Al-Ahzab Ayat
Al-Ahzab Ayat
Al-Ahzab Ayat
DOI: https://doi.org/10.20885/tarbawi.vol10.iss2.art5
Abstract
This paper was intended to describe that it is highly recommended and
important to have a sophisticated understanding of the qur’an al-Ahzab
verse 33 concerning the rights of women to take action outside of domestic
work such as career, social, and education. Because of the misunderstanding
and misinterpretation of the Qur’anic text of al-Ahzab verse 33, there are still
people with narrow paradigms that cause the enslavement of women in domestic
household affairs only which is very contradictory to the moral message of the
Qur’an. Therefore, this paper will present the moral message that is explicitly
contained in the Qur’an al-Ahzab verse 33. The study deploys a descriptive-
analytic method using hermeneutic methodology, and the data are gathered
through library reviews. The study finds that in Qur’an al-Ahzab verse 33,
women do not only have domestic duties as housewives, but also have rights to
take part in the world of work or career, social world, and education. It has to be
surely maintained to develop the potential of women as fellow servants of God
who both have the potential and also at the same time play a role to help aspects
of the family economy. What happened in some societies is an output from the
interpretation of the normative or textual text of the Qur’an that makes a gap
between men and women which excludes the message of ethics of the Qur’an
that put forward the value of equality in a proportional context.
Keywords: Womens right, hermeneutics, equality
Pendahuluan
Pembahasan tentang perempuan merupakan tema yang sangat
menarik untuk dikaji karena sisi-sisi keunikan dan keindahannya. Hal
tersebut diperkuat dengan Firman Allah yang termaktub di dalam
QS. Al-Ahzab ayat 33 yang menyatakan bahwa hal yang paling
menarik bagi laki-laki adalah perempuan. Namun demikian dibalik
kesempurnaan penciptaan perempuan dalam berbagai aspek, pada porsi
kapabilitas seringkali perempuan menempati posisi kedua atau bahkan
termarjinalkan. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan bagi
perempuan. Dalam kasus ini perempuan seolah-olah tidak memiliki
kecerdasan intelektual, mereka hanya mampu mengurusi wilayah
domestik rumah tangga. Meskipun Fenomena tersebut sudah banyak
dibahas seperti halnya tentang isu-isu dan topik pembicaraan tentang
feminisme, kesetaraan jender yang meliputi hak-hak kaum perempuan,
peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik, baik dikalangan
agamawan, akademisi dan masyarakat umum, namun belum mampu
mengubah paradigma masyarakat yang masih kaku dengan asumsi bahwa
tugas perempuan hanya berkutat pada wilayah domestik rumah tangga
saja. Hal tersebut dikarenakan oleh pemahaman atau interpretasi terhadap
ayat yang tekstual, normatif dan absolut.
Untuk menjawab polemik tersebut kita perlu membedah akar dari
permasalahan yaitu terletak pada doktrin normatif yang melekat dalam
memahami teks al-Qur’an. Masyarakat seyogyanya mau dan mampu
membaca teks-teks al-Qur’an secara sophisticated dan filosofis tentang
hak-hak wanita. Diantaranya adalah hak tentang kiprah sosial perempuan
diluar urusan domestic rumahtangga dalam konteks 1) apakah perempuan
harus tetap tinggal di rumah? 2) apakah perempuan boleh bekerja diluar
rumah? Termaktub dalam Qs. Al-Ahzab: 33. Terkait dengan ayat tersebut
banyak mufasirin yang berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat
tersebut sehingga sering terjadi interpretasi yang kontradiktif terhadap
ajaran islam. Oleh karena itu diperlukan metodologi yang tepat dalam
menafsirkan ayat tersebut. Dalam artikel ini penulis menggunakan
metodologi hermeunetika, karena metodologi ini merupakan metode
yang sangat sophisticated dan filosofis. Tidak hanya mengkaji teks secara
tekstual dan kontekstual, namun bermuara pada ketiga elemen, yaitu,
horison teks, horison pengarang dan horison audience. Sehingga teks yang
kita pahami dapat berbicara sesuai dengan konteks kekinian atau ketika
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 65
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 67
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 69
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 71
