Ramalan Timur Kuran Tentang Masa Depan Ekonomi Islam: Sebuah Respons
Ramalan Timur Kuran Tentang Masa Depan Ekonomi Islam: Sebuah Respons
Ramalan Timur Kuran Tentang Masa Depan Ekonomi Islam: Sebuah Respons
Ahmad Ubaidillah
Program Studi Ekonomi Syariah
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan (UNISLA)
e-mail: [email protected]
Pendahuluan
Salah satu fenomena yang paling menarik dalam sejarah dunia modern adalah
penaklukan dua kali lipat negara-negara Timur oleh negara-negara Barat. Kata “penaklukan”
biasanya dihubungkan dengan pengertian politis dan pengerahan tentara-tentara perang
untuk menundukkan negara-negara asing. Penaklukan politis di Asia Timur ini sudah benar-
benar terjadi, dan kita baru saja menyaksikan bagaimana, selama seabad yang lalu, negara-
negara Timur Tengah dan Timur Dekat yang lemah itu dengan mudah menjadi sasaran
kekuatan tentara-tentara Eropa. Namun, apa yang luput dari pengamatan banyak orang
bahwa penaklukan politis ini ternyata diiringi dengan penaklukan ekonomi, bahkan mungkin
yang paling sempurna dan jelas, yang telah menciptakan perubahan paling dalam dan
kronis.1
Meskipun demikian, kolonialisme atas dunia muslim oleh negara-negara Barat telah
menciptakan sejarahnya yang paling kritis tetapi kreatif. Di balik adanya kebebasan politik
dan keluwesan ekonomi, pola kehidupan yang dipaksakan atas kaum muslim selama masa
penjajahan yang diperkuat secara lebih halus pada masa pascapenjajahan, pada hakikatnya
tidak berubah. Kebangkitan dunia muslim terhadap sistem-sistem politik-ekonomi
dipaksakan kepada mereka, baik langsung di bawah pemerintahan asing maupun lewat
pengaruh terus-menerus kelompok elite pribumi yang terbaratkan. Kebanyakan golongan
elite ini terasing dari rakyat dan tradisi mereka sendiri, sementara kepentingan mereka
agaknya sejalan dengan kepentingan golongan elite Barat yang dominan.
Kebangkitan kembali Islam melambangkan gagalnya sebagian besar model Barat–
Demokrasi Sekuler, Nasionalisme Kedaerahan atau Kebahasaan, Kapitalisme Individualistis,
dan Sosialisme Totaliter, sebagai contoh yang paling menonjol saja yang menanamkan
akarnya dalam masyarakat muslim dan memikat rakyatnya. Itulah sebabnya, usaha
memperkenalkan suatu sistem sekular di bawah bumi muslim selalu berlangsung di bawah
naungan pemerintahan yang zalim. Rakyat muslim saat ini sedang berjuang menampilkan
dirinya kembali dengan berusaha menanggalkan berbagai model westernisasi atau lebih
tepatnya “dominasi Barat”, dari pundaknya dan membebaskan diri dari para penjahat
pribumi. “Revolusi Islam”, yang melambangkan gerakan suci menuju terciptanya suatu
peradaban baru, merupakan sasaran upaya umat dalam membentuk masa depan mereka, baik
itu di Iran, Sudan, Pakistan, Turki, maupun di tempat-tempat lain.2
Mengapa agama, dalam hal ini Islam, menjadi kekuatan yang sedemikian menonjol?
Sebab-sebab kebangkitan cukup banyak dan perlu diapresiasi dalam konteks khusus, dari
negeri per negeri, dan wilayah per wilayah. Namun, menurut pengamatan John L. Esposito,
beberapa fenomena dapat dikenali sebagai fenomena umum pada pengalaman muslim
kontemporer: Pertama, krisis identitas yang diawali dengan rasa kegagalan, kehilangan
identitas, dan kurangnya penghargaan diri. Kedua, kekecewaan terhadap Barat; kegagalan
banyak penguasa muslim dan pemerintahan-pemerintahan berilham Barat mereka untuk,
secara memadai, merespon kebutuhan politik dan sosio-ekonomi masyarakat mereka. Ketiga,
perasaan bangga dan kuat yang baru saja ditemukan akibat keberhasilan militer (perang
Arab-Israel) dan ekonomi (embargo minyak) pada tahun 1973 dan revolusi Iran 1978-1979;
dan keempat, pencarian identitas yang lebih otentik yang berakar pada Islam masa lalu.3
1
Lothrop Stoddard, The New World of Islam (London: Chapman dan Hall, LTD, 2008), 106
2
Khurshid Ahmad, “Kata Pengantar” untuk buku Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami karya Syed
Nawab Haider Naqvi, alih bahasa Husin Anis dan Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1993), 27-28
3
John L. Esposito, Islam the Straight Path, alih bahasa Arif Mahtuhin (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2010),
214
Kebangkitan Islam yang sedang berlangsung di hampir semua negara muslim tersebut
telah menciptakan kebutuhan akan sebuah gambaran integratif dan jelas dari program yang
akan ditawarkan oleh Islam untuk mewujudkan kebahagiaan yang dicita-citakan dan
menjelaskan berbagai persoalan yang kini sedang dihadapi umat manusia, terutama di bidang
ekonomi. Yang cukup menarik perhatian adalah sebuah strategi yang dapat mengurangi,
sampai batas yang dapat ditoleransi, keseimbangan eksternal dan makroekonomi yang kini
tengah dialami sebagian besar negara-negara di dunia, dan sebuah strategi yang mampu
membuat mereka mencapai kesempatan kerja penuh, mengentaskan kemiskinan, memenuhi
kebutuhan pokok, dan meminimalkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan.4
Tidak dapat disangkal bahwa banyak gerakan keagamaan fundamentalistis yang
memiliki agenda ekonomi. Gerakan ini muncul guna merekonstruksi sistem ekonomi yang
sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing. Oleh sebab itu, kita kerapkali
mendengar ekonomi Kristen, Sosialisme Budha, ekonomi Hindu, atau ekonomi Islam.
