Jurnal Publicuho Sinta 4 Januari 2023
Jurnal Publicuho Sinta 4 Januari 2023
Jurnal Publicuho Sinta 4 Januari 2023
Abstract
This paper discusses the collaborative governance tourism strategy in developing tourist
objects in North Rupat. Potential tourism objects in North Rupat are marine tourism, historical
tourism, cultural tourism and nature tourism. In its implementation there are problems such as
abrasion, garbage, and accessibility. This study uses a descriptive qualitative method. The
research location was conducted in North Rupat. Data collection techniques by observation
and in-depth interviews. The data analysis technique uses the opinion of Miles Huberman and
Saldana (2014) through stages; data compaction, data presentation (data display), and
drawing conclusions or verification (conclusion drawing and verification). The results of this
study are that there is tourism potential in every village in North Rupat Subdistrict. The
implementation of collaborative governance tourism is Principled Engagement, Shared
Motivation, Capacity for Joint Action. Obstacles in implementing collaborative governance
tourism are limited human resources, tourism development coordination is implemented
simultaneously.
Keywords: Collaborative Governance, Tourism Development
Abstrak
Makalah ini membahas strategi collaborative governance tourism dalam pengembangan
objek wisata di Rupat Utara. Potensi Objek Wisata di Rupat Utara adalah Wisata bahari,
wisata sejarah, wisata budaya dan wisata alam. Pada pelaksanaanya terdapat
permasalahan seperti abrasi, sampah, dan aksesibilitas. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian dilakukan di Rupat Utara. Teknik pengambilan data
dengan cara observasi dan wawancara mendalam. Teknik analisis data menggunakan
pendapat miles Huberman dan saldana (2014) melalui tahapan; pemadatan data,
penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing
and verification). Hasil dari penelitian ini adalah terdapat potensi pariwisata di setiap desa di
Kecamatan Rupat Utara. Pelaksanaan collaborative governance tourism adalah Principled
Engagement, Shared Motivation (Motivasi bersama) Capacity for Join action (Kapasitas
untuk aksi bersama). Kendala dalam pelaksanaan collaborative governance tourism adalah
keterbatasan sumber daya manusia, koordinasi pembangunan pariwisata dilaksanakan
secara simultan.
Kata Kunci: Pengembangan Pariwisata; Tata Kelola Kolaboratif
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1149
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN OBJEK WISATA DI RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
PENDAHULUAN
Pulau Rupat merupakan salah satu wilayah pesisir yang terletak di Kabupaten
Bengkalis Provinsi Riau. Pulau ini menyimpan dan memiliki potensi Daya Tarik Wisata (DTW)
sangat potensial dikembangkan, mulai dari wisata buatan, wisata budaya maupun wisata
alam. Potensi DTW pulau rupat meliputi Wisata alam yang terdiri dari wisata bahari dan
wisata mangrove. Sedangkan potensi wisata budaya seperti etnotourism suku akit mandi
safar, perkampungan nelayan dan desa Melayu yang menawarkan kehidupan suku Melayu
perairan Rupat. Pembangunan potensi kepariwisataan memerlukan dukungan multi sektor
dalam pelaksanaan. Mengingat potensi ini dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
lebih luas dapat menjadi pengembangan ekonomi alternatif bagi warga.
Dalam kontek kebijakan pembangunan Pulau Rupat Pemerintah Pusat dalam membangun
Pulau Rupat sebagai salah satu destinasi wisata andalan di Indonesia seyogiayanya
didukung oleh kebijakan pembangunan pariwisata di Provinsi Riau dan Kabupaten
Bengkalis.
Penulis melakukan studi dokumen terkait kebijijakan arah pembangunan
kepariwisataan Pulau Rupat dari analisa dokumen Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Nasional (RIPARNAS), Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Riau
(RIPARPROV), Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Bengkalis (RIPARDA),
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJDP), Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kabupaten Bengkalis. Dari
dokumen tersebut penulis menyimpulkan bahwa Pulau Rupat merupakan wilayah strategis
pembangunan naasional.