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 73
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 75
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
perias pengantin yaitu Ummu Salim binti Malhan yang merias antara
lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw serta ada juga yang
bekerja sebagai bidan, dan perawat. Dalam bidang ekonomi perdagangan
kita sangat tidak asing dengan nama Siti Khadijah binti Kuwailid yang
merupakan istri Nabi Muhammad Saw tercatat sebagai pedagang yang
sangat sukses. Selain itu Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy aktif bekerja menyamak
kulit binatang. Istri sahabat Nabi yaitu Raithah dari sahabat Nabi yang
bernama Abdulllah Ibnu Mas’ud sangat aktif bekerja karena suaminya
ketika itu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Al-Syifa,
seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh khalifah
Umar sebagai petugas yang mengangani pasar dikota Madinah. Hadist
lain yang dapat dijadikan penguatan adalah telah diriwayatkan oleh
Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya dari isyah dia berkata, “Saudah
keluar setelah turunnya ayat hijab untuk menunaikan hajatnya. Dia
adalah seorang wanita yang gemuk yang gampang dikenal oleh siapa saja
yang sebelumnya tahu tentang dirinya. Saat itu dilihat oleh Umar bin
Al-Khatab, maka Umar berkata, ‘Wahai Saudah ketahuilah, demi Allah
kau tidak bisa bersembunyi dari kami, maka pikirkan bagaimana kamu
keluar rumah!” Aisyah berkata, “Maka dia kembali, saat itu Rasulullah
berada di rumah saya dan dia sedang makan malam dan ditangannya ada
tulang dan bekas daging.” Saudah masuk dan berkata, “Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya keluar untuk menunaikan hajat saya, maka Umar
berkata kepada saya demikian, dan demikian. “Aisyah berkata “Maka
Allah menurunkan wahyu Nabi, lalu wahyu itu selesai, dan tulang itu
masih ada di tangannya.” Maka Rasululullah berkata, “Sesungguhnya
Allah telah mengizinkan pada kalian untuk keluar untuk hajat-hajat
kalian” (Al-Barudi, 2010: 443).
Lebih lanjut fakta sejarah mengatakan bahwa di dalam surah An-
Naml: 29-35, dipaparkan kesuksesan ratu Balqis, yang tidak dipaparkan
kecacatan sedikitpun, justru secara simbolik melalui peristiwa-peristiwa
yang dialaminya bahwa ratu Balqis sukses yang dapat diketahui melalui
sifat atau karakter yang dimilikinya yaitu demokratis, perhatian terhadap
ketentraman rakyat dan bijaksana, menyukai diplomasi, perdamaian
dan ketelitian, serta cerdas, hati-hati dan memiliki kekuatan mental
(Syamsuddin, 2009: 98).
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 77
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
dilakukan oleh laki-laki. Berkaitan dengan hal tersebut tidak ada ulama
yang melarang atau mengecam tindakan yang dilakukan oleh para wanita
tersebut, justru hal tersebut menjadi viral di dunia dan merupakan bagian
dari prestasi yang membangggakan.
Untuk menambahkan penguatan bahwa QS. Surah Al-Ahzab: 33
tidak mengandung larangan bagi perempuan untuk keluar rumah, maka
kita bisa melihat ayat-ayat lain yang saling berhubungan. Contohnya
Pada QS. An-Nisa: 15, dimana di dalam kandungan ayat tersebut
dipaparkan tentang hukuman perempuan yang berzina untuk menetap
di rumah dan tidak keluar sama sekali hingga ia wafat atau diberi jalan
keluar lain, yakni adanya ketetapan hukum baru atau dia memperoleh
suami (ibid). Dari kandungan ayat tersebut kita bisa mengetahui adapun
wanita yang berada di dalam rumah terus menerus adalah perempuan
yang telah melakukan zina maka ia dihukum untuk tidak keluar rumah.
Pengasingan tersebut merupakan bentuk punishment yang bukan tanpa
sebab, melainkan terdapat kasus yang jelas yaitu zina. Dengan demikian
rasanya tidak adil, tidak manusiawi dan sangat membelenggu perempuan
apabila perempuan yang tidak bersalah, tidak melakukan perbuatan zina
kemudian diperlakukan dengan perlakuan yang sama yaitu dilarang
untuk keluar rumah atau diasingkan. Jika demikian yang terjadi maka
tidak ada perubahan yang berarti antara perlakuan terhadap wanita ketika
zaman jahiliyah dan sesudah zaman jahiliyah. Hal tersebut didasarkan
dengan asumsi bahwa perempuan tetap terkekang dan tidak memiliki
kemerdekaan dalam bersosialita, dan menyalurkan kapabilitasnya
termasuk untuk bekerja di luar rumah.
