Modul Bronkoesofagologi - 6. Disfagia Orofaring

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 31

MODUL UTAMA

ENDOSKOPI BRONKOESOFAGOLOGI

MODUL V.6
DISFAGIA OROFARING

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
Modul V.6 – Disfagia Orofaring

DAFTAR ISI

A. WAKTU........................................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI .......................................................................................... 2
C. REFERENSI .................................................................................................... 2
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 4
E. GAMBARAN UMUM .................................................................................... 4
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ................................................................ 5
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ......................................................................... 5
H. METODE PEMBELAJARAN ........................................................................ 6
I. EVALUASI ..................................................................................................... 6
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF.............................. 7
K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR .................... 10
L. MATERI PRESENTASI ............................................................................... 14
M. MATERI BAKU ........................................................................................... 17

1
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

A. WAKTU

Proses Pengembangan Kompetensi Alokasi Waktu


Sesi di dalam kelas 9 X 60 menit (classroom session)
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 9 X 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 18 jam (facilitation and assessment)

B. PERSIAPAN SESI

1. Materi presentasi:
 Slide 1: Pendahuluan
 Slide 2: Anatomi Orofaring
 Slide 2: Fisiologi menelan
 Slide 3: Kontrol persarafan pada proses menelan
 Slide 4: Disfagia
 Slide 5 : Pemeriksaan FEES
 Slide 6 : Pemeriksaan Penunjang
 Slide 7 : Prosedur Operatif
 Slide 8 : Komplikasi

2. Kasus : Disfagia pada pasien post stroke

3. Sarana dan Alat Bantu Latih :


 Penuntun Belajar (Learning Guide) terlampir
 Tempat belajar (training setting): Ruang kuliah THT, Poliklinik
THT.
 Model Anatomi
 Audio-visual (pemutaran film)

C. REFERENSI

1. Leder SB, Sasaki CT, Burrell MI. Fiberoptic endoscopic evaluation of


dysphagia to identify silent aspiration. Dysphagia 1998;13:19-21.
2. Tamin S, Ku PK, Cheung D. Assessment and management of dysphagia
with fiberoptic endoscopic examination of swallowing (FEES) and its
future implementation in Indonesia. ORLI. 2004; 34(4): 26-33.
3. Kendall K. Head and Neck : Structures, functions, and evaluation in
dysphagia. In : Leonard R, Kendall K,editors. Dysphagia assessment and
treatment planning. A team approach,1st ed. San Diego, London: Singular
Publishing Group Inc; 1997. p.7-18.
2
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

4. McCulloch TM, Van Daele DJ. Normal anatomy and physiology of the
nose, the pharynx, and the larynx. In: Langmore SE, editors. Endoscopic
evaluation and treatment of swallowing Disorder, 1st ed. New York,
Stuttgart: Thieme; 2001. p. 7-36.
5. Eibling DE. Organs of swallowing. In: Carrau RL, Murry T, editors.
Comprehensive Management of swallowing disorders,1st ed. San
Diego, London: Singular Publishing Group;1999. p. 11-21.
6. Marks L, Rainbow D. Neuro antomy and anatomy of the normal
swallowing process in adults. In: Marks L, Rainbow D, editors.
Working with dysphagia, 1st ed. United Kingdom: Speechmark
Publishing Ltd; 2001.p. 2-6.
7. Aviv JE. The normal swallow. In: Carrau RL, Murry T, editors.
Comprehensive management of swallowing disorders, 1st ed. San
Diego, London: Singular Publishing Group;1999.p. 23-9.
8. Mc Connel FMS, Cerenco D, Mendelson MS. Manofluorographic
analysis of swallowing. Otolaryngol Clin North Am. 1988 ; 21 : 625 -
35
9. Mc Connel FMS. Analysis of pressure generation and bolus transit
during pharyngeal swallowing. Laryngoscope, 1988 ; 98 : 71 – 8
10. Tamin S. Disfagia orofaring. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007:281-4.
11. Langley J, Darvill GC. Assessment. In: Darvill GC, editor.Working
with swallowing disorders, 10th ed. Bicester, Oxon, Great Britain:
Winslow Press Ltd;1997.p.18-45.
12. Langmore SE, Schatz K, Olsen N. Fiberoptic endoscopic examination
of swallowing safety: a new procedure. Dysphagia 1988; 2:216-9
13. Langmore SE, Schatz K, Olsen N. Endoscopic and video fluoroscopic
evaluations of swallowing and aspiration. Ann Otol Rhinol Laryngol
1991;100:678-81
14. Leonard R. Swallow Evaluation with flexible videoendoscopy. In
:Leonard R, Kendall K, ed. Dysphagia Assessment and Treatment
Planning. A Team Approach. San Diego, London: Singular Publishing
Group Inc 1997: 161-80.
15. Bastian RW. The videoendoscopic swallowing study: an alternative and
partner to the video fluoroscopic swallowing study. Dysphagia 1993;
8:359-67
16. Bastian RW. Videoendoscopic evaluation of patients with dysphagia:
an adjunct to the modified barium swallows. Otolaryngol Head Neck
Surg 1991; 104:339-50
17. Nacci A, Ursino F, Vela RL, Matteuci F, Mallardi V, Fattori B.
Fiberoptic endsocopic evaluation of swallowing (FEES): proposal for
informed consent. Acta Otorhinolaringol Ital 2008;28:206-11.
18. Yunizaf R, Tamin S. Perbedaan gambaran fungsi menelan dengan
pemeriksaan endoskop fleksibel/Flexible Endoscopic evaluation of
3
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

swallowing (FEES) pada usila dengan atau tanpa disfagia. Ilmu


Penyakit THT. Jakarta: Indonesia, 2008
19. Marpaung D. Tamin S. Prevalensi Silent aspiration dan gambaran
proses menelan pada pasien stroke di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Ilmu Penyakit THT, Jakarta: Indonesia 2008
20. Noer A, Tamin S. Gambaran Disfagia pada pasien karsinoma
nasofaring pasca kemoradiasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Ilmu Penyakit THT, Jakarta: Indonesia 2010
21. Schmidt EV, Smirnov VE, Ryabova US : Result of the seven years
prospective study of stroke patients. Stroke 1988 ; 19 : 1942 - 9
22. Robbins J, Levine RL : Swallowing after unilateral stroke of the
cerebral Cortex Prelimenery Experience. Dysfagia 1988 ; 3 : 11 - 7
23. Dantas RO, \Kern MK, Massey BT et all. Effect of swallowed bolus
variables on the oral and pharyngeal phases of swallowing. Am J
Physiol 1990 ; 258 : 675 - 81
24. Zorowitz RD. Speech therapy and Disorders of Deglutition In.
Principles of neurologic Rehabilitation. Ed. Lazar RB. Mc Graw-Hill
Co, New York, San Fransisco, Tokyo 1998 : 491 – 511

D. KOMPETENSI

Mampu mendiagnosis dan menatalaksana disfagia neurogenik fase orofaring

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan patogenesis disfagia neurogenik fase orofaring
2. Menjelaskan gambaran klinis disfagia neurogenik fase orofaring dan
komplikasinya
3. Melakukan pemeriksaan FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of
Swallowing)
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang lainnya
5. Menjelaskan tatalaksana disfagia neurogenik fase orofaring

E. GAMBARAN UMUM

Mempelajari struktur penting dan fungsi orofaring, konsep dasar dan


terminologi anatomi, fisiologi, farmakologi, radiologi, dan pembedahan yang
berhubungan dengan disfagia neurogenik fase orofaring.