Pada dokumen Riparnas Pulau Rupat merupaka Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional (KSPN). Pembangunan terkait daya dukung KSPN telah dilakukan antara lain: 1)
aksesibilitas kawasan Pulau Rupat (betonisasi, turap dan pemecah gelombang), 2) Amenitas
atau daya dukung (Petunjuk arah, toilet umum, tempat ibadah), 3) Pengembangan Even
(Festifal mandi safar, Balimau, Bujang Dara dll), 4) Pengembangan DTW (Pembuatan papan
nama gapura). Isu kebijakan lain adalah Pulau Rupat merupakan wilayah Rencana Tata
Ruang (RTR) Perbatasan. Kawasan ini memiliki fugsi salah satunya sebagai promosi wisata.
Namun realitas yang ditemukan dari riset tahun sebelumnya bahwa derivate kebijakan
pembangunan pariwisata yang secara khusus di level provinsi maupun level kabupaten
belum muncul. Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Bengkalis hanya
mengandalkan kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan RTRW daerah dalam rangka
membangun pariwisata di wilayah pesisir Pulau Rupat. Fakta empiris ini menunjukkan bahwa
pembangunan pariwisata yang dilakukan di wilayah pesisir Pulau Rupat belum terwujud
maksimal sejak diterbitkan RIPARNAS. Karena pembangunan pariwisata harus didukung
dengan kesiapan aksesibilitas, amenitas dan atraksi wisata yang baik.
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1150
Journal Publicuho
ISSN 2621-1351 (online), ISSN 2685-0729 (print)
Volume 5 No 4 (November -January 2022) pp.1149-1161 Accredited SINTA 4, SK.NOMOR 105/E/KPT/2022
Open Access at:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/index DOI: https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i4.54
Puteri, dkk (2022) mengungkapkan bahwa ketiga DTW ini menjadi daya tarik bagi Pulau
Rupat apabila mampu dibangun dan dikembangkan secara maksimal. Mereka mengugkap
terdapat tiga daya dukung pariwisata belum maksimal dalam pembangunan yaitu; 1)
aksesibilitas menuju DTW, 2) Keterbatasan lahan dalam pengembangan. Banyak lahan telah
dikuasai swasta, perorangan atau masyarakat, 3) Keterbatasa APBD dialokasikan untuk
pengembangan Pulau Rupat. Rheza (2019) mengungkapkan bahwa pembangunan
penunjang sektor kepariwisataan belum terlaksana dengan baik diantaranya sebagai
berikut: 1) terbatasnya infrastruktur (transportasi, aksesibilitas, fasilitas pendungkung lainnya,
2) Belum ada pelabuhan internasional, 3) kunjungan pariwisata rendah.
Pujiono (2019) melakukan riset tentang kolaborasi dalam Tourism Collaborative
Governance Objrk wisata Tanjung Lesung di Provinsi Banten menemukan adanya hubungan
timbal balik antara stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata yang optimal.
Hubungan tersebut menjadi sangat kompleks karena masing-masing stakeholder memiliki
kepentingan yang berbeda. Melalui kombinasi kekuasaan, kepentingan, dan pengaruh,
membentuk cluster stakeholder yang menyebabkan kolaborasi dalam posisi yang tidak
seimbang. Beberapa pemangku kepentingan mendominasi pengelolaan dan lainnya hanya
sebatas sebagai pendukung bahkan ada yang pasif. Kondisi ini menghambat komunikasi
antar pemangku kepentingan dan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam
berkolaborasi. Tata kelola kolaboratif secara konseptual memang ideal, tetapi dalam
konteks berbagai tingkat pemangku kepentingan lintas sektor, teori ini perlu dikembangkan
lebih lanjut.
Hasil Pra riset dari penulis menemukan data sebagai berikut; 1) Daya tarik wisata
pantai lapin bersifat embrional. Daya dukung kepariwisataan belum dibangun secara
maksimal, 2) Sumber daya manusia terkait kepariwisataan belum dikembangkan. Khususnya
di Rupat Utara belum ada kelompok sadar wisata di setiap desa, 3) Belum ada data
kunjungan wisatawan. Namun penulis telah melakukan wawancara pada penggiat
pariwisata, menurut mereka tingkat kunjungan pada hari biasa masih rendah. Kunjungan
meningkat jika pemerintah daerah mengadakan event dilokasi tertentu.
