Tri Purna Gumelar - 2281011031 - Uts Sosiologi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

INTERPRETASI PERSPEKTIF TRANSISI ETIS-EKONOMI

TERHADAP KONSEKUENSI DAMPAK KOMODIFIKASI BUDAYA


PARIWISATA DI BALI

Oleh
Tri Purna Gumelar
2281011031

PROGRAM STUDI MAGISTER PARIWISATA


FAKULTAS PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
LATAR BELAKANG

Berbicara mengenai sistem sosial yang bersifat konkrit dan nyata, di masa saat ini
paham kapitalisme lanjutan telah mengakuisi negara berkembang untuk berorientasi pada motif
ekonomi, seperti menurut pendapat Marx yang menawarkan sebuah teori tentang masyarakat
kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Ia yakin bahwa manusia pada
dasarnya produktif, artinya untuk bertaham hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan
alam. Dengan bekerja seperti itu mereka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan,
perumahan dan kebutuhan lainnya. Dorongan bekerja tersebut diwujudkan secara bersama-
sama dengan orang lain (makhluk sosial). Kapitalisme pada dasarnya adalah rangkaian struktur
masyarakat yang membuat batasan pemisah antara individu dan proses produksi, produk yang
diproses orang lain, dan akhirnya memisahkan diri individu itu sendiri dari struktur sosial
lainnya. Inilah yang diistilahkan oleh Marx dengan konsep alienasi.
Alienasi terjadi karena kapitalisme telah berkembang menjadi sistem dua kelas, dimana
sejumlah kecil kapitalis menguasai proses produksi, produk dan jam kerja dari orang yang
berkerja. Akhirnya menjadi suatu penghacur struktur manusia sendiri melalui apa yang
dinamakan olehnya penindasan struktur kapitalisme yang saling berhadapan yaitu, struktur
sosial dengan struktur ekonomi (Rirzer, 2005). Semangat kapitalisme terdiri dari tiga hal; motif
memperoleh laba (profit motive), hidup zuhud dan sederhana (ascetic orientation) semangat
misi (ideas of calling). Dalam konteks metode penelitian pandangan Weberian memberikan
pengaruh terhadap konsep kebudayaan yakni bahwa kebudayaan membentuk kehidupan
ekonomi dan politik, karenanya, setiap tindakan didalamnya bisa di analisis dengan cara
vestehen (pemahaman) (Syawaludin, 2017).
Industri kapitalis ini berhubungan erat dengan globalisasi. Irianto mengatakan,
globalisasi merupakan gambaran tentang penciutan dan penyeragaman dunia. Dengan adanya
perkembangan teknologi informasi saat ini telah mengubah kebudayaan sebagian besar
masyarakat dunia, baik yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat di seluruh
dunia saat ini telah melakukan transaksi ekonomi serta memperoleh informasi dalam waktu
singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Kebudayaan dalam era globalisasi tidak sekadar
disikapi sebagai pola perilaku, pengetahuan, dan pola pikir kelompok sosial secara mapan.
Kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan yang selalu tetap, tetapi
kebudayaan di era globalisasi ekonomi telah membentuk realitas yang selalu diproduksi dan
direproduksi secara terus menerus, yang kemudian melahirkan identitas-identitas baru (Irianto,
2009)
Salah satu isu yang menonjol dalam era globalisasi adalah munculnya istilah
komodifikasi. Komodifikasi adalah proses terjadinya perubahan barang atau layanan yang
sebelumnya mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subjek yang mengikuti aturan
pasar (Peter dkk., 2002). Komodifikasi merupakan salah satu bentuk kapitalisme global
mengakumulasi kapital, komodifikasi telah mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar
yang sifatnya komersial (Adorno & Horkheimer, 1979)
Sejalan dengan deskripsi tersebut, globalisasi ekonomi telah memberi tantangan
perkembangan kebudayaan di Indonesia. Globalisasi ekonomi, memicu setiap produk-produk
budaya berkontestasi secara terbuka dan kreatif. Dampak dari globalisasi ekonomi juga
terdestribusi ke sejumlah relasi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali terhadap eksistensi
kesenian tradisional yang selama ini dianggap sebagai identitas kultural bagi masyarakat
pendukungnya (Irianto, 2010). Kesenian tradisional yang selama ini menjadi ekspresi
masyarakat pendukung untuk menciptakan keserasian antara manusia dan lingkungannya,
harus dituntut bersaing dengan produk-produk budaya lain secara terbuka. Kesenian tradisional
telah dijadikan benda budaya yang diproduksi oleh suatu industri secara massal demi
keuntungan secara finansial. Kesenian tradisional yang semula sebagai subjek pengetahuan,
kebijakan, dan kearifan lokal masyarakat pendukungnya, kemudian berubah menjadi objek
berupa benda yang harus diperjualbelikan melalui proses produksi budaya (Sri Suneki, 2012).
Dari sinilah lahir komodifikasi budaya berupa transaksi jual beli benda budaya berupa kesenian
tradisional. Melalui proses industri yang menuntut keuntungan secara finasial, eksistensi
kesenian tradisional dikemas menjadi benda budaya yang harus mengikuti aturan pasar.
Di era globalisasi, terutama dengan adanya industri pariwisata, para pelaku kesenian
tradisional ditantang memenuhi tuntutan pasar. Benar adanya, pariwisata dalam konteks
komodifikasi ini akan membawa keuntungan motif ekonomi bagi masyarakat. Akan tetapi,
sebagai akibat pertumbuhan industri pariwisata yang tidak terkendali, terjadilah perusakan
alam, pencemaran seni budaya, objek wisata. Lebih dari itu, masyarakat yang berada di sekitar
daya tarik wisata akan termajinalisasi identitas dan kepribadiannya.
Sejumlah penelitian mulai mengkaji dampak sosial komodifikasi budaya di beberapa
