Lapsus-PE & IUFD (Nur Chusnaini) DONE

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 46

LAPORAN KASUS

G1P0A0 24 TAHUN HAMIL 26 MINGGU, INPARTU KALA I FASE


LATEN DENGAN PREEKLAMSIA, JANIN TUNGGAL INTRAUTERINE
FETAL DEATH PRESENTASI KEPALA MASERASI DERAJAT II

Disusun Oleh :

Nur Chusnaini Inayati


20409010037

Pembimbing :
dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WAHID HASYIM
PERIODE 14 FEBRUARI – 23 APRIL 2022

i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS DENGAN JUDUL

“G1P0A0 24 TAHUN HAMIL 26 MINGGU, INPARTU KALA I FASE


LATEN DENGAN PREEKLAMSIA, JANIN TUNGGAL INTRAUTERINE
FETAL DEATH PRESENTASI KEPALA MASERASI DERAJAT II”

Disusun untuk memnuhi salah satu persyaratan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum
Daerah Kardinah Kota Tegal

Disusun Oleh :
Nur Chusnaini Inayati
20409010037

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG selaku dokter
pembimbing Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum
Daerah Kardinah Kota Tegal

Tegal, April 2022


Pembimbing,

dr. Hendrian Widjaja, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang berjudul
“G1P0A0 24 Tahun Hamil 26 Minggu, Inpartu Kala I Fase Laten Dengan
Preeklamsia, Janin Tunggal Intrauterine Fetal Death Presentasi Kepala Maserasi
Derajat II” dalam kepaniteraan klinik ilmu Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Kardinah Kota Tegal.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Hendrian Widjaja, Sp.OG selaku pembimbing atas waktu yang diluangkan dan
pengarahannya selama penulis menyusun laporan kasus ini.

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa laporan


kasus ini masih belum sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik penulis
harapkan untuk menyempurnakan laporan kasus ini di kemudian hari. Akhir kata,
penulis berharap semoga penulisan laporan kasus ini bermanfaat untuk berbagai
pihak yang telah membacanya.

Tegal. April 2022

Nur Chusnaini Inayati

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II STATUS PASIEN 3
2.1 IDENTITAS PASIEN 3
2.2 ANAMNESIS 4
2.3 PEMERIKSAAN FISIK 6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG 8
2.5 DIAGNOSIS 10
2.6 PENATALAKSANAAN 10
2.7 PROGNOSIS 11
2.8 FOLLOW UP 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 13
3.1 PREEKLAMSIA BERAT 13
3.1.1 DEFINISI 13
3.1.2 EPIDEMIOLOGI 13
3.1.3 FAKTOR RISIKO 14
3.1.4 PATOFISIOLOGI 15
3.1.5 KLASIFIKASI 18
3.1.6 DIAGNOSIS 18
3.1.7 PENATALAKSANAAN 19
3.1.8 PENCEGAHAN 25
3.1.9 KOMPLIKASI 31
3.1.10 PROGNOSIS 31
3.2 INTRA UTERINE GROWTH RESTRICTION 32
3.2.1 DEFINISI 32
3.2.2 EPIDEMIOLOGI 32
3.2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO 33
3.2.4 KLASIFIKASI 34

iv
3.2.6 DIAGNOSIS 34
3.2.7 PENATALAKSANAAN 36
3.2.8 KOMPLIKASI 37
3.2.9 PENCEGAHAN 37
BAB IV PEMBAHASAN 38
BAB V KESIMPULAN 40
DAFTAR PUSTAKA 41

v
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) yang baru


muncul pada usia kehamilan 20 minggu disertai salah satu tanda/gejala yaitu,
protein urin >300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick > +1, gangguan organ
lainnya.1
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan
lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di Negara
berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di
Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan. Prevalensi preeklampsia di Negara maju
adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. 2
Intrauterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical
Classification of Disease and Related Health Problems adalah kematian fetal atau
janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu. 3 WHO dan American College of
Obstetricians and Gynecologist (1995) menyatakan Intra Uterine Fetal Death
(IUFD) ialah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih,
atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. 4 The US
National Center for Health Statistics menyatakan bahwa Intrauterine fetal death
adalah kematian pada fetus dengan berat badan 350 gram atau lebih dengan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih.

Menurut National Center for Health Statistics dan The American College
of Obstetricans and Gynecologist, Intra Uterine Fetal Death (IUFD) adalah janin
yang meninggal dan neonatus yang lahir dengan berat 500 gram atau lebih. Sampai
saat ini faktor penyebab kematian janin yaitu faktor maternal, faktor fetal, dan
faktor plasenta.5

Indonesia termasuk dalam salah satu kategori negara berkembang dimana


tercatat angka kematian janin tinggi. Berdasarkan hasil Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Neonatal (AKN) masih

1
sama yakni 19/1000 kelahiran selama 5 tahun terakhir. Salah satu penyebab
kematian neonatal adalah kematian janin dalam kandungan sebanyak 29,5%
(Kementrian Kesehatan RI, 2016). Tahun 2013, Angka Kematian Neonatal di
provinsi Bali sebesar 5,97% kematian per 1000 kelahiran hidup, dimana sebagian
besar tercatat sebagai kejadian 2 lahir mati. Berdasarkan data yang tercatat dalam
Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kabupaten/Kota dengan angka kematian janin
terendah adalah kota Denpasar (0,49 per 1000 kelahiran hidup). Sedangkan angka
kematian janin tertinggi adalah kota Bangli (10,18 per 1000 kelahiran hidup) (Dinas
Kesehatan Provonsi Bali, 2014)

2
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. AA

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 24 tahun

Alamat : Jln. Sukodadi No.11, Tegal Barat

Pekerjaan : Karyawan

Agama : Islam

Suku : Jawa

Asuransi Kesehatan : BPJS Non-PBI

Ruangan : Bangsal Mawar

No RM : 1017xxx

Tanggal masuk : 1 Maret 2022

IDENTITAS SUAMI

Nama : Tn. R

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 23 tahun

Alamat : Jln. Sukodadi No.11, Tegal Barat

Pekerjaan : Buruh

Suku : Jawa

Agama : Islam

3
2.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di Bangsal


Mawar RSUD Kardinah pada hari Rabu, 2 Maret 2022 pukul 07.30 WIB.

