Andryawan: Keywords: Indonesian Medical Council (INAMC), Indonesian Medical Displinery Board (IMDB)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 31

KEDUDUKAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN

KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI) DAN KONSIL


KEDOKTERAN INDONESIA (KKI) DALAM PENEGAKAN
DISIPLIN KEDOKTERAN DI INDONESIA (Studi Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor: 298K/TUN/2012)
Andryawan1

ABSTRACT
Health is one of human rights and the constitutional rights of every citizen of Indonesia.
Government as manager of the Republic of Indonesia, are obligated to protect and guarantee the
right to health care for all citizens without exception. One of them through the provision of
services of the ministry of health by doctors. As a key element in the administration of medical
practice, so the importance of the role of doctors and often leads to the assumption that the doctor
is a "God" who never made a mistake / violations in the medical act. With the enactment of Law
No. 29 of 2004, then began organizing medical practice into a new era. This was followed by the
establishment of the Indonesian Medical Displinery Board (IMDB) and the Indonesian Medical
Council (INAMC) as a body / supervisory institution organizing medical practice in Indonesia. But
so far, the position of both institutions still raises problems of law. One of them in terms of
discipline by IMDB often become unproductive because of constraints of the INAMC. Even
sometimes discipline conducted by IMDB even canceled by the State Administrative Court. This
led to the discipline of medicine be hung without any certainty. When it was clearly stated that the
enforcement of medical discipline committed by IMDB shall be final and binding on the parties.
But the facts show that IMDB powerless to enforce the medical discipline of his mandate.

Keywords : Indonesian Medical Council (INAMC), Indonesian Medical Displinery Board (IMDB)

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap bangsa di berbagai belahan dunia tentu memiliki tujuan, tidak
terkecuali Bangsa Indonesia. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dapat dilihat pada Alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD
NRI Tahun 1945), salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum.
Terkait dengan hal ini, banyak aspek yang bisa menjadi parameter
kemajuan kesejahteraan umum, di antaranya memajukan kesejahteraan di
bidang kesehatan bagi warga negara.
Memajukan kesejahteraan di bidang kesehatan dinilai penting karena
kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang,

1
Dosen Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara.
Meraih Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Tarumanagara (2012), Magister Hukum (M.H.)
dari Universitas Tarumanagara (2015).

1
pangan, dan papan. Kebutuhan untuk hidup sehat merupakan kebutuhan
yang mendasar dan sudah tidak dapat ditawar lagi. Bukan hanya sehat
jasmani, juga sehat rohani/jiwa, bahkan kriteria sehat manusia telah
bertambah menjadi juga sehat sosial dan sehat ekonomi.2
Pengakuan terhadap hak atas pelayanan kesehatan sebagai Hak Asasi
Manusia (HAM) telah diakui secara global dan dinyatakan dalam Pasal 25
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948 (DUHAM).
Dengan telah ditetapkannya hak atas pelayanan kesehatan sebagai bagian
dari HAM, maka tiap-tiap negara diwajibkan untuk menjamin pemenuhan
hak tersebut bagi seluruh warga negaranya.
Pengakuan terhadap hak atas pelayanan kesehatan sebagai HAM juga
telah diakomodasi dalam Perubahan Kedua UUD NRI Tahun 1945.
Dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
memperoleh pelayanan kesehatan”. Tidak hanya sebagai HAM, hak atas
pelayanan kesehatan juga diakui sebagai hak konstitusional warga negara.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 34 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Sebagai
hak yang dilindungi oleh konstitusi, maka hak atas pelayanan kesehatan
sangat dituntut pemenuhannya oleh pemerintah. Atas dasar ini, negara
berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas
pelayanan kesehatan yang sekaligus merupakan HAM dan hak
konstitusional warga negara Indonesia tersebut. Kewajiban untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut, di antaranya
dengan cara memberikan persamaan akses pelayanan kesehatan, mencegah
tindakan-tindakan yang dapat menurunkan tingkat kesehatan masyarakat,
membuat regulasi yang dapat menjamin perlindungan kesehatan warga
2
Wila Ch. Supriadi, “Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan”, tersedia di
http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pelayanan-kesehatan/ (25 September
2014).

2
negara, serta menyediakan anggaran dan jasa-jasa pelayanan kesehatan
yang layak dan memadai untuk seluruh warga negara.
Beberapa instrumen hukum terkait dengan pelayanan kesehatan yang
telah dibentuk oleh Pemerintah Indonesia meliputi Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(yang selanjutnya disebut UU PRADOK), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya
disebut UU Kesehatan), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (yang selanjutnya disebut UURS).
Unsur utama dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah
rumah sakit dan dokter. Rumah sakit sebagai penyedia fasilitas pelayanan
kesehatan merupakan sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan
dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan.3 Selain itu, dokter
dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan
kesehatan kepada warga negara mempunyai peranan yang sangat penting
karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu
pelayanan yang diberikan.4
Dengan diundangkannya UU PRADOK dan UURS, maka pelayanan
kesehatan di Indonesia memasuki babak baru. Keberadaan kedua undang-
undang ini seakan memberikan angin segar bagi pasien5 dalam
memperoleh kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban pasien dalam
menerima pelayanan kesehatan yang disediakan oleh rumah sakit maupun
dokter.
Sebelum dibentuknya kedua undang-undang tersebut, ketentuan
hukum yang dapat dijadikan pegangan/pedoman adalah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya
disebut UUPK) yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan mulai
berlaku tanggal 20 April 2000. Keberadaan UUPK memberikan kepastian

3
Penjelasan Umum UURS.
4
Penjelasan Umum UU PRADOK.
5
Pasien diartikan sebagai orang sakit (yang dirawat dokter), penderita sakit. Lihat: S.
Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 69.

