Tri Purna Gumelar - 2281011031 - Uts Sosiologi
Tri Purna Gumelar - 2281011031 - Uts Sosiologi
Tri Purna Gumelar - 2281011031 - Uts Sosiologi
Oleh
Tri Purna Gumelar
2281011031
Berbicara mengenai sistem sosial yang bersifat konkrit dan nyata, di masa saat ini
paham kapitalisme lanjutan telah mengakuisi negara berkembang untuk berorientasi pada motif
ekonomi, seperti menurut pendapat Marx yang menawarkan sebuah teori tentang masyarakat
kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Ia yakin bahwa manusia pada
dasarnya produktif, artinya untuk bertaham hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan
alam. Dengan bekerja seperti itu mereka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan,
perumahan dan kebutuhan lainnya. Dorongan bekerja tersebut diwujudkan secara bersama-
sama dengan orang lain (makhluk sosial). Kapitalisme pada dasarnya adalah rangkaian struktur
masyarakat yang membuat batasan pemisah antara individu dan proses produksi, produk yang
diproses orang lain, dan akhirnya memisahkan diri individu itu sendiri dari struktur sosial
lainnya. Inilah yang diistilahkan oleh Marx dengan konsep alienasi.
Alienasi terjadi karena kapitalisme telah berkembang menjadi sistem dua kelas, dimana
sejumlah kecil kapitalis menguasai proses produksi, produk dan jam kerja dari orang yang
berkerja. Akhirnya menjadi suatu penghacur struktur manusia sendiri melalui apa yang
dinamakan olehnya penindasan struktur kapitalisme yang saling berhadapan yaitu, struktur
sosial dengan struktur ekonomi (Rirzer, 2005). Semangat kapitalisme terdiri dari tiga hal; motif
memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic orientation) semangat
misi (ideas of calling). Dalam konteks metode penelitian pandangan Weberian memberikan
pengaruh terhadap konsep kebudayaan yakni bahwa kebudayaan membentuk kehidupan
ekonomi dan politik, karenanya, setiap tindakan didalamnya bisa di analisis dengan cara
vestehen (pemahaman) (Syawaludin, 2017).
Industri kapitalis ini berhubungan erat dengan globalisasi. Irianto mengatakan,
globalisasi merupakan gambaran tentang penciutan dan penyeragaman dunia. Dengan adanya
perkembangan teknologi informasi saat ini telah mengubah kebudayaan sebagian besar
masyarakat dunia, baik yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat di seluruh
dunia saat ini telah melakukan transaksi ekonomi serta memperoleh informasi dalam waktu
singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Kebudayaan dalam era globalisasi tidak sekadar
disikapi sebagai pola perilaku, pengetahuan, dan pola pikir kelompok sosial secara mapan.
Kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan yang selalu tetap, tetapi
kebudayaan di era globalisasi ekonomi telah membentuk realitas yang selalu diproduksi dan
direproduksi secara terus menerus, yang kemudian melahirkan identitas-identitas baru (Irianto,
2009)
Salah satu isu yang menonjol dalam era globalisasi adalah munculnya istilah
komodifikasi. Komodifikasi adalah proses terjadinya perubahan barang atau layanan yang
sebelumnya mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subjek yang mengikuti aturan
pasar (Peter dkk., 2002). Komodifikasi merupakan salah satu bentuk kapitalisme global
mengakumulasi kapital, komodifikasi telah mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar
yang sifatnya komersial (Adorno & Horkheimer, 1979)
Sejalan dengan deskripsi tersebut, globalisasi ekonomi telah memberi tantangan
perkembangan kebudayaan di Indonesia. Globalisasi ekonomi, memicu setiap produk-produk
budaya berkontestasi secara terbuka dan kreatif. Dampak dari globalisasi ekonomi juga
terdestribusi ke sejumlah relasi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali terhadap eksistensi
kesenian tradisional yang selama ini dianggap sebagai identitas kultural bagi masyarakat
pendukungnya (Irianto, 2010). Kesenian tradisional yang selama ini menjadi ekspresi
masyarakat pendukung untuk menciptakan keserasian antara manusia dan lingkungannya,
harus dituntut bersaing dengan produk-produk budaya lain secara terbuka. Kesenian tradisional
telah dijadikan benda budaya yang diproduksi oleh suatu industri secara massal demi
keuntungan secara finansial. Kesenian tradisional yang semula sebagai subjek pengetahuan,
kebijakan, dan kearifan lokal masyarakat pendukungnya, kemudian berubah menjadi objek
berupa benda yang harus diperjualbelikan melalui proses produksi budaya (Sri Suneki, 2012).