▪ Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan tidak merasakan gerakan janin.
▪ Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keadaan hamil anak
pertama belum pernah abortus (G1P0A0) usia kehamilan 26 minggu
mengeluhkan tidak merasakan gerakan janin sejak tanggal 29 Maret 2022
(3 hari SMRS). Pasien memeriksakan kehamilannya ke Bidan desa dan
dilakukan UGS dengan hasil tidak ditemukan detak jantung dan Bidan desa
merujuk ke praktik dokter SpOG dan hasil USG tidak ditemukan detak
jantung. Pasien mengaku tidak pernah memeriksakan kandungannya selama
hamil dan baru pertama kali periksa saat tidak merasakan gerakan janin.
Keluhan nyeri perut ingin melahirkan tidak dirasakan pasien,
rembes ketuban dan keluar lendir darah juga tidak dirasakan oleh pasien.
Keluhan lain seperti pusing, pandangan kabur, kaki bengkak
▪ Riwayat Penyakit Dahulu
- Tidak memiliki riwayat hipertensi
- Tidak memiliki riwayat diabetes mellitus (DM)
- Tidak memiliki riwayat penyakit ginjal
- Tidak memiliki riwayat penyakit jantung
- Tidak memiliki riwayat penyakit paru
- Tidak memiliki riwayat penyakit hati
▪ Riwayat Penyakit Keluarga
- Bapak pasien memiliki riwayat hipertensi
- Tidak memiliki riwayat diabetes mellitus (DM)
- Tidak memiliki riwayat penyakit ginjal
- Tidak memiliki riwayat penyakit jantung
- Tidak memiliki riwayat penyakit paru
- Tidak memiliki riwayat penyakit hati

4
▪ Riwayat Pernikahan
Menikah satu kali dengan pasangannya saat ini, usia saat menikah 23 tahun
dan lama pernikahan 1 tahun.
▪ Riwayat Kontrasepsi
Pasien mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi jenis apapun.
▪ Riwayat Menstruasi
Pasien menarche saat usia 12 tahun, siklus haid pasien teratur setiap bulan
sekali, durasi haid berlangsung kurang lebih selama 10 hari, jumlah darah
haid kurang lebih 90cc/hari (3x ganti pembalut), dismenorhea (-), nyeri
punggung (+). Hari pertama haid terakhir (HPHT) pada tanggal 25 Juni
2021 hari perkiraan lahir (HPL) pada tanggal 1 April 2022.
▪ Riwayat Kehamilan
Pasien baru pertama kali hamil belum pernah abortus (G1P0A0), pasien
tidak rutin periksa kehamilan (ANC) di bidan, puskesmas maupun dokter
Sp.OG. Pasien hanya periksa 1x di bidan dan 1x dokter Sp.OG pada usia
kehamilan 26 minggu dan hasil USG didapatkan tidak ada detak jantung
janin.
▪ Riwayat Ginekologi
Riwayat penyakit pada saluran reproduksi dan pengobatannya disangkal
▪ Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah berobat sebelumnya.
▪ Riwayat Operasi
Pasien tidak pernah operasi sebelumnya.
▪ Riwayat Alergi
Alergi obat dan makanan disangkal.
▪ Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai karyawan di suatu frenchise minuman dan biaya
pengobatan menggunakan BPJS Non-PBI. Pasien tidak pernah merokok
mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang.

5
2.3 PEMERIKSAAN FISIK

▪ KEADAAN UMUM
- Keadaan Umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis (GCS 15)
▪ TANDA VITAL
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
- Nadi : 82 x/min
- RR : 22 x/min
- Suhu : 36,6°C
- SpO2 : 99%
▪ STATUS GIZI

Sebelum Hamil

o BB : 50 kg
o TB : 145 cm
o IMT : 23, 78 (Normal)

Saat Hamil

o BB : 55 kg
o TB : 145 cm
o IMT : 26,15 (Gemuk ringan)

▪ STATUS GENERALIS
Kepala normosefali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut.
Wajah Pucat (-), ikterik (-), deformitas (-), edema (-), sianotik (-)
Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
pupil bulat isokor (+/+), pandangan jelas.
Hidung Bentuk dan ukuran normal, nafas cuoing hidung (-), deformitas (-),
deviasi (-), septum nasal normal berada di tengah, sekret (-)
Telinga Normotia, serumen (-/-), hiperemis (-/-), deformitas (-/-), benda asing
(-/-)

6
Mulut Sianosis (-), pucat (-), mukoas bibir kering (-), karies gigi (-), gusi
berdarah (-) deviasi lidah (-), atrofi lidah (-), lidah kotor (-), mukosa
mulut hiperemis (-)
Leher Pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB leher
supraklavikular (-)
Thoraks Jantung
• Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V 2 cm medial
dari linea midclavicular sinsitra, thrill (-)
• Perkusi (batas jantung)
o Kanan : ICS III – V linea parasternalis dextra
o Kiri : ICS V 2 cm lateral linea midclavicularis
sinistra
o Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
o Pinggang: ICS II linea parasternalis kiri
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop

Pulmonal
• Inspeksi : bentuk dada simetris, venektasi (-), Gerakan
dinding dada simetris saat statis dan dinamis.
• Palpasi : fremitus vocal kanan dan kiri sama
• Perkusi : sonor diseluruh lapangan paru
• Auskultasi : suara dasar bronkovesikuler (+/+), vesikuler
(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Inspeksi : tampak cembung
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Tinggi fundus uteri : 22 cm
Ekstremitas Superior Inferior
Edema -/- -/-

7
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Ulkus -/- -/-
Refleks patella +/+
Status lokalis Vaginal toucher : potio lunak, pembukaan 1 cm, kulit ketuban (+)
letak kepala Hodge 1, lendir darah (-)

▪ STATUS OBSTETRI
o Leopold 1 : presentasi kepala, TFU 22 cm , TBJ 1550 gram
o Leopold 2 : presentasi punggung kanan, ekstremitas kiri, DJJ (-)
o Leopold 3 : presentasi kepala
o Leopold 4 : kepala belum masuk PAP

