Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary: Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina Selatan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 150

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY

DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT

CINA SELATAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN EKAWATI
NIM: 110200261

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015
2

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY


DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT
CINA SELATAN
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN EKAWATI
NIM: 110200261
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

Dr. Chairul Bariah S.H.,M.Hum.


NIP. 195612101986012001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Suhaidi.S.H.,M.Hum. Dr.Arif,S.H.,M.Hum.


NIP. 196207131988031003 NIP. 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
3

ABSTRACT

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY


DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK
LAUT CINA SELATAN

Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum**
Dr.Arif,S.H.,M.Hum***

The fundamental issue in the South China Sea is over who has sovereignty
over the islands and their adjacent waters as well as sovereign rights and
jurisdiction in the exclusive economic zone and continental shelf measured from
the islands. The 1982 Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) has no
provisions on how to determine sovereignty over offshore islands. However, the
provisions of UNCLOS on baselines, the regime of islands, low-tide elevations,
the exclusive economic zone, the continental shelf, maritime boundary
delimitation and dispute settlement are all applicable to the South China Sea.
Since 2009 the ASEAN claimants have taken measures to clarify their
claims and bring them into conformity with UNCLOS. They maintain that under
UNCLOS claims to the natural resources in and under the waters in the South
China Sea can only be derived from claims to land features. China has clarified its
claim to some extent, but it is still not clear to the ASEAN claimants whether
China is making claims to the resources in the South China Sea based on its claim
to sovereignty over the land features or whether it is claiming rights in all of the
maritime areas inside the nine-dashed lines. If China fully clarifies its position on
the nine-dashed line map it will be clearer which maritime areas are in dispute,
and the claimants will be able to begin serious discussions about setting aside the
sovereignty disputes and pursuing joint development of the natural resources. If
China does not clarify its position and asserts rights in maritime areas which the
ASEAN claimants believe are not in dispute, one or more of the ASEAN
claimants may believe they have no choice but to refer legal issues to an
international court or tribunal.
Although China has exercised its right to opt out of the system of
compulsory binding dispute settlement for disputes relating to maritime boundary
delimitation and historic waters, some legal disputes relating to the interpretation
or application of the provisions of UNCLOS are subject to the compulsory
binding dispute settlement under Part XV. In addition, it may also be possible for
the ASEAN claimants to seek an advisory opinion from the International Tribunal
for the Law of the Sea on one or more legal questions relating to the South China
Sea disputes. ASEAN or the countries which involved in the South China Seas
4

dispute could make a similar decision as Bangladesh-India Maritime Boundary


about the dispute settlement through PCA (Permanent Court of Arbitration).
5

ABSTRAK

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY


DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK
LAUT CINA SELATAN

Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum**
Dr.Arif,S.H.,M.Hum***

Isu mendasar mengenai Laut Cina Selatan adalah siapa yang mempunyai
kedaulatan atas pulau-pulau dan wilayah perairan berkaitan dengan hak
kedaulatan dan yurisdiksi pada zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen
dihitung dari pulau-pulau. UNCLOS 1982 tidak mempunyai ketentuan tentang
bagaimana menentukan kedaulatan terhadap pulau-pulau di lepas pantai.
Bagaimanapun, ketentuan UNCLOS mengenai garis pangkal, rezim kepulauan,
elevasi surut, zona ekonomi eksklusif, landasan kontinen, delimitasi batas maritim
dan penyelesaian sengketa yang relevan dan dapat diaplikasikan pada Laut Cina
Selatan.
Sejak tahun 2009, ASEAN sebagai penggugat telah mengambil langkah
untuk memperjelas klaim mereka yang dapat membawa mereka pada kenyamanan
melalui UNCLOS. Mereka mempertahankan klaim berdasarkan UNCLOS untuk
sumber daya alam pada dan dibawah Laut Cina Selatan yang berdasarkan klaim
dan gestur tanah. Tiongkok telah mengklarifikasi klaimnya terhadap isu
perpanjangan tetapi hal ini tidak dapat menjawab gugatan ASEAN yang mana
Tiongkok membuat klaim atas sumber daya di Laut Cina Selatan berdasarkan
alasan kedaulatan atas wilayah tersebut atau yang mana hak untuk mengklaim
seluruh area maritime di dalam nine-dashed lines. Jika Tiongkok mengklarifikasi
posisinya secara menyeluruh dalam peta nine-dashed lines maka ini akan menjadi
lebih jelas di wilayah maritim mana sengketa tersebut berada dan gugatan akan
dapat dimulai dengan diskusi mendalam mengenai penyelesaian sengketa
kedaulatan dan pengembangan kerja sama terhadap sumber daya alam. Jika
Tiongkok tidak mengklarifikasi posisinya dan menegaskan haknya dalam wilayah
maritim yang mana ASEAN sebagai penggugat percaya wilayah tersebut
bukanlah wilayah sengketa, satu atau lebih penggugat ASEAN percaya mereka
tidak mempunyai pilihan untuk memilih pilihan hukum pada mahkamah
internasional.
Meskipun Tiongkok telah menyatakan haknya untuk memilih sistem
penyelesaian yang mengikat terhadap sengketa yang berkenaan dengan delimitasi
batas maritim dan sejarah laut tersebut, beberapa sengketa hukum berkenaan
dengan interpretasi atau aplikasi dari pengaturan UNCLOS yang mengikat dalam
bab XV. Sebagai tambahan, itu juga mungkin bagi ASEAN untuk memberikan
pandangan dari mahkamah laut internasional dari satu atau lebih pertanyaan yang
berkaitan dengan sengketa Laut Cina Selatan. Dan dalam penyelesaiannya
6

Negara-negara ASEAN ataupun Negara-negara yang bersengketa dengan


Tiongkok mengenai Laut Cina Selatan dapat mengikuti pilihan penyelesaian
sengketa yang diambil oleh Bangladesh dan India dalam menyelesaikan sengketa
Teluk Benggala yakni melalui PCA (Permanent Court of Arbitration) agar lebih
mendapat kepastian dalam penyelesaian sengketa itu.

Kata Kunci : Sengketa Laut Cina Selatan, Sengketa Teluk Benggala, PCA
(Permanent Court of Arbitration)
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II
7

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya

dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat pada waktunya. Skripsi ini dilakukan

bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada

Program Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Skripsi ini

diberi judul “RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY

DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK

LAUT CINA SELATAN”. Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap

agar para pembaca dapat memaklumi kekurangan dari penulis karena keterbatasan

pengetahuan dan kemampuan. Semoga dari skripsi ini, pembaca dapat mengerti,

memahami serta memberikan manfaat kepada pembaca.

Demi kelancaran penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak menerima

bantuan dari berbagai pihak baik dukungan moral dan materil. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting , S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I,

Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan II, dan

Bapak Dr.OK.Saidin,S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Ibu Dr. Chairul Bariah,S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen

Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;


8

4. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum selaku Sekretaris bagian Departemen

Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

5. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,S.H.M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

sangat peduli dan memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini;

6. Bapak Dr. Arif,S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah

peduli serta memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini;

7. Teristimewa kepada kedua orangtuaku, Tjaw Kim dan Mei Yen, kedua

adikku Gita Dwi Dayana dan Yasa Wikrama serta pakde (+) Hj.Dra. Sutardjo

yang telah memberikan banyak semangat, kekuatan, motivasi serta doa

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tapat pada

waktunya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Edy Murya, S.H. selaku Dosen Penasehat Akademik Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

9. Ibu Rosmalinda,S.H.,LLM. selaku Dosen Pembimbing pada kompetisi

International Humanitarian Law Competition,MITSO UNIVERSITY,Belarus;

10. Bapak Nazaruddin,S.H.,M.A selaku Dosen Pembimbing pada kompetisi

debat hukum nasional Piala Soediman Kartohadiprodjo 2013;

11. Seluruh Bapak/Ibu Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mendidik selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

12. Kakak kelompok kecil kak Joice Simatupang,S.H., serta teman kelompok

kecil Hary Tama Simanjuntak, Kristy Emelia Pasaribu, dan Citra Kesuma

Tarigan;
9

13. Seluruh sahabat di Perkumpulan Gemar Belajar, yang telah memberikan

banyak pengalaman maupun ilmu serta memori yang indah selama

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

14. Seluruh sahabat di Meriam Debating Club, yang telah memberikan banyak

pengalaman, ilmu serta kenangan yang manis selama perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

15. Sahabat-sahabat baik saya selama perkuliahan di Fakultas Hukum Univeristas

Sumatera Utara, Dwi Wira Purnamasari, Gabeta Solin,Susi Sofia,Nanda

Adithya Kalo, Arnita Alfriana, Kevin, Stella Guntur, Freddy Cahyadi,

William A.B. , Albert Fernando dan Erick M.P.Kaban.

16. Teman-teman selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Grup F dan Kawan-kawan Departemen Hukum Ekonomi yang

tergabung dalam International Law Student Association(ILSA);

Demikianlah penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh

pihak yang mendukung penulisan skripsi ini.

Medan, 13 April 2015

Penulis

Dian Ekawati

NIM: 110200261
10

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Pembatasan Masalah 8
D. Tujuan Penelitian 8
E. Manfaat Penelitian 8

BAB II : MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA


INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH
PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara 21
B. Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas
Negara 25
C. Klasifikasi Perbatasan Negara 39
D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional Menurut Hukum
Internasional 44
E. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional terhadap Konflik
Laut Internasional berdasarkan UNCLOS 1982 67

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA RESOLUTION OF


BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
A. Penyebab Timbulnya Sengketa Bangladesh-India Maritime
Boundary 78
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bangladesh-India Maritime
Boundary 92
C. Hasil Penyelesaian Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary
104
11

BAB IV : RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME


BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN
SENGKETA TERHADAP v LAUT CINA SELATAN
A. Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Cina
Selatan 110
B. Perbandingan Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary
dengan Sengketa Laut Cina Selatan 118
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan 125

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 128
B. Saran 129

DAFTAR PUSTAKA 131


3

ABSTRACT

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY


DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK
LAUT CINA SELATAN

Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum**
Dr.Arif,S.H.,M.Hum***

The fundamental issue in the South China Sea is over who has sovereignty
over the islands and their adjacent waters as well as sovereign rights and
jurisdiction in the exclusive economic zone and continental shelf measured from
the islands. The 1982 Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) has no
provisions on how to determine sovereignty over offshore islands. However, the
provisions of UNCLOS on baselines, the regime of islands, low-tide elevations,
the exclusive economic zone, the continental shelf, maritime boundary
delimitation and dispute settlement are all applicable to the South China Sea.
Since 2009 the ASEAN claimants have taken measures to clarify their
claims and bring them into conformity with UNCLOS. They maintain that under
UNCLOS claims to the natural resources in and under the waters in the South
China Sea can only be derived from claims to land features. China has clarified its
claim to some extent, but it is still not clear to the ASEAN claimants whether
China is making claims to the resources in the South China Sea based on its claim
to sovereignty over the land features or whether it is claiming rights in all of the
maritime areas inside the nine-dashed lines. If China fully clarifies its position on
the nine-dashed line map it will be clearer which maritime areas are in dispute,
and the claimants will be able to begin serious discussions about setting aside the
sovereignty disputes and pursuing joint development of the natural resources. If
China does not clarify its position and asserts rights in maritime areas which the
ASEAN claimants believe are not in dispute, one or more of the ASEAN
claimants may believe they have no choice but to refer legal issues to an
international court or tribunal.
Although China has exercised its right to opt out of the system of
compulsory binding dispute settlement for disputes relating to maritime boundary
delimitation and historic waters, some legal disputes relating to the interpretation
or application of the provisions of UNCLOS are subject to the compulsory
binding dispute settlement under Part XV. In addition, it may also be possible for
the ASEAN claimants to seek an advisory opinion from the International Tribunal
for the Law of the Sea on one or more legal questions relating to the South China
Sea disputes. ASEAN or the countries which involved in the South China Seas
4

dispute could make a similar decision as Bangladesh-India Maritime Boundary


about the dispute settlement through PCA (Permanent Court of Arbitration).
5

ABSTRAK

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY


DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK
LAUT CINA SELATAN

Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum**
Dr.Arif,S.H.,M.Hum***

Isu mendasar mengenai Laut Cina Selatan adalah siapa yang mempunyai
kedaulatan atas pulau-pulau dan wilayah perairan berkaitan dengan hak
kedaulatan dan yurisdiksi pada zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen
dihitung dari pulau-pulau. UNCLOS 1982 tidak mempunyai ketentuan tentang
bagaimana menentukan kedaulatan terhadap pulau-pulau di lepas pantai.
Bagaimanapun, ketentuan UNCLOS mengenai garis pangkal, rezim kepulauan,
elevasi surut, zona ekonomi eksklusif, landasan kontinen, delimitasi batas maritim
dan penyelesaian sengketa yang relevan dan dapat diaplikasikan pada Laut Cina
Selatan.
Sejak tahun 2009, ASEAN sebagai penggugat telah mengambil langkah
untuk memperjelas klaim mereka yang dapat membawa mereka pada kenyamanan
melalui UNCLOS. Mereka mempertahankan klaim berdasarkan UNCLOS untuk
sumber daya alam pada dan dibawah Laut Cina Selatan yang berdasarkan klaim
dan gestur tanah. Tiongkok telah mengklarifikasi klaimnya terhadap isu
perpanjangan tetapi hal ini tidak dapat menjawab gugatan ASEAN yang mana
Tiongkok membuat klaim atas sumber daya di Laut Cina Selatan berdasarkan
alasan kedaulatan atas wilayah tersebut atau yang mana hak untuk mengklaim
seluruh area maritime di dalam nine-dashed lines. Jika Tiongkok mengklarifikasi
posisinya secara menyeluruh dalam peta nine-dashed lines maka ini akan menjadi
lebih jelas di wilayah maritim mana sengketa tersebut berada dan gugatan akan
dapat dimulai dengan diskusi mendalam mengenai penyelesaian sengketa
kedaulatan dan pengembangan kerja sama terhadap sumber daya alam. Jika
Tiongkok tidak mengklarifikasi posisinya dan menegaskan haknya dalam wilayah
maritim yang mana ASEAN sebagai penggugat percaya wilayah tersebut
bukanlah wilayah sengketa, satu atau lebih penggugat ASEAN percaya mereka
tidak mempunyai pilihan untuk memilih pilihan hukum pada mahkamah
internasional.
Meskipun Tiongkok telah menyatakan haknya untuk memilih sistem
penyelesaian yang mengikat terhadap sengketa yang berkenaan dengan delimitasi
batas maritim dan sejarah laut tersebut, beberapa sengketa hukum berkenaan
dengan interpretasi atau aplikasi dari pengaturan UNCLOS yang mengikat dalam
bab XV. Sebagai tambahan, itu juga mungkin bagi ASEAN untuk memberikan
pandangan dari mahkamah laut internasional dari satu atau lebih pertanyaan yang
berkaitan dengan sengketa Laut Cina Selatan. Dan dalam penyelesaiannya
6

Negara-negara ASEAN ataupun Negara-negara yang bersengketa dengan


Tiongkok mengenai Laut Cina Selatan dapat mengikuti pilihan penyelesaian
sengketa yang diambil oleh Bangladesh dan India dalam menyelesaikan sengketa
Teluk Benggala yakni melalui PCA (Permanent Court of Arbitration) agar lebih
mendapat kepastian dalam penyelesaian sengketa itu.

Kata Kunci : Sengketa Laut Cina Selatan, Sengketa Teluk Benggala, PCA
(Permanent Court of Arbitration)
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II
12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik yang meliputi

sebagian wilayah Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan

luas sekitar 3,5 juta km². 1 Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini

merupakan wilayah perairan terluas. Laut Cina Selatan merupakan sebuah

perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya

terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat

penting sebagai jalur pendistribusian minyak dunia, perdagangan dan pelayaran

internasional. 2

Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan

adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) termasuk (Makau dan Hongkong),

Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia

dan Vietnam. Adapun sungai-sungai besar yang bermuara di Laut Cina Selatan

antara lain sungai Mutiara (Guangdong), Min, Jiulong, Red, Mekong, Rajang,

Pahang, dan Pasig. 3

Secara geografis Laut Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke

timur laut, batas selatan 3° Lintang Selatan antara Sumatera Selatan dan

Kalimantan (Selat Karimata) , dan batas utara-nya adalah Selat Taiwan dari ujung

utara Taiwan ke pesisir Fujian di Tiongkok daratan. Laut Cina Selatan terletak di

1
www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html, diakses pada tanggal 12 Januari 2015
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan,diakses tanggal 12 Januari 2015.
3
www.anneahira.com, Loc.Cit.

1
13

sebelah selatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan; di sebelah Barat

Filipina;di sebelah barat Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei;

di sebelah utara Indonesia ; di sebelah timur laut Semenanjung Malaya (Malaysia)

dan Singapura; dan disebelah timur Vietnam. 4

Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional,

merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis dan strategis. Sehingga

menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerja

sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandugan

minyak bumi dan gas alam yang terdapat di dalamnya,serta peranannya yang

sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan

kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-

tahun.

Penemuan minyak dan gas bumi pertama kali di pulau Spartly adalah pada

tahun 1968. Menurut data dari The Geology and Mineral Resources Ministry of

the People’s Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak

yang terdapat di kepulauan Spartly adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 x 1010 kg).

Fakta tersebut menempatkan kepulauan Spartly sebagai tempat cadangan minyak

terbesar keempat di dunia. 5

Sumber daya hidrokarbon juga menjadi daya tarik tersendiri. Menurut

estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60-70% hidrokarbon di

kawasan ini merupakan gas alam. Sementara itu, penggunaan sumber daya gas

4
http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan, Loc.Cit.
5
http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-
potensi.html, diakses tanggal 12 Januari 2015.
14

alam diproyeksikan bertambah sebanyak 5% per tahun untuk dua dekade yang

akan datang. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 20 trilion cubic feet (Tcf) per

tahun, lebih cepat daripada bahan bakar lainnya. 6

Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran penting. Jalur

pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah

satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu

lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda dan

Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati Selat Malaka dan bagian

barat daya Laut Cina Selatan bahkan lebih dari tiga kali yang melewati Terusan

Suez dan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama. 7

Selama dua puluh tahun ke depan konsumsi minyak bumi di negara-negara

Asia akan naik 4% rata-rata per tahun. Apabila laju pertumbuhan tetap konsisten,

permintaan minyak bumi akan naik menjadi 25 juta barrel per hari. Mau tidak

mau untuk mengatasi permintaan Asia dan Jepang harus dilakukan impor minyak

dari Timur Tengah. Kapal-kapal tanker pengangkut minyak dari Timur Tengah ke

negara-negara Asia tersebut setelah melewati Selat Malaka harus melalui Laut

Cina Selatan. Pelayaran Komersial di Laut Cina Selatan didominasi oleh bahan

mentah yang menuju negara-negara Asia Timur, dan yang melewati Selat Malaka

dan Kepulauan Spartly sebagian besar adalah kargo cair seperti minyak dan gas

alam cair (LNG), sementara kargo kering kebanyakan batu bara dan bijih besi.

6
Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam Sengketa
Laut China Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No. 08/II/P3DI/April /2012)
Hal. 6.
7
Ibid.
15

Pengangkutan LNG melewati Laut Cina Selatan mewakili dua per tiga dari

perdagangan LNG seluruh dunia menuju Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. 8

Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan (South China Sea, atau SCS) ini

diawali oleh klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas Kepulauan Spartly dan

Paracel pada tahun 1974 dan 1992. 9 Hal ini dipicu oleh Republik Rakyat

Tiongkok (RRT) pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan kepulauan

Spartly, Paracels dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat Tiongkok

(RRT) mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut. 10 Tentu saja

klaim tersebut segera mendapat respon negara-negara yang perbatasannya

bersinggungan di Laut Cina Selatan, utamanya negara-negara anggota ASEAN

(Association of Southeast Asian Nations). Adapun negara-negara tersebut antara

lain Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. 11

Di Laut Cina Selatan terdapat empat kepulauan dan karang yaitu: Paracel,

Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut

Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan Paracel,

(seperti perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja

dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol

karena intensitas konfliknya. Sejak klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas

kepulauan di Laut Cina Selatan pada tahun 1974 , Republik Rakyat Tiongkok

(RRT) menganggap Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatan lautnya. Pada

8
Ibid.
9
Evelyn Goh, (Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional
Security Strategies, 2005), East-West Center Washington, Hal. 31.
10
Ibid.
11
http://www.eastasiaforum.org/2011/06/29/china-s-militant-tactics-in-the-south-china-
sea/, diakses tanggal 15 Januari 2015
16

tahun 1974 ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menginvasi kepulauan

Paracel ini juga di klaim oleh Vietnam. Pada Tahun 1979, Republik Rakyat

Tiongkok (RRT) dan Vietnam berperang sengit di perbatasan dan angkatan laut

kedua negara bentrok di tahun 1988, kedua angkatan laut bentrok di Jhonson Reef

di kepulauan Spartly yang menelan korban dimana dengan tenggelamnya

beberapa kapal Vietnam dan 70 orang prajurit Angkatan Laut Vietnam gugur. 12

Pada tahun 1992, 1995, dan 1997, bersamaan dengan Filipina, Vietnam

mengganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah

kedaulatannya. 13Adanya konfrontasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT)-Vietnam

ketika terjadi eksplorasi minyak dalam wilayah perairan Internasional tahun 1994.

Pada tahun 1995 Taiwan menembak arteleri ke kapal Angkatan Laut Vietnam. 14

Pada tahun 1996 terjadi kontak senjata, antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

dan Filipina. Pada tahun 1998 Filipina menembak kapal nelayan Vietnam. Tahun

2000 tentara Filipina menembaki nelayan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Tahun 2001 tentara Vietnam menembakkan tembakan peringatan kepada pesawat

pengintai Filipina yang mengelilingi Pulau Spartly. Konflik Laut Cina Selatan

antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Vietnam, ini kemudian

menimbulkan suatu gerakan massa Anti-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di

Vietnam pada tanggal 14 Mei 2014, yang melakukan demonstrasi menyusul

ketegangan antar kedua negara, yang awalnya berlangsung dengan tenang namun

berujung pada melakukan kerusuhan terhadap sejumlah perusahaan asing di

12
Evelyn Goh, Op.Cit., hal. 19
13
Ibid.
14
Kolonel Karmin Suharna,SIP.,MA (Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan
dampaknya bagi Ketahanan Nasional: Majalah Komunikasi dan Informasi edisi 94 tahun , 2012 ),
Hal. 34.
17

negara tersebut serta massa membakar dan menghancurkan 15 pabrik yang

kebanyakan dimiliki oleh perusahaan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT). 15

Pada tanggal 21 Mei 2014 Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung

membeberkan suatu langkah ilegal yang dilakukan oleh Republik Rakyat

Tiongkok (RRT) yaitu melakukan penempatan anjungan minyak Haiyang 981 di

Laut Cina Selatan dan pengerahan kapal-kapal patroli untuk melindungi anjungan,

yang mana ini menurut beliau sangat serius mengancam perdamaian, stabilitas,

keamanan laut dan keselamatan serta kebebasan . 16

Latar belakang sejarah dan penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan

sebagai alasan bagi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk mempertahankan

klaimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan. Hal ini yang kemudian ditindak

lanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan kekuatannya melalui

aksi provokatif terhadap negara-negara pengklaim lainnya. Seperti terlihat dalam

kebijakannya sejak tahun 1974 hingga sekarang Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

secara intensif telah menunjukkan simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak

jarang terlihat agresif dengan melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing

yang melintasi perairan Laut Cina Selatan guna mempertahankan sumber-sumber

potensial barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya. 17

Keteguhan sikap Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam

mempertahankan klaimnya atas wilayah Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan

15
republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-bakar-15-
pabrik-di-vietnam#” , diakses pada tanggal 23 Januari 2015.
16
republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-vietnam-cina-langgar-
hukum-internasional” , diakses pada tanggal 23 Januari 2015.
17
Setyasih Harini (Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan:
artikel Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unsri Surakarta, 2015), Hal. 4.
18

niatnya untuk memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan

hanya di tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga Internasional.

Sebagai salah satu sasaran progam modrenisasi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

berusaha mengembangkan kemampuan Angkatan Laut guna meningkatkan

statusnya dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut biru (blue water navy),

suatu kekuatan yang memiliki kemampuan proyeksi jauh ke wilayah samudera

luas. Artinya, kekuatan laut biru dapat dijadikan sebagai penyeimbang kekuatan

ekonomi yang semakin dipertimbangkan di area internasional. 18

Dengan arti strategis dan ekonomis yang demikian, maka kawasan ini

berpotensi mengundang konflik. 19 Sebuah perairan dengan potensi kandungan

minyak dan gas alam yang tinggi juga peranannya yang sangat penting sebagai

jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia membuat Laut Cina Selatan

menjadi objek perdebatan dalam konteks Regional dan Internasional.

Keterlibatan banyaknya negara-negara dalam sengketa ini, maka perlu

adanya penyelesaian sengketa internasional yang berdasarkan pada suatu resolusi

internasional yakni Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary yakni

suatu putusan oleh ITLOS (International Tribunal of the Law of the Sea) yang

mana memiliki latar belakang konflik yang identik dengan konflik Laut Cina

Selatan,yang telah diputus pada tanggal 7 juli 2014 dan diakui keberadaannya.

Berdasarkan hal tersebut, dalam skripsi ini juga akan dibahas mengenai UNCLOS

1982 yang menjadi pedoman Hukum Laut Internasional dan dapat menjadi salah

satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan dikarenakan

18
Ibid.
19
www.foreignpolicy.com, diakses tanggal 24 Mei 2013.
19

sengketa ini merupakan suatu sengketa multinasional. Selain itu, isi dan prinsip-

prinsip yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dapat mengakomodir penyelesaian

sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan hal yang menjadi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adapaun permasalahan yang akan

dibahas antara lain :

1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik

wilayah perairan menurut Hukum Internasional?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam Resolution Of Bangladesh-India

Maritime Boundary ?