4
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI

Seorang laki2 berumur 65 tahun datang ke poliklinik Departemen THT


dengan keluhan: sulit menelan sejak 4 bulan yang lalu. Pasien didiagnosis
terkena stroke sebelum keluhan dan dirawat-inapkan. Selama perawatan,
pasien dipasang sonde untuk asupan nutrisinya. Dari anamnesis ditemukan
keluhan sulit menelan makanan atau minuman disertai dengan adanya
keluhan tersedak saat makan. Berat badan penderita menurun dan pasien
sering mengeluh batuk dan kadang disertai sesak napas..

Diskusi : (yang harus dikuasai)


 Definisi, patofisiologi dan diagnosis disfagia neurogenik
 Tahapan pemeriksaan FEES (flexible endoscopy evaluation of swallowing)
 Tatalaksana disfagia neurogenik fase orofaring

Jawaban :

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Tujuan Pembelajaran Umum:


Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan mampu untuk :
a. Mengetahui anatomi dan fisiologi menelan
b. Menyimpulkan dan memahami adanya disfagia neurogenik fase
orofaring
c. Menentukan sikap/tindakan terhadap disfagia neurogenik fase
orofaring
d. Mengenal komplikasi disfagia neurogenik fase orofaring
e. Menentukan sikap yang tepat dalam mengatasi keadaan disfagia
neurogenik fase orofaring dan mencegah komplikasi

2. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan
untuk :
a. Menjelaskan anatomi, topografi, histologi dan persyarafan dari
orofaring
b. Menjelaskan fisiologi dari proses menelan
c. Menjelaskan patofisiologi dari disfagia neurogenik fase orofaring
d. Menjelaskan kelainan yang dapat ditemukan pada disfagia
neurogenik fase orofaring
e. Menjelaskan gejala dan tanda disfagia neurogenik fase orofaring
f. Merencanakan pemeriksaan FEES (flexible endoscopy evaluation
of swallowing)
g. Menjelaskan pemeriksaan penunjang lainnya
5
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

h. Menjelaskan tanda-tanda klinik bila terjadi komplikasi disfagia


neurogenik fase orofaring
i. Melakukan tindakan sementara pada kasus-kasus komplikasi
j. Merencanakan terapi yang tepat pada disfagia neurogenik fase
orofaring

H. METODE PEMBELAJARAN

1. Literatur Reading
2. Referat
3. Praktik lapangan( Poliklinik)
4. Skills Lab
5. Tindakan
6. Bedside Teaching
7. Case Report
8. Jurnal reading
9. Minicex

I. EVALUASI

a. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk MCQ, essay dan
oral, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal, yang dimiliki peserta
didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-test
terdiri atas :
 Anatomi, fisiologi dan histologi orofaring
 Penegakan diagnosis
 Terapi
 Komplikasi dan penanganannya
 Follow-up
b. Selanjutnya dilakukan ”small group discussion” bersama fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada
saat bedside teaching dan proses penilaian.
c. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar
dalam bentuk role-play dengan sesama peserta didik (peer assisted
learning) atau kepada SP (standardized patient). Pada saat tersebut, yang
bersangkutan tidak diperkenankan : membawa penuntun belajar, penuntun
belajar dipegang oleh teman-temannya untuk : melakukan evaluasi (peer
assisted evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui metode bedside
teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan
penuntun belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai
peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
6
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan


langsung (direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai
berikut :
 Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah
tidak dilaksanakan
 Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya
pemeriksaan terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan
kepada pasien
 Baik: pelaksanaan baik dan benar
d. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk
mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan di depan pasien dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
e. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar
f. Pendidik/fasilitas :
 Pengamatan langsung dengan memakai evaluation check list form
(terlampir)
 Penjelasan lisan dari dari peserta didik / diskusi
 Kriteria penilaian keseluruhan : cakap / tidak cakap / lalai
g. Pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan
diberi tugas yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical
education)
h. Pencapaian pembelajaran :
 Ujian akhir setelah penyelesaian modul meliputi (K, P, A )
 Ujian Tulis Kolegium THT-KL
 Ujian Lisan OSCE Kolegium THT-KL
 Logbook

J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

1. Instrumen Penilaian Kognitif


Instrumen Penilaian Kompetensi Kognitif, Kuesioner meliputi:
1.1 Kuesioner Sebelum Pembelajaran
1. Apakah manfaat FEES?
a. Meningkatkan angka kehidupan pasien stroke dengan keluhan
disfagia
b. Penunjang diagnostic dan terapi stroke
c. Rehabilitasi penelanan cukup berhasil baik bila dilakukan oleh
ahli THT
d. Dapat dilakukan pada pasien tidak kooperatif
e. Hanya untuk penentuan pemasangan dan pemasangan NGT
Jawaban: A
2. Pernyataan manakah yang BENAR tentang esofagus?
7
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

a.Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan otot


b.Laisan luar otot esofagus merupakan otot sirkular
c.Dipersyarafi oleh syaraf simpatis dan parasimpatis
d.Sebagian besar mukosa dilapisi epitel silindris
e.Dinding esofagus tahan terhadap trauma dan mudah regenerasi
Jawaban: C
3. Apakah tujuan pemeriksaan FEES?
a. Menentukan jenis dan konsistensi makanan yang dapat ditelan
b. Menentukan adanya penetrasi dan silent aspirasi makanan
c. Menentukan adanya sumbatan dan kelainan esofagus
d. Menentukan posisi kepala dan maneuver menelan yang berguna
dalam meningkat kemampuan menelan.
e. Menentukan sensitivitas di hipofaring
Jawaban: C
4. Syaraf cranial yang tidak terlibat dalam gerakan menelan adalah:
a. VI
b. V
c. IX
d. X
e. XII
Jawaban: A

1.2 Kuesioner Tengah Pembelajaran


Soal :
Seorang pria berumur 65 tahun datang dengan keluhan sering terbatuk
saat makan. Pasien pernah mengalami serangan stroke beberapa bulan
sebelumnya (untuk soal nomer 1 dan 2).
1. Apakah diagnosis banding pada pasien tersebut di atas?
a. Disfagia neurogenik
b. Refluks laringofaring
c. Disfagia mekanik
d. Pneumoni asparasi
e. Disfagia esofagus
Jawaban: A
2. Pemeriksaan apakah yang harus dilakukan pada pasien tersebut?
a. Pemeriksaan manometri
b. Pemeriksaan esofagogram
c. Pemeriksaan FEES
d. Pemeriksaan Nasolaringoskopi fleksibel
e. Videofluoroskopi
Jawaban: C
3. Pernyataan manakah yang BUKAN menunjukkan adanya residu
pada sebelah sisi dari hipofaring?
a. Kelemahan otot menelan pada satu sisi