Agenda utama ekonomi gerakan fundamentalistis terlihat berbeda dengan ekonomi
konvensional (kapitalisme dan sosialisme). Setiap agenda ekonomi yang mereka usung
memiliki warisan dan ciri filosofis yang berbeda serta wacana yang unik. Ekonomi
fundamentalistis hampir tidak mau saling bertukar gagasan dan saling meminjam metode.
Kita bisa membaca ribuan halaman literatur yang membahas ekonomi Islam, misalnya, yang
tidak mau “menyapa” referensi yang mengkaji ekonomi Kristen, dan begitu juga sebaliknya.
Ekonomi semacam ini mempunyai tujuan menggantikan pemikiran ekonomi sekuler.
Berkaitan dengan ketidakmauan saling menyinggung ajaran masing-masing ekonomi
ini, Timur Kuran mengamati setidaknya ada dua faktor. Pertama, masing-masing doktrin
ekonomi fundamentalistis menonjolkan kebaikan dan superioritas agama masing-masing.
Kedua, setiap doktrin ekonomi fundamentalistis menampilkan bentuk ekspresi yang berbeda
di mana orang luar dapat menembus hanya dengan pelatihan. Sikap saling menjauhkan diri
dari masing-masing doktrin ini sangat bertentangan dengan kesadaran dan keterbukaan
masing-masing terhadap pemikiran ekonomi sekuler. Doktrin ekonomi fundamentalistis
meminjam tradisi intelektual yang secara pura-pura mereka maksudkan untuk menggantikan
sosialisme Marxian dan berbagai tradisi sekuler yang mempromosikan sistem ekonomi pasar.
Pada hakikatnya, blueprint ekonomi yang ada dalam doktrin-doktrin ini menunjukkan
beberapa perbedaan yang penting. Penghapusan bunga adalah tujuan utama ekonomi Islam,
namun hampir tidak menjadi persoalan dalam ekonomi Hindu. Ekonomi Budha mendorong
pembangunan tempat-tempat suci, suatu hal yang bertentangan dengan ekonomi Kristen.
Untuk menghindari perbedaan-perbedaan subtantif ini, ada persamaan-persamaan utama
dalam pesan ekonominya, kecenderungan retorisnya, dan penyesuaian pragmatisnya.
Selain itu, kalau dipahami secara mendalam, ekonomi Hindu digerakkan oleh
keinginan untuk menjaga perekonomian tradisional India yang bersifat tertutup dan
melindungi persaingan dari pihak asing. Kebijakan ini melindungi kepentingan pengusaha
toko, profesional, dan pegawai negeri guna mempertahankan status quo, namun melukai
4
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, alih bahasa Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani,
2006), xv
masyarakat konsumen yang lebih luas. Ekonomi Islam adalah salah satu komponen gerakan
revivalis lebih luas yang bertujuan melawan dominasi pemikiran Barat yang melanda
pemikiran orang-orang muslim dan menegaskan kembali superioritas komunitas muslim.
Banyak kontribusi dalam ekonomi Islam yang mengaburkan motivasi dasar. Literatur-
literatur seringkali menciptakan kesan bahwa ini bertujuan menegakkan keadilan dan
efisiensi. Ekonomi Budha menonjolkan ketentuan-ketentuan yang melindungi status sosio-
ekonomi para rahib Budha. Tujuannya lebih mulia, yaitu membebaskan manusia dari
belenggu materialisme. Ekonomi Kristen Protestan berbeda dari ekonomi libertarian
meskipun beberapa literatur memberikan kesan bahwa keduanya equivalen. Ekonomi Kristen
tidak hanya menentang pemerintahan secara umum, tetapi juga pemerintahan bukan Kristen.
Cakupan cita-cita libertarian dan gerakan strategisnya bertujuan membangun koalisi dan
melemahkan landasan ekonomi negara sekuler penguasa.5
Khusus mengenai keberadaan ekonomi berbasis Islam ini, M. Dawam Rahardjo melihat
gerakan Islam yang mengkampanyekan ekonomi Islam secara keseluruhan dapat dibedakan
menjadi dua pola. Pertama, pola “Islam Politik” yang menempuh jalan mencapai kekuasaan
sebagai alat untuk menegakkan syariat Islam. Kedua, “Islam Kultural”, yang memilih jalur
budaya dan kemasyarakatan. Yang pertama bertujuan menegakkan negara Islam atau
kekuasaan Islam, sedangkan yang kedua bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam,
peradaban Islam atau masyarakat madani, paling tidak ikut serta dalam civil society.
Organisasi Islam mainstream, Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), memilih jalan atau pola kedua.
Akhir-akhir ini kelompok Islam liberal juga muncul sebagai reaksi terhadap gejala
Islam fundamentalis dan Islam radikal yang mengkampanyekan sekularisme. Menurut
kelompok ini, gerakan Islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik.