Dari permasalahan diatas perlu penyelesaian secara holistik mengingat pariwisata adalah
fenomena sosial dan ekonomi yang tumbuh secara signifikan pada skala global. Konteks
pertumbuhan ini berarti tata kelola destinasi muncul sebagai topik penting. Pada tahun 2011,
United Nations World Tourism Organization (UNWTO) mengemukakan bahwa tata kelola di
daerah tujuan wisata merupakan bidang yang perlu mendapat perhatian khusus. Dua tahun
kemudian, pada tahun 2013, UNWTO mengusulkan definisi sebagai berikut:
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1151
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN OBJEK WISATA DI RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
Tata kelola adalah praktik pemerintahan yang terukur, yang bertujuan untuk
mengarahkan sektor pariwisata secara efektif pada berbagai tingkat
pemerintahan melalui bentuk koordinasi, kolaborasi dan/atau kerja sama yang
efisien, transparan dan tunduk pada akuntabilitas, yang membantu mencapai
tujuan kepentingan bersama yang dimiliki bersama oleh jaringan aktor yang
terlibat dalam sektor tersebut, untuk mengembangkan solusi dan peluang melalui
kesepakatan berdasarkan pengakuan saling ketergantungan dan tanggung
jawab bersama (Duran, 2013:14).
Menurut Emerson dkk. (2011), tata kelola kolaboratif didefinisikan sebagai “struktur
pengambilan keputusan dan manajemen kebijakan publik yang melibatkan orang-orang
secara konstruktif melintasi batas-batas lembaga publik, tingkat pemerintahan, dan/atau
ruang publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan publik. tujuan yang tidak dapat dicapai
dengan cara lain.” (Emerson dkkl., 2011:2). Definisi ini mencakup kemitraan antara negara,
sektor swasta, masyarakat sipil, dan masyarakat.
Fennel (1999) dalam Lokantara & Rafi’I (2017) menerangkan bahwa pariwisata pariwisata
dipandang sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan seperti; komponen ekonomi, politik,
sosial, budaya dan lain sebagainya. Pariwisata sebagai sebuah sistem tidak dapat
dipisahkan dari sistem lainnya terjadi hubungan interconnectedness atau saling
ketergantungan. Begitu pula yang diungkapkan oleh pitana dan gayatri (2005) bahwa
terddapat aktor pariwissata yaitu; masyarakat, swasta dan pemerintah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis perlu melakukan strategi kolaborasi dengan
berbagai stakeholders. Sebab keterlibatan berbagai stakeholders dalam pembangunan
pariwisata di Pulau Rupat Utara akan membantu percepatan perwujudan salah satu
destinasi andalan di Indonesia. Konsep kolaborasi yang dilakukan sering dikenal dengan
istilah collaborative governance yang juga telah dituangkan dalam Peraturan Menteri
Periwisata dan Ekonomi Kreatif (Permenparenkraf) Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pedoman
Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Permenparenkraf ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan orkestrasi dan
memastikan kualitas aktivitas, fasilitas, pelayanan, dan untuk menciptakan pengalaman dan
nilai manfaat kepariwisataan agar memberikan keuntungan dan manfaat pada masyarakat
dan lingkungan, maka diperlukan pendorong sistem kepariwisataan melalui optimasi peran
bussiness, government, community, academic, and media (BGCAM).
Makalah ini mempunyai tujuan untuk yaitu; 1) Bagaimana collaborative governance dalam
pengembangan objek wisata di Rupat Utara Kabupaten Bengkalis?, 2) Faktor-Faktor apa
yang menghambat collaborative governance dalam pengembangan objek wisata di Rupat
Utara Kabupaten Bengkalis?. Manfaat penelitian bagi pemerintah daerah adalah dapat
menjadi alternatif rujukan pengambilan kebijakan terkait pembengunan kepariwisataan di
Pulau Rupat khususnya yang bersinggungan dengan collaborative governance.
