4 PB

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal

Volume 2 (1), 2020, 43-48


________________________________________________________________

Profil Pemberian Informasi Obat Terhadap Pasien dengan Resep


Antidiabetes di Apotek Tangerang Selatan
Nelly Suryani1, Yardi Saibi1*, Vidia Arlaini Anwar2
1Program studi Farmasi FIKES UIN Syarif Hidayatullah, Jalan Kertamukti No.5 Pisangan, Ciputat, Jakarta
2Akademi Farmasi IKIFA, Jl. Buaran 2 No.30 A, RW.13, Klender, Kec. Duren Sawit, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus

Ibukota Jakarta 13470

*Corresponding author: [email protected]

Diterima: 12 April 2020; Disetujui: 14 Juli 2020

Abstract: Providing drug information is very important to be conducted by pharmacists for patients who redeem drugs at
their pharmacy, especially patients who fall into the priority category for counseling such as patients undergoing diabetes
mellitus treatment. This study aimed to create a profile of drug / counseling information given by pharmacies in the South
Tangerang area to patients with prescription of antidiabetic drugs. This was a descriptive cross sectional study. Data were
collected by the simulation patient method played by 6 senior undergraduate pharmacy students. Simple random sampling
was used in taking 100 pharmacies from the population of pharmacies registered at the city health office. The scenario was
in the form of a new prescription contained of 5 mg of glibenclamide without repetition which was intended for family
member of the simulated patient. To identify officers who provided drug information, simulation patients asked confirmation
questions to ascertain whether they were pharmacists or not. The results showed that as many as 85% of staff who provided
drug information to simulated patients were non-pharmacists. The most commonly given information by the pharmacist was
the frequency of drug use followed by the time of use and the purpose of use (indications) which were 100%, 90.91% and
54.55%, respectively. While the information items provided by non-pharmacists were the frequency of drug use followed by
the intended use and time of use associated with meal times which were 83.72%, 61.63% and 40.70% respectively. It can be
concluded that more the drug information provided to patients is carried out by unappropriate professionals namely non-
pharmacists. Drug information delivered to patients both by pharmacists and by non-pharmacists is not maximally done. The
role of pharmacists in providing drug information to DM patients needs to be increased.

Keywords: Diabetes mellitus, drug information, patient simulation, pharmacist, South Tangerang

Abstrak: Pemberian informasi obat merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh apoteker tehadap pasien yang
menebus obat di apotek terutama pasien yang masuk kedalam kategori prioritas untuk diberikan konseling seperti pasien
yang sedang menjalani pengobatan diabetes melitus (DM). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan profil pemberian
informasi obat/konseling oleh petugas apotek di wilayah Tangerang Selatan terhadap pasien dengan resep obat antidiabetes.
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif. Data dikumpulkan dengan metode pasien simulasi yang
diperankan oleh 6 orang mahasiswa S1 farmasi senior. Sampel berupa 97 apotek yang diambil secara acak sederhana dari
populasi apotek yang terdaftar di dinas kesehatan kota. Skenario berupa resep baru yang bertuliskan obat glibenklamid 5 mg
tanpa pengulangan yang diperuntukkan untuk anggota keluar pasien simulasi. Untuk mengidentifikasi petugas yang
memberikan informasi obat, pasien simulasi mengajukan pertanyan konfirmasi untuk memastikan apakah mereka adalah
apoteker atau bukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 85% petugas yang memberikan informasi obat kepada
pasien simulasi adalah non apoteker. Butir informasi yang paling banyak diberikan oleh apoteker secara berurutan adalah
frekuensi penggunaan diikuti oleh waktu penggunaan dan tujuan penggunaan (indikasi) yang masing-masing sebesar 100%,
90,91% dan 54,55%. Sedangkan butir informasi yang diberikan oleh non apoteker adalah frekuensi penggunaan diikuti oleh
tujuan penggunaan dan waktu penggunaan yang dikaitkan dengan waktu makan yakni masing-masing sebesar 83,72%,
61,63% dan 40,70%. Dapat disimpulkan bahwa informasi obat yang diberikan kepada pasien lebih banyak dilakukan oleh
profesional yang tidak tepat yakni non-apoteker. Informasi obat yang disampaikan kepada pasien baik oleh apoteker maupun
oleh non apoteker belum maksimal dilakukan. Peran apoteker dalam pemberian informasi obat kepada pasien DM perlu
ditingkatkan.

