Moderasi Beragama

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan


issn 2354-6174 eissn 2476-9649
Tersedia online di: journal.iainkudus.ac.id/index.php/fikrah
Volume 8 Nomor 2 2020, (311-328)
DOI: 10.21043/fikrah.v8i1.7928

Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam


Membingkai Moderasi Beragama Berlandaskan al
Quran dan Hadis di Indonesia

Umma Farida
Institut Agama Islam Negeri Kudus, Indonesia
[email protected]

Abstract
This article aims to reveal the ideas of Kiai Hasyim Asy'ari in knitting the unity
and framing the religious moderation based on the Quran and Hadith in
Indonesia. His role is still relevant to study considering the life of Indonesian
people until now still often confront and even contradict between religion and
culture. Besides, the dichotomy between traditionalist and modernist Islam has
strengthened once again in the internal circles of Muslims, which if it was not
immediately found a solution, it can lead to divisions between them. This study
uses qualitative methods and data collection uses documentation techniques to
be analyzed descriptively-critically. This research shows that Kiai Hasyim Asy'ari
played a significant role in uniting Muslims in particular and Indonesian society
in general. He taught Islam by emphasizing the formation of character,
politeness, gentleness, and moderate understanding of Islam as stated in his
book Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah. He also called for doing good to others
despite being of different religions, loving the Prophet, and making unity,
brotherhood, and tolerance as the foundation of moderation between religious
communities in Indonesia.
Keywords: Brotherhood, moderation, religion, tolerance, unity

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menguak gagasan dan ide KH. Hasyim Asy’ari (Kiai
Hasyim) dalam merajut persatuan dan membingkai moderasi beragama
berlandaskan al Quran dan Hadis di Indonesia. Pemikiran Kiai Hasyim masih
tetap relevan untuk dikaji mengingat kehidupan masyarakat Indonesia hingga
saat ini masih sering memperhadap-hadapkan bahkan mempertentangkan

311 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

antara agama dan budaya. Selain itu, dikotomi antara Islam tradisionalis dan
modernis kembali menguat di kalangan internal umat Islam yang apabila tidak
segera dicarikan solusinya maka dapat mengakibatkan perpecahan di antara
mereka. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dan pengumpulan datanya
menggunakan teknik dokumentasi untuk selanjutnya dianalisis secara
deskriptif-kritis. Penelitian ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari
berperan dalam mempersatukan umat Islam khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Ia mengajarkan Islam dengan menekankan pada
pembentukan karakter, kelembutan, kesantunan, dan pemahaman Islam yang
moderat sebagaimana tertuang dalam bukunya Risalah Ahl as-Sunnah wa al-
Jama’ah. Ia juga menyeru untuk berbuat kebaikan kepada orang lain meskipun
berbeda agama, mencintai Rasulullah Saw., dan menjadikan persatuan,
persaudaraan, dan toleransi sebagai landasan moderasi antar umat beragama di
Indonesia.
Kata kunci: Agama, moderasi, persatuan, persaudaraan, toleransi

Pendahuluan
Keragaman dalam kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang
dikehendaki Allah Swt. Secara kodrati, keberadaannya tidak dapat disangkal
dan dipungkiri terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang secara nyata
telah ditakdirkan menjadi bangsa yang terdiri dari berbagai suku, adat istiadat,
budaya dan agama QS. Al-Hujurat: 13. Dalam menciptakan keharmonisan
hidup yang plural, bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya yang
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua: Pertama, upaya
konstitusional dan politik, seperti dalam penetapan undang-undang,
peraturan, dan sejumlah petunjuk mengenai penataan pluralitas itu. Kedua,
membangun ketulusan pluralitas melalui penumbuhan kesadaran titik temu
(kalimatun sawa’) di tingkat esoterik agama-agama secara tulus (Harahap,
2011: 6).
Upaya untuk menumbuhkan titik temu antara agama-agama
mengharuskan masing-masing pemeluk agama untuk bisa bersikap moderat
dan menghindari ekstrimisme (Kasdi, 2019: 181). Peran tokoh agama, dalam
hal ini Kiai, tidak bisa dinafikan, karena merekalah yang telah banyak berjuang
mengajarkan moderatisme beragama dengan melandaskan pada sumber
ajaran Islam yang hakiki, al Quran dan Hadis, serta menanamkan sikap
moderat tersebut kepada para santri dan anak didiknya. Kiai Hasyim Asy’ari
adalah satu di antara kiai yang tidak hanya berperan dalam proses perintisan
kemerdekaan Indonesia saja, melainkan juga berkontribusi dalam
smenciptakan keharmonisan hidup beragama di Indonesia (Syihab, 1994: 8–
10).

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 312
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