Dari sinilah lahir komodifikasi budaya berupa transaksi jual beli benda budaya berupa kesenian
tradisional. Melalui proses industri yang menuntut keuntungan secara finasial, eksistensi
kesenian tradisional dikemas menjadi benda budaya yang harus mengikuti aturan pasar.
Di era globalisasi, terutama dengan adanya industri pariwisata, para pelaku kesenian
tradisional ditantang memenuhi tuntutan pasar. Benar adanya, pariwisata dalam konteks
komodifikasi ini akan membawa keuntungan motif ekonomi bagi masyarakat. Akan tetapi,
sebagai akibat pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkendali, terjadilah perusakan
alam, pencemaran seni budaya, objek wisata. Lebih dari itu, masyarakat yang berada di sekitar
daya tarik wisata akan termajinalisasi identitas dan kepribadiannya.
Sejumlah penelitian mulai mengkaji dampak sosial komodifikasi budaya di beberapa
negara. Zhuang dkk., (2019) mengidentifikasi bahwa nilai-nilai moral penduduk Tionghoa
berubah, seperti orang-orang yang ingin meninggalkan mata pencaharian pertanian, menjadi
kurang bekerja keras, dan menuntut gaji yang lebih tinggi dan kesempatan kerja yang lebih
banyak. Widya Setiyanti & Sadono (2011) dalam Nurhadi (2022) juga melaporkan bahwa
kegiatan pariwisata di Pulau Pramuka memberikan peluang untuk membuka usaha dan
kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Masyarakat beralih pekerjaan ke usaha pariwisata
yang memanfaatkan transformasi usaha pariwisata sebagai pendapatan utama meskipun
jumlahnya tidak mencukupi. Oleh karena itu, temuan ini menghasilkan pertanyaan menarik
mengenai sifat dan sejauh mana hedonisme kehidupan sehari-hari atas kemajuan pariwisata.
Goulding (2000) dan Halewood Hannam (2001) dalam Nurhadi (2022) yang juga menemukan
bahwa konsekuensi sosial budaya dari komodifikasi budaya menghancurkan identitas lokal dan
nilai-nilai budaya, standarisasi budaya, dan konflik budaya. Secara keseluruhan, temuan paling
mencolok dari studi sebelumnya menunjukkan bahwa komodifikasi budaya melepaskan
keaslian yang mengawal konsekuensi sosial budaya lainnya (Getz & Page, 2016; Nurhadi,
2022).
Demikian pula di Bali sebagai laboratorium pariwisata dunia, Dorongan ke arah
pariwisata budaya pun dilandaskan kekhawatiran akan terjadinya komersialisasi berlebihan
atas seni dan budaya, sesuatu yang sudah dikahwatirkan Spies dan Bonnet tahun 1920-an/1930-
an yang menggangu tatanan sistem sosial (Putra, 2021). Tahun 1970an timbul kegelisahan di
Bali akan ke-tidakjelasan bentuk-bentuk kesenian mana yang boleh dan tidak boleh
dipentaskan untuk kepentingan kepariwisataan. Seminar Seni Sakral dan Profan di bidang
kesenian digelar tahun 1971 untuk menetapkan mana yang bisa dipertunjukan untuk kegiatan
keagamaaan dan mana untuk hiburan. Saat itu ditetapkan tiga kategori seni, yaitu seni wali,
bebali, dan balih-balihan. Yang pertama adalah seni sakral yang dipentaskan untuk kepentingan
upacara di tempat tertentu, yang kedua semisakral, sedangkan yang terakhir adalah hiburan
yang bisa disajikan untuk wisatawan (Putra, 2021).