Selain itu, dalam menanggapi persoalan publik, pendekatan agama tidak perlu dipakai dan
diganti dengan ilmu pengetahuan. Menurut Dawam, gagasan kelompok Islam liberal ini
agaknya sulit atau tidak bisa diterima, bukan hanya oleh kelompok radikal dan
fundamentalis, melainkan juga oleh kalangan mainstream yang berpandangan moderat.6
Dalam pandangan Khursid Ahmad, orang yang dianggap sebagai bapak ekonomi Islam
modern ini, kebangkitan kembali Islam bukanlah artikulasi politis atau kemarahan kelompok
Islam militan terhadap bangsa-bangsa Barat. Sebaliknya, ini merupakan respon positif dan
kreatif terhadap tantangan ideologis peradaban Barat. Bagi dunia muslim, inilah upaya
membangun kembali perekonomian dan masyarakat dengan menggali kekayaan Islam yang
selama ini umat Islam mengabaikan sumber-sumber religius-kulturalnya. Tujuan dari upaya
ini adalah untuk menciptakan tatanan sosial adil, yang menggabungkan antara aspek
material dan spiritual.7 Munculnya disiplin ilmu ekonomi Islam merupakan unsur kecil
5
Timur Kuran, Fundamentalism dan the Economy, dalam Martin E. Marty and R. Scott Appleby (ed)
Remaking Polities, Economies, and Militance, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1993),
289
6
M. Dawam Rahardjo, kata pengatar “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi” untuk buku “Bank
Islam: Analsis Fiqih dan Keuangan” kaya Adiwarman A. Karim. Cet. 8 (Jakarta: Rajawali Press, 2011), ix-x
7
Khurshid Ahmad (ed), Introduction, dalam Studies in Islamic economics (Leicester UK: The Islamic
Foundation, 1980), xiii
namun efektif dalam upaya kreatif ini. Para sarjana muslim, khususnya ulama dan ahli
hukum, telah menelurkan kepusatakaan yang melimpah mengenai berbagai macam aspek
ajaran ekonomi dan sosial Islam selama beberapa dekade ini.8
Di satu pihak, ekonom Islam saat ini sedang berusaha keras secara profesional
mengembangkan suatu disiplin baru yang dapat menjelaskan kritik Islam atas ilmu-ilmu
ekonomi dan perekonomian modern. Di lain pihak, mereka merumuskan kembali teori dan
kebijakan ekonomi dengan berpedoman pada nilai-nilai dan prinsip Islam serta pemikiran
dan pengalaman umat manusia. Kita sedang menjalani masa transisi yang kreatif; bergerak
dari pembeberan sederhana “ajaran-ajaran ekonomi Islam” ke penguraian secara fasih apa
yang secara teknis dapat disebut sebagai “ekonomi Islam”.9
Di dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikan pandangan Timur Kuran,
pelopor mazhab alternatif kritis dalam tradisi pemikiran ekonomi Islam, tentang masa depan
ekonomi Islam yang dianggap sebagai manifestasi doktrin ekonomi kelompok Islam
fundamentalistis tersebut. Mengapa masa depan ekonomi Islam disikapi secara pesimistis
oleh Kuran dan apa tawaran yang diberikan Kuran untuk mereson ekonomi Islam ala
Islamisme adalah beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada pembahasan berikut ini.
Dalam tulisan ini, penulis juga akan merespon ramalan Kuran tentang masa depan ekonomi
Islam tersebut.
Pembahasan
Sketsa Biografis Timur Kuran
Timur Kuran lahir pada tahun 1954 di kota New York, tempat kedua orang tuanya
menjalani studi di Yale University. Kendati demikian, Kuran menghabiskan masa-masa
kecilnya di Ankara, Turki, persis ketika ayahnya mengajar di Middle East Technical
University. Ketika Kuran masih berumur tanggung, keluarganya pindah ke Istambul, Turki.
Beberapa dekade lamanya, Kuran tinggal di lingkungan kampus Bogazici University, tempat
ayahnya ditunjuk dan dinobatkan sebagai presiden dan profesor sejarah arsitektur Islam.
Kehidupan di Turki dengan struktur masyarakatnya yang sangat terbuka telah memengaruhi
diri Kuran. Kekuatan kritis dan kepekaan intelektualnya lahir dari setting Turki yang dikenal
sebagai negara terbuka dengan sekularisme sebagai tonggak kehidupan beragama di
dalamnya.
Pendidikan menegah Kuran diperoleh di Turki dari sekolah yang dikenal dengan nama
Robert College dan tamat pada tahun 1973. Setelah itu, Kuran melanjutkan studi ilmu
ekonomi di Princenton University dan lulus dengan predikat magna cumlaude pada tahun
1977. Kemudian Kuran melanjutkan studi ekonomi tingkat doktoral di Standford University.
Dalam studi dan proses menamatkan program doktoral ekonomi inilah, Kuran banyak
bersentuhan dengan ekonom-ekonom Eropa yang berpengaruh. Selain itu, Kuran termasuk
ilmuan yang beruntung, karena ketika menyelesaikan disertasi doktoral ekonominya, ia
mendapatkan seorang profesor ekonomi, yaitu Kenneth Arrow, seorang penerima hadiah
8
Khurshid Ahmad, Kata Pengantar, 28
9
Ibid.,29
nobel ekonomi, sebagai supervisornya. Kesempatan ini tentu tidak disia-siakan oleh Kuran,
sehingga memungkinkan dirinya untuk tumbuh menjadi seorang ekonom muslim yang kritis.