Kiai Hasyim merupakan sosok penting yang berpengaruh bagi


masyarakat muslim Indonesia, minimal dikarenakan dua hal: Pertama, Kiai
Hasyim merupakan ulama yang secara konsisten mengusung paham
Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu paham keagamaan yang berpegang pada teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang Aqidah, mengacu pada empat
madzhab dalam bidang fiqh yakni Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali, serta berpedoman pada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-
Baghdadi dalam bidang Tasawuf. Paham Ahlussunnah wal Jamaah merupakan
paham yang dianut oleh mayoritas masyarakat muslim tidak hanya di
Indonesia saja, melainkan juga di seluruh dunia. Kiai Hasyim berusaha
mensosialisasikan paham tersebut, membuka cakrawala umat untuk tidak
memandang ajaran al Quran dan hadis secara kaku dan memahaminya secara
literal yang kemudian berdampak pada lahirnya sikap ekstrimisme beragama
dan klaim kebenaran sepihak. Kiai Hasyim menemukan urgensi pengajaran
paham Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia mengingat negara ini memiliki
banyak keragaman etnis, suku, agama, budaya, ras, dan sebagainya.
Keragaman yang dimiliki Indonesia yang merupakan pemberian Tuhan dapat
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa jika tidak dikelola dengan baik. Di
sini pulalah, Kiai Hasyim berperan menumbuhkan sikap toleransi dan saling
menghormati di antara umat beragama di Indonesia, dengan berpijak dari
sumber ajaran agamanya yakni al Quran dan Hadis.
Kedua, Kiai Hasyim merupakan pendiri organisasi sosial-keagamaan
terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU). Sejak berdirinya bahkan hingga
sekarang, NU merupakan salah satu organisasi yang memiliki paham
keagamaan yang moderat berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah. Melalui
organisasi yang didirikannya, Kiai Hasyim telah menyelamatkan bangsa dari
radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Pada saat yang sama, Kiai Hasyim
tidak pernah mempertentangkan antara keindonesiaan dengan keislaman. Di
samping itu, Kiai Hasyim juga telah menginspirasi banyak pihak agar berjuang
dalam ranah pendidikan umat, menjadikan Islam sebagai kekuatan
konstruktif, dan menanamkan paham Ahlussunnah wal Jamaah sebagai salah
satu pondasi untuk pengembangan umat yang toleran, moderat, dan adil tanpa
kehilangan identitas keislamannya (Misrawi, 2013: 5–13).
Berpijak pada uraian di atas, maka menguak gagasan dan ide Kiai
Hasyim Asy’ari dalam merajut persatuan dan membingkai moderasi beragama
berlandaskan al Quran dan Hadis di Indonesia menjadi penting. Pemikiran Kiai
Hasyim masih tetap relevan untuk dikaji mengingat kehidupan masyarakat

313 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

Indonesia hingga saat ini masih sering mempertentangkan antara agama dan
budaya. Demikian pula, adanya dikotomi antara Islam tradisionalis dan
modernis semakin memperlebar potensi perpecahan di kalangan internal umat
Islam yang harus segera dicarikan solusinya.

Metode
Kajian ini hendak mengurai gagasan dan ide Kiai Hasyim dalam merajut
persatuan dan membingkai moderasi beragama berlandaskan al Quran dan
Hadis di Indonesia. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dan
pengumpulan datanya menggunakan teknik dokumentasi untuk selanjutnya
dianalisis secara deskriptif-kritis. Dalam hal ini, pemikiran Kiai Hasyim terkait
moderasi beragama yang berpijak dari al-Qur’an dan Hadis akan
dideskripsikan secara utuh baik dari sumber primer ataupun sekunder, disertai
dengan analisis kritis terhadap pemikiran Kiai Hasyim tersebut.

Pembahasan

Mengenal Lebih Dekat Kiai Hasyim Asy’ari


Kiai Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa, 14 Februari 1871 di Desa
Gedang, Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Kiai Hasyim dilahirkan dari
keluarga religius dan merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara. Ayahnya,
Kiai Asy’ari, merupakan salah satu ulama kharismatik asal Demak, Jawa
Tengah. Ibunya bernama Halimah, seorang perempuan yang taat beribadah
dan rajin berpuasa selama tiga tahun berturut-turut. Kiai Hasyim berada di
kandungan ibunya selama 14 bulan, yang menurut masyarakat Jawa, ini
merupakan petanda bahwa kelak ia menjadi tokoh besar di kemudian hari
(Hadzik, 2000: 15).
Kiai Hasyim telah memperoleh pendidikan agama sejak kecil. Ia juga
telah terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, karena ayahnya merupakan
pendiri Pesantren Keras, dan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Usman, merupakan
pendiri Pesantren Gedang, Jombang. Ketika berusia 13 tahun, Kiai Hasyim
sudah dipercaya untuk mendidik para santri di Pesantren Keras yang didirikan
oleh ayahnya (Salam, 1966: 32–37).

Meski telah dipercaya untuk mengajar di pesantren ayahnya, namun hal


ini tidak menyurutkan niat Kiai Hasyim untuk terus menuntut ilmu. Ketika
berusia 15 tahun, ia pun memantapkan hati untuk melakukan pengembaraan
ilmiah dengan memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren, seperti

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 314
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

Pesantren Wonorejo Jombang, Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren


Langitan Tuban, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura, Pesantren
Trenggilis Semarang, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo.

Melihat kesantunan dan kematangan ilmu yang dimiliki Kiai Hasyim,


maka pengasuh Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Kiai Ya’qub, meminta Kiai
Hasyim menjadi menantunya. Pada tahun 1892, Kiai Hasyim menikah dengan
Nyai Khadijah, putri dari Kiai Ya’qub. Pada tahun ini pula, Kiai Hasyim
menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama kepada Syaikh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Mahfudh At-Tirmasi, keduanya
merupakan Ulama Nusantara yang mengajarkan ilmu agama di Masjid al
Haram, Makkah. Disamping juga belajar kepada Syaikh Said al Yamani, Sayyid
Sulthan Hasyim al Daghistani, Sayyid Abbas al Maliki, dan Syaikh Abu Bakar
Syatha al Dimyati (Burhanuddin, 2011: 324).

Ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari Kiai Hasyim adalah: Tauhid,


Tafsir, Fiqh dengan konsentrasi pada madzhab Syafi’i, Ulum al-Hadis, Tasawuf,
dan gramatika Arab seperti Nahwu, Sharaf, dan Balaghah. Menurut Zainul Milal
Bizawie, dari sekian banyak ilmu yang dipelajari, ia lebih banyak memusatkan
perhatian dan keahliannya pada hadis, yang dibuktikan dengan sanad
keilmuan yang dimiliki Kiai Hasyim yang tersambung pada ulama-ulama hadis
terkemuka seperti al-Bukhari dan Muslim (Bizawie, 2016b: 272).