negara. Zhuang dkk., (2019) mengidentifikasi bahwa nilai-nilai moral penduduk Tionghoa
berubah, seperti orang-orang yang ingin meninggalkan mata pencaharian pertanian, menjadi
kurang bekerja keras, dan menuntut gaji yang lebih tinggi dan kesempatan kerja yang lebih
banyak. Widya Setiyanti & Sadono (2011) dalam Nurhadi (2022) juga melaporkan bahwa
kegiatan pariwisata di Pulau Pramuka memberikan peluang untuk membuka usaha dan
kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Masyarakat beralih pekerjaan ke usaha pariwisata
yang memanfaatkan transformasi usaha pariwisata sebagai pendapatan utama meskipun
jumlahnya tidak mencukupi. Oleh karena itu, temuan ini menghasilkan pertanyaan menarik
mengenai sifat dan sejauh mana hedonisme kehidupan sehari-hari atas kemajuan pariwisata.
Goulding (2000) dan Halewood Hannam (2001) dalam Nurhadi (2022) yang juga menemukan
bahwa konsekuensi sosial budaya dari komodifikasi budaya menghancurkan identitas lokal dan
nilai-nilai budaya, standarisasi budaya, dan konflik budaya. Secara keseluruhan, temuan paling
mencolok dari studi sebelumnya menunjukkan bahwa komodifikasi budaya melepaskan
keaslian yang mengawal konsekuensi sosial budaya lainnya (Getz & Page, 2016; Nurhadi,
2022).
Demikian pula di Bali sebagai laboratorium pariwisata dunia, Dorongan ke arah
pariwisata budaya pun dilandaskan kekhawatiran akan terjadinya komersialisasi berlebihan
atas seni dan budaya, sesuatu yang sudah dikahwatirkan Spies dan Bonnet tahun 1920-an/1930-
an yang menggangu tatanan sistem sosial (Putra, 2021). Tahun 1970an timbul kegelisahan di
Bali akan ke-tidakjelasan bentuk-bentuk kesenian mana yang boleh dan tidak boleh
dipentaskan untuk kepentingan kepariwisataan. Seminar Seni Sakral dan Profan di bidang
kesenian digelar tahun 1971 untuk menetapkan mana yang bisa dipertunjukan untuk kegiatan
keagamaaan dan mana untuk hiburan. Saat itu ditetapkan tiga kategori seni, yaitu seni wali,
bebali, dan balih-balihan. Yang pertama adalah seni sakral yang dipentaskan untuk kepentingan
upacara di tempat tertentu, yang kedua semisakral, sedangkan yang terakhir adalah hiburan
yang bisa disajikan untuk wisatawan (Putra, 2021).
Namun dewasa ini, seiring dengan masyarakat rasional kontemporer yang kemudian
meng-komodifikasikan tari Wali sebagai produk pariwisatanya, tentu hal tersebut
menimbulkan polemik sebagian kalangan dan menganggu tatanan sistem sosial. Hal tersebut
sejalan dengan Pratheep (2017) yang menemukan bahwa kegiatan pariwisata hanya
memberikan dampak positif pada skala kecil dan pihak tertentu di masyarakat sedangkan
sebagian besar masyarakat ini berdampak negatif. Dia menemukan bahwa kegiatan pariwisata
meningkatkan distorsi sosial-budaya, mengancam adat tradisional di negara atau daerah,
mendorong perdagangan ilegal benda dan hewan bersejarah, mengkomersialkan dan
mengkomodifikasi budaya tradisional (Pratheep, 2017).
Tuntutan dunia pariwisata itulah, mengubah cara pandang masyarakat pendukung
kesenian tradisional terhadap keberadaan kesenian tradisional. Ia tidak hanya disikapi sebagai
identitas kultural yang mengakomodasi tuntutan ritual masyarakat pendukungnya semata.
Keberadaan kesenian tradisional saat ini juga dituntut menjadi komoditi hiburan yang memuat
unsur komersial. Dengan demikian, eksistensi kesenian tradisional di era globalisasi ekonomi
ini menunjukkan gambaran tentang benturan antara nilai tradisional yang mengabdi pada
harmoni, keselarasan, dan mistis dengan nilai modern yang cenderung kapitalistik (Kurniawan,
2012). Dalam kebanyakan studi, komodifikasi budaya secara eksklusif dipersepsikan
membawa isu negatif patronase pada aspek sosial budaya dan diukur sebagai alat kapitalis
untuk mendapatkan keuntungan.
Walaupun studi kasus di Bali telah mendapat angin segar setelah polemik
berkesudahan, salah satunya dengan konsep yang lazim disebut sebagai psedo traditional art.
Konsep ini merupakan salah satu strategi dalam pengembangan kesenian tradisional, yakni
dengan cara membuat tiruan dari bentuk aslinya, tetapi menghilangkan nilai-nilai kesakralan.
Durasi pertunjukannya dipersingkat dan memerlukan biaya lebih murah dibandingkan
pertunjukan aslinya (Bambang Permandi & Benardin, 2021). Alih-alih masalah terselesaikan,
namun fokusnya sekarang tidak hanya mengenai bagaimana menetralkan eksploitasi budaya,
akan tetapi cenderung kepada bagaimana masyarakat sebagai local champion dalam sistem
sosial di sebuah daya tarik wisata, menginterpretasikan komodifikasi budaya sebagai sebuah
peluang yang bersifat ekonomi dan non-ekonomi, dan tentu tetap menjaga struktur sosial,
ekosistem budaya dan konservasi lingkungan. Untuk itulah, idealnya industri pariwisata
mampu sinergis dengan keberadaan kesenian tradisional. Seperti yang telah diungkapkan
Swarbrooke bahwa industri pariwisata semestinya tidak hanya berdimensi ekonomi semata
tetapi juga terintegrasi dalam dimesi lingkungan dan sosial (Swarbrooke, 1998; Irianto, 2016)
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki mendalam terkait
konsekuensi dampak positif sosial budaya dari perkembangan pariwisata dan menggambarkan
bagaimana perkembangan tersebut memanfaatkan etika dalam kegiatan ekonomi masyarakat
Bali. Penulis berpendapat bahwa hal yang telah disebutkan sebelumnya, mampu dinetralkan
dengan menggunakan pandangan literatur ilmiah sejalan dengan ilmu pengetahuan yang
bergerak sangat cepat. Yaitu dengan teori kritis dan teori sosial.
LANDASAN TEORI

Kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari


kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan
atau fakta dari nilai. Teori Kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis,
untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris.
Teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman
kontekstual. Dengan demikian teori kritis nerupakan dialektika antara pengetahuan yang
bersifat transendental dan yang bersifat empiris (Hardiman, 1990: 30).
Habermas membuka jalan baru bagi teori kritis dan sekaligus membuka harapan baru
bagi terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan oleh pencerahan/rasionalisasi, yaitu
kebebasan dan otonomi dengan melanjutkan program pendahulunya untuk menunjukkan sifat
ideologis dari saintis dan mengatasi positivisme dengan menunjukkan keterkaitan teori dan
praxis (Syawaludin, 2017). Habermas mengkritik Marx yang mereduksi praxis hanya sekedar
dimensi kerja dan menambahkan dimensi yang lain yaitu komunikasi. Jadi habermas
memahami praxis sebagai kerja dan komunikasi. Dengan menunjukkan dimensi lain dalam
praxis yaitu komunikasi, Habermas menunjukkan bahwa penindasan tak dapat bersifat
menyeluruh karena di dalam komunikasi masih ada kebebasan sehingga masih ada tempat bagi
rasio kritis. Dari Habermas, rasio mendapat pemahaman baru, yaitu sebagai kemampuan
linguistik manusia. Habermas menekankan paradigma komunikasi daripada kerja. Implikasi:
memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan
komunikatif yang menghasilkan pencerahan (Anom, 2021).
Berbicara tentang kritik modernitas berarti berbicara tentang masyarakat kapitalis dan
berbicara tentang politik dan kekuasaan karena Habermas hidup di era kapitalisme lanjutan
dimana politik menjadi dominan, berbeda dengan era Marx yang didominasi oleh ekonomi
dalam kapitalisme liberal. Habermas beranggapan bahwa kekuasaan seharusnya tidak hanya
dilegitimasi tetapi juga dirasionalisasikan. Habermas melihat rasionalisasi kekuasaan sebagai
masalah yang berkaitan dengan pengilmiahan politik dalam arti didasarkan pertimbangan-
pertimbangan ilmiah sepenuhnya yang belum terwujud saat ini (Syawaludin, 2017).
Metode yang dikemukakannya dan sangat berpengaruh bagi metode penelitian sosial
adalah praksis kritis emansipatoris. Metode ini berupaya mengungkap faktor-faktor politis dan
ideologis apa yang menjadi penghambat komunikasi. Mendeskripsikan problem struktural lalu
memberikan solusi bagaimana mewujudkan emansipatoris dan mengubah keadaan tersebut
menjadi berpihak pada masyarakat. Kepentingan metode ini adalah emansipatoris dan
pembelaan dari berbagai dominasi dan penindasan. Menurut interpretasi penulis, pernyataan
teori kritis ini mendukung pada persepktif komodifikasi budaya pariwisata Bali yang sejalan
dengan industri kapitalis, dimana masyarakat yang berhubungan langsung (direct) pariwisata,
bisa leluasa diberikan kebebasan untuk bertindak secara komunikatif. Masyarakat sebagai
pionir yang turut andil dalam pengembangan pariwisata (self mobalization) dapat menyikapi
isu ini, sesuai dengan perannya dalam mengoperasionalkan pariwisata yang berkelanjutan,
karena tentu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk rakyat, tidak hanya memberikan
manfaat ekonomi, tetapi bagaimana ekosistem budaya dan konsep konservatori lingkungan
bisa berjalan seiring dengan ekonomi global yang kian massif. Oleh karena itu, teori kritis ini
dikuatkan dengan teori pelengkap yaitu teori etika utilitarianisme, bagaimana tafsir masyarakat
dalam menyikapi komodifikasi budaya sesuai dengan etis-etika pada kegiatan ekonomi yang
berujung pada manfaat bagi masyarakat itu sendiri.
Konsep dasar dari Teori utilitarianisme secara umum sangat sederhana, yaitu
bagaimana memaksimalkan kedayagunaan (utility) dari suatu tindakan, sehingga dari proses
tersebut kita dapat menikmati manfaat, keuntungan, kebahagiaan, dan kenikmatan (benefit,
advantage, pleasure, good, or happiness). Dari proses memaksimalkan kedayagunaan tersebut,
kemudian diharapkan pula untuk dapat menghalangi timbulnya rasa sakit, kejahatan,
penderitaan, atau rasa-rasa yang menimbulkan ketidakbahagiaan. Dari pertanyaan tersebut,
maka dengan menerapkan konsep utilitarianisme, suatu penilaian terhadap tindakan (baik yang
dilakukan secara aktif atau tidak (commission or omission)), fenomena yang terjadi di
masyarakat, dan/atau suatu peristiwa konkret, akan didasarkan kepada seberapa berdayanya
dan seberapa bergunanya tindakan, fenomena, dan/atau peristiwa tersebut kepada individu
yang mengalaminya (Igor Kolosov, 2020; Endang Pratiwi dkk., 2022). Oleh karenanya dalam
konsep utilitarianisme klasik, apabila sesuatu tersebut memiliki daya guna yang besar kepada
masyarakat luas, maka hal demikian akan meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi rasa
sakit. Hal demikian pula yang membuat konsep utilitarianisme juga kental dengan proses
perhitungan antara kebahagiaan (pleasure) dan penderitaan (pain), karena apabila suatu
tindakan/fenomena/peristiwa melahirkan kebahagiaan yang lebih besar dari penderitaannya,
maka tindakan/fenomena/peristiwa tersebut memiliki “kedayagunaan” terhadap masyarakat,
begitu pula sebaliknya, apabila tindakan /fenomena/peristiwa itu melahirkan penderitaan yang
lebih besar, maka tindakan /fenomena/peristiwa tidak memiliki “kedayagunaan” (Endang
Pratiwi dkk., 2022).
Dari premis di atas, penulis berpendapat bahwa tujuan dari konsep utilitarianisme klasik
bukanlah bagaimana tindakan/fenomena/peristiwa digunakan untuk mencapai kemanfaatan,
tetapi justru untuk menghitung apakah tindakan/fenomena/peristiwa memiliki kemanfaatan.
Sehingga apabila memiliki kemanfaatan yang lebih besar, tindakan/fenomena/peristiwa secara
otomatis telah berdaya guna bagi masyarakat dan juga sebaliknya. Oleh sebab itu,
utilitarianisme lebih cocok untuk dijadikan sebagai alat evaluasi etis-etika apakah suatu hal
yang terjadi, berdaya guna bagi masyarakat luas atau tidak, dengan menggunakan perhitungan
pleasure dan pain tadi (Endang Pratiwi dkk., 2022). Hal ini akan bersinggungan dengan lokus
dari tulisan ini dalam menyikapi konsekuensi komodifikasi budaya akibat globalisasi ekonomi
yang di dalamnya masyarakat menjadi pionir dalam menentukan apakah komodifikasi menjadi
sesuatu yang pro atau kontra.
METODE PENELITIAN

