Refrensi Artikel 3
Refrensi Artikel 3
Refrensi Artikel 3
Disusun Oleh:
I GUSTI NGURAH RAI ARI YUDHA
D1215026
Abstract
Merantau (leaving the hometown) is a common thing to obtain the better
life, and it also applies to the students who leave their hometown to other cities
for better education. Yogyakarta has many higher educational institutions with
high quality, and it is famously known as the City of Students. Every year, many
prospective students from many other cities including Bali leaves their hometown
to study in Yogyakarta. Bringing the local custom and culture to other cities as
well as adapting with the new custom and culture can bring out the
communication barriers, and it also applies to the students from Bali who live in
Yogyakarta.
The issues that are explored in this research include (1) What are the
underlying factors that bring out the communication barriers among the students
from Bali in the city of Yogyakarta? (2) How these communication barriers can
be overcame by the students from Bali in the city of Yogyakarta?
The researcher conducted interview to obtain the information in the
written form. The determination of population of this research was based on the
availability of information, in which the researcher started with the smaller
population and then involving larger population to obtain more complete
information. The participants of research were the students from Bali who took
part in a Balinese youth organization, namely Yogyakarta branch of the Hindu
Dharma Students Association of Indonesia (KMHDI / Kesatuan Mahasiswa
Hindu Dharma Indonesia – cabang Yogyakarta) and students activity units of
KMHD (Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma) in their respective universities. In
order to limit and specifying the participants, the researchers only involved the
third-year students who live in dormitories and previously never temporarily
stayed in Yogyakarta.
Based on the results of interview, the researcher found that some findings
indicate that the students from Bali experience communication barriers including
communication difficulties, feeling alienated, feeling uncomfortable, and anxious.
Key words: Students, Perantauan (individuals who leave their hometown to
other cities or countries), Students from Bali, Intercultural
Communication, Communication Barrier, Yogyakarta
1
Pendahuluan
2
Alasan peneliti memilih kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena
seperti yang sudah dijelaskan di uaraian diatas, kota Yogyakarta terkenal oleh
khalayak umum dengan sebutan kota pelajar dan juga budaya Jawa yang sangat
kental. Berdasarkan data Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada tahun 2015, kota yang
setiap tahunnya 'diserbu' oleh para pelajar untuk menempuh pendidikan perguruan
tinggi ini terdapat sekitar 394.117 jumlah kumulatif mahasiswanya, sedangkan
untuk jumlah mahasiswa perantauan asal Bali sendiri berjumlah 2.792 mahasiswa.
Dari uraian-uraian diatas, hambatan komunikasi yang
terjadi pada mahasiswa perantauan asal Bali di kota Yogyakarta ternyata sangat
menarik untuk diamati dan diteliti lebih intensif guna mendapatkan suatu temuan
sosial yang bermanfaat. Tulisan ini bertujuan untuk dapat memberikan
gambaran tentang hambatan komunikasi mengenai penyebab yang
melatarbelakangi, dan cara mengatasi hambatan komunikasi yang
terjadi pada mahasiswa perantauan asal Bali di kota Yogyakarta.
Rumusan Masalah
Tinjauan Pustaka
3
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Lalu juga
komunikasi antar budaya sebagai human flow across national boundaries,
komunikasi antar budaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang
yang berbeda budayanya, dan komunikasi antar budaya adalah proses
negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku
manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai
kelompok.
2. Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi pada awalnya disebut sebagai etnografi wicara
atau etnografi pertuturan (ethnography of speaking). Kalau etnografi
dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, maka
dalam etnografi komunikasi difokuskan kepada bahasa masyarakat atau
kelompok masyarakat (Sumarsono, 2002:309). Istilah Ethnography of
speaking pada awalnya dimunculkan oleh Dell Hymes (1972), seorang
antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika.