3. Bagaimana Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model

penyelesaian sengketa terhadap Laut Cina Selatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah diatas , maka tujuan dari penulisan

skripsi ini antara lain :

1. Mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik

wilayah perairan menurut Hukum Internasional.

2. Mengetahui penyelesaian sengketa dalam Resolution Of Bangladesh-India

Maritime Boundary.

3. Mengetahui Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model

penyelesaian sengketa terhadap Laut Cina Selatan.


20

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini,antara lain :

1. Secara teoritis

Diharapkan kehadiran skripsi ini dapat memberikan masukan bagi ilmu

pengetahuan khususnya dalam hal penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan

dan melahirkan pemahaman tentang penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan

sekaligus memperkaya serta menambah wawasan ilmiah baik dalam tulisan ini

maupun dalam bidang lainnya.

2. Secara praktis

Untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh dan memberikan masukan bagi pembaca

untuk memahami peranan Hukum Laut Internasional sebagai model

penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan serta memberikan manfaat bagi setiap

pihak yang berkepentingan dalam kaitannya dengan sengketa Laut Cina

Selatan.

D. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas penulisan sebelum melakukan penulisan

skripsi berjudul “RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME

BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP

KONFLIK LAUT CINA SELATAN” , penulis terlebih dahulu telah melakukan

penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara mealalui surat tertanggal 18 September 2014 , menyatakan bahwa judul


21

skripsi ini merupakan karya ilmiah yang belum pernah diangkat menjadi judul

skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media

internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan belum ada penulis lain

yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada hal itu adalah diluar

sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi

dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil

pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan

aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media

elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya

asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Resolusi menurut Black’s Law Dictionary “a formal expression of the

opinion or will of an official body or a public assembly, adopted by vote; as a

legislative resolution” 20 Hal ini bererti bahwa suatu resolusi merupakan suatu

bentuk pernyataan yang resmi mengenai suatu pendapat atau kehendak dari suatu

badan yang resmi atau suatu majelis yang bersifat umum serta disahkan melalui

pemungutansuara serta dinyatakan bahwa suatu resolusi merupakan sebagai suatu

bentuk penyelesaian legislatif.

Istilah “resolusi”sebagaimana yang digunakan oleh PBB memiliki arti

yang luas, yakni tidak hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga

20
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary. Hal 457.
22

keputusan. 21 Pada umumnya resolusi merupakan suatu pernyataan tercatat yang

berisi kesepakatan oleh negara-negara anggota. 22 Kesepakatan–kesepakatan antar

negara tersebut mereka tuangkan dalam bentuk suatu perjanjian yang mengikat

antar negara tersebut. Keputusan-keputusan atau resolusi yang dilahirkan suatu

organisasi internasional ada yang mengikat pada ruang lingkup intern

organisasinya saja. Namun ada juga organisasi internasional yang mana keputusan

yang dikeluarkannya tidak hanya berlaku dan mengikat bagi negara-negara non

anggota. Oleh karena itu pengaruh dan ruang lingkup berlakunya keputusan-

keputusan tersebut sangat besar dan luas. Hal ini dapat dilihat pada keputusan-

keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum ataupun Dewan Keamanan PBB

dimana ruang lingkup resolusi yang dikeluarkannya juga berlaku bagi negara non

anggota PBB. 23

Dalam praktiknya, adapun fungsi-fungsi suatu resolusi yang dikeluarkan

oleh suatu organisasi internasional adalah : 24

1. Menciptakan kewajiban, hak dan atau kekuatan maupun wewenang (fungsi

subtantif)

2. Menentukan fakta atau keadaan hukum yang dapat menentukan fungsi

subtantif tersebut.

3. Menentukan bagaimana dan kapan suatu fungsi subtantif tersebut dapat berlaku.

21
Marco Divac Oberg,The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and
General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ,16 Eur.J.Int’l.L.2006. Hal. 879.
22
Richard K.Gardiner,International Law, Person Education Limited,England, 2003. Hal.
254
23
Ibid
24
Marko Divac Oberg,Op.Cit, Hal .881.
23

Maritime Boundaries atau disebut juga dengan batas maritim. Batas

Maritim didefinisikan dengan segmen garis batas yang menghubungkan titik-titik

batas yang telah disepakati. Dalam batas maritim dikenal ada dua pengertian dasar

yang penting yaitu limit batas maritim (maritime limits) dan batas maritim

(maritime boundaries). 25 Limit batas maritim adalah batas terluar zona maritim

sebuah negara (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang

lebarnya diukur dari garis pangkal. Pada dasarnya limit batas maritim ini

ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada tumpang tindih dengan

negara lain. Penentuan limit batas maritim dilakukan oleh suatu negara yang

letaknya di tengah samudera dan jauh sekali dari negara-negara lain, maka negara

tersebut bisa menentukan batas terluar zona maritimnya secara sepihak tanpa

harus berurusan dengan negara tetangga, batas terluar ini disebut dengan limit

batas maritim (maritime limits). 26 Meski demikian jarang ada satu negara yang

bisa menentukan batas zona maritim tanpa berurusan dengan negara lain.

Misalnya di Selat Malaka, Indonesia tidak mungkin mengklaim 200 mil ZEE

karena jaraknya dengan Malaysia dekat, sementara itu, Malaysia juga berhak atas

ZEE. Disinilah diperlukan usaha membagi laut, prosesnya disebut maritime

delimination. Proses martime delimination ini akan menghasilkan maritime

boundaries (batas maritim). 27

Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai

sesuatu. Adapun John Collier&Vaughan Lowe membedakan antara sengketa

25
M.George Cole, Water Boundaries, Manchester University Press.1997.
26
Ibid
27
Ibid
24

(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah : “a specific

disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or

assertion of one party is met with refusal,counter claim or denial by another.”28

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility)

antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. 29

Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif

merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak

hanya eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja mengingat subjek-subjek

hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa

melibatkan banyak aktor non negara. Terkait dengan sengketa internasional sangat

menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh John Collier bahwa fungsi hukum

penyelesaian sengketa internasional manakala terjadi sengketa internasional

adalah to manage, rather than to supress or to resolve a dispute. 30

Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah menegaskan bahwa sengketa hukum

yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai berikut : 31

1. Interpretation of a treaty.

2. Any question of international law

3. The existence of any fact which, if established, would constitute a breach

of an international obligation

28
John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law,Oxford
University Press.1999.
29
Sefriani,S.H.,M.Hum.,Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press.2010.Hal
322.
30
Ibid
31
Ibid
25

4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an

international obligation

Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, melarang negara anggota menggunakan

kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. 32 Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal

33 Piagam PBB yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaikan secara

damai sengketa-sengketa mereka sambil menyebutkan bermacam-macam

prosedur yang dapat dipilih oleh negara yang bersengketa. 33

Karena kebebasan ini, negara-negara pada umumnya memberikan prioritas

pada prosedur penyelesaian secara politik,ketimbang penyelesaian melalui

arbitrase atau secara yuridiksional karena penyelesaian secara politik akan lebih

melindungi kedaulatan mereka. Bila terjadi ketegangan internasional yang

bersumber pada suatu sengketa maka negara-negara berpendapat akan lebih baik

bila sengketa tersebut dapat terlebih dahulu diselesaikan secara politik mengingat

sistem penyelesaian melalui cara tersebut lebih luwes, tidak mengikat dan

mengutamakan kedaulatan masing-masing pihak. Kalau tidak berhasil maka baru

diambil prosedur penyelesaian secara hukum,sekiranya sengeketa tersebut

memiliki aspek hukumnya pula. 34

Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional

sebagai berikut : 35

1. Secara damai :

a. Jalur politik :
32
DR.Boer Mauna,Hukum Internasional Pengertian,Peranan Dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global,edisi ke-2 , P.T.Alumni,Bandung,2005.Hal 193.
33
Ibid
34
Ibid
35
Sefriani,S.H.,M.Hum.,Op.cit. Hal 325.
26

1) Negosiasi

2) Mediasi

3) Jasa baik (good offices)

4) Inquiry

b. Jalur hukum :

1) Arbitrase

2) Pengadilan internasional

2. Secara kekerasan :

a. Perang

b. Non perang: pemutusan hubungan diplomatik, retorsi, blokade,

embargo, reprisal.

F. Metode Penulisan

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha

untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secar sistemastis dengan metode dan

teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang

digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan

menganalisanya dan dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut

untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang

ditimbulkan faktor tersebut. 36

1. Sifat dan Jenis Penelitian.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis,

artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan,

36
Khudzaifah Dimyati & Kelik Wriono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, Hal.1.
27

menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa perjanjian-perjanjian

dan Konvensi-konvensi internasional yang berkaitan tentang Hukum Laut

Internasional.

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penulisan normatif yaitu

penelitian yang berdasarkan perjanjian dan peraturan Hukum Internasional

UNCLOS 1982 dan Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary. Dan

merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menentukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam

penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara

kerja hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber

hukum internasional, peraturan-peraturan internasional, perjanjian-perjanjian dan

konvensi-konvensi hukum internasional serta beberapa dokumen terkait.

2. Sumber Data

Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang berbentuk

bahan hukum dan terdiri dari :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan

oleh pihak yang berwenang. 37 Dalam penelitian ini bahan hukum primer

diperoleh melalui UNCLOS 1982 dan Resolution of Bangladesh-India

Maritime Boundary serta perjanjian–perjanjian internasional dan konvensi-

konvensi internasional yang terkait.

37
Soedikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1988,
Hal.19.
28

b. Bahan hukum sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi,

atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-

jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa

sumber dari internet.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti :

kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakuakan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunkan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik

koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari

media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk

peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pusaka adalah sebagai

berikut : 38

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang

relevan dengan objek penelitian.

38
Ronitidjo Hanitijo Soematri, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimet. Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1990, Hal.63.
29

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak

maupun media eletronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah

yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang

berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan

menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini,

sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar

belakang penulisan skripsi, perumusan masalah , dilanjutkan

dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penulisan, dan diakhiri dengan sistematika

penulisan skripsi.
30

BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA

INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK LAUT

INTERNASIONAL

Pada bab ini diuraikan mekanisme penyelesaian sengketa

internasional terhadap konflik laut internasional yang terdiri dari

prinsip dan konsepsi hukum internasional dalam penetapan batas

negara, klasifikasi batas negara, mekanisme penyelesaian

sengketa internasional menurut hukum internasional,mekanisme

penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik laut

internasional berdasarkan UNCLOS 1982 serta Peranan ITLOS

sebagai lembaga penyelesaian sengketa laut internasional.

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA RESOLUTION OF

BANGLADESH - INDIA MARITIME BOUNDARY

Bab ini mengurai tentang penyebab timbulnya sengketa

Bangladesh-India maritime boundary, mekanisme penyelesaian

sengketa Bangladesh-India maritime boundary, dan hasil

penyelesaian sengketa Bangladesh-India maritime boundary.

BAB IV RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME

BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA

TERHADAP LAUT CINA SELATAN

Pada bab ini dibahas mengenai kajian Resolution of Bangladesh-

India maritime boundary, perbandingan sengketa Bangladesh-India


31

maritime boundary dengan sengketa Laut Cina Selatan, serta

mekanisme penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini akan dimuat kesimpulan dari pembahasan

yang ada pada bab-bab sebelumnya dan akan diakhiri dengan

saran-saran terhadap pembahasan skripsi ini.


32

BAB II

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara

Batas adalah tanda pemisah antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain,

baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas

wilayah suatu negara dirasakan sangat penting dan mendesak, hal tersebut

didasarkan fakta semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan

pembangunan yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut . Kebutuhan

akan ruang ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hilang atau berubahnya

batas wilayah suatu negara. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi, bukan tidak

mungkin akan muncul sengketa dan saling klaim terhadap wilayah suatu negara

oleh negara lain. 39

Pengakuan Internasional terhadap suatu negara didasarkan pada terpenuhi

tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara, antara lain adalah menyangkut

wilayah negara, karenanya tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara.

Dengan kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki wilayah dengan batas-

batas tertentu yang diakui secara internasional. 40

Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara

dua negara yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk

39
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Batas Wilayah Negara Indonesia “Dimensi,Permasalahan, dan
Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Penerbit Gava Media,
Yogyakarta.2008.Hal 35
40
Ibid.

21
33

dengan lahirnya negara. Menurut pendapat ahli geografi politik, perbatasan dapat

dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini

mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi

dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan

disebut frontier karena posisinya yang terletak di wilayah bagian depan dari suatu

negara. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat

atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara.

Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan

utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat

dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat. 41

Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara

(boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/atau

antar bangsa. Hal ini karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi

penyebab konflik terbuka. Meskipun penentuan delimitasi telah diatur dalam

berbagai konvensi internasional. Tetapi, latar belakang sejarah setiap

bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan

penyimpangan dalam menarik garis boundary dan bertabrakan dengan negara

lain. 42

Berkaitan dengan perbatasan antarnegara, hukum internasional

memberikan konstribusi yang penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan

atau perjanjian batas antar negara. Hukum internasional secara jelas dan tegas

41
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional,Graha
Ilmu,Yogyakarta.2011.Hal 63
42
Ibid.
34

memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antar

negara. Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat atau di wilayah

laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara lain secara tidak

langsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, akan

tetapi kesepakatan tersebut seyogianya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian,

sedangkan yang sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang, hal ini pada

dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan

penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut.

Menurut Adi Sumardiman 43secara garis besar terdapat 2 (dua) hal yang

menjadi dasar dalam penetapan perbatasan, yaitu:

1. Ketentuan Tidak Tertulis

Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para

pihak yang berwenang di kawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan

petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup,

perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam

membedakan wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Kondisi alam wilayah

membatasi manusia dalam menentukan permukimannya. Seiring dengan

perkembangan waktu, tanda-tanda alam tersebut dapat pula berkembang menjadi

batas wilayah. Melalui proses kebiasaan yang berlangsung lama, perbatasan

sedemikian dapat tumbuh menjadi perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional

ini yang kemudian dipertegas dalam suatu perjanjian antar negara yang

berbatasan.

43
Ibid.Hal.77.
35

Penetapan batas antar negara yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan

yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami kesulitan,

karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara politis lebih

rumit dari pada faktor teknis.

Berkaitan dengan penetapan dan penegasan batas wilayah,penamaan

unsur geografis memegang peranan penting dalam membantu penentuan lokasi

perbatasan. Hasil inventarisasi dan penamaan unsur geografis yang dilakukan

bersama-sama oleh pemerintah dan pemuka masyarakat inilah yang dijadikan

dasar hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan.

Lokasi perbatasan yang memiliki kepastian hukum hanya dapat diwujudkan

dengan cara formal dalam deskripsi tertulis dan cara materiil diwujudkan dengan

adanya tanda-tanda batas di lapangan.

2. Ketentuan Tertulis

Dalam studi Hubungan Internasional,perbatasan antar negara merupakan

faktor yang mempengaruhi hubungan antar negara. Perjanjian perbatasan anatar

negara berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi dengan undang-undang.

Dalam perjanjian perbatasan antar negara seyogianya dilandasi oleh kepastian

negara yang berbatasan dalam penentuan, penetapan dan penegasan batas

wilayah yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian antar negara.

Kepastian dan ketegasan tersebut dimaksudkan agar tidak timbul berbagai

tafsiran yang dapat mengurangi legalitas dari sebuah perjanjian perbatasan antar

negara. Hal ini disebabkan karena perumusan perjanjian perbatasan tidak dapat

memuaskan baik para ahli hukum, penyelenggara pemerintahan maupun para ahli
36

pemetaan. Perubahan-perubahan kedudukan perbatasan antar negara yang telah

ditetapkan di dalam suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari

negara yang saling berbatasan.

Dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan antar negara, peta

memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk

menemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya

dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah

dan memperjelas letak dan lokasi dari masing-masing titik batas maupun area

perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.

B. Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas

Negara.

B.1. Prinsip Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

1. Prinsip Penyelesaian Penetapan Batas Negara.

Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan

negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus.

Prinsip umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang

dijadikan acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dalam

prinsip umum penyelesaian penetapan perbatasan negara, terdapat 2 (dua)

landasan hukum internasional, yaitu United Nations Charter (Piagam PBB) dan

Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia. 44

44
Ibid.Hal.80
37

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, secara umum dalam

penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai

melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi

pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan

prinsip utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara.

Prinsip kedua dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara adalah

prinsip khusus.Prinsip khusus tersebut dalam implementasinya dibedakan menjadi

2 (dua) yaitu Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip Khusus

Penetapan Batas Maritim atau Laut. 45

a. Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat.

(1) Uti Possidentis Juris

Prinsip ini menyatakan bahwa negara yang merdeka mewarisi

wilayah bekas negara penjajahnya. Dalam konteks Indonesia hal tersebut

terlihat dalam penetapan batas negara antara lain sebagai berikut ;

(a) Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas

dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris tahun 1891,

tahun 1915, dan tahun 1928.

(b) Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan

atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia

Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan

Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 1914.

45
Ibid.
38

(c) Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan

atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris

tahun 1895.

(2) Border Stability

Dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat harus

memperhatikan dan menjaga stabilitas kawasan perbatasan. Hal tersebut

sangat beralasan karena kawasan perbatasan darat merupakan perbatasan

langsung antar negara, selain itu dalam beberapa kasus terdapat hubungan

kekerabatan antara masyarakat kedua negara yang berbatasan.

Penyelesaian penetapan perbatasan darat yang mengabaikan

prinsip border stability, pada gilirannya akan menimbulkan disharmonisasi

hubungan antar warga negara yang dapat berujung pada timbulnya

gangguan hubungan diplomatik antara negara yang berbatasan. Oleh sebab

itu, prinsip ini merupakan prinsip yang mutlak untuk dilaksanakan,

terutama dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat sebagai wilayah

yang berbatasan langsung antarnegara.

(3) Eternality of Boundary Treaty

Perjanjian perbatasan antar negara merupakan salah satu bentuk

perjanjian internasional, yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti

asas-asas dan kaedah dalam hukum internasional.

Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian

tentang batas negara bersifat final, sehingga tidak dapat diubah.

Sehubungan dengan hal tersebut, pihak salah satu negara tidak dapat
39

menuntut perubahan garis besar setelah batas tersebut disepakati bersama.

Doktrin adanya perubahan fundamental (rebus sict stantibus) yang

seringkali berlaku dalam hukum internasional, ternyata tidak dapat

diterapkan dalam perjanjian tentang batas antar negara. Secara tegas hal ini

dinyatakan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional.

b. Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim

Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi

landasan hukum internasional adalah United Nations Convention on the

Law of the Sea 1982 (yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982). Dalam

kaitan dengan penetapan batas laut teritorial, melalui Pasal 15 UNCLOS

1982 mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara

yang pantainya berhadapan atau berdampingan, dinyatakan sebagai

berikut :

“ Dalam hal dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan

satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak kecuali, ada

persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas

laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titik sama jaraknya

dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut

teritorial masing-masing negara diukur.

Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, apabila terdapat alasan baik

historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya


40

menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang

berlainan dengan ketentuan tersebut.”

Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 15 UNCLOS

1982 berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial dapat disimpulkan

menjadi 3 (tiga) hal yaitu : pertama, dalam penetepan batas laut teritorial

dilakukan dengan melalui perundingan; kedua, dalam penetapan batas laut

teritorial pada negara yang berhadapan,digunakan metode

equidistance;ketiga, ketentuan tersebut tidak dapat berlaku, apabila

terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan

perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara

yang berlainan dengan ketentuan tersebut.

Berkaitan dengan penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (yang

selanjutnya disebut dengan ZEE) dan Landas Kontinen, mengacu pada

Pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan

batas garis ZEE 46 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang

penyelesaian penetapan batas Landas Kontinen 47.

46
Pasal 74
Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan .
(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan
atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum
internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara
yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV.
(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negara-
negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus
melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat
praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi
dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi
tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
47
Pasal 83
41

Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 dan

Pasal 83 UNCLOS 1982, dalam penyelesaian penetapan batas ZEE dan

garis batas Landas Kontinen secara garis besar memperhatikan 3 (tiga)

prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona ekonomi

eksklusif dan landasan kontinen dilakukan melalui perundingan ; kedua,

dalam penyelesaian penetapan zona ekonomi eksklusif dan garis batas

landas kontinen harus berdasarkan pada hukum internasional; dan ketiga,

dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif

maupun landas kontinen harus mencapai Equitable Result atau

mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang bersangkutan.

B.2. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.

1. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat.

Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak dikenal adanya

regulasi yang bersifat khusus yang mengatur penetapan wilayah perbatasan darat

antar negara. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan wilayah

Penetapan garis batas landa kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan.
(1) Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan harus diadakan dengan persetujusn atas dasar hukum internasional,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk
mencapai pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara
yang bersangkutanharus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV.
(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negara-
negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus
melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat
praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi
dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi
tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
(4) Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang
bersangkutan, masalah yang berkaitan dengan penetapan garis batas landas kontinen
harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan tersebut.
42

perbatasan darat antar negara dapat ditentukan dengan berdasarkan 2 (dua) cara,

yakni: 48

Pertama, Secara Alamiah. Penentuan batas secara alamiah terlihat pada

kasus pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan kemudian

menjadi negara yang berdaulat penuh pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik

Demokratik Timor Leste. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia

maupun Timor Leste dalam kaitan dengan penetapan perbatasan darat.

Dalam kasus dengan Timor Leste, penetapan batas darat mengacu pada

perjanjian (treaty) antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal yang

ditandatangani pada 20 April 1859 di Lisabon dan kemudian pada 13 Agustus

1860 dilaksanakan pertukaran ratifikasi. Selanjutnya perjanjian batas wilayah

antara koloni Belanda dan Portugal di Pulau Timor secara rinci ditetapkan melalui

perjanjian (konvensi) yang ditanda tangani pada 1 Oktober 1904 di Den Haag,

dimana pada saat itu Indonesia merupakan koloni dari Kerajaan Belanda,

sedangkan Timor Portugis (nama Timor Leste pada saat menjadi koloni Portugal)

merupakan koloni Portugal.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bentuk idealnya pola penetapan

batas secara alamiah yang dilakukan penguasa kolonial merupakan upaya untuk

mempertimbangkan faktor pengelompokan berdasarkan kesatuan etnis yang

tinggal di wilayah perbatasan. Hal ini pada hakekatnya konkuren dengan daerah

batas penaklukan suatu daerah yang diperoleh dari kekuasaan tradisional penguasa

daerah tersebut.

48
Ibid.Hal 87.
43

Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah

daerah perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai

pendekatan atau metode watersheed, yakni mengikuti aliran turunnya air dari

tempat yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, penentuan atau penetapan perbatasan

darat dengan menggunakan metode watersheed apabila kedua belah pihak (negara

yang saling berbatasan) tidak mempunyai penafsiran yang sama akan

menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan tersebut. Hal ini disebabkan

karena adanya perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat perbedaan fakta di

lapangan dengan isi naskah dalam perjanjian. Berkaitan dengan hal tersebut,

hukum internasional menyatakan perlunya membangun kesamaan persepsi dan

saling percaya antara negara-negara yang saling berbatasan, untuk mengupayakan

jalan damai apabila timbul persengketaan yang berkaitan dengan penetapan atau

penegasan perbatasan darat. Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak

dalam penetapan perbatasan di lapangan dapat dituangkan ke dalam field plan dan

selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penetapan perbatasan

darat.

Kedua, Perbatasan Artifisial, perbatasan secara artifisial adalah

penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan cara buatan atau menggunakan

properti antara lain berupa pilar, beacon, tugu dan lain sebagainya. Penentuan

perbatasan dengan cara buatan/artifisial apabila dibandingkan dengan alamiah

lebih praktis dan mudah untuk dilakukan, sehingga mempermudah penetapan di

lapangan.
44

Dalam hukum internasional apabila penarikan garis batas secara lurus

menyinggung / mengenai sungai maka berlaku prinsip thalweg. Prinsip metode

thalweg adalah menggunakan dasar sungai yang dapat dijadikan alur pelayaran

sebagai acuan dalam penentuan perbatasan antar negara.Meskipun penentuan

perbatasan dengan menggunakan metode ini lebih praktis dan menguntungkan,

metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya memelihara kesatuan etnis yang

mendiami wilayah perbatasan sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan

potensi konflik horizontal antar negara, terutama berkaitan dengan kesenjangan

sosial dan ekonomi antar warga/penduduk di wilayah perbatasan.

3. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut.

Dalam kaitan dengan penetapan perbatasan laut antar negara dalam

konterks hukum internasional dikenal 2 (dua) konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) yaitu 49:

(1) Konvensi Hukum Laut Tahun 1958 (UNCLOS 1958)

Pada awalnya perkembangan penetapan perbatasan antar negara di

wilayah laut menggunakan metode penetapan batas secara artifisial dengan

asumsi bahwa wilayah laut merupakan bagian dari kekuasaan imperium

atas daratan.

Garis batas antar negara di wilayah laut berfungsi sebagai allocation

line yang menjadi batas pemisah kepemilikan daratan diantara penguasa

kolonial sehingga tidak dapat menjadi perbatasan laut semata, hal tersebut

dapat dilihat dari contoh disepakatinya perjanjian antara Portugis dan

49
Ibid.Hal 90.
45

Spanyol pada abad 15 yang dikenal dengan Perjanjian Tordesilas.

Perjanjian Tordesilas ini membagi dunia menjadi 2 (dua) dimana masing-

masing merupakan wilayah koloni/jajahan/jalur pelayaran dari Portugis

dan Spanyol.