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

NILAI
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN

Hematologi Complete Blood Count (CBC)

Hemoglobin L 9,9 11,2 – 15,7 g/dl


Leukosit 6,9 4,4 – 11,3 Ribu/uL
Hematokrit L 31 27 – 47 %
Trombosit 260 150 – 521 Ribu/uL
Eritrosit 4,65 4,5 – 5,1 Juta/uL
RDW H 18,9 11,5 – 14,5 %
MCV L 64,1 80 – 96 Unit
MCH L 20,4 28 – 33 Pcg
MCHC L 31,6 33 – 36 g/dL

Differential Count

Neutrofil % 60,2 50 – 70 %
Limfosit % 33,2 25 – 40 %
Monosit % 3,6 2–8 %

8
Eosinofil % L1 2–4 %
Basofil % 0,3 0–1 %
Neutrofil 4,17 2,2 – 7,91 103/uL
Limfosit 2,00 1,1 – 4,52 103/uL
> 3,13 :Waspada
6 – 9 : Curiga
NLR 1,3
> 9 : Bahaya

APTT 25,6 Detik 23,9 – 34,9


PT 9,9 Detik 9,8 – 18
INR 0,91 0,5 – 1,2
Serologi Imunologi
HBsAg Negatif Negatif
HIV Non reaktif Non reaktif
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 115 82-115,0 mg/dL
Urinalisis Laboratorium
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan jernih Jernih
Kimia Urin
Ph 7,5 6.0 – 9.0
Protein Positif (1+) / 50 Negatif
Reduksi Negative Negative
Mikroskopis
+1 / <4, +2 / 5
Leukosit 1-3 – 9, +3 / 10 – / lpb
29, +4 /
+1 / <4, +2 / 5
– 9, +3 / 10 –
Eritrosit 0-2 29, +4 / / lpb

9
+1 / <4, +2 / 5
– 9, +3 / 10 –
Epitel POS (1+) 29, +4 /
Silinder Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Kristal AMORF (+)
Jamur Negatif Negatif
Khusus
Berat jenis 1.015 1.005 – 1.030
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negative

2.5 DIAGNOSIS

▪ Ibu : G1P0A0 24 tahun usia kehamilan 26 minggu inpartu kala I fase


laten dengan preeklamsia
▪ Janin : Janin tunggal intra uterine fetal death presentasi kepala maserasi
grade II

2.6 PENATALAKSANAAN

➢ MEDIKAMENTOSA
o IVFD Ringer Laktat + Oksitosin 5 IU
o PO Amoxicillin 3 x 500 mg
o PO Nifedipine 3 x 10 mg
➢ NON MEDIKAMENTOSA
o Observasi keadaan umum dan tanda vital
o Persalinan pervaginam dengan induksi oksitosin 5 IU

10
➢ RESUME PERSALINAN PERVAGINAM
Bayi lahir pervaginam pada tanggal 2 Maret 2022 pukul 06.35 WIB
berjenis kelamin laki-laki, air ketuban cair dan keruh, presentasi kepala,
maserasi derajat II, BB janin 1300 gram.

2.7 PROGNOSIS

• Ad vitam : dubia ad bonam


• Ad functionam : dubia ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad bonam

2.8 FOLLOW UP

2-3-2022 pukul 07.30 WIB


S Nyeri luka bekas jahitan (+), nyeri A P1A0 post partus pervaginam hari
perut (mules), BAB (-), BAK (-) ke-1 dengan Preeklamsia dan
IUFD
O Keadaan umum : baik, compos P Medikamentosa :
mentis GCS 15 - Infus RL
TD : 130/90 mmHg - PO Amoxicilin 3 x 500 mg
Nadi : 90x/menit - PO Nifedipine 3 x 10 mg
Suhu : 36C - Asam mefenamat 3 x500 mg
RR : 24 x/.menit - Emibion 2 x 1 tab
TFU : 2 jari dibawah pusat, Non-Medikamentosa :
kontraksi uterus keras, PPV 20 cc - Observasi keadaan umum, tanda
Edema tungkai (-/-) vital dan perdarahan pervaginam
- Edukasi perawatan luka jahitan
3-3-2022 Pukul 07.30
S Nyeri di luka jahitan (<<), BAB A P1A0 post partus pervaginam hari
(+), BAK(+) ke-2 dengan Preeklamsia dan
IUFD
O Keadaan umu : baik, compos P Medikamentosa :
mentis GCS 15 - PO Amoxicilin 3 x 500 mg
TD : 110/80 mmHg - Asam mefenamat 3 x500 mg

11
Nadi : 86x/menit - Emibion 2 x 1 tab
Suhu : 36,4C Non-Medikamentosa :
RR : 22 x/.menit - Observasi keadaan umum, tanda
TFU : 2 jari dibawah pusat, vital dan perdarahan pervaginam
kontraksi uterus keras, PPV 10 cc - Boleh pulang
Edema tungkai (-/-) - Edukasi perawatan luka jahitan

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PREEKLAMSIA

3.1.1 Definisi

Preeklampsia adalah hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) yang baru


muncul pada usia kehamilan 20 minggu disertai salah satu tanda/gejala dibawah ini
(ISSHP, 2014):1

1. Proterinuria: protein urin >300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick > +1

2. Gangguan organ lainnya:


• Gangguan ginjal: kreatinin serum diatas 1,1 mg/dl atau didapatkan
peningkatan kadar serum kreatinin dari sebelumnya tanpa adanya kelainan
ginjal lain
• Keterlibatan hepar: peningkatan serum transaminase dana tau nyeri
epigastrium dan kuadran kanan atas
• Gangguan neurologis: eclampsia, perubahan status mental, kebutaan,
stroke, hiperlefleksia disertai klonus, nyeri kepala hebat, dan scotoma visual
persisten
• Gangguan hematologis: trombositopenia, DIC, hemolysis, sindroma
HELLP
• Edema paru
3. Disfungsi uteroplasenta: gawat janin dan gangguan pertumbuhan janin.