Menurut Hymes untuk mengaji etnografi wicara perlu memahami
beberapa konsep penting yang terkait, yakni tata cara bertutur (ways of
speaking) adalah mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam
masyarakat tutur (speech community). Di dalam masyarakat tutur terkandung
pola-pola kegiatan tutur yang juga menggambarkan kompetensi komunikatif
seseorang. Tata cara bertutur mengacu kepada hubungan antara peristiwa
tutur, tindak tutur dan gaya. Lalu guyup tutur atau masyarakat tutur (speech
community) adalah Masyarakat tutur atau guyup tutur (speech community)
oleh John Lyons (1970) diartikan sebagai semua orang yang memakai suatu
bahasa atau dialek tertentu. Adapun Charles Hockett (1958) menyatakan
bahwa tiap bahasa menentukan guyup tutur; dan guyup tutur diartikan sebagai
keseluruhan orang yang saling berkomunikasi, langsung atau tidak langsung
melalui bahasa.
4
3. Hambatan Komunikasi (Noise)
Di dalam proses komunikasi biasanya terdapat hambatan. Hal ini
menyebabkan proses penyampaian pesan tidak berjalan dengan baik dan efektif.
Sehingga pesan yang ingin disampaikan komunikator tidak diterima dengan baik
oleh komunikan. Hambatan yang ada dalam proses komunikasi biasanya
menimbulkan salah pengertian antara komunikator dengan komunikannya atau
biasa disebut miscommunication.
Menurut Effendi (2000 : 11) menjelaskan tentang hambatan-hambatan
yang mungkin muncul dalam proses komunikasi. Hambatan-hambatan tersebut
meliputi hambatan sosiologis yang mempunyai arti hambatan yang terjadi
menyangkut status sosial atau hubungan seseorang, hambatan antropologis yang
mempunyai arti hambatan yang terjadi karena budaya yang dibawa seseorang saat
berkomunikasi dengan orang lain berbeda dengan budaya yang dibawanya, dan
hambatan psikologis yang sering menjadi hambatan dalam proses komunikasi.
Komunikasi sangat sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung,
marah, kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya.
Lalu juga faktor hambatan semantik yaitu faktor hambatan berkomunikasi
yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan oleh komunikator sebagai
‘alat’ untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada komunikan, faktor
hambatan mekanis yang sering dijumpai pada media yang dipergunakan dalam
melancarkan komunikasi. dan faktor hambatan ekologis adalah disebabkan oleh
gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya
dari lingkungan.
Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di kota Yogyakarta pada mahasiswa dan mahasiswi
perantauan asal Bali yang mengikuti organisasi kepemudaan Bali yaitu KMHDI
(Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) cabang Yogyakarta atau
mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (UKM
KMHD) di universitas masing-masing. Sampel penelitian ini menggunakan
purposive sampling lalu didukung dengan menggunakan teknik snowball
5
sampling yang berjumlah 6 orang yang terdiri dari 3 orang dari anggota KMHDI
dan 3 orang dari UKM KMHD dari universitas masing-masing. Dalam
pengumpulan data menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur, yaitu
wawancara yang bebas dan terbuka namun mendalam, dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan data. Adapun teknik yang digunakan dalam
pemeriksaan validitas data yaitu menggunanakan triangulasi data atau sumber
data. Triangulasi data atau sumber data dimaksudkan agar dalam pengumpulan
data peneliti menggunakan banyak sumber data.
6
seenaknya apa yang biasa dilakukan untuk menjaga keefektifan dalam
berinteraksi sehingga dalam menyesuaikan diri bisa mendapatan gambaran
tentang dirinya dan bagaimana untuk bergaul di situasi tertentu.
Dalam penyesuaian diri di dalam lingkungan baru dalam hal ini
mahasiswa perantauan merasakan kegelisahan akibat dampak dari hambatan
komunikasi. Kegelisahan itu muncul disebabkan karena kurangnya
pengetahuan tentang perilaku atau kebiasaan, permasalahan bahasa yang tidak
kenal, dan adaptasi yang sulit terhadap satu lingkungan yang baru.
Faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi timbulnya hambatan
komunikasi yang dialami mahasiwa perantauan asal Bali seperti:
a. Faktor Internal
a) Gelisah
Mahasiswa perantauan asal Bali mengalami perasaan gelisah pada
masa awal kedatangan mereka di kota Yogyakarta. Hal itu ditunjukan
dengan pernyataan dari informan penelitan ini bahwa mereka gelisah
akan hal baru yang mereka temui di lingkungan barunya. Perasaan
gelisah yang mereka hadapi menandakan bahwa mahasiswa perantauan
asal Bali terlibat dalam lingkungan yang baru.