Selain Perjanjian Tordesilas, pada tahun 1930 disepakati pula

Perjanjian Paris (Paris Treaty) antara Amerika Serikat dan Inggris yang

menjadi dasar bagi klaim atas kewilayahan Philipina oleh Amerika Serikat

dan Inggris. Kedua perjanjian tersebut merupakan contoh dari penggunaan

batas laut oleh negara-negara imperial untuk saling berbagi wilayah koloni,

sehingga batas laut sering diartikan sebagai allocation line.

Dalam kaitan itu, mulai muncul gagasan atau konsep untuk

mengatur tentang konsep laut wilayah atau yang lebih dikenal dengan laut

teritorial. Pada masa itu konsep laut wilayah merupakan suatu hal baru,

seiring ditemukannya teknologi persenjataan meriam, di mana sesuai

dengan daya jangkau meriam tersebut yaitu sejauh 3 mil laut, maka jarak 3

mil laut dinyatakan sebagai legitimate claim atas wilayah laut oleh negara

pantai. Namun demikian pada praktiknya Konvensi Hukum Laut 1958

(selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1958) tidak berhasil menyepakati

masalah ini, melainkan hanya menyebutkan penerapan prinsip

equidistance dan median line dalam rangka penetapan batas laut teritorial

negara yang saling berhadapan. Sementara itu, lebar maksimal klaim laut

teritorial yang dibenarkan menurut hukum internasional tidak disebutkan

sama sekali.
46

Perdebatan tentang lebar laut teritorial menjadi isu yang sangat

penting dan tidak terpecahkan dalam UNCLOS 1958. Hal tersebut pada

gilirannya merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya tuntutan rezim

kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum) vis a vis dengan

sebagian negara yang mengkehendaki pembatasan yang lebih tegas dan

jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk

melalukan pengawasan atas wilayah perairannya (mare clausum). Terlebih

lagi dalam penentuan hak ekonomis terhadap sumber daya alam minyak

dan gas di dasar laut (selanjutnya disebut sebagai landas kontinen),

UNCLOS 1958 juga belum memberikan batasan yang jelas dan tegas

melainkan digantungkan pada faktor natural prolongation dan

eksploitabilitas. Hal ini membawa dampak yang tidak menguntungkan,

terutama bagi negara-negara yang baru merdeka setelah periode Perang

Dunia ke-II, kenyataan tersebut dinilai sebagai upaya untuk

melanggengkan kekuasaan negara imperial yang adalah negara-negara

maritim besar (Spanyol,Portugis,Perancis,Inggris) atas jajahannya/bekas

jajahannya.

Hal ini kemudian mendatangkan ketidakpuasan masyarakat

internasional sehingga melahirkan tuntutan-tuntutan yang dipelopori oleh

negara-negara di Amerika Selatan yang melakukan klaim laut teritorial

secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut. Tindakan ini akhirnya

mendorong dilaksanakannya konferensi ketiga hukum laut internasional


47

yang kemudian melahirkan UNCLOS 1982 yang hingga saat ini masih

dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia.

Terlepas dar kegagalan UNCLOS 1958 terhadap dua pokok

masalah tersebut, UNCLOS 1958 memberikan sumbangan penting

berkaitan dengan diakuinya prinsip-prinsip hukum internasional yang

mengatur mengenai perbatasan laut antar negara. Hal ini tercermin dari

perkara yang diputuskan Mahkamah Internasional bahkan pada periode

setelah UNCLOS 1982 berlaku.

(2) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982)

Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, konvensi

hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the

Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang hukum laut III

yakni pada sidangnya yang ke-11, dan ditandatangani pada tanggal 10

Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica 50.UNCLOS tersebut

mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk negara kepulauan.

Rezim-rezim hukum laut internasional yang diatur didalam

UNCLOS 1982, yaitu 51:

1) Perairan Pedalaman

Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang

berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan

pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis

pangkal yang lain,yang akan menimbulkan adanya perairan pedalaman.


50
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 309.
51
Albert W.Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah
Mada University Press.Yogyakarta.1994.Hal 5.
48

Keadaan-keadaan tersebut adalah :

a) Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila

terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis

pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau

pulau-pulau tersebut (Pasal 7)

b) Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan

adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan

dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan

diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut),

laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada

mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa gris penutup tersebut

panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut (Pasal 10).

c) Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal

dapat ditarik melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-titik

pada garis air rendah di tepi muara tersebut (Pasal 9)

2) Laut Teritorial

Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai

meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut

serta tanah dibawahnya. Kesepakatan yang dicapai mengenai batas laut

teritorial,yaitu: 12 mil laut diukur dari garis pangkal (Pasal 4).

Konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut

teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan dan

berdampingan: apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya,


49

tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan bahwa laut

teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya

sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan

untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara (Pasal 15).

3) Jalur Tambahan

Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis

pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara

pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran

terhadap peraturan perundang-undangannya pada wilayahnya atau pada

laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapakan hukumnya (Pasal

33).

4) Zona Ekonomi Eksklusif

Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut

teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis

pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan

57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai

dapat menikmati:

a) Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar

laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya.

Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk

tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti

produksi energi dari air, arus, dan angin).


50

b) Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan konvensi, pendirian dan

penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta

perlindungan lingkungan laut.

c) Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam

konvensi.

Zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dilihat dari ketentuan

Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua

negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta

kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk

penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut.

Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku

juga di zona ekonomi eksklusif.

5) Landas Kontinen

Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi ini

adalah, daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut

teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas

terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil

laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut

teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut

(Pasal 76).

C. Klasifikasi Perbatasan Negara

Dalam perspektif geografi politik, batas wilayah suatu negara

(internasional boundary) dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu menurut


51

fungsinya (klasifikasi fungsional) dan menurut terjadinya (klasifikasi


52
morfologis). Klasifikasi fungsional adalah penggolongan perbatasan

internasional berdasarkan pada sifat-sifat relasi di antara garis-garis perbatasan

dan perkembangan bentang lahan budaya (cultural landscape) dari negara-negara

lain.
53
Menurut Harshborne , klasifikasi perbatasan internasional secara

fungsional dibedakan menjadi empat,yaitu:

(1) Antesedent Boundaries

Perbatasan ini terbentuk karena negara-negara baru yang saling

mendahului untuk saling memasang/menetapakan batas terluarnya. Jadi,

terbentuknya perbatasan ini sebelum terjadinya bentang lahan budaya.

(2) Subsequent Boundaries

Perbatasan yang terbentuk setelah adanya bentang lahan budaya dan

pembuatannya setelah ada perundingan dan persetujuan bersama antara

dua negara. Perbatasan ini mengikuti perbedaan etnik kultural khususnya

dalam hal bahasa dan agama. Jenis perbatasan seperti ini banyak dijumpai

di negara-negara di wilayah Eropa Timur, sedangkan di Asia terdapat di

perbatasan antara India dengan Pakistan atau Bangladesh.

(3) Superimposed Boundaries

Superimposed Boundaries merupakan jenis perbatasan yang tidak

berhubungan dengan pembagian sosio kultural. Hal ini disebabkan karena

52
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum
Internasional.Op.cit.Hal 69
53
Ibid.
52

diluar pihak yang berkepentingan mengadakan perundingan atau

perjanjian terdapat pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar yang

berkepentingan, kekuatan-kekuatan ini terutama yang menyangkut

kekuatan dan kepentingan politik suatu negara.

(4) Relic Boundaries

Perbatasan ini berupa garis yang telah kehilangan fungsi politisnya

terutama di bentang budayanya. Tipe perbatasan seperti ini biasanya

terjadi pada suatu negara yang masuk ke dalam wilayah negara lain, baik

secara sukarela maupun melalui proses imperialisme. Sebagai contoh,

batas antara Jerman Timur dan Jeman Barat.

Selain Penggolongan berdasarkan klasifikasi fungsional, perbatasan antara

negara (international boundaries) dapat pula digolongkan berdasarkan pada

morfologinya (proses terbentuknya). Berdasarkan proses terbentuknya perbatasan

dibedakan menjadi 2 (dua) 54, yaitu:

(1) Artificial Boundaries

Perbatasan yang tanda batasnya merupakan buatan manusia.

Pemasangan tanda ini biasanya dilakukan setelah adanya perundingan,

persetujuan maupun perjanjian antar negara. Batas buatan manusia ini

biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain-lain.

(2) Natural Boundaries

Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah. Perbatasan

alamiah dapat dibedakan dan dirinci menjadi 5 (lima) tipe,yaitu:

54
Ibid.
53

(a) Perbatasan berupa pegunungan

Perbatasan alamiah yang berupa pegunungan dianggap paling

menguntungkan dan paling besar manfaatnya,khususnya dalam

bidang pertahanan. Perbatasan berupa pegunungan juga bersifat

lebih stabil. Contoh negara yang memiliki batas pegunungan

seperti India yang memiliki batas wilayah Pegunungan Hilmalaya

dengan Tibet.

(b) Perbatasan yang berupa sungai dan laut.

Perbatasan alamiah adapula yang berupa sungai, perairan

pedalaman maupun laut. Lautan sebagai salah satu unsur fisik

geografis mempunyai peranan besar terhadap budaya maupun

struktur politik suatu negara. Pengaruh ini terutama tampak dalam

bidang perekonomian maupun keamanan dan pertahanan wilayah.

Perbatasan laut antar negara atau perbatasan laut merupakan hal

yang strategis, khususnya bagi negara yang memiliki wilayah laut

luas dan memiliki banyak gugus pulau atau negara kepulauan.

Selain laut, wilayah antara dua negara atau lebih dapat pula

dibatasi oleh sungai, ataupun lembah sungai. Seperti halnya laut,

bagi negara yang terdapat di wilayah pedalaman, sungai

memegang peranan penting sebagai sarana transportasi yang

mendukung dalam pengembangan sektor perekonomian suatu

negara. Selain itu ditinjau dari aspek pertahanan, sungai dapat


54

berperan sebagai pertahanan yang efektif dalam menghadapi

ancaman dari negara yang berbatasan.

(c) Perbatasan yang berupa hutan, rawa-rawa, dan gurun.

Kenampakan alam ini dapat dijadikan perbatasan antara dua

negara yang saling bertetangga. Sebagai contoh, perbatasan antara

Finlandia dan Rusia berupa rawa-rawa, perbatasan yang berupa

hutan antara Pakistan dan India dan perbatasan yang berupa gurun

yakni, perbatasan antara Rusia dan Tiongkok yang dipisahkan oleh

Gurun Gobi.

(d) Perbatasan geometris (Geometric Boundaries)

Perbatasan jenis ini mengikuti posisi garis lintang dan garis

bujur. Perbatasan seperti ini berkaitan dengan dibukanya wilayah

baru sebagai wilayah jajahan di masa lampau, terutama bagi

wilayah yang masih belum ada penduduknya. Pada masa lampau

banyak dijumpai penentuan perbatasan dengan menggunakan cara

seperti ini terutama bagi negara-negara jajahan di Benua Afrika.

(e) Perbatasan Antrophogeografis

Perbatasan jenis ini dipakai untuk membatasi wilayah-wilayah

yang berlainan bahasa, adat, agama dan lain sebagainya yang

termasuk dalam ethnic-cultural background yang sekaligus

merupakan batas wilayah kebangsaan (nasionalitas). Batas wilayah

yang berdasarkan bahasa banyak dijumpai di negara-negara Eropa


55

Timur sesudah Perang Dunia ke-I, seperti Polandia, Bulgaria,

Hongaria, dan Rumania.

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional menurut Hukum

Internasional.

Dalam kehidupan masyarakat internasional ditandai adanya dua faktor,

yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya

sengketa antar masyarakat internasional. Sengketa antar anggota masyarakat

internasional beraneka ragam sebabnya, mungkin disebabkan karena alasan

politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara

kepentingan tersebut. Persengketaan antara bangsa sering bersifat terbuka dan

paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang dan tidak sedikit menelan

korban. Perkembangan teknologi dalam bidang persenjataan yang dapat

dipergunakan untuk perang sering menghantui masyarakat internasional akan

timbulnya Perang Dunia yang pasti akibatnya akan lebih dahsyat dibandingkan

dengan Perang Dunia I dan II. Oleh karena itu masyarakat internasional selalu

berusaha agar sengketa antara mereka dapat diselesaikan dengan tanpa


55
menimbulkan perang di antara mereka. Suatu prinsip yang dikenal oleh

masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip

penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag

Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi 1907 ini kemudian diambil alih oleh Piagam PBB,

yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang berbunyi : “All members shall settle their

55
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional,Penerbit Universitas
Indonesia,Jakarta.2006.Hal 2.
56

international disputes by peaceful means in such a manner that international

peace and security, and justice, are not endangered.”.

Ketentuan Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB ini kemudian dijabarkan dalam

Pasal 33 Piagam PBB. Prinsip penyelesaian secara damai kemudian diambil alih

dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerja Sama Antarnegara

tanggal 14 Oktober 1970 (A/Res/2625/XXV) dan Deklarasi Manila tanggal 15

November 1982 (A/Res/37/10) mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional

Secara Damai. 56 Di dalam hukum internasional lain cara penyelesaian dengan

damai, dikenal juga penyelesaian dengan kekerasan. 57

Cara penyelesaian sengketa dengan damai dapat dilihat dalam Pasal 33

Ayat 1 Piagam PBB, yaitu: perundingan (negotiation), penyelidikan (inquiry),

mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), arbitrase (arbitration), penyelesaian

menurut hukum (judicial settlement) melalui badan atau pengaturan regional atau

dengan cara damai yang dipilih sendiri. Cara penyelesaian dengan perundingan,

penyelidikan, mediasi dan konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa tanpa

mempergunakan lembaga pengadilan seperti arbitrase atau pengadilan

internasional. 58

D.1. Penyelesaian dengan Damai

1. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung

oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa.

56
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 187.
57
Sri Setianingsih Suwardi, Loc.Cit.
58
Ibid.
57

Negosiasi antar negara biasanya dilakukan melalui saluran diplomatik, artinya

dilakukan oleh pejabat Departemen Luar Negeri, atau perwakilan diplomatik di

mana ia di tempatkan. Dalam hal masalah yang dirundingkan sangat teknis maka

anggota delegasi biasanya terdiri dari wakil-wakil departemen terkait.

Para pihak juga sering membentuk komisi gabungan (joint commission) di

mana anggota dari komisi gabungan terdiri dari wakil-wakil para pihak dan

berapa lama komisi gabungan ini menjalankan tugasnya tergantung pada

kepentingan untuk apa komisi ini didirikan. Misalnya komisi gabungan yang

didirikan oleh Amerika Serikat dan Kanada yang didirikan tahun 1909

mempunyai tugas unntuk menyelesaikan masalah-masalah perkembangan industri,

pencemaran udara, masalah-masalah sehubungan dengan perbatasan.

Negosiasi juga sering dipakai dalam rangka kerja organisasi internasional.

Negosiasi dalam rangka organisasi internasional dengan cara pendekatan

diplomatik secara informal akan lebih bermanfaat dibandingkan perdebatan

konfrontasi secara terbuka. Sekretaris Jenderal PBB dalam tugasnya sering

menjalankan negosiasi dengan negara-negara anggota PBB. Kadang-kadang

dalam rangka kerja organisasi internasional dibentuk komisi negosiasi dengan

anggota yang dipilih di antara anggota-anggota organisasi internasional tersebut.

Kadang-kadang dalam organisasi internasional komisi yang telah ada diberikan

tugas untuk mengadakan negosiasi. Sebagai contoh ketika PBB mengadakan

negosiasi dengan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy

Agency-IAEA) dengan Resolusi Majelis Umum No.1115 (XI) memberi wewenang


58

kepada Komite Penasihat untuk Penggunaan Tenaga Atom untuk Kepentingan

Damai (the Advisory Committee on the Peaceful Uses of Atomic Energy). 59

Agar negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa berhasil, maka antar

para pihak yang bersengketa harus ada kepercayaan akan penyeleasian dengan

negosiasi. Adanya ketidakpercayaan antar pihak dapat menyebabkan tidak

tercapainya penyelesaian sengketa mereka.

Jika negosiasi untuk menyelesaikan sengketa mengalami jalan buntu,

maka kemungkinan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan

mengadakan perjanjian yang memberikan kompensasi pada salah satu untuk dapat

mencairkan isu substansi .

Dalam suatu sengketa kemungkinan diselesaikan dengan sistem package

deals, hal ini sering dilaksanakan dalam negosiasi multilateral. Penyelesaian

dengan package deals ini sering terjadi di konferensi multilateral, di mana

kepentingan antar anggotanya berbeda-beda. Suatu anggota menawarkan

kepentingannya untuk didukung untuk didukung oleh pihak lain, pihak tersebut

akan mendukung usul pihak lain yang membutuhkan dukungannya. Sebagai

contoh masalah perikanan adalah penting untuk Inggris tetapi tidak penting untuk

negara Swiss, maka Inggris meminta Swiss mendukung usulan masalah perikanan

yang diajukan oleh Inggris, sebaliknya Inggris akan mendukung usulan mengenai

masalah keuangan yang diusulkan oleh Swiss. 60

Negosiasi hanya terjadi bila para pihak masih mau berunding. Jika kedua

belah pihak terlibat dalam sengketa yang serius, biasanya kedua belah pihak tidak

59
Ibid.
60
Ibid
59

mau berunding, bahkan sering para pihak akan menarik perwakilan diplomatiknya.

Keadaan sukar berunding antar para pihak juga dapat terjadi apabila para pihak

tidak mengakui satu sama lain.

Perlu diingat bahwa negara terikat untuk mengadakan penyelesaian

sengketanya dengan negosiasi bila hal tersebut dinyatakan dalam perjanjian yang

disetujuinya atau kewajiban untuk mengadakan negosiasi itu didasarkan pada

hukum kebiasaan internasional. Pasal 33 Piagam PBB menentukan alternatif

penyelesaian sengketa diantaranya dengan negosiasi. Oleh karenanya negara-

negara anggota PBB berhak untuk mempergunakan negosiasi sebagai cara

penyelesaian sengketa atau tidak memilihnya untuk penyelesaian sengketanya.

2. Jasa-jasa baik

Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensi suatu negara pihak ketiga

yang merasa dirinya wajar untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi

antara dua negara. Dalam hal ini, pihak ketiga menawarkan jasa-jasa baiknya. 61

Peranan pihak ketiga dalam usaha mencari penyelesaian sengketa adalah pihak

ketiga berusaha mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar mereka dapat

langsung berunding. Pihak ketiga hanya memberikan saran-saran secara garis

besar bagaimana sengketa itu akan diselesaikan oleh kedua belah pihak, tanpa ikut

langsung dalam perundingan. Saran-saran pihak ketiga ini didasarkan pada

pengaruh moral atau politik pihak ketiga pada pihak yang bersengketa.

Keterlibatan pihak ketiga ini dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak

yang bersengketa atau atas tawaran pihak ketiga.

61
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 198.
60

Peran pihak ketiga disini hanya menyarankan kepada kedua belah pihak

untuk merundingkan dan mencari penyelesaian sengketa. Bila para pihak yang

sedang bersengketa telah berhasil berunding, maka selesailah peran pihak ketiga.

Pihak ketiga disini dapat perseorangan (individu), negara ataupun organisasi

internasional. Sebagai contoh, Swiss sebagai negara netral sering bertindak

sebagai negara pelindung (protecting power) di wilayah yang sedang berkecamuk

sengketa bersenjata. Demikian juga ketika perang Vietnam, atas jasa baik Perancis

pihak Vietnam dan Amerika Serikat berunding untuk menyelesaikan perang

Vietnam tahun 1973. 62

3. Mediasi

Dibandingkan dengan jasa-jasa baik, peran pihak ketiga dalam mediasi lebih aktif,

karena pihak ketiga dapat mengambil bagian dalam perundingan antara pihak

yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mempergunakan usul-usul

yang berasal dari pihak mediator dan bahkan pihak mediator dapat menjadi

pemimpin dari perundingan yang diadakan para pihak yang bersengketa. Usul-

usul pihak mediator ini dapat mempergunakan asas-asas hukum ataupun asas-asas

di luar hukum yang tujuannya agar para pihak dapat berkompromi untuk

menyelesaikan sengketanya, tanpa ada paksaan untuk menerima usulan yang

diajukan oleh mediator. Mediator harus menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang

bersengketa. Sebagaimana jasa-jasa baik maka mediator ini juga dapat dilakukan

oleh individu, negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh sengketa

antara Argentina dan Chili dalam rangka pelaksanaan the Beagle Channel Award

62
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.16.
61

kedua belah pihak telah menerima Kardinal Antonio Samore sebagai mediator

atas usul dari Paus. 63

Mediasi dapat juga dilaksanakan lebih dari satu negara, sebagai contoh

komisi tiga negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) komisi dibentuk oleh

PBB dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa Republik Indonesia dan

Belanda tahun 1947, komisi ini bahkan membantu perumusan Perjanjian Renville.

Mediator juga sering dilakukan oleh tokoh-tokoh terkenal. Sebagai contoh

sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar tahun 1988, Raja Fahd dari Saudi

Arabia bertindak sebagai mediator.

Mediasi dapat dilaksanakan dengan sokongan keuangan dan bantuan lain

yang bernilai untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai contoh pada saat sengketa

anatara Pakistan dan India tentang wilayah perairan Indus antara tahun 1951 dan

1961, Bank Dunia menawarkan bantuan keuangan .

Bagi organisasi internasional seperti PBB atau organisasi regional,

penyelesaian sengketa secara damai antar anggotanya merupakan tujuan dari

organisasi. Dalam rangka PBB, peran Sekretaris Jenderal PBB dalam hal mediasi

sering dilakukan.

Mediator dalam melakukan suatu mediasi harus mempunyai “itikad baik”

dan tidak memihak. Hal ini disebabkan bahwa para pihak dengan itikad baik

meyerahkan sengketa kepada mediator dengan harapan bahwa mediator dapat

menyelesaikan sengketanya dengan baik. Jadi kepercayaan antara para pihak pada

mediator tidak boleh disia-siakan oleh mediator untuk mendekatkan para pihak.

63
Ibid
62

Mediator dapat mengusulkan suatu proposal sehingga kedua belah pihak akan

menerima. Mediator juga dapat mengatur di mana kedua belah pihak akan

bertemu di tempat yang netral. Mediasi tidak dapat dipaksakan pada para pihak

yang sedang bersengketa. Mediasi hanya dapat dilakukan bila para pihak

menghendakinya. Dalam hal para pihak tidak dapat menerima usulan yang

disampaikan oleh mediator ( hal ini disebabkan bahwa para pihak tidak terikat

oleh proposal mediator), atau karena para pihak tidak dapat menerima tindakan

mediator maka mediasi tidak dapat dilakukan.

Dalam hal para pihak menerima cara penyelesaian sengketanya dengan

mediasi ini berarti para pihak telah mengakui bahwa sengketanya telah merupakan

sengketa yang bersifat internasional.

Cara penyelesaian dengan mediasi berarti mencoba mengadakan

kompromi antara para pihak. Jika para pihak yakin bahwa sengketanya tidak akan

diselesaikan dengan mediasi atau kompromi sukar dicapai dapat menolak

menerima mediasi sebagai cara penyelesaian sengketanya. Sebagai contoh, ketika

Nigeria mengadakan perang di Biafra, Nigeria menolak mediasi karena

mengatakan bahwa masalah tersebut adalah masalah dalam negeri (domestic

jurisdiction). Hal yang penting dalam penyelesaian sengketa dengan mediasi

adalah: (a) Para pihak harus mempunyai itikad baik untuk berusaha

menyelesaikan sengketa dan tidak hanya sekedar menerima ide yang baik. (b)

Para pihak harus menerima peran mediator.

4. Komisi Angket/Pemeriksa (Enquiry)


63

Angket merupakan cara penyelesaian sengketa antar negara yang non

yurisdiksional dengan tujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan

penyebab dari suatu sengketa, keadaan di waktu terjadinya sengketa dan dan jenis

dari sengketa yang terjadi. 64

Suatu cara penyelesaian sengketa yang mula-mula dilahirkan tahun 1899

dalam Konferensi Den Haag I ini, atas inisiatif Kaisar Nicholas I. Dalam

Konvensi Den Haag II tahun 1907 menegaskan dan menyempurnakan prosedur

ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Den Haag I. 65

Kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk membentuk komisi

Angket/ Pemeriksa. Komisi ini mempunyai tugas untuk menjernihkan fakta-fakta

yang menjadi pangkal sengketa dengan mengadakan penyelidikan dengan teliti

dan tidak memihak.

Sistem angket ini bertujuan untuk memberikan dasar yang kuat bagi

jalannya suatu perundingan. Agar perundingan mempunyai dasar yang kuat tentu

diperlukan data-data yang objektif sebagai penyebab terjadinya suatu sengketa.

Data-data ini bisa saja diperoleh langsung dari negara-negara yang bersengketa

tetapi versinya tentu saling berbeda. Oleh karena itu pengumpulan dan analisa

fakta-fakta yang menjadi penyebab sengketa lebih tepat diberikan kepada suatu

komisi internasional yang akan berusaha mencapai suatu versi tunggal dari

sengketa yang terjadi. Selanjutnya laporan dari komisi angket tidak mempunyai

kekuatan yang mengikat dan pihak-pihak yang bersengketa mempunyai

kebebasan penuh atas kelanjutan laporan tersebut. Komisi angket hanya

64
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 206.
65
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.22.
64

membatasi diri pada pengumpulan fakta-fakta dan sama sekali tidak membuat

konklusi walaupun dari fakta-fakta yang diperoleh dapat ditarik suatu kesimpulan.

