakan kedua
langkah berikut :

1. Wawancara untuk mencari salah satu gejala/faktor risiko TB pada


pasien DM yaitu sebagai berikut :
a. Batuk produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1
minggu
b. Demam hilang timbul, tidak tinggi (subfebris)
c. Keringat malam tanpa disertai aktivitas
d. Penurunan berat badan
e. TB ekstra paru antara lain: pembesaran kelenjar getah bening
(KGB), sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu
sisi dada.
2. Pemeriksaan lanjutan berdasarkan gejala yang dialami
pasien DM. Apabila pasien DM mengalami gejala batuk
produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1 minggu, maka
akan dirujuk langsung untuk pemeriksaan dahak
mikroskopis, sedangkan pasien DM yang tidak
mengalami gejala tersebut selanjutnya akan dirujuk
untuk pemeriksaan foto toraks untuk mencari
abnormalitas paru. Jika fasilitas tidak tersedia di FKTP,
maka pasien dirujuk ke FKRTL atau lab radiologi
jejaring.
2.4.3 Penegakan Diagnosa Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Mellitus
Pasien DM dengan gejala batuk produktif, terutama
batuk berdahak ≥ 1 minggu, maka akan langsung
mengikuti prosedur pemeriksaan dahak mikroskopis.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada
semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) (Kemenkes RI, 2014).
a. S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua
b. P (Pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
unit pelayanan kesehatan (UPK)
c. S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila satu dari tiga
spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila ketiga spesimen SPS BTA
hasilnya negatif, maka dilakukan pemeriksaan foto toraks (rontgen) dada.
Bila hasil rontgen mendukung TB Paru maka penderita itu dinyatakan
sebagai penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif dan jika hasil
rontgen tidak mendukung TB Paru, maka dapat dinyatakan sebagai bukan
penderita TB dan skrining pada pasien DM tersebut dapat dilakukan setiap
kunjungan berikutnya dengan menelusuri gejala atau faktor risiko.
Pada pasien DM dengan gejala lain selain batuk produktif atau
tanpa gejala, maka akan dirujuk untuk pemeriksaan foto rontgen. Jika
salah satu baik gejala atau hasil pemeriksaan rontgen memberikan hasil
positif, maka tatalaksana selanjutnya yaitu pasien melakukan pemeriksaan
dahak mikroskopis secara SPS, sedangkan jika gejala dan hasil
pemeriksaan rontgen sama-sama memberikan hasil negatif, maka pasien
DM dapat dinyatakan tidak menderita TB. Pada pasien dengan hasil
pemeriksaan foto rontgen positif dan pemeriksaan dahak mikroskopis
secara SPS menunjukkan hasil yang positif, maka pasien DM dapat
didiagnosis menderita TB, sedangkan jika hasil rontgen positif, tetapi hasil
pemeriksaan mikroskopis negatif, maka pasien DM dapat dinyatakan
penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif. Pada pasien DM yang
dinyatakan tidak menderita TB, maka petugas kesehatan di FKTP/FKTL
dapat melakukan wawancara gejala TB tiap kunjungan berikutnya dan
memberikan KIE pencegahan TB.
Gambar 2.1 Algoritma Skrining TB pada Pasien DM
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemeriksaan Skrining
Tuberkulosis
2.5.1 Faktor Predisposisi
A. Karakteristik Sosio Demografi
Karakteristik sosio demografi merupakan karakteristik yang
melekat atau ada pada diri individu yang meliputi umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan karakteristik
lainnya. Karakteristik ini baik secara langsung maupun tidak
langsung akan memengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku
individu dalam memberikan respon atau mengambil suatu
keputusan. Beberapa penelitian di bidang kesehatan menunjukkan
bahwa karakteristik sosio demografi berhubungan erat dengan
kejadian penyakit atau memengaruhi pola pemanfaatan pelayanan
kesehatan pada individu (Martini, 2013).

B. Pengalaman Mengenai TB
Pengalaman mengenai TB dapat diperoleh seseorang dari
dirinya sendiri maupun hasil interaksi dengan lingkungan sekitar.
Pengalaman mengenai TB yang berasal dari diri sendiri yaitu dapat
berupa riwayat pernah menderita TB, sedangkan pengalaman yang
merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar dapat berupa
pengalaman kontak dengan anggota keluarga yang pernah
menderita TB. Pengalaman mengenai TB yang didapat seseorang
dari dirinya sendiri maupun lingkungan akan memengaruhi proses
pembentukan pengetahuan pada diri seseorang.

Beberapa penelitian di bidang pencegahan dan pengendalian TB


yang ada hanya terbatas mempelajari tentang pengalaman atau
riwayat kontak dengan anggota keluarga terhadap kejadian TB
Paru. Penelitian yang dilakukan oleh Edi Putra tahun 2018
mendapatkan bahwa riwayat anggota keluarga menderita TB
berpengaruh terhadap keputusan untuk melakukan deteksi dini TB.
C. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil
tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya.
Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan objek.
Pengetahuan merupakan faktor penting yang memengaruhi prilaku
seseorang karena perilaku terbentuk didahului oleh pengetahuan
dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan
mengenai TB dan TB-DM dapat diperoleh melalui penglihatan
seperti melihat dan membaca informasi dari media massa atau
media elektronik. Selain itu, bisa juga didapat melalui
mendengarkan informasi dari penyuluhan atau konseling yang
dilakukan oleh petugas kesehatan.

Pengetahuan mengenai TB dan TB-DM dibentuk dari


terpaparnya informasi mengenai TB dan TB-DM. Berbeda dengan
keterpaparan informasi yang hanya dinilai apakah pasien DM
mendapat informasi yang cukup, pengetahuan dinilai dengan
menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat pengetahuan
pasien DM yang meliputi penyebab, gejala, cara penularan,
pengobatan, pencegahan TB, serta mengenai TB-DM. Pasien DM
yang memiliki pengetahuan yang cukup diharapkan bersedia untuk
melakukan prosedur skrining TB Paru.

D. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus
atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan
emosi yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Dalam konteks
kesehatan, sikap dapat berupa pendapat seseorang terhadap
program atau upaya yang sedang diterapkan. Ungkapan pendapat
dapat berupa pernyataan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak
senang. Sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk
berperilaku. Sikap tentang TB-DM merupakan sikap yang
mengacu pada Teori Health Belief Model, yaitu bahwa tindakan
dapat muncul karena adanya persepsi individu meliputi kerentanan
untuk menderita TB (perceived of susceptibility), keseriusan
penyakit (percieved of severity), persepsi penghalang untuk
mengikuti skrining dan terapi TB-DM (percieved of barrier), dan
keuntungan mengikuti skrining dan terapi TB-DM (percieved of
benefit) (Rawlett, 2011). Pasien DM yang memiliki sikap positif
terhadap TB-DM, skrining, dan terapi TB-DM diharapkan bersedia
mengikuti prosedur skrining TB Paru.

2.5.2 Faktor Pemungkin


A. Akses ke Pelayanan Kesehatan
Akses ke pelayanan kesehatan merupakan faktor
pendukung (enabling factor) yang memengaruhi keputusan
sesorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Akses ke
pelayanan kesehatan secara garis besar dapat dibedakan menjadi
akses geografis dan akses finansial. Akses geografis pemanfaatan
pelayanan kesehatan meliputi jarak tempat tinggal ke fasilitas
pelayanan kesehatan dan waktu tempuh untuk menjangkau
pelayanan kesehatan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan
akses finansial berupa biaya yang dikeluarkan di pelayanan
kesehatan (Sari et al., 2013).