Hal ini tercermin dari karya-karya yang ia lahirkan. Kuran tidak hanya menjadi ekonom yang
kritis, tetapi juga sebagai penulis yang prolifik mengenai banyak hal, misalnya ilmu
ekonomi, politik, sejarah, dan hukum.10
Selain dikenal menguasai bidang ekonomi, politik, sejarah, dan hukum, Kuran juga
dikenal sebagai profesor studi Islam di Duke University. Perjalanan akademis yang ia
lakukan sangat luas dan memperlihatkan karakter sebagai peneliti yang cerdas. Hal menarik
yang bisa dilihat dari sosok Kuran adalah ia bukan seorang ilmuan yang terpaku pada satu
disiplin keilmuan. Ia menguasa berbagai disiplin yang mencakup ilmu ekonomi, politik,
sejarah, dan ilmu hukum. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas pengajaran dan penelitian yang ia
lakoni.11 Penelitiannya berfokus pada perubahan sosial, termasuk penyusuanan lembaga. Dia
juga ahli dalam sejarah ekonomi dan pemikiran Timur Tengah. Proyeknya saat ini mencakup
kajian peranan lembaga tradisional di Timur Tengah yang mempengaruhi perkembangan
politik Timur Tengah, termasuk lembaga ekonomi Islam.12
Kuran sampai saat ini terkenal sebagai penulis produktif tentang Islam dan Timur
Tengah. Karir kepenulisan dan pemikiran Kuran semakin terkenal, terutama ketika dia mulai
berminat terhadap ekonomi Islam. Esai-esainya tentang ekonomi Islam telah dibukukan
dengan judul “Islam and Mammon: The Economic Predicaments of Islamism” yang
diterbitkan oleh Princenton University Press dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki
dan Arab. Pada pertengahan tahun 1990-an, Kuran menaruh minat yang besar untuk
memahami mengapa Timur Tengah cenderung tumbuh dengan struktur kehidupan yang
berstandar global dengan menjatuhkan diri pada realisme, termasuk pada ekonomi produksi,
kemampuan organisasional, kreativitas teknologi, demokrasi, dan kekuatan militer.
Masih mengenai perjalanan karir Kuran, ia pernah menjadi editor buku-buku
multidisipliner dari tahun 1990 hingga 2008 di The University of Michigan Press. Banyak
buku yang dieditori oleh Kuran yang kemudian diterbitkan kembali oleh Cambridge
University Press, khususnya pada tahun 2009. Tidak hanya itu, Kuran juga dilimpahi
kehormatan sebagai penasihat di berbagai jurnal internasional. Antara tahun 1982 hingga
2007, Kuran dikenal oleh banyak sarjana sebagai pemikir produktif di University of Southern
California. Ini juga akhirnya yang mengantarkan dia dianugerahi gelar guru besar dan
profesor di bidang pemikiran Islam dan budaya tepatnya pada tahun 1993. Dari tahun 2005
hingga tahun 2007, Kuran tercatat sebagai direktur USC’s institute for Economic Research
and Civilization yang pendirinya adalah dia sendiri. Sebelumnya, pada tahun 1989 hingga
1990, Kuran tercatat sebagai anggota dari The Institute for Advanced Study yang betempat
di Princeton. Karir intelektualnya dikukuhkan ketika Kuran tercatat sebagai profesor tamu
bidang ekonomi di Stanford University.13
10
Muhammad Sholihin, Metodologi Ekonomi Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), 274-275
11
Ibid., 274
12
Timur Kuran, Islamic Economics, dalam http://islamiceconomy.net/timur-kuran/. Diakses pada Kamis, 25
Juni 2015, pukul 20.00 WIB.
13
Muhammad Sholihin, Metodologi ….., 276-277
Untuk menunjukkan publikasi Kuran, penulis tidak menyebutkan semua karyanya yang
sangat banyak tersebut, terlebih lagi tulisan-tulisan dalam bentuk artikel yang dimuat di
jurnal-jurnal. Penulis hanya menyebutkan beberapa karya utama, terutama buku. Ada
beberapa buku yang penulis anggap penting untuk disebutkan, yaitu: “Private Truths, Public
Lies: The Social Consequences of Preference Falsificatio” diterbitkan oleh Cambridge, MA:
Harvard University Press tahun 1995, “Islam and Mammon: The Economic Predicaments of
Islamism” diterbitkan oleh Princeton: Princeton University Press tahun 2004 “The Long
Divergence: How Islamic Law Held Back the Middle East” diterbitkan oleh Princeton, NJ:
Princeton University Press tahun 2012.
“The current state of the Islamic finance industry can be compared to the life span of a
40 year old man suffering from childhood phobias. The childhood fears of the man are
a result of an experience as a ten year old child who tried to climb up a mountain, but
got so exhausted that he decided to give up. However, he was determined to climb the
same mountain once he would grow up. Therefore, he dedicated the rest of his life
training. After 30 years of training the man was finally able to climb the mountain.
However, restricted by childhood fears of the impossibility to climb the mountain, he
seemed to continue his training extending his ultimate objective. By doing so he
seemed to forget two important points: first, he is not the ten year old child anymore
and, second, being a 40 year old man, he should not wait much longer”14
Sementara itu, Javed A. Ansari dalam tulisannya berjudul “The Necessary Death of
Islamic Economics” mengatakan bahwa ekonom-ekonom Islam ternama, misalnya Khursid
Ahmad, profesor tamu pada King Abdul Aziz University, Dr. Nejatullah Siddiqui di
universitas yang sama, Umer Chapra di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA), Fahim
14
Jawad I. Ali and Omar Salah, “Pyrrhic Victory for Islamic Finance: The Further Growth of the Islamic
Finance Industry”. White Paper, May 20, 2010, 6
Khan, dan Monzer Kahf pada Lembaga Penelitian Islamic Development Bank (IDB),
memiliki hubungan dengan Saudi Arabia. Menurut A. Ansari, ekonomi Islam telah menjadi
jembatan yang menghubungkan kepentingan Arab Saudi dengan kebijakan-kebijakan partai-
partai Islam. Lebih lanjut dia mengatakan:
dalam ekonomi Islam telah menciptakan kekuatan politik dengan memberikan makna apa
saja agar status quo tidak terancam. Kedua, prinsip-prinsip tertentu ekonomi Islam
bertentangan dengan sifat dasar manusia. Jadi, umat Islam diminta menanggung risiko,
sementara mereka menyukai keamanan. Dan, mereka diharuskan membayar zakat atas
barang-barang berharga, namun mereka menolak. Ketiga, pembaharuan Islam dirintangi oleh
realitas sosial yang para pengajurnya mengharapkan dorongan religius untuk
menyelesaikannya. Keempat, pembaharuan Islam kurang didukung oleh organisasi yang baik
dan tidak disokong oleh keahlian. Ketika ada permintaan dari masyarakat pada sistem profit
and loss sharing, bank Islam belum mempunyai keahlian yang diperlukan untuk
menggunakan metode keuangan yang memadai. Demikian juga, sistem zakat kurang
mendapat pengawasan yang efektif.18
Lalu, bagaiaman masa depan ekonomi Islam, dan apa dampak selanjutnya? Inilah
pertanyaan-pertanyaan Kuran. Kuran menganggap pembaharuan bersifat praktis atas nama
Islam yang terjadi saat ini sebagai mitos, dan tidak mungkin bisa bertahan dalam jangka
panjang. Pembaharuan Islam dianggap tidak efektif tanpa mengejar tujuan-tujuan utamanya,
misalnya penghapusan bunga. Menurut Kuran, masyarakat tidak akan mengubah ideologinya
saat ideologi tersebut bertentangan dengan realitas. Setidak-tidaknya, bahkan ketika
individu merasa kecewa dengan ideologi yang berlaku, tekanan sosial nyata mungkin
membuat dia menahan untuk mengungkapkan keragu-raguannya.