3
hukum mengenai pengaturan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang ditawarkan
oleh pelaku usaha. Selain hak sebagaimana yang diatur dalam UUPK,
konsumen dalam mengkonsumsi jasa pelayanan kesehatan juga memiliki
hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 UU PRADOK dan Pasal 32
UURS.
Mengacu pada ketiga peraturan tersebut (UUPK, UU PRADOK, dan
UURS), terdapat kemiripan mengenai hak yang dimiliki pasien/konsumen.
Adapun kemiripan tersebut terkait dengan hak atas keselamatan/keamanan,
hak untuk memperoleh penjelasan/informasi yang lengkap secara jujur,
hak untuk didengar/menyatakan pendapat, hak untuk memilih, serta hak
untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diskriminatif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa berkaitan dengan
pelayanan kesehatan yang melibatkan rumah sakit, dokter, dan pasien telah
diatur oleh berbagai instrumen hukum (UU PRADOK dan UURS). Hal ini
dimaksudkan agar adanya kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat
di bidang pelayanan kesehatan, khususnya mengenai hak dan kewajiban
masing-masing. Namun pada kenyataannya masih saja terdapat
pelanggaran yang dilakukan oleh rumah sakit dan/atau dokter terhadap
pasien.
Salah satu kasus pelanggaran hak pasien yang membuat Penulis
merasa tergugah untuk melakukan penelitian ini adalah kasus yang sudah
diputus oleh Mahkamah Agung pada Putusan Nomor: 298K/TUN/2012
yang melibatkan X (selaku pasien) dan 2 (dua) orang dokter dari salah
satu rumah sakit swasta nasional yaitu dokter Y dan dokter Z. Kasus ini
bermula pada Oktober 2005, ketika pasien atas nama X mengalami rasa
nyeri pada bagian punggung. Kemudian X menjalani pemeriksaan di salah
satu rumah sakit swasta nasional dan ditangani langsung dokter Y.6 Pada
17 Desember 2005, gejala rasa nyeri yang diderita oleh X justru semakin
6
Sofian, “Konsultan Senior AB Susanto Gugat Rumah Sakit Siloam”, tersedia di
http://www.tempo.co/read/news/2009/08/06/064191192/Konsultan-Senior-AB-Susanto-Gugat-
Rumah-Sakit-Siloam (20 Oktober 2014).

4
memburuk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dan Computerized Tomography Scan (CT Scan), X didiagnosa
menderita spondillitis atau infeksi tulang karena bakteri tuberkolosis di
torak (bagian punggung) 7 dan 8 yang mengharuskan X menjalani rawat
inap di rumah sakit selama 5 (lima) hari.7 Setiap kali kontrol, dokter Y
selalu menyarankan agar X menjalani injeksi cement pada ruas torak 7 dan
8 yang sedikit keropos dengan anestesi lokal. Bahkan dokter Y juga
mengatakan bahwa jika tindakan injeksi cement tidak dilakukan sesegera
mungkin, maka dapat menyebabkan kelumpuhan total pada X (jika
terpeleset atau jatuh). Kemudian pada 8 Maret 2008, X menyetujui saran
yang diberikan oleh dokter Y untuk menjalani injeksi cement. Sebelum
menjalani injeksi tersebut, kondisi X sehat, normal, dapat berjalan serta
berlari. Namun pada saat akan dilakukan injeksi cement, terjadi beberapa
penanganan yang berbeda terhadap X yang mana tidak sesuai dengan apa
yang disampaikan sebelumnya oleh dokter Y. Beberapa perbedaan
penanganan tersebut antara lain: (a) perubahan pemberian anestesi dari
local anestesi menjadi general anestesi; dan (b) dokter yang melakukan
injeksi cement bukanlah dokter Y sebagaimana yang sebelumnya pernah
disampaikan pada X, melainkan dokter Z. Setelah pemberian tindakan
injeksi cement dilakukan, X tidak bisa menggerakkan kaki kirinya. Pihak
rumah sakit kemudian melakukan scan dan menemukan ada cement yang
masuk ke bagian yang bukan pada tempatnya.8
Tindakan medis yang diberikan oleh dokter Y malah menyebabkan
pembengkakan pada seluruh tubuh dan menyebabkan gula darah X
menjadi naik. Pihak rumah sakit bahkan menolak untuk memberikan
rekam medis kepada keluarga X dengan alasan bahwa rekam medis milik

7
Sofian, Loc.Cit.
8
Eko Priliawito dan Mohammad Adam, “Rumah Sakit Siloam Karawaci Dituduh
Lakukan Malpraktik”, tersedia di http://metro.news.viva.co.id/news/read/80898-
rs_siloam_karawaci_dituduh_ lakukan_malpraktik (6 Maret 2015).

5
rumah sakit tidak boleh dibawa keluar dari rumah sakit.9 Kondisi yang
demikian membuat X dan keluarga memutuskan untuk mencari alternatif
pengobatan di Mount Elisabeth Hospital Singapura. Pada 17 Maret 2008,
X berkonsultasi dengan dokter A di Mount Elisabeth Hospital Singapura.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, diketahui bahwa terdapat kekeliruan
penanganan medis yaitu yang seharusnya tidak boleh dilakukan injeksi
malah diinjeksi. Sehingga tindakan medis tersebut salah, meleset, dan
menyebabkan kelumpuhan pada X.10 Hasil pemeriksaan di Mount
Elisabeth Hospital menunjukkan bahwa terdapat perubahan di sumsum
tulang belakang X. Hal itu disebabkan oleh bekas peradangan akibat
injectie cement. Injeksi juga dinilai salah sasaran. Kelumpuhan pada
tungkai kiri disebabkan oleh jarum suntik yang menyentuh sumsum tulang
belakang.11
Dalam kasus yang terjadi antara X dan 2 (dua) orang dokter dari
rumah sakit swasta nasional di Indonesia (dokter Y dan dokter Z) tersebut,
ada hak konsumen/pasien yang dilanggar oleh dokter, yaitu: hak atas
keamanan dan keselamatan, serta hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur.
Atas pelanggaran yang dialaminya, X memutuskan untuk melaporkan
peristiwa tersebut pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (yang selanjutnya disebut MKDKI) dan mengajukan gugatan
terhadap pihak dokter dan rumah sakit ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara
pada 15 Juli 2009 dengan Nomor Perkara: 237/Pdt.G/2009/PN.JKT.UT.
Namun gugatan X ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Utara karena dianggap tidak cukup bukti.12

9
Anonim, “Rumah Sakit Siloam Digugat Pasien Lantaran Malpraktik”, tersedia di
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22810/rs-siloam-digugat-pasien-lantaran-malpraktik
(6 Maret 2015).
10
Eko Priliawito dan Mohammad Adam, Loc.Cit.
11
Eko Priliawito dan Mohammad Adam, Loc.Cit.
12
Tri Adi, “Gugatan Malpraktik Rumah Sakit Siloam Karawaci Kandas, AB Susanto
akan Banding”, tersedia di http://nasional.kontan.co.id/news/gugatan-malpraktik-rs-siloam-
karawaci-kandas-ab-susanto-akan-banding (6 Maret 2015).

6
Berbeda dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang
menolak gugatan X, MKDKI justru menjatuhkan sanksi kepada dokter Y
dan dokter Z berupa rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi
(STR) selama 2 (dua) bulan yang tertuang dalam Keputusan MKDKI atas
Keberatan Terhadap Keputusan MKDKI Nomor: 129/KEP/MKDKI/2010.
Kedua dokter tersebut dinyatakan telah melakukan pelanggaran disiplin
kedokteran.13
Merasa tidak terima dan dirugikan, maka kedua dokter tersebut
mengajukan gugatan atas Keputusan MKDKI tersebut ke Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta). Majelis Hakim PTUN Jakarta
dalam Putusan Nomor: 84/G/2011/PTUN-JKT memutuskan menerima
gugatan kedua dokter dan membatalkan Keputusan MKDKI atas
Keberatan Terhadap Keputusan MKDKI Nomor: 129/KEP/MKDKI/2010.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ini kemudian diperkuat
oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta dalam Putusan
Nomor: 242/B/2011/PT.TUN.JKT dan juga Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam Putusan Nomor: 298K/TUN/2012.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
perumusan masalah yang dikaji adalah: Bagaimana kedudukan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) dalam penegakan disiplin kedokteran di
Indonesia?

