Al-Ahzab Ayat

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

HAK-HAK PEREMPUAN DALAM SURAT


AL-AHZAB AYAT 33:
SEBUAH PENDEKATAN HERMENEUTIK

Naili Fauziah Lutfiani


Pascasarjana UIN Yogyakarta
[email protected]

DOI: https://doi.org/10.20885/tarbawi.vol10.iss2.art5

Abstract
This paper was intended to describe that it is highly recommended and
important to have a sophisticated understanding of the qur’an al-Ahzab
verse 33 concerning the rights of women to take action outside of domestic
work such as career, social, and education. Because of the misunderstanding
and misinterpretation of the Qur’anic text of al-Ahzab verse 33, there are still
people with narrow paradigms that cause the enslavement of women in domestic
household affairs only which is very contradictory to the moral message of the
Qur’an. Therefore, this paper will present the moral message that is explicitly
contained in the Qur’an al-Ahzab verse 33. The study deploys a descriptive-
analytic method using hermeneutic methodology, and the data are gathered
through library reviews. The study finds that in Qur’an al-Ahzab verse 33,
women do not only have domestic duties as housewives, but also have rights to
take part in the world of work or career, social world, and education. It has to be
surely maintained to develop the potential of women as fellow servants of God
who both have the potential and also at the same time play a role to help aspects
of the family economy. What happened in some societies is an output from the
interpretation of the normative or textual text of the Qur’an that makes a gap
between men and women which excludes the message of ethics of the Qur’an
that put forward the value of equality in a proportional context.
Keywords: Womens right, hermeneutics, equality

[]. ISSN: 1979998-5 [Halaman 63 - 84] .[]


Ju r n a l e L - Ta r b aw i 63
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

Pendahuluan
Pembahasan tentang perempuan merupakan tema yang sangat
menarik untuk dikaji karena sisi-sisi keunikan dan keindahannya. Hal
tersebut diperkuat dengan Firman Allah yang termaktub di dalam
QS. Al-Ahzab ayat 33 yang menyatakan bahwa hal yang paling
menarik bagi laki-laki adalah perempuan. Namun demikian dibalik
kesempurnaan penciptaan perempuan dalam berbagai aspek, pada porsi
kapabilitas seringkali perempuan menempati posisi kedua atau bahkan
termarjinalkan. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan bagi
perempuan. Dalam kasus ini perempuan seolah-olah tidak memiliki
kecerdasan intelektual, mereka hanya mampu mengurusi wilayah
domestik rumah tangga. Meskipun Fenomena tersebut sudah banyak
dibahas seperti halnya tentang isu-isu dan topik pembicaraan tentang
feminisme, kesetaraan jender yang meliputi hak-hak kaum perempuan,
peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik, baik dikalangan
agamawan, akademisi dan masyarakat umum, namun belum mampu
mengubah paradigma masyarakat yang masih kaku dengan asumsi bahwa
tugas perempuan hanya berkutat pada wilayah domestik rumah tangga
saja. Hal tersebut dikarenakan oleh pemahaman atau interpretasi terhadap
ayat yang tekstual, normatif dan absolut.
Untuk menjawab polemik tersebut kita perlu membedah akar dari
permasalahan yaitu terletak pada doktrin normatif yang melekat dalam
memahami teks al-Qur’an. Masyarakat seyogyanya mau dan mampu
membaca teks-teks al-Qur’an secara sophisticated dan filosofis tentang
hak-hak wanita. Diantaranya adalah hak tentang kiprah sosial perempuan
diluar urusan domestic rumahtangga dalam konteks 1) apakah perempuan
harus tetap tinggal di rumah? 2) apakah perempuan boleh bekerja diluar
rumah? Termaktub dalam Qs. Al-Ahzab: 33. Terkait dengan ayat tersebut
banyak mufasirin yang berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat
tersebut sehingga sering terjadi interpretasi yang kontradiktif terhadap
ajaran islam. Oleh karena itu diperlukan metodologi yang tepat dalam
menafsirkan ayat tersebut. Dalam artikel ini penulis menggunakan
metodologi hermeunetika, karena metodologi ini merupakan metode
yang sangat sophisticated dan filosofis. Tidak hanya mengkaji teks secara
tekstual dan kontekstual, namun bermuara pada ketiga elemen, yaitu,
horison teks, horison pengarang dan horison audience. Sehingga teks yang
kita pahami dapat berbicara sesuai dengan konteks kekinian atau ketika