3.1.2 Epidemiologi
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan
dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan
di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan.2

13
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah
kesehatan di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan
selama kehamilan dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang
tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup.2

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi


dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara
maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam
dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap
insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.2

3.1.3 Faktor Risiko


Faktor-faktor yang diduga dapat menjadi resiko preeklampsia terdiri dari, yaitu:6,7
A. Wanita yang memiliki risiko sedang (NICE Clinical Guideline,2019):
o Nulipara
o Umur ≥40 tahun
o Interval kehamilan ≥ 10 tahun
o IMT saat kunjungan pertama ≥ 35 kg/m2
o Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia
o Kehamilan multifetal
B. Wanita yang memiliki risiko tinggi (NICE Clinical Guideline, 2019):
o Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya
o Penyakit ginjal kronik
o Penyakit autoimun seperti SLE atau Sindrom Antifosfolipid
o Diabetes Tipe 1 atau Tipe 2
o Hipertensi Kronik

14
3.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi hipertensi pada kehamilan tidak sepenuhnya dipahami.


Penelitian saat ini menunjukkan bahwa diferensiasi trofoblas yang tidak tepat
selama invasi endotel karena regulasi abnormal dan/atau produksi sitokin,
molekul adhesi, molekul kompleks histokompatibilitas utama, dan
metaloproteinase memainkan peran kunci dalam perkembangan penyakit
hipertensi gestasional. Regulasi abnormal dan/atau produksi molekul-molekul ini
menyebabkan perkembangan abnormal dan remodeling arteri spiralis di jaringan
miometrium dalam. Hal ini menyebabkan hipoperfusi dan iskemia plasenta.
Penelitian yang lebih baru menunjukkan peran faktor antiangiogenik yang
dilepaskan oleh jaringan plasenta menyebabkan disfungsi endotel sistemik yang
dapat mengakibatkan hipertensi sistemik. Hipoperfusi organ akibat disfungsi
endotel paling sering terlihat di mata, paru-paru, hati, ginjal, dan pembuluh darah
perifer. Secara keseluruhan, sebagian besar ahli setuju bahwa alasan yang
mendasarinya adalah multifaktoria.8

Penyebab yang paling mungkin untuk penyakit ini adalah kegagalan invasi
trofoblas yang menyebabkan kegagalan transformasi arteri spiral uterus, dan
plasentasi dalam yang salah. Trofoblas adalah sel pertama yang membedakan dari
telur dibuahi, mereka membentuk membran luar plasenta, dan bertanggung jawab
untuk nutrisi dan oksigen pertukaran antara ibu dan janin. Juga, sel pembunuh
alami desidua (NK) dapat mengatur invasi trofoblas dan pertumbuhan pembuluh
darah, dua proses penting dalam perkembangan plasenta. Ekspresi abnormal dari
antigen permukaan sel NK dan kegagalan dalam regulasi sitotoksisitas sel NK dan
sitokin atau faktor angiogenik mungkin merupakan beberapa penyebab
preeklamsia, menghasilkan keadaan aliran tinggi dan tekanan tinggi. Akibatnya,
ada risiko tinggi untuk cedera iskemia-reperfusi dari plasenta karena vasokonstriksi
arteri ibu, yang akan menyebabkan pembentukan radikal oksigen reaktif dan
disfungsi endotel lanjut. Dengan demikian, preeklamsia dapat dikaitkan dengan
pelepasan beberapa mediator yang berlebihan oleh sel-sel endotel yang cedera.8

Kelebihan tirosin kinase (sFlt)-1 atau endoglin yang larut seperti fms dan
penurunan faktor pertumbuhan plasenta bebas (PlGF) merupakan hipotesis lain

15
untuk patogenesis preeklamsia, yaitu ketidakseimbangan angiogenik. Ketika kadar
sFlt-1, yang merupakan varian dari PlGF dan VEGF, meningkat maka terjadi
inaktivasi atau penurunan konsentrasi PlGF dan VEGF, yang mengakibatkan
disfungsi endotel. Dalam kasus endoglin, yang merupakan koreseptor permukaan
untuk keluarga transforming growth factor (TGFβ), endoglin terlarut (sEng)
berikatan dengan reseptor endotel dan menghambat beberapa isoform TGFβ,
menghasilkan penurunan vasodilatasi yang bergantung pada nitrit oksida (NO)
endotel. Sel endotel vaskular yang dikumpulkan dari wanita pre-eklampsia atau
terpapar serum dari kehamilan pre-eklampsia menghasilkan NO lebih sedikit
daripada sel endotel dari kehamilan normal. Akar dkk. menunjukkan bahwa
produksi NO yang dirangsang agonis berkurang pada arteri umbilikalis yang
terisolasi. Penelitian lain juga melaporkan penurunan produksi NO yang
dirangsang agonis pada sel endotel vena umbilikalis dan vena tangan yang berasal
dari kehamilan preeklampsia, menyimpulkan bahwa produksi NO juga terganggu
pada pembuluh darah arteri dan vena sistemik ibu, dan tidak hanya pada pembuluh
darah ibu. pembuluh darah rahim dan pusar.8

Prostasiklin (PGI 2), vasodilator kuat lain menurun pada wanita pra-
eklampsia. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pensinyalan Ca 2+ endotel. dan
penghambatan produksi PGI 2 oleh spesies oksigen reaktif (ROS). Masih belum
jelas peran endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF) dalam patogenesis
vaskular pre-eklampsia, namun, vasorelaksasi yang dimediasi EDHF berkurang
pada pembuluh darah dari kehamilan pre-eklampsia.