Tulisan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan riset


kepustakaan (library research) atau systematic literature review. Apa yang disebut dengan riset
kepustakaan atau sering juga disebut studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian (Mestika, 2008) Sedangkan menurut Mahmud dalam bukunya Metode Penelitian
Pendidikan menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan yaitu jenis penelitian yang dilakukan
dengan membaca buku-buku atau majalah dan sumber data lainnya untuk menghimpun data
dari berbagai literatur, baik perpustakaan maupun di tempat-tempat lain (Mahmud, 2011).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penelitian kepustakaan tidak hanya
kegiatan membaca dan mencatat data-data yang telah dikumpulkan. Tetapi lebih dari itu,
peneliti harus mampu mengolah data yang telah terkumpul dengan tahap-tahap penelitian
kepustakaan. Dalam penelitian ini penulis menerapkan metode penelitian
kepustakaan/systematic literature review, karena setidaknya ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Pertama bahwa sumber data tidak melulu bisa didapat dari lapangan.
Adakalanya sumber data hanya bisa didapat dari perpustakaan atau dokumen-dokumen lain
dalam bentuk tulisan, baik dari jurnal, buku maupun literatur yang lain. Kedua, studi
kepustakaan diperlukan sebagai salah satu cara untuk memahami gejala-gejala baru yang
terjadi yang belum dapat dipahami, kemudian dengan studi kepustakaan ini akan dapat
dipahami gejala tersebut. Sehingga dalam mengatasi suatu gejala yang terjadi, penulis dapat
merumuskan konsep untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang muncul. Alasan ketiga
ialah data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitinya. Bagaimanapun,
informasi atau data empirik yang telah dikumpulkan oleh orang lain, baik berupa buku-buku,
laporan-laporan ilmiah ataupun laporan-laporan hasil penelitian tetap dapat digunakan oleh
peneliti kepustakaan. Bahkan dalam kasus tertentu data lapangan masih kurang signifikan
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang akan dilaksanakan.
Dalam penetian ini penulis mencari tema yang berhubungan dengan socio-cultural
diversity, lalu menemukan bahwa tema mengenai teori sosial kritis penting untuk diulas
mengingat bahwa saat ini isu eksploitasi budaya dan komodifikasi budaya ini menjadi
persoalan budaya terhadap pariwisata di Bali, dan penulis mengingat bahwa Bali merupakan
cerminan pariwisata dunia yang terlihat pada segi atraksi yang menonjol, diperkuat dengan
pendaftaran tari tradisional Bali sebagai warisan takbenda UNESCO, tari tradisional Bali
diakui UNESCO sebagai Itangible Cultural Heritage of Humanity. Penulis mencari sumber
artikel ilmiah terkait di situs ResearchGate, Elsevier dan Science Direct menggunakan kata
kunci berupa “teori kritis”, “kapitalisme”, “commodification”, “utilitarianisme.”,
“modernisme” dan ”economy globalization” .
PEMBAHASAN