AUM merupakan sebuah teori yang berbicara mengenai
keefektifan komunikasi antar budaya. Teori tersebut mengatakan bahwa
dasar untuk dapat mencapai komunikasi secara efektif dengan orang
asing (stranger) atau orang yang berbeda budaya adalah kemampuan
untuk mengontrol perasaan ketidaknyamanan (anxiety) dan
ketidakpastian (uncertainty).
Faktor psikologis sering menjadi hambatan dalam proses
komunikasi. Hal ini umumnya disebabkan oleh komunikator sebelum
melakukan proses komunikasi tidak melihat kondisi komunikannya.
Komunikasi sangat sulit untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih,
bingung, marah, kecewa, merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya.
Komunikasi juga tidak akan berjalan lancar kalau didalam diri
komunikan sudah meneruh prasangka (prejudice) kepada komunikator.
7
Adanya gangguan atau hambatan komunikasi secara psikologis
mengalami perasaan khawatir dan gelisah takut akan dipandang aneh saat
berinteraksi. Pikiran negatif tersebut mempengaruhi adanya
ketidakpastian apa yang terjadi saat mahasiswa perantauan asal Bali
berinteraksi, namun adanya keberanian untuk mencoba sehingga mampu
untuk mengontrol perasaan khawatir dan gelisah tersebut.
b. Faktor Eksternal
a) Merasa Asing
Mahasiswa perantauan asal Bali cenderung mengalami perasaan
asing pada masa awal kedatangan mereka di kota Yogyakarta. Hal itu
ditunjukan dengan pernyataan dari informan penelitan ini bahwa mereka
merasa asing, bingung, dan tidak menduga akan hal baru yang mereka
temui di lingkungan barunya. Perasaan asing yang mereka hadapi
menandakan bahwa mahasiswa perantauan asal Bali terlibat dalam
budaya yang baru.
Perasaan keterasingan dalam perbedaan lingkungan secara fisik,
misalnya perbedaan cuaca, iklim, perbedaan letak wilayah yang
dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal Bali adalah hal yang wajar.
Penyebab geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan
maka hal ini dapat berpengaruh secara langsung terhadap kondisi mental
individu dalam mempelajari lingkungan baru tersebut yang tentunya jauh
berbeda dengan tempat tinggal semula sebagai proses penyesuaian secara
fisik.
b) Merasa Kaget
Mahasiswa perantauan asal Bali juga mengalami perasaan kaget
pada masa awal kedatangan mereka di kota Yogyakarta. Hal itu
ditunjukan dengan pernyataan dari informan penelitan ini bahwa mereka
kaget, dan tidak menduga akan hal baru yang mereka temui di
lingkungan barunya. Perasaan kaget yang mereka hadapi menandakan
bahwa mahasiswa perantauan asal Bali terlibat dalam lingkungan yang
baru.
8
Dalam hal ini mahasiswa perantauan asal Bali mengalami
hambatan komunikasi secara ekologis. Hambatan ekologis disebabkan
oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi,
jadi datangnya dari lingkungan (Effendy, 2000 : 13). Merasa lingkungan
sekitar yang kotor membuat komunikasi menjadi tidak nyaman. Situasi
komunikasi yang tidak menyenangkan ini dapat diatasi dengan
menghindarkan jauh sebelum atau dengan mengatasinya pada saat ia
sedang berkomunikasi. Untuk menghindarkannya harus mengusahakan
tempat komunikasi yang bebas dari lingkungan tersebut.
Beraneka ragam pada lingkungan baru di tempat mahasiswa
perantauan asal Bali salah satunya penilaian pertama terhadap kondisi
lingkungan. Mahasiswa perantauan asal Bali dihadapkan pada realitas
yang berbeda dengan lingkungan yang mereka miliki di daerah asalnya
sehingga merasa kaget dengan keadaan lingkungan yang membuat
adanya penilaian negatif yang berkaitan dengan penilaian terhadap
masyarakat lokal.
c) Merasa Tidak Nyaman
Kenyamanan adalah suatu kondisi perasaan seseorang yang merasa
nyaman berdasarkan persepsi masing-masing individu. Sedangkan
nyaman merupakan suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar
manusia yang bersifat individual akibat beberapa seperti faktor kondisi
lingkungan, kebiasaan, dan budaya. Keterkaitan dengan rasa nyaman,
salah satunya adalah kenyamanan sosial kultural.