Namun dewasa ini, seiring dengan masyarakat rasional kontemporer yang kemudian
meng-komodifikasikan tari Wali sebagai produk pariwisatanya, tentu hal tersebut
menimbulkan polemik sebagian kalangan dan menganggu tatanan sistem sosial. Hal tersebut
sejalan dengan Pratheep (2017) yang menemukan bahwa kegiatan pariwisata hanya
memberikan dampak positif pada skala kecil dan pihak tertentu di masyarakat sedangkan
sebagian besar masyarakat ini berdampak negatif. Dia menemukan bahwa kegiatan pariwisata
meningkatkan distorsi sosial-budaya, mengancam adat tradisional di negara atau daerah,
mendorong perdagangan ilegal benda dan hewan bersejarah, mengkomersialkan dan
mengkomodifikasi budaya tradisional (Pratheep, 2017).
Tuntutan dunia pariwisata itulah, mengubah cara pandang masyarakat pendukung
kesenian tradisional terhadap keberadaan kesenian tradisional. Ia tidak hanya disikapi sebagai
identitas kultural yang mengakomodasi tuntutan ritual masyarakat pendukungnya semata.
Keberadaan kesenian tradisional saat ini juga dituntut menjadi komoditi hiburan yang memuat
unsur komersial. Dengan demikian, eksistensi kesenian tradisional di era globalisasi ekonomi
ini menunjukkan gambaran tentang benturan antara nilai tradisional yang mengabdi pada
harmoni, keselarasan, dan mistis dengan nilai modern yang cenderung kapitalistik (Kurniawan,
2012). Dalam kebanyakan studi, komodifikasi budaya secara eksklusif dipersepsikan
membawa isu negatif patronase pada aspek sosial budaya dan diukur sebagai alat kapitalis
untuk mendapatkan keuntungan.
Walaupun studi kasus di Bali telah mendapat angin segar setelah polemik
berkesudahan, salah satunya dengan konsep yang lazim disebut sebagai psedo traditional art.
Konsep ini merupakan salah satu strategi dalam pengembangan kesenian tradisional, yakni
dengan cara membuat tiruan dari bentuk aslinya, tetapi menghilangkan nilai-nilai kesakralan.
Durasi pertunjukannya dipersingkat dan memerlukan biaya lebih murah dibandingkan
pertunjukan aslinya (Bambang Permandi & Benardin, 2021). Alih-alih masalah terselesaikan,
namun fokusnya sekarang tidak hanya mengenai bagaimana menetralkan eksploitasi budaya,
akan tetapi cenderung kepada bagaimana masyarakat sebagai local champion dalam sistem
sosial di sebuah daya tarik wisata, menginterpretasikan komodifikasi budaya sebagai sebuah
peluang yang bersifat ekonomi dan non-ekonomi, dan tentu tetap menjaga struktur sosial,
ekosistem budaya dan konservasi lingkungan. Untuk itulah, idealnya industri pariwisata
mampu sinergis dengan keberadaan kesenian tradisional. Seperti yang telah diungkapkan
Swarbrooke bahwa industri pariwisata semestinya tidak hanya berdimensi ekonomi semata
tetapi juga terintegrasi dalam dimesi lingkungan dan sosial (Swarbrooke, 1998; Irianto, 2016)
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki mendalam terkait
konsekuensi dampak positif sosial budaya dari perkembangan pariwisata dan menggambarkan
bagaimana perkembangan tersebut memanfaatkan etika dalam kegiatan ekonomi masyarakat
Bali. Penulis berpendapat bahwa hal yang telah disebutkan sebelumnya, mampu dinetralkan
dengan menggunakan pandangan literatur ilmiah sejalan dengan ilmu pengetahuan yang
bergerak sangat cepat. Yaitu dengan teori kritis dan teori sosial.
LANDASAN TEORI
Adorno., & Horkheimer. 1979. The Culture Industry Enlightenment as Mass Deception.
London: Verso, h. 12-17.
Baurdrillard, Jean. 1983. Simulations. New York: Semiotext.
Bentham, Jeremy. 2001. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation;Ontario:
Batoche Books Kitchener.
Darma, Putra I. 2021. Esensi dan Komodifikasi Pariwisata Budaya di Bali. Pusat Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Pariwisata Bali
H. Gleick, Peter, et.al., 2002. The New Economy of Water: The Risk and Benefits of
Globalization and Privatization of Fresh Water. California: Pasific Institute, 2002, 1-
5.