Perkembangan pariwisata di Bali termasuk ke dalam simulacra yang merupakan ruang


dimana mekanisme simulasi berlangsung (Syawaludin, 2017). Merujuk Baudrillard, terdapat
tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983) dan Pariwisata Bali termasuk ke dalam simulacra
ketiga yaitu menuju kearah yang lebih massif, tentu dengan perkembangan ilmu dan teknologi
dewasa ini telah menciptakan realitas-realitas baru menjadi sebuah kenyataan. Menjembatani
hal tersebut dalam konteks pariwisata di Bali, budaya telah komersialisasikan untuk
kepentingan kepariwisataan. Walaupun sebenarnya hal tersebut sangatlah legal. Dalam
beberapa pandangan bahwa budaya di tekan lebih “murah” untuk bisa menarik minat
wisatawan, padahal hal tersebut syarat akan historis, filosofis dan estetika. Kemudian cara
hidup wisatawan juga mempengaruhi permintaan dari pasar, yang kemudian memaksa
penyedia internal, seperti masyarakat, pengusaha dan pemerintah mencoba untuk “berinovasi”.
Dalam hal ini biasa disebut dengan komodifikasi.
Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni,
nilai-guna (usevalue) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asli yang
secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang
memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang mendasari bangunan kebudayaan
masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-
tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah
lahir konsep komoditi (Kumbara, 2022).
Sebaliknya, tulisan ini menggali pernyataan relevan mengenai konsekuensi dampak
positif dari komodifikasi budaya. Bukti terbaru menunjukkan bahwa komodifikasi budaya
memperkuat identitas dan kebanggaan sebagai anggota masyarakat. Fenomena ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa ketika anggota masyarakat melakukan suatu budaya, mereka sadar
bahwa mereka adalah wakil dari masyarakat dan gambaran dari cara hidup masyarakat. Mereka
menjadi citra budaya mereka dan terpesona budaya dan nilai-nilai yang tertanam di dalamnya.
Konsekuensinya, jika pertunjukan itu dimodifikasi, konsekuensi aspek sosial budaya, politik,
dan ekonomi dialami oleh seluruh kelompok (Nurhadi dkk., 2022).
Merujuk pada penjelasan diatas, kemudian berkaitan dengan konsep konsekuensialisme
kelompok yang menentang konsekuensi dari tindakan yang hanya dilakukan dan dibagikan
oleh kelompok; dengan demikian, konsekuensi baik atau konsekuensi negatif akan berada di
dalam kelompok. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa komodifikasi budaya mendukung
rasa memiliki anggota kelompok karena mereka dan seluruh anggota akan menghadapi
konsekuensinya, dan dengan demikian mereka harus mempertimbangkan tindakan terbaik
yang membawa konsekuensi yang baik. Mengingat afinitasnya, karakteristik komunal tertanam
dalam tindakan dan konsekuensi orang (Nurhadi dkk., 2022).
Berdasarkan pernyataan diatas, konsekuensi konsep komoditi sering dijumpai dalam
ruang lingkup pariwisata Indonesia. Oleh karenanya, penulis mencoba merefleksikan tulisan
ini melalui studi kasus, yaitu Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Pesatnya perkembangan
pariwisata di Ubud tentunya tidak terlepas dari potensi yang ada di daerah ini, baik potensi
alam, budaya maupun potensi sumber daya manusianya. Potensi yang dimiliki inilah yang
dikembangkan masyarakatnya untuk meningkatkan industri pariwisata daerah ini. Sebagai
sebuah daya tarik wisata, Ubud yang penuh dengan hasil karya seni maupun keindahan alam
ini telah mampu membuat kesan tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung ke daerah
ini (Damardjati, 1981: 79). Melihat potensi ini, salah satunya, Puri Agung Ubud pun terdorong
untuk mempergunakan purinya sebagai komoditas pariwisata. Hal ini tentu didasari oleh
berbagai pertmbangan.
Puri merupakan salah satu jenis rumah tinggal di Bali yang khusus dihuni oleh kasta
Ksatria yang memiliki perbedaan wujud fisik maupun non fisik dengan jenis rumah tinggal
yang lain. Berbeda dengan Gria, Jero, ataupun Umah, arsitektural Puri dinilai lebih mewah dan
megah. Hal ini dapat terjadi karena puri merupakan rumah tinggal (istana/ pusat pemerintahan/
kerajaan) bagi Raja dan keluarganya, sehingga gaya arsitekturalnya memang diharuskan
berbeda dengan rumah tinggal rakyat biasa. Oleh sebab itu, puri di Bali seringkali ditetapkan
sebagai salah satu warisan budaya oleh pemerintah karena merupakan saksi bisu dari peristiwa
sejarah yang pernah berlangsung. Wujud dan gaya arsitekturalnya dijadikan sebagai karakter
atau identitas di daerah terkait (landmark) yang harus dipertahankan dan dikonservasi agar
tetap dapat berkesinambungan untuk generasi penerus.
Puri sebagai salah satu warisan budaya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang
layak untuk dikonservasi. Unsur-unsur kebudayaan adalah sistem kebudayaan yang satu sama
lainnya dapat memberikan kontribusi dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan.
Selain itu di dalam masing-masing sistem juga terdapat hubungan saling mempengaruhi
(Rumawan, 2013: 152). Menurut C.Kluckhohn dalam Soekanto (1969, 42) unsur-unsur
kebudayaan yang bersifat pokok atau besar selanjutnya disebut sebagai cultural universals
yang menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, Koentjaraningrat dalam
Rumawan (2013: 152) menyatakan ketujuh unsur-unsur kebudayaan memiliki keterikatan yang
kuat satu sama lainnya sebagai satu kesatuan dengan tata urutan sebagai berikut: Sistem Religi
dan Upacara keagamaan; Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan; Sistem Pengetahuan;
Bahasa; Kesenian; SIstem Mata Pencaharian Hidup, dan Sistem Teknologi dan Peralatan.
Puri Agung Ubud dalam tata ruang bangunannya menggunakan pola Sanga Mandala
dan konsep Hulu-Teben yang membagi wilayah Puri menjadi 9 palebahan. Puri sebagai daya
tarik wisata hanya mengambil 3 wilayah Palebahan yang telah mengalami perkembangan
fungsi. Ketiga Palebahan tersebut juga kerap disebut mijil pang telu karena merupakan sebuah
lintasan jalan keluar dari puri oleh sang raja.
Pola Palebahan Puri Agung Ubud, Gianyar menggunakan konsep Hulu-Teben dan
konsep Sanga Mandala. Dari konsep tersebut maka didapatkan pola palebahan yang membagi
kembali suatu nilai wilayah menjadi tiga bagian sesuai dengan tingkat nilainya. Pada wilayah
Nista yang terletak di arah Teben, dibagi lagi menjadi tiga wilayah yaitu Utamaning Nista,
Madyaning Nista, dan Nistaning Nista. Wilayah Madya juga dibagi kembali menjadi tiga yaitu
Madyaning Utama, Madyaning Madya, dan Madyaning Nista. Begitu pula pada wilayah
Utama yang dibagi menjadi tiga yaitu Utamaning Utama, Utamaning Madya, dan Utamaning
Nista (Nyoman Ratih, 2018).
Palebahan pada Puri Agung Ubud, terbagi menjadi 9 wilayah yaitu Palebahan Ancak
Saji, Palebahan Semangen, Palebahan Saren Kangin Delodan, Palebahan Saren Kangin
Baleran, Palebahan Rangki, Palebahan Saren Kauh, Palebahan Saren Agung, dan Merajan
Gede. Pada Palebahan Saren Kauh terdiri atas dua palebahan namun menggunakan batas
imajiner sehingga dua palebahan yang ada hanya menggunakan satu nama yaitu Palebahan
Saren Kauh (Nyoman Ratih, 2018).

Peta wilayah 3 palebahan (Nyoman Ratih, 2018)