Ketika seseorang tidak merasa nyaman di lingkungan baru, itu
berarti ada kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi atau kondisi yang
tidak sesuai perkiraan. Dalam hal ini mahasiswa perantauan asal Bali
mengalami kondisi merasa tidak nyaman akibat dampak hambatan
komunikasi di kota Yogyakarta.
1. Faktor Bahasa
Pada dasarnya bahasa merupakan sejumlah simbol atau
tanda yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk
menghasilkan arti. Bahasa benar-benar merupakan inti interaksi
9
manusia. Bahasa merupakan aspek yang penting dalam komunikasi
antar budaya. Melalui bahasa seseorang belajar nilai dan perilaku
budayanya. Bahasa juga berperan penting dalam komunikasi pada
umumnya yaitu secara langsung menyatakan atau bertukar pemikiran
atau pandangan mengenai orang lain. Budaya juga ditandai oleh
sejumlah variasi bahasa lain, beberapa variasi tersebut adalah (1)
aksen, (2) dialek, (3) argot, (4) slang.
Faktor semantik adalah faktor hambatan berkomunikasi
yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan oleh komunikator
sebagai “alat“ untuk menyalurkan pikiran dan perasaannya kepada
komunikan. Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator
harus benar-benar memperhatikan gangguan semantik ini, sebab
salah ucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian
(misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang pada
gilirannya dapat menimbulkan salah komunikasi
(miscommunication).
Bahasa adalah salah satu kendala dalam berinteraksi
dengan masyarakat lokal kota Yogyakarta. Komunikasi adalah hal
terpenting dalam berinteraksi, ketika masyarakat tuan rumah
menggunakan bahasa daerah mereka saat berkomunikasi dengan
mahasiswa perantauan daerah lain yang notabene tidak mengerti
bahasa daerah tuan rumah maka komunikasi tersebut menjadi noise,
sehingga menimbulkan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh
mahasiswa perantauan asal Bali. Dalam hal ini mahasiswa
perantauan asal Bali masuk ke dalam dimensi cognitive, yaitu
adanya pandangan negatif dan kesulitan berbahasa saat berinteraksi.
2. Faktor Kebiasaan
Tidak hanya faktor bahasa dalam hal ketidaknyamanan, ada
juga faktor kebiasaan masyarakat lokal setempat yang
mempengaruhi. Budaya di dalam daerah rantauan memiliki ciri khas
masing-masing yang jika dimasuki oleh seseorang dari daerah lain
maka orang tersebut akan mengalami kekagetan di budaya baru itu.
10
Dalam hal ini mahasiswa perantauan asal Bali mengalami
hambatan antropologis di dalam karakter budaya nilai dan norma
mengenai apa yang pantas dilakukan atau tidak boleh oleh suatu
budaya, yang mana bisa menjadi kebalikan dari budaya yang lain
yaitu tentang norma dalam menjemur pakaian. Budaya di lingkungan
baru yang sangat kontras dengan budaya asal menjadi kebalikan
dimana budaya menjemur pakaian di lingkungan baru dirasa kurang
sopan bagi informan yang menjadikan adanya rasa
ketidaknyamanan.
Lalu juga mengalami hambatan etnosentrisme.
Etnosentrisme merupakan pandangan yang menganggap bahwa
budaya yang dimilikinya lebih unggul di banding budaya lain.
Dalam hal ini informan tersebut merasa budaya dalam menjemur
pakaian dari budaya asalnya lebih baik dari budaya baru yang
ditempati karena dianggap kurang sopan.