Kompetensi ilmu agama yang dimiliki Kiai Hasyim menjadikannya


terpilih menjadi salah satu guru yang mengajar di Masjid al Haram. Kiai Hasyim
menetap di Makkah selama tujuh tahun. Pada tahun 1899, kiai Hasyim kembali
ke Indonesia dan mendirikan Pesantren Tebuireng. Pesantren ini tidak hanya
mengajarkan ilmu agama saja, melainkan juga ketrampilan hidup sehari-hari.
Sistem pendidikan yang diinisiasi oleh Kiai Hasyim adalah sistem pengajaran
sorogan atau bandongan. Sistem tersebut mengacu pada kitab yang diajarkan.
Jika kitab tersebut selesai dikhatamkan, santri dapat melanjutkan ke tingkatan
berikutnya (Misrawi, 2013: 66–67).
Pada tahun 1919, pesantren Tebuireng mulai menganut sistem
madrasah. Materi yang dikaji semakin meluas dengan adanya penambahan
ilmu-ilmu umum seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Geografi.
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1994: 82) perkembangan dan kemajuan
Pesantren Tebuireng menjadi salah satu lembaga pendidikan yang memiliki
pengaruh pada abad ke-20. Di samping mengasuh Pesantren, Kiai Hasyim juga
turut angkat senjata berjuang membela negara Indonesia dari cengkeraman

315 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

penjajah Jepang. Pada masa revolusi fisik tahun 1940, kiai Hasyim menyerukan
resolusi jihad untuk mengobarkan semangat para santri dan umat Islam dalam
berjuang melawan penjajah. Kiai Hasyim pernah ditangkap dan dipenjara oleh
Jepang pada tahun 1942 dan tidak lama kemudian ia dibebaskan kembali, dan
wafat di Tebuireng Jombang pada tanggal 25 Juli 1947 dalam usia 72 tahun.

Moderasi Pemikiran Keislaman ala Kiai Hasyim


Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari banyak tertuang dalam karya-karyanya,
antara lain: al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-‘Aqa’id, al-Risalah al-
Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah wa al-Jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawwuf, Adab
al-Alim wa al-Muta’allimin, Ziyadat al-Ta’liqat, al-Tanbihat Al-Wajibat, al-
Risalat al-Jami’at, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, dan lainnya.
Selain itu, pemikiran Kiai Hasyim juga dalam artikel dan kolom yang dimuat di
Majalah Nahdlatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdlotoel Oelama’.
Ahmad Baso (2017: 121) mengklasifikasikan pemikiran Kiai Hasyim ke
dalam lima kategori: Pertama, teologi. Kiai Hasyim menekankan pentingnya
Tawhid dalam kehidupan umat Islam. Ia memaknai Tawhid sebagai bentuk
pengakuan keimanan seseorang akan keesaan Tuhan, tidak menyekutukan-
Nya dan memohon sesuatu pertolongan hanya kepada-Nya (QS. Al-Fatihah: 5).
Kedua, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kiai Hasyim memegang teguh Hadis Nabi
Saw., dan menerima doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini dengan
mengikuti salah satu madzhab Sunni (Abu Musa al-Asy’ari dan Abu al-Hasan
al-Maturidi), serta menjaga kurikulum pesantren agar sesuai dengan prinsip-
prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti mengikuti ajaran nabi
Muhammad Saw. dan ujaran ulama. Ketiga, tasawwuf, pemikiran tasawwuf Kiai
Hasyim banyak dipengaruhi oleh al-Ghazali dan Abu al-Qasim Junaid al-
Baghdadi. Kiai Hasyim berusaha memperbaiki akhlak umat Islam dan
menyesuaikannya dengan ajaran Islam tanpa bertentangan dengan adat dan
budaya masyarakat Indonesia. Keempat, Fiqh, Kiai Hasyim mengikuti salah
satu dari mazhab empat yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Kelima,
pemikiran politik. Dalam berpolitik, Kiai Hasyim menyeru umat Islam untuk
bersatu, bahwa seluruh rakyat adalah sama di mata hukum, menunaikan hak
dan kewajiban masing-masing, menegakkan keadilan, dan mengutamakan
kepentingan rakyat.

Menariknya, kata sunnah dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam


pandangan Kiai Hasyim tidak terbatas hanya mengikuti sunnah Nabi Saw. dan
para sahabat saja, melainkan sunnah yang termasuk di dalamnya jalan para

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 316
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

ulama yang saleh (Asy'ari, 2011a: 6). Hal ini didasarkan Kiai Hasyim pada hadis
Nabi Saw., Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan para pemimpin
setelahku (Abu Dawud, 2005: 12: 211) (Al-Tirmizi, 2006: 9: 287). Adapun kata
jama’ah berarti kelompok atau komunitas yaitu, golongan yang mengikuti
sunnah Nabi Saw. Dengan demikian, makna Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
mengandung maksud mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Saw.,
para sahabat, serta mengikuti warisan para wali dan ulama (Solikhin, 2016:
348).

Secara spesifik, Salahuddin Wahid dalam Baso (2017: 139–142)


menguraikan bahwa konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam pandangan
Kiai Hasyim tidak terbatas pada fiqh saja, melainkan konsep itu meliputi
akidah, syariat, dan akhlak. Selain itu, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah juga
memiliki lima karakteristik: moderat (Tawassut) (Kasdi, Farida, & Mahfud,
2020: 57), toleran (Tasamuh), reformatif dan akomodatif (Islah), dinamis
(Tathawwur), dan metodologis (Manhaji).
Lima karakteristik ini salah satunya tercermin dalam pemikiran Kiai
Hasyim dalam menjaga kearifan Nusantara dengan pertimbangan demi
kebaikan umum (Maslahat). Dalam pandangan Kiai Hasyim, sikap yang tidak
akomodatif terhadap kearifan Nusantara dapat menghalangi jalannya proses
dakwah Islam. Di sini, tampak adanya kesamaan antara metode dakwah yang
ditempuh Kiai Hasyim dengan Walisanga. Kiai Hasyim berusaha mencari titik
temu antara Islam dan budaya, atau antara hukum syariat dengan hukum adat.
Seandainya hukum syari’at mengajarkan ajaran-ajaran normatif agama, maka
hukum adat mengajarkan bagaimana hukum agama itu dilaksanakan dalam
suasana rukun dan kondusif (Baso et.al, 2017: 18). Oleh karenanya, sikap
moderat dan toleran harus selalu dikedepankan termasuk dalam penggunaan
dalil, antara dalil yang bertumpu pada teks-teks agama (naqli) dan dalil yang
bertumpu pada rasio (aqli), antara pandangan fatalistik dan pendapat yang
mengkultuskan kemampuan manusia terutama dalam menghadapi perubahan
duniawi.