64 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

teks tersebut diinterpretasikan. Dengan demikian ketika kita menerapkan


metode hermeunetika secara tepat terhadap Qs. Al-Ahzab: 33 maka akan
diperoleh penafsiran yang diharapkan dan tidak berkontradiksi dengan
pesan moral alqur’an. Sehingga dengan hasil penafsiran yang tepat, kita
dapat menjawab fenomena yang terkait dengan polemik tentang hak-
hak perempuan dalam bidang sosial dalam konteks apakah wanita boleh
keluar rumah untuk bekerja atau berperan aktif dalam bidang kehidupan
sosial di masyarakat.
Metode Penafsiran
Metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an surat al-
Ahzab: 33 adalah metode hermeunetika. Menurut Paul Ricoeor (2012:
57), hermeunetika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam
menafsirkan teks. Hal senada juga diungkapkan oleh Friederich August
Wolf yang menyatakan hermeunetika adalah sebuah kumpulan kaidah-
kaidah yang bertujuan untuk menangkap pikiran yang ditulis atau
bahkan yang dikatakan pengarang seperti yang dia inginkan Palmer,
2005). Definisi selanjutnya dikemukakan oleh Sahiron Syamsudin (2010:
178) bahwa hermeneutika adalah suatu proses mengubah sesuatu dari
situasi dan makna yang tidak diketahui menjadi dimengerti. Jadi dapat
dikatakan bahwa hermeneutika adalah satu disiplin ilmu atau metode
yang memiliki aturan yang dapat digunakan untuk memahami kata yang
belum dipahami. Hermeunetika merupakan sekumpulan kaidah atau
pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks al-
Qur’an (Berten, 1981: 225).
Hermeunetika menjadi sangat signifikan bagi pengembangan ilmu
tafsir dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Membangun Ulumul Qur’an/Ilmu Tafsir yang sophisticated dan
filosofis (Syamsudin, 2009).
Pertama, disadari bahwa di dunia Islam saat ini hampir tidak
kita temukan karya-karya tentang ilmu tafsir yang filosofis yang
membahas tentang hal-hal yang mendasari praktik penafsiran
dan metode penafsiran karena faktor pragmatis. Ulumul Qur’an
hanya dipandang sebagai aspek pedagogis dalam bidang metode
penafsiran al-Qur’an. Yang kedua, para ulama Ulumul Qur’an tidak
memandang penting kalau aspek-aspek metodis perlu dibubuhi
dengan penjelasan-penjelasan filosofis. Melihat kekurangan dari

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 65
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

aspek-aspek Ulumul Qur’an di atas maka dengan didasarkan pada


ahli-ahli hermeunetika di Barat sudah mencapai pada tataran
filosofis, maka kontribusi hermeunetika menjadi penting karena
pertama, hermeunetika akan memperkuat posisi Ulumul Qur’an
di masa yang akan datang. Kedua, akan membuat definisi tafsir
lebih shopisticated dan filosofis. Dalam hal ini dapat dicontohkan
melalui perbedaan antara pemberian definisi penafsiran istilah tafsir
antara teori yang dikemukakan oleh Gracia dan penafsiran istilah
tafsir yang dikemukakan di dalam teori Ulumul Qur’an. Kata tafsir
dalam konteks al-Qur’an didefinisikan sebagai upaya “memahami
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad
Saw, menjelaskan makna-maknaya dan mengeluarkan hukum-
hukumnya serta hikmahnya. Dari definisi yang dikemukakan oleh
al-Zarkasyi ini diketahui tiga aktifitas penting dalam menafsirkan,
1) memahami, 2) menjelasan, 3) mengeluarkan. Ketiga aktifitas
tersebut sudah dijelaskan namun kurang sophisticated dan filosofis.
Sedangkan Gracia terkait tiga aktifitas di atas menjelaskan bahwa 1)
istilah fahm (understanding) didefinisikan “pemahaman”, meskipun
demikian, tidaklah sama dengan “makna” (meaning). Pemahaman
adalah suatu aktifitas mental dimana seseorang menangkap sesuatu,
yang dalam kasus teks sesuatu tersebut adalah makna teks itu”. 2)
Istilah bayan (to explain) dimaknai sebagai “menyampaikan kepada
publik pesan-pesan yang terdapat di dalam teks dalam bentuk lisan
maupun tulisan dengan cara memberikan keterangan-keterangan
dan analisa-analisa tertentu”.
2. Hermeneutika dapat memperkuat etika dalam penafsiran.
Di kalangan umat islam telah muncul kelompok fundamentalis
yang memandang bahwa penafsiran merekalah yang paling benar
(truth claim). Pandangan fundamentalis di atas jelas telah keluar
dari etika penafsiran. Etika penafsiran yang benar adalah sebaliknya,
kita tidak boleh mengklaim kebenaran pada diri kita, karena dalam
penafsiran terdapat banyak hal yang menghalangi penafsir untuk
sampai kepada kebenaran eksegetik tunggal. Dengan adanya teori
pluralitas penafsiran, keberagaman fungsi penafsiran dan truth value
serta sisi obyektivitas dan subjektifitas penafsiran yang dikemukakan
oleh Gracia kiranya dapat memperkuat etika dalam penafsiran teks
al-Qur’an yang telah dipraktikkan oleh para ulama tersebut.