Sebuah subset dari wanita dengan pre-eklampsia memiliki autoantibodi


terdeteksi terhadap jenis-1 angiotensin II receptor (AT 1) dalam serum yang dapat
mengaktifkan AT 1 di sel endotel, sel otot polos pembuluh darah, dan sel-sel
mesangial dari ginjal glomerulus. AT 1 autoantobodies telah terbukti menyebabkan
hipertensi, proteinuria, glomerulus kapiler endotheliosis, peningkatan produksi
sVEGFR-1 (larut Vascular Endothelial Growth Factor Receptor) dan Seng, dan
untuk merangsang sintesis NADPH oksidase. Tindakan gabungan ini
menyebabkan stres oksidatif, peningkatan produksi trombin, defek fibrinolisis
dengan deposisi fibrin, dan akhirnya ke keadaan anti-angiogenik. Pre-eklampsia
juga telah dikaitkan dengan trombositopenia. Faktanya, peran aktivasi trombosit

16
pada preeklampsia telah dibuktikan melalui beberapa fitur, termasuk peningkatan
ukuran trombosit dan penurunan umur, peningkatan kadar plasma ibu dari faktor 4
dan tromboglobulin, peningkatan produksi tromboksan B2 oleh trombosit, dan
pembentukan trombus. dalam mikrosirkulasi beberapa organ target. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, PGl2, yang memiliki aksi vasodilator dan
menghambat agregasi trombosit, menurun pada wanita dengan preeklampsia,
sementara tromboksan A2 meningkat, menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi
trombosit. Ini akan menyebabkan vasospasme dan konsumsi trombosit, yang
merupakan karakteristik dari pre-eklampsia.9

Gambar 1. Patofisiologi Preeklamsia9

17
3.1.5 Klasifikasi2

1) Preeklampsia ringan / preeklampsia tanpa gejala berat


Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan aktivasi endotel.
2) Preeklampsia berat / preeklampsia dengan gejala berat
Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending
eclampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai dengan
gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-
muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
3.1.6 Penegakkan Diagnosis10
➢ Penegakkan Diagnosis Preeklamsia10
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut
tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan
organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein
urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / microliter
2. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction

18
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan


antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga
kondisi protein urin masif (lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat

3.1.7 Penatalaksanaan2,10
A. Manajegemn Ekspektatif atau Aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki


luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang
usia kehamilan tanpa membahayakan ibu. Odendaal, dkk melakukan uji
kontrol acak (Randomized Controlled Trial/RCT) pada pasien dengan
preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji tersebut
didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi pada ibu, sebaliknya
dapat memperpanjang usia kehamilan (rata-rata 7,1 hari), mengurangi
kebutuhan ventilator pada neonatus (11% vs 35%), dan mengurangi komplikasi
total pada neonatal (33% vs 75%).

Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal


seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi
morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis,
kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir
bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden
pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid

19
mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular,
infeksi neonatal serta kematian neonatal.

Gambar 2. Managemen Ekspektatif Preeklamsia Tanpa Gejala Berat

20
Gambar 3. Managemen Ekstirpatif Preeklamsia Dengan Gejala Berat

21
B. Pemberian Magnesium Sulfat2,10

Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia


di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian
eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta
perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga
selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.

Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g


selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama
24 jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu
untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin,
refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat
memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 gr bolus dapat dilakukan
apabila terjadi kejang berulang.

Gambar 4. Rekomendasi Pemberian MgSo410

22
C. Anti Hipertensi

Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -


sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih
kontroversial. European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian anti hipertensi pada tekanan darah sistolik =
140 mmHg atau diastolik = 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi
gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed,
hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ subklinis
pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain pemberian antihipertensi
direkomendasikan bila tekanan darah = 150/95 mmHg.

Calcium Channel Blocker


Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam
sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker
dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya
minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek samping
maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema
tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah
digunakan sejak decade terakhir untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis)
dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral
menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena,
kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai
vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan
meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak
berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang
berguna pada preeklampsia berat. Regimen yang direkomendasikan adalah 10
mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg.
Penggunaan berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi
relatif setelah pemberian calcium channel blocker.

23
Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor
P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama
kehamilan atau diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya
dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.

Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada
sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan
menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac
output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu
antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural,
anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis."
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6
jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan
lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500
mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.
Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.

Gambar 5. Rekomendasi Antihipertensi10

24
D. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Obat ini juga
dapat diberikan pada pasien yang menderita sindroma HELLP. Pemberian
deksametason maupun betametason menurunkan bermakna kematian janin
dan neonatal, kematian neonatal, RDS dan perdarahan serebrovaskular.
Pemberian betametason memberikan penurunan RDS yang lebih besar
dibandingkan deksametason.

3.1.8 Pencegahan

Terminologi umum ‘pencegahan’ dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: primer,


sekunder, tersier. Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit.
Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses
terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau
kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti pencegahan
dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini
juga merupakan tatalaksana.

A. Pencegahan Primer10

Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan


tanda, namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan
primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya
telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau
mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab
pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui. Sampai saat ini terdapat
berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk meramalkan kejadian
preeklampsia, namun belum ada satu tes pun yang memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar

25
dapat meramalkan suatu kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Praktisi
kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan
mengkontrolnya, sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Dari
beberapa studi dikumpulkan ada 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko
preeklampsia.

Gambar 6. Faktor Risiko Preeklamsia Sakiring Kunjungan Pertama

Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam


melakukan penilaian risiko kehamilan pada kunjungan awal antenatal.
Berdasarkan hasil penelitian dan panduan Internasional terbaru membagi
dua bagian besar faktor risiko yaitu risiko tinggi /mayor dan risiko
tambahan / minor.

26
Gambar 7. Risiko tinggi dan sedang preeklamsia

B. Pencegahan Sekunder
1. Istirahat
Berdasarkan 2 studi yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah
4 jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan
tanpa pembatasan. Istirahat dirumah 15 menit 2x/hari ditambah
suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia. 7
Di Indonesia tirah baring masih diperlukan bagi mereka yang
memiliki resiko tinggi terjadinya preeklampsia meskipun tirah baring
tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan kelahiran
preterm.2
2. Restriksi garam
Restriksi garam tidak terbukti secara ilmiah dapat menurunkan resiko
terjadinya preeklampsia.2
3. Aspirin dosis rendah
Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer
berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan
preterm, kematian janin atau neonatus dan bayi kecil masa kehamilan,