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1152
Journal Publicuho
ISSN 2621-1351 (online), ISSN 2685-0729 (print)
Volume 5 No 4 (November -January 2022) pp.1149-1161 Accredited SINTA 4, SK.NOMOR 105/E/KPT/2022
Open Access at:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/index DOI: https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i4.54
METODOLOGI
Lokasi penelitian ini adalah di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis. Lokasi ini identik dengan
wilaah pesisir dan perbatasan antar negara. Selain itu pulau rupat memiliki isu menarik terkait
pembangunan kepariwisataan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan
ini diarahkan pada latar dari individu tersebut secara utuh (holistik) (gunawan,2013:79).
Penulis memilih informan dengan metode secara purposif (porposive sampling). Proposif
sampling/Sampel bertujuan adalah metode pengambilan subjek bukan berdasarkan pada
strata, random, atau wilayah, tetapi pada tujuan tertentu (Arikunto, 2013:9).
Teknik pengumpulan data yaitu observasi yaitu Dalam melaksanakan pengamatan ini
sebelumnya peneliti akan mengadakan pendekatan dengan subjek penelitian sehingga
terjadi keakraban antara peneliti dengan subjek penelitian (Sugiyono,2006). Selain itu penulis
melakukan wawancara mendalam. Metode wawancara merupakan bentuk komunikasi
verbal atau percakapan dengan maksud memperoleh informasi dari objek. wawancara
dilakukatn oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
pewawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaaan tersebut (Lexy J. Maleong,
2006:186). Teknik analisis data yang digunakan mengacu kepada model analisis interaktif
dari Miles, Huberman & Saldaña (2014) dalam jurnal (La Ode Muhammad Elwan et al., 2022)
dengan kutipan berikut:
The data analysis technique used refers to the interactive analysis model from Miles,
Huberman & Saldaña (Milles et al., 2014), which was quoted from the journal (La Ode
Muhammad Elwan et al., 2022), namely The data is analyzed using several steps, namely
analyzing the data with three steps: data condensation, presenting data (data display),
and drawing conclusions or verification (conclusion drawing and verification). Data
condensation refers to the process of selecting, focusing, simplifying, abstracting, and
transforming data.
Analisis data ini digunakan untuk menjelaskan collaborative governance dalam
Pengembangan Objek Wisata di Rupat Utara Kabupaten Bengkalis, potensi kepariwisataan,
permasalahan pengembangan kepariwisataan dan kendala yang dialami dalam
pembangunan kepariwisataan di Kecamatan Rupat Utara.
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1153
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN OBJEK WISATA DI RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1154
Journal Publicuho
ISSN 2621-1351 (online), ISSN 2685-0729 (print)
Volume 5 No 4 (November -January 2022) pp.1149-1161 Accredited SINTA 4, SK.NOMOR 105/E/KPT/2022
Open Access at:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/index DOI: https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i4.54
Aceh
- Pulau Babi
8. Puteri Sembilan - Pantai Besatari - Makam - Makam
- Pantai Pasir Puteri Puteri
Putih Sembilan Sembilan
Sumber: Hasil Olahan Penulis 2022
Tabel 1 menjelaskan bahwa Data objek wisata Kecamatan Rupat Utara terdapat
banyak kendala dan permasalahan yang dialami. Dalam aspek wisata bahari beberapa
pantai mengalami abrasi. Abrasi yang terjadi di pulau rupat dibeberapa lokasi teluk rhu, putri
sembilan, tanjung medang. Ketiga pantai tersebut terdampak abrasi parah dengan laju 2-7
meter per tahun. Pantai tersebut mengalami tersebut berhadapan langsung dengan selat
malaka dan mengalami hantaman ombak tinggi pada bulan November-Desember. Upaya
penananggulangan abrasi sudah dilakukan sejak tahun 2013 dengan membangun turap
pantai dan pemecah geombang dibeberapa lokasi. Namun kuatnya hantaman
gelombang laut beberapa titik turap saat ini telah mengalami kerusakan.