66 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

Signifikansi hermeunetika terhadap pengembangan ilmu tafsir


juga dapat diperkuat dengan adanya catatan sejarah yang merupakan
embrio hermeunetika pada masa klasik dan atau dalam dekade 1960
sampai 1970-an hingga pada periode setelahnya telah muncul tokoh-
tokoh yang mulai serius memikirkan persoalan metodologi tafsir.
Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah:
1. Para pembaharu muslim di India yaitu Akhmad Khan, Amir
Ali, Ghulam Ahmad Pharves, yang merintis Operasional
hermeunetika modern dengan berusaha melakukan
demitologisasi, yakni konsep-konsep al-Qur’an yang dianggap
bersifat mitologis seperti mengenai mukjizat dan hal-hal ghaib
(Faiz, 205: 14).
2. Al-Ghazali dengan karyanya Qanun al-Ta’wil
3. Ibnu Rusyd dengan karyanya Fashl al-Maqal.
4. Muhammad Abduh yang secara operasional melakukan
operasi hermeunetika dengan bertumpu pada analisis sosial
kemasyarakatan.
5. Hasan Hanafi yang mempublikasikan tiga karyanya dengan
corak hermeunetik, yang pertama berkaitan dengan upaya
rekonstruksi ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan
hermeunetika fenomenologis dalam menafsirkan fenomena
keagamaan dan keberagamaan, dan yang ketiga berhubungan
dengan kajian kritis terhadap hermenetika eksistensial dalam
kerangka penafsiran perjanjian baru (ibid).
6. Mohammed Arkoun dari Aljazair yang menghasilkan idenya
mengenai “cara baca” semiotik terhadap alQur’an.
7. Fazlurahman, merumuskan metode hermeunetika yang
sistematik terhadap al-Quran dan dikenal sebagai “Double
Movement” (Sibawaihi, 2007: 2).
8. Nasr Hamid Abu Zayd, yang dengan intensif menggeluti kajian
hermeneutika dalam tafsir klasik (Saenong, 2007: 47).
9. Amina Wadud Muhsin, Asyghar Ali Enginer, Farid Esack

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 67
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

untuk menjelaskan metodologi penafsiran al-Qur’an yang


lebih kontemporer dan sistematis (ibid).
Melihat corak yang terdapat dalam karya-karya tokoh-tokoh di
atas yang berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri maka, cara kerja atau
dalam melakukan proses penafsiran juga berbeda-beda dalam istilah
maupun bentuknya, walaupun demikian cara kerja yang dikemukakan
oleh beberapa tokoh memiliki kontribusi dan keterpaduan satu sama lain
yang saling melengkapi. Kita dapat mengetahui bagaimana cara kerja
hermeunetika dari beberapa tokoh di bawah ini:
1. Emilio Beti
Menurut Emilio Beti, dalam melakukan penafsiran seorang penafsir
harus melakukan proses triadik yaitu tiga proses yang memiliki segi yang
saling berhubungan. tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang
penafsir adalah menjernihkan persoalan atau teks yang akan dimengerti
atau mengenal pesan/kecondongan sebuah teks. Selanjutnya upaya
meresapi isi teks sehingga pada mulanya “yang lain” menjadi “aku” yaitu
penafsir itu sendiri. Meresapi akan diperoleh dengan mengerti secara
sungguh-sungguh dengan didasarkan atas pengetahuan yang benar.
Setelah meresapi penafsir harus melakukan rekonstruksi-instruktif, dalam
bahasa Emilio Beti yaitu sensus non est inferendussed efferendus (makna
bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan harus diturunkan). Penafsir
tidak boleh bersifat pasif melainkan harus aktif untuk merekonstruksi
makna dengan alat yang dimiliki oleh penafsir yaitu cakrawala intelektual,
pengalaman masa lalu, saat ini, latar belakang kebudayaan, dan sejarah
yang ia miliki (Sumaryono, 1999: 31).
2. Martin Heidegger
Dalam bukunya yang berjudul Sein und Zeit, dalam melakukan
upaya penafsiran terhadap Dasein (bahasa Heidegger dalam menyebut
manusia) penafsir harus memahami bahwa Dasein selalu diketemukan
dalam kepadatan atau kerangka waktu yang lampau sebagai Befindlichkieit,
sekarang sebagai Rede, dan yang akan datang sebagai Versthehen.
Hermeunetik menegaskan bahwa Dasein auttentik selalu dilihat dalam
konteks ruang dan dimana Dasein memahami dan menghayatinya. Tidak
bisa keluar dari konteks karena yang akan penafsir lihat hanya Dasein
yang semu yang artificial atau buatan saja. Dasein dapat dipahami melalui
dalam ruang dan waktu dimana ia berada, dengan kata lain Dasein selalu