Namun, selama individu-individu memiliki keinginan menyuarakan perasaan khawatir,
penentangan secara terorganiasi akan tejadi, bahkan di negara-negara di mana kearifan
islamisasi jarang dipertanyakan secara publik. Pertanyaannya sekarang adalah: berapa lama
lagi kita menunggu munculnya ketidaksepakatan yang meluas tersebut? Dan apa respon para
Islamis atas penentangan tersebut? Dalam menjawab pertanyaan ini, Kuran mengatakan
bahwa ramalan bukanlah tugas yang mudah, khusunya ketika terkait masa depan. Ilmuan
sosial dapat mendeteksi instabilitas, namun tidak mampu memprediksi kapan akan terjadi.
Ilmuan dapat mengenali sumber-sumber konflik, namun tidak mampu menentukan
bagaimana konflik-konflik ini diselesaikan, dan ilmuan mampu mengenali kemungkinan-
kemungkian masa depan, tetapi tidak mampu memberikan perhitungan yang pasti tentang
perkembangan yang segera terjadi.19 Untuk kepentingan ini, Kuran mengajukan beberapa
skenario.
Skenario pertama adalah penyelidikan secara terus-menerus tatanan moral yang
menjadi obsesi yang membuat pemegang kekuasan berupaya secara sungguh-sungguh
menyempurnakan individu muslim. Ketika ada kesempatan luas untuk menunjukkan
ketidaksepakatan tentang sifat kesempurnaan moral, kensensus bahwa bahwa keinginan
umat Islam manusia muslim memerlukan pengaturan lebih baik terbukti khayalan belaka.
Namun, jika sejarah sosialisme menjadi petunjuk, ini memerlukan waktu beberapa dekade
agar masyarakat secara luas merasa heran mengapa perbuatan baik sulit untuk dilakukan.
Kegagalan terkait cara dapat dengan mudah ditemukan yang berarti bahwa upaya pendidikan
18
Timur Kuran, Islam, 34-35
19
Ibid., 35
harus dilipatgandakan dan pengaruh non-islami dapat dikendalikan dengan baik. Mencari
impian islami atau pembangunan politik bersifat menindas adalah perbuatan sia-sia. Islam
tidak memberikan jawaban pasti dan jelas terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Disiplin
ekonomi Islam, menurut Kuran, “memberi makan untuk dirinya sendiri selama beberapa
dekade, melakukan apologi untuk refleksi yang serius, dan menciptakan kosmetik untuk
pembaharuan yang sesungguhnya”.
Skenario kedua adalah terkait dengan pemain kunci ekonomi Islam, yaitu para praktisi.
Ketika berupaya menerapkan ekonomi Islam, mereka menyadari hal ini tidak realistis.
Menurut Kuran, kasus seperti ini bisa dilihat dari bank Islam. Ketika bank Islam
meminjamkan uang berdasarkan profit dan loss sharing, bank mengalami kerugian ketimbang
untung. Pada praktiknya, bank Islam tidak pernah sepenuhnya mampu menghapus bunga.