Moderat juga perlu diapikasikan dalam urusan terkait hukum Islam/


Fiqh sehingga akan membebaskan umat Islam dari ijtihad yang berlebihan dan
taklid buta. Di sini, Kiai Hasyim menyerukan pentingnya untuk bermazhab
yang bertujuan memudahkan umat Islam dalam memahami teks-teks agama
sehingga tidak menjadikan mereka dalam terjebak dalam pemahaman yang
literal. Terlebih mayoritas masyarakat Indonesia tidak begitu banyak yang
memahami secara baik kosakata dan makna dalam Bahasa Arab. Ciri

317 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

moderatisme pemikiran Kiai Hasyim tampak dalam ketegasan sikapnya dalam


memahami dalil-dalil yang pasti (qat’i) dan toleran terhadap dalil-dalil yang
zhanni. Termasuk juga moderat dalam menyikapi budaya, ialah
mempertahankan budaya lama yang masih baik dan menerima budaya baru
yang lebih baik (Solikhin, 2016: 349).
Kiai Hasyim dikenal sebagai ulama dan pendidik yang menanamkan
pendidikan karakter kepada para santri dan mengajarkan kemandirian kepada
mereka, tidak hanya dalam hal ekonomi dan politik, melainkan juga dalam
kebudayaan dan aktifitas ilmiah. Para santri diajari untuk mengenali diri dan
membekali diri dengan ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama, mereka juga
diajarkan untuk menanamkan kebanggaan terhadap tradisi bangsa Indonesia
yang tidak berseberangan dengan ajaran Islam, menekankan persatuan di
antara sesama bangsa Indonesia dengan tidak membedakan suku, ras, agama,
dan etnis. Pada saat yang sama, Kiai Hasyim juga mengajak para ulama menjadi
pelopor perdamaian jika ada perselisihan di antara rakyat Indonesia, bukan
justru malah memperkeruh perselisihan. Para ulama seharusnya mengajarkan
para santrinya untuk bisa berinteraksi secara harmonis di antara berbagai
komunitas masyarakat Indonesia (Asy’ari, 1946).

Ilmu pengetahuan bagi Kiai Hasyim seharusnya diabdikan bagi


kepentingan dan keselamatan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, ia
menghimbau komunitas Pesantren untuk mengajarkan santrinya
memaksimalkan serta memanfaatkan seluruh potensi ekonomi dan sumber
daya yang dimiliki oleh negara ini. Sehingga sangat wajar jika kemudian banyak
pesantren yang muncul berdekatan dengan lokasi sumber-sumber mata air
dan kekayaan alam (Baso et.al, 2017: 9–10).

Persatuan Keagamaan dan Kebangsaan sebagai Pondasi Moderatisme


Konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah ini selanjutnya dikembangkan oleh
Kiai Hasyim dalam organisasi Nahdlatoel Oelama (NU) yang didirikannya pada
31 Januari 1926. Setelah NU berdiri, posisi golongan pesantren tradisional
semakin menguat. Keinginan untuk mewujudkan negara Indonesia yang
merdeka dan damai menjadi salah satu tujuan didirikannya organisasi ini,
sebagaimana dinyatakan dalam Muktamar NU pada tahun 1936 di Banjarmasin
(Baso et.al, 2017: 45).

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 318
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

Kiai Hasyim menyadari bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang


damai diperlukan adanya persatuan, saling menghormati, dan menghargai,
persaudaraan, dan toleransi, sebagaimana yang diajarkan dalam QS. al-
Baqarah: 213, Al-Ma’idah, 8, al-Anbiya: 107, dan al-Syura: 15. Petunjuk al-
Quran inilah yang selanjutnya mendorong Kiai Hasyim untuk menegaskan
pentingnya menerapkan empat prinsip bermasyarakat yang harus dipedomani
oleh warga NU: Pertama, tawasuth dan itidal, yaitu sikap tengah yang berintikan
pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi moderatisme beragama,
menghindari segala bentuk rigiditas dan ekstrimisme dalam
mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, dan keharusan berlaku adil dan
lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.

Kedua, tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik


dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat cabang (furu’), atau
menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan
kebudayaan. Ketiga, Tawazun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmah.
Menyerasikan khidmah kepada Allah Swt., khidmah kepada sesama manusia,
serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu,
masa kini dan masa mendatang. Keempat, amar ma’ruf nahy munkar, yakni
selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan
bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak da mencegah semua hal
yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan (Asy’ari, 2011a:
115–116).

Dalam bukunya, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kiai Hasyim


kembali menuturkan pentingnya bersikap moderat dalam beragama. Ia tampak
tidak setuju dengan ajaran Wahabi yang melarang berziarah ke makam
Rasulullah Saw. Demikian pula, ia tidak sepakat dengan paham Syi’ah yang
terlalu mengkultuskan keluarga (Ahl al-Bait) Rasulullah Saw., dan pada saat
yang sama, mereka juga tidak segan mencela sahabat Rasulullah Saw. yang lain
(Asy’ari, 2011b: 12–22). Ini dikarenakan bagi Kiai Hasyim, menghormati dan
memuliakan keluarga Rasulullah Saw. sebagaimana dinyatakan dalam hadis-
hadis beliau tidaklah dilakukan dengan cara berlebihan mengkultuskan
mereka.