8
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

b. Sensitivitas sisi yang terlibat menurun


c. Posisi head tilt kearah yang lemah akan membantu
d. Posisi head rotation kesisi yang lemah akan membantu
e. Bisa menyebabkan aspirasi pasca menelan
Jawaban: C
4. Pernyataan manakah yang berhubungan dengan Preswallowing
leakage?
a. Terjadi karena lemahnya dinding lateral faring
b. Dapat menimbulkan terjadinya aspirasi setelah proses menelan
terjadi
c. Bisa normal ditemukan pada orang berusia lanjut
d. Ditemukan akibat terjadinya kelemahan N.X
e. Aspirasi terjadi karena jalan napas terbuka
Jawaban: A
5. Apakah yang menyebabkan adanya residu di daerah post krikoid?
a. Keterlambatan pembukaan otot krikofaring
b. Dapat diatasi dengan melakukan maneuver mendelson
c. Gangguan pada elevasi laring
d. Terdapat kelemahan pada saraf kranialis N. X
e. Semua diatas benar
Jawaban: E
1.3 Essay/Ujian Lisan/Uji Sumatif
1 Which compensatory posture presents the greatest risk for aspiration
of food contents?
a. Chin tuck
b. Head rotation
c. Head back
d. Head tilt
e. Shoulder elevation
Jawaban: B
2 The sensitivity of fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing
with sensory testing (FEESST} is improved by including which
assessment?
a. Gag reflex
b. Pharyngeal squeeze
c. Laryngeal adductor reflex
d. Intrabolus pressure in the upper esophageal sphincter
e. Vocal fold motion
Jawaban: A
3 Pada pemeriksaan esofagografi, seorang pasien tidak dapat menelan
barium dengan sempurna dan mengalami aspirasi. Apakah penyebab
dari aspirasi tersebut ?
a. Elevasi laring yang tidak adekuat
b. Glottal incompetence
c. Incomplete mastication
9
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

d. Penutupan labial yang tidak sempurna


e. Mobilitas lidah menurun
Jawaban: A
4 The following statement is not part of the swallowing process:
a. Closure of velopharyngeal openlng
b. Contact of the tongue base to posterior pharyngeal wall
c. Top to bottom contractions of pharyngeal constrictor muscles
d. The larynx and hyoid bone move posteriorly
e. Downfold of epiglottis
Jawaban: D

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN FEES
(FLEXIBLE ENDOSCOPY EVALUATION OF SWALLOWING)

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
Perlu perbaikan : langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
Mampu : langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
Mahir : langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D : langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

NAMA PESERTA: ................................. TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR


 Nama
 Diagnosis
 Informed Choice & Informed Consent
 Rencana Tindakan
 Persiapan Sebelum Tindakan
 Laboratorium
 Pemeriksaan penunjang

II. PERSIAPAN PROSEDUR


1. Pastikan kelengkapan peralatan nasofaringolaringoskopi
10
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

KEGIATAN KASUS
serat optik lentur telah tersedia dan lengkap, yaitu:
a. Nasofaringolaringoskopi serat optik lentur
b. Sumber cahaya
c. Kabel sumber cahaya
d. TV monitor dan dvd/video recording
e. Makanan dengan 6 konsistensi : cairan encer (thin
liquid), cairan kental (thick liquid), bubur saring
(puree), bubur nasi (gastric rice/soft food), bubur
tepung (havermouth), dan biskuit. Semua konsistensi
makanan kecuali biskuit diberi warna hijau untuk
visualisasi yang lebih baik saat pemeriksaan.
f. Xylocain jelly dan antifog
2. Persiapan Pasien
a. Pasien dalam keadaan sadar.
b. Bisa diposisikan dalam keadaan duduk atau setengah
duduk
c. Beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan untuk
tidak dilakukan pemeriksaan FEES ialah gangguan
hemostasis, penurunan kesadaran, tanda vital yang tidak
stabil.

III. TAHAPAN PROSEDUR TINDAKAN


1. Preswallowing assessment
a. Preswallowing assessment dilakukan dengan menilai
fungsi muskular pada fungsi oromotor dengan melihat
pergerakan dan kekuatan otot lidah dengan menyuruh
pasien menjulurkan lidah ke depan dan menggerakkan
ke kiri dan ke kanan. Penilaian otot bukalis dan otot
labialis dilakukan dengan menilai adanya kebocoran
bibir saat pasien dengan menggembungkan pipi saat
mulut tertutup. Pergerakan palatum mole dinilai dengan
menyuruh pasien menyebutkan huruf AAA dan pada
saat itu terlihat pergerakan uvula dan palatum mole ke
anteroposterior.
b. Skope dipegang dengan tangan kiri dengan jempol
diposisikan pada tuas dan tangan kanan memegang
ujung skope (bagian lensa) untuk bisa mengarahkan.
c. Ujung skope dilumuri dengan xylokain jelly untuk
mempermudah saat insersi.
d. Skope dimasukkan melalui hidung dengan terlebih
dahulu dinilai lubang hidung yang lebih lapang,
dimasukkan melalui rongga di antara konka inferior dan
media.
e. Kemudian endoskop dimasukkan melalui kavum nasi
11
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

KEGIATAN KASUS
sampai ke nasofaring dan pasien diminta menelan tanpa
makanan (dry swallow) untuk menilai kerapatan
penutupan velofaring (velopharyngeal competence) atau
dengan menyuruh menyebutkan pi pi pi. Dinilai apakah
pergerakan velofaring simetris kanan dan kiri atau
terdapat adanya gap karena penutupan yang tidak
sempurna
f. Selanjutnya endoskop dimasukkan lagi sampai
hipofaring dengan posisi skope di atas uvula agar dapat
memvisualisasi struktur di bawah palatum mole. Pada
posisi ini, dilakukan evaluasi pangkal lidah, valekula,
sinus piriformis kanan dan kiri, dinding posterior faring,
dan postkrikoid.
g. Untuk mengevaluasi struktur laring endoskop
dimasukkan lebih dalam lagi, hingga ujungnya berada
setinggi epiglotis.
h. Evaluasi dilakukan terhadap posisi plika vokalis saat
diam dan gerakan plika vokalis saat fonasi dengan
menyebutkan huruf iiiii dan saat inspirasi. Dinilai
adanya akumulasi sekret atau saliva (standing
secretion) di daerah valekula, sinus piriformis kanan
dan kiri atau di daerah postkrikoid, demikian juga
adanya penetrasi dan aspirasi sekret /saliva ke jalan
napas.

2. Swallowing Assessment
a. Tes menelan dengan 6 konsistensi makanan seperti
uraian di atas. Dimulai dengan memberikan 1 sendok
bubur saring, pasien diminta menahannya dalam mulut
kira-kira 10 detik untuk menilai adanya kebocoran fase
oral (premature oral leakage) atau aspirasi sebelum
menelan (preswalllowing aspiration).
b. Kemudian pasien diminta menelan dan pada saat
bersamaan gambaran visualisasi akan hilang sesaat,
kurang dari satu detik (white spot/blind spot) karena
kontraksi velofaring dan elevasi laring, penilaian
dilakukan sesaat sebelum dan sesudah momen ini.
c. Penting dicatat adanya lateralisasi aliran makanan,
penetrasi atau aspirasi, dan residu/sisa makanan pada
valekula, sinus piriformis, pangkal lidah, dan
postkrikoid. Bila terdapat residu maka pasien diminta
menelan lagi dan dinilai apakah dengan menelan
berulang efektif untuk membersihkan residu.
d. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemberian bubur nasi
12
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

KEGIATAN KASUS
dan dihentikan bila terdapat aspirasi. Respons terhadap
aspirasi dan efektifitas refleks batuk dinilai.
e. Bila tidak ada aspirasi pemeriksaan dilanjutkan dengan
5 konsistensi makanan lainnya dengan urutan dari bubur
nasi, havermout, susu, air dan terakhir biskuit atau
krekers. Perubahan posisi kepala dan teknik lain yang
membantu memperbaiki proses menelan dilakukan saat
pemeriksaan di atas dan dinilai efektivitasnya. Hasil
pemeriksaan direkam dalam komputer perekam data
untuk bahan analisa selanjutnya.