II. Pembahasan
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada latar belakang, bahwa setiap
orang berhak untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau. Pernyataan ini dipertegas oleh Pasal 5 Ayat (2) UU

13
Pengaturan mengenai Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran termuat dalam
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor: 17/KKI/KEP/VIII/2006. Pada tanggal 22
September 2011, peraturan ini kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

7
Kesehatan. Berdasarkan ketentuan tersebut, negara yang diwakili oleh
pemerintah, wajib untuk menjamin tersedianya akses pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi seluruh Warga Negara Indonesia
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.
Berbagai usaha pemerintah yang telah dilakukan untuk menjamin
tersedianya akses pelayanan kesehatan bagi warga negaranya adalah dengan
menyediakan sarana dan prasarana di bidang kesehatan. Hal ini juga diiringi
dengan ketersediaan berbagai instumen hukum terkait penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. Ketersediaan instrumen hukum ini bertujuan untuk
memberikan perlindungan bagi setiap warga negara yang mengkonsumsi jasa
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter dan rumah sakit.
Ketersediaan instrumen hukum ini telah disadari oleh pemerintah guna
memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya
yang mengkonsumsi jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan (sebagai
pasien). Berbagai intrumen hukum telah dibentuk guna mengakomodasi hal
ini, di antaranya meliputi UU PRADOK, UU Kesehatan, dan UURS.
Selain tersedianya berbagai instrumen hukum, penyelenggaraan
pelayanan kesehatan ini tentu tidak dapat terlaksana begitu saja. Dalam hal ini
diperlukan adanya badan/lembaga pengawas yang mewakili pemerintah dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara. Pembentukan
badan/lembaga pengawas bertujuan untuk memastikan bahwa
penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku dan demi meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang
dari dokter maupun rumah sakit. Berbagai badan/lembaga pengawas telah
dibentuk oleh pemerintah demi tercapainya tujuan ini, di antaranya adalah
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dan Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
MKDKI sebagai salah satu lembaga yang dibentuk dengan fungsi
pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dibentuk
berdasarkan mandat yang terdapat pada UU PRADOK dengan tujuan untuk

8
menegakkan disiplin profesional dokter dan dokter gigi di Indonesia.
Penegakan disiplin yang dimaksud merupakan tindakan penegakan aturan-
aturan dan/atau ketentuan-ketentuan penerapan keilmuan dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran yang harus ditaati dan diikuti oleh dokter
dan dokter gigi.
Jika ditinjau berdasarkan ketentuan hukum yang ada, jelas dinyatakan
bahwa MKDKI merupakan sebuah lembaga yang otonom dari KKI yang
bersifat independen. Hal ini memiliki makna bahwa MKDKI dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun.
MKDKI memiliki peran sangat penting dalam penegakan disiplin profesional
dokter dan dokter gigi di Indonesia. Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi
yang dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
tindakan yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang tidak berkompeten,
serta guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan menjaga kehormatan
profesi kedokteran dan kedokteran gigi.
Berdasarkan data yang diperoleh Penulis, dapat diketahui bahwa terkait
dengan penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi merupakan
kewenangan MKDKI, sedangkan untuk pelanggaran etika dokter dan dokter
gigi merupakan kewenangan dari MKEK.14 Kedua lembaga ini saling
berkaitan karena suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenakan sanksi
disiplin profesi.15
Penegakan disiplin yang dilakukan oleh MKDKI didasarkan pada
ketentuan Pasal 55-70 UU PRADOK. Pengaturan yang lebih rinci mengenai
penegakan disiplin oleh MKDKI dimuat dalam Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor: 15/KKI/PER/VIII/2006. Pada tahun 2011, Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor: 15/KKI/PER/VIII/2006 digantikan dengan

14
Beberapa contoh pelanggaran etik kedokteran yaitu: pemaksaan pasien pulang,
penolakan pasien kondisi terminal, pengabaian informed consent, pengabaian rekam medis,
menahan-nahan pasien/tidak segera merujuk, menghalalkan tindakan medis yang tidak seharusnya
(misal: aborsi), tidak mengungkapkan medical error, mengabaikan tanggung jawab profesional,
pemberian resep yang tidak bertanggung jawab, perilaku seksual menyimpang, kecurangan
akademik, pengiklanan diri, dan sebagainya. Lihat: Humaryanto, Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Dalam Penanganan Pelanggaran Etika Kedokteran, (Jakarta: IDI, 2014), 7-8, 13, 27.
15
Ibid., 14.

9
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja MKDKI dan MKDKI-P.
Penegakan disiplin profesional dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh
MKDKI tentunya dilakukan bukan tanpa pedoman/acuan. Pedoman/acuan
yang digunakan MKDKI adalah Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi
Kedokteran, yang kemudian digantikan dengan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi. Setidaknya terdapat 28 (dua puluh delapan) jenis pelanggaran
disiplin profesional dokter dan dokter gigi yang diatur dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011.
Menurut ketentuan Pasal 66 UU PRADOK dan Pasal 3 Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, dalam rangka penegakan disiplin
profesional dokter dan dokter gigi, MKDKI memiliki tugas untuk menerima
pengaduan, memeriksa, dan memutus kasus dugaan pelanggaran disiplin
profesional dokter dan dokter gigi. Pengaduan yang diajukan tersebut dapat
berasal dari individu maupun korporasi (badan hukum) yang mengetahui
adanya dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran, atau yang merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter dan dokter gigi tersebut dalam menjalankan praktik kedokteran (baik
secara tertulis dan/atau lisan).
Mengenai tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran disiplin
profesional dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI tunduk pada
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor: 16/KKI/PER/VIII/2006. Pada
tahun 2011, peraturan ini digantikan dengan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, sebelum akhirnya pada tahun 2014 peraturan
tersebut digantikan untuk kedua kalinya dengan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi.
Dijelaskan dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20
Tahun 2014, bahwa terdapat beberapa tahapan dalam penanganan kasus