27
sedangkan untuk pencegahan sekunder berhubungan dengan penurunan
risiko preeklampsia, persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan
lahir < 2500 gr. Efek preventif aspirin lebih nyata didapatkan pada
kelompok risiko tinggi. Belum ada data yang menunjukkan perbedaan
pemberian aspirin sebelum dan setelah 20 minggu. Pemberian aspirin
dosis tinggi lebih baik untuk menurunkan risiko preeklampsia, namun
risiko yang diakibatkannya lebih tinggi.10

Gambar 8. Rekomendasi Penggunaan Aspirin


Aspirin merupakan NSAID yang bekerja secara primer dengan
menghambat COX-1 dan COX-2 yang berperan dalam sitesis
prostaglandin. Isoform dari COX-1 ada di endotel vascular dan
meregulasikan produksi prastasiklin dan tromboxan A2. Postasiklin
merupakan vasodilator dan penghambat agregasi platelet, tromboxan
A2 merupakan vasokonstriktor dan meningkatkan agregasi platelet.
Isoform COX-2 meningkat ekspresi dari meriator inflamasi. Efek dari
aspirin dalam COX-depenedent prostaglandin menggunakan low dose
aspirin akan menghambat COX-1 sehingga terjadi penurunan sintesis
dari tromboxan A2 tanpa mengganggu dinding vascular dalam
memproduksi prostasiklin. Sementara dosis tinggi aspirin dapat
menghambat COX-1 dan COX-2 sehingga memblokir produksi
prostaglandin di dinding pembuluh darah.11

28
Gambar 9. Mekanisme Kerja Apirin

4. Suplemen kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian
hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi dengan risiko
tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang memiliki diet asupan
rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan perbedaan yang
signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang adekuat.
Tidak ada efek samping yang tercatat dari suplementasi ini. 2,10
Pada kehamilan normal tanpa preeklampsia debris trofoblas
dikarakteristikan oleh apoptosis, sementara preeklampsia debris
trofoblas menyebabkan aktivasi dari dinding endotel dan sekresi
sitokin inflamasi. Preeklampsia sendiri juga sudah merupakan keadaan
inflamasi dengan mengeluarkan sitokin pada sirkulasi maternal seperti
IL-6 dan TNF-a. Peningkaran sitokin ini juga meningkatkan debris-
debris trofoblas yang juga berperan dalam pathogenesis preeklampsia.
Berdasarkan beberapa meta- analisis didapatkan bahwa suplementasi
kalsium memiliki kemampuan menurunkan kejadian preeklampsia,
terutama pada wanita dengan intake kalsium rendah.12

29
Berdasarkan tero Nitrit Oxide, pada keadaan preeklampsia
mengalami kehilangan bioavabilitas dari NO dan menyebabkan
disfungsi endotel. NO merupakan vasodilator endotel dan juga
berperan dalam pembentukan asam amino endotel, selain itu juga
membantu dinding endotel menghambat aktivasi sitokin pro-
inflamasi. Kalsium diketahui sebagai kofaktor dari sintesis NO,
sehingga konsumsi suplementasi kalsium dosis tinggi dapat
meningkatkan sintesis NO untuk melindungi dinding endotel. 10,11
Suplementasi kalsium dosis tinggi juga direkomendasikan oleh
WHO dalam guideline pencegahan preeklampsia dan eclampsia,
ditemukan juga bahwa manfaat suplementasi kalsium memperbaiki
aliran darah uteroplasenta dan fetoplasenta dengan meningkatkan
kemampuan pembuluh darah untuk vasodilatasi.11

Gambar 10. Rekomendasi Kalsium Pada Preeklamsia

5. Suplemen antioksidan
Pemberian suplementasi vitamin C 1000 mg dan vitamin E 400 IU
dalam tahap pengujian oleh beberapa instansi sebagai pencegahan
terhadap preeklampsia. Cochrane pada tahun 2010 melakukan
penelitian mengenai suplementasi vitamin C dan vitamin E pada 6533
wanita hamil namun hasil yang didapatkan tidak bermakna. Pada hal
ini ditemukan bahwa wanita yang mendapatkan suplementasi
antioksidan juga berujung membutuhkan antihipertensi sebagai
pendamping. Selain Cochrane, WHO juga melakukan uji yang sama
pada wanita usia kehamilan 14-20 minggu dan hasilnya menyatakan

30
bahwa pemberian antioksidan tidak menurunkan kejadian
preeklampsia.

Gambar 11. Rekomendasi Antioksidan Sebagai Pencegahan


Preeklamsia

3.1.9 Komplikasi

Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan


risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan datang.
Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskular 4x,
peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit jantung iskemik, stroke dan
DVT di masa yang akan datang. Risiko kematian pada wanita dengan riwayat
preeklampsia lebih tinggi, termasuk yang disebabkan oleh penyakit
serebrovaskular.7

3.1.10 Prognosis

Gangguan hipertensi, termasuk preeklampsia dan eklampsia,


mempengaruhi 10% kehamilan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Meskipun
kemajuan dalam manajemen medis, itu tetap menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas ibu dan perinatal di seluruh dunia. Meskipun angka eklampsia
secara khusus telah menurun, hal ini masih merupakan komplikasi yang sangat
serius pada kehamilan.8

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala


perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami
perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini
merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama
penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.

31
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutmya, kecuali pada janin dari ibu
yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita
eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterine atau mati pada
fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior

3.2 Intrauterine Fetal Death (IIUFD)

3.2.1 Definisi

Intrauterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical


Classification of Disease and Related Health Problems adalah kematian fetal atau
janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu. WHO dan American College of
Obstetricians and Gynecologist (1995) menyatakan Intra Uterine Fetal Death
(IUFD) ialah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih,
atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. 5 The US
National Center for Health Statistics menyatakan bahwa Intrauterine fetal death
adalah kematian pada fetus dengan berat badan 350 gram atau lebih dengan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih.

3.2.2 Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 ada 2,6 juta
kematian janin dalam kandungan secara global, dengan lebih dari 7178 kematian
per hari. Mayoritas kematian ini terjadi di negara-negara berkembang, 98% terjadi
di Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tiga perempat kematian bayi
dalam kandungan terjadi di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara dan 60% terjadi
pada keluarga pedesaan daerah tersebut.

Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012


Angka Kematian Neonatal sebesar 19/1000 kelahiran hidup, sementara tahun 2007
sebesar 19/1000 kelahiran hidup dengan demikian tidak ada penurunan berarti
dibandingkan hasil SDKI 2007. Target Millenium Development Goals (MDGs)
keempat yaitu penurunan angka kematian anak pada tahun 2015 dengan Neonatal
Mortality Rate sebesar 14/1000 kelahiran hidup.13

32
3.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko2

Pada 25 - 60 % kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin


dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik plasenta.

• Faktor maternal antara lain adalah


Post tetm (> 42 minggu), diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklampsia, eklampsia,
hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri,
antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu.
• Faktor fetal antara lain adalah
hamil kembar, hamil tumbuh terhambat (IUGR) kelainan kongenital,
kelainan genetik, infeksi.
• Faktor plasental antara lain adalah
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa.
• Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin intrauterin
meningkat pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi
pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu
(ureplasma urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.

Gambar 12. Etiologi IUFD14

33
3.2.4 Klasifikasi

Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

1. Golongan I : kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu


penuh (early fetal death)
2. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate
fetal death)
3. Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal
death)
4. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga
golongan di atas.

3.2.6 Diagnosis2
▪ Anamnesis :
o Pasien mengaku tidak lagi merasakan gerakan janinnya.
o Perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil (kehamilan
tidak seperti biasanya)
o Perut sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti ingin
melahirkan
o Penurunan berat badan
▪ Pemeriksaan Fisik :
o Inspeksi :
Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih rendah dari usia
kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang
biasanya dapat terlihat pada ibu yang kurus.
o Palpasi :
Tonus uterus menurun, tidak teraba gerakan-gerakan janin.
o Auskultasi :
Tidak terdengar detak jantung janin setelah usia kehamilan 10-20
minggu.
▪ Pemeriksaan Penunjang
o Ultrasonografi

34
Dengan USG Doppler tidak terdengar adanya bunyi jantung
janin, tampak gambaran janin tanpa tanda kehidupan.
o Radiologi
Pada foto radiologi setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps,
tulang kepala saling tumpang tindih (gejala “spalding”), tulang
belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala, tampak
gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.

Gambar 13. Spalding sign

Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin


dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif
untuk mencari penyebab kematian janin termasuk analisis kromosom,
kemungkinan ter papar infeksi untuk mengantisipasi kehamilan selanjutnya.2

▪ Tanda patologik

Apabila janin mati pada kehamilan yang telah lanjut, terjadilah


perubahan-perubahan sebagai berikut :16,17

1) Rigor mortis (tegang mati) : Berlangsung 2 ½ jam setelah mati,


kemudian janin menjadi lemas sekali.
2) Stadium maserasi I : berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan
jernih kemudian menjadi merah.
3) Stadium maserasi II : Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban
menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48 jam janin mati.

35
4) Stadium maserasi III : Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati.
Badan janin sangat lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar.
Terdapat edema di bawah kulit.

3.2.7 Penatalaksanaan2

Bila diagnosis kernatian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi


informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaannya.
Rekomendasikan untuk segera diintervensi.

Bila kematian janin lebih dari 3 - 4 minggu kadar fibrinogen menurun


dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila
kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar.

Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan


tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula
darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab
kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental emosional pada penderita dan
keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam.

Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu,


umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi
persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan perabdominam bila janin
letak lintang. Induksi persalinan dapat dikombinasi oksitosin + misoprostol. Hati-
hati pada induksi dengan uterus pascaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya
terjadinya ruptura uteri.

Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara


vaginal (50- 100 mg tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas
28 minggu dosis misoprostol 25 mg pervaginam/6 jam.

Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi


bersama keluarga. Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan
membantu mengungkap penyebab kematian janin.

36
3.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat
terjadi bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2
minggu. Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu
lebih dari 2 minggu sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu
sendiri akan melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbullah proses
persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), yaitu adanya perubahan


pada proses pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan atau
internal bleeding.
2) Infeksi
3) Koagulopati maternal dapat terjadi walaupun ini jarang terjadi sebelum 4-
6 minggu setelah kematian janin.

Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah meninggal
harus segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilakukan secara normal,
karena bila melalui operasi akan terlalu merugikan ibu. Operasi hanya dilakukan
jika ada halangan untuk melahirkan normal. Misalnya janin meninggal dalam
posisi melintang atau karena ibu mengalami preeklampsia.5,15

3.2.9 Pencegahan2

Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati


aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan
janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya
solusio plasenta. Pada gemelli dengan T +T (twin to tuin transfusion) pencegahan
dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.

Resiko kematian janin dapat sepenuhnya dihindari dengan antenatal care


yang baik. Ibu menjauhkan diri dari penyakit infeksi, merokok, minuman
beralkohol atau penggunaan obat-obatan.

37
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RUSD Kardinah pada tanggal 1 Maret 2022 pukul
05:00 WIB. Pasien datang dengan G1P0A0 hamil 26 minggu dengan keluhan tidak
merasakan gerakan janin sejak tanggal 29 Maret 2022 (3 hari SMRS). Tidak ada
keluhan rembes ketuban dan tidak keluar lendir, nyeri perut ingin melahirkan tidak
dirasakan. tidak ada demam/sesak/batuk/nyeri tenggorokan. Pasien tidak pernah
memeriksakan kehamilannya dan baru pertama memeriksakan kehamilannya saat
tidak merasakan gerakan janin dengan hasil tidak ditemukan detak jantung.

Pemeriksaan fisik pasien saat datang ke IGD Ponek tampak sakit sedang
dan kesadaran compos mentis dengan GCS (E4, M6, V5), pada pemeriksaan tanda
vital tekanan darah mencapai 150/90 mmHg, Status generalis abdomen ditemukan
supel dan pada vaginal toucher didapatkan potio lunak, pembukaan 1 cm, kulit
ketuban (+) letak kepala Hodge 1, lendir darah (-). Pemeriksaan Leopold I
ditemukan presentasi kepala tinggi fundus uteri 22 cm, DJJ tidak ada, Leopold II
presentasi punggung kanan, ekstremitas kiri, DJJ (-), leopold III presentasi kepala,
leopold IV kepala belum masuk PAP. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
ditemukan penurunan hemoglobin (anemia), penurunan hematokrit, peningkatan
RDW, penurunan MCV, penurunan MCH, penurunan MCHC. Pada pemeriksaan
urin ditemukan Positif (1+) / 50.