3. Theurapeutic assessment
a. Modifikasi diet memerlukan kerjasama dengan ahli gizi
dan ahli Rehabilitasi Medik untuk menentukan bentuk
makanan yang dapat diterima dan aman untuk pasien.
Pemberian makanan per oral dalam jumlah yang adekuat
untuk kalori, protein, vitamin, mineral dan cairan
dengan rupa dan rasa yang dapat diterima pasien
merupakan tujuan utama penatalaksanaan disfagia.
b. Perlu ditentukan posisi kepala saat makan yang
membuat proses makan menjadi lebih lancar seperti
posisi menunduk (Chin tuck), posisi kepala menoleh ke
satu sisi (head rotation) atau kepala miring ke satu sisi
(head tilt)
c. Bila perlu dicoba manuever yang dapat membantu
proses menelan seperti :
 Perasat supraglotik (supraglottic swallow): pasien
diminta menelan makanan sambil menahan napas
dan batuk setelah menelan sebelum inspirasi.
Tujuannya untuk menutup plika vokalis dan
membersihkan residu yang mungkin masuk ke
laring.
 Perasat super-supraglotik (super-supraglottic
swallow) : Sama dengan perasat supraglotik dengan
menahan napas sedikit lebih lama dan dalam.
Bertujuan untuk menambah penutupan plika vokalis
atau membantu penutupan bagian posterior plika
vokalis.
 Effortful swallow : pasien diminta menelan sambil
menekan bolus dengan kuat dengan kekuatan otot
pangkal lidah dan faring.
 Perasat Mendelsohn : pasien melakukan beberapa
kali gerakan menelan sambil merasakan tonjolan
tiroid terangkat. Kemudian pasien diminta menahan
13
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

KEGIATAN KASUS
beberapa detik pada saat posisi tiroid terangkat
(laring elevasi). Laring yang dipertahankan
terelevasi akan merelaksasi sfingter esofagus
superior sehingga dapat dilalui makanan.

IV. PASCA TINDAKAN


1. Observasi apakah masih terdapat residu makanan di
valekula, sinus piriformis dan postkrikoid. Bila masih ada
harus dibersihkan.
2. Ditentukan cara pemberian makanan yang terbaik, baik
secara per oral, per pipa nasogaster atau sekaligus keduanya
3. Terapi operatif :
a. Gastrostomi dilakukan pada penderita yang tidak
mampu menelan peroral secara adekuat sedangkan
fungsi traktus gastrointestinal baik. Dilakukan setelah
penggunaan pipa nasogaster selama 2 bulan.
b. Operasi untuk mencegah aspirasi seperti trakeostomi,
medialisasi plika vokalis dengan injeksi plika vokalis,
adduksi aritenoid, penutupan laring, dan pengangkatan
kornu superior kartilago tiroid.

14
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

L. MATERI PRESENTASI
 Slide 1: Anatomi Orofaring

 Slide 2: Fisiologi menelan

15
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

 Slide 3: Kontrol persarafan pada proses menelan

 Slide 4: Disfagia

 Slide 5 : Pemeriksaan FEES

16
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

 Slide 6 : Pemeriksaan Penunjang

 Slide 7 : Prosedur Operatif

 Slide 8 : Komplikasi

M. MATERI BAKU
1. Proses Menelan
Menelan merupakan satu proses yang kompleks yang memungkinkan
pergerakan makanan dan cairan dari rongga mulut ke lambung. Proses ini
melibatkan struktur di dalam mulut, faring, laring dan esofagus.
Disfagia atau kesulitan menelan merupakan masalah yang sering
dikeluhkan baik oleh pasien dewasa, lansia maupun anak-anak. Rata-rata
dalam sehari, manusia menelan kurang lebih 2000 kali, sehingga masalah
disfagia merupakan masalah yang sangat mengganggu kualitas hidup
seseorang
Disfagia merupakan gejala kegagalan memindahkan bolus makanan
dari rongga mulut sampai ke lambung. Kegagalan dapat terjadi karena
adanya kelainan neuromuskuler yang berperan dalam proses menelan,
adanya sumbatan di rongga mulut, faring dan esofagus serta gangguan
emosi yang berat.

17
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

2. Struktur Anatomi
a. Rongga mulut
Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis
oris yang dipersarafi oleh saraf fasialis. Ruangan di antara mukosa
pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Palatum dibentuk
oleh tulang dari palatum durum di bagian depan dan sebagian besar
dari otot palatum mole di bagian belakang. Dasar mulut di antara lidah
dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar
submandibula. Muara duktus submandibular terletak di depan dari
frenulum lidah. Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua
pertiga depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi.
Korda timpani mempersarafi cita rasa lidah duapertiga depan dan n.
glossofaring pada sepertiga bagian belakang.

b. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti
corong dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikal 6. Faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana dan berhubungan dengan rongga mulut melalui
isthmus orofaring, sedangkan dengan laring berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Otot-otot
faring tersusun dalam lapisan memanjang (longitudinal) dan
melingkar (sirkular). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas
dengan bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari
belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan
dibagian belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut raphe
faring. Batas hipofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior adalah laring, batas posterior ialah vertebra servikal
serta esofagus di bagian inferior.
Pada pemeriksaan laringoskopi struktur pertama yang tampak di
bawah pangkal lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan
ligamentum glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di bawah valekula
adalah permukaan laring dari epiglotis. Epiglotis berfungsi melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju kesinus piriformis dan ke esofagus. Persarafan
motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring. Pleksus
ini dibentuk oleh cabang faring dari n. Vagus, cabang dari n.
Glossofaring dan serabut simpatis. Dari pleksus faring keluar cabang-
cabang untuk otot faring kecuali m. stilofaring yang dipersarafi
langsung oleh cabang n. Glossofaring.

3. Fisiologi Proses Menelan

18
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang


memerlukan setiap organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi
dan berkesinambungan. Dalam proses menelan ini diperlukan kerjasama
yang baik dari 6 saraf kranial, 4 saraf servikal dan lebih dari 30 pasang
otot menelan.
Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga
mulut ke lambung. Secara klinis, disfagia ini merupakan perasaan
tersangkutnya makanan dalam perjalanannya dari mulut ke lambung yang
dapat disertai rasa nyeri.
Proses menelan dapat dibagi atas 3 fase yaitu fase oral, fase faring dan fase
esofagus.
a. Fase Oral
Pada fase oral terjadi proses pembentukan bolus makanan yang
dilaksanakan oleh gigi geligi, bibir, lidah, palatum mole, otot-otot pipi
dan saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi
dan ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara
disadari.

Tabel 1. Fungsi saraf kranial pada proses menelan fase orofaring


Struktur Afferen Efferen
Bibir V2 (maksila) VII
V3 (lingual)
Lidah V3 (lingual) XII
Mandibula V3 (mandibula) V (otot mengunyah), VII
Palatum IX, X
Regio Bukal/Pipi V, IX, X V (otot mengunyah), VII
Dasar Lidah XII
Epiglotis IX X
(Permukaan Lingual) IX
Epiglotis X
(Permukaan Laringeal) X (cabang internal n.
Laringeus sup)
Laring (s/d Pita Suara) X

Laring (dibawah Pita Suara) X (cabang internal n. X


Faring (Naso dan Oro) Laringeus sup) X (kecuali stilofaring oleh
Hipofaring n.IX)
X (n. laringeus rekuren) X
IX
X (cabang internal n.
Laringeus sup)
Perpindahan bolus ke faring segera terjadi, setelah otot-otot bibir
dan pipi berkontraksi meletakkan bolus di atas lidah. Otot instrinsik
lidah berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian
anterior ke posterior. Bagian anterior lidah menekan palatum durum
19
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

sehingga bolus terdorong ke faring. Bolus menyentuh bagian arkus


faring anterior, uvula dan dinding posterior faring sehingga
menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas akibat
kontraksi m.palatofaring (n IX, n X dan n XI).
Pada fase oral ini bekerja saraf kranial n.V2 dan n.V3 sebagai
serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII sebagai
serabut efferen.