Konvensi Den Haag II 18 Oktober 1907 menegaskan dan

menyempurnakan prosedur ketentuan-ketentuan yang telah diterima di tahun 1899.

Pasal 9 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan : “ Dalam sengketa-sengketa

internasional di mana tidak terlibat baik kehormatan maupun kepentingan pokok

nasional tetapi hanya perbedaan pendapat tentang fakta-fakta, negara-negara yang

bersengketa dapat membentuk suatu Komisi Angket Internasional yang bertugas

untuk mempermudah penyelesaian sengketa-sengketa dengan jalan mempelajari

secara tidak memihak dan penuh kesadaran persoalan-persoalan mengenai

fakta.” 66

Dalam Konvensi Den Haag II tahun 1907 tugas dan cara kerja Komisi

Angket/Pemeriksa dicantumkan dalam Bab II, Pasal 9-36. Pada garis besarnya

dinyatakan bahwa Komisi Angket/Pemeriksa adalah; (1) Komisi Angket/

Pemeriksa bertujuan menjernihkan fakta-fakta; (2) Komisi dibentuk atas

persetujuan kedua belah pihak; (3) Laporan komisi ini tidak mengikat para

pihak. 67

4. Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian secara damai sengketa

internasional oleh suatu organ yang telah dibentuk sebelumnya atau dibentuk

kemudian atas kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa setelah lahirnya

masalah yang dipersengketakan. Dalam hal ini organ tersebut mengajukan usul-

66
DR.Boer Mauna, Loc.Cit.
67
Sri Setianingsih Suwardi, Loc.Cit.
65

usul penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa. Komisi konsiliasi bukan

saja bertugas mempelajari fakta-fakta akan tetapi juga harus mempelajari sengketa

dari semua segi agar dapat merumuskan suatu penyelesaian. Berikut adalah ciri-

ciri mengenai konsiliasi: 68

(a) Konsiliasi adalah suatu prosedur yang diatur oleh konvensi. Negara-negara

pihak suatu konvensi berjanji untuk mengajukan sengketa mereka kepada

komisi-komisi konsiliasi. Jadi ini adalah konsiliasi-konsiliasi wajib, yang

berarti bahwa komisi dapat melakukan tugasnya bila salah satu negara

peserta konvensi memintanya.

(b) Mengenai wewenang, komisi dapat mempelajari suatu persoalan dari

semua aspek dan mengajukan usul-usul untuk penyelesaian namun perlu

diingat bahwa prosedur konsiliasi ini adalah prosedur politik karena solusi

yang diajukan tidak mengikat negara-negara yang bersengketa. Di

samping itu dalam kebanyakan konvensi konsiliasi juga terdapat

ketentuan-ketentuan bahwa bila laporan dan usul komisi ditolak maka

negara-negara yang bersengketa harus meneruskan penyelesaian

sengketanya melalui prosedur yurisdiksional.

(c) Bila komisi-komisi angket adalah komisi ad hoc yang hanya dibentuk

sesudah terjadinya suatu sengketa dan bubar setelah pembuatan laporan

selesai, komisi-komisi konsiliasi adalah komisi-komisi tetap yang segera

dibentuk setelah berlakunya konvensi dan pembentukan tersebut harus

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi.

68
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 212.
66

Biasanya komisi-komisi terdiri dari 5 anggota yaitu 2 dari masing-masing

negara yang bersengketa dan satu wakil dari negara lain.

Wewenang komisi-komisi konsiliasi diatur dalam Ketentuan Umum

Arbitrasi tahun 1928 yang disempurnakan oleh resolusi Majelis Umum PBB

tanggal 28 April 1949 menyatakan dalam Pasal 15-nya : “ Komisi konsiliasi

bertugas untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan sengketa dan

untuk itu mengumpulkan keterangan-keterangan yang perlu dengan jalan angket

atau dengan cara-cara lain agar dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa.

Setelah mengadakan penyelidikan terhadap sengketa tersebut, komisi dapat

mengajukan usul-usul penyelesaian kepada negara-negara yang bersengketa dan

memberikan waktu kepada mereka untuk dapat menentukan sikap.” 69

Jadi ketentuan umum inilah yang menjadi pegangan dan dasar bagi

negara-negara dalam membuat konvensi-konvensi konsiliasi misalnya Konvensi

Konsiliasi Eropa 1957, Perjanjian Inggris-Swiss 1965,dan lain-lain.

D.2. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum

1. Arbitrase

Dalam hukum internasional publik bahwa arbitrase sebagai suatu cara

penyelesaian sengketa antara negara dengan damai sudah dikenal sejak zaman

Yunani dan dalam abad pertengahan berbagai unit politik telah dibentuk dalam

rangka Kekaisaran Romawi. Pada Abad ke-12 dan ke-13 sering dipergunakan

69
Ibid
67

dalam sengketa antara kota-kota di kerajaan Itali. Hal ini terus berkembang dalam

Abad ke-16, 17, 18 dan terus berkembang sampai saat ini. 70

Arbitrase lebih fleksibel dibandingkan dengan penyelesaian melalui

pengadilan, di mana di dalam arbitrase para pihak dapat menentukan di mana

perwasitan itu akan berlangsung dan dapat menentukan dan memilih arbiter sesuai

dengan kemampuannya, prosedur yang akan ditetapkan, kekuatan dari

keputusannya melalui perumusan terms of referencenya ( yang disebut juga hasil

kompromi antar para pihak).

Para pihak yang bersepakat bahwa sengketanya akan diselesaikan melalui

arbitrase dapat dituangkan dalam perjanjian (Pasal 52 Konvensi Den Haag Pacific

Settlement of International Disputes yang selanjutnya disebut dengan konvensi).

Perjanjian yang dibuat antara para pihak dapat dibuat sebelum sengketa tersebut

timbul atau setelah sengketa timbul. Jika dibuat setelah sengketa timbul maka

perjanjian arbitrase itu hanya berlaku untuk sengketa bersangkutan. Perjanjian

arbitrase yang dibuat sebelum sengketa timbul disebut arbitrase wajib. 71

Perjanjian arbitase biasanya memuat masalah yang disengketakan, syarat-

syarat pengangkatan arbiter, prosedur untuk jalannya sidang, kewenangan arbiter

dan kondisi khusus yang disetujui para pihak (Pasal 52-53 konvensi).

Pada prinsipnya hanya negara yang dapat menjadi pihak dalam arbitrase

internasional publik, walaupun klaim satu negara pada negara lain mungkin

timbul akibat klaim yang diajukan oleh individu dari satu negara terhadap

individu dari negara lain yang telah melanggar hukum internasional, maka negara

70
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.39.
71
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 226.
68

dalam hal ini bertindak sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap warga

negaranya. Dalam hal sengketa yang bersifat politis yang akan diserahkan pada

mahkamah arbitrase, maka wewenang dari arbitrator untuk memutuskan sengketa

tersebut didasaekan pada ex aequo et bono. Jika dalam perjanjian arbitrase tidak

menyebutkan hukum apa yang akan diterapkan, maka para arbiter akan

menerapkan hukum internasional publik.

Mengenai penunjukan arbiter didasarkan pada kesepakatan para pihak.

Arbiter mungkin tunggal atau mungkin lebih dari satu. Dalam hal yang demikian

para pihak akan menunjuk arbiter atau arbiter nasional dan kemudian mereka akan

menunjuk arbiter ketiga atau kelima yang netral yang disetujui oleh para pihak.

Jika para pihak dalam tahap permulaan telah dapat menentukan anggota

mahkamah arbitrase maka nama-nama dari arbiter itu akan dimasukkan dalam

perjanjian arbitrase.

Dalam perjanjian arbitrase biasanya ditentukan pula bila para pihak tidak

dapat mencapai kata sepakat tentang siapa pihak ketiga yang akan ditunjuk maka,

pihak ketiga akan ditunjuk oleh Presiden Mahkamah Internasional ( yang

selanjutnya disebut dengan ICJ) atau Sekretaris Jenderal PBB atau pihak lain yang

tidak mempunyai kepentingan terhadap sengketa tersebut, hal ini diatur dalam

Pasal 3 Model Rules on Arbitration Procedure.

Mengenai hukum yang dipakai dalam menyelesaikan sengeketa, para

pihak menghendaki bahwa keputusan untuk menyelesaikan sengketanya

berdasarkan pada hukum internasional. Kesepakatan para pihak akan hukum yang

akan diperlakukan pada sengketa mereka biasanya dicantumkan dalam perjanjian


69

arbitrase. Jika para pihak telah sepakat bahwa hukum internasional tidak akan

diterapkan dalam sengketa mereka, maka para pihak dapat meminta mahkamah

untuk menerapkan hukum lain. Kemungkinan bahwa para pihak dapat memakai

hukum lain selain hukum internasional, maka dimungkinkan memakai hukum

nasional, baik hukum nasional salah satu negara yang bersengketa atau kombinasi

dengan sistem hukum lainnya. Sebagai contoh dalam kasus Trail Smelter antara

Kanada dan Amerika Serikat tahun 1938 dsn 1941.

Mahkamah arbitrase mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara

yang diajukan secara fair dan reasonable, oleh karenanya dapat memakai hukum

internasional maupun hukum nasional sesuai dengan kehendak para pihak.

Keputusan arbitrase dibuat setelah sidang tertutup antara arbitrator, sidang

ini dilakukan dengan pemberian suara, mayoritas dari jumlah suara menentukan

keputusan mahkamah. Keputusan arbitrase ini mengikat bagi para pihak, dan

biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak dengan pembagian yang seimbang

antara para pihak (Pasal 85).

Keputusan mahkamah Arbitrase bersifat final dan tanpa banding (Pasal 81

konvensi). Namun jika diantara para pihak ada perbedaan penafsiran keputusan

atau pelaksanaannya mengenai kesalahan dalam suatu perjanjian yang

bertentangan, maka kepada para pihak dibuka kemungkinan mengajukan pada

mahkamah yang memutuskan (Pasal 82 konvensi) untuk melakukan tindak lanjut

untuk mengadakan interpretasi, mengubah, meralat dan membatalkan. Tindakan

yang akan diambil tergantung pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian

arbitrase atau berdasarkan hukum internasional.


70

Untuk mengubah keputusan hanya dimungkinkan bila ada fakta baru.

Bagaimanapun juga suatu keputusan yang mengandung kesalahan (error) dalam

kalkulasinya masih dapat diperbaiki. Dalam hal demikian maka alasan menolak

suatu keputusan arbitrase didasarkan adanya cacat hukum dalam keputusan.

Dalam Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration

(selanjutnya disebut dengan PCA) terdiri dari 3 (tiga) badan, yaitu : 72

1) The Permanent Administrative Council of the Court (Pasal 49 konvensi)

Badan ini anggotanya terdiri dari perwakilan (diplomatic envoys) negara

peserta PCA yang ditempatkan di Belanda dan sekretaris Kementrian Luar

Negeri Belanda yang bertindak sebagai presiden dari Council. Tugas dari

Council adalah mengawasi tugasnya International Bureau of the Court yakni

memutuskan hal yang berkaitan dengan masalah administrasi Mahkamah.

2) The International Bureau of the Court (Pasal 43 konvensi)

Badan ini mempunyai wewenang untuk melayani dan bertindak sebagai

panitera Mahkamah. Juga mempunyai tugas untuk mengkomunikasikan

sidang Mahkamah, menyimpan arsip dan dokumen administrasi Mahkamah.

3) The Court of Arbitration (Pasal 44 konvensi)

Anggota Mahkamah arbitrase terdiri dari individu-individu yang diakui

kepakarannya dalam hukum internasional, mempunyai moral yang tinggi,

dipilih dan ditunjuk oleh negara anggota.

Setiap negara anggota dapat menunjuk tidak lebih dari empat anggota; dua

atau lebih dari negara anggota dapat bergabung untuk menunjuk satu atau lebih

72
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.54
71

anggota; dan individu yang sama mungkin ditunjuk oleh negara anggota yang

berlainan. Tiap anggota mahkamah ditunjuk untuk jangka waktu enam tahun dan

dapat diperpanjang.

2. Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (yang selanjutnya

disebut dengan ICJ) merupakan salah satu organ utama PBB yang dibentuk oleh

masyarakat bangsa-bangsa pada tahun 1945. Organ ini diatur oleh statuta

Mahkamah Internasional yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari PBB,

dan setiap anggota PBB otomatis tunduk pada statuta Mahkamah Internasional.

Meskipun demikian, tidak ada kewajiban bagi tiap anggota PBB itu untuk

membawa sengketanya ke ICJ. Demikian pula ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib

(compulsory jurisdiction) pada setiap anggota PBB. 73

ICJ sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa hukum

antar negara. Praktiknya hanya sekitar 4-5 perkara yang diajukan ke lembaga ini

per tahunnya. Yurisdiksi Mahakamah sangat tergantung pada kesediaan para

pihak membawa kasusnya ke Mahakamah. Berdasarkan hasil penelitian,

masayarakat internasional jarang sekali menyelesaikan kasusnya di depan ICJ

karena beberapa faktor: 74

a) Proses melalui ICJ hanya ditempuh sebagai jalan terakhir, apabila semua

jalan lain mengalami kemacetan;

b) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup

tinggi, karena biasanya hanya kasus-kasus besar yang dibawa ke ICJ;

73
Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.343.
74
Ibid
72

c) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib.

ICJ akan memiliki yuridiksi terhadap suatu sengketa hukum yang di bawa

kepadanya apabila ada pengakuan dari negara-negara yang bersengketa terhadap

yurisdiksi ICJ dalam sengketa hukum mereka. Pengakuan dapat diberikan melalui

beberapa cara sebagai berikut yaitu : 75

(a) Melalui suatu akta atau perjanjian (acta compromise). Akta dapat dibuat

setelah sengketa muncul seperti dalam special agreement antara Indonesia

– Malaysia 1997 yang menyatakan kesepakatan kedua negara

menyerahkan sengketa Sipadan-Ligitan pada ICJ. Akta juga dapat dibuat

untuk sengketa yang mungkin akan muncul di kemudian hari.

(b) Melalui klausul pilihan (optional clause). Negara pihak Statuta ICJ setiap

saat dapat menandatangani klausul pilihan yang menegaskan

pengakuannya terhadap yurisdiksi ICJ.

(c) Melalui pengakuan secara diam-diam. Pengakuan terhadap yurisdiksi ICJ

dapat dilakukan secara diam-diam, tidak tegas atau tersirat dari sikap suatu

negara. Negara yang tidak menolak, mengirimkan surat berisi argumen-

argumen hukum pembelaan diri ke ICJ dapat dikatakan menerima

yurisdiksi ICJ. Hal ini dikenal sebagai doktrin prorogatum.

Sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ, terdapat pada Pasal 36 (2)

Statuta Mahkamah Internasional, sengketa hukum mengenai:

a. Perjanjian Internasional;

b. Setiap permasalahan hukum internasional;

75
Ibid
73

c. Adanya suatu fakta, bila telah nyata menimbulkan suatu pelanggaran

terhadap kewajiban internasional;

d. Sifat dan besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena

pelanggaran terhadap kewajiban internasional.

ICJ terdiri dari 15 orang hakim yang berbeda kewarganegaraannya, yang

dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum atas

rekommendasi Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari

masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan. Meskipun ada pembagian

perwakilan geografis dalam pemilihan hakim, namun para individu yang terpilih

sebagai hakim ICJ tidak mewakili negaranya. Ia terpilih karena integritas dan

kompetensinya di bidang hukum internasional. Bila suatu negara ketika

berperkara tidak memiliki hakim yang berasal dari negaranya maka dapat

diperkenankan memilih seorang hakim ad hoc.

D.3. Penyelesaian Sengketa Menggunakan Kekerasan

1. Retorsi

`Retorsi adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu

negara terhadap negara lain yang telah terlebih dahulu melakukan tindakan yang

tidak bersahabat. Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain

yang telah melakukan perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya

retorsi berupa tindakan yang sama atau yang mirip dengan tindakan yang

dilakukan oleh negara yang dikenai retorsi. Misalnya, deportasi dibalas deportasi

atau pernyataan persona non grata dibalas dengan pernyataan persona non grata. 76

76
Ibid.
74

Retorsi merupakan tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan

negara yang telah melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupakan tindakan self

help. Wujud retorsi antara lain : 77

1) Pemutusan hubungan diplomatik;

2) Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik;

3) Penarikan konsensi pajak atau tarif;

4) Penghentian bantuan ekonomi.

2. Reprisal.

Reprisal atau pembalasan adalah salah satu istilah yang telah dikenal sejak

lama, meskipun para sarjana hukum internasional pada saat itu belum

memperoleh kesepakatan mengenai makna yang harus diberikan pada reprisal. 78

Pada awalnya reprisal merupakan upaya pembalasan guna menjamin

diperolehnya ganti rugi. Reprisal saat itu dilakukan terbatas pada penahanan orang

atau harta benda. Dengan demikian, sangat lazim saat itu negara mengeluarkan

surat izin merampas (batters of marque) kepada salah satu warganya, yang tidak

memperoleh saluran pengadilan di negara lain, yang memberinya kuasa untuk

mengambil sendiri ganti rugi yang dideritanya, jika perlu dengan kekerasann atau

dilakukannya perampasan harta benda milik rakyat negara yang bersalah. 79

Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi menurut Starke

adalah bahwa pembalasan atau reprisal mencakup tindakan yang pada umumnya

77
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, edisi kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta.2008. Hal.395.
78
Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.349.
79
Ibid.
75

bisa dikatakan sebagai tindakan ilegal adapun retorsi meliputi tindakan yang

sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan dalam hukum. 80

Reprisal diartikan sebagai upaya paksa yang dilakukan oleh suatu negara

terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul

karena negara yang dikenai reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal atau

tindakan yang tidak bisa dibenarkan. 81 Dengan demikian, reprisal sebenarnya

merupakan tindakan permusuhan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap

negara lain sebagai upaya perlawanan untuk memaksa negara lain tersebut

menghentikan tindakan ilegalnya. Wujud tindakan reprisal antara lain :

a) Pemboikotan barang

b) Embargo

c) Demostrasi angkatan laut

d) Pengeboman

Pada tahun 1928, telah disepakati Perjanjian Paris atau perjanjian umum

penghapusan perang yang menyerukan bahwa tindakan pembalasan menggunakan

kekerasan adalah tidak sah berdasarkan hukum internasional. Negara-negara

sepakat bahwa penyelesaian semua perselisihan, apa pun sifatnya atau apa pun

asalnya tidak akan pernah tercapai kecuali dengan cara damai. 82

3. Blokade Damai

Blokade damai adalah blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk

memaksa negara yang diblokade agar memenuhi permintaan ganti rugi yang

80
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, edisi kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta.2007. Hal.680.
81
Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.350.
82
Ibid.
76

diderita negara yang memblokade. Blokade damai sudah lebih dari reprisal namun

masih di bawah perang. Beberapa penulis meragukan legalitas blokade damai,

sebagai tindakan. Demikian halnya, tindakan unilateral blokade damai

dipertanyakan keabsahannya ditinjau dari Piagam PBB. 83

4. Embargo

Embargo merupakan prosedur lain untuk memperoleh ganti rugi dari

negara lain. Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang dikenai

embargo. Selain itu embargo dapat diterapkan sebagai sanksi bagi negara yang

banyak melakukan pelanggaran hukum internasional. Dibanding dengan reprisal

atau blokade damai, embargo adalah kurang efektif, tetapi lebih sedikit resikonya

untuk meningkat menjadi perang. 84

5. Perang.

Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang

kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian

yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Dengan berakhirnya perang maka

berarti sengketa telah diselesaikan. 85

Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan

(use of force) oleh negara diatur oleh Just War doctrine yang dikembangkan

antara lain oleh St. Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang

adalah ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu “just cause”. Kekerasan atau

perang diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala

83
Ibid.
84
Ibid.
85
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2.Op.cit.Hal.679.
77

tidak ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu

peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana disertai

dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang

bersiap-siap untuk membela diri. 86

Piagam PBB tidak menggunakan istilah perang (war), tetapi menggunakan

istilah penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam

pandangan hukum internasional. Dalam praktik negara-negara sering mengingkari

bahwa apa yang mereka lakukan adalah perang. Dengan demikian, istilah

penggunaan kekerasan dalam piagam akan mencakup baik insiden kecil, short

war, sampai ke operasi militer besar-besaran yang dilakukan para pihak bertikai.

Dalam Piagam PBB, self defence merupakan perkecualian yang diakui sah bagi

negara berdaulat menggunakan kekerasan terhadap negara lain. 87

Salah satu tujuan utama PBB sebagaimana tercantum dalam Piagam

adalah untuk melenyapkan tindakan-tindakan agresi atau pelanggaran terhadap

perdamaian yang lain. Dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan bahwa semua anggota

PBB harus menahan diri dari tindakan-tindakan mengancam atau menggunakan

kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain

atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan PBB.

Perkecualian yang terdapat dalam Piagam PBB untuk menggunakan

kekerasan sepihak pada Pasal 2 ayat (4) harus diinterpretasikan untuk all force, all

purposes, kecuali jika ketentuan khusus Piagam menentukan lain. Perkecualian

86
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Press,
Jakarta.1991. Hal 35.
87
Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.357.
78

yang dimaksud hanyalah berdasar Pasal 51 tentang self defence right dan Pasal

107 tentang ex-enemy State. 88

Konsep self defence sebagai legal right tidak akan berarti bila tidak ada

kewajiban menahan diri dari penggunaan kekerasan Pasal 2 ayat (4) harus dibaca

bersama-sama dengan Pasal 51. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa hak

self defence yang diperoleh hanyalah yang berlandaskan Pasal 51, apabila

serangan bersenjata terjadi dan tidak untuk tujuan yang lain. Dengan demikian,

hak menggunakan kekerasan tidak untuk mengantisipasi suatu serangan atau

ketika ancaman bukanlah kekerasan atau untuk melindungi apapun yang lain

selain teritorial negara. 89

E. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional terhadap Konflik Laut

Internasional berdasarkan UNCLOS 1982.

Penyelesaian sengeketa dalam bidang hukum laut sebelum UNCLOS 1982

dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya.

Dalam hal ini sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme

dan institusi-institusi peradilan internasional yang telah ada, seperti Mahkamah

Internasional. 90

UNCLOS 1982 telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa.

Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme UNCLOS

1982 ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara

peserta untuk menerima prosedur yang memaksa (compulsory procedures).

88
Ibid.
89
Ibid.
90
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 418.
79

Dengan sistem UNCLOS 1982 maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara

pihak UNCLOS 1982 untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan

bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena UNCLOS 1982 secara

prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya

melalui mekanisme UNCLOS 1982. Negara-negara pihak UNCLOS 1982 dapat

membiarkan suatu sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju

untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju, maka mekanisme prosedur memaksa

UNCLOS 1982 akan diberlakukan.

Menurut mekanisme UNCLOS 1982, negara-negara pihak diberi

kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu

disepakati bersama. Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh

Pasal 33 paragraf 1 Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui

perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai kesepakatan,

maka para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa yang

disepakati.

Dalam hal ini UNCLOS 1982 mengenal 4 (empat) macam cara

menyelesaikan sengketa, yaitu melalui: 91

1) Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law

of The Sea) yang dibentuk berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982;

2) Mahkamah Internasional (International Court of Justice);

91
Chairul Anwar, S.H.,Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982,Penerbit Djambatan, Jakarta.1989.Hal.123.
80

3) Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special

Arbitration Procedures) yang diatur dalam Annex VII dan Annex VIII

dari UNCLOS 1982.

4) Konsiliasi (Conciliation) : Perselisihan-perselisihan tertentu dapat

diselesaikan melalui Konsiliasi, yang diatur di dalam Annex V, yaitu

melalui prosedur yang keputusannya tidak mengikat pihak-pihak yang

berselisih.

1. Mahkamah Internasional Hukum Laut.

a. Komposisi, penunjukan dan pemilihan.

Statuta dari Mahkamah Internasional Hukum Laut terdapat di Annex VI

dari UNCLOS 1982. Mahkamah berkedudukan di Hamburg, Jerman dan

terdiri dari 21 anggota independen yang terpilih dari orang-orang yang

memiliki reputasi atas prestasi dan integritasnya serta memiliki

kemampuan dalam hukum laut. Termasuk sekurang-kurangnya tiga

anggota dari kelompok utama geografi yang ditentukan oleh Majelis

Umum PBB. Tidak diperkenankan dua orang anggota Mahkamah yang

merupakan warga negara dari negara yang sama. Sekurang-kurangnya tiga

bulan sebelum tanggal pemilihan, Sekretaris Jenderal PBB mengundang

negara-negara anggota untuk mengajukan penunjukannya untuk anggota

Mahkamah di dalam jangka waktu dua bulan. 92

b. Masa kerja

92
Ibid
81

Anggota-anggota dari Mahkamah dipilih untuk sembilan tahun dan dapat

dipilih kembali. Anggota-anggota Mahkamah tidak diperkenankan

melaksanakan fungsi-fungsi politik atau administratif, atau secara aktif

sedang menjalankan usaha atau mempunyai kepentingan keuangan dalam

suatu perusahaan tertentu tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber-

sumber laut, dasar laut, atau penggunaan komersil dari dasar laut.

Anggota-anggota Mahkamah tidak diperbolehkan bertindak sebagai agen,

penasehat atau pengacara, dan di dalam melaksanakan tugas Mahkamah


93
diberikan kekebalan diplomatik. Mahkamah akan memilih Ketua

(President), Wakil Ketua (Vice President) untuk tiga tahun serta dapat

dipilih kembali. Mahkamah akan menunjuk registrar beserta staff yang

diperlukan.

c. Kamar khusus

Mahkamah dapat membentuk Kamar-Kamar Khusus yang terdiri dari tiga

atau lebih dari anggota-anggotanya yang dipilih, apabila dipandang perlu

untuk menangani perselisihan-perselisihan khusus, atas permintaan pihak-

pihak yang berkepentingan guna menangani perselisihan-perselisihan

khusus dan keputusan dari Kamar-Kamar Khusus akan dipertimbangkan

oleh Mahkamah. 94

d. Kompetensi.