Palebahan yang digunakan sebagai wilayah daya tarik wisata budaya adalah Palebahan
Ancak Saji, Palebahan Semanggen, dan Palebahan Rangki. Selain itu, pada ketiga Palebahan
ini terkandung nilai sejarah, nilai religi, nilai sosial, dan nilai kesenian yang layak untuk
dipertahankan dan dilestarikan. Dari segi nilai sejarah, ketiga Palebahan tersebut dahulu
merupakan jalur atau akses keluar masuk Raja disebut juga mijil pang telu. Nilai Religi
terkandung pada Palebahan Semanggen dan Palebahan Rangki karena difungsikan sebagai
sarana dan wadah pelengkap upacara keagamaan. Nilai sosial dan kesenian terkandung pada
Palebahan Ancak Saji yang kerap difungsikan untuk tempat berlatih seni tari bagi anak-anak
di lingkungan sekitar Puri.
Puri sebagai daya tarik wisata tentu dilengkapi berbagai aspek pendukung pariwisata,
salah satunya adalah attractions. Atraksi yang ditampilkan Puri Ubud berbasis seni
pertunjukan, dengan menampilkan fragmen Ramayana, tari Barong, tari Sang Hyang Dedari,
tari Baris, tari Cendrawasih, tari Kebyar Duduk, dan diiringi oleh tetabuhan gamelan Gong
Kebyar dari Puri. Atraksi ini dipertunjukan setiap hari senin-rabu-jum’at, pada pukul 19.30
WITA. Kegiatan kesenian tersebut umumnya memanfaatkan Palebahan Ancak Saji seperti
Bale Penangkilan, Bale Pegambuhan, dan Bale Pegongan. Kegiatan kesenian yang rutin
berlangsung tersebut secara tidak langsung menjaga keberadaan wujud fisik dari Bale-Bale
yang dibutuhkan pada Palebahan Ancak Saji.
Menurut Kayam (1981) salah satu faktor yang dapat mendorong wisatawan datang ke
suatu daerah adalah kesan yang mereka peroleh ketika datang ke daerah tersebut. Sebagaimana
wisatawan yang datang berkunjung ke Puri, tidak terlepas dari keunikan puri yang terletak di
pusat kawasan wisata Ubud ini. Selain itu, keindahan panorama alam menjadi penunjang daya
tarik tersebut. Sebagai sebuah daya tarik wisata, Puri ini dibangun berdasarkan tata-nilai
budaya masyarakatnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya tinggalan budayanya yakni berbentuk
pura dan puri (Wahab, Crampon, dan Rothfield, 1989: 41). Menurut penelitian Ruastiti (2011),
Tata-ruang puri yang terdiri dari jaba sisi, jaba tengah dan jeroan ini mempunyai fungsi
tersendiri. Perubahan fungsi akibat komodifikasi budaya terletak pada jaba sisi (halaman luar),
dimana wisatawan dapat menikmati keindahan puri dan menggunakan fasilitas pendukung,
seperti: sanitasi umum, tempat parkir, restaurant dan art shop dan mereka tidak akan melintasi
pamerajan puri dan merajan agung yang disakralkan masyarakat setempat.
Sehubungan dengan keterbukaan puri dan proses komodifikasi yang berlangsung di
puri sebagai daya tarik wisata, beberapa jenis-jenis komoditas Puri tampak tetap dipertahankan,
antara lain: (1) Puri sebagai pusat kebudayaan dan agama. (2) Image puri tetap dipertahankan
sebagai warisan budaya. Untuk itu pihak Puri ini tidak memasang papan penunjuk hotel dan
tidak mengenakan biaya masuk bagi wisatawan dengan tujuan menghindari komersialisasi.
Bangunan fisik dan arsitekturnya tetap dipertahankan berdasarkan konsep Sanga Mandala dan
ditata tanpa menghilangkan identitas Puri sebagai pusat budaya dan keagamaan masyarakat
setempat (Ruastiti, 2011).
Berpandangan dari penelitian yang terkait komodifikasi budaya di Puri, menunjukkan
bahwa masyarakat dan keluarga puri memiliki kesadaran untuk terlibat dan berkontribusi pada
budaya mereka. penulis percaya bahwa keterlibatan tersebut diilhami oleh kebanggaan sebagai
anggota dan pemilik dari budaya yang ditampilkan. Hal ini menunjukkan bahwa kenikmatan
komodifikasi budaya tidak semata-mata motif ekonomi, tetapi non-ekonomi. Penjelasan yang
mungkin untuk hal ini adalah bahwa orang-orang menyadari identitas mereka sebagai pewaris
budaya, sehingga ketika mereka tampil sehubungan dengan atraksi seni pertunjukan, mereka
mencontohkan budaya dan cara hidup.
Temuan ini juga mencerminkan bahwa Puri Ubud tidak hanya terlibat dalam kegiatan
budaya tetapi juga dalam atribut usaha pariwisata, seperti menyediakan akomodasi, fasilitas
hiburan tambahan, dan toko suvenir. Fasilitas yang dikembangkan dan elemen tambahan
disediakan sebagai pengiring kegiatan wisata di mana budaya dilakukan, dimodifikasi, dan
ditambahkan dengan motif ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian dan kondisi
masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan wisatawan. Fenomena tersebut
dapat dipahami bahwa begitu warisan budaya dipertunjukkan kepada pihak luar – wisatawan,
suasana masyarakat akan disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan.
Temuan ini konsisten dengan Cole (2007), Kırlar Can et al., (2017) dan Getz & Page
(2016) dalam Nurhadi (2022) menemukan bahwa, kehadiran wisatawan mendorong perbedaan