Bayi lahir pervaginam pada tanggal 2 April 2022 pukul 06.35 WIB berjenis
kelamin laki-laki, air ketuban cair, presentasi kepala, maserasi derajat II, BB janin
1300 gram. Berdasarkan teori dengan adanya tekanan darah tinggi dan hasil
pemeriksaan urin lengkap menunjukkan hasil proteinuria sehingga dapat
dikategorikan kedalam klasifikasi Preeklamsia. Selanjutnya berdasarkan The US
National Center for Health Statistics menyatakan bahwa Intrauterine fetal death
adalah kematian pada fetus dengan berat badan 350 gram atau lebih dengan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih. Dengan demikian dapat dikatakan pasien janin
tunggal intrauterine fetal death prsentasi kepala maserasi grade II.

Pada kasus ini, kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan 26 minggu,
sehingga pada kasus ini termasuk golongan II yaitu (intermediate fetal death).

38
Penatalaksanaan pada kasus IUFD yaitu dengan terminasi kehamilan.
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu dilakukan dengan
penanganan aktif. Terminasi kehamilan segera pada pasien ini dipilih melalui
induksi persalinan pervaginam dengan mempertimbangkan kehamilan aterm dan
mengurangi gangguan psikologis pada ibu dan keluarganya. Penanganan secara
aktif pada pasien ini juga sudah sesuai dengan prosedur yang seharusnya.

39
BAB V
KESIMPULAN
Preeklampsia adalah hipertensi (tekanan darah = 140/90 mmHg) yang baru
muncul pada usia kehamilan 20 minggu disertai salah satu tanda/gejala yaitu,
protein urin >300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick > +1 ataupun gangguan
organ lainnya. Preeklampsia sendiri merupakan keadaan yang dapat dicegah
dengan pemberian suplementasi kalsium dan aspirin dosis tinggi sebelum usia
kehamilan 20 minggu. Hal ini harus didukung antenatal care dengan asuhan yang
baik dan terpadu terutama skrining awal pada pemeriksaan antenatal care pertama
dan dianggap sebagai kehamilan dengan risiko. Pada keadaan preeklampsia sudah
terjadi maka mendekati melahirkan baik diberikan MgSO4 sebagai pencegahan
terjadinya eklampsia.

Intrauterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical


Classification of Disease and Related Health Problems adalah kematian fetal atau
janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu Kematian janin dapat disebabkan oleh
faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik pada plasenta. Risiko terjadinya
kematian janin dapat diturunkan dengan melakukan antenatal care yang baik dan
disiplin. Ibu dapat menjauhkan diri dari penyakit infeksi, merokok, minuman
beralkohol atau penggunaan obat-obatan.

40
DAFTAR PUSTAKA
1. ISSHP. (2014) The Classification, Diagnosis and Management of The
Hypertensive Disorders of Pregnancy: A Revised Statement from The ISSHP.
Editorial / Pregnancy Hypertension: An International Journal of Women’s
Cardiovascular Health 4; 2014; http:dx.doi.org/10.1016/j.preghy.2014.02.001.
2. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2010
3. Petersson K. Diagnostic Evaluation of Fetal Death with Special Reference to
Intrauterine Infection. Thesis dari Departement of Clinical Science, Divison of
Obstetrics and Gynecology, Karolinska Institutet, Huddinge University
Hospital, Stockholm, Sweden. 2002.
4. Winknjosastro H. Ilmu Kebidanan Edisi III,cetakan enam. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2008. 732-35.
5. Cunningham, F.G., etc. 2015. Kematian Janin. Obstetri Williams vol. 2, Edisi
21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Dan Mihu, Nicolae Costin, Carmen Mihaela Mihu, Andrada Seicean, Rãzvan
Ciortea. HELLP Syndrome- a multi systemic disorder. Romania. 2007.
7. Fox R, Kitt J, Leeson P, Aye CYL, Lewandowski AJ. Preeclampsia: Risk
Factors, Diagnosis, Management, and the Cardiovascular Impact on the
Offspring. J Clin Med. 2019;8(10):1625. Published 2019 Oct 4.
doi:10.3390/jcm8101625
8. Luger RK, Kight BP. Hypertension In Pregnancy. [Updated 2020 Oct 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
9. Peres GM, Mariana M, Cairrão E. Pre-Eclampsia and Eclampsia: An Update on
the Pharmacological Treatment Applied in Portugal. Journal of Cardivascular
Development and Disease. 2018. 5(1): 3. doi: 10.3390/jcdd5010003
10. POGI. PNPK Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. 2016;1–48.
11. Porter F, et al. ACOG Committee opinion: Low-Dose aspirin use during
pregnancy. Committee on Obstetric Practice. 2018;132(1):44-52
12. DeSousa J, Tong M, Wei J, Chamley L, Stone P, Chen Q. The anti-
inflammatory effect of calcium for preventing endothelial cell activation in
preeclampsia. Journal of Human Hypertension. 2016; 30: 303-8.
13. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. (2012) [cited 2012 20
April]; Diakses dari: http://www.kemkes.go.id.
14. Laura M. Giraldi, et all. Fetal death: obstetric, placental and fetal necroscopic
factors. J Bras Patol Med Lab. 2019; 55(1): 98-113.
15. Norwitz,E. Schorge,J. 2017. At a Glance Obstetri & Ginekologi edisi kedua
’Kematian Janin Intra Uterin’. EMS : Jakarta
16. Kliman, HJ. Dkk. 2016. Fetal death: etiology and pathological findings.
http://www.med.yale.edu/obgyn/kliman/placenta/articles/UpToDate.html
17. Sastrawinata S, martaadisoebrata D, wirakusumah F.2016. Obsetri Patologi.
edisi 2. Jakarta : EGC.

41

You might also like