Irianto, Agus Maladi., dkk. 2010. Model-model Pengembangan Atraksi Kesenian Tradisional
Wonosobo, Sebagai Strategi Pemahaman Wawasan Wisata Masyarakat Lokal.
Laporan Penelitian, Semarang: LPPM Undip.
Irianto, Agus Maladi. 2010. Pariwisata Jawa Tengah, Diskusi tentang Manusia dan
Kebudayaan. Jurnal Ilmiah Universitas Trisakti PARIWISATA. Vol (15) No (1).
Irianto, Agus Maladi., dkk. 2015. Mengemas Kesenian Tradisional dalam Bentuk Industri
Kreatif, Studi Kasus Kesenian Jathilan. Laporan Penelitian, Semarang: LPPM Undip.
Irianto, Agus Maladi. 2016. Komodifikasi Budaya Di Era Ekonomi Global Terhadap Kearifan
Lokal: Studi Kasus Eksistensi Industri Pariwisata dan Kesenian Tradisional di Jawa
Tengah. Jurnal Theologia, Vol (27) No (1), 213-236.
Kayam, Umar. 1999. Seni Pertunjukan dan Sistem Kekuasaan. Jurnal Seni GELAR. Vol (2)
No (1), 7-15.
Koentaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aneka Cipta Ratih, P.Salain,
Kurniawan, Aan. Dampak Perekonomian Global terhadap Perekonomian Domestik. Dalam
http://aankurniawan-astra.blogspot.co.id/2015/10/dampak-perekonomian-global-
terhadap.html. Diakses 5 Mei 2023
Kuswarsantyo. Seni Jathilan: Bentuk, Fungsi, dan Perkembangannya (1986-2013), 17-31.
Maquet, J. 1971. Introduction to Aesthetics AnthropologyMassachusetts: Addison Wesley, 29-
31.
Ngurah Anom Kumbara, AA. 2021. Paradigma Teori-teori Studi Budaya. Denpasar: Swasta
Nulus.
Nurhadi, Iwan; Titik Sumarti; Arya Hadi Dharmawan; Didin S Damanhuri.2022. Komodifikasi
Budaya dan Transisi Etis Pengembangan Pariwisata: Wawasan dari Komunitas Osing,
Indonesia. Sodalitas: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 10 (01) 2022 | 24-43.
https://doi.org/10.22500/10202238564
Nyoman, Darma Putra I. 2021. Esensi dan komodifikasi pariwisata Bali. Pusat Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Pariwisata Bali.
Pratheep, PS. 2017. Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan India.Konferensi
Internasional ke-4 tentang Bahasa, Masyarakat dan Budaya dalam Konteks Asia
(2016), Vol. 1(3), 429. https:// doi.org/10.18502/kss.v1i3.765
Ruastiti, Ni Made. 2011. Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud. ISI Denpasar.
http://repo.isi-dps.ac.id/977/1/Komodifikasi_Obyek_
Rumawan Salain, Putu. 2013. Arsitektur Posmo pada Masid Al-Hikmah dalam Serapan Arsitek
Tradisional Bali. Denpasar: Udayana University Press
Salain, Nyoman Ratih Pajnyani. 2018. Desain, Seni Dan Budaya Dalam Pengembangan
Berkelanjutan. Denpasar: STD Bali Press
Soekanto, Soerjono. 1969. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia.
Suneki, Sri. 2012. Dampak Globalisasi terhadap Eksistensi Budaya Daerah. Jurnal Ilmiah
CIVIS, Vol (2I) No. (1), 307-319.
Swarbrooke. 1998. Sustainable Tourism Management. (New York: CABI Publishing is
division of CAB International 1998), 31.
Syawaludin, Mohammad. 2017. Teori Sosial Budaya dan Methodenstreit. Palembang: CV
Amanah.
V. Kolosov, Igor., & Konstantin E. Sigalov. 2020. Was J. Bentham the First Legal Utilitarian?.
RUDN Journal of Law 24, no (2), 438–71, https://doi.org/10.22363/2313-2337-2020-
24-2-438-471; dalam Endang Pratiwi., Theo Negoro., & Hasanain Haikal. 2022. Teori
Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujia n Produk
Hukum?. Jurnal Konstitusi, vol (19) No (2). https://doi.org/10.31078/jk1922