Berkaitan dengan keputusan melakukan skrining TB Paru


pada pasien DM, maka akses ke pelayanan kesehatan dapat ditinjau
dari jarak tempat tinggal dan waktu tempuh menuju ke fasilitas
kesehatan terkait, serta adanya pembiayaan yang dikeluarkan di
pelayanan kesehatan untuk tujuan skrining. Penelitian yang dapat
dijadikan referensi yaitu penelitian yang dilakukan oleh Asmariani
(2012) mengenai hubungan jarak tempat tinggal ke pelayanan
kesehatan dengan kepatuhan minum obat pada pasien TB. Hal ini
disebabkan karena belum ada penelitian yang khusus mempelajari
pengaruh akses pasien DM ke pelayanan kesehatan terhadap
keputusan melakukan skrining TB Paru. Hasil penelitian tersebut
cukup menjelaskan bahwa pasien yang dengan akses jarak ke
pelayanan kesehatan yang mudah akan meningkatkan peluang
untuk patuh sebesar 8,7 kali dan hubungan tersebut bermakna
secara statistik (p=0,008).

2.5.3 Faktor Penguat


A. Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan salah satu bentuk
faktor dorongan (reinforcing factor) yang memengaruhi
pengambilan keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh petugas kesehatan
yaitu dukungan melalui penyampaian informasi dan dukungan
emosional yang dapat memotivasi seseorang dalam memilih
perilaku kesehatan. Dukungan petugas kesehatan terkait dengan
keputusan melakukan skrining TB pada pasien DM dapat berupa
penyampaian informasi secara jelas mengenai besarnya risiko
untuk menderita TB, tahapan atau prosedur mengikuti skrining,
serta dukungan emosional berupa merujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyediakan pelayanan skrining TB Paru.

Penelitian khusus yang mempelajari hubungan dukungan


petugas kesehatan dengan keputusan melakukan skrining TB Paru
pada pasien DM masih belum ada. Namun, penelitian terkait yang
dapat dijadikan bahan rujukan yaitu penelitian mengenai hubungan
dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan penggunaan obat
TB yang dilakukan oleh Manuhara (2012) di Puskesmas Kota
Surakarta. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa faktor
dominan yang memengaruhi kepatuhan pada pasien TB yaitu
dukungan petugas kesehatan yang memberikan informasi tentang
pengobatan TB yang sedang dijalani (78,9%). Berkaitan dengan
hal tersebut, maka peran petugas kesehatan dalam memberikan
dukungan sangat penting karena berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan pada pasien.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif merupakan studi yang bertujuan untuk menyajikan gambaran
umum tanpa menganalisis hubungan antar variable. Penelitian gambaran
dukungan petugas kesehatan, pengetahuan dan sikap penderita diabetes
mellitus untuk melakukan skrining tuberculosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Sidayu dilakukan dengan survei dan pengambilan data
dilakukan dengan cross sectional. Pada metode pendekatan cross sectional
peneliti melakukan observasi dan survei terhadap variabel pada suatu saat
tertentu. Peneliti hanya meneliti subjek satu kali dan pengukuran variabel
subjek dilakukan pada saat pelayanan tersebut.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Poli Umum Puskesmas Sidayu, Gresik
pada tanggal 25 Maret 2024 sampai dengan tanggal 6 April 2024.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes
mellitus yang berada di wilayah kerja Puskesmas Sidayu.

Sampel pada penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus di


wilayah kerja Puskesmas Sidayu yang memenuhi syarat kriteria inklusi
dan eksklusi pada saat pengambilan sampel pada tanggal 25 Maret 2024
sampai dengan 6 April 2024 dengan teknik accidental sampling.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi
a. Penderita diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas Sidayu
yang datang berobat di Poli Umum
b. Bersedia dan dapat mengisi kuesioner yang telah disediakan
2. Kriteria Eksklusi
a. Penderita diabetes mellitus yang telah terdiagnosis
Tuberculosis sebelum penelitian ini dilaksanakan

3.5 Variabel dan Definisi Operasional


1. Variabel Penelitian
A. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah Penderita Diabetes Mellitus melakukan
skrining Tuberculosis
B. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah dukungan petugas kesehatan, pengetahuan,
serta sikap penderita diabetes mellitus
2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Operasional Cara /Alat Ukur Kategori dan Hasil Skala
Melakukan Keputusan responden Menggunakan skala Skor : Nominal
skrining TB melakukan skrining guttman dengan Melakukan Skrining
Paru TB paru total pertanyaan =1
sebanyak 2. Alat : Tidak melakukan
Kuesioner skrining = 0
Pengetahuan Pemahaman Menggunakan skala Kategori : Nominal
responden mengenai guttman dengan Pengetahuan
TB yang terdiri dari total pertanyaan baik jika
penyebab, gejala, sebanyak 15. Alat : jawaban benar
cara penularan, Kuesioner ≥ 65%
pengobatan, Pengetahuan kurang
pencegahan, serta jika jawaban benar <
mengenai komorbiditi 65%
TB-DM yang
ditentukan dari
kemampuan
responden menjawab
benar dari 15
pertanyaan
Sikap Respon atau Menggunakan skala Kategori : Nominal
tanggapan responden guttman dengan Sikap baik jika
mendukung maupun total pertanyaan jawaban benar
tidak mengenai sebanyak 15. Alat : ≥ 65%
kerentanan untuk Kuesioner Sikap kurang jika
menderita TB, jawaban benar <
keseriusan penyakit, 65%
persepsi penghalang
untuk mengikuti
skrining, dan
keuntungan
mengikuti skrining
yang ditentukan dari
kemampuan
responden menjawab
benar dari 15
pertanyaan
3.6 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data primer.
Data primer berupa hasil pengukuran variabel bebas dan tergantung yang
dikumpulkan oleh peneliti dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap pasien
DM. Sebelum wawancara dilakukan, terlebih dahulu pasien DM menerima
konseling terkait risiko pasien DM terinfeksi TB dan prosedur skrining TB
Paru dari petugas kesehatan di puskesmas. Dari hasil konseling tersebut,
dapat diketahui lebih awal pasien DM yang menolak untuk melakukan
skrining TB Paru dan pasien DM yang bersedia untuk melakukan skrining
TB Paru. Setelah dilakukan konseling, peneliti selanjutnya melakukan
wawancara terhadap pasien DM untuk memperoleh keterangan mengenai
faktor risiko yang meliputi karakteristik, pengetahuan, sikap, dan
dukungan petugas kesehatan.

Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data dengan cara


sebagai berikut :
1. Editing
Data yang didapatkan dari hasil pengamatan dilakukan koreksi
terlebih dahulu.
2. Coding
Kemudian dilakukan pengkodean data supaya lebih mudah
dalam proses pengolahan data yaitu dengan mengubah data
dalam daftar tilik menjadi data berbentuk angka.
3. Processing
Memasukkan dan memproses data dengan bantuan alat
komputer.
4. Cleaning
Pengecekan kembali data yang ada untuk melihat kemungkinan
adanya kesalahan kode, kurang lengkap sehingga dapat
dilakukan koreksi kembali.
Analisis data dilakukan setelah memperoleh data. Analisis berupa
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik
responden seperti umur, pendidikan, pekerjaan, serta setiap variable yang
diteliti dalam penelitian yaitu melihat gambaran distribusi frekuensi
variable independen (pengetahuan, sikap, dan dukungan petugas
kesehatan) dan variable dependen (Melakukan Skrining Tuberkulosis)
yang disajikan secara deskriptif dalam bentuk table distribusi frekuensi.