b. Fase Faring
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring
anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada
fase faring ini terjadi (1) m.tensor veli palatini (n.V) dan m.levator
veli palatini (n.IX, n.X, n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum
mole terangkat, uvula tertarik ke atas dan ke posterior sehingga
menutup daerah nasofaring, (2) m genioglosus (n.XII, servikal 1), m
ariepiglotika (n.IX, n.X), m.kriko aritenoid lateralis (n.IX, n.X)
berkontraksi menyebabkan aduksi pita suara sehingga laring tertutup
(3) laring dan tulang hioid terangkat ke atas ke arah dasar lidah
karena kontraksi m.stilohioid (n.VII), m.geniohioid (n.XII dan
n.servikal 1) dan m tirohioid (n.XII dan n.servikal 1), (4) kontraksi
m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X, n.XI), m.konstriktor faring
intermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan m. konstriktor faring inferior (n.X,
n.XI) menyebabkan faring tertekan ke bawah yang diikuti oleh
relaksasi m. kriko faring (n.X), (5) pergerakan laring ke atas dan ke
depan, relaksasi introitus esofagus dan dorongan otot-otot faring ke
inferior menyebabkan bolus makanan turun ke bawah dan masuk ke
dalam servikal esofagus. Proses ini hanya berlangsung dalam 1 detik
untuk menelan cairan dan lebih lama bila menelan makanan padat.
Pada fase faring ini bekerja saraf kranial n.V2, n.V3 dan n.X
sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII
sebagai serabut efferen.
Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase
faring, meningkatkan waktu gelombang peristaltik dan
memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas.
Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu
pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan
laring serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu
pharyngeal transit juga bertambah sesuai dengan umur.
Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm / detik.3
Mc.Connel8,9 dalam penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa
yang bekerja, yaitu oropharyngeal propulsion pomp (OPP) dan
hypopharyngal suction pomp (HSP).4 OPP adalah tekanan yang
ditimbulkan tenaga lidah 2/3 depan yang mendorong bolus ke
orofaring yang disertai oleh tenaga kontraksi m.konstriktor faring.
HSP adalah tekanan negatif akibat terangkatnya laring ke atas
20
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

menjauhi dinding posterior faring, sehingga bolus terisap ke arah


sfingter esofagus bagian atas. Sfingter esofagus bagian atas dibentuk
oleh m.konstriktor faring inferior, m.kriko faring dan serabut otot
longitudinal esofagus bagian superior.8.9

4. Peranan Sistem Saraf Dalam Proses Menelan


Proses menelan diatur oleh sistem saraf yang dibagi atas 3 tahap (1)
tahap afferen yaitu yang menyampaikan perintah (2) pusat menelan yang
menerima dan mengatur (3) tahap efferen yaitu yang melaksanakan
perintah.
Reseptor sensoris menerima impuls dari arkus faring, tonsil, palatum
mole, pangkal lidah dan dinding belakang faring dan mengirimkan impuls
tersebut ke pusat menelan melalui saraf kranial n.V, n.VII, n.IX, n.X.
Serabut saraf n.laringeus superior membawa impuls ke pusat menelan
melalui traktus solitarius.
Pusat menelan pada batang otak terdiri dari (1) traktus solitarius yang
terletak di bagian dorsal, berfungsi merangsang dan mengatur fungsi
motoris proses menelan (2) nukleus ambigus yang berfungsi mengatur
distribusi impuls motoris ke motor neuron yang berhubungan dengan
proses menelan.
Pusat menelan mengirim impuls motorik melalui saraf motoris n.V,
n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII.
Dengan menggunakan transcranial magneto electric stimulation dapat
diketahui bahwa bagian korteks serebri yang terletak di bagian inferior
girus presentralis juga menerima informasi dari korteks serebri sisi
lainnya, reseptor orofaring serta laring. dan turut mengatur ritme gerakan
otot otot menelan melalui hipotalamus bersama sama nukleus solitarius
di pusat menelan. Otot otot rongga mulut bekerja di bawah pengaruh
korteks serebri secara simetris. Bila terjadi stroke pada korteks unilateral
maka dapat terjadi gangguan fase oral proses menelan.
Kedua sisi batang otak mengontrol proses menelan sehingga fungsi
sensoris dan motoris faring, laring dan esofagus tergantung dari fungsi
kedua sisi batang otak. Bila terjadi gangguan unilateral batang otak dapat
menyebabkan gangguan fungsi sensoris dan motoris faring, laring dan
esofagus bilateral.

5. Evaluasi Secara Klinis Disfagia


Masalah disfagia dapat ditimbulkan oleh sumbatan mekanik di dalam
lumen atau penekanan dari luar lumen esofagus. Umumnya gejala disfagi
mekanik, keluhan pertama adalah sulit menelan makanan padat dan sesuai
dengan bertambahnya derajat sumbatan maka cairan pun sulit tertelan.
Kelainan korteks serebri, batang otak dan neuromuskuler dapat
menimbulkan gangguan fungsi menelan cairan. Bila terdapat gangguan
gerakan peristaltik maka sulit menelan terjadi pada kedua bentuk jenis

21
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

makanan. Pada penyakit degeneratif selain disfagia juga tampak pasien


lebih cepat lelah waktu menelan dan adanya perubahan suara.
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi disfagia motorik,
mekanik, gangguan emosi. Disfagia pada stroke adalah disfagia motorik
atau neurogenik oral atau fase faring. Kelainan yang tampak pada disfagia
berbeda pada tiap fase menelan, yaitu:
a. Fase oral :
 Terkumpulnya makanan dalam rongga mulut, kebocoran dari bibir,
kebocoran/ masuknya makanan ke faring sebelum menelan yang
ditimbulkan oleh kelemahan dan buruknya koordinasi dari bibir,
pipi, dan lidah..
 Aspirasi makanan khususnya pada saat inhalasi, berkaitan dengan
kebocoran makanan ke faring sebelum menelan,
 Gangguan fungsi lidah oleh kelemahan bagian posterior
 Gangguan inisiasi menelan oleh perubahan status mental dan
kognitif yang meningkatkan resiko menumpuknya makanan dalam
rongga mulut dan resiko aspirasi

b. Fase faring
 Disfungsi palatum mole dan faring superior yang menyebabkan
refluks ke nasofaring
 Gangguan fungsi muskulus palatofaring, tirohioid dan elevasi os
hioid menyebabkan berkurangnya elevasi laring dan faring
sehingga mengingkatkan resiko aspirasi
 Kelemahan muskulus konstriktor faring menyebabkan penumpukan
sisa makanan (residu) di valekula dan sinus piriformis yang juga
beresiko terjadi aspirasi
 Gangguan relaksasi, distensibilitas, fibrosis, hiperplasia, atau
hipertrofi muskulus krikofaring menyebabkan gangguan koordinasi
menelan.