10
dugaan pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi. Tahapan
tersebut terdiri atas:
1. Tahap penyampaian pengaduan. Penyampaian pengaduan (baik secara
lisan maupun tertulis) kepada MKDKI/MKDKI-P oleh orang/badan
hukum yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran atau yang merasa
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dan dokter gigi tersebut
dalam menjalankan praktik kedokteran.
2. Tahap pemeriksaan awal. Majelis melakukan pemeriksaan awal dalam
rangka untuk memutuskan dapat diterima atau tidaknya pengaduan yang
diajukan.
3. Tahap pemeriksaan disiplin. Jika pengaduan diterima oleh
MKDKI/MKDKI-P maka akan dilakukan pemeriksaan disiplin oleh
Majelis Pemeriksa Disiplin. Dalam tahap ini akan dilakukan investigasi
guna mengumpulkan informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan
peristiwa yang diadukan.
4. Tahap sidang pemeriksaan disiplin. Pada tahap ini akan dilakukan
pembuktian terhadap peristiwa yang diadukan.
5. Tahap penerbitan keputusan Majelis Pemeriksa Disiplin. Pada tahap ini
Majelis Pemeriksa Disiplin akan memutuskan ada atau tidaknya
pelanggaran disiplin profesional yang dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi yang diadukan, serta menetapkan sanksi.
6. Tahap pengajuan keberatan. Teradu diberikan waktu 30 (tiga puluh) hari
untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan Majelis Pemeriksa
Disiplin.
7. Tahap penerbitan keputusan MKDKI. Keputusan Majelis Pemeriksa
Disiplin hasil pemeriksaan disiplin terhadap dugaan pelanggaran disiplin
profesional dokter dan dokter gigi yang diadukan kemudian ditetapkan
sebagai keputusan MKDKI.
8. Tahap pelaksanaan keputusan MKDKI. Keputusan MKDKI yang
menetapkan sanksi disiplin terhadap teradu disampaikan kepada KKI

11
untuk dilaksanakan. Dalam waktu 7 (tujuh) hari, KKI wajib menetapkan
keputusan KKI tentang Pelaksanaan Keputusan MKDKI.
Berdasarkan berbagai ketentuan hukum yang diperoleh (baik undang-
undang maupun Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia), sangat jelas
dinyatakan bahwa MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk
memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesional dokter dan
dokter gigi, serta menentukan sanksi atas pelanggaran tersebut. Keputusan
mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesional dokter dan
dokter gigi, beserta sanksi yang diberikan terhadap dokter, tertuang dalam
bentuk surat keputusan MKDKI.
Dijelaskan dalam Pasal 5 huruf i Peraturan Konsil Kedokteran Nomor 3
Tahun 2011, bahwa salah satu wewenang yang dimiliki oleh MKDKI adalah
melaksanakan keputusan MKDKI sebagaimana kewenangan MKDKI. Namun
dalam implementasinya, MKDKI tidak dapat melaksanakan keputusannya
yang berisikan penjatuhan sanksi terhadap dokter atau dokter gigi yang
dinyatakan telah melakukan pelanggaran disiplin profesional dokter dan
dokter gigi. Keputusan MKDKI yang berisikan penjatuhan sanksi tersebut
harus dilaporkan kepada KKI untuk mendapatkan penetapan pelaksanaan.
Mengenai kasus yang dikaji dalam tulisan ini, dua orang dokter (Y dan Z)
dinyatakan telah terbukti melakukan pelanggaran disiplin oleh MKDKI.
MKDKI menetapkan sanksi disiplin bagi kedua dokter berupa pencabutan
STR selama 2 (dua) bulan. Namun sanksi disiplin yang diberikan kepada
kedua dokter tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh MKDKI, melainkan harus
dilaporkan kepada KKI untuk mendapatkan penetapan pelaksanaan agar
sanksi disiplin tersebut bisa dilaksanakan.
Telah ditetapkan dalam Pasal 64 Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 20 Tahun 2014 bahwa waktu yang diberikan kepada KKI
untuk menerbitkan penetapan pelaksanaan keputusan MKDKI adalah paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah petikan keputusan MKDKI tersebut diterima.
Pengaturan mengenai jangka waktu penerbitan penetapan pelaksanaan
keputusan MKDKI oleh KKI merupakan salah satu bagian yang mengalami

12
perubahan dari ketentuan yang sebelumnya (Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor: 16/KKI/PER/VIII/2006 dan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 2 Tahun 2011). Berikut adalah matriks perbandingan dari
ketiga aturan tersebut:
Peraturan Konsil Pasal 37 Ayat (2)
Kedokteran Pelaksanaan Keputusan MKDKI atau Keputusan
Indonesia Nomor: MKDKI-P tentang sanksi rekomendasi pencabutan Surat
16/KKI/PER/VIII/20 Tanda Registrasi (STR) sebagaimana dimaksud pada
06 Ayat (1) dilaksanakan selambar-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal dan hari diterimanya
Keputusan MKDKI atau Keputusan MKDKI-P oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
Peraturan Konsil (tidak ada pengaturan secara tegas mengenai jangka
Kedokteran waktu penerbitan penetapan pelaksanaan Keputusan
Indonesia Nomor 2 MKDKI)
Tahun 2011
Peraturan Konsil Pasal 64 Ayat (1)
Kedokteran KKI menetapkan Keputusan KKI tentang Pelaksanaan
Indonesia Nomor 20 Keputusan MKDKI dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
Tahun 2014 hari kerja setelah diterimanya petikan Keputusan
MKDKI.

Berdasarkan ketiga ketentuan di atas, terlihat bahwa terdapat beberapa


perubahan mengenai jangka waktu penerbitan penetapan pelaksanaan
keputusan MKDKI oleh KKI. Pada ketentuan yang pertama (Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor: 16/KKI/PER/VIII/2006) telah ditetapkan
bahwa dalam hal MKDKI telah menetapkan sanksi disiplin profesional berupa
rekomendasi pencabutan STR, maka KKI akan menerbitkan penetapan
pelaksanaan atas sanksi tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya keputusan MKDKI oleh KKI. Namun perubahan yang signifikan
terdapat pada ketentuan yang berikutnya (Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 2 Tahun 2011) di mana ketentuan mengenai jangka waktu
penerbitan penetapan pelaksanaan keputusan MKDKI oleh KKI dihapuskan.
Di sini terdapat celah hukum karena pada ketentuan tersebut tidak ditetapkan
secara jelas dan tegas kapan KKI harus menerbitkan penetapan pelaksanaan
keputusan MKDKI. Kemudian pada ketentuan yang terakhir (Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014) pengaturan mengenai jangka