Mahasiswa perantauan asal Bali selalu membawa budaya
kebiasaan kesopanan mereka karena menyangkut tradisi yang kental
bernafaskan agama. Dalam hal ini mahasiswa perantauan asal Bali
juga tidak bisa memberitahu dan melarang apa yang sudah jadi
kebiasaan dan sewajarnya ketidaknyamanan itu membuat informan
diatas lebih memilih untuk menghindari lingkungan itu karena tidak
ada cara untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut.
3. Faktor Makanan
Lalu juga ada faktor makanan menjadi kendala dalam
kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa perantauan. Makanan
adalah salah satu kebutuhan primer manusia namun seperti yang kita
tahu bahwa setiap daerah pasti memiliki rasa khas masing-masing
tetapi tidak semua orang menyukai, karena setiap individu secara
alamiah memiliki selera masing-masing dan indera pengecap mereka
sudah beradaptasi dengan rasa masakan khas budaya mereka
sebelumnya.
11
Dalam hal ini mahasiswa perantauan asal Bali juga
mengalami hambatan komunikasi secara antropologis dalam
karakteristik budaya makanan. Perbedaan rasa menu makanan di
lingkungan baru membuat para informan mengalami hambatan
komunikasi.
Makanan adalah pokok terpenting dalam tubuh manusia.
Jika rasa makanan tersebut dirasa tidak cocok maka akan
mempengaruhi pola makan, dan jika pola makan mengalami
gangguan maka akan mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari
sebagai mahasiswa perantauan yang memiliki kegiatan yang cukup
padat. Dalam hal ini perbedaan rasa makanan cukup sederhana
namun terasa kontras jika dirasakan oleh indera pengecap.
4. Faktor Perbedaan Agama dan Suku
Faktor yang selanjutnya adalah faktor perbedaan budaya
agama dan suku. Negara Indonesia adalah Negara dengan jumlah
penduduk mayoritas beragama Islam dan terbanyak di dunia, dan
pulau Jawa adalah pulau dengan jumlah penduduk terpadat se-
Indonesia. Kota Yogyakarta adalah salah satu kota yang terdapat di
pulau Jawa yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Sudah
hal biasa menjadi suatu budaya masyarakat kota Yogyakarta dalam
keseharian menjalankan ibadah 5 waktu yang baru diketahui oleh
mahasiswa perantauan asal Bali sehingga mengalami kekagetan.
Perbedaan Agama dan suku adalah salah satu penghambat
sebagai seorang perantauan dalam menyesuaikan diri di lingkungan
baru. Seorang perantauan mengalami sedikit ketidaknyamanan
ditambah dengan kadar yang sangatlah kecil sehingga adanya
kecemasan tersendiri terhadap perbedaan dalam hal yang bersifat
sensitif.
Mahasiswa perantauan asal Bali merasakan tidak menduga
akan budaya baru ini yang sebelumnya di daerah asal mereka tidak
merasakannya. Agama Islam salah satu agama minoritas di Bali
sehingga sangat jarang terdapat Masjid yang mungkin sangat sedikit
12
masyarakat Bali mendengar Adzan Subuh. Secara kodrat kalangan
minoritas merasakan efek dari budaya kalangan mayoritas. Dalam
hal ini mahasiswa perantauan asal Bali berada dalam lingkungan
baru yang berbeda budaya dengannya sebagai adaptasi dengan
kebiasaan dan kebudayaan ditempat perantauan.
5. Faktor Penilaian Masyarakat
Stereotip merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan
yang secara mental mengatur pengalaman seseorang dan
mengarahkan sikap seseorang dalam menghadapi orang-orang
tertentu. Stereotip cenderung untuk menyamaratakan ciri-ciri
sekelompok orang. Stereotip dapat bersifat positif ataupun negatif.
Stereotip yang merujuk sekelompok orang sebagai orang malas,
kasar, jahat atau bodoh jelas-jelas merupakan stereotip negatif.
Dalam hal ini, mahasiswa perantauan asal Bali juga
mengalami hambatan komunikasi secara atropologis dalam
karakteristik budaya kepercayaan dan sikap. Karena kepercayaan
menimbulkan sesuatu yang bernilai, dimana informan sebagai
mahasiswa yang perlu belajar tersebut merasa tidak mendapatkan
kepercayaan dalam mencoba hal baru dan mengalami hambatan
komunikasi.