93
Ibid
94
Ibid.
82

Mengenai kompetensi Mahkamah 95 ditentukan bahwa Mahkamah terbuka

untuk negara-negara anggota UNCLOS 1982 dan badan-badan lainnya

yang bukan negara. Yurisdiksi Mahkamah meliputi semua perselisihan

dan permohonan-permohonan yhang diajukan kepadanya menurut

ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 serta semua hal yang ditetapkan

dalam persetujuan memberikan yurisdiksi kepada Mahkamah.

Dengan persetujuan pihak-pihak bersangkutan perselisihan tentang

interpretasi atau penerapan dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya

tentang masalah-masalah hukum laut dapat diajukan kepada Mahkamah.

Mengenai hukum yang akan diterapkan, Mahkamah akan memutuskan

semua sengketa dan permohonan menurut Pasal 293 dari UNCLOS 1982,

yaitu menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi dan aturan hukum

internasional lainnya yang sesuai dengan UNCLOS 1982.

e. Prosedur .

Mengenai prosedur 96 , perselisihan dapat diajukan dengan nota tentang

persetujuan khusus (special agreement) atau dengan permohonan tertulis.

Mahkamah dapat menetapkan upaya-upaya sementara untuk menjaga hak-

hak dari pihak-pihak atau mencegah kerusakan serius terhadap lingkungan

maritim. Hearing atas kasus terbuka untuk umum, kecuali Mahkamah

memutuskan lain atau pihak-pihak meminta tidak terbuka untuk umum.

Tidak hadirnya pihak-pihak yang berselisih atau kegagalannya untuk

95
Ibid
96
Ibid
83

mempertahankan kasusnya, tidak menjadi halangan bagi pemeriksaan

tersebut.

f. Keputusan berdasarkan suara terbanyak.

Keputusan Mahkamah 97diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggota-

anggota Mahkamah yang hadir, dengan ketentuan bahwa Ketua

Mahkamah dapat memberikan suara penentu dalam hal terdapat suara

sama banyak. Keputusan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar

keputusan tersebut dan setiap anggota berhak memebrikan pendapat

tersendiri. Mahkamah dapat memutus atas permohonan dari negara peserta

UNCLOS 1982 lainnya, untuk diizinkan sebagai pihak tambahan dalam

kasus tersebut, di mana negara tersebut mempunyai kepentingan hukum.

Dalam hal ini keputusan Mahkamah akan mengikat negara tersebut

mengenai masalah dimana negar tersebut turut sebagai pihak yang

bersangkutan. Setiap negara peserta UNCLOS 1982 atau perjanjian

internasional mempunyai hak untuk turut sebagai pihak yang

berkepentingan, dalam hal Mahkamah mengadakan suatu interpretasi atau

penerapan dari UNCLOS 1982 atau suatu perjanjian dan dalam hal

tersebut, interpretasi dari Mahkamah akan mengikat terhadap negara

tersebut. Keputusan Mahkamah merupakan keputusan yang final dan

semua pihak yang berselisih seyogianya mentaatinya. Keputusan hanya

mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut.

2. Mahkamah Internasional

97
Ibid
84

Pengajuan sengketa laut internasional ke Mahkamah Internasional tidak

ada diatur secara khusus di dalam UNCLOS 1982. Untuk pengajuan sengketa laut

ke Mahkamah Internasional di dalam UNCLOS 1982 hanya disebutkan dalam

Pasal 287 ayat (1). Dasar hukum pengajuan sengketa laut ke Mahkamah

Internasional yaitu Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional mengenai

jenis sengeketa hukum yang dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.

Mengenai pihak yang dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional,

hanya terbatas kepada negara. 98

3. Arbitrase.

Arbitrase diatur oleh Annex VII dan VII dari UNCLOS 1982. Arbitrase

menurut Annex VII dimulai dengan pengiriman nota tertulis oleh satu pihak

kepada pihak lainnya dengan menyebutkan klaim serta dasar-dasar hukum dari

klaim tersebut. 99

Setiap negara mengajukan empat arbiter, dengan kualifikasi

berpengalaman di dalam masalah kelautan, kompeten dan memiliki integritas.

Arbitrase untuk setiap kasus mempunyai lima orang anggota, masing-masing

pihak bersengketa memilih satu orang anggota dan ketiga anggota lainnya adalah

warga negara dari negara ketiga (kecuali ditentukan lain oleh pihak-pihak yang

bersangkutan) dipilih dengan persetujuan pihak-pihak. Pihak-pihak bersengketa

akan menunjuk Ketua Arbitrase dari ketiga orang tersebut. Dalam hal tidak

tercapai permufakatan, Ketua atau Anggota Senior Mahkamah Hukum Laut akan

melakukan penunjukan. Kecuali kalau pihak-pihak bersengketa menyetujui hal

98
A.W.Koers, Op.cit. Hal.71.
99
Ibid.
85

lainnya, arbitrase akan menetapkan prosedurnya sendiri dan memberikan jaminan

bahwa masing-masing pihak diberi kesempatan penuh untuk di dengar dan

mengemukakan kasusnya. 100

Pihak-pihak diharuskan untuk memberikan bahan-bahan bagi pekerjaan

arbitrase dengan jalan menyediakan dokumen-dokumen, fasilitas dan informasi-

informasi serta dengan memungkinkan untuk memanggil saksi-saksi dan tenaga

ahli serta kunjungan ke tempat kasus terjadi. Pengeluaran-pengeluaran dari

arbitrase dipikul sama rata oleh pihak-pihak bersengketa, kecuali kalau arbitrase

menentukan lainnya. Keputusan akan diambil berdasarkan suara terbanyak,

dengan Ketua Arbitrase memberikan suara yang menetukan, apabila terdapat hasil

pungutan suara yang sama banyak.

Jikala salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul di depan sidang

arbitrase, atau gagal mempertahankan kasusnya, pihak lainnya dapat meminta

proses pemeriksaan kasus untuk diteruskan dengan pemberian suatu keputusan

oleh arbitrase. Sebelum memberikan keputusan, arbitrase harus meyakini dirinya

atas yurisdiksinya untuk kasus tersebut dan juga bahwa klaim tersebut mempunyai

dasar di dalam fakta dan menurut hukum. Keputusan arbitrase akan dibatasi

kepada subjek dari kasus dan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar

keputusan. Keputusan bersifat final tanpa dapat dimintakan banding kecuali kalau

pihak-pihak bersangkutan sebelumnya menyetujui suatu prosedur banding.

4. Arbitrase khusus.

100
Chairul Anwar, S.H.,Op.cit.Hal.127.
86

Arbitrase khusus 101 , prosedurnya ditentukan di dalam Annex VIII serta

diperuntukkan bagi perselisihan tentang (1) perikanan; (2) perlindungan dan

pemeliharaan lingkungan kelautan; (3) riset ilmiah kelautan; (4) navigasi

termasuk polusi dari kapal dan dar dumping. Caranya ialah dengan mengirimkan

nota tertulis kepada pihak lain. Nota harus dilampiri dengan statement dari hal apa

yang dituntut dan dasar-dasar mengajukan klaim tersebut.

Suatu daftar tenaga ahli untuk keempat bidang tersebut di atas akan

dibentuk berdasarkan penunjukan tenaga ahli oleh masing-masing negara anggota

UNCLOS 1982 yang dapat menunjuk dua orang untuk masing-masing bidang

tersebut diatas yang mempunyai kemampuan di bidang hukum, ilmiah atau teknis

dari bidang-bidang tersebut dan yang secara umum dikenal mempunyai reputasi

tinggi dalam prestasi dan integritasnya. Arbitrase khusus terdiri dari lima orang

anggota, masing-masing pihak memilih dua orang, seyogianya dari daftar-daftar

ahli yang tersedia, sedangkan anggota yang kelima diambil dari warga negara

ketiga yang akan menjadi Ketua Arbitrase Khusus dan dipilih oleh pihak-pihak

yang bersangkutan. Apabila hal ini gagal, penunjukan dilakukan oleh Sekretaris

Jenderal PBB.

Pihak-pihak yang berselisih dapat meminta kepada Arbitrase Khusus

untuk melakukan fact finding yaitu untuk melakukan penyelidikan dan

menunjukan fakta-fakta yang menimbulkan perselisihan tersebut. Findings dari

arbitrase khusus dapat dipandang mengakhiri perselisihan, kecuali kalau pihak-

pihak bersangkutan berpendapat lain.

101
Ibid.
87

Apabila dikehendaki oleh pihak-pihak berselisih, arbitrase khusus dapat

menyusun suatu rekomendasi, yang tidak memiliki kekuatan yang mengikat, akan

tetapi dapat menjadi dasar dari peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang

bersangkutan tentang masalah yang menimbulkan perselisihan.

5. Konsiliasi

Cara penyelesaian perselisihan menurut prosedur ini dimulai dengan

pemberitahuan dari salah satu pihak yang berselisih kepada pihak lainnya.

Sekretaris Jenderal PBB akan memegang nama-nama dari konsiliator yang

ditunjuk oleh negara-negara peserta UNCLOS 1982 di mana setiap negara dapat

menunjuk empat konsiliator dengan persyaratan bahwa orang-orang tersebut

mempunyai reputasi tinggi, kompeten dan memiliki integritas. 102

Komisi Konsiliasi (the Conciliation Commission) terdiri dari lima anggota,

dua dipilih oleh masing-masing pihak, sebaliknya dari nama-nama yang ada

dalam daftar, dan yang kelima dipilih dari daftar oleh keempat anggota dan akan

menjadi Ketua Komisi (Chairman). Dalam hal penunjukan ini tidak dapat

terlaksana, Sekretaris Jenderal PBB akan menunjuknya dari daftar, setelah

mengadakan konsultasi dengan pihak-pihak yang bersangkutan.

Keputusan-keputusan tentang masalah proseduril, laporan-laporan dan

rekomendasi dari Komisi, dilaksanakan dengan pemungutan suara terbanyak.

Komisi dapat meminta perhatian dari pihak-pihak yang berselisih terhadap upaya-

upaya yang memberikan jalan bagi suatu penyelesaian damai. Komisi akan

mendengar pihak-pihak yang berselisih, memeriksa klaim mereka, serta

102
Ibid.
88

keberatan-keberatan yang diajukan dan menyiapkan usul-usul penyelesaian

sengketa secara damai. 103 Komisi akan memberikan hasil telaahan (report) di

dalam waktu 12 bulan sejak Komisi dibentuk. Hasil telaahan tersebut akan

disimpan di kantor Sekretaris Jenderal PBB dan akan segera diteruskan kepada

pihak-pihak yang berselisih.

Penyelesaian perselisihan dengan memakai prosedur konsiliasi akan

berakhir apabila penyelesaian telah tercapai. Uang jasa dan pengeluaran Komisi

dibebankan kepada pihak-pihak yang berselisih. 104

103
Ibid.
104
Ibid.
89

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA

MARITIME BOUNDARY

A. Penyebab Timbulnya Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary

Timbulnya sengketa antara Bangladesh-India mengenai batas maritim

masih merupakan suatu upaya dalam memperebutkan Teluk Benggala yang

sebelumnya sengketa ini sendiri melibatkan 3 (tiga) negara yaitu: Myanmar,

Bangladesh dan India. 105

Teluk Benggala adalah sebuah teluk yang terletak di bagian timur laut

Lautan Hindia dan di bagian barat Semenanjung Malaya dan Timur India. Teluk

Benggala kaya akan sumber daya alam seperti minyak bumi dan cadangan gas,

ini terbukti dengan ditemukannya cadangan gas sebanyak 4-6 triliyun kubik di

Teluk Benggala kawasan Myanmar oleh Perusahaan Korea Selatan, Daewoo.

India juga menemukan sekitar 100 triliyun kubik hidrokarbon di Teluk Benggala

kawasan India. 106

A.1. Sengketa antara Myanmar dan Bangladesh.

Sengketa antara Myanmar dan Bangladesh bermula pada tahun 1974

dari upaya kedua negara untuk menguasai sebagian perairan di Teluk Benggala

yang kaya akan cadangan minyak dan gas 107. Konflik ini muncul karena belum

105
Nilawati ( Peran The International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS) Dalam
Penyelesaian Sengketa Di Teluk Benggala Antara Myanmar Dan Bangladesh : Ejournal Ilmu
Hubungan Internasional.2014, 2(2):439-448. Hal 441.
106
Ibid.
107
Ibid.
90

adanya kesepakatan garis batas landas kontinen antar Myanmar dan Bangladesh

di Teluk Benggala sehingga memunculkan sengketa antara Myanmar dan

Bangladesh, yaitu Myanmar melakukan eksplorasi minyak dan gas secara

sepihak di perairan Teluk Benggala tanpa persetujuan Bangladesh yang juga

merasa bahwa Teluk Benggala adalah wilayahnya.

Kedua sisi negara ini yang bertetangga ini saling bersitegang pada bulan

Oktober 2008 ketika Myanmar memberikan ijin eksplorasi lepas pantai kepada

perusahaan Korea Selatan, Daewoo; yang mana mendapatkan tantangan keras

dari pemerintahan militer Myanma. Keadaan bertambah panas ketika Myanmar

mengirimkan dua kapal perangnya sebagai kapal pengawal ketika kapal-kapal

pengeboran dari perusahaan Daewoo mulai mengebor di kawasan lepas pantai

Teluk Benggala dimana Myanmar mengangapnya sebagai daerah lepas

pantainya.

Daerah pengeboran ini terletak pada perairan di sepanjang tepi barat

Myanmar dan sekitar 93 km barat daya pulau St. Martin kepunyaan Myanmar.

Pemerintahan Bangladesh mengajukan protes resmi kepada pemerintahan

Myanmar dan juga kepada perusahaan Daewoo, serta mengirimkan tiga kapal

perangnya ke daerah sengketa, keadaan di daerah tersebut menjadi tegang karena

adanya paksaan untuk meminta eksplorasi segera dihentikan. 108

Kedua negara yang bertetangga ini segera mengerahkan kekuatan

militernya di perbatasan, akan tetapi ketengangan ini dengan cepat mereda

ketika perusahaan Daewoo pada tanggal 6 November 2008 menghentikan


108
Kartika Sari Sukowati, Sengketa Teluk Benggala Antara Myanmar Dan
Bangladesh(The Dispute of The Bay of Bengal Between Myanmar and Bangladesh): Skripsi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.2009.Hal 9.
91

pengeboran lepas pantainya. Menurut pemerintah Myanmar, perlu mengadakan

survey di daerah tersebut dengan lebih lengkap dan pengeboran sumur lepas

pantai akan diperluas hingga ke bagian timur daerah lepas pantai. 109

Kawasan teluk Benggala terus menerus menjadi daerah yang genting

semenjak perusahaan Daewoo menemukan adanya cadangan gas yang sangat

banyak di daerah lepas pantai Myanmar, tepat pada garis lepas pantai negara

bagian Rakhine dekat dengan Siitway dan sebelah timur dari zona perbatasan

maritim yang rawan sengketa pada tahun 2003. Perusahaan Daewoo

memperkirakan penemuan cadangan gas sebanyak 4-6 trilyun kaki kubik dengan

kedalaman yang tidak begitu dalam sekitar 150 meter dan ini memberikan

prospek yang sangat menjanjikan dan potensial kelak biusa memberikan hasil

mencapai 14-20 trilyun kaki kubik. 110

Oleh karena itu semenjak tahun 2001, perusahaan Daewoo

mengoperasikan kerja sama permanen dengan perusahaan minyak India dan

perusahaan gas alam ONGC,GAIL serta perusahaan gas India dan Korea. Pada

awal tahun 2004, perusahaan Daewoo juga mendapatkan kontrak kerja di bagian

timur daerah lepas pantai yang dekat sekali dengan lepas pantai negara bagian

Rakhine dekat dengan Siitway dan sebelah timur dari zona perbatasan maritim

yang rawan sengketa dan selanjutnya juga mendapatkan hak eksploitasi di

daerah sebelah barat lepas pantai pada bulan Febuari 2007. 111

109
Ibid.
110
Ibid.
111
Ibid.
92

Selanjutnya perusahaan minyak Tiongkok yakni CNOOK memasuki

kawasan Teluk Benggala pada tahun 2004; lalu perusahaan ESSAR yang

merupakan perusahaan minyak swasta India pada tahun 2005; perusahaan GAIL

mendapatkan hak operasi bebas di daerah ini semenjak tahun 2006; dan

dilanjutkan oleh China Natural Gas Petroleum Corporation (CNPC) / Petro

Tiongkok pada tahun 2007; dan ONGC mendapatkan hak eksplorasi sejak

September 2007. 112

Dengan adanya kemungkinan daerah yang kaya akan minyak serta

cadangan gas di daerah perairan yang rawan menyebabkan sulitnya dicapai

kesepakatan. Ketegangan itu didorong oleh kecemasan antara Myanmar dan

Bangladesh mengenai keamanan cadangan sumber daya energi yang dimilikinya,

dan tidak satupun diantara kedua negara itu menyadari akan potensi bahanya

masuknya kepentingan negara adidaya ke daerah yang bersengketa. Yang

menjadi ketegangan antara pemerintah Myanmar dan Bangladesh adalah

berpusat pada cadangan minyak yang akan dieksploitasi dan bagaimana

pembagiannnya lalu kedua negara tersebut saling mengirimkan kapal perangnya.

Teluk Benggala yang menjadi objek sengketa antara Myanmar dan Bangladesh

dapat menyumbangkan devisa bagi negara dalam jumlah yang luar biasa besar,

seperti misalnya India berminat akan melakukan penyaluran bahan bakar gas

alam yang diperlukan dari wilayah tersebut, sebagaimana hal ini diklaim juga

oleh Myanmar untuk pasaran domestiknya. Sistem penyaluran bahan bakar gas

alam dari Teluk Benggala ke bagian barat India ini memberikan jalur angkutan

112
Ibid.
93

bahan bakar yang efisien menggunakan jalur pipa, namun yang menjadi kendala

terbesar adalah jalur ini melintasi Bangladesh yang secara posisi geografisnya

berada di tengah antara India dan Myanmar dan Teluk Benggala tebentang

diantara 3 (tiga) negara ini, maka hak transit melalui Bangladesh perlu

diperhatikan oleh pemerintah Myanmar dan pemerintah India. 113

Ketengangan ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, dan

diperlukan langkah bertahap dalam mengatasi masalah antar bangsa. Antara

Myanmar dan India untuk ide pembangunan jalur pipa minyak ke India.

Perusahaan swasta yang berada di Bangladesh, termasuk Chevron, Shell dan

Chairn Energy dan juga badan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank

Pembangunan Asia juga sepakat memberikan dana untuk pembangunan pipa

minyak dengan pandangan untuk kebutuhan eksport, namun hal ini sangat tidak

menguntungkan posisi Bangladesh terutama dalam hal posisi geografis. 114

Upaya penyelesaian sengketa yang telah dilakukan oleh Myanmar dan

Bangladesh melalui upaya negosiasi dan konsiliasi antara kedua negara yang

bersengketa pada tahun 1974. Jalur penyelesaian negosiasi yang dilakukan oleh

Myanmar dan Bangladesh, dilakukan di Dhaka yang dihadiri oleh para pakar

yang mewakili kedua negara dan membahas mengenai perbatasan wilayah laut

antara Myanmar dan Bangladesh. Dalam perundingan ini Bangladesh

menyerukan kepada Myanmar agar mengendalikan diri dalam melakukan

kegiatan eksplorasi minyak dan gas di daerah sengketa yakni di Teluk Benggala,

sampai mereka mencapai kesepakatan mengenai perbatasan wilayah laut

113
Nilawati.Op.Cit.Hal 466.
114
Ibid
94

masing-masing negara. 115 Namun penyelesaian sengketa yang memakan waktu

hingga tiga dekade ini berjalan alot, antara Myanmar dan Bangladesh tidak dapat

mencapai kata sepakat.

Sengketa mengenai perbatasan wilayah laut antara Myanmar dan

Bangladesh pada akhirnya diselesaikan melalui penyelesaian secara hukum.

Dimana Myanmar pada tanggal 4 November 2009 dan Bangladesh pada tanggal

12 Desember 2009 secara resiprokal meyepakati bahwa sengketa mengenai

Teluk Benggala antara Myanmar dan Bangladesh ini akan dibawa ke Mahkamah

Internasional Hukum Laut ( International Tribunal for the Law of the Sea atau

yang selanjutnya disebut ITLOS). 116

Mengenai penyelesaian sengketa mengenai laut antar negara hal ini diatur

pula di dalam Pasal 287 ayat (1)UNCLOS 1982 yaitu melalui: 117

5) Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law

of The Sea) yang dibentuk berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982;

6) Mahkamah Internasional (International Court of Justice);

7) Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special

Arbitration Procedures) yang diatur dalam Annex VII dan Annex VIII

dari UNCLOS 1982.

8) Konsiliasi (Conciliation) : Perselisihan-perselisihan tertentu dapat

diselesaikan melalui Konsiliasi, yang diatur di dalam Annex V, yaitu

115
Ibid
116
Ibid
117
Chairul Anwar, S.H.Op.Cit. Hal. 123.
95

melalui prosedur yang keputusannya tidak mengikat pihak-pihak yang

berselisih.

Menurut mekanisme UNCLOS 1982, negara-negara pihak diberi

kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu

disepakati bersama. Dengan sistem UNCLOS 1982 maka tidak ada lagi ruang

bagi negara-negara pihak UNCLOS 1982 untuk menunda-nunda sengketa hukum

lautnya dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena

UNCLOS 1982 secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk

menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme UNCLOS 1982.

Kedua negara kemudian melakukan deklarasi, adapun deklarasi kedua

negara tersebut,yaitu: 118

Deklarasi Myanmar menyatakan: “ Sesuai dengan Pasal 287 ayat (1) UNCLOS

1982, Pemerintah Myanmar dengan ini menyatakan bahwa menerima yurisdiksi

Mahkamah Internasional Hukum Laut (ITLOS) dalam penyelesaian sengketa

Myanmar dan Bangladesh yang berkaitan dengan permasalahan batas laut antara

kedua negara di Teluk Benggala.

Deklarasi Bangladesh menyatakan: “Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) UNCLOS

1982, Pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa menerima yurisdiksi Mahkmah

Internasional Hukum Laut (ITLOS) dalam penyelesaian sengketa antara

Bangladesh dan Myanmar berkenaan mengenai delimitasi batas laut antara kedua

negara di Teluk Benggala.

118
Nilawati.Op.Cit.Hal.442
96

Putusan ITLOS No.16 Tanggal 14 Maret 2012 merupakan penyelesaian

dari sengketa antara Myanmar dan Bangladesh 119 , penentuan batas maritim

diselesaikan melalui International Tribunal for the Law of the Sea ( Mahkamah

Hukum Laut Internasional atau yang disebut ITLOS) dalam sengketa penentuan

batas maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala. Hukum yang

digunakan oleh ITLOS adalah berdasarkan Pasal 23 statuta ITLOS yang

menyatakan bahwa ITLOS akan menggunakan hukum internasional yang relevan

dan berkaitan dengan Pasal 293 UNCLOS 1982 .

Permohonan Bangladesh dalam pembelaannya agar dipenuhinya batas

wilayah Bangladesh sesuai Pasal 15,74,76, dan 83 UNCLOS 1982. Berikut pula

permohonan Bangladesh juga meliputi agar dipenuhinya batas laut teritorial yang

diukur dari Pulau St.Martin yang merupakan pulau terluar dari Bangladesh sampai

ke Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Bangladesh.Klaim Bangladesh

agar pengukuran laut teritorial dimulai dari Pulau St. Martin agar mencegah

eksplotasi minyak di pantai Barat Daya Pulau St. Martin yang dilaksanakan

Myanmar dengan perusahaan Korea Selatan, Daewoo. Bangladesh juga

mengajukan permohonan agar penentuan delimitasi batas maritim Bangladesh-

Myanmar sesuai dengan hasil uji proposionalitas yakni 1:1.06. 120

Permohonan Myanmar dalam pembelaannya meminta agar Pulau St.

Martin tidak menjadi bagian dari kedaulatan Bangladesh namun menjadi sebuah

wilayah independen, kemudian Myanmar juga meminta agar ITLOS dapat

melakukan ekstensi wilayah landas kontinen Myanmar diatas 200 mil serta

119
Ibid
120
Ibid
97

mengenai penentuan delimitasi batas maritim Bangladesh-Myanmar dengan

perbandingan 1:1.25. 121

Melalui Putusan No.16 Tanggal 14 Maret 2012, ITLOS mengeluarkan

putusan sebagai penyelesaian sengketa Bangladesh-Myanmar. Dimana di dalam

putusan tersebut secara garis besar memutuskan: 122

a. ITLOS menolak klaim Bangladesh mengenai pengukuran batas laut

teritorial Bangladesh dari Pulau St.Martin. ITLOS memberikan

pengukuran laut teritorial dari Pulau St. Martin sejauh 12 mil ke Zona

Ekonomi Eksklusif .

b. ITLOS menolak permohonan Myanmar yang meminta agar Pulau St.

Martin dijadikan sebagai wilayah independen karena dianggap akan

menimbulkan distorsi dalam hal proyeksi garis pantai masing-masing

negara.

c. ITLOS menolak permohonan Myanmar agar dilakukannya ekstensi

wilayah landas kontinen Myanmar lebih dari 200 mil, karena hal tersebut

tidak termasuk dalam wewenang ITLOS sebagaimana yang tertera pada

bagian XV dalam UNCLOS 1982.

d. ITLOS menetapkan delimitasi batas maritim antara Bangladesh dan

Myanmar dengan perbandingan 1:1.42, dimana batas maritim untuk

Bangladesh adalah 423 km dan untuk Myanmar 587 km. Dimana luas

121
Ibid
122
www.itlos.org. diakses tanggal 27 Maret 2014.
98

wilayah laut yang dimiliki oleh Bangladesh menjadi 111.631 km2 dan luas

wilayah laut Myanmar menjadi 171.832 km2.