3.7 Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai karakteristik responden,
pengetahuan, sikap, dukungan petugas kesehatan, serta keputusan pasien
DM melakukan skrining TB Paru pada pasien DM di Wilayah Kerja
Puskesmas Sidayu.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil
A. Analisis Univariat
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Maret - April 2024. Subyek
penelitian ini berjumlah 25 orang yang diperoleh dengan teknik accidental
sampling. Subyek dikelompokan menurut umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, tingkat dukungan petugas kesehatan, tingkat
pengetahuan, serta sikap. Data yang diperoleh kemudian diolah sesuai
dengan tujuan penelitian dan disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 4.1. Karakteristik penelitian
Karakteristik Penelitian Frekuensi Persentase (%)

Kelompok Umur (tahun)

< 60 16 64%

≥60 9 36%

Jenis Kelamin
Laki-laki 8 32 %

Perempuan 17 68%

Tingkat Pendidikan
Tidak lulus SD/Sederajat 3 12%

SD/Sederajat 6 24%

SMP/Sederajat 5 20%

SMA/Sederajat 9 36%

Sarjana/Diploma 2 8%

Status Pekerjaan
ASN 1 4%

TNI/Polri 0 0%

Pegawai Swasta 1 4%

Wiraswasta 4 16%
Petani/Buruh 3 12%

Pensiunan 1 4%

IRT 15 60%

Tingkat Dukungan Petugas Kesehatan


Baik 4 16%

Kurang 21 84%

Tingkat Pengetahuan
Baik 7 28%

Kurang 18 72%

Karakteristik Penelitian Frekuensi Persentase (%)


Tingkat Sikap
Baik 22 88%

Kurang 3 12%

Kesediaan mengikuti program skrining TB


Iya 19 76%

Tidak 6 24%

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan karakteristik responden di wilayah


kerja Puskesmas Sidayu berdasarkan kelompok usia terbanyak adalah < 60
tahun sebanyak 16 (64%) orang, berdasarkan jenis kelamin terbanyak
adalah perempuan sebanyak 17 (68%) orang, berdasarkan tingkat
pendidikan terbanyak adalah lulusan SMA/Sederajat sebanyak 9 (36%)
orang, berdasarkan status pekerjaan terbanyak adalah Ibu Rumah Tangga
sebanyak 15 (60%), berdasarkan tingkat dukungan petugas kesehatan
didapatkan sebanyak 21 orang (84%) mengatakan kurang mendapatkan
informasi mengenai penyakit TB-DM, berdasarkan tingkat pengetahuan
didapatkan sebanyak 18 orang (72%) memiliki pengetahuan yang kurang,
berdasarkan tingkat sikap didapatkan sebanyak 22 orang (60%) memiliki
sikap yang baik, dan terakhir berdasarkan kesediaan mengikuti program
skrining TB didapatkan sebanyak 19 orang (76%) bersedia mengikuti
program skrining tuberkulosis.
Dukungan petugas kesehatan pada responden untuk melakukan
skrining TB Paru dikategorikan menjadi dukungan baik dan dukungan
kurang. Pada penelitian ini, dukungan petugas kesehatan diukur melalui
pengisian kuesioner yang terdiri dari 8 buah pertanyaan. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut mengukur sejauh mana dukungan petugas kesehatan
yang meliputi meliputi dukungan informasi dan akses untuk melakukan
skrining TB Paru. Adapun deskripsi jawaban responden terhadap
pertanyaan yang menjadi indikator dukungan petugas kesehatan yaitu
sebagai berikut.
Tabel 4.5. Deskripsi Indikator Dukungan Petugas Kesehatan pada Pasien
DM

No Pertanyaan Jawaban Frekuensi

1 Mendapatkan informasi yang jelas Iya 6 (24%)


mengenai risiko pasien DM untuk
menderita TB Tidak 19 (76%)

2 Mendapatkan penjelasan tentang Iya 5 (20%)


pentingnya melakukan pemeriksaan TB
pada pasien DM Tidak 20 (80%)

3 Mendapatkan informasi yang jelas Iya 2 (8%)


mengenai tahapan pemeriksaan TB
Tidak 23 (92%)

4 Petugas kesehatan menyediakan fasilitas Iya 4 (16%)


pemeriksaan TB yang jaraknya terjangkau
Tidak 21 (84%)

5 Mendapatkan penjelasan tentang proses Iya 5 (20%)


rujukan pemeriksaan rontgen
Tidak 20 (80%)

6 Mendapatkan penjelasan tentang hasil Iya 3 (12%)


rontgen harus dibawa kembali ke Tidak 22 (88%)
puskesmas

7 Mendapatkan penjelasan tentang Iya 2 (8%)


pemeriksaan dahak sebagai lanjutan
pemeriksaan rontgen Tidak 23 (92%)

8 Mendapatkan penjelasan tentang lama Iya 2 (8%)


pengobatan TB
Tidak 23 (92%)

Berdasarkan tabel tersebut, maka dapat diketahui bahwa sebagian


besar responden tidak mendapat irfomasi terkait risiko pasien DM
menderita TB (76%), tidak mendapat irfomasi mengenai pentingnya
melakukan pemeriksaan TB pada pasien DM (80%), tidak mendapat
irfomasi mengenai pentingnya melakukan pemeriksaan TB pada pasien
DM (92%), petugas kesehatan tidak menyediakan fasilitas pemeriksaan
TB yang jaraknya terjangkau (84%), tidak mendapatkan penjelasan
tentang proses rujukan pemeriksaan rontgen (80%) dan hasil pemeriksaan
rontgen tidak dibawa kembali ke puskesmas (88%), tidak memperoleh
informasi tentang pemeriksaan dahak sebagai lanjutan pemeriksaan
rontgen (92%) dan tidak mendapat penjelasan tentang lama pengobatan
TB (92%).
Pengetahuan responden mengenai TB Paru dikategorikan menjadi
pengetahuan baik dan pengetahuan kurang. Pengetahuan responden
mengenai penyakit TB Paru diukur melalui pengisian kuesioner yang
terdiri dari 15 buah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengukur
sejauh mana responden mengetahui informasi yang meliputi penyebab TB
Paru, gejala, cara penularan, pengobatan, pencegahan, serta mengenai
komorbiditi TB-DM. Adapun deskripsi jawaban responden terhadap
pertanyaan yang menjadi indikator tingkat pengetahuan yaitu sebagai
berikut
Tabel 4.6. Deskripsi Indikator Pengetahuan pada Pasien DM
No Pernyataan Benar Salah

1. Penyakit tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri/kuman 6 (24%) 19 (76%)

2. Penyakit TB merupakan penyakit menular 20 (80%) 5 (20%)

Penyakit TB dapat ditularkan kepada orang lain melalui percikan 19 (76%) 6 (24%)
3.
dahak

4. Penyakit TB tidak dapat disembuhkan 11 (44%) 14 (56%)

5. Penderita TB harus minum obat dalam waktu 2 bulan 9 (36%) 16 (64%)

6. Penyakit TB bisa dicegah dengan imunisasi 5 (20%) 20 (80%)

7. Batuk lama dan berdahak merupakan salah satu gejala TB 12 (48%) 13 (52%)

Cara untuk menghindari penularan TB adalah dengan menutup 23 (92%) 2


8.
mulut/hidung saat batuk atau bersin (8%)

Untuk mengetahui seseorang menderita TB bisa dilakukan dengan 20 (80%) 5 (20%)


9.
pemeriksaan dahak

Pemeriksaan rontgen dada bisa membantu menentukan adanya 18 (72%) 7 (28%)


10.
kelainan akibat TB

Penderita Diabetes (DM) mempunyai kemungkinan yang lebih besar 8 (32%) 17 (68%)
11.
untuk menderita TB

Penderita DM yang juga menderita TB akan memengaruhi 11 (44%) 14 (56%)


12.
keberhasilan pengobatan DM

Penderita DM yang juga menderita TB tidak membutuhkan 10 (40%) 15 (60%)