Kiai Hasyim juga mengajak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai maupun


norma-norma ajaran Islam, mendahulukan kepentingan bersama daripada
kepentingan pribadi, menjunjung tinggi sifat keikhlasan dalam berkhidmah
dan berjuang, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ulama, selalu siap
untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat

319 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

bagi kemaslahatan manusia, mengedepankan persatuan (Ittihad),


persaudaraan (Ukhuwwah), dan kasih sayang. Selain itu, Kiai Hasyim juga
menekankan pentingnya akhlak yang mulia, kejujuran dalam berfikir, bersikap
dan berperilaku, serta menanamkan kesetiaan atau loyalitas kepada agama,
bangsa, dan negara (Asy’ari, 2011a: 117–118).
Dari uraian tersebut, tampak pemikiran keagamaan dan kebangsaan
Kiai Hasyim yang sejatinya bertumpu pada sikap moderatisme. Dengan
berpijak dari al-Quran dan Hadis Nabi Saw., Kiai Hasyim menekankan
pentingnya persatuan, persaudaraan, dan toleransi. Selanjutnya, dengan
ketiga pilar ini, Kiai Hasyim berharap dapat melahirkan sikap-sikap
keberagamaan yang moderat, terutama dalam konteks negara yang menganut
kebinekaan dan demokrasi, maka sikap moderat menjadi suatu keniscayaan.
Persatuan dalam perspektif Kiai Hasyim dapat dibedakan menjadi dua
jenis: Pertama, persatuan keagamaan, yaitu persatuan yang dilandasi
kesamaan agama. Melalui organisasi yang didirikannya, Kiai Hasyim ingin
menghimpun dan membangkitkan para kiai/ulama yang selama ini berjuang
sendiri-sendiri. Karena perjuangan yang dilakukan secara terpisah rentan
dengan kekalahan dan mudah disulut perselisihan dan perpecahan. Ia
mengawali kebangkitan dari menghimpun para ulama, untuk kemudian diikuti
oleh kebangkitan umat dan masyarakat muslim. Ketika masyarakat muslim
bersatu maka akan menjadi kekuatan besar dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) (Nizar, n.d.: 67–68).

Meski banyak bergaul dengan para pemikir reformis tatkala menuntut


ilmu di Makkah, namun basis kultural dalam berdakwah tetap dipegangi oleh
Kiai Hasyim. Baginya, tradisi lokal yang telah ada dan berkembang dalam
komunitas masyarakat Indonesia tidak harus dihilangkan secara total
melainkan menjadikan tradisi tersebut sebagai salah satu media dakwah
dengan cara mengisi budaya tersebut dengan nilai-nilai keislaman dan
menginternalisasikannya. Demikian pula dengan tradisi pesantren yang telah
mapan digunakan Kiai Hasyim sebagai basis kultural medan dalam berdakwah.
Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim lebih mengedepankan persatuan
keagamaan dalam mengusung misi dakwahnya.
Jika dicermati, model dakwah Kiai Hasyim memiliki kemiripan dengan
cara dakwah para Walisanga tatkala mengenalkan Islam pertama kali kepada
masyarakat Indonesia (Kasdi, 2017: 15–19). Mereka tidak menghilangkan

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 320
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

lokalitas budaya Indonesia melainkan mengakomodirnya dengan


memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya (Farida, 2015: 143). Sikap permisif
dan akomodatif Walisanga yang diadopsi oleh Kiai Hasyim terhadap tradisi-
tradisi lokal inilah yang menjadikan dakwah Kiai Hasyim mudah diterima oleh
banyak kalangan masyarakat.
Kiai Hasyim mengembangkan Islam moderat yang bersifat kultural.
Sifat kultural ini bisa terbentuk karena penekanan Kiai Hasyim atas substansi
Islam. Budaya lokal diadaptasi secara selektif. Islam tidak hanya cocok diterima
dan dipeluk oleh orang Indonesia saja, tetapi juga pantas mewarnai budaya
Indonesia.

Kedua, persatuan kebangsaan, yaitu persatuan yang dilandasi dengan


kesamaan kebangsaan. Keislaman dan keindonesiaan merupakan dua hal yang
tidak bisa terpisah satu sama lain. Sejak masa perjuangan melawan penjajah,
para ulama dan santri bersama elemen bangsa yang lain turut aktif
memperjuangkan kemerdekaan.
Pemikiran Kiai Hasyim tentang persatuan kebangsaan
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Kiai Hasyim turut berjuang dalam
melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan, ketika Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo mengirimkan utusan yang menyampaikan saran
agar Kiai Hasyim mengungsi untuk menghindari serangan Jepang, maka Kiai
Hasyim menolak saran tersebut dan memilih untuk tetap berjuang dan
berperang bersama para santrinya yang belajar di Pesantren Tebuireng. Ini
merupakan wujud nyata dari implementasi pemikiran bahwa persatuan dalam
semangat nasionalisme yang diupayakan secara maksimal oleh Kiai Hasyim.

Mempertahankan negara dan mewujudkan persatuan kebangsaan


merupakan suatu keniscayaan. Indonesia adalah daerah Islam (Dar al-Islam)
karena itu mempertahankan NKRI merupakan perwujudan dari upaya umat
Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam (Bizawie, 2016b: 4). Status
Dar al-Islam ini tidak akan berubah menjadi Dar al-Harb apabila orang Islam
yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat
agamanya. Akan tetapi, jika negara tersebut dikuasai oleh pemimpin non-
Muslim dan menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya,
maka statusnya berubah menjadi Dar al-Harb. Senada dengan ini, Kacung
Marijan dalam tulisannya “Nasionalisme NU dan Politik Kebangsaan”
sebagaimana dikutip Bizawie (2016a: xxix-xxxi) mengungkapkan bahwa Kiai
Hasyim bersama para kiai dan santri yang terhimpun dalam NU memiliki peran

321 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

dan jasa besar dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari
perjuangan yang diperankan oleh para kiai NU generasi awal dalam mengusir
penjajah. Didirikannya NU selain untuk mempertahankan dan
mengembangkan tradisi atau paham Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, juga
penuh semangat kebangsaan. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika Kiai
Hasyim disebut sebagai tokoh penggerak nasionalisme. Ia menegaskan bahwa
persatuan keislaman harus bersinergi dengan persatuan kebangsaan. Rasa
kebangsaan Kiai Hasyim tumbuh dan dilandasi nilai-nilai keagamaan
pesantren. Inilah yang membedakan nasionalisme Kiai Hasyim dengan
nasionalisme sekuler.