Persoalan zakat yang seharusnya membutuhkan pemikiran baru, agar bisa menjadi sistem
redistrbusi yang efektif dan transformasi moral hanyalah khayalan belaka. Suatu saat orang-
orang yang percaya kepada ekonomi Islam akan secara berangsur-angsur membuat bangunan
besar itu menjadi kecil dan lemah. Pada mulanya mereka mengubah hanya pada tataran
praktis, dengan terpaksa mengambil banyak jalan tipu muslihat. Kemudian, mereka mulai
mengubah teori secara terbuka. Dalam hal ini, Kuran mencontohkan, mereka akan
mendefiniskan kembali bunga dan menyusun kembali mekanisme zakat. Upaya mereka
mendapat restu masyarakat dengan dalih kepentinagn umum, termasuk para Islamis yang
menjadi makmur dengan melakukan bisnis yang penuh dengan bunga. Dalam skenario ini,
menurut Kuran, para praktisi ekonomi Islam bertindak sebagai agen tersembunyi
sekularisasi, menjadi wasit antara tujuan doktrin ekonomi Islam dan praktik sekuler yang
masih dikutuk tersebut.20
Dengan demikian, Kuran meramalkan bahwa abad ke-21 adalah milik Islam dan abad
ke-20 milik sosialisme: suatu masa janji dan harapan yang besar, yang diikuti oleh
ketidakpuasan, penindasan, kekecewaan, dan putus asa. Dengan mengidentifikasi kebijakan-
kebijakan yang telah gagal, Kuran dengan jelas mengatakan bahwa Islam akan kehilangan
kekuasaannya dan gaung kebijakan ekonomi yang nyaring tersebut. Akhirnya, ini akan
berujung pada tindakan meninggalkan Islam dan beralih ke sumber cita-cita moral dan
spiritual lainnya.21
Penulis melihat bahwa ramalan Kuran tentang berakhirnya ekonomi dan keuangan
Islam di masa mendatang sepenuhnya tidak tepat karena tidak sedikit pemikir Barat yang
menghimbau untuk meneladani bank Islam yang jelas-jelas anti riba tersebut. Berdasarkan
laporan dari International Financial Services London berjudul, “Islamic Finance 2009”
sebagaimana yang dikutip oleh Erwandi Tarmidzi. Laporan itu memuat pernyataan, “dampak
krisis keuangan dan ekonomi global tidak menerpa lembaga keuangan syariah sebegitu fatal
seperti yang dialami bank-bank konvensional. Hal ini disebabkan syariat Islam yang
merupakan haluan bank-bank tersebut mengharamkan produk-produk yang menyebabkan
20
Ibid., 35-37
21
Ibid., 36
timbulnya krisis”. Karena peryataan ini, maka para pemikir Barat menghimbau untuk
mencontoh bank-bank Islam yang tidak diragukan lagi menentang riba tersebut.
Boufice Fanson, pemimpin redaksi (pimpred) majalah Prancis, “Challenges” edisi
Oktober 2008 dalam kolom pengantar redaksi yang berjudul “Paus atau Al-Quran”
mengatakan kepada Paus Benektidus XVI, “Saya pikir, dalam menghadapi krisis ekonomi
global ini, kita sangat perlu membaca Al-Quran daripada membaca Injil untuk memahami
apa yang sedang terjadi dengan dunia perbankan kita, karena jika para praktisi perbankan
kita menghargai Al-Quran, undang-undang dan sistem yang disampaikan Al-Quran serta
menerapkannya, saya yakin krisis dan bencana ekonomi ini tidak akan melanda kita, yang
membawa kita pada kondisi yang mengenaskan, karena sesungguhnya “uang tidak bisa
melahirkan uang (riba)”.
Seolah-olah menjawab himbauan di atas, Vatikan melalui harian resminya
“Observatory Romano” dalam salah satu artikel yang berjudul, “Masukan dari Sistem
Keuangan Syariah untuk Barat yang Dirundung Krisis”, dijelaskan tentang manfaat
diharamkannya riba dengan syariat Islam. Dan sistem keuangan syariah sangat berperan
untuk membangun kembali undang-undang serta peraturan-peraturan baru agar dunia dapat
keluar dari krisis ekonomi global yang sedang terjadi. Terutama sekali Islam menekankan
larangan menggunakan uang sebagai barang dagangan yang mendatangkan laba.
Roland Laskin, pemimpin redaksi (pimpred) Harian Law Journal the Finance dalam
kolom redaksi lebih lantang menuntut penerapan sistem ekonomi syariah di bidang keuangan
dan ekonomi agar dapat menyelamatkan pasar ekonomi dunia dari krisis yang timbul akibat
tindakan para spekulan di pasar bursa. Kolom tersebut ia beri judul “Tibalah saatnya Wall
Street menerapkan sistem ekonomi syariah”. Mengamini imbauan tersebut, Robert Keymet,
wakil menteri keuanga Amerika Serikat saat berkunjung ke Riyadh mengeluarkan
pernyataan yang dianggap cukup berani, “Sistem perbankan dan ekonomi Islam merupakan
prioritas kajian pemerintah Amerika dalam rangka menyelamatkan ekonominya”.
Sebenarnya, imbauan untuk kembali menerapkan ekonomi dan keuangan yang berdasarkan
Islam tersebut, sudah lama didengungkan. Pada tahun 1930, Mr. Athur Kinston berujar
lantang di hadapan komite keuangan dan industri Mc Millan setelah terjadinya great
depression yang melumpuhkan Wall Street, “Saya adalah antiriba dalam segala bentuknya.
Riba merupakan kutukan dunia semenjak kemunculannya. Riba telah menghancurkan
imperium-imperium terdahulu dan imperium ini, dan akan menghancurkan imperium yang
lainnya”.22
Bukti lainnya yang menguatkan bahwa ramalan Kuran tidak didukung argumentasi
yang kuat adalah kehadiran lembaga perbankan Islam yang kini mulai menyebar dan
berkembang di Eropa. Sekarang ini bank Islam terbesar di dunia adalah bank Islam di
Inggris. Ini tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa negara-negara non-muslim yang justru
terlebih dahulu merespon gagasan bank Islam? Mengenai hal ini, Inggris kemungkinan
mengetahui bahwa salah satu motif pendirian bank-bank Islam adalah mendayagunakan dana
petrodollar yang dihasilkan oleh negara-negara pengekspor migas yang memuncak
22
Erwandi Tarmidzi. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cet-8 (Bogor: Berkat Mulia Insan, 2014), 349-351
perkembangannya pada dasawarsa 1970-an. Oleh karena itu, bank Islam merupakan
instrumen mobilisasi dan alokasi dana yang akan berdampak pada penangguhan petrodollar
di bank-bank Eropa dan Amerikat Serikat yang dianggap menjalankan sistem riba. Dengan
alasan tersebut, mereka pun memprakarsai pendirian bank-bank Islam untuk menahan dana
yang sudah tertanam dan juga menarik dana dari negara-negara muslim penghasil petrodolar.