Kata kunci: Apoteker, Diabetes Melitus, Informasi Obat, Simulasi Pasien, Tangerang Selatan
44 Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal, 2020, Vol. 2(1) Suryani et al.

1. PENDAHULUAN terhadap penyakit dan pengobatan yang sedang mereka


jalani.
Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok
gangguan metabolik yang ditandai dengan
Penelitian yang dilakukan di sebuah puskesmas di
hiperglikemia, yang berhubungan dengan
Jakarta Timur melaporkan bahwa pasien yang memiliki
ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak dan
tingkat kepatuhan tinggi dalam menggunakan obat hanya
protein dan berakibat pada komplikasi kronis termasuk
sebesar 37,1% (Romadhon, Saibi and Nasir, 2020).
mikrovaskuler, makrovaskuler dan gangguan neuropati.
Penelitian yang dilakukan di Puskesmas kota Malang
Terdapat beberapa jenis DM. DM tipe 1 merupakan
terhadap pasien diabetes melitus melaporkan bahwa
gangguan autoimun yang berkembang pada masa kanak-
tingkat pengetahuan pasien yang tergolong baik terhadap
kanak atau awal dewasa dan mencakup sekitar 10%
obat yang mereka minum sebesar 10,94%. Penelitian ini
kasus DM. Umumnya diawali dengan paparan individu
melibatkan 34 orang responden (Rachma Pramestutie,
yang rentan secara genetik terhadap bahan yang ada di
2016). Penelitian lain dengan melibatkan lebih banyak
lingkungan. Jenis berikutnya adalah DM tipe 2 yang
pasien di pusat kesehatan masyarakat di Afrika Selatan
mencakup hampir 90% kasus. Terdapat beberapa faktor
(217 pasien) melaporkan bahwa 79,3% pasien tidak
resiko yang menyebabkan berkembangnya DM tipe 2 ini
mengetahui bagaimana obat yang mereka gunakan dapat
termasuk riwayat keluarga, obesitas, aktivitas fisik yang
mengontrol diabetesnya. Pasien yang tidak mengetahui
rendah, ras dan etnik, toleransi glukosa terganggu
efek samping dari obat yang mereka gunakan sebesar
sebelumnya atau glukosa puasa terganggu, hipertensi,
83,9% serta kurang dari separuh pasien yang mengetahui
riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi
bagaimana cara menggunakan obat mereka (Moosa et
dengan berat > 9 pound, dan lain sebagainya. Diabetes
al., 2019). Penelitian lainnya di Brazil menemukan yang
gestasional merupakan intoleransi glukosa yang pertama
tidak jauh berbeda yakni sebanyak 56,5% pasien
kali teramati selama masa kehamilan (Talbert and
memiliki pengetahuan yang rendah tentang rejimen obat
Dipiro, 2014).
yang sedang mereka gunakan (Faria et al., 2009).

Penyakit DM ini merupakan salah satu penyakit yang


Pemberian edukasi dan konseling merupakan upaya
penting di Indonesia. Berdasarkan data yang
yang sangat penting dilakukan untuk meningkatkan
dipublikasikan oleh Kementrian Kesehatan, prevalensi
pengetahuan pasien terhadap obat yang sedang mereka
DM secara nasional tercatat sebesar 2% berdasarkan
gunakan. Kedua kegiatan ini merupakan tanggung jawab
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun.
profesional dari tenaga kefarmasian khusunya apoteker
Sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan
di tempat mereka melakukan praktek kefarmasian, salah
darah pada penduduk usia sama yakni sebesar 8,5%
satunya adalah apotek. Kedua aktifitas ini merupakan
(Kementrian Kesehatan RI, 2018). Pasien DM termasuk
bentuk pelayanan langsung dan bertanggung jawab yang
kedalam kelompok pasien yang memerlukan pengobatan
diberikan oleh tenaga kefarmasian kepada pasien yang
jangka panjang. Kelompok pasien ini termasuk kedalam
dapat membantu meningkatkan kualitas kesehatan dan
target pasien yang memerlukan perhatian prioritas dari
hidup pasien. (Republik Indonesia, 2009; Kementrian
tenaga kefarmasian khususnya apoteker (Kementrian
Kesehatan RI, 2016; American Society of Health-System
Kesehatan RI, 2016). Perhatian dari tenaga kefarmasian
Pharmacist, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk
ini penting mengingat terdapat persoalan disekitar
mengetahui profil pemberian informasi obat di apotek
pengobatan pasien DM ini. Persoalan pertama adalah
yang ada di wilayah kota Tangerang Selatan terhadap
rendahnya kepatuhan minum obat dan kedua adalah
pasien DM yang menebus obat antidiabetes.
masih belum baiknya tingkat pengetahuan pasien
45 Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal, 2020, Vol. 2(1) Suryani et al.