Jika memahami substansi ayat dari QS. Al-Ahzab: 33, dengan
merujuk pendapat beberapa mufasir atau ulama yang telah dipaparkan
di atas bahwa tugas utama seorang wanita adalah mengerjakan pekerjaan
domestik rumah tangga atau melayani suami, menjaga harta suami
dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Jadi dapat dipahami bahwa
persoalan utamanya adalah terletak pada tugas utama seorang wanita yang
berada pada wilayah domestik rumah tangga, bukan pada tetap tinggal
atau keluar dari rumah (Shihab, 2008: 648). Melihat realita pada zaman
sekarang banyak wanita-wanita yang hanya fokus mengurusi urusan
domestik keluarga, namun mereka juga tidak fokus karena beberapa faktor
diantaranya karena rasa jenuh yang membuat mereka bekerja dengan
tidak maksimal dalam mengurusi suami dan dalam mendidik anak-anak
mereka. Di sisi lain ada juga wanita yang bekerja di luar rumah, mereka
memiliki profesi tetap tetapi pekerjaan domestik rumah tangga tetap
berjalan, dan wanita tersebut sukses untuk mengurusi keduanya. Jadi
tidak bisa dijadikan sebagai patokan bahwa yang hanya fokus terhadap
pekerjaan domestik akan lebih cakap atau professional dalam mengurusi
urusan domestik rumah tangga. Dan yang berkarir atau bekerja di luar
rumah terhalang atau tidak cakap mengurusi urusan rumah tangga. Yang
perlu dijadikan perhatian adalah bagaimana memanajemmen waktu
dengan baik, tidak hanya fokus pada kuantitas namun kualitas juga harus
diutamakan, keduanya sama-sama memiliki kedudukan yang penting.
Melihat berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa pemaparan
hadist, ditambah dengan melihat fakta historis kehidupan pada zaman
Nabi, sahabat, tabi’in yang juga memberikan ruang kepada wanita
untuk berkecimpung dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan
berkecimpung di kehidupan masyarakat maka pandangan-pandangan
yang membatasi atau bahkan melarang perempuan untuk keluar rumah
apabila bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah
termasuk pandangan yang kontra produktif terhadap ajaran al-Qur’an
secara keseluruhan dan menurut penulis kurang tepat. Pandangan
tersebut hanya berhenti pada makna literal ayat atau hanya berhenti pada
romantisme sejarah masa lalu yang berada pada lorong waktu dan tempat
ketika teks itu diturunkan. Pandangan yang semacam itu hanya berpaku
pada makna teks dan kontekstual ketika ayat tersebut di turunkan
sehingga tidak melihat dinamika zaman yang terus berkembang, dan
tidak melihat betapa perkembangan wanita yang hebat, pandai, dan cerdas
dalam berbagai aspek bidang kehidupan. Bahkan pada sebagian jabatan
publik, politik, dan profesi yang lain banyak fakta yang menunjukkan
bahwa wanita telah sukses menjadi seorang pemimpin dimana bawahan
mereka termasuk kaum laki-laki telah loyal terhadap pemimpinnya.
Permasalahan yang tampak di antara bidang profesi yang tidak sama
antara bidang pekerjaan yang ada pada masa Nabi, sahabat, tabi’in
dibandingkan dengan pekerjaan pada masa sekarang, bukan merupakan
suatu halangan atau suatu argumentasi bahwa wanita dilarang keluar dari
rumah untuk bekerja. Pekerjaan-pekerjaan yang ada pada zaman sekarang
sebagian sudah ada pada masa Nabi, sahabat, tabi’in, hanya saja bidang
pekerjaan pada zaman sekarang lebih kompleks dan lebih bervarian. Perlu
di garis bawahi bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada ayat satupun yang
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 79
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
melarang wanita untuk bekerja, hal ini dapat dilihat pada surah al-Mulk:
2. Dalam ayat ini laki-laki dan perempuan dituntut untuk mengerahkan
kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan melakukan tugas-tugasnya.
Kemudian dapat juga dilihat pada Surah an-Nisa: 32, ayat tersebut
mengandung makna bahwa Allah telah memberikan karunia pada laki-
laki dan perempuan atas yang mereka usahakan masing-masing. Mufasir
Abu Hayyan memberikan komentar terhadap ayat tersebut bahwa islam
tidak menerima orang yang hanya berangan-angan dan berpangku tangan
tidak pula memperkenankan sikap pasif dan malas melainkan untuk
selalu progresif dan bekerja keras (ibid: 84). Secara sederhana kita dapat
memahami makna tersirat dari rukun islam yaitu untuk bersyahadat,
shalat, puasa, zakat dan haji. Allah secara tidak langsung memerintahkan
umat manusia untuk menjadi orang yang mampu secara materi untuk
melaksanakan rukun islam yang berjumlah 5 tersebut. Ada perintah untuk
shalat, apabila kita tidak memiliki materi untuk membeli perlengkapan
sholat kita tidak bisa menunaikan sholat. Demikian juga zakat, apabila
tidak punya materi atau harta benda maka kita tidak bisa melaksanakan
zakat secara materi, dan rukun islam yang terakhir adalah pergi haji, kita
tidak bisa berhaji apabila tidak istita’ah (mampu) baik secara materil
maupun non materil. Hal-hal yang demikian perlu kita hayati betapa
islam sebenarnya menyuruh kita menjadi orang yang cukup atau mampu
untuk dapat memenuhi rukun islam.