13.
pengobatan gabungan DM dan TB

14. Penderita TB harus diperiksa kemungkinan DM 12 (48% 13 (52%)

15. Penderita DM harus diperiksa kemungkinan menderita TB 10 (40%) 15 (60%)

Berdasarkan tabel tersebut, maka dapat diketahui bahwa mayoritas


responden tidak mengetahui bahwa tuberkulosis disebabkan oleh bakteri/
kuman (76%), tidak mengetahui bahwa penyakit tuberkulosis dapat
disembuhkan (56%), lama waktu pengobatan (64%), tidak mengetahui
bahwa tuberkulosis dapat dicegah salah satunya dengan imunisasi (80%),
tidak mengetahui gejala dari tuberkulosis (52%), tidak mengetahui seputar
komorbiditi DM-TB seperti pasien DM lebih berisiko terinfeksi TB (68%),
tidak mengetahui bahwa kondisi TB akan mempengaruhi pengobatan DM
(56%), tidak mengetahui bahwa penderita Dm yang terinfeksi TB
memerlukan pengobatan gabungan (60%), tidak mengetahui pentingnya
penderita TB untuk diperiksa DM (52%), tidak mengetahui pentingnya
penderita DM diperiksa TB (60%). Namun berdasarkan tabel diatas, maka
dapat diketahui bahwa mayoritas responden telah mengetahui bahwa TB
merupakan penyakit yang menular (80%), cara penularan penyakit TB
(76%), cara pencegahan penyakit TB (92%), cara penegakan diagnosis
penyakit TB dengan pemeriksaan dahak (80%) serta dapat dilakukan
dengan pemeriksaan rontgen dada (72%).

Sikap responden mengenai penyakit TB Paru dikategorikan menjadi


sikap baik dan sikap kurang. Pada penelitian ini, sikap responden
mengenai penyakit TB Paru diukur melalui pengisian kuesioner yang
terdiri dari 15 buah pernyataan. Pernyataan-pernyataan tersebut mengenai
respon atau tanggapan responden mendukung maupun tidak mengenai
kerentanan untuk menderita TB, keseriusan penyakit, persepsi penghalang
untuk mengikuti skrining, dan keuntungan mengikuti skrining. Adapun
deskripsi jawaban responden terhadap pernyataan yang menjadi indikator
sikap yaitu sebagai berikut.

Tabel 4.6. Deskripsi Indikator Sikap pada Pasien DM


Tidak
No Pernyataan Setuju
Setuju

1. Penderita DM lebih berisiko untuk menderita TB 9 (36%) 16 (64%)

Penderita DM yang menderita TB berpeluang menularkan TB kepada 17 (68%) 8 (32%)


2.
orang disekitarnya
Dengan melakukan pemeriksaan rontgen maka penderita DM bisa 17 (68%) 8 (32%)
3.
mengetahui kemungkinan menderita TB

4. Pemeriksaan dahak meningkatkan kepastian penyakit TB 20 (80%) 5 (20%)

Dengan menjalankan semua prosedur pemeriksaan TB akan 23 (92%) 2 (8%)


5.
bermanfaat untuk kesehatan penderita DM

Semakin dini mendapatkan pengobatan TB maka akan semakin baik 22 (88%) 3 (12%)
6.
untuk penyakit DM dan TB yang diderita

Jika Saya menderita TB akan dikucilkan dan dijauhi oleh keluarga atau 21 (84%) 4 (16%)
7.
teman

Jika Saya dirujuk untuk pemeriksaan rontgen, maka jarak ke tempat 23 (92%) 2
8.
rontgen tidak menjadi masalah buat saya (8%)

9. Biaya pemeriksaan rontgen akan memberatkan saya 19 (76%) 6 (24%)

10. Pemeriksaan rontgen membuat saya malas untuk memeriksakan diri 16 (64%) 9 (36%)

Jika Saya menderita TB maka pengobatan TB 6 bulan akan 19 (76%) 6 (24%)


11.
memberatkan saya

Jika Saya menderita TB maka saya akan melakukan pengobatan 6 24 (96%) 1 (4%)
12.
bulan dengan teratur

13. Keluarga Saya akan melarang Saya melakukan pemeriksaan TB 22 (88%) 3 (12%)

Jika Anda menderita TB, maka keluarga Anda akan mendukung 24 (96%) 1 (4%)
14.
pengobatan DM dan TB yang anda derita

Jika Anda menderita TB maka keluarga Anda akan mengingatkan Anda 24 (96%) 1 (4%)
15.
untuk minum obat

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa mayoritas


responden tidak setuju bahwa penderita DM berisiko menderita TB (64%),
namun mayoritas responden telah setuju mengenai penularan penyakit TB
(68%), skrining TB paru dengan foto rontgen dada (68%), Skrining TB
dengan pemeriksaan dahak (68%), manfaat dari prosedur pemeriksaan TB
(92%), hingga ketaatan berobat dan peran dukungan keluarga dalam
pengobatan DM-TB.
Berdasarkan hasil penelitian dari 25 responden didapatkan sebanyak
19 responden bersedia untuk melakukan skrining tuberkulosis, sedangkan
6 responden tidak bersedia untuk melakukan skrining tuberkulosis. Alasan
responden menolak untuk dilakukan skrining tuberkulosis antara lain
karena tidak merasakan gejala tuberkulosis sebanyak 2 orang (33.3%),
tidak ada waktu untuk melakukan pemeriksaan sebanyak 1 orang (16.6%),
biaya pemeriksaan mahal sebanyak 2 orang (33.3%), dan yang terakhir
tidak ada yang mengantar sebanyak 1 orang(16.6%)

B. Analisis Bivariat
Uji bivariat pada penelitian “hubungan dukungan petugas kesehatan,
pengetahuan, sikap penderita diabetes mellitus untuk melakukan skrining
tuberkulosis” menggunakan uji chi square dengan tujuan untuk
menganalisa hubungan antara dukungan petugas kesehatan, pengetahuan,
sikap penderita diabetes mellitus dengan kesediaan melakukan skrining
tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Sidayu.
1. Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan terhadap Kesediaan
Melakukan Skrining Tuberkulosis
Analisis hubungan antara dukungan petugas kesehatan terhadap
kesediaan melakukan skrining tuberkulosis disajikan dalam tabel
berikut :

Tabel 4.5. Hasil tabulasi silang dukungan petugas kesehatan dan kesediaan
melakukan skrining tuberkulosis
Dukungan Petugas Kesehatan
Baik Kurang
ρ value
N % N %
Kesediaan Iya 1 5.3% 18 94.7%
melakukan Tidak 3 50% 3 50% 0,031¥
skrining TB

¥
Uji Fisher Exact
Berdasarkan hasil tabulasi silang untuk variabel dukungan
petugas kesehatan dan kesediaan melakukan skrining tuberkulosis
didapatkan hanya 1 orang yang bersedia melakukan skrining
tuberkulosis dan menyatakan dukungan petugas kesehatan baik
(5.3%), sedangkan 18 orang lainnya yang bersedia melakukan
skrining tuberkulosis menyatakan dukungan petugas kesehatan kurang
(94.7%). Pada penderita diabetes yang tidak bersedia melakukan
skrining Tuberkulosis menyatakan dukungan petugas kesehatan baik
dan kurang memiliki persentasi yang imbang (50%).
Dari hasil analisis statistik didapatkan terdapat
hubungan yang signifikan antara dukungan petugas kesehatan
dengan kesediaan melakukan skrining tuberkulosis (ρ=0,031).
2. Hubungan Pengetahuan terhadap Kesediaan Melakukan Skrining
Tuberkulosis
Analisis hubungan antara pengetahuan terhadap kesediaan
melakukan skrining tuberkulosis disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4.6. Hasil tabulasi silang pengetahuan dan kesediaan melakukan


skrining tuberkulosis
Pengetahuan
Baik Kurang
ρ value
N % N %
Kesediaan Iya 6 31.6% 13 68.4%
melakukan Tidak 1 16.7% 5 83.3% 0,637¥
skrining TB