2. METODE berada di luar rumah sakit. Sedangkan kriteria


eksklusinya adalah apotek yang petugas apoteknya
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang
mengetahui bahwa mereka sedang berhadapan dengan
deskriptif. Data dikumpulkan dengan metode pasien
pasien simulasi dimana penilaian ini didasarkan pada
simulasi. Metode ini merupakan metode yang sudah
penilaian subjektif oleh pasien simulasi. Petugas apotek
banyak digunakan secara internasional untuk melihat
dibagi menjadi dua jenis yakni apoteker dan non
kualitas pelayanan yang diberikan oleh apotek terhadap
apoteker. Untuk membedakan kedua jenis ini, pasien
pasien (Lin et al., 2011; Ibrahim et al., 2016). Sebanyak
simulasi mengajukan pertanyaan untuk mengkonfirmasi
enam orang mahasiwa farmasi senior yakni semester 7
kepada petugas apotek yang sedang melayaninya. Pasien
dan 9 dilibatkan sebagai pasien simulasi. Mereka telah
simulasi tidak melakukan penggalian lagi untuk
pernah terlibat dalam metode penelitian sejenis
mengetahui apakah non apoteker ini adalah tenaga teknis
sebelumnya. Meskipun demikian sebelum mereka
kefarmasian atau bukan. Data diambil dalam kurun
diterjunkan untuk pengumpulan data, pelatihan tetap
waktu bulan Oktober 2019. Penelitian ini telah
diberikan dengan maksud agar mereka dapat
mendapatkan rekomendasi klirens etik dari komite etik
menyesuaikan diri dengan skenario yang sedikit berbeda
penelitian kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
dengan skenario sebelumnya. Pasien simulasi datang ke
Indonesia. Data dianalisa secara statistik deskriptif.
apotek dengan maksud menebus resep yang bertuliskan
obat antidiabetes yakni glibenklamid 5 mg dan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
parasetamol 500 mg. Resep tersebut merupakan resep
Petugas apotek yang memberikan informasi obat kepada
untuk salah seorang anggota keluarga mereka. Pasien
pasien simulasi dapat dikelompokkan menjadi dua.
simulasi memberikan resep kepada petugas apotek lalu
Gambar 1 memperlihatkan pengelompokkan tersebut.
mengamati proses pemberian informasi obat pada saat
Dapat dilihat bahwa informasi obat diberikan oleh non
obat resep telah selesai disiapkan. Butir-butir informasi
apoteker dengan jumlah yang jauh lebih besar
yang diberikan kemudian dicatat pada lembar kerja yang
dibandingkan oleh apoteker yakni 85 persen berbanding
telah disiapkan sesaat setelah meninggalkan apotek.
15%. Identifikasi petugas apotek ini dilakukan oleh
Untuk mencegah informasi yang hilang, proses tersebut
pasien simulasi dengan cara mengajukan pertanyaan
direkam secara audio.
konfirmasi untuk memastikan bahwa petugas yang
Apotek yang menjadi sampel adalah 100 apotek yang sedang memberikan informasi kepada mereka adalah
ada di wilayah Tangerang Selatan yang diambil secara apoteker atau bukan. Temuan ini sejalan dengan
acak sederhana dari pupulasi apotek yang terdaftar di penelitian yang dilakukan di apotek wilayah kota Bandar
dinas kesehatan kota setempat. Jumlah sampel minimal Lampung yang melaporkan bahwa sebanyak 83,3%
ditentukan dengan menggunakan rumus Lwanga dan informasi obat diberikan oleh non apoteker yakni tenaga
Lameshow yang menghasilkan sampel minimal sebesar teknis kefarmasian (Yulyuswarni, 2017). Begitu pula
85 pada toleransi kesalahan 5% (Lwanga S.K. and dengan penelitian lain yang dilakukan di wilayah Garut.
Lemeshow S., 1991). Sampel sasarannya adalah petugas Penelitian ini malaporkan bahwa sebagian petugas
apotek yang memberikan pelayanan kepada pasien apotek yang memberikan pelayanan informasi obat
simulasi yakni petugas yang memberikan obat setelah kepada pasien merupakan non apoteker (Suci, Saibi and
proses penyiapan resep selesai dilakukan. Kriteria Dasuki, 2018).
inklusi berupa apotek yang terdaftar di dinas kesehatan
Apotek merupakan tempat apoteker melaksanakan
kota Tangsel; apotek yang masih beroperasi pada saat
praktek kefarmasian yang merupakan tanggung jawab
dilakukan kunjungan oleh pasien simulasi; apotek yang
46 Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal Vol. 1(1) 2019 Suryani et al.