A.2. Sengketa antara Bangladesh-India.

Sengketa Teluk Benggala merupakan sebuah sengketa multilateral dimana

melibatkan negara Bangladesh, Myanmar dan India. Teluk Benggala memiliki

area dengan luas 2,2 juta km2 , dengan kedalaman rata-rata 2.200 meter dan bisa

mencapai 3.000 meter, dimana kedalamannya semakin bertambah terbentang

dari utara ke selatan. Teluk Benggala merupakan muara dimana Sungai Gangga

mengalir, Sungai Gangga terdapat di barat daya sejauh 2.500 meter dari Teluk

Benggala. Sengketa Teluk Benggala antara India dan Bangladesh memiliki

sedikit perbedaan dengan sengketa antara Bangladesh dan Myanmar mengenai

Teluk Benggala. Jika Bangladesh dan Myanmar memperebutkan Teluk

Benggala dikarenakan perebutan sumber daya energi yang terkandung di

dalamnya, sengketa antara Bangladesh dan India memiliki 2 (dua) unsur

permasalahan yakni: a) unsur sejarah pembagian wilayah antara kedua negara

dimulai dari masa pasca kemerdekaan Bangladesh dan b) perebutan wilayah atas

dasar sumber daya energi yang terkandung di Teluk Benggala. 123

India merupakan sebuah negara yang merdeka pada tahun 1947 dan dalam

hal ini terbagi menjadi dua negara yaitu India dan Pakistan dan kemerdekaan ini

dicatat dalam sebuah perjanjian kemerdekaan India pada Tanggal 15 Agustus

1947. Sedangkan Bangladesh merupakan sebuah negara yang memisahkan diri

123
Piyush Singh dan Pranay Kotasthane ( Resolving the Indo-Bangladesh Maritime
Dispute : Takshashila Institution: Juni,2014) Hal.1
99

dari Pakistan dan merdeka pada bulan Maret 1971, wilayah Bangladesh yakni
124
berada pada timur Pakistan.

Pada Tanggal 14 Febuari 1974, Bangladesh menetapkan batas wilayah

perairan dan batas maritim negaranya melalui sebuah perjanjian. Pada perjanjian

tersebut tercatat bahwa terdapatnya wilayah tambahan pada wilayah maritim

Bangladesh sejauh 6 mil sebagai zona tambahan.Terkait dengan dikeluarkannya

perjanjian Bangladesh mengenai penetapan wilayah perairan dan batas maritim

serta wilayah tambahannya, tidak ada klaim keberatan dari negara manapun, hal

ini juga termasuk India sebagai negara tetangga tidak pernah mengeluarkan nota

keberatan terhadap perjanjian yang telah ditetapkan oleh Bangladesh tersebut. 125

Pada Tanggal 9 Mei 1974 , Perdana Menteri Bangladesh diundang oleh

pemerintah India guna membahas mengenai batas darat antara India dan

Bangladesh. Pada saat iru, menteri luar negeri Bangladesh mengambil suatu

inisiatif agar antara India dan Bangladesh juga disepakatinya batas maritim antar

kedua negara, pemerintah India sepakat untuk mengadakan perjanjian batas

maritim antara kedua negara tersebut dan berjanji akan mengundang pemerintah

Bangladesh untuk membahas hal tersebut di awal bulan Juni 1974. Namun,

sampai dengan tanggal 7 Juni 1974 belum ada undangan dari pihak India untuk

membicarakan hal tersebut, hal ini dikarenakan negara-negara tengah

mempersiapkan diri untuk mengadiri sidang kedua UNCLOS III yang diadakan

di Caracas pada Tanggal 20 Juni-29 Agustus 1974. 126

124
Ibid.
125
Ibid.
126
Ibid.
100

Setelah sidang kedua UNCLOS III di Caracas, Bangladesh sebagai sebuah

negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya melakukan perubahan pada

perjanjian yang berisi batas maritimnya . Dimana batas maritim yang baru,

menurut pemerintah Bangladesh akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

diatur di dalam UNCLOS, yakni 12 mil batas laut teritorial dan 200 mil untuk

batas zona ekonomi eksklusif begitu pula untuk zona tambahan dan landas

kontinen. Namun Bangladesh meminta dimana pengukuran batas lautnya dari

garis pantai tidak dapat mengikuti pengukuran pada garis pantai normal atau pun

lurus , hal ini disebabkan garis pantai Bangladesh yang tidak rata dan cenderung

menjorok kedalam sehingga Bangladesh pada penetapan garis pantainya

meminta untuk dilakukan cara pengukuran yang lain diluar dari yang telah

ditetapkan didalam UNCLOS. Penetapan batas negara tidak hanya dapat

dilakukan oleh negara tersebut secara sepihak, namun batas negara tersebut

dengan negara-negara sekitarnya juga harus ada pembagian wilayah yang jelas,

dan hal ini pula yang harus dipertimbangkan oleh Bangladesh dalam penetapan

batas wilayah negaranya. 127

Perundingan antara India dan Bangladesh mengenai delimitasi batas

maritim kedua negara dilakukan pertama kalinya pada Tanggal 3 Juli 1974.

Perundingan kedua negara ini mengenai batas maritimnya, tidak berlangsung

sebagaimana perundingan batas darat wilayah negaranya.Pada pertemuan

Tanggal 3 Juli 1974 tersebut, Bangladesh menyatakan bahwa negaranya akan

mematuhi peraturan UNCLOS dalam menetapkan batas-batas maritim

127
Ibid.
101

negaranya, termasuk luas zona maritim dan penggunaan serta kegiatan yang

akan berlangsung pada wilayah lautnya.Dalam pertemuan ini, India

mengutarakan kepada pihak Bangladesh bahwa; pemerintah India menginginkan

pengukuran pada garis pantai antara India dan Bangladesh dilakukan sesuai

dengan Pasal 5 UNCLOS tentang normal base-line. Pada pertemuan kedua yaitu

pada Tanggal 16 Juli 1974, Bangladesh pada pernyataannya menyatakan bahwa;

mengenai penentuan batas maritim negaranya, pemerintahan Bangladesh

menginginkan metode pengukuran straight base-line pada Pasal 7 UNCLOS,

yang mana mengingat kontur pantai Bangladesh yang jauh masuk kedalam dan

tidak sejajar ataupun letaknya tidak berdampingan dengan garis pantai India.

Pertemuan pada Tanggal 16 Juli 1974 ini, tidak menghasilkan kesepakatan

karena pernyataan Bangladesh ditolak oleh India, dan pemerintah India

bersihkukuh untuk mengukur garis pantai menggunakan metode normal base-

line. 128

Pada tahun 2007, terjadi pembatalan proyek pembangunan pipa gas

untuk menyalurkan gas alam antara Myanmar, Bangladesh dan India.

Penyaluran gas alam ini dilakukan dari Teluk Benggala dan dialurkan ke bagian

barat India. Proyek ini mendapat penolakan keras dari pemerintah Bangladesh,

hal ini dikarenakan, kerja sama antara India dan Myanmar ini bukan untuk

mengalirkan sebagian dari kuota gas tersebut ke wilayah Bangladesh, namun

dalam hal ini Bangladesh merupakan negara yang hanya dilintasi saja, baik India

ataupun Myanmar tidak memperhatikan hak transit Bangladesh, dan perjanjian

128
Ibid.
102

tersebut dibuat hanya antara Myanmar dan India tanpa menyertakan Bangladesh

sebagai negara yang akan dilewati serta tidak mempertanyakan kesediaan

Bangladesh atas ditanamnya pipa gas pada wilayah maritim negaranya. 129

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan solusi dari

permasalahan perbatasan batas maritim di Teluk Benggala antara India dan

Bangladesh. Kedua negara tetap teguh mempertahankan pendapat dari masing-

masing pihak, Bangladesh tetap akan mengikuti Pasal 7 UNCLOS tentang

straight base-line dalam delimitasi batas maritim dengan India; dan India juga

tetap berpegang teguh untuk mengikuti metode pengukuran straight base-line.

India melakukan pernyataan resminya untuk tetap mengikuti metode pengukuran

straight base-line sepanjang garis pantainya termasuk dengan batas pantai

dengan Bangladesh, ini dinyatakan pada bulan Mei 2009. Mengenai batas

maritim antara India dan negara-negara yang berbatasan dengannya ( Myanmar,

Thailand, Sri Lanka, Indonesia, dan Maladewa), hanya Bangladeshlah negara

yang masih belum ditentukan batas maritimnya dengan India, dan hal ini

berlangsung selama beberapa dekade dan menimbulkan sengketa, hingga pada

tahun 2012 sengketa ini dibawa ke Permanent Court of Arbitration (selanjutnya

disebut PCA), dan putusan dari PCA yang dikeluarkan pada Tanggal 7 Juli 2014

menjadi penyelesaian masalah sengketa batas maritim di Teluk Benggala antara

India dan Bangladesh. 130

129
K. Yhome ( The Bay Of Bengal At The Crossroads Potential For Coorperation Among
Bangladesh, India and Myanmar; Friedrich Ebert Stiftung; FES India Press;New Delhi,
October.2014) Hal.6.
130
Piyush Singh dan Pranay Kotasthane.Op.Cit.Hal.3.
103

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary.

Pada masa awal terjadinya sengketa sejak tahun 1974, pihak India maupun

Bangladesh telah melakukan upaya penyelesaian sengketa terhadap delimitasi

batas maritim kedua negara tersebut, dan upaya yang ditempuh guna

menyelesaikan sengketa tersebut adalah penyelesaian sengketa alternatif yakni

melalui jalur negosiasi.

Proses negosiasi yang dilakukan antara India dan Bangladesh

dilangsungkan pada beberapa pertemuan sejak November 1974 sampai dengan

Januari 1982. Selama periode tersebut, pihak India dan Bangladesh juga

melakukan negosiasi terkait hal kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh

beberapa perusahaan internasional di wilayah maritim mereka. Kegiatan

negosiasi yang dilakukan oleh kedua negara tersebut diajukan oleh pemerintahan

India melalui sebuah nota verbal kepada pemerintahan Bangladesh dan

disepakati pada tanggal 31 Oktober 1974. 131

Negosiasi pertama sekali diadakan di Dakka pada Tanggal 30 November

sampai dengan 4 Desember 1974. Pada pertemuan ini, perwakilan dari

Bangladesh menjelaskan dasar dari mana menggambarkan garis pangkal, dan

metode menentukan garis pantai yang telah mereka ajukan juga pada pertemuan di

Caracas, serta pembagian batas maritim antar kedua negara. Perwakilan India

menyatakan bahwa; apa yang menjadi permintaan dari pihak Bangladesh tidak

mencerminkan prinsip Hukum Laut Internasional karena permintaan tersbut hanya

bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi pihak Bangladesh semata tanpa

131
www.pca-cpa.org/showpage.asp?pag_id=1376, diakses pada tanggal 28 Maret 2015.
104

memperhatikan kepentingan dari pihak India. Pihak India menginginkan untuk

menggunakan peraturan yang telah biasa digunakan dalam menetukan delimitasi

batas maritim baik antar negara yang berdampingan atau negara yang saling

berhadapan. Perwakilan Bangladesh melanjutkan bahwa untuk menetukan batas

antar negara yang berdampingan , harus dipastikan bahwa garis batas sama untuk

kedua pihak.

Selama pertemuan ini, perwakilan India juga membahas mengenai nota

verbal yang dilakukan pada Tanggal 31 Oktober 1974 yakni mengenai perusahaan

minyak Ashland yang ditunjuk oleh pemerintah Bangladesh untuk melakukan

eksploirasi lepas pantai. Dan dalam kegiatan eksploirasi inidiyakini oleh pihak

India bahwa telah melewati batas dan memasuki wilayah maritim India. Namun

hal ini disangkal oleh pihak Bangladesh, yang mengatakan bahwa dalam nota

verbal yang dikirimkan oleh pemerintah Bangladesh pada Tanggal 13 Desember

1974 menyebutkan bahwa: “ Untuk menghormati pendapat dari pemerintah India

untuk menunda dan memberhentikan sementara waktu segala kegiatan eksplorasi

pada perbatasan maritim kedua negara, dimana dalam hal ini belum adanya

kesepakatan kedua negara dalam menentukan delimitasi batas maritim, dan

pemerintah Bangladesh menjamin untuk menunda segala kegiatan eksplorasi serta

segala kontrak yang berkenaan dengan kegiatan tersebut yang berada pada

wilayah perbatasan kedua negara”. Kemudian pihak India menyatakan akan

melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai hal ini, dan selanjutnya kedua
105

negara akan mengadakan pertemuan selanjutnya guna membahas masalah

perbatasan kedua negara. 132

Pertemuan negosiasi kedua dilaksanakan di New Delhi, pada Tanggal 15

dan 17 Januari 1975. Pada pertemuan ini,perwakilan Bangladesh kembali

melanjutkan argumennya untuk menjawab keinginan dari pihak India yang ingin

menggunakan garis equiditas dalam menarik garis pangkal batas antara India dan

Bangladesh. Perwakilan Bangladesh menyebutkan bahwa banyak metode ataupun

cara yang digunakan untuk menggambar garis batas antar kedua negara, hal ini

harus disesuaikan dengan kondisi dan wilayah dari kedua negara tersebut. Dan

mengenai penggunaan prinsip equiditas yang ditawarkan oleh India dalam hal

penarikan garis batas jika diadopsi dalam penarikan garis batas dengan

Bangladesh, hal ini menjadi tidak adil bagi Bangladesh karena pantainya

menjorok jauh ke dalam dan akan menghasilkan wilayah yang tidak proporsional

bagi Bangladesh. 133

Perwakilan India menyatakan Teluk Benggala sebagai wilayah maritim

India, ini dikarenakan Teluk Benggala merupakan wilayah perpanjangan yang

natural dilihat dari wilayah daratan India, Bangladesh dan negara yang lainnya

yang menyatakan pula Teluk Benggala sebagai wilayah maritimnya atau dalam

hal ini merupakan negara yang berdampingan dengan India, harus taat pada

ketetapan yang ditentukan oleh negara yang menguasai teluk tersebut. Pihak India

juga memberikan argumen terhadap prinsip equiditas , yakni; peraturan mengenai

prinsip equiditas tidak hanya apa yang tertera di dalam Konvensi mengenai

132
Ibid.
133
Ibid.
106

Landas Kontinen tahun 1958, namun ini juga merupakan suatu kebiasaan

internasional yang telah diterapkan oleh lebih dari 50 negara serta telah diterapkan

dalam berbagai kasus mengenai permasalahan delimitasi batas maritim baik itu

negara yang berdampingan atau berlawanan. Peraturan ini juga diterapkan oleh

India dalam perjanjian batas maritimnya dengan Indonesia dan Sri Lanka, yang

mana setelah menetapkan batas antara kedua negara ini Bangladesh menjadi

negara selanjutnya. Hal ini juga akan berlaku bagi Bangladesh sebagai negara

yang wilayah maritimnya berbatasan dengan India. Pihak India juga di dalam

negosiasi ini menyatakan kesalahan yang telah di perbuat oleh pihak Bangladesh

dalam merespon permintaan India untuk menghentikan kegiatan eksplorasi pada

wilayah sengketa. Proses negosiasi kedua ini juga tidak menghasilkan adanya

suatu penyelesaian dan kesepakatan bagi kedua belah pihak, untuk itu kedua belah

pihak sepakat untuk kembali mengadakan proses negosiasi selanjutnya dalam

waktu 10 sampai dengan 15 hari kemudian untuk pembahasan yang lebih jauh

mengenai usaha untuk mempersempit perbedaan pandangan dari kedua negara

yang bersengketa tersebut. 134

Pertemuan ketiga dari negosiasi dilaksanakan di Dakka pada Tanggal 8

sampai dengan 11 Febuari 1975 yang diwakili oleh menteri luar negeri masing-

masing negara. Pada pertemuan ketiga ini juga tidak ada kemajuan yang berarti

bagi penyelesaian kasus ini. India berpendapat bahwa kesepakatan harus dicapai

dengan dasar sesuai dengan pengakuan para pihak. Sedangkan, Bangladesh tetap

pada posisi awalnya yakni untuk tidak menyetujui perbatasan apapun yang

134
Ibid.
107

digambar dan hanya disetujui secara sepihak. Negosiasi ketiga ini juga tidak

berakhir dengan adanya solusi, untuk itu kedua negara akan kembali mengadakan

pertemuan selanjutnya. 135

Proses negosiasi keempat diadakan pada Tanggal 1 sampai dengan 5

Maret 1975 di New Delhi yang juga diwakili oleh menteri luar negeri masing-

masing negara. Pada kesempatan ini terdapat bukti yang dapat membantu

memperkecil jarak perbedaan pendapat dari kedua belah pihak. Sementara pihak

India mengemukakan beberapa saran untuk mencoba mencapai kompromi dan

meningkatkan kemungkinan penyesuaian garis equiditas untuk mengamankan

perjanjian, Bangladesh tidak merespon secara positif dan tidak juga membuat

proposal apapun yang mana secara signifikan mungkin dapat memperkecil

penyimpangan dari posisi awal untuk mempertahankan seluruh area yang

dibangun oleh perusahaan minyak Ashland. Selama dilangsungkannya proses

negosiasi ini, kedua negara juga mendakan pertemuan secara terpisah yang mana

ini diadakan oleh pihak India dengan tujuan untuk memberikan advis kepada

Bangladesh untuk komunikasi yang tepat yang ditujukan pada permasalahan

perusahaan minyak Ashland, dan usaha untuk memastikan kegiatan eksplorasi

yang akan datang tidak menganggu di wilayah India. Bangladesh kemudian

mengajukan permintaan, dengan didasarkan pada itikad baik pemerintah India

setuju untuk mengeluarkan surat penundaan terkait masalah perusahaan minyak

Ashland. Kedua pihak setuju untuk menunda pembicaraan lebih lanjut mengenai

hal ini sampai pada waktu yang telah ditetapkan. Namun, sampai pada tenggang

135
K. Yhome.Op.Cit. Hal.9.
108

waktu yang telah ditetapkan guna menyelenggarakan pembicaraan lebih lanjut

tentang masalah perusahaan minyak Ashland, pernyataan dari pemerintah

Bangladesh yang menyatakan bahwa pemerintah Bangladesh tidak lagi akan

membahas mengenai permasalahan perusahaan minyak Ashland dengan

pemerintah India, karena tidak adanya bukti mengenai tuduhan pemerintah India

terhadap Bangladesh terkait dengan kegiatan eksplorasi perusahaan minyak

Ashland yang disebutkan dilakukan di wilayah India. Hal ini membuat pihak India

kehilangan pertahanan dan terpaksa juga menunda untuk membahas kembali

kasus ini hingga dikumpulkannya bukti yang akurat. 136

Pertemuan negosiasi kelima diadakan di New Delhi pada Tanggal 29

Maret sampai 2 April 1975, ini dilakukan selama kunjungan resmi Menteri Luar

Negeri Bangladesh atas undangan dari pemerintah India. Pada sebuah

pemberitaan publik, Menteri Luar Negeri India dan Bangladesh menyatakan

bahwa negosiasi mengenai delimitasi batas maritim telah mengalami kemajuan

pada tahap dimana kedua belah pihak yakin menemukan solusi yang memuaskan

secara mutual. Pembicaraan ini kemudian diikuti kembali dengan kunjungan

lainnya dari Menteri Luar Negeri Bangladesh ke India pada Tanggal 16 Agustus

1975. Selama kunjungan kerja ini, isu tentang batas maritim kembali mencuat

tetapi masih belum memungkinkan untuk menemukan konklusinya. 137

Selang jarak waktu 3 tahun, pertemuan negosiasi keenam kembali

diadakan dengan bertempat di New Delhi pada Tanggal 22 sampai 23 Maret 1978.

Kebanyakan dari isu yang muncul antara kedua negara dan proses negosiasi yang

136
Ibid.
137
India’s Counter Memorial Vol.1. Hal.78
109

dilakukan berakhir dengan permintaan untuk setuju pada keinginan satu sama lain

dan bekerja untuk mencapai suatu perjanjian yang bersifat mutual.

Pada pertemuan negosiasi ketujuh yang diadakan di New Delhi pada

tanggal 1 sampai dengan 5 Desember 1980, India menyatakan berdasarkan

ketententuan Pasal 9 pada Undang-Undang India no.1976 yang mana mewajibkan

pemerintah untuk mencoba mencapai kesepakatan bersama dalam hal batas

maritim, itu disimpulkan sebagai kesepakatan pada perjanjian delimitasi batas

maritim antar negara dalam kawasan tersebut dan yang paling mencemaskan

adalah untuk mencapai kesuksesan yang sama yang dilakukan oleh India terhadap

negara-negara yang berbatasan dengannya terhadap Bangladesh. Bangladesh

merespon hal ini secara politis bahwa mereka tidak dapat menerima hal saran-

saran untuk mengganti posisi mereka dan menolak gambaran garis pantai yang

diajukan oleh India. Dalam hal ini Bangladesh menunjukkan tidak adanya

fleksibilitas dan tetap teguh pada pendiriannya. 138

Pada tahun 1982, diadakan konsultasi antara Menteri Luar Negeri kedua

negara. Mereka mendiskusikan isu bilateral yang penting termasuk salah satunya

perbatasan maritim kedua negara. Pada pertemuan ini, mereka kembali

mengemukakan pandangan mereka tentang isu tersebut, namun mereka tidak

menemukan dasar dari pembicaraan dan memutuskan untuk melanjutkan

pembicaraan untuk menemukan solusi yang lebih baik.

Pada kesempatan ini, Bangladesh juga memberikan bukti-bukti terkait

dengan kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan minyak

138
Ibid.
110

internasional termasuk perusahaan minyak Ashland, dengan memperlihatkan

kontrak terkait eksplorasi minyak lepas pantai. Kontrak-kontrak yang

diperlihatkan tersebut termasuk juga mengenai pemetaan wilayah eksplorasi

minyak di Teluk Benggala, dan data ini diambil dari website “PetroBangla”.

Bangladesh mengundang perwakilan dari perusahaan yang bersangkutan dalam

hal ini untuk memberikan kesaksian dan pernyataan terkait kebijakan yang

diambil oleh pemerintah Bangladesh atas perusahaan tersebut. Pernyataan dari

perwakilan perusahaan tersebut menyatakan adanya kebijakan dari pemerintah

Bangladesh untuk menghentikan sementara waktu kegiatan eksplorasi minyak

lepas pantai dan penyertaan peta dalam pertemuan ini menunjukkan hal yang

dituduhkan terhadap Bangladesh mengenai kegiatan eksplorasi minyak lepas

pantai adalah hal yang divesar-besarkan guna kepentingan untuk meguasai Teluk

Benggala. 139

Terkait dengan hal ini dijadikan suatu referensi singkat yang dialamatkan

oleh perwakilan Bangladesh kepada Sidang Umum Ketiga Konferensi UNCLOS

pada 9 Desember 1982, sehari sebelum UNCLOS disimpulkan. Pernyataan, inter

alia; 140

“ Kami mengerti bahwa tidak semua harapan-

harapan kami dapat direalisasikan didalam

konvensi ini. Kami percaya bahwa keunikan dari

kondisi geografis garis pantai kami dan kondisi

lainnya terkait dengan adanya perintah perlakuan

139
Ibid.
140
Ibid.
111

yang sama. Hal ini juga tidak mungkin untuk

disetujui terkait dengan penaksiran wilayah oleh

beberapa pihak terhadap skema wilayah kami

yang mana menerangkan bahwa di dalam

konvensi ini telah menentukan luas wilayah bagi

negara lain yang terkait. Melihat konvensi masih

terdapat banyak ketidaksempurnaan, menawarkan

seperangkat peraturan yang harus disepakati

secara keseluruhan dalam semangat kerjasama

dan persahabatan.

.........

Konvensi sebelumnya memuat banyak hal yang

tidak sempurna dari segi peraturan, tetapi dalam

semangat kami untuk berkomitmen pada hukum

internasional, perdamaian dan itikad baik serta

solidaritas untuk memajukan dunia dan tidak

berseteru antar negara Islam. Saya dipercaya oleh

pemerintah saya untuk menandatangani konvensi

ini. Bagaimanapun, pada waktu yang tepat

Bangladesh akan memberikan suatu pernyataan

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 310

UNCLOS untuk membuat suatu deklarasi


112

menyangkut kepentingan nasional yang vital oleh

sebuah negara....”

Bangladesh sudah pasti siap untuk mengambil sebuah tindakan

sebagaimana yang dinyatakan dalam surat yang ditujukan untuk presiden


141
UNCLOS pada tanggal 28 April 1982, yaitu;

“ .... keunikan konfigurasi dari garis pantai

beserta dengan kondisi geomorfologis dan

geologis yang ganjil menghasilkan suatu kondisi

pantai yang mengarah pada garis air-rendah

dengan fluktuasi yang tinggi dan area cekungan

pantai yang dalam,....dengan latar belakang

kondisi geografis seperti ini, Bangladesh

mengajukan sebuah formulasi atas kriteria

kedalaman dan pengukuran garis pantai untuk

kepentingan penentuan batas maritim dan

pengaturan navigasi antara Bangladesh dengan

negara-negara yang berbatasan.”

Meskipun klaim Bangladesh tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak,

dukungan ini hanya sementara dan ini terjadi setelah India dan Myanmar

mengirimkan surat pada tanggal 30 April 1982 yang membantah dan sangat

isinnya sangat kontradiktif dengan surat Bangladesh tersebut.