6. Diagnosis Penyebab Disfagia


Disfagia merupakan keluhan pasien yang harus ditanggapi dengan
cermat. Perlu diformulasikan diagnosis diferensialnya untuk mengarahkan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Kelainan kongenital, inflamasi,
infeksi, trauma, kelainan endokrin, tumor, kelainan kardio vaskuler,
kelainan neurologik dan penyebab iatrogenik seperti akibat operasi,
kemoterapi, dan radiasi dapat menyebabkan keluhan disfagia.11
a. ANAMNESIS RIWAYAT KELUHAN
 Batasan keluhan disfagia pasien
 Lama keluhan disfagia dan progresifitas keluhan
 Saat timbulnya keluhan disfagia dalam proses menelan

22
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

 Keluhan lain yang menyertai disfagia seperti odinofagi, berat


badan yang menurun dengan cepat, demam, sesak napas, batuk dan
rasa ada sesuatu yang menyumbat di tenggorok.
 Penyakit atau kelainan yang pernah diderita yang dapat
menimbulkan disfagia seperti neurologik degeneratif, penyakit
autoimun, penyakit kardiovaskuler, dll.
 Penggunaan obat-obatan yang mengganggu proses menelan
 Kemampuan menelan dan bentuk serta konsistensi makanan

b. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum pasien
 Pemeriksaan neurologik fungsi motoris dan sensoris saraf kranial
 Pemeriksaan rongga mulut, gerakan dan kekuatan otot mulut dan
otot lidah.
 Pemeriksaan orofaring, pergerakan palatum mole, sensibilitas
orofaring dengan sentuhan spatel lidah, kaca laring, adanya refleks
muntah, refleks menelan dan suara.
 Pemeriksaan faring laring : gerakan pangkal lidah, gerakan arkus
faring, uvula, epiglotis, pita suara, plika ventrikularis dan sinus
piriformis
 Posisi dan kelenturan leher / tulang servikal dan pembesaran
kelenjar limfa leher

7. Pemeriksaan Penunjang Untuk Menilai Fungsi Menelan


a. Pemeriksaan Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES)
Salah satu metode pemeriksaan penunjang diagnostik disfagia
adalah dengan menggunakan endoskop fleksibel yang disebut Flexible
Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES). Metode ini pertama
kali dikembangkan oleh Susan Langmore pada tahun 1988. Tujuan
dari FEES adalah untuk menegakkan diagnosis disfagia pada fase oral
dan fase faring, menentukan kelainan anatomi dan fisiologi penyebab
disfagia dan menentukan posisi yang aman dan lebih efisien untuk
menelan pada penderita disfagia.6,7 FEES merupakan teknik
pemeriksaan untuk evaluasi proses menelan dengan visualisasi
langsung pada area yang diperiksa seperti struktur faring dan laring
setinggi plika vokalis untuk mengevaluasi fase faring pada proses
menelan dan dapat mendeteksi adanya aspirasi tanpa disertai batuk
(silent aspiration). Pemeriksaan FEES tepat menjadi pemeriksaan
pilihan untuk disfagia pada kelainan neuromuskular karena gangguan
fungsi sering terjadi pada fase ini. 12-4
Secara umum indikasi FEES adalah untuk mengevaluasi pasien
dengan kesulitan menelan dan kemungkinan risiko aspirasi dalam
proses menelan. Metode ini juga dapat menentukan intake nutrisi yang
optimal untuk meminimalkan risiko aspirasi. Indikasi lain adalah 1.
Menilai perubahan struktur anatomi pada nasofaring, orofaring atau
23
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

laring. 2. Menilai integritas sensorik struktur faring dan laring. 3.


Menilai kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas pada saat
menelan. 4. Risiko tinggi untuk terjadinya aspirasi pada pasien. 5.
Menilai kesimetrisan dari kontriksi faring kanan dan kiri.12-6
Terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dengan melakukan
pemeriksaan FEES seperti tidak bersifat radioaktif, portabel, tidak
memerlukan ruangan khusus dan hasilnya dapat langsung diketahui.
Didapat juga beberapa kerugian seperti adanya blind spot dan tidak
dapat mengevaluasi krikofaring dan esofagus. Pemeriksaan FEES
merupakan pemeriksaan yang tidak mahal, dapat ditoleransi dengan
baik, mudah dikerjakan dan dapat dilakukan dalam waktu singkat,
tidak iritatif, menggunakan makanan biasa dan dapat diulang sesering
mungkin bila dibutuhkan. Metode ini tidak mempunyai kontraindikasi
mutlak untuk dilakukan. Beberapa keadaan yang dapat
dipertimbangkan untuk tidak dilakukan pemeriksaan FEES ialah
gangguan hemostasis, penurunan kesadaran, tanda vital yang tidak
stabil. Pemeriksaan ini juga dapat mengakibatkan beberapa
komplikasi diantaranya perasaan tidak nyaman, rasa tersumbat,
muntah, sinkop, epistaksis anterior dan posterior sampai dengan
laringospasme. Langmore dkk seperti dikutip Nacci17 melaporkan
pada enam ribu pemeriksaan FEES terdapat dua kejadian
laringospasme (0,03%), empat episode vasofagal (0,06%) dan dua
puluh kasus epistaksis (0,3%).
Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing mempunyai
keterbatasan dalam melakukan pemeriksaan menelan dibanding
videofluoroscopy. Pemeriksaan ini tidak dapat melakukan evaluasi
bolus pada rongga mulut, antara lain kemampuan pasien untuk
membentuk dan menahan bolus di mulut, memindahkannya dari
bagian anterior ke posterior rongga mulut dan pengiriman bolus ke
faring. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat melihat tingkatan
konstriksi faring, pembukaan sfingter atas esofagus dan elevasi
hyoid/laring saat menelan. Dibandingkan dengan pemeriksaan
Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing with Sensory Testing
adalah pemeriksaan FEES hanya menilai komponen motorik proses
menelan dan menilai komponen sensoriknya secara tidak langsung 12-5
Pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter ahli THT bersama dengan
Spesialis Rehabilitasi Medik. Proses menelan dievaluasi dengan
memberikan 6 konsistensi makanan yaitu cairan encer (thin liquid),
bubur saring (puree), bubur nasi (gastric rice/ soft food), bubur tepung
(havermouth), dan biskuit. Semua konsistensi makanan kecuali biskuit
diberi warna hijau atau biru untuk visualisasi yang lebih baik saat
pemeriksaan.12-5
Dilakukan evaluasi rongga mulut, pergerakan lidah, keadaan otot
bukalis, higiene mulut, elevasi palatum mole, dan sendi
temporomandibular. Endoskop dimasukkan melalui kavum nasi untuk
24
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

menilai kerapatan penutupan velofaring (velopharyngeal competence).