profesionalnya. Apoteker memiliki tugas utama dilakukan di apotek Bandar Lampung. Penelitian
memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien yang tersebut melaporkan bahwa hanya terdapat tiga
mengandung maksud bahwa apoteker dapat komponen (butir) informasi obat yang disampaikan oleh
memberikan pelayanan langsung dan bertanggung jawab petugas apotek kepada pasien yakni nama obat, dosis,
kepada pasien guna membantu pasien mendapatkan indikasi/ cara pakai (Yulyuswarni, 2017).
manfaat terbaik dari pengobatan yang sedang mereka
Penyampaian butir-butir informasi obat hendaknya
jalani. Pemberian informasi obat baik dalam bentuk
dijadikan prosedur operasional standar/ Standard
kegiatan edukasi maupun konseling merupakan
Operational Procedure (SOP) di apotek di dalam
penerapan dari pelayanan langsung dan bertanggung
memberikan pelayanan obat kepada pasien. Informasi
jawab tersebut dan merupakan salah satu inti dari
obat sangat penting bagi pasien karena dapat membantu
pelaksanaan profesionalitas profesi (Ghaibi, Ipema and
mereka dalam mengetahui dan memahami pengobatan.
Gabay, 2015; Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Beberapa penelitian telah melaporkan masih rendahnya
pengetahuan pasien DM terhadap pengobatan mereka
(Faria et al., 2009; Rachma Pramestutie, 2016; Moosa et
al., 2019). Dari tabel 1 juga dapat dilihat bahwa
persentase apoteker yang menyampaikan butir-butir
informasi obat lebih besar jika dibandingkan dengan non
apoteker. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
informasi obat akan lebih maksimal jika dilakukan oleh
apoteker. Hanya butir tujuan penggunaan obat saja
Gambar 1. Petugas apotek yang memberikan informasi obat ke secara persentase lebih sering disampaikan oleh non
pasien simulasi
apoteker dibandingkan apoteker.

Di dalam tabel 1 dipaparkan butir-butir informasi yang


Pasien DM merupakan kelompok pasien yang termasuk
disampaikan oleh petugas apotek kepada pasien simulasi
kedalam target untuk diberikan konseling oleh apoteker.
pada saat penyerahan obat. Pemberian in formasi ini
Konseling merupakan proses komunikasi secara personal
dilakukan di counter apotek, tidak dilakukan di ruang
dua arah antara apoteker dan pasien yang bertujuan
khusus. Terdapat 3 apotek dimana apotekernya terlibat
untuk membantu pasien dalam memecahkan masalah
dalam penyampaian informasi obat, tetapi tidak memiliki
yang terkait dengan terapi yang tengah mereka jalani.
stok obat glibenklamid 5 mg. Sehingga informasi yang
diberikan hanya untuk obat parasetamol. Dapat dilihat
Pemberian konseling ini juga dapat dilakukan kepada
bahwa butir informasi yang paling sering diberikan oleh
anggota keluarga pasien yang memiliki peran dalam
apoteker secara berurutan adalah frekuensi penggunaan
pengobatan pasien. Konseling di apotek menjadi ranah
diikuti oleh waktu penggunaan dan tujuan penggunaan
apoteker. Ketika terdapat pasien dengan DM datang
(indikasi) yang masing-masing sebesar 100%, 90,91%
menebus obat ke apotek, apoteker hendaknya mengambil
dan 54,55%. Sedangkan butir informasi yang diberikan
inisiatif untuk melakukan/memberikan layanan
oleh non apoteker adalah frekuensi penggunaan diikuti
konseling kepada pasien (Kementrian Kesehatan RI,
oleh tujuan penggunaan dan waktu penggunaan yakni
2016). Melalui konseling yang dilaksanakan dengan
masing-masing sebesar 83,72%, 61,63% dan 40,70%.
baik, apoteker dapat melakukan penilaian terdahap
Butir-butir informasi obat yang disampaikan oleh pemahaman pasien terhadap engobatan mereka,
petugas apotek ini lebih banyak jumlahnya jika menggali permasalahan yang ada serta memberikan
dibandingkan terhadap temuan dari penelitian yang informasi obat secara lebih detil sesuai dengan apa yang
47 Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal, 2020, Vol. 2(1) Suryani et al.