13
waktu penerbitan penetapan pelaksanaan keputusan MKDKI oleh KKI ini
kembali ditentukan secara jelas dan tegas, yaitu 7 (tujuh) hari kerja.
Menurut data yang diperoleh oleh Penulis, sampai dengan kasus ini
diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 29 Agustus 2012, KKI belum
menerbitkan penetapan pelaksanaan sanksi disiplin. Hal ini tentu
menimbulkan tanda tanya besar, mengapa Surat Keputusan MKDKI yang
menjatuhkan sanksi terhadap dokter atau dokter gigi yang terbukti telah
melakukan pelanggaran disiplin profesional tidak dapat dilaksanakan? Apa
yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan sanksi disiplin yang diberikan
oleh MKDKI? Berdasarkan data yang diperoleh Penulis, diketahui bahwa
sebelumnya MKDKI telah menerbitkan Surat Keputusan MKDKI Nomor:
129/KEP/MKDKI/V/2010 yang isinya menyatakan bahwa telah terjadi
pelanggaran disiplin profesional kedokteran yang dilakukan oleh dokter Y dan
dokter Z. Pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran butir 6, 7, dan 8,
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor: 17/KKI/KEP/VIII/2006
tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Dokter, yang kemudian
digantikan dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun
2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Pelanggaran yang dimaksud dalam keputusan MKDKI tersebut yaitu:
a. Butir 6 : Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya
dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien.
b. Butir 7 : Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien.
c. Butir 8 : Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai
(adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran.
Terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kedua dokter tersebut, maka
MKDKI menjatuhkan sanksi berupa rekomendasi pencabutan Surat Tanda

14
Registrasi (STR) dari kedua dokter tersebut untuk jangka waktu 2 (dua)
bulan. Namun sanksi tersebut hanya bersifat “rekomendasi”, karena sanksi
tersebut harus disampaikan kepada KKI untuk memperoleh penetapan
pelaksanaan. Pengaturan mengenai sanksi disiplin yang dapat diberikan oleh
MKDKI juga merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan
sebagaimana yang terdapat pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 16/KKI/PER/VIII/2006, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 2 Tahun 2011, dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20
Tahun 2014. Berikut adalah matriks perbandingan dari ketiga ketentuan
tersebut:
Peraturan Konsil Pasal 28
Kedokteran (1) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
Indonesia Nomor: Ayat (2) huruf b dapat berupa:
16/KKI/PER/VIII/ a. Pemberian peringatan tertulis;
2006 b. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Rekomendasi pencabutan STR atau SIP sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) huruf b dapat berupa
rekomendasi pencabutan STR atau SIP sementara
selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau rekomendasi
pencabutan STR atau SIP tetap atau selamanya.
(3) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi,
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c dapat
berupa:
a. Pendidikan formal;
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan/atau
keterampilan, magang di institusi pendidikan atau
sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana
pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun.
(4) Sebagai bukti telah melaksanakan kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) huruf c ditetapkan oleh kolegium terkait.

15
Peraturan Konsil Pasal 52 Ayat (2) huruf b
Kedokteran b. Pemberian sanksi disiplin berupa:
Indonesia Nomor 1. Peringatan tertulis;
2 Tahun 2011 2. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan,
yang dapat dilakukan dalam bentuk:
a) Reedukasi formal di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi yang
terakreditasi; atau
b) Reedukasi nonformal yang dilakukan di bawah
supervisi dokter atau dokter gigi tertentu di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan
kesehatan dan jejaringnya, atau fasilitas
pelayanan kesehatan lain yang ditunjuk,
sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling
lama 1 (satu) tahun.
3. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang
bersifat:
a) Sementara paling lama 1 (satu) tahun;
b) Tetap atau selamanya; atau
c) Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada
suatu area ilmu kedokteran atau kedokteran gigi
dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Peraturan Konsil Pasal 48 Ayat (2)
Kedokteran (2) Keputusan MPD sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
Indonesia Nomor dapat berupa:
20 Tahun 2014. a. Dinyatakan tidak ditemukan pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi;
b. Dinyatakan teradu terbukti melakukan pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi dengan pemberian
sanksi berupa:
1. Peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pencabutan STR yang bersifat:
a) Sementara paling lama 2 (dua) tahun, dapat
berupa:
1) Pencabutan seluruh kewenangan untuk
melakukan praktik kedokteran; atau
2) Pencabutan kewenangan pada area
kompetensi tertentu untuk melakukan
praktik kedokteran.
b) Tetap atau selamanya.
3. Kewajiban mengikuti pendidikan pelatihan
dalam bentuk:
a) Mengikuti pendidikan pelatihan kedokteran
berkelanjutan yang terakreditasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
b) Bekerja di bawah supervisi (magang) di
institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas

16
pelayanan kesehatan dan jejaringnya, atau
fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
ditentukan.

Berdasarkan ketiga ketentuan di atas, dapat terlihat bahwa terdapat


beberapa perubahan ketentuan mengenai sanksi disiplin yang dapat diberikan
oleh MKDKI. Perubahan yang sangat jelas yaitu mengenai jangka waktu
maksimal atas sanksi disiplin berupa rekomendasi pencabutan STR yang
bersifat sementara (yang mulanya ditentukan maksimal 1 tahun, diubah
menjadi maksimal 2 tahun). Selain itu, sanksi disiplin berupa rekomendasi
pencabutan SIP tidak lagi dijadikan sebagai opsi sanksi disiplin pada
ketentuan yang terbaru. Namun rekomendasi pencabutan STR yang diberikan
oleh MKDKI dapat menyebabkan dokter atau dokter gigi kehilangan
kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran (baik seluruh atau pada
area kompetensi tertentu).
Mengenai kasus yang dikaji dalam penelitian ini, sanksi yang dijatuhkan
MKDKI terhadap dokter Y dan dokter Z berupa rekomendasi pencabutan
STR selama 2 (dua) bulan yang dimuat dalam Keputusan MKDKI Nomor:
129/KEP/MKDKI/V/2010. Kemudian kedua dokter diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan atas Keputusan MKDKI Nomor:
129/KEP/MKDKI/V/2010 dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Hal ini
dilakukan karena kedua dokter memiliki hak untuk mengajukan keberatan
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 31 Ayat (2) Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor: 16/KKI/PER/VIII/2006, yang kemudian
diubah dengan Pasal 55 Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 20 Tahun 2014.
Pada tanggal 23 Juni 2010, keberatan terhadap Keputusan MKDKI
Nomor: 129/KEP/MKDKI/V/2010 diajukan oleh kedua dokter tersebut.
Terhadap keberatan yang diajukan, MKDKI kemudian menerbitkan Surat
Keputusan MKDKI Atas Keberatan Terhadap Keputusan MKDKI Nomor:

17
129/KEP/MKDKI/V/2010 pada tanggal 30 Maret 2011 yang menyatakan
penolakan atas keberatan yang diajukan oleh kedua dokter dan menetapkan
tetap diberlakukannya sanksi disiplin berupa rekomendasi pencabutan STR
selama 2 (dua) bulan.
Setelah diterbitkan Keputusan MKDKI Atas Keberatan Terhadap
Keputusan MKDKI Nomor: 129/KEP/MKDKI/V/2010, MKDKI kemudian
menyampaikan salinan keputusan MKDKI tersebut kepada KKI untuk
memperoleh penetapan pelaksanaan sanksi disiplin. Namun penetapan
pelaksanaan sanksi tersebut tidak kunjung diterbitkan oleh KKI atau dengan
kata lain sanksi tersebut belum dilaksanakan oleh KKI.16 Sampai dengan
kasus ini diajukan ke PTUN Jakarta, kedua dokter pun masih melaksanakan
praktik kedokteran.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa KKI tidak
menerbitkan penetapan pelaksanaan terhadap sanksi yang diberikan oleh
MKDKI kepada kedua dokter? Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 64
Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014 telah
ditetapkan mengenai batas waktu yang diberikan pada KKI untuk
menerbitkan penetapan pelaksanaan dari keputusan MKDKI adalah paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya petikan keputusan MKDKI.
Maka dari itu sudah selayaknya KKI mentaati ketentuan tersebut.
Berpijak pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf c Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 52 Ayat (1) Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014, maka sangat jelas
bahwa KKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menerbitkan STR
dokter dan dokter gigi, serta mencabut STR tersebut dalam hal dokter dan
dokter gigi dikenakan sanksi disiplin oleh MKDKI. Berikut adalah matriks
ketentuan hukum yang mendasari kewenangan KKI tersebut:

16
Indonesia, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 84G/2011/PTUN-
JKT, 58.

18
Peraturan Konsil Pasal 7 Ayat (1) huruf c
Kedokteran KKI mempunyai wewenang menerbitkan dan mencabut
Indonesia Nomor 1 STR dokter dan dokter gigi.
Tahun 2011
Peraturan Konsil Pasal 5 huruf i
Kedokteran MKDKI mempunyai wewenang melaksanakan keputusan
Indonesia Nomor 3 MKDKI yang menjadi kewenangan MKDKI.
Tahun 2011
Peraturan Konsil Pasal 52 Ayat (1)
Kedokteran Jika teradu dikenakan sanksi disiplin berupa rekomendasi
Indonesia Nomor 20 pencabutan surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud
Tahun 2015 dalam Pasal 51, KKI mencabut STR teradu.

Dari ketiga ketentuan hukum tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat


pertentangan/ketidaksesuaian ketentuan hukum. Pada Pasal 5 huruf i
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 dikatakan
bahwa MKDKI berwenang melaksanakan keputusan MKDKI sesuai
kewenangan MKDKI, tetapi pada dua aturan lainnya (Pasal 7 Ayat (1)
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 52
Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014)
dikatakan bahwa dalam hal pemberian sanksi disiplin berupa rekomendasi
pencabutan STR yang dikenakan terhadap dokter, maka pelaksanaan sanksi
tersebut dilakukan oleh KKI.
Lebih lanjut mengenai kewenangan KKI telah dipertegas oleh Pasal 55
Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014. Pada
ketentuan tersebut dikatakan bahwa KKI merupakan lembaga yang
berwenang untuk mencabut STR terhadap dokter yang dinyatakan telah
melakukan pelanggaran disiplin kedokteran.
Berdasarkan beberapa ketentuan hukum yang telah disampaikan, maka
dapat dikatakan bahwa terdapat ketidakwajaran pada kasus yang dikaji dalam
penelitian ini. Ketidakwajaran yang dimaksud adalah mengenai tindakan KKI
yang begitu lama menerbitkan penetapan pelaksanaan dari sanksi disiplin
yang diberikan MKDKI. Padahal telah dinyatakan secara jelas dan tegas
dalam Pasal 64 Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20

19
Tahun 2014 bahwa jangka waktu menerbitkan penetapan pelaksanaan sanksi
disiplin tersebut yaitu 7 (tujuh) hari kerja.
Selain itu, dari beberapa ketentuan yang telah disampaikan/diuraikan
sebelumnya, tidak didapati satupun ketentuan yang mengatur bahwa KKI
dapat menangguhkan/menunda Keputusan MKDKI mengenai pemberian
sanksi disiplin. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa tindakan KKI yang
tidak menerbitkan penetapan pelaksanaan sanksi disiplin merupakan tindakan
yang tidak dapat dibenarkan.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa MKDKI
merupakan suatu lembaga otonom dari KKI yang bertugas untuk
melaksanakan penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi. Penegakan
disiplin profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI diawali
dengan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran disiplin profesi
dokter dan dokter gigi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencari
kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi dokter
atau dokter gigi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengadu. Maka
dari itu, tindakan pemberian sanksi disiplin oleh MKDKI merupakan suatu
tindakan yang diambil berdasarkan mekanisme pemeriksaan sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun
2014 dan bukan merupakan suatu tindakan sewenang-wenang/tanpa dasar.
Berdasarkan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwa penegakan disiplin
profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI menemui
hambatan. Hambatan tersebut berasal dari KKI sendiri. KKI yang memiliki
peran serta dalam melaksanakan (eksekutor) sanksi disiplin yang telah
ditetapkan oleh MKDKI sebelumnya, pada kenyataannya tidak melakukan
tindakan yang semestinya sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014. Hal ini mengakibatkan
sanksi disiplin (terhadap dokter atau dokter gigi yang terbukti melakukan
pelanggaran disiplin) yang diberikan oleh MKDKI hanya merupakan
keputusan yang tertulis di atas kertas belaka. Hal ini dikarenakan keputusan

20
MKDKI tersebut menemui jalan buntu dalam pelaksanaannya atau tidak
dapat dilaksanakan.
Sebagaimana yang telah disampaikan, bahwa Penulis tidak mendapati
satu pun aturan hukum yang memberikan peluang bagi KKI untuk menunda
dan/atau bahkan membatalkan sanksi disiplin yang telah ditetapkan oleh
MKDKI. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tindakan KKI yang
menunda/menangguhkan pelaksanaan sanksi disiplin merupakan tindakan
yang tanpa dasar dan tidak dapat dibenarkan. Dengan kata lain, bahwa KKI
telah melanggar ketentuan yang telah dibuatnya sendiri, yaitu Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 dan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014.
Dengan keadaan seperti ini, penegakan disiplin profesi dokter dan dokter
gigi yang dilakukan oleh MKDKI menjadi tidak produktif. Hal ini disebabkan
karena adanya benturan wewenang antara MKDKI dan KKI, khususnya
dalam hal penjatuhan sanksi disiplin berupa pencabutan STR terhadap dokter
yang telah terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter
gigi. Selain itu, KKI yang diharuskan untuk menerbitkan penetapan
pelaksanaan sanksi disiplin (sebagai eksekutor), pada kenyataannya tidak
menjalankan tugas sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014. Hal ini menunjukkan
bahwa KKI tidak konsisten dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Keadaan ini tentu tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal
55 Ayat (2) UU PRADOK jo. Pasal 43 Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011. Pada ketentuan tersebut, dinyatakan bahwa
MKDKI merupakan lembaga otonom dari KKI yang bersifat independen
dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya MKDKI tidak dapat
melaksanakan sanksi disiplin yang diberikan terhadap dokter atau dokter gigi
yang telah melakukan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi. Sanksi
disiplin yang ditetapkan oleh MKDKI masih membutuhkan penetapan
pelaksanaan dari KKI.