Permasalahan lain yang terjadi adalah belum ada pengelolaan sampah, sehingga
banyak sampah bertebaran dipantai, dan dijalan. Akses air bersih juga menjadi kendala,
beberapa lokasi belum disaluri air bersih. Pendukung lain seperti akses internet ketersediaan
listrik yang tidak stabil banyak dikeluhkan wisatawan.
Collaborative governance dalam Pengembangan Objek Wisata di Rupat Utara
Selain fokus kepada penyiapan infrastruktur dalam mendukung pembangunan
pariwisata di Pulau Rupat Utara, Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis perlu melakukan
strategi kolaborasi dengan berbagai stakeholders. Sebab keterlibatan berbagai stakeholders
dalam pembangunan pariwisata di Pulau Rupat Utara akan membantu percepatan
perwujudan salah satu destinasi andalan di Indonesia. Konsep kolaborasi yang dilakukan
sering dikenal dengan istilah collaborative governance yang juga telah dituangkan dalam
Peraturan Menteri Periwisata dan Ekonomi Kreatif (Permenparenkraf) Nomor 19 Tahun 2021
Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Permenpar ini menjelaskan bahwa
untuk menciptakan orkestrasi dan memastikan kualitas aktivitas, fasilitas, pelayanan, dan
untuk menciptakan pengalaman dan nilai manfaat kepariwisataan agar memberikan
keuntungan dan manfaat pada masyarakat dan lingkungan, maka diperlukan pendorong
sistem kepariwisataan melalui optimasi peran bussiness, government, community, academic,
and media.
Principled Engagement (Keterlibatan berprinsip)
Proses kolaborasi terungkap bahwa dalam pengelolaan pariwisata memiliki keterlibatan
bersama dari pihak dalam melakukan kerjasama serta kepentingan untuk bergabung
dalam kolaborasi. Dalam pengelolaan periwisata pantai tanjung lapin melibatkan pihak
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1155
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN OBJEK WISATA DI RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1156
Journal Publicuho
ISSN 2621-1351 (online), ISSN 2685-0729 (print)
Volume 5 No 4 (November -January 2022) pp.1149-1161 Accredited SINTA 4, SK.NOMOR 105/E/KPT/2022
Open Access at:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/index DOI: https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i4.54
hal ini untuk berkelanjutan untuk wisata pantai tanjung lapin. Selain itu kepercayan juga
terbentuk dari komunikasi yang baik dan dilakukan secara informal yang berkelanjutan
antara seluruh pihak sehingga diharapkan berdampak pada keterbukaan masing-masing
pihak yang terlibat dalam memberikan prespektifnya sehingga tujuan yang dicanangkan
diawal dapat dicapai untuk mengembangkan wisata pantai tanjung lapin.
Membangun sebuah kepercayaan dan motivasi sangat penting karena
kepercayaan antar aktor merupakan poin awal dari proses kolaborasi, sebab proses
kolaborasi tidak hanya pada dialog tatap muka tetapi juga membangun kepercayaan
antar aktor. Membangun kepercayaan menjadi satu fase yang digunakan untuk
membentuk proses saling memahami antara berbagai aktor baik itu pemerintah, swasta,
dan masyarakat agar terbentuknya komitmen untuk menjalankan kolaborasi dalam
mengembangkan wisata pantai tanjung lapin.
Capacity for Join action (Kapasitas untuk aksi bersama)
Dalam membangung pemahanan bersama dengan pihak kelompok sadar wisata
hal yang dilakukan dengan melakukan komunikasi serta mengadakan evaluasi terhadap
kegiatan yang telah dilakukan juga menghargai tugas masing-masing akan tetapi hal ini
tidak berjalan dengan baik dalam pengelolaan pariwisata pantai tanjung lapin karena
kelompok sadar wisata di Rupat Utara tidak aktif dan Dinas Pariwisata lebih mengutamkan
kelompok sadar wisata yang aktif.
Berkolaborasi dalam pengelolaan pariwisata pantai tanjung lapin pihak Dinas
Pariwisata berupaya membangun pemahaman bersama dengan pihak kelompok sadar
wisata untuk menjaga hubungan dengan baik serta kepercayaan antara pihak yang
berkolaborasi dengan melakukan komunikasi dan evaluasi mengenai kegiatan yang telah
dilakukan akan tetapi ketidakaktifan dari kelompok sadar wisata membuat komukasi antar
keduanya tidak baik sehingga kolaborasi dalam pengelolaan pariwisata pantai tanjung
lapin tidak berjalan dengan baik.