Tabel 1. Butir-butir Informasi Obat yang disampaikan oleh Petugas Apotek


Non
Pelayanan Informasi Apoteker
% Apoteker %
Obat (N =11)
(N = 86)
Tujuan Penggunaan 6 54,55 53 61,63
Waktu Penggunaan
4 36,36 10 11,63
(Pagi/Siang/Malam)
Cara Penggunaan
(setelah/bersamaan/sebelum 10 90,91 35 40,70
makan)
Frekuensi Penggunaan 11 100 72 83,72
Jumlah Obat Tiap kali 5 45,45 20 23,26
Minum
Nama Obat 5 45,45 22 25,58

Tabel 2. Butir-butir Informasi Obat Yang Sedapat Mungkin Disampaikan Ke Pasien


No Butir-butir Informasi Obat No. Butir-butir Informasi Obat
1 Nama obat (dagang, generik, sinonim) jika perlu kelas 9
teknik monitor mandiri terhadap keberhasilan terapi
terapi dan khasiatnya
2 Penggunaan obat dan benefit/ kerja yang diharapkan 10
(curing, eliminati/ reducing, slowing the process, Potensi interaksi obat (dengan obat, makan, penyakit)
preventing)
3 Kapan onset kerja dan apa yg dilakukan jika tidak 11 Hubungan pengobatan dengan prosedur radiologi dan
terjadi) laboratorium
4 Rute, bentuk sediaan, dosis, skedul pemberian (lama 12
Pengulangan resep
terapi)
5 Cara penyiapan, penggunaan atau pemberian obat 13 Informasi terkait akses terhadap apotek/apoteker dalam
(disesuaikan dengan gaya hidup atau kerja) 24 jam
6 Tindakan jika lupa minum 14 Cara penyimpanan obat yang tepat
7 Peringatan yang harus diamati selama minum obat 15 Cara pembuangan obat yang rusak dan sisa serta alat
(ESO) kesehatan bekas
8 ESO yang mungkin timbul dan cara untuk mencegah 16
Informasi khus lain bagi pasien terkait pengobatannya
atau menguranginya

pasien butuhkan. Butir-butir informasi obat dan ataupun sebaliknya, mereka akan membiarkan saja salah
informasi terkait pengobatan lainya yang sedapat satu dosis terlewat padahal mereka masih bisa
mungkin disampaikan oleh apoteker kepada pasien menggunakan obat tersebut. Efek samping yang
termasuk pasien DM tersaji dalam tabel 2 (American peluangnya lebih besar terjadi, perlu diinformasikan
Society of Health-System Pharmacist, 2011). Jika kepada pasien guna meningkatkan kewaspadaan mereka
dibandingkan dengan tabel 2, terlihat bahwa pemberian manakala efek samping tersebut terjadi. Ini juga akan
informasi obat oleh petugas apotek di wilayah mengurangi kecemasan mereka ketika efek samping obat
Tangerang Selatan masih perlu untuk ditingkatkan. terjadi kepada mereka. Cara mengatasi efek samping
Masih banyak butir-butir informasi obat yang belum obat juga butir informasi obat yang sangat penting untuk
tersampaikan kepada pasien padahal informasi tersebut disampaikan. Pasien juga perlu diberitahukan cara
sangat penting artinya bagi pasien. Untuk pengobatan. memonitor secara mandiri terkait keberhasilan terapi
yang sedang mereka jalani. Pasien DM sebaiknya
DM yang berlangsung untuk jangka panjang tersebut, diajarkan cara memantau kadar gula darah mereka
pasien mungkin saja pernah mengalami lupa untuk dengan menggunakan alat pengecek gula darah cepat
menggunakan obat mereka. Pasien perlu diinformasikan yang dapat dilakukan secara mandiri di rumah mereka.
tidakan apa yang perlu mereka lakukan manakala Begitupula dan butir-butir informasi obat lainnya yang
kelupaan itu terjadi guna mencegah pasien menggunakan akan lebih baik disampaikan kepada pasien.
obat secara ganda ketika mereka teringat kembali
48 Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal Vol. 1(1) 2019 Suryani et al.