Nasionalisme Kiai Hasyim terlihat nyata saat menyerukan Resolusi


Jihad pada pertempuran melawan penjajah pada 22 Oktober 1945. Perintah
untuk membela negara dari serangan penjajah dalam Resolusi tersebut berisi
tiga poin penting, yaitu: Pertama: bahwa kewajiban mempertahankan negara
bersifat fardlu ‘ain, yakni kewajiban setiap individu yang mampu (mukallaf)
untuk melaksanakannya. Kedua, perang melawan penjajah merupakan bentuk
perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah), dan oleh karena itu kaum muslim
yang gugur dalam peperangan tersebut masuk dalam kategori syahid. Ketiga,
siapapun yang mengkhianati dan menodai perjuangan kaum muslim dengan
mengadu domba, memecah-belah persatuan dan membantu penjajah, maka
hukumnya wajib untuk dibunuh.

Kiai Hasyim juga turun langsung memimpin pertempuran dengan


menjadi komandan spiritual laskar Hizbullah. Sejarah mencatat bahwa setelah
munculnya Resolusi Jihad, maka para kiai dan santri bergerak dan berjuangan
dalam pertempuran 10 November 1945 sekaligus merupakan momen
kekalahan pasukan sekutu yang tidak pernah diduga sebelumnya. Ini
dikarenakan, bagi Kiai Hasyim, mempertahankan NKRI dari segala ancaman
wajib dilakukan oleh kaum muslim, bukan semata-mata atas nama
nasionalisme semata, melainkan dalam rangka menjamin keamanan umat
Islam yang tinggal di negara tersebut untuk dapat menjalankan perintah
agamanya. Fatwa jihad Kiai Hasyim ini ditegaskan kembali dalam ceramahnya
yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekerto pada 26-29 Maret
1946.
Meskipun jasa dan perjuangan besar sudah dilakukan Kiai Hasyim dalam
mewujudkan Indonesia merdeka, nilai persatuan dan pertimbangan
kemaslahatan bangsa tetap dikedepankan. Hal ini ditunjukkan melalui

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 322
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

persetujuan Kiai Hasyim terkait bentuk negara Republik Indonesia yang tidak
didasarkan pada agama tertentu, yang dinilai oleh Lahiful Khuluq (1998: 41–
67), sebagai perilaku moderat dan toleransi yang tinggi.

Kontribusi Kiai Hasyim dalam Membangun Moderasi Beragama


Berlandaskan al-Qur’an dan Hadis
Usaha Kiai Hayim dalam menumbuhkan sikap moderatisme beragama,
bermula dari persatuan sebagaimana telah terurai di atas selanjutnya
dikembangkan menjadi persaudaraan. Kiai Hasyim (n.d.: 23-26) menjelaskan
dalam bukunya al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa
al-Ikhwan, bahwa kedudukan persaudaraan dalam Islam adalah penting karena
akan menjadi pondasi yang kokoh dalam tatanan sebuah masyarakat. Sebuah
masyarakat dan bangsa yang jaya tidak akan terbentuk apabila di dalamnya
tidak ada semangat kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong.
Bagi Kiai Hasyim, persaudaraan adalah landasan moderasi yang sangat
menghargai kemanusiaan. Pada saat yang sama, persaudaraan juga menjadi
basis demokrasi yang telah dikenalkan sejak awal perkembangan Islam.
Persaudaraan ini menjadi penting karena dengan adanya persaudaraan, maka
akan hilang kezaliman dan ketidakadilan dalam masyarakat (Khuluq, 2000:
45).

Landasan teologis Kiai Hasyim dalam membangun persaudaraan adalah


QS. al-Baqarah: 27; al-Nisa: 1; Muhammad: 22. Ia juga merujuk pada hadis-
hadis Rasulullah Saw. yang menegaskan pentingnya menyambung
persaudaraan dan silaturrahim, bahkan dimulai dari lingkungan keluarga. Jika
kultur persatuan dan persaudaraan dapat tumbuh dengan baik dalam
lingkungan keluarga, maka persaudaraan dalam konteks yang lebih luas akan
tercapai, baik dalam konteks internal agama maupun antaragama dalam
lingkup negara-bangsa. Oleh karenanya, menurut Zuhairi Misrawi (2013: 252–
253), nilai persatuan dan persaudaraan yang diajarkan Kiai Hasyim perlu untuk
dihidupkan kembali, terutama dalam konteks mendorong agar agama memiliki
korelasi positif dengan spirit kebangsaan dan keharmonisan. Agama harus
menjadikan seseorang semakin mengerti betapa pentingnya persatuan dan
persaudaraan sebagai salah satu prasyarat terciptanya ikatan-ikatan sosial
yang kuat, produktif, dan kreatif.

Bagai Kiai Hasyim oleransi juga merupakan sebuah keniscayaan bagi


masyarakat yang majemuk. Toleransi baik sebagai paham maupun sikap hidup

323 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

seharusnya memberikan nilai positif untuk kehidupan masyarakat yang saling


menghormati dan menghargai perbedaan agama dan keragaman tersebut.
Dalam pandangan Kiai Hasyim, toleransi menemukan relevansinya dalam
ajaran agama Islama sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Saw. dalam
hadis bahwa agama yang paling dicintai oleh Allah adalah agama yang lurus
dan toleran (Al-Bukhari, 2004: 1: 68). Demikian juga sesuai dengan QS. Al-
Hujurat: 13, al-Nahl: 125, Ali Imran: 200. Oleh karena itu, manusia sebagai
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain maka perlu
membangun toleransi untuk menghindari perpecahan.