13
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai
keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan.
Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak pernah tercapai.
Penyesuaian yang terjadi jika manusia/individu selalu dalam keadaan
seimbang antara dirnya dengan lingkungannya dimana tidak ada lagi
kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan dimana semua fungsi
organisme/individu berjalan normal.
Respons penyesuaian, baik atau buruk, secara sederhana dapat
dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi
ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi keseimbangan sutau
proses kearah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dan tuntutan
eksternal.
Tidak semua orang berhasil mengatasi hambatan komunikasi namun
bukan berarti tidak cara untuk mengatasinya.
a. Mempersiapkan Mental
Ketika masuk ke dalam lingkungan baru yang berbeda dengan
lingkungan asal perlu adanya mental saat menghadapi sesuatu yang baru
seperti budaya setempat maupun saat berinteraksi dengan masyarakat lokal
untuk mengurangi dampak dari hambatan komunikasi.
b. Memiliki Keterbukaan Hati dan Pikiran
Dalam efektivitas komunikasi interpersonal, dimulai dengan lima
kualitas umum, salah satunya adalah keterbukaan (openness). Kualitas
keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka
kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang
harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya.
Keterbukaan hati dan pikiran adalah cara adaptasi untuk menerima
segala keadaan di lingkungan baru tersebut dari segi budaya maupun saat
berinteraksi dengan masyarakat lokal sehingga dapat menyesuaikan dengan
lingkungan tersebut.
14
c. Berpikir dan Berperilaku Positif
Dalam efektivitas komunikasi interpersonal, hal ini terdapat di point
sikap positif (positiveness). Setiap individu mengkomunikasikan sikap positif
dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan
sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita
berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika
seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua,
perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting
untuk interaksi yang efektif.
Di lingkungan baru sebagai perantauan perlu adanya pikiran positif
agar dalam beradaptasi dapat menghasilkan kenyamanan serta berperilaku
positif ketika berinteraksi maupun menanggapi sesuatu di lingkungan baru
tersebut agar tidak merugikan masyarakat setempat serta menciptakan
kehangatan dalam berinteraksi.
d. Tidak Melupakan Rencana dan Tujuan Awal untuk Merantau
Sebagai seorang perantau perlu selalu memegang rencana dan tujuan
mereka untuk merantau. Ketika merantau, saat jauh dengan keluarga maupun
lingkungan asal sebelumnya, mental perantau diuji untuk menciptakan
pribadi yang bertanggungjawab dan dapat mencapai pengalaman yang
diinginkan dengan berhasil.
Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya
juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali
menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam dua budaya tersebut, seseorang
akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, karena telah
sukses mempelajari budaya baru tersebut namun beberapa nilai-nilai budaya
sebelumnya terlupakan.
Kesimpulan
Berdasarkan data dan analisis seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
maka penelitian ini menarik kesimpulan yaitu seperti faktor-faktor penyebab yang
melatarbelakangi proses terjadinya hambatan komunikasi pada mahasiswa
15
perantauan asal Bali di kota Yogyakarta dikarenakan memasuki lingkungan baru
dimana mahasiswa perantauan asal Bali merasa adanya perbedaan bahasa, struktur
ekonomi, struktur sosial, agama, norma-norma, gaya interaksi sosial dan cara
pemikiran, serta sejarah lokal dengan harapan bisa beradaptasi menyesuaikan diri
terhadap lingkungan barunya tersebut. Lalu hal yang dirasakan mahasiswa
perantauan asal Bali di kota Yogyakarta akibat terjadinya hambatan komunikasi
dikarenakan merasa kaget, tidak nyaman dan gelisah sehingga merasakan
ketidaknyamanan.
Dan juga cara yang dilakukan mahasiswa perantauan asal Bali di kota
Yogyakarta untuk mengatasi hambatan komunikasi tersebut adalah dengan
memiliki mental yang disiapkan untuk menghadapi hambatan komunikasi,
membuka hati dan pikiran sehingga adanya rasa kenyamanan yang diinginkan dan
juga selalu berperilaku dan berpikir positif.
Daftar Pustaka
16