¥
Uji Fisher Exact

Berdasarkan hasil tabulasi silang untuk variabel pengetahuan dan


kesediaan melakukan skrining tuberkulosis didapatkan hanya 6 orang
yang bersedia melakukan skrining tuberkulosis dan memilliki
pengetahuan yang baik baik (31.6%), sedangkan 13 orang lainnya
yang bersedia melakukan skrining tuberkulosis memiliki pengetahuan
yang kurang (68.4%). Mayoritas penderita diabetes yang tidak
bersedia melakukan skrining Tuberkulosis memiliki pengetahuan
yang kurang (83.3%).
Dari hasil analisis statistik didapatkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kesediaan
melakukan skrining tuberkulosis (ρ=0,637).
3. Hubungan Sikap terhadap Kesediaan Melakukan Skrining
Tuberkulosis
Analisis hubungan antara sikap terhadap kesediaan melakukan
skrining tuberkulosis disajikan dalam tabel berikut

Tabel 4.7. Hasil tabulasi silang pengetahuan dan kesediaan melakukan


skrining tuberkulosis
Sikap
Baik Kurang
N % N %
Kesediaan Iya 17 89.5% 2 10.5%%
melakukan
Tidak 5 88% 1 16.7%
skrining TB

¥
Uji Fisher Exact
Berdasarkan hasil tabulasi silang untuk variabel sikap dan
kesediaan melakukan skrining tuberkulosis didapatkan mayoritas
tidak bersedia melakukan skrining tuberkulosis dengan memiliki sikap
yang buruk (64.3%) Sedangkan pada penderita diabetes yang bersedia
melakukan skring tuberkulosis dengan sikap yang baik sebanyak 5
orang (45.4%) dan yang memiliki sikap buruk sebanyak 6 orang
(54.6%).
Dari hasil analisis statistik didapatkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap dengan kesediaan melakukan
skrining tuberkulosis (ρ=0,579).
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 19 (76%) penderita DM
bersedia melakukan skrining TB. Dalam penentuan perilaku kesediaan
melakukan skrining TB dipengaruhi oleh faktor predisposisi salah satunya
adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan faktor penting yang
memengaruhi perilaku seseorang karena perilaku terbentuk didahului oleh
pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan
penelitian didapatkan mayoritas responden memiliki pengetahuan yang
kurang (72%). Rendahnya pengetahuan responden terlihat dari sebagian
besar responden yang tidak tahu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
komorbiditi TB-DM seperti risiko pasien DM mengalami komorbiditi TB-
DM (68%%), TB dapat mengganggu keberhasilan pengobatan DM (56%),
perlunya pengobatan gabungan DM dan TB pada orang yang mengalami
komorbiditi TB-DM (60%), perlunya penderita TB diperiksa DM (52%),
dan begitu pula perlunya penderita DM diperiksa TB (60%). Berkaitan
dengan hal tersebut, maka pemberian KIE yang baik dan
berkesinambungan khususnya terkait komorbiditi TB-DM oleh petugas
kesehatan perlu dilakukan agar pasien DM lebih memahami risiko mereka
sehingga memutuskan untuk melakukan skrining TB Paru.
Kurangnya pengetahuan peserta DM dapat berkaitan
dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang
memengaruhi daya serap dalam menerima informasi.
Orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung
makin besar kemampuan untuk menyerap, menerima, atau
mengadopsi informasi. Karakteristik pasien DM pada
penelitian ini berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan
bahwa sebagian besar memiliki tingkat pendidikan < SMA
yaitu sebanyak 56%. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Putra (2016) yaitu terdapat perbedaan pengaruh
keterpaparan informasi mengenai penyakit TB dan
komorbiditi TB-DM antara responden yang memiliki tingkat
pendidikan ≥ SMA dengan responden yang memiliki
tingkat pendidikan < SMA.
Petugas kesehatan memegang peranan vital dalam memahami
perbedaan karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
sehingga metode penyampaian informasi dilakukan dengan cara berbeda
yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan responden. Proses KIE pada
pasien DM dengan tingkat pendidikan rendah dapat dilakukan dengan
intensitas yang lebih lama dan frekuensi yang lebih sering, yaitu setiap kali
kunjungan pasien DM ke puskesmas. Hal tersebut bertujuan untuk
meyakinkan dan meningkatkan pemahaman pasien DM terhadap informasi
yang diberikan sehingga mereka memiliki sikap yang baik, serta
mengambil tindakan untuk melakukan skrining TB Paru.
Hasil tabulasi silang antara pengetahuan dan kesedian skrining
tuberkulosis pada penelitian ini menunjukkan proporsi skrining
tuberkulosis lebih banyak pada responden yang memiliki pengetahuan
kurang yaitu 68.4% dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan
baik yaitu 31.6%. Sedangkan dari hasil analisis statistik didapatkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kesediaan
melakukan skrining tuberkulosis (ρ=0,637). Hal ini sejalan dengan
penelitian Putra (2016) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan skrining tuberkulosis (ρ=0,086).
Setelah terpapar informasi dan terbentuknya pengetahuan, maka
selanjutnya akan diikuti oleh pembentukan sikap sebagai respon terhadap
suatu objek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu
88% responden memiliki sikap yang baik. Pada hasil tabulasi silang antara
sikap dan kesediaan skrining tuberkulosis pada penelitian ini menunjukkan
proporsi skrining tuberkulosis lebih banyak pada responden yang memiliki
sikap baik yaitu 89.5% dibandingkan responden yang memiliki sikap
buruk yaitu 10.5%. Sedangkan dari hasil analisis statistik didapatkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan kesediaan
melakukan skrining tuberkulosis (ρ=0,579). Hal ini sejalan dengan
penelitian Putra (2016) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan skrining tuberkulosis (ρ=0,389).
Pada penelitian ini mayoritas responden memiliki sikap yang baik
seperti setuju terhadap skrining TB paru dengan foto rontgen dada (68%),
Skrining TB dengan pemeriksaan dahak (68%), serta manfaat dari
prosedur pemeriksaan TB (92%). Sikap tersebut dikatakan sikap yang
positif sehingga menjadi predisposisi perilaku atau tindakan yang baik
pula yakni mayoritas responden bersedia untuk dilakukan skrining
tuberkulosis (76%). Sikap yang baik ini juga dipengaruhi oleh
pengetahuan yang dimiliki responden. Walaupun mayoritas pengetahuan
responden didapatkan kurang, namun bila dilihat dari 15 indikator
pengetahuan terhadap kesediaan skrining tuberkulosis, didapatkan
mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyakit
TB merupakan penyakit yang menular (80%), cara penularan penyakit TB
(76%), cara pencegahan penyakit TB (92%), cara penegakan diagnosis
penyakit TB dengan pemeriksaan dahak (80%) serta dapat dilakukan
dengan pemeriksaan rontgen dada (72%). Pengetahuan tersebut
membentuk sikap yang positif sehingga responden bersedia untuk
melakukan skrining.
Selain faktor predisposisi terdapat pula faktor penguat (reinforcing
factors) yaitu petugas kesehatan. Petugas kesehatan memiliki peran vital
dalam penyampaian informasi kepada pasien DM terkait besarnya risiko
mereka mengalami komorbiditi TB-DM. Maka dari itu, dukungan petugas
kesehatan akan dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan keputusan
responden dalam melakukan skrining TB Paru.
Berdasarkan hasil penelitian dari 25 responden didapatkan sebanyak
19 responden bersedia untuk melakukan skrining tuberkulosis, sedangkan
6 responden tidak bersedia untuk melakukan skrining tuberkulosis. Alasan
responden menolak untuk dilakukan skrining tuberkulosis antara lain
karena tidak ada waktu untuk melakukan pemeriksaan sebanyak 1 orang
(16.6%), biaya pemeriksaan mahal sebanyak 2 orang (33.3%), tidak ada
yang mengantar sebanyak 1 orang(16.6%) dan yang terakhir karena tidak
merasakan gejala tuberkulosis sebanyak 2 orang (33.3%). Hal tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Kurniawan (2015) bahwa keengganan
skrining TB Paru pada anggota keluarga yang memiliki kontak serumah
salah satunya disebabkan oleh anggapan bahwa skrining hanya diperlukan
pada orang yang telah tertular.
4.3 Kekurangan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini tidak terlepas dari adanya
keterbatasan yang dapat memengaruhi kualitas hasil penelitian. Waktu
penelitian yang singkat sehingga jumlah sampel sedikit dan sampel kurang
mewakili populasi peserta diabetes mellitus yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Sidayu. Jumlah sampel yang sedikit dapat mempengaruhi hasil
dari analisis statistik penelitian ini. Beberapa responden juga terkesan
tergesa-gesa untuk pergi saat dilakukan wawancara untuk mengukur
variabel dengan banyak indikator pertanyaan seperti pengetahuan dan
sikap sehingga pasien DM kurang sungguhsungguh dalam menjawab
pertanyaan. Hal tersebut tentu dapat memengaruhi hasil penelitian
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Adapun simpulan yang diperoleh pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Proporsi penderita diabetes mellitus di wilayah kerja yang bersedia