Dewasa ini, di Eropa dan Amerika Utara, ada banyak penduduk muslim migran yang
mengembankan usaha bisnis, terutama di bidang restoran, penjualan makanan, dan toko-toko
kecil Convenience Store. Untuk itu, mereka membutuhkan bantuan modal dari perkreditan
perbankan. Bank yang paling tepat untuk kaum muslim ini tidak lain adalah bank Islam,
sehingga perekonomian muslim juga bisa berkembang di negara-negara non-muslim.23 Itulah
beberapa contoh negara atau individu, bahkan individu non-muslim sekalipun yang menaruh
perhatian yang sangat besar kepada ekonomi dan keuangan Islam. Penilaian Kuran bahwa
fenomena pembaharuan ekonomi atas nama Islam akan gagal, tidak didukung oleh data-data
obyektif. Kuran hanya mengajukan bukti-bukti kegagalan keuangan Islam, terutama
perbankan Islam, namun tidak menyertakan keberhasilan keuangan Islam di beberapa negara,
baik negara muslim maupun non-muslim.
Menurut hemat penulis, ramalan Kuran tidak akan terbukti di masa mendatang
manakala ekonom-ekonom Islam sejak sekarang melakukan rekonstruksi pemahaman mereka
terhadap ekonomi Islam. Perbedaan pendapat di kalangan ekonom Islam sendiri terkait
prinsip-prinsip ekonomi Islam perlu dicarikan jalan keluar. Perdebatan di antara pemikir-
pemikir muslim yang menaruh perhatian pada ekonomi dan keuangan Islam tentang landasan
filosofisnya dan penerapan praktisnya harus segara didamaikan, karena hal ini hanya akan
memperlambat dan menghalangi kemajuan ekonomi Islam itu sendiri.
23
Abdullah Syari’i, “Prolog” dalam M. Dawam Rahardjo, Arsitek Ekonomi Islam (Bandung: Mizan, 2015), 45
dan mendistribusikan penghasilan tersebut kepada yang berhak yang didukung oleh dewan
keagamaan. Sistem perekonomian yang sedang berkembang ini memunculkan perusahaan-
perusahaan Islami, termasuk retailer, penerbitan, perusahaan investasi, pabrik, perusahaan
konstruksi, bahkan konlongmerat. Khususnya di kota-kota besar yang berkembang pesat di
dunia Islam. Perusahaan-perusahaan dan bank Islam serta sistem redistribusi, telah
membentuk subekonomi yang menggeliat.
Sebagaimana diyakini oleh Kuran, ekonomi Islam merupakan doktrin fundamentalistis
karena prinsip-prinsipnya bersifat kaku yang digali dari sumber-sumber tradisional Islam.
Lebih jauh dia mengatakan:
Terkait kehadiran ekonomi Islam ini, Kuran memberikan tiga macam tawaran.
Pertama, seseorang harus menunjukkan cacat dan keterbatasan ekonomi Islam. Respon
pertama ini terkait penyebaran informasi tentang dampak potensial dan aktual ekonomi
Islam. Di sinilah diperlukan tulisan atau karya pada semua tingkat, termasuk karya-karya
yang membahas gerakan dan barisan kelompok Islamis. Karena inkonsistensi dan ilusinya,
sistem ekonomi Islam Islamisme mencari dukungan yang bersifat emosional yang seringkali
tidak ada dalam tulisan-tulisan ekonomi sekuler. Oleh karena itu, mereka menjalin hubungan
dengan berbagai pihak. Para pendukung ekonomi Islam harus diberi argumentasi tandingan.25
Kedua, seseorang harus menujukkan bahwa resep ekonomi islamisme kurang mendapat
dukungan sebagaimana yang diklaim para eksponennya. Respon kedua yang dimaksudkan
untuk meredam kerusakan yang diciptakan ekonomi Islamisme adalah dengan cara
menandingi tindakan Islamis yang menggambarkan diri mereka sebagai juru bicara atas
mayoritas umat Islam diam. Ketika Islamis menunjukkan aspirasi masyarakat yang telah
lama dibungkam oleh kelompok sekuler, mereka seringkali membeark-besarkan. Dalam hal
ini, Kuran memberikan contoh misalnya bank Islam jika dibandingkan bank konvensional,
saham mereka atas simpanan umat Islam mencapai 20 persen, padahal di sebagian besar
negara-negara muslim, jumlahnya di bawah 1 persen.26
Ketiga, sangat penting memikirkan solusi kreatif atas persoalan sosial-ekonomi yang
buruk yang mengakibatkan munculnya Islamisme tersebut. Respon terakhir ini
membutuhkan upaya memahami keluhan, aktivitas, dan cita-cita islamisme. Dalam hal ini,
seseorang harus tidak mempercayai argumen-argumen para Islamis yang menjadi dasar
penolakan-penolakan atas struktur sosio-ekonomi yang ada dan meragukan penolakan-
24
Timur Kuran, Islam, 5
25
Ibid., 71
26
Ibid., 73
penolakan tersebut. Respon terakhir yang dianjurkan ini adalah bersifat mendamaikan. Kuran
menganjurkan untuk mendengarkan secara sungguh-sungguh keluhan-keluhan para Islamis
tentang modernitas, dengan mengakui bahwa keluhan-keluhan tersebut disebabkan oleh
kerusakan yang nyata dan keadaaan tetap dari sistem sosial. Rezim sekuler mempunyai hak
untuk menentang penolakan-penolakan yang sesat tersebut untuk menciptakan kebijakan. Di
sinilah rezim sekuler berkewajiban untuk mendengarkan kritik.27
Untuk memberikan tanggapan terhadap respon Kuran di atas, penulis mengajukan dua
respon, yaitu respon eksternal dan internal. Pertama, respon eksternal. Respon eksternal
yang penulis maksud adalah respon yang bersifat keluar, yakni ekonom-ekonom Islam harus
menujukkan cacat dan keterbatsan ekonomi konvensional (sekuler). Respon ini terkait
penyebaran informasi tentang dampak destruktif ekonomi konvensional. Sarana yang bisa
digunakan untuk tujuan ini adalah menciptakan tulisan, mengadakan seminar, atau
melakukan penelitian yang membahas kelemahan ekonomi sekuler tersebut. Bukti-bukti
tentang kegagalan ekonomi kapitalisme dan sosialisme dalam mensejahterahkan umat
manusia perlu terus menerus ditunjukkan kepada masyarakat dunia, terutama masyarakat
ilmiah.