Pasien diminta menelan tanpa makanan. Selanjutnya endoskop
dimasukkan hingga hipofaring agar dapat memvisualisasi struktur di
bawah palatum mole. Evaluasi terhadap pangkal lidah, valekula, sinus
piriformis, dinding posterior faring dan postkrikoid. Struktur laring
diperiksa dengan cara memasukkan endoskop setinggi epiglotis,
evaluasi terhadap gerakan plika vokalis saat fonasi dan inspirasi,
adanya akumulasi saliva (standing secretion), penetrasi atau aspirasi
saliva, serta refleks batuk yang menyertai. Pemeriksaan tsb merupakan
pemeriksaan awal. 14-6
Selanjutnya pemeriksaan inti, yaitu menelan dengan 6 konsistensi
makanan. Dimulai dengan memberikan 1 sendok bubur saring, pasien
diminta menahannya dalam mulut 10 detik untuk menilai adanya
kebocoran fase oral (premature oral leakage) atau aspirasi sebelum
menelan (preswallowing aspiration). Kemudian pasien diminta
menelan, pada saat bersamaan, gambaran visualisasi akan menghilang
sesaat, kurang dari 1 detik (white spot/ blind spot) karena kontraksi
velofaring dan elevasi faring, penilaian dilakukan sesaat sebelum dan
sesudah moment ini. Catat adanya lateralisasi makanan, penetrasi,
aspirasi, residu makanan pada valekula, sinus piriformis, pangkal
lidah, dan postkrikoid. Bila terdapat residu maka dinilai apakah
dengan menelan berulang efektif untuk membersihkan residu. 16,17
Dilanjutkan dengan bubur nasi dan dihentikan bila terjadi aspirasi.
Respons terhadap aspirasi dan efektifitas rafleks batuk dinilai. Bila
tidak ada aspirasi pemeriksaan dilakukan dengan 4 konsistensi
makanan lainnya. Perubahan posisi kepala dan teknik yang membantu
proses menelan dilakukan saat pemeriksaan. FEES selain membantu
dalam diagnosis/ evaluasi proses menelan juga membantu dalam
terapi sebagai gambaran visual untuk mempelajari berbagai perasat
terapi.
FEES lebih dipilih berdasarkan VFSS pada kondisi sbb: 1.)
disfagia berat, 2) dibutuhkannya pemeriksaan lebih sederhana oleh
karena pertimbangan risiko aspirasi dan penetrasi cairan 3) untuk
visualisasi langsung.
Di divisi Endoskopi Bronkoesofagologi THT telah dilakukan
penelitian gambaran fungsi menelan pada pasien geriatri maupun
pasien stroke dengan menggunakan pemeriksaan FEES. Dalam
penelitian Junizaf18 dengan sampel pasien geriatri (lanjut usia)
didapatkan adanya preswallowing leakage sebesar 68,2% pada sampel
dengan keluhan disfagia dan 77,2% pada sampel tanpa keluhan.
Begitu juga pada penelitian Marpaung19 yang meneliti gambaran
proses menelan pada pasien stroke, mendapatkan hasil adanya
preswallowing leakage pada pria sebesar 94,6% dan wanita sebesar
81,8%. Pada penelitian Yunizaf18 dijelaskan bahwa terjadinya
preswallowing leakage memberikan terjadinya penurunan fungsi lidah
25
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

dan velum pada usila baik dengan keluhan maupun tanpa keluhan
disfagia. Pada penelitian Marpaung19 timbulnya preswallowing
leakage ini diduga berhubungan dengan adanya lesi baik di batang
otak maupun hemisfer pada pasien stroke.
Juga penelitian Noer20 pada 39 sampel pasien KNF pasca
kemoradiasi yang dilakukan pemeriksaan FEES selama periode
Januari – April 2010 adanya keluhan disfagia fase oral diperoleh
keluhan mulut kering (92,3%) merupakan keluhan yang terbanyak,
dan berdasarkan disfagia fase faring diperoleh proporsi hasil yang
sama (28,2%) antara batuk/tersedak, rasa tersangkut, menelan lama.
Pada penelitian ini ditemukan perubahan dari struktur hipofaring
berupa yaitu terdapatnya epiglotis yang edema dengan posisi tegak.
(89,4%) dan beberapa gambaran disfagia yang ditemukan berdasarkan
pemeriksaan FEES adalah tidak ditemukan adanya preswallowing
leakage, dan prevalensi standing secretion dan residu makanan yang
tinggi (92,3% dan 100%). Juga terdapatnya pemanjangan waktu
transport fase oral dan fase faring.20

8. Penatalaksanaan Terapi Disfagia Secara Komprehensif


Disfagia merupakan gejala penyakit / kelainan di susunan saraf pusat,
sistem neuromuskuler, akibat sumbatan atau kelainan anatomi dari rongga
mulut, faring, laring dan esofagus, infeksi, trauma serta gangguan emosi
yang berat.
Pada umumnya disfagia karena sumbatan atau disfagia mekanik relatif
lebih mudah didiagnosis dan penatalaksanaannya melibatkan hanya
beberapa pakar disiplin ilmu. Disfagia karena kelainan fungsi neurologik
memerlukan peranan para pakar lainnya lebih banyak seperti ahli THT,
Gastroenterologi, Saraf, Bedah, Ahli Rehabilitasi Medik, Radiodiagnostik,
Radioterapi, Dokter Anak, Ahli Gizi, dan Psikiater. Terapi yang efektif
ditujukan pada penyakit / kelainan primernya dengan menghilangkan atau
menguranginya. Penatalaksanaan ini sangat individualistik.21,22
Cara pemberian makanan per oral untuk mengurangi komplikasi
aspirasi

Posisi sikap pasien dalam pemberian makanan per oral

KELAINAN YANG TAMPAK POSISI SIKAP PASIEN


PADA PEMERIKSAAN FEES

Gangguan transit oral Kepala ditengadahkan ke belakang

Gangguan pada fase faring Dagu diturunkan

Gangguan gerakan pangkal lidah Dagu diturunkan

26
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

Parese pita suata unilateral Kepala diputar ke arah sisi yang lumpuh

Gangguan penutupan laring Dagu diturunkan dan kepala diputar ke


sisi yang lumpuh

Gangguan kontraksi faring Makan berbaring pada satu sisi

Parese otot faring unilateral Kepala diputar ke arah sisi yang lumpuh

Parese otot rongga mulut dan faring Kepala dinaikkan ke arah sisi yang kuat
satu sisi / normal

Gangguan fungsi m.krikofaring Kepala diputar untuk mendorong


kartilago krikoid menjauhi dinding
posterior faring

Makanan per oral dihentikan bila pada pemberiannya selalu terjadi


aspirasi. Pipa nasogaster dipasang dan dapat dipertahankan sampai lebih
kurang 2 bulan.
Penatalaksanaan disfagia pada anak sangat memerlukan kerja sama
yang baik antara orang tua pasien, perawat, para pakar bidang lainnya
seperti ahli rehabilitasi medik terutama untuk penderita cerebral palsi dan
seorang ahli gizi.
Prinsip terapi adalah pemberian diet secara aman untuk menghindari
resiko aspirasi dan memenuhi kebutuhan nutrisi untuk memperbaiki
kesehatan pasien. Terapi disfagia dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu
terapi non-operatif dan terapi operatif. 23,24
a. Terapi non-operatif
Terapi non-operatif merupakan pilihan utama karena tidak invasif dan
diharapkan disfagia akan membaik sejalan dengan perbaikan penyakit
dasar stroke. Pasien perlu diajarkan suatu cara untuk tetap dapat
makan peroral mengingat kemnungkinan disfagia menetap. Berikut
adalah macam terapi non-operatif:
 Penyembuhan penyakit dasar
Penyembuhan penyakit dasar ini ditujukan pada lesi stroke, baik
lesi pada otak maupun batang otak dilakukan oleh dokter spesialis
saraf.
 Modifikasi diet
Modifikasi diet bersifat individual dan tergantung pada derajat dan
karakteristik disfagia dengan pembatasan diet pada konsistensi
yang aman. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi proses
menelan, baik menggunakan teknik FEES atau pemeriksaan lain.
Pada pemeriksaan FEES evaluasi proses menelan dilakukan dengan
memberikan beberapa jenis konsistensi makanan.hingga diketahui
konsistensi yang paling aman dan tidak beresiko aspirasi.
27
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

Modifikasi diet memerlukan kerja sama spesialis rehabilitasi medik


(speech language pathologist) dan ahli gizi.