melakukan skrining tuberkulosis sebesar 76%.
2. Sebagian besar penderita diabetes mellitus mengatakan dukungan
petugas kesehatan masih kurang (84%) dalam mendukung untuk
dilakukannya skrining tuberkulosis serta dukungan petugas
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kesediaan pasien
diabetes mellitus melakukan skrining tuberkulosis.
3. Sebagian besar penderita diabetes mellitus masih memiliki
pengetahuan yang kurang terkait TB dan Komorbiditi DM-TB
(72%) serta pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap kesediaan peserta diabetes mellitus melakukan skrining
tuberkulosis.
4. Sebagian besar penderita diabetes mellitus memiliki sikap yang
baik terkait TB dan Komorbiditi DM-TB (72%) serta sikap tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kesediaan peserta
diabetes mellitus melakukan skrining tuberkulosis.
5. Dukungan petugas serta pengetahuan yang kurang pada penderita
pasien diabetes mellitus tidak mempengaruhi sikap serta kesediaan
untuk dilakukan skrining tuberkulosis dikarenakan responden telah
memiliki kemauan dan kemampuan hidup sehat yang tinggi.

B. Saran
● Peneliti menyarankan petugas kesehatan yang terdiri atas pemegang
program P2P TB, Pemegang Program PTM, Prolanis dan Bidan Desa
untuk meningkatkan kegiatan penyuluhan mengenai Tuberkulosis dan
Komorbiditi DM-TB kepada masyarakat.
● Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menganalisis
faktor-faktor lainnya yang belum diteliti yang mungkin dapat berhubungan
dengan penderita diabetes mellitus untuk melakukan skrining tuberkulosis
namun tidak tergambarkan dalam penelitian ini seperti status sosial
ekonomi, akses, serta dukungan keluarga baik dengan desain studi yang
sama mapupun berbeda
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., Surya A. et al. (2008). Pedoman Penanggulangan TB di Tempat


Kerja (Workplace). Jakarta.
Amare, H., Gelaw, A., Anagaw, B., & Gelaw, B. (2013). Smear Positive
Pulmonary Tuberculosis among Diabetic Patients at the Dessie Referral Hospital,
Northeast Ethiopia. Infection Disease of Poverty, 2(6): 1-8.
Anugrah, S. (2012). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru,
Status Gizi, Riwayat Kontak Keluarga, dan Riwayat Merokok Pasien yang
Berobat ke UP4 dengan Kejadiannya di UP4 Kota Pontianak. Skripsi. Pontianak:
FK Universitas Tanjungpura.
Asmariani, S. (2012). Faktor-Faktor yang Menyebabkan Ketidakpatuhan
Penderita TB Paru Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Kerja
Puskesmas Gajah Mada Kecamatan Tembilahan Kota Kabupaten Indragiri Hilir.
Available from:
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/1827/jurnal.pdf?
sequence=1 (accsess: 9 Januari 2016). Badan Pusat Statistik. (2016). Garis
Kemiskinan Provinsi, 2013-2015. Availabe from:
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120 (access: 24 April 2016)
Baghaei, P., Marjani, M., Javanmard, P., Tabarsi, P., Masjedi, M.R. (2013).
Diabetes Mellitus and Tuberculosis Facts and Controversies. Journal of Diabetes
& Metabolic Disorders, 12(58):1-8.
Bourne, P.A. (2009). Socio-demographic Determinants of Health Care-seeking
Behaviour, Selfreported Illness and Self-evaluated Health Status in Jamaica.
International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public
Health, 1(4): 101-130.
Cahyadi, A. & Venty. (2011). Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. J
Indon Med Assoc, 61(4): 173-178.
Dhewi, G.I., Armiyanti, Y., & Supriyono, M. (2012). Hubungan antara
Pengetahuan, Sikap Pasien, dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum
Obat pada Pasien TB Paru di BKPM Pati. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan, 1-
10.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2015). Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun
2014. Denpasar: Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
Dobler, C.C., Flack, J.R., & Marks, G.B. (2012). Risk of Tuberculosis among
People with Diabetes Mellitus: an Australian Nationwide Cohort Study. BMJ
Open, 2:1-6.
Elorriaga, G. & Pineda, D.R. (2014). Type 2 Diabetes Mellitus as a Risk Factor
for Tuberculosis. J Mycobac Dis, 4(2).
Erawatyningsih, E., Purwanta., & Subekti, H. (2009). Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberkulosis Paru. Berita
Kedokteran Masyarakat, 25(3): 117-124.
Faisal, S., Ahmad, Q., Mahmmood, H., & Rifaq, F. (2014). Socio-demographic
Factors Affecting Tuberculosis Diagnostic Test Seeking Behavior in Pakistan: A
Review. Punjab Univ. J. Zool., 29(2): 91-96.
Hayati, A. (2011). Evaluasi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru
Tahun 2010-2011 di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok. Skripsi.
Depok: Departemen Farmasi FMIPA UI.
Hidayat, A. (2008). Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
Hiswani. (2009). Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi yang Masih Menjadi
Masalah Kesehatan Masyarakat. Medan: FKM USU.
Indreswari, S.A. & Suharyo. (2014). Diagnosis Dini Tuberkulosis pada Kontak
Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Paru Melalui Deteksi Kadar IFN-γ.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9(1): 32-38.
Kedebe, W., Keno, F., Ewunetu, T., & Mamo, G. (2014). Acceptance of Provider
Initiated HIV Testing and Counseling among Tuberculosis Patients in East
Wollega Administrative Zone, Oromia Regional State, Western Ethiopia.
Tubercolusis Research and Treatment, 2014: 1-5.
Kemenkes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009. (2009). Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB). Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes RI). (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkolusis. Jakarta:
Kemenkes RI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2015).
Konsensus Pengelolaan Tuberkulosis dan Diabetes Melitus (TB-DM) di
Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Kondoy, P.P.H., Rombot, D.V., Palandeng, H.M.F., & Pakasi, T.A. (2014).
FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis
Paru di Lima Puskesmas di Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik, 2(1):1-8.
Lemeshow S.et al. (1997). Besar Sampel Penelitian Dalam Kesehatan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lin, Y., Li, L., Mi, F., et al. (2012). Screening Patients with Diabetes Mellitus for
Tuberculosis in China. Tropical Medicine and International Health, 17(10): 1302-
1308.
Livia, R. et al. (2015). Tuberculosis Infection among Diabetes Melitus Patients in
Hasan Sadikin Hospital Bandung, Indonesia. Proceeding of The 4th Indonesia TB
Research Parade, March 11-12, 2015. Jakarta: Ministry of Health, Republic of
Indonesia.
Manuhara, L. (2012). Evaluasi Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Tuberkulosis
Paru pada Programmed Management on Drug-Resistant Tuberculosis di
Puskesmas Kota Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Notoatmodjo, S. (2010a). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. (2010b). Promosi Kesehatan: Teori & Aplikasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta Pradnyadewi,
N.L.N.T.A. (2013). Gambaran Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Konversi
Penderita Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif di Kota Denpasar
Tahun 2012. Skripsi. Denpasar: PSKM FK Unud.
Prayitno, A., Suyono, B., Suryanto, E., & Suparto, R. (2006). Tes Diagnostik
Sputum pada Penderita Tuberkulosis Paru. BioSMART, 7(1):14-15. Prayogo,
A.H.E. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pamulang Kota
Tanggerang Selatan Propinsi Banten. Skripsi. Jakarta:
Program Studi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI (Pusdatin). (2015).
Tuberkulosis: Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta Pusdatin.
Ratnasari, N.Y. (2012). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada
Penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)
Yogyakarta Unit Minggiran. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 8: 7-11.
Rye, A., Saleh, Y.D., Hadiwijoyo, Y. (2009). Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Penemuan Penderita TB Paru di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Berita
Kedokteran Masyarakat, 25(2): 59-68.
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu. Suarni, H. (2009). Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit TB BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Bulan
Oktober Tahun 2008-April Tahun 2009. Skripsi. Depok: FKM UI.
Thomas, B.E., Ramachandran, R., Anitha, S., & Swaminathan, S. (2007).
Feasibility of Routine HIV Testing among TB Patients through A Voluntary
Counselling and Testing Centre. Int J Tuberc Lung Dis, 11(12): 1296-1301.
Werdhani, R.A. (2008). Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FK UI.
World Health Organization (WHO). (2014). Global Tuberculosis Report 2013.
Geneva: WHO. World Health Organization (WHO). (2015). Global Tuberculosis
Report 2014. Geneva: WHO.
Wulandari, D.R. & Sugiri, Y.J. (2013). Diabetes Melitus dan Permasalahannya
pada Infeksi Tuberkulosis. J Respir Indo, 33(2): 126-134.
LAMPIRAN
Informed Consent
MendapatkanPersetujuan Setelah Penjelasan :
Informasiesensialuntukresponden/ subyek