Komitmen
Komitmen dalam pengelolaan pariwisata pantai tanjung lapin berpatokan pada
aturan yaitu SK Kepala Dinas Pariwisata namun karena pihak dari kelompok sadar wisata
kurang aktif sehingga kerjasama yang dilakukan tidak berjalan dengan baik lagi. Komitmen
dalam sebuah kolaborasi penting dan sangat dibutuhkan karena dalam melakukan
tindakan harus memiliki komitmen dengan jelas agar kolaborasi dapat berjalan dengan baik
sehingga tujuan bersama dapat dicapai. Pengelolaan pariwisata pantai tanjung lapin pihak
yang melakukan sesuai aturan yaitu SK Kepala Dinas dan berusaha untuk mempertahankan
kerjasama agar tidak kendor, namun kedua pihak yang bekerjasama belum menjaga
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1157
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN OBJEK WISATA DI RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
komitmen yang ada dengan kuat sehingga pada kolaborasi dalam pengelolaan pariwisata
belum berjalan dengan baik. Hal ini belum sejalan dengan teori Balogh karena Komitmen
dalam sebuah kolaborasi penting dan sangat dibutuhkan karena dalam melakukan
tindakan harus memiliki komitmen dengan jelas agar kolaborasi dapat berjalan dengan baik
sehingga tujuan bersama dapat dicapai.
Kendala pelaksanaan Collaborative governance dalam Pengembangan Objek Wisata di
Rupat Utara
Faktor-faktor penghambat timbul dalam proses implementasi kegiatan rehabilitasi serta
proses kolaborasi yang akan dilaksanakan. Faktor penghambat dapat mempengaruhi
keberhasilan terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Collaborative
Governance dalam pengembangan objek wisata di Rupat Utara Kabupaten Bengkalis tidak
selalu berjalan dengan lancar. Masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi untuk
memajukan. Penulis telah memukan berbagai macam hambatan yang dapat menghalangi
keberhasilan dari collaborative governance antara lain.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan
suatu program, oleh sebab itu dalam implementasi suatu program diperlukannya sumber
daya manusia yang berkualitas serta yang berkompeten dibidangnya agar proses kegiatan
serta kolaborasi dapat diimplementasikan dengan efektif dan juga efisien. Namun pada
kenyataannya dalam proses kegiatan Pengembangan objek wisata pantai tanjug lapin di
UPT Pengembangan Pariwisata Pulau Rupat masih terkendala dengan sumber daya
manusia dalam pengelolaan pariwisata pantai tanjung lapin yang masih belum mencukupi
dan mengakibatkan tidak terlaksana dengan baik seperti yang diungkapkan oleh UPT
Pengembangan Pariwisata Pulau Rupat.
Faktor penghambat pertama yaitu sumber daya manusia, peneliti menemukan
bahwa kurang adanya kelompok jabatan fungsional yaitu SDM yang profesional dalam
pengembangan objek wisata, hanya segelintir pegawai yang basicnya paham akan
pengembangan objek wisata yang bekerja menjadi padahal dalam hal ini pentingnya SDM
menjadi pendamping kelompok sadar wisata, dimana SDM profesional sekurang-kurangnya
memiliki kualifikasi, pendidikan, pelatihan dan keterampilan atau pengalaman
melaksanakan pengembangan pariwisata.