b. Terapi intervensi
 Teknik latihan sensorik dan motorik
Latihan ini diberikan oleh spesialis rehabilitasi medik yang
dimaksudkan untuk menguatkan otot-otot menelan, mulai dari fase
oral dan stimulasi sensorik rongga mulut. Stimulasi sensorik
penting untuk dapat merasakan makanan dalam rongga makanan
untuk pembentukan bolus.
Latihan laring dilakukan dengan gerakan elevasi laring dan
penutupan plika vokalis. Latihan ini bertujuan untuk mencegah
masuknya makanan dan cairan ke trakea. Laring merupakan organ
paling akhir yang perlu dicegah agar tidak terjadi aspirasi. Latihan
ini penting bagi pasien dengan keterlambatan gerak menelan,
adanya residu di valekula dan sinus piriformis pasca menelan dan
resiko tinggi aspirasi karena plika vokalis terbuka.
 Teknik postural untuk fasilitasi menelan
Prinsip dasarnya adalah perubahan posisi kepala atau badan dapat
membantu transportasi bolus dan mengurangi resiko aspirasi.
 Perasat menelan
Bertujuan untuk meningkatkan kecepatan transportasi bolus
melalui orofaring ke esofagus. Keuntungan teknik ini yaitu dapat
dilakukan tanpa makanan dan efeknya dapat dilihat melalui
pemeriksaan FEES. Terdapat 4 macam cara yaitu:
1) Perasat supraglotik (supraglottic swallow)
Pasien diminta menelan makanan sambil menahan napas dan
batuk setelah menelan sebelum inhalasi. Tujuannya untuk
menutup plika vokalis dan membersihkan residu yang mungkin
masuk ke laring.
2) Perasat super-supraglotik (super-supraglottic swallow)
Sama dengan perasat supraglotik dengan menahan nafas sedikit
lebih lama dan dalam. Bertujuan untuk menambah penutupan
plika vokalis atau membantu penutupan bagian posterior plika
vokalis.
3) Effortful swallow
Pasien diminta menelan sambil menekan bolus dengan kuat
dengan kekuatan otot pangkal lidah dan faring.
4) Perasat Mendelsohn
Pasien melakukan beberapa kali gerakan menelan sambil
merasakan tonjolan tiroid terangkat. Kemudian pasien diminta
menahan beberapa detik pada posisi tiroid terangkat (laring
elevasi). Laring yang dipertahankan terelevasi akan merelaksasi
sfingter esofagus superior sehingga dapat dilalui makanan.
 Terapi operatif
28
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

1) Gastrostomi dilakukan pada penderita yang tidak mampu


menelan peroral secara adekuat sedangkan fungsi traktus
gastrointestinal baik. Dilakukan setelah penggunaan pipa
nasogaster selama 2 bulan.
2) Operasi untuk mencegah aspirasi yaitu trakeostomi, medialisasi
plika vokalis dengan injeksi plika vokalis, adduksi aritenoid,
penutupan laring, dan pengangkatan kornu superior kartilago
tiroid.

9. Kepustakaan Materi Baku


a. Leder SB, Sasaki CT, Burrell MI. Fiberoptic endoscopic evaluation of
dysphagia to identify silent aspiration. Dysphagia 1998;13:19-21.
b. Tamin S, Ku PK, Cheung D. Assessment and management of dysphagia
with fiberoptic endoscopic examination of swallowing (FEES) and its
future implementation in Indonesia. ORLI. 2004; 34(4): 26-33.
c. Kendall K. Head and Neck : Structures, functions, and evaluation in
dysphagia. In : Leonard R, Kendall K,editors. Dysphagia assessment and
treatment planning. A team approach,1st ed. San Diego, London: Singular
Publishing Group Inc; 1997. p.7-18.
d. McCulloch TM, Van Daele DJ. Normal anatomy and physiology of the
nose, the pharynx, and the larynx. In: Langmore SE, editors. Endoscopic
evaluation and treatment of swallowing Disorder, 1st ed. New York,
Stuttgart: Thieme; 2001. p. 7-36.
e. Eibling DE. Organs of swallowing. In: Carrau RL, Murry T, editors.
Comprehensive Management of swallowing disorders,1st ed. San
Diego, London: Singular Publishing Group;1999. p. 11-21.
f. Marks L, Rainbow D. Neuro antomy and anatomy of the normal
swallowing process in adults. In: Marks L, Rainbow D, editors.
Working with dysphagia, 1st ed. United Kingdom: Speechmark
Publishing Ltd; 2001.p. 2-6.
g. Aviv JE. The normal swallow. In: Carrau RL, Murry T, editors.
Comprehensive management of swallowing disorders, 1st ed. San
Diego, London: Singular Publishing Group;1999.p. 23-9.
h. Mc Connel FMS, Cerenco D, Mendelson MS. Manofluorographic
analysis of swallowing. Otolaryngol Clin North Am. 1988 ; 21 : 625 -
35
i. Mc Connel FMS. Analysis of pressure generation and bolus transit
during pharyngeal swallowing. Laryngoscope, 1988 ; 98 : 71 – 8
j. Tamin S. Disfagia orofaring. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007:281-4.
k. Langley J, Darvill GC. Assessment. In: Darvill GC, editor.Working
with swallowing disorders, 10th ed. Bicester, Oxon, Great Britain:
Winslow Press Ltd;1997.p.18-45.

29
Modul V.6 - Disfagia Orofaring

l. Langmore SE, Schatz K, Olsen N. Fiberoptic endoscopic examination


of swallowing safety: a new procedure. Dysphagia 1988; 2:216-9
m. Langmore SE, Schatz K, Olsen N. Endoscopic and video fluoroscopic
evaluations of swallowing and aspiration. Ann Otol Rhinol Laryngol
1991;100:678-81
n. Leonard R. Swallow Evaluation with flexible videoendoscopy. In
:Leonard R, Kendall K, ed. Dysphagia Assessment and Treatment
Planning. A Team Approach. San Diego, London: Singular Publishing
Group Inc 1997: 161-80.
o. Bastian RW. The videoendoscopic swallowing study: an alternative and
partner to the video fluoroscopic swallowing study. Dysphagia 1993;
8:359-67
p. Bastian RW. Videoendoscopic evaluation of patients with dysphagia:
an adjunct to the modified barium swallows. Otolaryngol Head Neck
Surg 1991; 104:339-50
q. Nacci A, Ursino F, Vela RL, Matteuci F, Mallardi V, Fattori B.
Fiberoptic endsocopic evaluation of swallowing (FEES): proposal for
informed consent. Acta Otorhinolaringol Ital 2008;28:206-11.
r. Yunizaf R, Tamin S. Perbedaan gambaran fungsi menelan dengan
pemeriksaan endoskop fleksibel/Flexible Endoscopic evaluation of
swallowing (FEES) pada usila dengan atau tanpa disfagia. Ilmu
Penyakit THT. Jakarta: Indonesia, 2008
s. Marpaung D. Tamin S. Prevalensi Silent aspiration dan gambaran
proses menelan pada pasien stroke di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Ilmu Penyakit THT, Jakarta: Indonesia 2008
t. Noer A, Tamin S. Gambaran Disfagia pada pasien karsinoma
nasofaring pasca kemoradiasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Ilmu Penyakit THT, Jakarta: Indonesia 2010
u. Schmidt EV, Smirnov VE, Ryabova US: Result of the seven years
prospective study of stroke patients. Stroke 1988 ; 19 : 1942 - 9
v. Robbins J, Levine RL: Swallowing after unilateral stroke of the cerebral
Cortex Prelimenery Experience. Dysfagia 1988; 3 : 11 - 7
w. Dantas RO, Kern MK, Massey BT et all. Effect of swallowed bolus
variables on the oral and pharyngeal phases of swallowing. Am J
Physiol 1990; 258 : 675 - 81
x. Zorowitz RD. Speech therapy and Disorders of Deglutition In.
Principles of neurologic Rehabilitation. Ed. Lazar RB. Mc Graw-Hill
Co, New York, San Fransisco, Tokyo 1998: 491 – 511.

30

You might also like