JudulPenelitian : Gambaran DukunganPetugas Kesehatan, Pengetahuan, Dan Sikap


Pada Penderita Diabetes Mellitus Umtuk Melakukan Skrining
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidayu

Nama Peneliti : dr. Felisa Nur Khayana


Lokasi Penelitian : Wilayah Kerja PuskesmasSidayu Gresik
Peneliti adalah dokter internsip di Puskesmas Sidayu.
Penelitisedangmelakukanpenelitianuntukmengetahuigambarandukunganpetugaskesehat
an, pengetahuan dan sikap pada penderita diabetes mellitus untukmelakukanskrining
tuberculosis paru di wilayah kerjaPuskesmasSidayu, Gresik, Jawa Timur. Partisipasi
Anda sangatpenting, tetapihalinibersifatsukarela dan akandijagakerahasiannya. Anda
bolehmenolakjikamemang Anda tidakmenghendakinya. Tidak
adaresikoataukerugianataukeuntunganlangsung yang Anda dapatkandarikeikutsertaan
Anda dalampenelitianini, tetapipartisipasiandaakanmemberikansumbanganterhadap
Wilayah KerjaPuskesmas Kamal untukmeningkatkancakupanpenderita diabetes mellitus
yang melakukanskrining tuberculosis paru. Jika Anda setujuuntukberpartisipasi,
silakantandatangan pada lembarpersetujuanresponden.

Peneliti

dr. Felisa Nur Khayana


LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Denganhormat,
Saya yang bertandatangan di bawahini,:

Nama :......................................................................................................................................
Umur :......................................................................................................................................
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Alamat :......................................................................................................................................
:......................................................................................................................................
No.Telp/Hp :......................................................................................................................................
PendidikkanAkhir : Tidak Sekolah SMP
Tidak Tamat SD SMA
SD Sarjana/ Diploma
Pekerjaan : PNS WiraswastaLainnya : …………………….
TNI/PolriPetani/ Buruh
PegawaiSwastaPensiunan

Mengijinkan Felisa Nur Khayana sebagai Dokter Internsip melakukan penelitian dengan
judul “Gambaran DukunganPetugas Kesehatan, Pengetahuan, Dan Sikap Pada
Penderita Diabetes Mellitus Umtuk Melakukan Skrining Tuberkulosis Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Sidayu”. Saya mengerti dan memahami bahwa kegiatan
penelitian ini tidak memberikan dampak negative bagi siapa pun, oleh karena itu saya
mengijinkan adanya proses penelitian.

Responden,

Sidayu,________________2024

(___________________________)

KUESIONER PENELITIAN
GAMBARAN DUKUNGAN PETUGAS KESEHATAN, PENGETAHUAN, DAN
SIKAP PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS UMTUK MELAKUKAN
SKRINING TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIDAYU

NomorResponden : (diisi oleh peneliti)

TanggalPengisian :

I. DUKUNGAN PETUGAS KESEHATAN


Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberikan tanda centang () sesuai
dengan kondisi anda.

No Pernyataan Ya Tidak

Apakah Anda mendapatkaninformasi yang jelasmengenairisikopasien


1.
DM untukmenderita TB daripetugaskesehatan?

Apakah Anda
2. mendapatkanpenjelasantentangpentingnyamelakukanpemeriksaan
TB pada pasien DM oleh petugaskesehatan?

Apakah Anda mendapatkaninformasi yang


3.
jelasmengenaitahapanpemeriksaan TB oleh petugaskesehatan?

Apakah Anda dirujukkefasilitaspemeriksaan TB yang


4.
jaraknyaterjangkaubagianda?

Apakah Anda mendapatkanpenjelasantentang proses


5.
rujukanpemeriksaanrontgen?

Apakah Anda
6. mendapatkanpenjelasantentanghasilrontgenharusdibawakembalikep
uskesmas?

Apakah Anda
7. mendapatkanpenjelasantentangpemeriksaandahaksebagailanjutanpe
meriksaanrontgen?

8. Apakahandamendapatkanpenjelasantentang lama pengobatan TB?


II. PENGETAHUAN TENTANG TUBERKULOSIS – DIABETES MELLITUS
Jawablahpertanyaandibawahinidenganmemberikantandacentang ()
sesuaidenganpemahamananda.

Tidak
No Pernyataan Benar Salah
Tahu

Penyakit tuberculosis (TB) disebabkan oleh


1.
bakteri/kuman

2. Penyakit TB merupakanpenyakitmenular

Penyakit TB dapatditularkankepada orang lain


3.
melaluipercikandahak

4. Penyakit TB tidakdapatdisembuhkan

5. Penderita TB harusminumobatdalamwaktu 2 bulan

6. Penyakit TB bisadicegahdenganimunisasi

7. Batuk lama dan berdahakmerupakan salah satugejala TB

Cara untukmenghindaripenularan TB
8.
adalahdenganmenutupmulut/hidungsaatbatukataubersin

Untukmengetahuiseseorangmenderita TB
9.
bisadilakukandenganpemeriksaandahak

Pemeriksaanrontgen dada
10.
bisamembantumenentukanadanyakelainanakibat TB

Penderita Diabetes (DM) mempunyaikemungkinan yang


11.
lebihbesaruntukmenderita TB

Penderita DM yang juga menderita TB


12.
akanmemengaruhikeberhasilanpengobatan DM

Penderita DM yang juga menderita TB


13.
tidakmembutuhkanpengobatangabungan DM dan TB

14. Penderita TB harusdiperiksakemungkinan DM

15. Penderita DM harusdiperiksakemungkinanmenderita TB


III. SIKAP TENTANG TUBERKULOSIS – DIABETES MELLITUS, SKRINING
DAN PENGOBATAN
Berilahresponpernyataanberikut denganmemberikantandacentang ()
sesuaidenganpandanganatauposisianda.