141
Ibid.
113

Setelah tahun1982, tidak lagi diadakan negosiasi antara India dan

Bangladesh. Selang waktu 26 tahun, sampai pada tahun 2008 kembali

dilakukannya pembicaraan dalam level teknis antara India dan Bangladesh.

Pertemuan ini diadakan pada tanggal 15-17 September 2008 dan 17-18 Maret

2009, perwakilan India dan Bangladesh mengulangi pandangan mereka

sebagaimana posisi terdahulu.Pada akhir pertemuan ini, Bangladesh menyatakan

ketetapannya untuk tidak akan menyetujui pengaturan garis batas yang ditentukan

oleh India. 142

Pada tanggal 8 Oktober 2009, Bangladesh mengajukan kepada India untuk

menyelesaikan permasalahan delimitasi batas maritim antara kedua negara

tersebut dengan cara arbitrase. Penyelesaian dengan cara arbitrase yang diusulkan

oleh Bangladesh terhadap India, ini terkait pula soal penyelesaian sengketa antara

Bangladesh dan Myanmar yang telah diserahkan kepada ITLOS untuk

diselesaikan pada tahun 2008. Kemudian India baru menyatakan kesediaannya

untuk membawa sengketa ini ke PCA pada tahun 2009, dan sengketa ini mulai

disidangkan pada tahun 2013. 143

142
Ibid.
143
Matt Kirtland danKate Huntler (South Asia Maritime Disputes: Delimiting the
maritime boundaries of India and Bangladesh; International arbitration report, Norton Rose
Fullbright.2014). Hal.2.
114

Gambar.1. Wilayah yang menjadi sengketa India-Bangladesh

Sumber : India’s Counter Memorial Vol.1.


115

C. Hasil Penyelesaian Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary.

Pada Tanggal 8 Oktober 2009, Pemerintah Bangladesh dan India sepakat

untuk menyelesaiakan sengketa kedua negara mengenai delimitasi batas

maritim.Kebijakan yang diambil oleh kedua negara ini terkait dengan Pasal 287

ayat (1) dan Annex VII UNCLOS 1982. Selama tahun 2010-2013, dilakukan

analisa terhadap sengketa dan juga pada wilayah sengketa di Teluk Benggala.

Sidang pertama dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 , perkara ini ditangani

oleh 5 orang hakim yakni: Rudiger Wolfrum (Jerman) juga sebagai Presiden dari

PCA, Jean-Pierre Cot (Perancis), Thomas A.Mensah (Ghana), Dr.Pemmaraju

Sreenivasa Rao (India), dan Prof. Ivan Shearer (Australia). Hal-hal yang dibahas

mengenai delimitasi batas maritim antara kedua negara termasuk penetapan garis

pantai, delimitasi laut teritorial dan delimitasi ZEE serta landas kontinen. 144

Berdasarkan UNCLOS 1982, sebuah negara pantai memiliki kedaulatan

atas 12 mil laut dari garis pantai (Pasal 3). Di luar zona ini maka batas sejauh

200mil laut negara mempunyai hak kedaulatan atas zona ZEE (Pasal 55).

Kemudian batas maksimal 350 mil laut dan dengan kedalaman 2500 meter negara

mempunyai kedaulatan atas zona landas kontinen. Dalam menyelesaikan sengketa

ini, PCA mencari metodologi yang tepat utuk diaplikasikan mengenai penentuan

garis batas yang provisi dan seimbang serta juga memperhatikan kondisi yang

spesial serta relevan untuk menemukan solusi yang adil bagi kedua belah pihak.

Menurut PCA hal ini adalah hal yang sangat logis dan dapat diterapkan secara

menyeluruh sebagai hal yang objektif, transparan dan seimbang. Dalam

144
www.mcnairchambers.com,diakses pada tanggal 4 April 2015.
116

menerapkan metodologi ini, PCA menolak metodologi yang disaranakan sebagai

alternatif oleh pihak Bangladesh yakni metode garis “angle bisector”. Namun

pada akhirnya penentuan garis yang ditentukan oleh PCA hampir mendekati

metode garis “angle bisector” yang disarankan oleh pihak Bangladesh (dimana

penentuan garis ini ditentang oleh Dr.Pemmaraju Sreenivasa Rao hakim arbitrase

yang ditunjuk oleh India). 145

Dalam memorial yang disampaikan oleh Bangladesh terkait dengan

delimitasi batas maritim, Bangladesh meminta PCA dalam menentukan

pemberian batas wilayah untuk mempertimbangkan “special circumtances”.

Pertama,mengenai adanya perubahan iklim yang mengakibatkan adanya

ketidakstabilan garis pantai. PCA menolak argumen Bangladesh terkait dengan

alasan “ ketidakstabilan ekstrim pada delta Teluk Benggala” yang mana

diakibatkan oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut dan pihak

Bangladesh menyatakan hal ini sebagai “special circumtances”. Menurut PCA,

argumen seperti ini jika diterima maka akan merusak objektivitas dari penentuan

delimitasi dan definisi dari batas maritim tersebut, hanya keadaan geografis pada

saat ini yang dianggap relevan dalam penentuan batas maritim. Evolusi alam,

ketidakpastian dan kurangnya kemampuan untuk memprediksi sebagai dampak

dari perubahan iklim pada wilayah maritim, terutama bagian pantai terdepan suatu

negara, membuat semua prediksi terkait dengan jumlah erosi pantai atau

pertambahan yang tidak dapat diprediksi. Keputusan ini akan menjadi

145
Ibid.
117

kepentingan bagi negara-negara yang memiliki dataran pantai yang rendah atau

garis pantai yang tidak stabil. 146

Kedua, mengenai adanya hak untuk menangkap ikan. PCA juga menolak

argumen Bangladesh yang mana populasi penduduknya banyak yang sangat

tergantung pada ikan di Teluk Benggala akan mempertajam ketidakadilan dalam

pembatasan terhadap suatu daerah yang sempit yang dihasilkan oleh garis

equiditas. Menurut PCA, Bangladesh tidak menyerahkan cukup bukti untuk

menghadapi suatu ujian ketat yang diperlukan untuk mengandalkan keadaan

tersebut. 147

Ketiga,mengenai cekungan wilayah pantai Bangladesh yang menjorok

jauh kedalam. Hal ini diakui oleh PCA melihat fakta dimana wilayah pantai

Bangladesh yang menjorok kedalam. PCA menerima argumen Bangladesh

mengenai cekungan pada wilayah pantai dinyatakan sebagai “special

circumtances” dan patut diperhitungkan. Secara khusus PCA menandai bahwa

cekungan ini menghasilkan suatu “efek patahan” yang tidak masuk akal dan hal

ini mencegah Bangladesh untuk memperluas batas maritimnya sejauh batas yang

ditetapkan oleh hukum internasional. Untuk memperbaiki dampak dari efek ini,

PCA menyesuaikan garis equiditas yang sesuai agar Bangladesh dapat menerima

batas maritim yang lebih luas terutama untuk bagian zona ZEE dan zona landas

kontinen. 148

Pada tanggal 7 Juli 2014, PCA memberikan putusan final atas sengketa

India-Bangladesh mengenai delimitasi batas maritim. Luas wilayah Teluk


146
Piyush Singh dan Pranay Kotasthane.Op.Cit.Hal.7.
147
Ibid.
148
Ibid.
118

Benggala yang menjadi sengketa antara India dan Bangladesh adalah 25.602 km2,

dan PCA dalam putusannya memutuskan wilayah Teluk Benggala yang menjadi

wilayah Bangladesh adalah 19.467km2. Pada saat ini, Bangladesh telah memiliki

wilayah laut seluas 118.813 km2, dan pembagian luas untuk tiap-tiap zona

maritimnya adalah; laut territorial seluas 12 mil laut, ZEE diperluas hingga 200

mil laut dan landasan kontinen diperluas hingga 345 mil laut. India juga

mendapatkan pembagian wilayah laut seluas hampir mendekati luas 6.000km2,

yang mana dari oembagian luas wilayah laut ini, India mempunyai hak atas pulau

New Moore. 149

Putusan PCA tersebut telah secara menyeluruh diterima oleh kedua negara

sebagai sebuah perkembangan yang positif terhadap konsolidasi yang lebih jauh

dan hubungan yang bersahabat terutama dalam hal geopolitis secara signifikan

terhadap wilayah Samudera Hindia dan Asia Selatan. Terlebih lagi putusan ini

telah memberikan keamanan dan implikasi ekonomi tidak hanya untuk India dan

Bangladesh tetapi juga seluruh wilayah Teluk Benggala. 150

Putusan ini juga memberikan kontribusi dalam membangun strategi

persaudaraan antara negara-negara dalam pembagian batas negara di wilayah laut.

Putusan PCA ini diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam forum

multilateral yang penting. Kedua negara telah menerima putusan ini, dan ini

dianggap sebagai sebuah pintu yang terbuka lebar bagi kesempatan untuk

mengeksplorasi minyak dan gas di Teluk Benggala, situs yang mengandung

cadangan energi yang besar. Para ahli hukum internasional telah mengakui bahwa
149
http://www.idsa.in/idsacomments/DelimitationofIndoBangladesh_rbhattacharjee_
190814.html. diakses pada tanggal 4 April 2014.
150
Ibid.
119

melalui putusan ini, PCA telah memberikan dukungan yang besar kepada kedua

belah pihak untuk mempergunakan hak atas kedaulatan mereka dan melaksanakan

tugas mereka sesuai dengan konvensi dan saling menghormati hak kedua negara
151
satu sama lain.

Putusan PCA mengenai delimitasi batas maritim India dan Bangladesh ini,

memberikan sebuah kabar baik bagi jutaan nelayan bagi kedua negara. Perihalnya,

kebijakan yang bersahabat telah membuka zona yang lebih luas bagi mereka, yang

mana selama 4 dekade mereka tidak dapat melaut di daerah tersebut. Terlebih lagi

kedua negara dapat melakukan kerjasama dalam bidang konservasi keragaman

hayati yang terdapat di Teluk Benggala. Dengan jelasnya delimitasi batas maritim

antar kedua negara dapat meningkatkan keamanan didaerah pantai dan laut pada

wilayah tersebut. Menyangkut hal ini, putusan PCA merupakan suatu “win-win

solution” untuk kedua negara.

151
Ibid.
120

Gambar.2. Hasil Keputusan PCA mengenai Pembagian Wilayah di Teluk

Benggala antara India dan Bangladesh

Sumber : The Arbitral Tribunal Award In The Matter Of The Bay Of

Bengal Maritime Boundary Arbitration Between The People’s Republic of

Bangladesh and The Republic of India.


121

BAB IV

RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY

DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP

SENGKETA LAUT CINA SELATAN

A. Kajian Resolution of Bangladesh – India Maritime Boundary

Pada tanggal 7 Juli 2014, PCA mengeluarkan sebuah keputusan terkait

dengan sengketa delimitasi batas maritim antara India dan Bangladesh.

Keputusan ini terdiri dari 10 Bab, namun inti dari keputusan tersebut terdapat

pada bab 5 sampai dengan bab 10. Dimana pada bab-bab tersebut dibahas secar

spesifik dan mendetail mengenai solusi dari setiap permasalahan mengenai

delimitasi batas maritim antar kedua negara tersebut.

Bab 5 pada putusan PCA ini membahas mengenai pemilihan

pengaplikasian garis pangkal dan delimitasi pada zona laut teritorial. PCA

menandai bahwa metode penentuan delimitasi dari laut teritorial adalah lebih jelas

diatur didalam hukum internasional . Hal ini jelas tertera pasa Pasal 15 UNCLOS

1982 , konvensi merujuk pada metode special garis equiditas untuk melakukan

delimitasi pada wilayah laut teritorial. 152 Dan juga PCA dalam menentukan

putusan dalam kasus ini merujuk pada suatu putusan ICJ (International Court of

Justice) dalam sengketa delimitasi batas maritim antara Qatar dan Bahrain yang

mana menyatakan: 153

152
The Arbitral Tribunal in the matter of The Bay of Bengal Maritime Boundary
Arbitration between The People’s Republic of Bangladesh and Republic of India, The Hague, 7
July 2014. Hal 57.
153
Qatar v.Bahrain, Judgement of 16 March 2001, I.C.J.Reports 2001. Hal.94

110
122

“ Pendekatan yang paling masuk akal dan dapat

dipraktekkan secara luas adalah menggambar suatu

garis equiditas secara provisinal dan dan kemudian hal

ini perlu juga disadari bahwa dalam penerapannya

harus diperhatikan adanya kondisi yang khusus

(special circumtances)”

Putusan ICJ yang digunakan sebagai rujukan oleh PCA bukan hanya

mengenai sengketa Qatar dan Bahrain, putusan ICJ terhadap senngketa

“Fisheries case” antara Inggris dan Norwegia tanggal 18 Desember 1951 juga

digunakan sebagai rujukan. Dimana pada putusan ini PCA mengambil suatu

kesimpulan bahwa setiap titik terdekat dari garis batas adalah relevan dalam

hubungan untuk melakukan delimitasi antar negara yang posisi pantainya baik

yang berdampingan atau berhadapan. 154

Mengenai putusan akhir PCA terkait laut teritorial Bangladsh ini, maka

PCA memutuskan batas laut teritorial Bangladesh adalah seluas 12 mil laut. Dan

′ 43.6″N;
titik kordinat batas laut teritorial Bangladesh adalah 21° 26 89° 10′

59.2″E , garis ini dapat menghindarkan perlintasan yang tidak diinginkan pada

area ini untuk menuju Sungai Haribhanga dan melakukan transisi bertahap

menuju garis median. 155

Bab 6 putusan PCA membahas mengenai wilayah pantai relevan dan area

relav untuk delimitasi diluar wilayah laut teritorial. PCA melihat adanya

perbedaan yang signifikan antara garis pantai Bangladesh dan garis pantai India.
154
The Arbitral Tribunal in the matter of The Bay of Bengal Maritime Boundary
Arbitration between The People’s Republic of Bangladesh and Republic of India.Op.Cit.Hal 72.
155
Ibid.
123

Dalam hal ini PCA juga merujuk pada putusan ICJ mengenai kasus Laut Hitam

yang mana menyatakan; 156

“ Peran dari pantai yang relevan dapat memiliki dua

perbedaan yang mendekati dan terkait dengan aspek

hukum dalam hubungannya dengan delimitasi dari

landasan kontinen dan juga zona ekonomi eksklusif.

Pertama, adalah penting untuk mengidentifikasi pantai

yang relevan pada wilayah tersebut dimana hal ini guna

menghindari adanya kalim yang tumpang tindih

mengenai kepemilikan pantai tersebut. Kedua, pantai

yang relevan harus ditetapkan agar dapat digunakan

sebagai penentuan proses delimitasi batas maritim, dan

juga jika ada disproporsionalitas rasio dari luas pantai

tiap negara dan juga delimitasi batas zona maritim.”

Mengenai hal ini PCA menentukan luas wilayah pantai yang relevan bagi

kedua negara. Untuk Bangladesh, PCA memutuskan; segmen pertama garis

pantai Bangladesh diperpanjang dari perbatasan dengan India sampai dengan

mercusuar di pulau Kutubdia yang mana telah diidentifikasi oleh ITLOS.

Segmen kedua dari garis pantai Bangladesh akan diperpanjang dari titik pulau

Kutubdia sampai dengan perbatasan Bangladesh dengan Myanmar di sungai

Naaf. Sebagai hasilnya, luas relevan pantai Bangladesh adalah 418,6 km2.

Untuk India, PCA memutuskan luas wilayah pantai yang relevan dari daratan

156
Black Sea,Judgement,I.C.J. Reports.2009. Hal 61 ,101, 105
124

utama India sampai dengan wilayah berpasir pantai India adalah 706,4 km2.

Luas ini kemudian digabungkan dengan daerah pantai yang relevan di pulau

Andaman seluas 97,3 km2, dan total luas wilayah pantai yang relevan untuk

India adalah 803,7km2. 157

Hal lain yang diputuskan oleh PCA pada bab ini selain area pantai adalah

area yang relevan untuk delimitasi diluar laut teritorial. Setelah mengidentifikasi

apa yang diperlukan mengenai pantai-pantai yang relevan bagi kedua pihak, PCA

mengidentifikasi area tersebut dari proyeksi hasil penetapan pantai yang relevan.

Pembagian wilayah yang relevan ini, pada batas barat, utara dan timur laut area

yang relevan meliputi pantai India dan Bangladesh yang berada pada 6 segmen

yakini mulai dari wilayah pantai berpasir di sepanjang pantai India, melalui

batasan dari batas darat antara India dan Bangladesh , dan sepanjang pantai

Bangladesh sampai dengan batasan darat antara Bangladesh dan Myanmar di

mulut sungai Naaf. Untuk wilayah timur, area yang relevan adalah dibatasi oleh

200 mil laut batas dari pantai Myanmar mencapai batas wilayah Bangladesh

sebagai mana yang telah ditetapkan oleh ITLOS pada tahun 2012. Untuk wilayah

batas selatan, area yang relevan adalah dibatasi oleh batas Bangladesh sesuai

dengan ketetapan ITLOS pada tahun 2012 yakni dari titik dimana berpotongan

dengan batas 200 mil laut dari pantai Myanmar ke titik dimana ini bertemu

dengan 200 mil laut dari pantai India. Pada batas wilayah barat daya, area yang

relevan adalah dibatasi oleh garis yang diarik dari titik batas Bangladesh sesuai

157
The Arbitral Tribunal in the matter of The Bay of Bengal Maritime Boundary
Arbitration between The People’s Republic of Bangladesh and Republic of India.Op.Cit.Hal 74.
125

dengan yang ditetapkan oleh ITLOS pada tahun 2012 dengan 200 mil laut batas

dari pantai India sampai mencapai wilayah pantai yang relevan di titik wilayah

pantai berpasir di India. Dengan batasan-batasan tersebut, jumlah luas wilayah

yang relevan adalah 406,833 km2. 158

Pada bab 7, dibahas mengenai demilitasi wilayah ZEE dan landas kontinen

dalam 200 mil laut. Bangladesh dan India sama-sama meletakkan dasar

permohonan sesuai dengan Pasal 74 ayat (1) dan Pasal 83 ayat (1). Di dalam bab

7 ini, terdapat beberapa keputusan PCA; Pertama, mengenai metode untuk

penggambaran garis batas antara India dan Bangladesh. PCA dalam keputusannya

tidak menerima permintaan Bangladesh untuk mengaplikasikan metode “angle

bisector” dan juga tidak menerima sepenuhnya saran India untuk mengaplikasikan

garis equiditas. PCA pada keputusannya mengenai metode yang akan digunakan

menggabungkan metode angle bisector dengan garis equiditas, dimana PCA

mempertimbangkan pula “special circumtances”pihak Bangladesh mengenai letak

pantainya yang menjorok jauh kedalam. Dan metode angle bisector ini membagi

7 titik dalam delimitasi batas maritim Bangladesh dan India: 159

• Base point-1 : 210 32′ 21′ ′ N dan 880 53′ 53,13′ ′ E

• Base point-2 : 200 20′ 29′ ′ N dan 860 47′ 07′ ′ E

• Prov-3 : 210 07′ 44,8′ ′ N dan 890 14′ 56,7′ ′ E

• Prov-4 : 210 05′ 11,3′ ′ N dan 890 14′ 56,7′ ′ E

• Prov-5 : 190 12′ 29,5′ ′ N dan 890 54′ 43,2′ ′ E

• Prov-6 : 180 50′ 16,7′ ′ N dan 900 00′ 49,6′ ′ E

158
Ibid.
159
Ibid.
126

• Prov-7 : 170 52′ 42,7′ ′ N dan 890 46′ 00,3′ ′ E

Kedua, PCA memutuskan bahwa delimitasi batas maritim diluar laut

teritorial yakni untuk ZEE dan landas kontinen kedua negara adalah 200 mil laut

dan apabila diperlukan adanya perpanjangan wilayah maka akan dibahas lebih

lanjut namun penentuan perpanjangan batas wilayah tersebut tidak boleh melewati

batas yang telah ditentukan dalam UNCLOS 1982 dan tidak boleh melewati

koordinat 1800. 160

Pada Bab 8, putusan membahas mengenai delimitasi batas landas kontinen

melebihi 200 mil laut. Kedua negara meminta kepada PCA untuk memberikan

batas wilayah landas kontinennya melebihi 200 mil laut dengan berbagai

pertimbangan. Bangladesh menggunakan alasan “special circumtances”

mengenai letak pantainya, dan mengatakan apabila India juga meminta

perpanjangan melebihi 200 mil laut maka akan memotong zona landas kontinen

Bangladesh serta permintaan Bangladesh tersebut merupakan upaya keberlanjutan

dari hasil keputusan ITLOS mengenai sengketa Bangladesh dan Myanmar.

Bangladesh dan India menitik beratkan permintaan pada PCA untuk memberikan

batas landas kontinen melebihi 200 mil laut pada prinsip dari delimitasi,

yaitu;”terlepas dari sifat zona maritim yang akan dibatasi atau metode yang

diterapkan untuk penetapan batas tersebut.” . Meskipun India sendiri

menggunakan prinsip ini untuk menentang permintaan Bangladesh, dan

menginginkan delimitasi landas kontinen seharusnya berdasarkan “relevant

circumtances” dan tidak perlu adanya pencapaian maksimum untuk batas maritim

160
Ibid.
127

Bangladesh. India juga menambahkan apabila Bangladesh melalukan

perpanjangan batas maritim pada landas kontinen sesuai dengan UNCLOS 1983

yang maksimumnya adalah 350 mil laut maka Bangladesh akan pula mendapatkan

pulau Andaman dan melakukan klaim atasnya. PCA menyadari pada kasus

permintaan perpanjangan batas landas kontinen kedua negara ini merupakan hal

yang tumpang tindih tidak hanya pada kepentingan mereka namun juga

wilayahnya. Hal pertama yang diputuskan oleh PCA adalah titik dasar bagi kedua

negara, yakini untuk Bangladesh adalah titik Shahpuri di pantai Bangladesh (200

43′ 39′ ′ N dan 920 20′ 33′ ′ E) dan titik dasar umtuk India adalah di pantai India (200 20′

29′ ′ N d an 860 47′ 0 7 ′ ′ E), titik-titik ini akan mempengaruhi dalam penerapan batas

melebihi 200 mil laut.161 Dan mengenai hal ini PCA mengutip putusan ITLOS mengenai

Bangladesh dan Myanmar yaitu : 162

“ Menganggap bahwa cekungan pada pantai Bangladesh

merupakan pula suatu kondisi yang relevan (relevant

circumtances) untuk tujuan delimitasi batas maritim pada

ZEE dan landas kontinen seluas 200mil laut, Mahkamah

menemukan pula bahwa kondisi ini juga relevan terhadap

adanya efek untuk memperpanjang wilayah melebihi 200

mil laut”

PCA telah menandai batas landas kontinen dan ZEE sejauh 200 mil laut

untuk Bangladesh , berdasarkan konfigurasi geografis pada bagian Teluk

Benggala ,dalam lingkup yang terbatas didasarkan pada area yang menjadi hak

161
Ibid.
162
Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary between Bangladesh and
Myanmar in the Bay of Bengal (Bangladesh/Myanmar), Judgement of 14 march 2012. Paragraf
203.
128

Bangladesh dan India yang tumpang tindih. Dalam hal ini maka Bangladesh yang

berhak mendapatkan perpanjangan wilayah landas kontinen melebihi 200 mil laut

namun dalam batas wilayah yang menjadi hak kedua pihak serta tidak melewati

atau bersinggungan dengan batas yang menjadi wilayah maritim India (pulau

Andaman). 163

Bab 9 berisi tentang penyesuaian garis equiditas sementara di dalam dan

diluar 200 mil laut. Dalam pemutusan mengenai penyesuaian garis equiditas

yang sementara, PCA harus mencari cara untuk memperbaiki konsekuensi negatif

yang berlebihan dari garis equiditas yang sementara untuk Bangladesh pada area

200 mil laut dan melampaui batas 200 mil laut, tetapi hal tersebut tidak boleh

dilakukan dengan cara yang tidak wajar sehingga menggangu hak-hak India. PCA

kemudian memutuskan dari titik Prov-3 yang akan membatasi ZEE dan landas

kontinen dalam jarak 200 mil laut atau melampaui 200 mil laut antara Bangladesh

dan India, dimana titik kordinat batas ini adalah 1770 30´ 00˝ sampai dengan garis

ini bertemu dengan batas maritim yang telah ditentukam oleh ITLOS untuk

membatasi batas maritim ZEE dan landas kontinen antara Bangladesh dan

Myanmar. 164

Bab 10 mengenai tes disproporsionalitas. Para pihak baik Bangladesh

maupun India setuju bahwa proses akhir dari delimitasi batas maritim adalah tes

disproporsionalitas. Tes disproporsionalitas ini membandingkan rasio jarak

maritim yang relevan untuk masing-masing pihak. Pihak Bangladesh dalam

penentuan delimitasi batas maritim ini meminta bahwa Bangladesh dan India
163
The Arbitral Tribunal in the matter of The Bay of Bengal Maritime Boundary
Arbitration between The People’s Republic of Bangladesh and Republic of India.Op.Cit.Hal 131.
164
Ibid.
129

mendapatkan luas wilayah maritim dengan perbandingan 1: 1,52 dan India

mengajukan perbandingan antara India dengan Bangladesh adalah 1 : 0,942,

dalam menentukan rasio ini India bertolak dari referensi keputusan ITLOS untuk

Bangladesh dan Myanmar , dengan perbandingan rasio Bangladesh dan Myanmar

yang relevan seharusnya adalah 1: 2,1. Namun, hal ini berbeda menurut

pandangan PCA yang menolak dilakukannya tes disproportionalitas, hal ini

dikarenakan secara matematis rasio tersebut merugikan salah satu pihak atau tidak

terkandung adanya keadilan. 165 PCA juga menggunakan rujukan dari hasil

keputusan sengketa delimitasi batas maritim di Laut Hitam antara Romania dan

Ukraina yang menyebutkan bahwa : 166

“ Tes disproporsionalitas bukanlah suatu metode

dalam delimitasi. Tes ini hanya ditujukan untuk

memeriksa apakah garis pembatas dilakukan dengan

arti yang lain dimana penyesuaian dibutuhkan karena

atau adanya batasan jarak yang sangat signifikan

perbedaannya antar wilayah Maritim yang mana

secara sengaja dilakukan dapat memberikan kejatuhan

bagi pihak yang satu dan keuntungan yang signifikan

bagi pihak lainnya.”