Perjuangan untuk membangun toleransi sejatinya merupakan


perjuangan eksistensial. Ini dikarenakan apabila sebuah masyarakat semakin
toleran, maka akan memudahkan pembangunan masyarakat yang damai dan
maju. Sebaliknya, jika masyarakat tidak toleran, maka masyarakat rentan
mengalami perselisihan dan kemunduran. Kiai Hasyim menyadari bahwa
perbedaan pandangan keagamaan, khususnya masalah-masalah khilafiyah
dapat menimbulkan perpecahan dan menyebabkan hilangnya persaudaraan
dan toleransi. Perbedaan dalam ijtihad hukum Islam, sebagaimana
disampaikan ulama terdahulu, merupakan jembatan emas bagi siapapun yang
melaksanakannya. Jika benar, akan mendapatkan dua pahala, dan jika salah
pun, mendapatkan satu pahala.

Toleransi juga bermanfaat untuk mengubur berbagai kebencian dan


kecurigaan, terutama yang berbasis paham keagamaan. Di sini, semangat
kebangsaan dapat membangun sikap saling percaya diri, baik kelompok
mayoritas maupun minoritas. Apapun agama, paham keagamaan, dan
golongannya, mereka berada dalam satu payung bangsa (Misrawi, 2013: 263).

Perbedaan pemikiran keagamaan dalam masyarakat Indonesia memang


sesuatu yang niscaya tetapi tidak untuk saling menafikan. Sikap saling
menghormati dan toleransi perlu terus dikembangkan. Djaelani (1994: 93–94)
mencatat pidato Kiai Hasyim tentang pentingnya toleransi dan menjaga
persaudaraan sebagai berikut: “Wahai Ulama, jika engkau melihat orang
berbuat sesuatu berdasarkan kepada qaul para Imam yang boleh ditaklidi,
meskipun qaul itu tidak memiliki dasar argumen yang kuat, maka apabila
engkau tidak setuju maka janganlah engkau cerca mereka, tetapi berilah
petunjuk dengan lemah lembut! Dan jika mereka tidak mau mengikutimu,
janganlah mereka dimusuhi. Jika engkau berbuat demikian, maka samalah
engkau dengan orang yang membangun istana, dengan menghancurkan
terlebih dahulu sebuah kota. Janganlah engkau menjadikan semua hal itu

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 324
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

menjadi penyebab perpecahan, menjadikan umat bercerai-berai, saling


bertengkar dan bermusuhan. Padahal agama kita hanyalah satu belaka, yaitu
Islam!”

Bizawie (2016a: 201) menambahkan, bahwa pidato Kiai Hasyim ini


selanjutnya menuai respons positif dari para tokoh Islam seperti KH. Mas
Mansur (Muhammadiyah), KH. Wahab Hasbullah, W. Wondomiseno (PSII) dan
perwakilan organisasi Islam lainnya untuk membentuk sebuah wadah bersama
umat Islam Indonesia berupa federasi organisasi Islam di Hindia Belanda yang
dinamakan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).

Senada dengan pidato di atas, Syihab (1994) juga mendokumentasikan


statemen Kiai Hasyim yang meneguhkan pentingnya moderasi dan sikap saling
menghormati, “Bagaimana bisa umat Islam berpecah belah, sedang kitab
mereka al-Qur’an adalah satu, Nabi mereka Nabi Muhammad Saw. adalah satu,
kiblat mereka Ka’bah adalah satu. Tidak ada sesuatu yang patut dijadikan
alasan mereka berpecah-belah, apalagi sampai saling mengkafirkan satu sama
lain.”

Statemen Kiai Hasyim semakin meneguhkan bahwa persaudaraan dan


toleransi merupakan nilai yang seharusnya mendarah-daging dalam diri setiap
muslim (Asy’ari, 1996: 36–37). Keduanya merupakan sesuatu yang sangat
esensial karena akan menjadi prasyarat untuk membentuk masyarakat dan
bangsa yang kuat. Khazanah tersebut diharapkan dapat memperkuat bangunan
moderasi, yang pada akhirnya akan memperkuat bangunan mioderasi, yang
pada akhirnya akan memperkuat bangunan demokrasi di negara Indonesia ini
(Misrawi, 2013: 271).
Mukani (2018: 133) menyuguhkan salah satu bukti toleransi Kiai Hasyim
ketika berkenan dimintai tolong untuk mendoakan dan mengobati salah satu
pegawai Belanda yang notabene non-Muslim pada saat para dokter dan tabib
tradisional pada saat itu tidak mampu mengobati anak si pegawai tersebut. Kiai
Hasyim berkenan mengobati yang lambat laut menggerakkan hati si pegawai
beserta keluarganya untuk masuk Islam. Jadi, Kiai Hasyim telah meletakkan
dasar-dasar moderasi beragama tidak hanya terbatas dalam pemikiran
keagamaannya, tetapi juga mewujud dalam sikap keberagamaannya yang ia
terapkan dalam kehidupan kesehariannya juga melalui pendidikan keagamaan
di pesantren Tebuireng ataupun dalam organisasi massa NU yang didirikannya,
dimana pengikutnya hingga sekarang mempunyai komitmen yang kuat
terhadap toleransi.

325 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

Moderatisme Kiai Hasyim dalam pemikiran dan sikap keberagamaannya


memberikan inspirasi kepada para ulama dan tokoh Islam berikutnya untuk
berada dalam sikap pertengahan, seimbang, dan moderat. KH. Machfudz
Shiddiq misalnya, juga menekankan sikap moderat bahkan termasuk dalam hal
aqidah, yakni dengan menyeimbangkan penggunaan pemikiran rasional dan
dalil-dalil teks al-Qur’an dan Hadis. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan
menjaga keaslian doktrin Islam dari pengaruh-pengaruh luar—dan pada saat
yang sama—dengan menghindarkan diri secara gegabah dari mengklaim
saudara Muslim yang lain sebagai kafir. Bahkan sekalipun saudaranya itu
belum mampu memurnikan kepercayaan mereka (Shiddiq, 1979: 41)(Solikhin,
2016: 353).