Ragu Tidak
Setuj
No Pernyataan - Setuj
u
Ragu u

1. Penderita DM lebihberisikountukmenderita TB

Penderita DM yang menderita TB


2.
berpeluangmenularkan TB kepada orang disekitarnya

Denganmelakukanpemeriksaanrontgenmakapenderit
3.
a DM bisamengetahuikemungkinanmenderita TB

Pemeriksaandahakmeningkatkankepastianpenyakit
4.
TB

Denganmenjalankansemuaprosedurpemeriksaan TB
5.
akanbermanfaatuntukkesehatanpenderita DM

Semakindinimendapatkanpengobatan TB
6. makaakansemakinbaikuntukpenyakit DM dan TB
yang diderita

Jika Saya menderita TB akandikucilkan dan dijauhi


7.
oleh keluargaatauteman

Jika Saya dirujukuntukpemeriksaanrontgen,


8. makajarakketempatrontgentidakmenjadimasalahbuat
saya

9. Biayapemeriksaanrontgenakanmemberatkansaya

10 Pemeriksaanrontgenmembuatsaya malas
. untukmemeriksakandiri
11 Jika Saya menderita TB makapengobatan TB 6
. bulanakanmemberatkansaya

Jika Saya menderita TB


12
makasayaakanmelakukanpengobatan 6
.
bulandenganteratur

13 Keluarga Saya akanmelarang Saya


. melakukanpemeriksaan TB

Jika Anda menderita TB, makakeluarga Anda


14
akanmendukungpengobatan DM dan TB yang
.
andaderita

15 Jika Anda menderita TB makakeluarga Anda


. akanmengingatkan Anda untukminumobat

IV. KesediaanMelakukanProsedurSkriningTuberkulosis
Perintah : Beritandacentang ()sesuaidengankondisianda
16. Apakah Anda bersediamelakukanprosedurpemeriksaanTuberkulosis ?
Ya Tidak

17. Bila tidak,


apaalasanandatidakbersediamelakukanpemeriksaanTuberkulosis
(bolehmemilihlebihdarisatu) :
 Takut dan malubilahasilnyamenderita TB
 Tidak adawaktuuntukmelakukanpemeriksaan
 Biayauntukpemeriksaan mahal
 Tidak ada yang mengantar
 Jarak pemeriksaanjauh
 Lainnya
………………………………………………………………………
…………
FORMULIR SKRINING GEJALA TBC PADA PENYANDANG DM

DATA PESERTA

Nama Lengkap :
NIK :
Tanggal Lahir :
Umur / Jenis Kelamin :
No. Hp :
Alamat :
Provinsi, Kab/Kota :
No. RekamMedis :
TanggalSkrining :
SKRINING GEJALA (DIISI OLEH PETUGAS)

GEJALA UTAMA YA TIDAK

Batuk, terutamabatukberdahak ≥ 2 minggu

GEJALA TAMBAHAN YA TIDAK

Demam hilangtimbul, demamtidaktinggi (subfebris)

Keringatmalamtanpadisertaiaktivitas

Penurunanberat badan

TBC Ekstra Paru antara lain : pembesarankelenjargetahbening (KGB) dll

Sesak, nyerisaatmenarik napas atau rasa berat pada disatusisi dada

Badan lemas, sertanafsumakanmenurun

Anggotakeluarga yang menderitakeluhanbatuk lama atauterdiagnosis TB ataudalam


masa pengobatan

Lainnya (sebutkan) :

Kriteria Hasil Skrining :Dikatakanmengarah pada terduga TBC jika


1. Usia< 15 thdidapatkan minimal salah HASIL SKRINING GEJALA TBC
satugejalautamaataugejalatambahan
2. Usia ≥ 15 thdidapatkangejalautamaditambah salah satugejalatambahan Mengarah pada TBC Tidak mengarah pada TBC

Pemeriksa Peserta

(………………………) (………………………)
Data Penelitian
Dukungan Kesediaan
Jenis Hasil Skrining
Responden Usia Alamat Pendidikan Pekerjaan Petugas Pengetahuan Sikap di Periksa Alasan
Kelamin TB
Kesehatan TB
Tidak Tamat Tidak mengarah
1 52 6.6 % 66.6 % Ya
Perempuan Golokan SD IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Sarjana/ Tidak mengarah
2 59 60% 86.6 % Ya
Laki-Laki Ngawen Diploma PNS pada TBC 0% Tidak Ada
Pegawai Tidak mengarah
3 54 53% 86.6 % Ya
Laki-Laki Purwodadi SMA Swasta pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak Tamat Petani / Tidak mengarah
4 51 73% 86.6 % Ya
Laki-Laki Sukorejo SD Buruh pada TBC 0% Tidak Ada
Petani / Tidak mengarah
5 62 46% 86.6 % Ya
Laki-Laki Mriyunan SD Buruh pada TBC 0% Tidak Ada
Ya mengarah
6 54 53% 93% Ya
Perempuan Asempapak SD IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
7 57 66% 60% Ya
Perempuan Wadeng SD IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
8 47 53% 80% Ya
Perempuan Purwodadi SMA IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah Tidak ada yang
9 44 60% 73.3 % Tidak
Perempuan Randuboto SMP IRT pada TBC 50% mengantar
Sarjana/ Tidak mengarah
10 67 66.6 % 86.6% Ya
Laki-Laki Randuboto Diploma Pensiunan pada TBC 12.5% tidak ada
Tidak mengarah
11 68 60% 86% Ya
Perempuan Ngawen SMA IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
12 68 46% 100% Ya
Perempuan Raci Tengah SD IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
13 57 66% 60% Ya
Perempuan Wadeng SD IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
14 47 46% 80% Ya
Perempuan Purwodadi SMA IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
15 64 60% 86% Ya
Perempuan Randuboto SD IRT pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
16 63 93% 80% Ya
Perempuan Randuboto SMP IRT pada TBC 87.5% Tidak Ada
Tidak mengarah
17 66 66% 93% Ya
Perempuan Pegundan SMA IRT pada TBC 12.5% Tidak Ada
Ujung Tidak mengarah Karena tidak
18 44 40% 73.3% Tidak
Perempuan Pangkah SMA IRT pada TBC 12.5% merasakan gejala TB
Tidak ada waktu
19 52 Tidak mengarah 80% 93% Tidak untuk melakukan
Perempuan Randuboto SMA Irt pada TBC 12.5% pemeriksaan
Tidak mengarah Biaya untuk
20 48 40% 86% Tidak
Perempuan Randuboto SMP Wiraswasta pada TBC 62.5% pemeriksaan mahal
Tidak mengarah
21 60 40% 80% Ya
Perempuan Golokan SMP Wiraswasta pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
22 56 53% 93% Ya
Laki-Laki Sidomulyo SMA Wiraswasta pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
23 65 26% 66% Ya
Laki-Laki Randuboto Tidak Sekolah Wiraswasta pada TBC 0% Tidak Ada
Tidak mengarah
24 48 40% 60% Tidak
Perempuan Randuboto SMA Irt pada TBC 37.5% Tidak mau diperiksa
Petani / Tidak mengarah Biaya untuk
25 55 0% 75% Tidak
Laki-Laki Wadeng SMP Buruh pada TBC 100% pemeriksaan mahal
DATA SPSS

You might also like