21
III. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, maka Penulis berkesimpulan
sebagai berikut:
Dalam penyelenggaraan praktik kedokteran setidaknya terdapat 3 (tiga)
jenis pelanggaran, yaitu: (a) pelanggaran hukum/malpraktik; (b)
pelanggaran disiplin; dan (c) pelanggaran etik. Ketiga jenis pelanggaran ini
dibedakan karena terkait dengan pedoman yang digunakan dan juga
lembaga yang berwenang untuk memeriksa serta mengadili pelanggaran
tersebut. Di antara ketiga pelanggaran tersebut, MKDKI merupakan
lembaga otonom bagian dari KKI yang dibentuk dengan tujuan untuk
menegakkan disiplin profesional dokter dan dokter gigi di Indonesia,
sedangkan untuk menegakkan kode etik kedokteran merupakan tugas dan
wewenang dari MKEK. MKDKI merupakan lembaga yang bersifat
independen dalam menegakkan disiplin profesional dokter dan dokter gigi.
Dalam hal adanya dugaan pelanggaran disiplin profesi, maka MKDKI
akan menerima laporan, memeriksa, dan memutus dugaan pelanggaran
tersebut. Keputusan yang dikeluarkan MKDKI bersifat final dan
berkekuatan tetap, serta mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat (teradu,
KKI, dan dinas kesehatan kabupaten/kota terkait). Sifat final dan
berkekuatan hukum tetap dari Keputusan MKDKI memiliki makna bahwa
tidak ada upaya hukum atas Keputusan MKDKI. Keputusan MKDKI yang
berisikan penjatuhan sanksi disiplin (khususnya berupa pencabutan STR)
terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan pelanggaran disiplin
profesi harus dilaporkan kepada KKI untuk mendapatkan penetapan
pelaksanaan atas sanksi disiplin tersebut. Peran KKI dalam konteks ini
adalah sebagai eksekutor atas sanksi disiplin yang ditetapkan oleh
MKDKI. Hal ini dikarenakan tindakan pencabutan STR dokter dan dokter
gigi merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh KKI. Namun
penerbitan penetapan pelaksanaan atas sanksi disiplin oleh KKI masih
seringkali menggantung hingga berlarut-larut, sehingga penegakan disiplin

22
profesional dokter dan dokter gigi menjadi menggantung tanpa adanya
kepastian hukum. Baik pada UU PRADOK maupun Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia, tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan
bahwa KKI berhak untuk menangguhkan atau bahkan membatalkan sanksi
disiplin yang telah ditetapkan oleh MKDKI. Bahkan ketentuan Pasal 52
Ayat (1) jo. Pasal 64 Ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 20 Tahun 2014 secara tegas mengharuskan KKI untuk menerbitkan
penetapan pelaksanaan sanksi disiplin dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja,
namun ketentuan ini dilanggar oleh KKI sendiri. Tindakan KKI yang tidak
kunjung menerbitkan penetapan pelaksanaan atas sanksi disiplin
menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya sanksi disiplin tersebut.
Keadaan seperti ini menyebabkan penegakan disiplin profesi dokter dan
dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI menjadi tidak produktif. MKDKI
yang seharusnya independen dan otonom malah menjadi tidak berdaya
dalam melaksanakan sanksi disiplin, karena terkendala oleh wewenang
KKI.
B. Saran
1. Agar penegakan disiplin profesional dokter dan dokter gigi berjalan
konsisten sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini (Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014), maka perlu
adanya komitmen bersama guna penegakan disiplin profesi dokter dan
dokter gigi antara MKDKI, KKI, dan dinas kesehatan kabupaten/kota
setempat.
2. Perlu adanya revisi terhadap Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 1 Tahun 2011, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
3 Tahun 2011, dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20
Tahun 2014. Revisi diperlukan karena adanya ketidakharmonisan
peraturan antara wewenang yang dimiliki oleh MKDKI dan KKI,
khususnya wewenang untuk mencabut STR. Wewenang untuk
mencabut STR yang dimiliki oleh KKI, perlu direvisi menjadi
kewenangan MKDKI. Hal ini agar MKDKI dapat melaksanakan

23
sanksi disiplin tersebut secara langsung tanpa harus menunggu
dikeluarkannya penetapan pelaksanaan oleh KKI.

IV. Daftar Pustaka


A. Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ke-2. Jakarta: Sinar


Grafika, 2010.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Cardozo, Benjamin N. The Nature of Judicial Process. New Haven: Yale
University Press, 1949.
Fuady, Munir. Teori-teori Besar dalam Hukum (Grand Theory). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
Guwandi, J. Dugaan Malpraktik Medik dan Draf RPP: Perjanjian
Terapeutik (Perjanjian Terapeutik antara Dokter dan
Pasien). Jakarta: UI Press, 2005.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia
(Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya
oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara). Cetakan Ke-
1. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
_________________. Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi.
Surabaya: FH UNAIR, 1993.
_________________. Pengantar Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010.
Humaryanto. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Dalam Penanganan
Pelanggaran Etika Kedokteran. Jakarta: IDI, 2014.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum (Refleksi
dan Konstelasi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Jayasurya, DC. Health Law (International and Regional Perspective).
New Delhi: Har-Anand Publication PUT Ltd, 1997.
Jimly, Asshiddiqie. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: BIP, 2008.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russell &
Russell, 1945.
___________. General Theory of Law and State, terjemahan Wedberg.
Cambridge: Harvard University Press, 1973.
___________. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien. Cetakan Ke-9. Bandung: Nusa Media,
2014.
Koentjoro, Diana Halim dan Johanes Sardadi. Hukum Administrasi
Negara. Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2012.