B. Perbandingan Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary dengan

Sengketa Laut Cina Selatan.


165
Ibid.
166
Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgement of 3
February 2009, I.C.J. Reports. Hal. 61. Paragraf 110.
130

Sengketa Laut Cina Selatan dan sengketa Bangladesh-India maritime

boundary merupakan contoh dari segelintir sengketa antar negara-negara yang

memperebutkan wilayah strategis menjadi bagian wilayah negara mereka. Seperti

banyak sengketa mengenai kedaulatan teritorial, sengketa Laut Cina Selatan dan

sengketa Teluk Benggala antara India dan Bangladesh dilatarbelakangi oleh

banyak hal yang sama. Latar belakang masalah itu berupa lokasi wilayah yang

strategis untuk jalur internasional, wilayah tersebut didalamnya terkandung

potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang besar termasuk gas alam,minyak bumi

ataupun ikan-ikan laut (sumber perikanan), dan terlebih lagi adalah kepentingan

politik dari negara yang terkait ataupun negara-negara lain yang berkepentingan

besar terhadap wilayah tersebut. 167

Mengenai latar belakang dari timbulnya sengketa mengenai batas wilayah

atau klaim terhadap kedaulatan teritorial antar negara, hal yang paling berdampak

besar adalah adanya kepentingan politik baik oleh masing-masing negara yang

bersengketa atau terlebih lagi kepentingan negara lain terhadap wilayah sengketa

tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi proses bagaimana sengketa antar negara

tersebut diselesaikan, pemilihan penyelesaian sengketa, dan hasil dari

penyelesaian sengketa tersebut. 168 Perbandingan yang terdapat diantara kedua

sengketa tersebut lebih banyak memiliki kemiripan dan hanya sedikit perbedaan.

167
Robert Beckman (China, UNCLOS and the South China Sea), Asean Society of
International Law,China, 27-28 August 2011. Hal. 3.
168
Ibid.
131

Persamaan antara sengketa Laut Cina Selatan dengan sengketa Teluk

Benggala (Bangladesh-India) adalah: 169

1. Sengketa ini sama-sama merupakan sengketa multilateral.

Sengketa Laut Cina Selatan merupakan sengketa dari beberapa negara

yakni; Tiongkok, Vietnam, Filipina, Korea Selatan, Jepang, Malaysia,

Singapura, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Untuk sengketa Teluk

Benggala merupakan sengketa dari Myanmar, Bangladesh dan India. Dan

terlebih lagi sebagian besar negara sengketa tersebut adalah negara dunia ke-3.

2. Sengketa ini sama-sama menitikberatkan pada permasalahan Sumber

Daya Alam (SDA).

Wilayah Laut Cina Selatan dan wilayah Teluk Benggala merupakan

wilayah yang mengandung potensi SDA yang sangat besar, baik itu sumber

perikanan , ataupun mineral seperti gas alam dan minyak bumi.

3. Kepentingan politik pada sengketa ini tidak hanya muncul dari

masing-masing negara yang bersengketa namun juga terdapat adanya

kepentingan negara lain terhadap wilayah tersebut.

Kepentingan nasional dari masing-masing negara terhadap wilayah

sengketa pada Laut Cina Selatan ataupun Teluk Benggala adalah sama yakni

untuk menguasai wilayah tersebut sebagai teritorial kedaulatannya agar dapat

memenuhi kebutuhan negaranya akan SDA dan juga kepentingan ekonomi

nasional.

169
http://www.ipcs.org/article/india/india-bangladesh-unclos-and-the-sea-boundary-
dispute-4557.html.Loc.Cit.
132

Untuk kepentingan negara lain atas wilayah sengketa Laut Cina Selatan

dan juga wilayah sengketa Teluk Benggala adalah: 170

a. Tujuan dari Kebijakan Laut Amerika Serikat.

Meskipun Amerika Serikat bukan merupakan negara yang terlibat

langsung dalam sengketa ini, namun hal ini bukan berarti pemerintahan resmi

Amerika Serikat tidak terlibat dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.

Pada tahun 1983 presiden Regan membuat sebuah pernyataan penting

mengenai peran pemerintahannya terkait Hukum Laut Internasional yaitu:

“ Amerika Serikat telah lama menjadi pemimpin

dalam mengembangkan adat dan kebiasaan hukum

laut. Tujuan kami secara konsisten adalah

menyediakan ketentuan hukum yang antara lain,

memfasilitasi perdamaian, penggunaan laut secara

internasional dan menyediakan managemen yang adil

dan efektif dalam konservasi sumber daya laut.

Amerika serikat juga mengetahui akan ketertarikan

tiap-tiap negara akan isu tersebut.”

Pembuatan kebijakan Amerika Serikat dalam hal Laut tidak pernah

menyimpang dari prinsip dasar ini dan mempunyai implikasi langsung dalam

konteks hubungan Tiongkok-Amerika. Pada pertemuan kongres baru-baru ini,

Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Daniel Russel menegaskan

kembali prinsip-prinsip dasar Amerika Serikat :

170
Mark E.Rosen,JD,LLM (Using International Law to Defuse Current Controversies in
the South and East China Seas), CNA analysis solution, Washington.February 2015. Hal.33.
133

“ Kami sangat menentang perlakuan intimidasi,

pemaksaan atau kekerasan dalam melakukan klaim

terhadap suatu teritorial. Kedua, kami mengambil

posisi yang kuat bahwa klaim terhadap wilayah

maritim harus dilakukan sesuai dengan kebiasaan

hukum internasional. Ini berarti bahwa seluruh klaim

terhadap wilayah maritim harus ditentukan dari fitur

tanah dan sesuai dengan hukum laut internasional.

Jadi, untuk saat ini kami tidak berpihak terhadap

pihak yang bersengketa manapun, kami percaya

bahwa klaim terhadap Laut Cina Selatan tidak

ditentukan dari fundamental yang salah. Namun, pada

saat yang sama kami mendukung hak negara pengadu

untuk menggunakan hak mereka untuk melaksanakan

penyelesaian sengketa secara damai. Untuk itu

Filipina boleh kembali melakukan pengajuan kepada

PCA berdasarkan UNCLOS 1982 seperti yang

dilakukan tahun lalu.”

Hal ini secara alami menunjukkan ketertarikan Amerika Serikat dalam

menggunakan hukum laut internasional untuk memainkan peran dalam

memberikan pengaruh terhadap hubungan antar negara-negara. Juga mengingat

kedudukan Tiongkok sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang

memiliki hak veto, Hal ini tentunya menjadi daya tarik politis bagi Amerika
134

Serikat melihat Tiongkok mempunyai peran kepemimpinan dalam hal

pengimplementasian perjanjian internasional. Keputusan Tiongkok untuk

menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa internasional akan menjadi

sebuah langkah yang sangat positif dalam mengambil alih kepemimpinan dan

jelas akan sangat menguntungkan baginya.

b. Ketertarikan Tiongkok dalam atas Teluk Benggala dan Laut Cina Selatan.

Dalam studinya mengenai “ Pandangann tentara nasional Tiongkok

terhadap keamanan nasional “, Nan Li meneliti wacana strategis Tentara

Pembebasan Rakyat di era-pasca Mao dan menjelaskan bagaimana Tiongkok

memandang sengketa teritorial dengan tetangganya sebagai masalah

“Ketahanan Nasional”. Dia melaporkan bahwa Tiongkok memandang Laut

Cina Selatan sebagai “wilayah baru” karena lokasinya yang strategis dan

potensi pentingnya sebagai pemasok sumber pangan dan energi bagi wilayah

Tiongkok daratan. Pemikiran mengenai wilayah ini mempunyai komponen

ekonomi dan politik bagi Tiongkok. Studi terbaru menunjukkan bagaimana

penurunan akses SDA akan menimbulkan konflik. Tiongkok seringkali

menjadi tokoh sentral dalam analisis ini karena memiliki SDA yang sangat

sedikit dan juga dibandingkan terhadap perbandingan populasi penduduk dan

pertumbuhan ekonomi.

Sebuah studi oleh Dewan Hubungan Ekonomi Luar Negeri Elisabeth

mengenai: “ Bagaimana kebutuhan Sumber Daya Tiongkok mengubah seluruh

dunia” memperlihatkan bahwa Tiongkok melakukan pencarian SDA sampai

ke Amerika Selatan, Afrika dan Asia Selatan. Tiongkok pada tahun 1993
135

menjadi negara pengimpor minyak bumi dan gas terbesar (sebagian besar

berasal dari Timur Tengah), dan saat ini survey menunjukkan bahwa

Tiongkok melakukan impor 79% minyak bumi dan gas alam untuk

kepentingan nasionalnya dan konsumsinya setara dengan 22 % kebutuhan

dunia. Para peneliti melihat bahwa pada saat ini Tiongkok juga berusaha

melakukan kalim terhadap Kutub Utara , agar kebutuhannya akan SDA

ataupun sumber daya energi dapat terpenuhi. Tiongkok melancarkan strategi

politik ekonomi agar ia memiliki banyak potensi sumber pasokan energi dan

SDA, jika salah satu usahanya tidak berhasil.

Langkah Tiongkok umtuk melakukan klaim terhadap Laut Cina Selatan

dinilai terlambat dan saat ini berada pada kedudukan “low-tide elevation”

yang mana akan memberikan keuntungan yang sangat sedikit nilainya.

Untuk sengketa Teluk Benggala, Tiongkok memiliki peranan dalam

pembangunan pipa gas bawah laut yang menyalurkan gas alam dari pulau St.

Marty ke India dan kemudian ia akan melanjutkan pipa tersebut samapai ke

perbatasan Tiongkok dan India. Dimana dalam hal ini, Tiongkok membuat

perjanjian dengan Myanmar dan India sehingga memicu konflik Myanmar dan

India dengan Bangladesh di Teluk Benggala.

Mengenai perbedaan dalam sengketa Laut Cina Selatan dan sengketa

Teluk Benggala (India-Bangladesh) adalah kerjasama para pihak yang

bersengketa dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam sengketa Teluk

Benggala antara Bangladesh dan India , kedua pihak sangat koorporatif

sehingga dapat ditemukan solusi untuk sengketa tersebut dengan penyelesaian


136

secara damai melalui jalur hukum di PCA. Sedangkan, dalam sengketa Laut

Cina Selatan, Tiongkok menjadi satu-satunya kendala besar bagi tiap negara

yang menjadi pihak sengketa karena sangat tidak koorporatif dan keras

kepala. 171

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan.

Sengketa Laut Cina Selatan meliputi dua aspek, yaitu; klaim jurisdiksi

yang tumpang tindih dan sengketa teritorial atas kelompok pulau-pulau yang

berada di tengah laut. Sengketa ini merupakan sengketa yang paling kompleks di

wilayah Asia Timur ataupun dunia, dan merupakan sumber konflik berbahaya

yang dapat menimbulkan konflik internasional yang serius. 172

Sejak tahun 1974 telah dilakukan pula upaya penyelesaian sengketa secara

damai melalui jalur diplomatik yakni dengan melakukan negosiasi antara negara-

negara yang bersengketa mengenai Laut Cina Selatan, namun tidak pernah

menemukan kesepakatan antar negara-negara tersebut. Bahkan pada tahun 1995,

1996, 1998, 2000 dan 2001 telah menimbulkan kontak senjata antara negara-

negara yang bersengketa dengan Tiongkok dan dalam kontak senjata ini memakan

korban jiwa. 173

Pada tanggal 4 November 2002, pertemuan ASEAN ke-8 dilaksanakan di

Phnomphenh, Kamboja . Pada pertemuan ini ASEAN merumuskan suatu Code of

Conduct dengan pihak Tiongkok mengenai sengketa Laut Cina Selatan yang mana

171
Ibid.
172
http://www.asil.org/blogs/dispute-settlement-system-united-nations-convention-law-
sea-assessment-after-20-years. diakses pada tanggal 5 April 2015
173
Kolonel Karmin Suharna,SIP.,MA.Loc.Cit.
137

dilihat sebagai suatu langkah penting kontribusi ASEAN dalm mewujudkan

perdamaian dan stabilitas di wilayahnya. Sebelumnya ASEAN sudah pernah

melakukan upaya yang sama pada tahun 1999 di pertemuan ke-6 ASEAN, namun

perumusan Code of Conduct ini mengalami permasalahan pada negosiasi yang

rumit dan hambatan pada strategi politik. Dan Code of Conduct yang

dilaksanakan pada tahun 2002 juga mengalami kegagalan. 174

Pendekatan melalui penyelesaian bilateral juga tidak dapat ditempuh

dikarenakan Tiongkok tidak mau bekerjasama dalam mencari penyelesaian dari

sengketa Laut Cina Selatan yang mana Tiongkok tidak bisa mendapatkan wilayah

strategis. 175

Pada bulan Desember 2014, akhirnya negara Filipina mengambil suatu

langkah perdana untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan ini melalui

jalur penyelesaian sengketa secara damai dengan jalur juridis yakni membawa

sengketa ini ke PCA. Keputusan yang diambil oleh Filipina ini terinspirasi dari

penyelesaian sengketa Teluk Benggala antara Bangladesh-India yang diputuskan

oleh PCA pada tanggal 7 Juli 2014. Tiongkok sempat menolak untuk menyetujui

kebijakan yang diambil oleh Filipina untuk membawa kasus ini ke hadapan PCA.

Namun, kemudian Tiongkok menyetujuinya dan dalam memorialnya Tiongkok

menyatakan bahwa PCA tidak mempunyai hak atas jurisdiksi Laut Cina Selatan

dan dalam waktu dekat Tiongkok berencana untuk melakukan negosiasi dengan

Filipina untuk menyelesaikan sengketa dengan menyatakan status wilayah yang

174
http://www.un.org/depts/los/nippon/unnff_programme_home/fellows_pages/fellows_p
apers/nguyen_0506_vietnam.pdf. diakses pada tanggal 5 April 2015.
175
Ibid.
138

mereka perbutkan seharusnya sesuai dengan Pasal 122 dan 123 UNCLOS 1982

mengenai laut tertutup dan atau laut semi tertutup. Yang mana ini merupakan

upaya paksa Tiongkok untuk menawarkan wilayah laut semi tertutup kepada

Filipina.Hal ini dilakukan karena Tiongkok menyadari putusan PCA nantinya

tidak akan memberikan keuntungan pada negaranya dalam upaya menguasai Laut

Cina Selatan. Dan dengan akan dilakukannya proses negosiasi antara Tiongkok

dan Filipina maka untuk sementara waktu pembahasan dan pemeriksaan oleh

PCA ditangguhkan. 176 Namun apabila proses negosiasi tersebut tidak berjalan

lancar maka Filipina dapat kembali mengajukan penanganan sengketa ini ke PCA

sesuai dengan Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982 mengenai prosedur penyelesaian

sengketa, ANNEX VII, Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB dan Pasal 33 Piagam PBB.

176
Mark E.Rosen,JD,LLM.Op.Cit.Hal.39
139

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis mengambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hukum internasional, penyelesaian sengketa secara damai

diatur didalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB dan dijelaskan selanjutnya

dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB mengenai cara penyelesaian sengketa

secara damai. Dan penyelesaian hukum diatur di dalam Pasal 36 ayat (2)

Piagam PBB. Di dalam pasal-pasal tersebut mengandung prinsip dimana

masyarakat internasional untuk melakukan penyelesaian sengketa secara

damai dalam mewujudkan perdamaian internasional dan keamanan serta

keadilan. Mengenai penyelesaian sengketa laut internasional, diatur di

dalam Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982, tiap negara yang bersengketa

diperbolehkan untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang ditetapkan

di dalam Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982 ini dan tidak ada paksaan.

Selain dari Pasal 287 ayat (1) mekanisme penyelesaian sengketa laut

internasional lebih rinci diatur di dalam ANNEX V mengenai konsiliasi,

ANNEX VI mengenai mahkamah laut internasional (ITLOS), ANNEX VII

mengenai arbitrase, ANNEX VIII mengenai arbitrase khusus, dan ANNEX

IX mengenai partisipasi oleh organisasi internasional. Penyelesaian


140

sengketa tidak boleh dibiarkan berlarut terlalu lama, untuk hal itu harus

segera diputuskan oleh negara-negara yang bersengketa untuk memilih cara

penyelesaiannya.

2. Penyelesaian sengketa dalam Resolution of Bangladesh-India Maritime

Boundary pertama kali dilakukan melalui penyelesaian sengketa secara

damai yakni jalur diplomatik (negosiasi). Namun, proses penyelesaian

sengketa melalui proses negosiasi ini tidak berjalan lancar dan masalah

Bangladesh-India mengenai delimitasi batas maritime di Teluk Benggala

ini tidak dapat terselesaikan dalam kurun waktu tiga dekade lamanya.

Kemudian pada tahun 2009, Bangladesh mengambil suatu kebijakan

dengan memilih PCA (Permanent Court of Arbitration) sebagai pilihan

untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hasil keputusan PCA dikeluarkan

pada tanggal 7 Juli 2014 dimana keputusan ini diterima oleh kedua belah

pihak yang bersengketa karena dirasa dapat memenuhi rasa adil dan

kepentingan kedua belah pihak.

3. Penyelesaian sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary melalui PCA

(Permanent Court of Arbitration) merupakan suatu pilihan yang lebih

efektif dalam menyelesaikan suatu sengketa internasional, khususnya

dalam menyelesaikan sengketa laut karena waktu yang dibutuhkan lebih

singkat. Hal ini dapat dilihat pada perbandingan sengketa Bangladesh-

Myanmar dengan Bangladesh-India. Dan dari segi biaya dalam

penyelesaiannya biaya penyelesaian sengketa ditanggung oleh pihak yang

bersengketa dan ini diatur dalam Pasal 85 Konvensi Den Haag tahun 1907.
141

Putusan PCA bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu penyelesaian

sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary melalui PCA dapat

dijadikan role model dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.

B. Saran

Melihat berbagai kondisi yang ada, maka penulis mengajukan beberapa

saran,yakni :

a. Dalam menyelesaikan sengketa antar negara khususnya bagi negara dunia

ke-3 dan mengenai sengketa laut internasional, dapat memilih Permanent

Court of Arbitration. Melihat dari struktur pemilihan hakim, mahkamah

arbitrase ini lebih netral dan dalam putusannya lebih dapat memberikan

rasa adil , ini dilihat dari perbandingan putusan Bangladesh-India dengan

Bangladesh-Myanmar yang diputuskan oleh ITLOS.

b. Sengketa Laut Cina Selatan sebaiknya dilakukan secara bilateral antara

tiap-tiap negara yang bersengketa agar dapat memberikan batas delimitasi

maritim yang lebih jelas dan tidak terjadi tumpang tindih pada batas

wilayah masing-masing negara.

c. Sengketa Laut Cina Selatan diharapkan dapat diselesaikan melalui jalur

arbitrase oleh Permanent Court of Arbitration. Mengingat sebagian besar

negara yang terlibat sengketa tersebut adalah negara dunia ke-3 dalam

sengketa ini melawan Tiongkok yang merupakan negara adidaya di

wilayah Asia , maka Permanent Court of Arbitration lebih dapat

memberikan rasa adil pada putusannya. Permanent Court of Arbitration


142

dapat menjadi “win-win solution” dalam penyelesaian sengketa Laut Cina

Selatan dimana hal ini dapat menjadikan putusan Permanent Court of

Arbitration atas sengketa Teluk Benggala antara Bangladesh –India

menjadi “role model” untuk sengketa Laut Cina Selatan.


143

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta.


Rajawali Press. 1991.

Anwar, Chairul. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut


Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Jakarta. Penerbit Djambatan. 1989.

Collier, John & Vaughan Lowe. The Settlement of Disputes in International


Law. Oxford University Press. 1999.

Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wriono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta.


Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2004.

Gardiner, Richard K..International Law. Person Education Limited. England.


2003.

Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary.

Goh, Evelyn. Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian
Regional Security Strategies. East-West Center Washington. 2005.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Batas Wilayah Negara Indonesia


“Dimensi,Permasalahan, dan Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan
Empiris dan Yuridis). Yogyakarta. Gava Media. 2008.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum


Internasional. Yogyakarta. Graha Ilmu. 2011.

Koers, Albert W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum


Laut. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1994.

Malcolm N. Shaw. International Law. United States of America. Cambridge


University Press. 2008.

Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian,Peranan Dan Fungsi Dalam


Era Dinamika Global edisi ke-2. Bandung. P.T.Alumni. 2005.

Mertokusumo, Soedikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta.


Liberty. 1988.

Oberg, Marco Divac. The Legal Effect of Resolution of The UN Security


Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ. 16
Eur.J.Int’l.L.2006.

131
144

Reus, Christian dan Smit, Politik Hukum Internasional. Bandung. Nusa Media.
2015.

Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Bandung. Rajawali Press.


2010.

Sodik, Dikdik Mohamad. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di


Indonesia. Bandung. Refika Aditama. 2011.

Soematri, Ronitidjo Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia


Indonesia, 1990.

Starke, J.G.. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi ke-Sepuluh. Jakarta.


Sinar Grafika. 2008.

Starke, J.G.. Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi ke-Sepuluh. Jakarta.


Sinar Grafika. 2007.

Suwardi, Sri Setianingsih. Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta.


Universitas Indonesia. 2006.

B. Peraturan-peraturan

Piagam PBB

UNCLOS 1982

C. Putusan

Black Sea,Judgement,I.C.J. Reports.2009.

Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary between


Bangladesh and Myanmar in the Bay of Bengal (Bangladesh/Myanmar),
Judgement of 14 march 2012.

Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgement of 3


February 2009, I.C.J. Reports.

Mark E.Rosen,JD,LLM (Using International Law to Defuse Current


Controversies in the South and East China Seas), CNA analysis solution,
Washington.February 2015.

Qatar v.Bahrain, Judgement of 16 March 2001, I.C.J.Reports 2001.


145

Robert Beckman (China, UNCLOS and the South China Sea), Asean Society
of International Law,China, 27-28 August 2011.

The Arbitral Tribunal in the matter of The Bay of Bengal Maritime Boundary
Arbitration between The People’s Republic of Bangladesh and Republic of
India, The Hague, 7 July 2014.

D. Majalah

Kolonel Karmin Suharna,SIP.,MA (Konflik dan Solusi Laut China Selatan


dan dampaknya bagi Ketahanan Nasional: Majalah Komunikasi dan
Informasi edisi 94 tahun , 2012 ).

E. Jurnal

India’s Counter Memorial Vol.1

K. Yhome ( The Bay Of Bengal At The Crossroads Potential For Coorperation


Among Bangladesh, India and Myanmar; Friedrich Ebert Stiftung; FES
India Press;New Delhi, October.2014).

M.George Cole, Water Boundaries, Manchester University Press.1997.

Matt Kirtland dan Kate Huntler (South Asia Maritime Disputes: Delimiting the
maritime boundaries of India and Bangladesh; International arbitration
report, Norton Rose Fullbright.2014).

Nilawati ( Peran The International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS)
Dalam Penyelesaian Sengketa Di Teluk Benggala Antara Myanmar Dan
Bangladesh : Ejournal Ilmu Hubungan Internasional.2014.

Piyush Singh dan Pranay Kotasthane ( Resolving the Indo-Bangladesh


Maritime Dispute : Takshashila Institution: Juni,2014).

Setyasih Harini (Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China


Selatan: artikel Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unsri Surakarta, 2015).

Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam


Sengketa Laut China Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol.
IV No. 08/II/P3DI/April /2012).

F. Skripsi / Tesis
146

Kartika Sari Sukowati, Sengketa Teluk Benggala Antara Myanmar Dan


Bangladesh(The Dispute of The Bay of Bengal Between Myanmar and
Bangladesh): Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.2009.

G. Website

www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html. (tanggal akses 12 Januari 2015).

http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan. (tanggal akses 12 Januari


2015).

http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-
spratly-potensi.html. (tanggal akses diakses tanggal 12 Januari 2015).

republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-
bakar-15-pabrik-di-vietnam#”. (tanggal akses 23 Januari 2015).

republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-vietnam-cina-
langgar-hukum-internasional”. (tanggal akses 23 Januari 2015).

www.foreignpolicy.com. (tanggal akses 24 Mei 2013).

www.itlos.org. (tanggal akses 27 Maret 2014).

www.pca-cpa.org/showpage.asp?pag_id=1376. (Tanggal akses 28 Maret


2015).

www.mcnairchambers.com. (Tanggal akses 4 April 2015).

http://www.idsa.in/idsacomments/DelimitationofIndoBangladesh_rbhattacharj
ee_ 190814.html. (tanggal akses 4 April 2014).

http://www.asil.org/blogs/dispute-settlement-system-united-nations-
convention-law-sea-assessment-after-20-years. (tanggal akses 5 April
2015).

http://www.un.org/depts/los/nippon/unnff_programme_home/fellows_pages/f
ellows_papers/nguyen_0506_vietnam.pdf. (tanggal akses 5 April 2015).

http://www.eastasiaforum.org/2011/06/29/china-s-militant-tactics-in-the-
south-china-sea/. (tanggal akses 15 Januari 2015).

You might also like