Program Pembangunan Antar Lembaga Berjalan Simultan
Kunci dari pelaksanaan Collaborative Governance dalam aspek pariwisata adalah
kerja sama multi sektor. tata kelola kolaboratif didefinisikan sebagai “struktur pengambilan
keputusan dan manajemen kebijakan publik yang melibatkan orang-orang secara
konstruktif melintasi batas-batas lembaga publik, tingkat pemerintahan, dan/atau ruang
publik, swasta, dan sipil untuk melaksanakan publik. tujuan yang tidak dapat dicapai
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1158
Journal Publicuho
ISSN 2621-1351 (online), ISSN 2685-0729 (print)
Volume 5 No 4 (November -January 2022) pp.1149-1161 Accredited SINTA 4, SK.NOMOR 105/E/KPT/2022
Open Access at:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/index DOI: https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i4.54
dengan cara lain. Fennel (1999) dalam Lokantara & Rafi’I (2017) menerangkan bahwa
pariwisata pariwisata dipandang sebagai sebuah sistem yang saling berkaitan seperti;
komponen ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Pariwisata sebagai sebuah
sistem tidak dapat dipisahkan dari sistem lainnya terjadi hubungan interconnectedness atau
saling ketergantungan. Begitu pula yang diungkapkan oleh pitana dan gayatri (2005)
bahwa terddapat aktor pariwissata yaitu; masyarakat, swasta dan pemerintah.
Pada proses pembanguna objek wiasta Pariwisata di Kecamatan Rupat utara kerja
sama yang terjadi baru melibatkan pemerinta daerah melalui UPT Pengelola Pantai lapin
dan masyarakat sekitar melalui Pokdarwis. Sektor swasta belum dilakukan penjajakan kerja
sama untuk mengurai permasalahan pembangunan Objek Wisata di Kecamatan Rupat
Utara. Sehingga pembangunan terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada alur kordinasi
yang jelas.
Permasalahan awal telah diungkapkan bahwa tidak sektor transportasi mengalami
kendala, namun pada proses pembangunannya tidak melibatkan pengusaha travel atau
speet boat. Mengingat banyak wisatawan ke ulau rupat mengeluhkan aspek teransportasi.
Akomodasi dan ketersediaan air bersih yang menjadi kendala juga tidak ada kerjasama
antar lembaga (PDAM) atau lembaga desa untuk membangun jaringan air bersih
dikawasan Rupat Utara.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan terkait
potensi pembangunan destinasi wisata, permasalaha, collaborative governance tourism
dan kendala dalam pelaksanaan.
Pertama, Penulis membagi potensi daya tari wisata di setiap Desa dengan dengan hasil
yaitu; 1) Desa teluk Rhu terdapat wisata bahari pantai pesona, pantai teluk rhu, sedangkan
wisata budaya adalah budaya melayu dan kampung nelayan, 2) Desa kadur memiliki
potensi budaya melayu dan Klenteng Vidya Sagara, 3) Desa Tanjung Medang mempunyai
potensi wisata bahari Pantai Tanjung Medang, budaya Kelenteng Cin Heng Kang dan
wisata alam Hutan Mangrove, 4) Desa Tanjung Punak terdapat DTW Pantai Tanjung Lapin,
Mandi Safar, Tari Zapin Api, Hutan Mangrove, 5) Titi Akar terdapat DTW Kelenteng Cin Bu
Kiong, Etnotourism Suku Akit, Sumur Bertuah, 6) Desa Hutan Ayu terdapat DTW Etnotourism
Suku Akit, 7) Suka Damai terdapat DTW Pulau Beting Aceh, 8) Desa Puteri Sembilan terdapat
DTW Makam Puteri Sembilan, Pantai Bestari
Kedua, permasalahan pegembangan Data Objek wisata Wisata Kecamatan Rupat Utara
diatas terdapat banyak kendala dan permasalahan yang dialami. Dalam aspek wisata
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1159
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN OBJEK WISATA DI RUPAT UTARA KABUPATEN BENGKALIS
bahari beberapa pantai mengalami abrasi. Abrasi yang terjadi di pulau rupat dibeberapa
lokasi teluk rhu, putri sembilan, tanjung medang. Ketiga pantai tersebut terdampak abrasi
parah dengan laju 2-7 meter per tahun. Permasalahan lain yang terjadi adalah belum ada
pengelolaan sampah, sehingga banyak sampah bertebaran dipantai, dan dijalan. Akses air
bersih juga menjadi kendala, beberapa lokasi belum disaluri air bersih. Pendukung lain
seperti akses internet ketersediaan listrik yang tidak stabil banyak dikeluhkan wisatawan.