Selain itu, para eksponen ekonomi Islam perlu juga menunjukkan bahwa prinsip-
prinsip atau landasan filosofis yang mendasari sistem ekonomi sekuler semakin tidak
dipercayai oleh ekonom-ekonom sekuler itu sendiri. Tidak sedikit ekonom-ekonom sekuler
Barat yang melancarkan kritik terhadap sistem ekonomi sekuler karena dinilai tidak mampu
mewujudkan keadilan ekonomi. Fenomena yang kaya semakin kaya dan yang melarat
semakin miskin akibat sistem ekonomi Barat sebagaimana yang terjadi di sebagaian besar
belahan dunia harus ditampilkan.
Kedua, respon internal. Yang penulis maksud dengan respon ini adalah respon yang
bersifat ke dalam, yaitu ekonom-ekonom Islam harus melakukan kritik terhadap dirinya
sendiri. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam ekonomi dan keuangan Islam tidak lain
adalah kelemahan para pendukungnya, karena merekalah yang menciptakan prinsip dan
landasannya. Oleh karena itu, memperbaiki diri dengan cara meningkatkan kualitas
intelektual guna menutupi kekurangan-kekurangan ekonomi Islam merupakan sikap yang
sangat diperlukan.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Pembaharuan
ekonomi atas nama Islam yang terjadi saat ini dalah mitos, dan tidak mungkin bisa bertahan
dalam jangka panjang. Islam akan kehilangan kekuasaan dan gaung kebijakan ekonominya
yang nyaring tersebut. Islam akan ditinggalkan, dan beralih ke sumber cita-cita moral dan
spiritual lain. Masa depan ekonomi Islam, menurut Kuran, akan suram. Sedangkan faktor
penyebabnya adalah: pertama, sifat ambigu yang ada dalam ekonomi Islam telah
menciptakan kekuatan politik dengan memberikan makna apa saja agar status quo tidak
terancam. Kedua, prinsip-prinsip tertentu ekonomi Islam bertentangan dengan sifat dasar
27
Ibid., 76
manusia. Ketiga, pembaharuan Islam dihalangi oleh realitas sosial. Keempat, pembaharuan
Islam tidak didukung oleh organisasi dan keahlian yang baik.
Sedangkan tawaran yang diberikan Kuran dalam merspon ekonomi Islam adalah:
Pertama, menunjukkan cacat dan keterbatasan ekonomi Islam. Penyebaran informasi tentang
dampak potensial dan aktual ekonomi Islam melalui tulisan-tulisan, termasuk yang
membahas gerakan dan barisan kelompok Islamis, perlu dilakukan. Kedua, Menujukkan
bahwa resep atau solusi ekonomi Islamisme kurang mendapat dukungan, sebagaimana yang
diklaim para eksponennya. Ketiga, memikirkan solusi kreatif atas persoalan sosial-ekonomi
yang buruk, yang mengakibatkan munculnya Islamisme.
Menurut penulis, kritik Kuran tentang senjakalanya ekonomi Islam sangat penting
untuk dijadikan kritik konstruktif bagi pengembangan ekonomi Islam ke depan. Seperti yang
dikatakan Kuran, perkembangan gagasan ekonomi Islam mengalami kemandulan, karena
lebih cenderung mempermasalahkan aspek-aspek normatif, seperti bunga bank. Artinya,
pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu lebih banyak menyangkut
pencarian nilai-nilai daripada pencarian cara-cara untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut.
Oleh karena itu, di masa mendatang, ekonomi Islam harus menjawab persoalan-
persoalan ekonomi masyarakat secara riil. Kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan
pendapatan dan persoalan-persoalan ekonomi lainnya perlu menjadi perhatian utama para
pemikir dan peminat ekonomi Islam. Kita harus menunjukkan bahwa nilai-nilai
transendental yang ada dalam ekonomi Islam mampu dirasionalkan, sehingga ini dapat
diterima baik kaum muslim sendiri maupun kalangan non muslim.
Daftar Rujukan
Ahmad, Khurshid (ed), Studies in Islamic economics, Leicester UK: The Islamic Foundation,
1980
Ali, Jawad and Salah Omar, “Pyrrhic Victory for Islamic Finance: The Further Growth of the
Islamic Finance Industry”, White Paper, 2010 May 20
Ansari, Javed, “The Necessary Death of Islamic Economics”, dalam Market Force. Vol. 2.
No 1 October 2006
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi. alih bahasa: Ikhwan Abidin Basri, Jakarta:
Gema Insani, 2006
Haneef, Mohamed Aslam and Hafis Furqani, “Methodology of Islamic Economics: Overview
of Present State dan Future Direction”, dalam International Journal of Economics,
Management & Accounting. Vol. IX, No. 1 pp. 1-26 2011
Kuran, Timur, “Fundamentalism dan the Economy” dalam Martin E. Marty and R. Scott
Appleby (ed) Remaking Polities, Economies, and Militance, Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1993
-----------------, Islam and Mammon: The Economic Predicaments of Islamism, Princeton:
Princeton University Press, 2004