24
Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen. Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha
Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.
Komalawati, Veronika. Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik (Suatu Tinjauan Yuridis Persetujuan dalam
Hubungan Dokter dan Pasien). Bandung: Citra Aditya, 1989.
KOMNAS HAM. Kompilasi Instrumen HAM Internasional. Cetakan Ke-
1. Jakarta: KOMNAS HAM, 2008.
Lennen, HJJ. Hand Book Gewold Heidsreecht. Alphen Aan Den Rijn:
Samson, 1988.
MKDKI. Penegakan Disiplin Kedokteran Indonesia oleh MKDKI.
Jakarta: MKDKI, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005.
____________________. Penelitian Hukum. Cetakan Ke-9. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2014.
ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris. Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2010.
Nawiasky, Hans. Allgemeine Rechtslehre als System der Rechtlichen
Grundbegriffe. Cetakan Ke-2. Zurich: Benziger, 1948.
Noddings, Nel. Philosophy of Education. California: Stanford University,
1998.
Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Triwibowo, Cecep. Etika dan Hukum Kesehatan. Cetakan Ke-1.
Yogyakarta: Nuha Medika, 2014.
Shidarta. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan.
Bandung: Utomo, 2006.
_______. Moralitas Profesi Hukum (Suatu Tawaran Kerangka Berpikir).
Cetakan Ke-2. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Sitabuana, Tundjung Herning. Penyelesaian Masalah Diskriminasi
Terhadap Etnis Cina (Studi Tentang Perkembangan Politik
Hukum di Bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia).
Jakarta: Konpress, 2014.
Siswati, Sri. Etika dan Hukum Kesehatan (Dalam Perspektif Undang-
Undang Kesehatan). Cetakan Ke-1. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum (Upaya Mewujudkan
Hukum yang Pasti dan Berkeadilan). Yogyakarta: UII Press,
2012.

25
Triwulan T., Titik dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.
Cetakan Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Wahyoepramono, Eka Julianta. Konsekuensi Hukum Dalam Profesi
Medik. Bandung: Karya Putra Darwati, 2012.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.
________. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
________. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316).
________. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1986 Nomor 77).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 165).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4358).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 9).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 35).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
________. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

26
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072).
________. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076).
________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5079).
________. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234).
________. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah
Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi
Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.
________. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
________. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585
Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
________. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Medik.
________. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 150
Tahun 2011 tentang Keanggotaan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia.
________. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
434/MENKES/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 15/KKI/PER/VIII/2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

27
dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di
Tingkat Provinsi.
_________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 16/KKI/PER/VIII/2006 tentang Tata Cara
Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter
dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi.
_________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 36/KKI/PER/VIII/2007 tentang Fungsi, Tugas, dan
Tata Kerja Konsil Kedokteran Indonesia.
_________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Konsil Kedokteran Indonesia.
________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi.
________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di Tingkat
Provinsi.
________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter
dan Dokter Gigi.
________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia.
________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter
Indonesia.
________________________. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi.
________________________. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan
Disiplin Profesi Kedokteran.
________________________. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 20/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar
Pendidikan Dokter.
________________________. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor: 21A/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar
Kompetensi Dokter.
________________________. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia Nomor 129/KEP/MKDKI/V/2009.

28
________________________. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia Atas Keberatan Terhadap Keputusan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Nomor
129/KEP/MKDKI/V/2009.

C. Putusan Pengadilan

Indonesia. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor:


237/PDT.G/2009/PN.JKT.UT.
________. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:
84G/2011/PTUN-JKT.
________. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta
Nomor: 242/B/2011/PT.TUN.JKT.
________. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
61K/TUN/1999.
________. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
210K/TUN/2011.
________. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
298K/TUN/2012.

D. Tesis/Disertasi

Andryawan. “Kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran


Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia Dalam
Penegakan Disiplin dan Kode Etik Kedokteran di Indonesia
(Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 298K/TUN/2012)”. Tesis. (Jakarta: Universitas
Tarumanagara, 2015).
Sitabuana, Tundjung Herning. “Penyelesaian Masalah Diskriminasi
Terhadap Etnis Cina (Studi Tentang Perkembangan Politik
Hukum di Bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia)”.
Disertasi. (Semarang: Universitas Diponegoro, 2011).

E. Makalah Ilmiah

Dollar. “Pertanggungjawaban Hukum Dokter dalam Malpraktek”.


Makalah yang dibawakan pada Seminar Pengenalan Hukum
Kesehatan, FH UNTAR, Jakarta, April 2015.

F. Artikel Internet

Adi, Tri. “Gugatan Malpraktik Rumah Sakit Siloam Karawaci Kandas,


AB Susanto akan Banding” (On-line). Tersedia di
http://nasional.kontan.co.id/news/gugatan-malpraktik-rs-
siloam-karawaci-kandas-ab-susanto-akan-banding (6 Maret
2015).

29
Anonim. “Pengertian Dokter dan Tugas Dokter” (On-line). Tersedia di
https://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-
dokter-dan-tugas-dokter/ (13 April 2015).
_______. “Profesi Dokter: Definisi, Kompetensi Dasar, dan Tugas
Dokter” (On-line). Tersedia di http://sehat.link/definisi-dan-
sejarah-terbentuknya-profesi-dokter.info (13 April 3015).
_______. “Rumah Sakit Siloam Digugat Pasien Lantaran Malpraktik”
(On-line). Tersedia di
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22810/rs-
siloam-digugat-pasien-lantaran-malpraktik (6 Maret 2015).
_______. “SK Rektor PTS Tetap Merupakan Objek PTUN?” (On-line).
Tersedia di
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16309/sk-
rektor-pts-tetap-merupakan-objek-ptun (2 Mei 2015).
Coco, Chocoraato. “MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia) dan MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran)”
(On-line). Tersedia di
https://www.academia.edu/4857157/I._MKDKI_Majelis_Keh
ormatan_Disiplin_Kedokteran_Indonesia_MKEK_Majelis_K
ehormatan_Etik_Kedokteran_ (13 April 2015).
Legawa, Cahya. “The Hippocratic Oath” (On-line), tersedia di
http://catatan.legawa.com/2009/04/the-hippocratic-oath/ (21
April 2015).
Priliawito, Eko dan Mohammad Adam. “Rumah Sakit Siloam Karawaci
Dituduh Lakukan Malpraktik” (On-line). Tersedia di
http://metro.news.viva.co.id/news/read/80898-
rs_siloam_karawaci_dituduh_ lakukan_malpraktik (6 Maret
2015).
Sofian. “Konsultan Senior AB Susanto Gugat Rumah Sakit Siloam” (On-
line). Tersedia di
http://www.tempo.co/read/news/2009/08/06/064191192/Kons
ultan-Senior-AB-Susanto-Gugat-Rumah-Sakit-Siloam (20
Oktober 2014).
Supriadi, Wila Ch. “Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan” (On-line).
Tersedia
dihttp://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-
pelayanan-kesehatan/ (25 September 2014).

G. Wawancara

Abudan, Muhammad. Wawancara dengan penulis. Fakultas Hukum


Universitas Tarumanagara, 30 April 2015.
Alwy, Sabir. Wawancara dengan penulis, Sekretariat Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, 20 April 2015.

30
BS, Dwi Andayani. Wawancara dengan penulis, Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara, 30 April 2015.
Memi, Cut. Wawancara dengan penulis, Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara, 5 Mei 2015.
Ruchimat, Tatang. Wawancara dengan penulis, Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara, 5 Mei 2015.

31

You might also like