Ketiga, penulis menyimpulkam bahwa collaborative governance dilaksanakan dalam
bentuk Keterlibatan berprinsip (principled engagement) dalam proses pengembangan
objek wisata di pantai tanjung lapin, Motivasi bersama (Shared Motivation) dalam proses
pengembangan objek wisata di pantai tanjung lapin perlu membangun rasa kepercayaan,
Kapasitas untuk aksi bersama (Capacity for Join action) dalam proses pengembangan objek
wisata di pantai tanjung lapin dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan pariwisata
masyarakat memiliki peran penting agar pengelolaan bisa berjalan dengan baik.
Keempat, Belum terpenuhi Sumber Daya Manusia yang berkualitas Dinas Pariwisata,
Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Bengkalis dalam pengembangan
objek wisata di Rupat Utara. Sarana dan prasarana belum memenuhi, dan juga belum
terjalin kerjasama multisektor.
REFERENSI
Achmad Ali. (2012). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta:
Kencana.
Arikunto, S. (2013).Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Duran, C. (2013), “Governance for the tourism sector and its measurement”, Issue Paper
Series STSA/IP/ 2013/01, UNWTO Statistics and TSA, Madrid, October 2013
Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011), “An integrative framework for collaborative
governance”, Journal of Public Administration Research and Theory, Vol. 22 No. 1, pp.
1-29.
Gunawan, Imam. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Teori dan Praktik. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
La Ode Muhammad Elwan, Muhammad Yusuf, & La Ode Herman Halika. (2022). MINING
POLICY CONFLICT: Recruitment of Local Workers in Morosi Industrial Estate, Konawe
Regency, Southeast Sulawesi. Journal Publicuho, 5(3), 626–642.
https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i3.18
Lokantara, I Gede Wyana, Rafi’I Muhammad. 2017. Identifikasi Tipologi Destinasi Wisata Dan
Strategi Pengembangannya Sebagai Upaya Mewujudkan Pariwisata Kabupaten
Karangasem Berbasis Wisata Konservasi. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu
& call For Papers Unisbank Ke-3 (Sendi_U 3) 2017. ISBN:9-7-89-7936-499-93
Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Bandung: Rosdakarya
Peraturan Pemerintah.(2011). Peraturan Pemerintah (PP) tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 2025. Jakarta
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1160
Journal Publicuho
ISSN 2621-1351 (online), ISSN 2685-0729 (print)
Volume 5 No 4 (November -January 2022) pp.1149-1161 Accredited SINTA 4, SK.NOMOR 105/E/KPT/2022
Open Access at:
https://journalpublicuho.uho.ac.id/index.php/journal/index DOI: https://doi.org/10.35817/publicuho.v5i4.54
Peraturan Pemerintah. (2021). Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Pujiono, Bambang dkk. (2019). Stakeholder Analysis on Tourism Collaborative Governance in
Tanjung Lesung Tourism, Pandeglang Regency, Banten Province, Indonesia. African
Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, Volume 8 (3) - (2019) ISSN: 2223-814X
Puteri, J., Harto, S., & Adianto, A. (2022). Pengembangan Pariwisata Di Rupat Utara Dalam
Perspektif Sustainable Tourism. Pro Patria: Jurnal Pendidikan, Kewarganegaraan,
Hukum, Sosial, Dan Politik, 5(1), 55-73. https://doi.org/10.47080/propatria.v5i1.1466
Rheza, Muhammad, & Zaili Rusli. 2019. Pengembangan Kawasan Wisata Kecamatan Rupat
Utara Kabupaten Bengkalis. JOM FISIP Vol. 6: Edisi I Januari-Juni 2019
Sugiyono.(2006).Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung:Alfabeta
Syahrial dkk. 2021. Karakteristik ekologi, kondisi kesehatan dan tingkat kerawanan degradasi
mangrove saat penginisiasian KKPD Rupat Utara 2018. Dinamika Lingkungan
Indonesia, Januari 2021. Volume 8, Nomor 1. DOI 10.31258/dli.8.1.p.1-10
| J o u r n a l P u b l i c u h o - V o l 5 . N o 4 . 2 0 2 2 | Copyright©2022
1161