Demikian pula dengan Nurcholis Madjid (2000: 602–604) yang


berpandangan bahwa moderatisme Kiai Hasyim lebih menunjukkan kepada
sebuah kesadaran di antara masyarakat muslim untuk menghormati eksistensi
masyarakat lain. Pemikiran Kiai Hasyim tentang moderasi beragama telah
mendorong masyarakat muslim untuk bersikap adil kepada masyarakat lain
atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Pemikiran Kiai Hasyim ini
sangat relevan untuk kembali dihidupkan terutama pada masa sekarang
dimana Indonesia sering kali dihadapkan pada konflik antar umat beragama.

Simpulan
Kiai Hasyim yang dikenal sebagai pengasuh Pesantren Tebuireng dan
pendiri organisasi Nahdlatul Ulama telah mengabdikan dirinya untuk
kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. Ia merupakan pendidik dan
pendakwah Islam yang terkenal dengan kelembutan dan kesantunannya. Ia
tidak mempertentangkan antara ajaran Islam dengan budaya masyarakat
Indonesia. Ia juga berperan aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dengan turut angkat senjata bersama para santrinya dan
menyerukan revolusi jihad melawan imperialisme Belanda dan Jepang.

Kontribusi Kiai Hasyim tidak hanya tampak sebagai pelopor perdamaian


dan penjaga kearifan Nusantara saja, melainkan juga gigih menyerukan
moderasi beragama. Terlebih Indonesia sebagai negara majemuk dan beragam
agama yang berbeda menjadikan sikap moderat antara masing-masing
pemeluk agama menjadi suatu keniscayaan. Kiai Hasyim melandaskan
pentingnya moderasi beragama dari al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw., dan
menjadikan tiga hal yakni persatuan, persaudaraan, dan toleransi sebagai pilar

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 326
Kontribusi dan Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam Membingkai Moderasi Beragama ...

moderasi beragama yang perlu dikembangkan dalam merawat kemajemukan


bangsa Indonesia.

Referensi
Abu Dawud, S. ibn al-A. (2005). Sunan. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Bukhari, M. I. B. (2004). Shahih al-Bukhari. Cairo: Dar al-Hadits.
Al-Tirmizi, A. I. M. ibn I. (2006). Sunan. Beirut: Dar al-Fikr.
Asy’ari, H. (1996). Al-Tanbihat wal Wajibat. Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami.
Asy’ari, H. (1946). Naskah Pidato dalam Muktamar Masyumi pertama di Solo pada 13
Februari 1946. Retrieved from https://www.nu.or.id/post/read/104232/pidato-
lengkap-kh-hasyim-asyari-tentang-ideologi-politik-islam
Asy’ari, H. (2011a). Qanun Asasi. Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami.
Asy’ari, H. (2011b). Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Jakarta: LTN PBNU.
Asy’ari, H. (n.d.). Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-
Ikhwan, Jombang: Maktabah al-Turas al-Islami.
Baso et.al, A. (2017). KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kiyai untuk Negeri.
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Bizawie, Z. M. (2016a). Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan
Menegakkan Indonesia. Jakarta: Pustaka Compass.
Bizawie, Z. M. (2016b). Masterpiece Islam Nusantara; Sanad dan Jejaring Ulama-
Santri 1830-1945. Jakarta: Pustaka Compass.
Burhanuddin, J. (2011). Ulama dan Kekuasaan. Bandung: Mizan.
Dhofier, Z. (1994). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Djaelani, A. Q. (1994). Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di
Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.
Farida, U. (2015). Islam Pribumi dan Islam Puritan: Ikhtiar Menemukan Wajah Islam
Indonesia Berdasar Proses Dialektika Pemeluknya dengan Tradisi Lokal. Jurnal
Fikrah, 3(1), 141–156.
Hadzik, I. (2000). KH. Hasyim Asy’ari: Figur Ulama dan Pejuang Sejati. Surabaya:
Litera Perkasa.
Harahap, S. (2011). Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada Media.
Kasdi, A. (2017). The Role of Walisongo in Developing Islam Nusantara Civilization.
Jurnal Addin, 11(1), 1–26. https://doi.org/10.21043/addin.v11i1.1973
Kasdi, A. (2019). Wasathiyyah Islam as The Road to Moderatism in Indonesia. Al-
Albab, 8(2), 179–192. https://doi.org/10.24260/alalbab.v8i2.1356

327 Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020
Umma Farida

Kasdi, A., Farida, U., & Mahfud, C. (2020). Islamic Studies and Local Wisdom at PTKIN
in Central Java: Opportunities, Challenges, and Prospects of Pioneering Religious
Moderation in Indonesia. Hikmatuna, 6(1), 51–62.
https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v6i1.2618
Khuluq, L. (1998). KH. Hasyim Asy’ari Contribution to Indonesian Independence.
Jurnal Studia Islamica, (1), 41–67.
Khuluq, L. (2000). Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta:
LKiS.
Madjid, N. (2000). Islam, Doktrin dan Peradaban (IV). Jakarta: Paramadina.
Misrawi, Z. (2013). Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas.
Mukani. (2018). Toleransi Perspektif KH. M. Hasyim Asy’ari dan Peran Pendidikan
Islam Sebagai Upaya Deradikalisasi di Indonesia. Jurnal Al-Murabbi, 4(2), 121–
142.
Nizar, M. C. (n.d.). Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan. Endogami: Jurnal
Ilmiah Kajian Antropologi, 63–74.
Salam, S. (1966). KH. Hasyim Asy’ari Ulama Besar Indonesia. Jakarta: Jaya Murni.
Shiddiq, M. (1979). Ijtihad dan Taqlid dalam Ahlussunnah Waljama’ah. Surabaya: LP.
Ma’arif Jawa Timur.
Solikhin, M. (2016). Gerakan Pemikiran dan Peran Tiga Ulama NU dalam Menegakkan
Ahl Al-Sunnah Wal-Jamā’ah Al-Nahḍiyyah Di Jawa Tahun 1926–1971: Kajian
Terhadap Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari, K.H.R. Asnawi, K.H. Wahhab Hasbullah.
Jurnal Theologia, 27(2), 331–364.
Syihab, M. A. (1994). Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari: Perintis
Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 8 Nomor 2 2020 328

You might also like