68 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

berada dalam waktu, keadaan yang tersituasikan dan hanya benar-benar


dapat dipahami dalam situasinnya ketika ia lahir. Jadi menurut Heidegger
penafsiran itu dilakukan dengan harus melihat kontekstual dimana teks
itu dilahirkan, sehingga dengan demikian penafsir dapat menemukan
pesan yang dimaksud oleh teks (ibid).
3. Hans George Gadamer
Gadamer mengatakan bahwa kegiatan penafsiran meliputi adanya
kreativitas, estetika, fleksibilitas, imajinasi dan efektifitas. Gadamer dalam
memahami teks masa lampau menggunakan bentuk affective history.
Dalam memahami Time (waktu) Gadamer mengatakan setidaknya ada
tiga bagian; Past (masa lampau), Present (Masa sekarang), dan Future
(masa depan) (Syamsuddin, 2003). Uraian ketiga bentuk tersebut sebagai
berikut:
1. Past (masa lampau), dikatakan sebagai tempat lahirnya teks
tersebut. Teks tersebut milik semua setiap orang dimana mereka
bebas untuk menginterpretasikannya/menafsirkan. (2) Present
(masa sekarang), dibagian kedua ini prejudice (prasangka) dari
para penafsir dihubungkan dengan teks dari masa lampau sehingga
memunculkan penafsiran yang sesuai dengan konteks penafsir. (3)
Future (masa depan), pada bagian ketiga ini letak affective history
yang didalamnya terdapat keterkaitan antara dunia teks, dunia
penafsir, dunia audiensi. Dengan demikian menafsirkan berarti
harus aktif dan inovatif dalam mendialogkan teks dengan konteks
kekinian, dengan bahasa lain rekonstruksi makna agar teks dapat
dipahami saat ini, dan alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir,
pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, dan latar belakang
kebudayaan yang ia pahami.
Melihat pokok-pokok pemikiran hermeunetika yang komperehensif
maka hermeunetika visible untuk diintegrasikan ke dalam ilmu
tafsir, bahkan dapat memperkuat metode penafsiran al-Qur’an.
Asumsi ini didasarkan pada arumentasi-argumentasi berikut:
pertama, secara terminologi hermeunetika (dalam arti tentang
“ilmu menafsirkan”) dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda.
Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana kita memahami
dan menafsirkan teks secara benar dan cermat. Kedua, yang
membedakan antara keduanya selain sejarah kemunculannya, adalah

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 69
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