Yang perlu diperhatikan adalah meyangkut bagaimana pekerjaan
yang baik dan pantas bagi seorang perempuan sehingga apabila dijalankan
tetap aman dan tidak menimbulkan mudharat. Mengambil pendapat
dari Muhammad al-Ghazali yang dikutip oleh Quraish Shihab (2007:
405): pertama, pekerjaan yang dilakukan perempuan adalah pekerjaan
yang layak bagi perempuan, apalagi kalau memang itu spesialisasinya
perempuan (fardu kifayah bagi perempuan), seperti berprofesi menjadi
bidan, maka pelarangan terhadap hal tersebut justru sangat keliru. Yang
perlu ditambahkan adalah ketika keluar rumah untuk bekerja, perempuan
harus tampil dengan sikap dan pakaian yang terhormat. Kedua, perempuan
bekerja untuk membantu tugas pokok suami. Ketiga, bahwa perempuan
bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya jika
tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun ada namun tidak
mencukupi.
Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa QS. al-Ahzab ayat 33 berbicara
mengenai hak-hak kaum perempuan (bolehkah perempuan keluar rumah
(untuk bekerja) atau tidak?) dan larangan berhias atau bertabarruj seperti
kaum jahiliyah terdahulu. Mengenai topik pada ayat ini, banyak mufasir,
ulama dan masyarakat yang berbeda pendapat mengenai konten ayat 33.
Mereka memahami ayat ini secara tekstual sehingga menimbulkan hasil
penafsiran yang kontradiktif terhadap pesan ajaran al-Qur’an. Penggunaan
metode hermeunetika terhadap penafsiran ayat ini dapat mengantarkan
kita ke dalam cakrawala yang lebih holistik, tidak terjerat pada makna
yang bersifat tekstual/normatif sehingga menimbulkan pemahaman yang
kaku terhadap teks ayat.
Terkait apakah kaum perempuan boleh ke luar rumah atau tidak,
penulis menyimpulkan bahwa kaum perempuan boleh bekerja di luar
rumah dalam berbagai aspek kehidupan. dengan syarat tetap menjaga
kehormatan dan kesucian diri baik bagi perempuan yang belum atau sudah
bersuami. Karena permasalahan yang utama adalah bukan terletak pada
menetap atau tidak menetap di rumah, melainkan tugas dan kewajiban
perempuan dalam wilayah domestic rumah tangga. Ketika perempuan
dapat menyelesaikan pekerjaan domestic rumah tangga dengan baik,
maka perempuan boleh bekerja di luar rumah. Bagi wanita yang sudah
tercukupi kebutuhan hidup oleh suaminya maka pekerjaan itu diniati untuk
beribadah. Namun apabila perekonomian keluarga belum mencukupi
maka pekerjaan yang dilakukan adalah dalam rangka membantu sendi
ekonomi sang suami. Tentunya penulis dalam menyimpulkan penafsiran
ini di dasarkan atas hadist-hadist Nabi dan juga ayat-ayat al-Qur’an
yang telah di paparkan pada bab pembahasan, serta dibenturkan dengan
konteks keadaan dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan.
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 81
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani
Daftar Pustaka
Al-Barudi, Imad Zaki, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2010.
Alqur’an Maghfirah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006.
Arrifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema
Insani, 2012.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (‘Ulum
al-Qur’an), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
As-Suyuti, Jalaludin, Sebab Turunnya Ayat Alqur’an, Jakarta: Gema Insani
2008.
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005.
Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981.
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran
Perempuan, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Pelajar, 2012.
Palmer, Richard E., Hermeunetika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Saenong, Ilham B., Hermeunetika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Qur’an
menurut Hasan Hanafi, Jakarta, Teraju, 2002.
Sahiron Syamsuddin, Studi Al-Qur’an (Metode dan Konsep), Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2010.
Shihab, M., Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Shihab, M., Quraish, 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui,
Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Shihab, M., Qurais, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Berbagai
Persoalan Umat, Jakarta: Lentera Hati, 1996.
Sibawaihi, Hermeunetika Alqur’an Fazlurrahman, Bandung: Jalasutra,
2007.
Sumaryono, E., Hermeunetik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: 1999,
Kanisius.
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 83
Volume X, No.2, 2017