budaya dan keaslian yang dimodifikasi. Konsekuensinya sebagian dapat dijelaskan oleh
interaksi intensif antara lokal dan wisatawan dan motif ekonomi sambil mendapatkan
keuntungan ekonomi yang maksimal. Gagasan ini mendukung gagasan yang dikemukakan
oleh Bentham (2000) dalam utilitarianismenya yang mengemukakan kecenderungan suatu
tindakan untuk meningkatkan kebahagiaan secara keseluruhan. Kegiatan ekonomi Puri Ubud
menggambarkan bahwa rasa bangga mengenalkan budaya dan memperoleh ekonomi
mendorong mereka untuk terus menjual dan berproduksi dalam kegiatan yang dikomoditisasi.
Tindakan dan pilihan untuk memodifikasi seni pertunjukannya sebagai contoh, menunjukkan
kesenangan dari kedua aspek tersebut merupakan landasan metafisik, dan perilaku pilihan
mencerminkan tingkat kesenangan yang diperoleh. Ketika masyarakat dan Puri Ubud
memperoleh keuntungan sosio-kultural seperti kebanggaan dan penguatan identitas dan
manfaat ekonomi, mereka cenderung terus melakukan komodifikasi budaya seperti yang
dikemukakan oleh Bentham (2000) bahwa kesenangan menjadi sinyal jalan yang mengarahkan
makhluk untuk mempertahankan aktivitas penting, dan rasa sakit menjadi sinyal berhenti yang
menghalangi aktivitas yang menyebabkan bahaya.
Kemudian penulis berpandangan, komodifikasi budaya mempengaruhi hubungan
sosial antar aktor, seperti memperluas hubungan sosial masyarakat dan pengelola Puri Ubud,
dari hubungan tunggal di antara masyarakat menjadi hubungan antara anggota masyarakat dan
pengelola Puri Ubud serta wisatawan meskipun hubungan yang diselesaikan bersifat
impersonal dan temporal. Hasil tersebut dapat dijelaskan dengan fakta bahwa komodifikasi
budaya menarik wisatawan untuk datang Puri Ubud untuk menikmati dan merasakan keaslian
budaya Bali. Akibatnya, interaksi antara wisatawan dan masyarakat tidak bisa dihindari.
Alhasil, daya pikat untuk memberikan dan menampilkan pertunjukan terbaik bagi para
wisatawan meningkat dan membuka semangat untuk terhubung dengan wisatawan.
Berhubungan dengan etika moral ekonomi konsekuen ini dikonseptualisasikan sebagai
ciri masyarakat dan pengelola Puri yang memberikan landasan atas apa yang seharusnya
diinginkan dan mempengaruhi pilihan-pilihan yang tersedia dari bentuk, cara, dan tujuan
tindakan. Persepsi aktor terikat oleh keharusan moral untuk mengutamakan kepentingan
kolektif untuk bertindak dan bersama-sama menanggung tindakan yang dipilih. Tipologi etika
ini sejalan dengan utilitarianisme dalam sub teori konsekuensialisme yang menjelaskan satu-
satunya hal yang penting dalam memutuskan hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah
keharusan manusia untuk bertindak (Endang dkk., 2022).
Sejalan dengan penelitian Nurhadi (2022) dalam konteks etika-ekonomi, kegiatan
ekonomi masyarakat dan pengelola Puri juga menunjukkan agregasi estimasi besaran
kesenangan dan kesakitan yang ditimbulkan dari keputusan yang diambil. Keberatan dan
penolakan dari kelompok masyarakat adat termasuk yang mewakili bagaimana kesenangan dan
rasa sakit diperhitungkan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan menjadi jalan keluar yang
diterima dari anggota masyarakat.
Persepsi aktor terikat dengan keharusan moral untuk mengutamakan kepentingan
kolektif dan bertindak serta bersama-sama menanggung tindakan yang dipilih. Hal ini terlihat
jelas dari masih dipertahankannya nilai-nilai Sanga Mandala (pembagian area puri menjadi
sembilan petak), dalam arsitektur bangunan Puri Ubud sebagai contoh, dimana nista memiliki
nilai utama sebagai tempat yang bernilai sakral, madya sebagai ruang tempat tinggal, dan
struktur tersebut masih bertahan hingga saat ini. ketika dihadapkan pada subjektivitas
kepentingan komunal. Tipologi etis ini sejalan dengan konsekuensialisme yang mengandaikan
konsensus mayoritas menjadi kesepakatan komunal beserta konsekuensinya. Seperti konsep
konsekuensial, utilitarianisme juga mengusulkan bahwa tindakan untuk memperoleh
kebahagiaan akan menjadi keputusan komunal, sehingga sebagian dapat menjelaskan adanya
bagian yang tidak di komodifikasi budaya seperti Nista dan Madya dalam arsitektur Bangunan
Puri Ubud.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, bagian yang mengalami komodifikasi budaya
adalah yang didorong oleh kepentingan tertentu seperti keuntungan ekonomi, sehingga
perluasan jejaring sosial bermanfaat bagi masyarakat dan Puri Ubud itu sendiri untuk
mendapatkan identitas budaya yang lebih kuat. Berkenaan dengan transisi etika ekonomi, nilai
kolektif tetap sama dengan risiko kegiatan budaya juga menjadi tanggung jawab masyarakat;
sehingga menyatakan paradigma utilitarianisme kolektif ada dalam kegiatan ekonomi Puri
Ubud.
KESIMPULAN