4. KESIMPULAN Kementrian Kesehatan RI (2018) Hasil Utama Riset


Kesehata Dasar (RISKESDAS), Kementrian Kesehatan
Informasi obat yang disampaikan kepada pasien lebih RI. doi: 10.1088/1751-8113/44/8/085201.
banyak dilakukan oleh non apoteker padahal seharusnya Lin, K. et al. (2011) ‘Patient simulation: simulation and
introductory pharmacy practice experiences’, American
pemberian informasi obat untuk pasien DM merupakan
Journal of Pharmaceutical Education, 75(10), p. 209.
ranah dan tanggung jawab dari apoteker. Informasi obat doi: 10.5688/ajpe7510209.
yang disampaikan kepada pasien baik oleh apoteker Lwanga S.K. and Lemeshow S. (1991) ‘Sample size
determination in health studies A practicle manual’,
maupun oleh non apoteker belum tersampaikan secara
World Health Organization, p. 38.
menyeluruh. Peran petugas apotek dalam pemberian
Moosa, A. et al. (2019) ‘Knowledge regarding medicines
informasi obat kepada pasien DM perlu ditingkatkan. management of type 2 diabetes amongst patients
attending a Community Health Centre in South Africa’,
Journal of Pharmaceutical Health Services Research,
5. DAFTAR PUSTAKA 10(1), pp. 13–28. doi: 10.1111/jphs.12283.
American Society of Health-System Pharmacist (2011) Rachma Pramestutie, H. (2016) ‘Tingkat Pengetahuan
‘ASHP guidelines on pharmacist-conducted patient Pasien Diabetes melitus tentang Penggunaan Obat di
education and counseling’, American Journal of Health- Puskesmas Kota Malang’, Pharmaceutical Journal of
System Pharmacy, 54, pp. 431–434. doi: Indonesia, 2(1), pp. 7–11. doi:
10.1093/ajhp/54.4.431. 10.21776/ub.pji.2016.002.01.2.
Faria, H. T. G. et al. (2009) ‘Patients knowledge Republik Indonesia (2009) Peraturan pemerintah tentang
regarding medication therapy to treat diabetes: A pekerjaan kefarmasian. Indonesia: Lembaran Negara
challenge for health care services’, ACTA Paulista de Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124.
Enfermagem, 22(5), pp. 612–617. doi: 10.1590/S0103- Romadhon, R., Saibi, Y. and Nasir, N. M. (2020)
21002009000500003. ‘Kepatuhan Terhadap Pengobatan Pasien Diabetes
Ghaibi, S., Ipema, H. and Gabay, M. (2015) ‘ASHP Melitus Tipe 2 di Puskesmas Jakarta Timur’, Jurnal
guidelines on the pharmacist’s role in providing drug Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-
information’, American Journal of Health-System Journal), 6(1), pp. 94–103. doi:
Pharmacy, 72(7), pp. 573–577. doi: 10.2146/sp150002. 10.22487/j24428744.2020.v6.i1.15002.
Ibrahim, M. I. B. M. et al. (2016) ‘Evaluating Suci, R. P., Saibi, Y. and Dasuki, A. (2018) ‘Kualitas
community pharmacy practice in Qatar using simulated Pelayanan Informasin Obat ( Konseling ) di Apotek
patient method: Acute gastroenteritis management’, Kabupaten Garut’, Jurnal Pharmascience, 05(01), pp. 1–
Pharmacy Practice, 14(4). doi: 7.
10.18549/PharmPract.2016.04.800. Talbert, R. L. and Dipiro, J. T. (2014) Pharmacotherapy
Kementrian Kesehatan RI (2016) Peraturan Menteri A Pathophysiologic Approach. 9th edn. New york: The
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 McGraw-Hill Companies Inc.
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek1. Yulyuswarni (2017) ‘Profil Pelayanan Informasi Obat
Kementrian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Terhadap Pasien Dengan Resep Antibiotika Di Apotek
Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Kota Bandar Lampung’, Jurnal Analis Kesehatan, 6(1),
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apote. Indonesia: pp. 590–594.
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
50. doi: 10.1007/s11187-017-9901-7.

You might also like