Masuknya arus globalisasi ke Indonesia, kesenian tradisional menghadapi tantangan


global, karena globalisasi juga merupakan bentuk penetrasi nilai baru yang melahirkan
perangkat-perangkat praktis. Lahirnya perangkat-perangkat praktis yang berbasis informasi,
komunikasi, dan teknologi melahirkan industrialisasi yang selalu mengarah pada orientasi
pasar. Dengan kekuatan industrialistik dan kapitalistik, maka proses produksi secara massal
tidak terhindarkan, termasuk mengkomodifikasi kesenian tradisional yang selama ini menjadi
identitas kultural dan kearifan lokal masyarakat pendukung. komodifikasi budaya secara
eksklusif dipersepsikan membawa isu negatif patronase pada aspek sosial budaya dan diukur
sebagai alat kapitalis untuk mendapatkan keuntungan.
Sejatinya industri pariwisata mampu sinergis dengan keberadaan budaya. Hal tersebut
tentunya perlu selasaras bahwa industri pariwisata semestinya tidak hanya berdimensi ekonomi
semata tetapi juga terintegrasi dalam dimesi lingkungan dan sosial. Oleh karenanya penelitian
ini berusaha menemukan konsekuensi dampak positif pariwisata di Bali dan bagaimana
perkembangan tafsir etika masyarakat terkait kegiatan ekonomi ini, melalui Puri Ubud, Gianyar
ini setidaknya penulis beranggapan bahwa m masyarakat dan keluarga puri memiliki kesadaran
untuk terlibat dan berkontribusi pada budaya mereka. Penulis percaya bahwa keterlibatan
tersebut diilhami oleh kebanggaan sebagai anggota dan pemilik dari budaya yang ditampilkan.
Hal ini menunjukkan bahwa kenikmatan komodifikasi budaya tidak semata-mata motif
ekonomi, tetapi non-ekonomi. Penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah bahwa orang-
orang menyadari identitas mereka sebagai pewaris budaya, sehingga ketika mereka tampil
sehubungan dengan atraksi seni pertunjukan, mereka mencontohkan budaya dan cara hidup.
Berbicara tentang praxis lain yaitu komunikasi sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Habermas dalam konteks pariwisata, dengan adanya keterkaitan antar peran stakeholder
sejalan dengan koordinasi yang dibangun memungkinkan masyarakat untuk tetap memiliki
kebebasan sejalan dengan keputusan dan konsekuensi yang diambil. Dialog-dialog
komunikatif dalam studi kasus Puri Ubud ini akan menghasilkan tindakan-tindakan
komunikatif yang menghasilkan pencerahan sejalan dengan bagaimana mereka mengatur
sistem regulasi sendiri (self mobalization) dan cara bijak yang didukung dengan harmonisasi
budaya yang telah dipertahankan.
Kemudian pembahasan mengenai etika terapan menguraikan etika dalam kegiatan
kepariwisataan. Dasar kajian etika dan kepariwisataan terletak pada dampak kepariwisataan
yang muncul dari berbagai kesenjangan di banyak sektor yang tumbuh seiring dengan hadirnya
kepariwisataan (Fennell, 2000) dalam tulisan ini adalah budaya. Ia menyebutkan bahwa pola
hubungan antar entitas yang berbeda ditentukan oleh situasi sosial dan interaksi wisatawan
yang dibangun. Dengan demikian, etika mencakup lebih dari sekedar penyajian konsekuensi,
seperti dasar motivasi wisatawan yang didorong oleh pengembangan dan promosi pariwisata,
sehingga etika berperan untuk mengatur wisatawan, pelaku, pengembang, dan pemerintah
untuk berbagi motivasi dan asumsi yang sama dalam kaitannya dengan tujuan wisata yang
dikembangkan masyarakat lokal.
Pemahaman baru ini akan membantu meningkatkan aspek teoretis dan praktis bahwa
pembangunan pariwisata tidak hanya membawa dampak negatif kepada masyarakat, karena
anggota masyarakat tetap ingin mempertahankan budaya mereka serta keuntungan ekonomi.
Ini menyiratkan bahwa pengembangan pariwisata memperkuat identitas anggota masyarakat.
Pada saat yang sama, dapat diakui bahwa mempertahankan identitas budaya menjadi upaya
mereka untuk menghayati keaslian sebagai masyarakat adat yang dalam batas tertentu
dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Secara keseluruhan, upaya untuk
mencapai keuntungan ekonomi sekaligus mempertahankan warisan budaya membuat
masyarakat dan pengelola Puri Ubud memodifikasi kegiatan ekonominya berdasarkan nilai-
nilai budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Adorno., & Horkheimer. 1979. The Culture Industry Enlightenment as Mass Deception.
London: Verso, h. 12-17.
Baurdrillard, Jean. 1983. Simulations. New York: Semiotext.
Bentham, Jeremy. 2001. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation;Ontario:
Batoche Books Kitchener.
Darma, Putra I. 2021. Esensi dan Komodifikasi Pariwisata Budaya di Bali. Pusat Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Pariwisata Bali
H. Gleick, Peter, et.al., 2002. The New Economy of Water: The Risk and Benefits of
Globalization and Privatization of Fresh Water. California: Pasific Institute, 2002, 1-
5.
Irianto, Agus Maladi., dkk. 2010. Model-model Pengembangan Atraksi Kesenian Tradisional
Wonosobo, Sebagai Strategi Pemahaman Wawasan Wisata Masyarakat Lokal.
Laporan Penelitian, Semarang: LPPM Undip.
Irianto, Agus Maladi. 2010. Pariwisata Jawa Tengah, Diskusi tentang Manusia dan
Kebudayaan. Jurnal Ilmiah Universitas Trisakti PARIWISATA. Vol (15) No (1).
Irianto, Agus Maladi., dkk. 2015. Mengemas Kesenian Tradisional dalam Bentuk Industri
Kreatif, Studi Kasus Kesenian Jathilan. Laporan Penelitian, Semarang: LPPM Undip.
Irianto, Agus Maladi. 2016. Komodifikasi Budaya Di Era Ekonomi Global Terhadap Kearifan
Lokal: Studi Kasus Eksistensi Industri Pariwisata dan Kesenian Tradisional di Jawa
Tengah. Jurnal Theologia, Vol (27) No (1), 213-236.
Kayam, Umar. 1999. Seni Pertunjukan dan Sistem Kekuasaan. Jurnal Seni GELAR. Vol (2)
No (1), 7-15.
Koentaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aneka Cipta Ratih, P.Salain,
Kurniawan, Aan. Dampak Perekonomian Global terhadap Perekonomian Domestik. Dalam
http://aankurniawan-astra.blogspot.co.id/2015/10/dampak-perekonomian-global-
terhadap.html. Diakses 5 Mei 2023
Kuswarsantyo. Seni Jathilan: Bentuk, Fungsi, dan Perkembangannya (1986-2013), 17-31.
Maquet, J. 1971. Introduction to Aesthetics AnthropologyMassachusetts: Addison Wesley, 29-
31.
Ngurah Anom Kumbara, AA. 2021. Paradigma Teori-teori Studi Budaya. Denpasar: Swasta
Nulus.
Nurhadi, Iwan; Titik Sumarti; Arya Hadi Dharmawan; Didin S Damanhuri.2022. Komodifikasi
Budaya dan Transisi Etis Pengembangan Pariwisata: Wawasan dari Komunitas Osing,
Indonesia. Sodalitas: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 10 (01) 2022 | 24-43.
https://doi.org/10.22500/10202238564
Nyoman, Darma Putra I. 2021. Esensi dan komodifikasi pariwisata Bali. Pusat Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Pariwisata Bali.
Pratheep, PS. 2017. Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan India.Konferensi
Internasional ke-4 tentang Bahasa, Masyarakat dan Budaya dalam Konteks Asia
(2016), Vol. 1(3), 429. https:// doi.org/10.18502/kss.v1i3.765
Ruastiti, Ni Made. 2011. Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud. ISI Denpasar.
http://repo.isi-dps.ac.id/977/1/Komodifikasi_Obyek_
Rumawan Salain, Putu. 2013. Arsitektur Posmo pada Masid Al-Hikmah dalam Serapan Arsitek
Tradisional Bali. Denpasar: Udayana University Press
Salain, Nyoman Ratih Pajnyani. 2018. Desain, Seni Dan Budaya Dalam Pengembangan
Berkelanjutan. Denpasar: STD Bali Press
Soekanto, Soerjono. 1969. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia.
Suneki, Sri. 2012. Dampak Globalisasi terhadap Eksistensi Budaya Daerah. Jurnal Ilmiah
CIVIS, Vol (2I) No. (1), 307-319.
Swarbrooke. 1998. Sustainable Tourism Management. (New York: CABI Publishing is
division of CAB International 1998), 31.
Syawaludin, Mohammad. 2017. Teori Sosial Budaya dan Methodenstreit. Palembang: CV
Amanah.
V. Kolosov, Igor., & Konstantin E. Sigalov. 2020. Was J. Bentham the First Legal Utilitarian?.
RUDN Journal of Law 24, no (2), 438–71, https://doi.org/10.22363/2313-2337-2020-
24-2-438-471; dalam Endang Pratiwi., Theo Negoro., & Hasanain Haikal. 2022. Teori
Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujia n Produk
Hukum?. Jurnal Konstitusi, vol (19) No (2). https://doi.org/10.31078/jk1922

You might also like