ruang lingkup dan objek pembahasannya. Hermeunetika mencakup


seluruh ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa
atau teks), sementara ilmu tafsir hanya bekaitan dengan teks. Jadi
teks sebagai objek inilah yang mempersatukan antara hermeunetika
dan ilmu tafsir. Ketiga, Meskipun objek dari dari hermeunetika pada
awalnya adalah bible, dan tafsir adalah al-Qur’an namun bahasa
yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan ilahi kepada
manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti dan dikaji baik
melalui hermeunetika maupun ilmu tafsir.
Asbab an-Nuzul QS Al-Ahzab: 33
Qs. al-Ahzab merupakan surah yang terdiri dari 73 ayat. Surah
ini dinamakan al-Ahzab yang berarti “golongan yang bersekutu” karena
dalam surah ini terdapat beberapa ayat yang menceritakan tentang perang
al-Ahzab. Ulama menyepakati bahwa surah al-Ahzab tergolong ke dalam
surah Madaniyyah (As-Suyuti, 2008). Surah ini turun pada akhir tahun
V Hijrah, yaitu terjadinya Gazwat/perang al-Ahzab yang dinamai juga
perang Khandaqkarena ketika itu atas usul sahabat Nabi saw., Salman al-
Farisi, Nabi saw. Bersama para sahabat beliau menggali parit (khandaq)
pada arah utara kota Madinah, tempat yang ketika itu diduga keras akan
menjadi arah serangan kaum musyrikin. Peristiwa ini terjadi pada bulan
Syawal tahun V Hijrah (Shihab, 2009: 403).
Qs. al-Ahzab: 33 termasuk salah satu surah di dalam al-Qur’an
yang memiliki asbabun nuzul, karena tidak semua surah di dalam al-
Qur’an memiliki asbabun nuzul. Asbabun nuzul di dalam al-Qur’an perlu
diketahui agar pembaca mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana ayat
al-Qur’an tersebut diturunkan. Asbabun nuzul Qs. al-Ahzab: 33 secara
implisit dikhususkan untuk istri Nabi Muhammad saw, sebagaimana
hadist berikut: “dari Ikrimah ra., dari Ibnu ‘Abbas ra. Dia mengatakan
bahwa ayat ini secara khusus diturunkan berkenaan dengan para istri
Nabi (Hatta, 2009). Dalam hadist tersebut sangat jelas dipaparkan
kondisi masyarakat yang ada ketika masa itu di mana wanita memang
masih sangat dibatasi ruang geraknya. Masyarakat Arab Madinah waktu
itu masih diwarnai garis keturunan yang berkarakteristik patriarkhal
yaitu sistem garis keturunan yang ditarik dari garis ayah atau laki-laki.
Jadi pemimpin dalam rumah tangga, organisasi, masyarakat adalah
tempat kekuasaan laki-laki, dimana hal tersebut merupakan suatu adah

70 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

atau tradisi yang lazim (Syamsuddin, 2009: 89). Perempuan memiliki


porsi sangat kecil untuk menempati posisi-posisi publik termasuk peran
dalam bidang sosial dan bekerja keluar rumah untuk mencari nafkah. Jadi
melihat sistem garis keturunan atau pola masyarakat yang berkarakteristik
patriarkhal, maka sangat wajar jika pada masa itu istri-istri Nabi dilarang
untuk keluar rumah kecuali jika ada alasan yang benar-benar mendesak
dan diperbolehkan oleh tuntunan agama.
Munasabah Ayat QS. Al-Ahzab (32, 33, 34)
“Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidak lah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada dalam penyakit dala hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik” (32)” Dan hendaklah kamu kamu tetap
di rumahmu, janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-
orang jahiliyah yang terdahulu. Dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan
dosa dari kamu ahlul bait, serta membersihkan amu sebersih-bersihnya”. (33)
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu berupa ayat-ayat Allah dan
hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.”
(34)
Setelah melihat kandungan yang terdapat dalam Qs. al-Ahzab: 32,
33, 34 di atas maka kita dapat mengetahui munasabah dari ke tiga ayat
tersebut. Setelah dikaji ternyata ketiga ayat tersebut memiliki tujuan etis
yang sama dan saling berhubungan satu sama lain. Untuk mengetahui
bagaimana munasabah ke tiga ayat tersebut kita harus memperhatikan
bagaimana prinsip munasabah ayat. Prinsip munasabah ayat yang dapat
diterima adalah harus kembali kepada derajat tamatsul dan tasyabuh.
Munasabah terjadi pada urusan-urusan yang bersatu dan berkaitan awal
dan akhirnya, dengan demikian munasabah dapat diterima oleh akal dan
dapat dipahami (Ash-Shiddieqy, 2009: 38).
Jika kita perhatikan secara seksama maka kandungan dari ayat 32,
33, dan 34, memiliki pesan etis yang saling berangkaian yaitu pesan-pesan
Allah kepada istri-istri Nabi tentang tata kesopanan atau etika (Arrifa’I,
2012: 618). Kandungan ayat 32 mengisyaratkan kepada istri-istri Nabi
yang merupakan wanita-wanita yang tidak sama dengan wanita atau istri-
istri pada umumnya, para istri Nabi memiliki kedudukan dan keutamaan
khusus. Karena mereka memiliki keutamaan dan kedudukan khusus

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 71
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

maka tanggung jawab mereka pun berbeda; istri Nabi diperintahkan


untuk bertaqwa kepada Allah dengan cara mengindari segala yang
mengundang murka Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini ada perintah
untuk bertaqwa dengan cara menjaga etika/adab kesopanan seorang
perempuan dalam berkata, bersikap dan bertingkah laku. Dalam ayat 32
istri Nabi diperintahkan untuk (1) tidak bersikap lemah lembut, lunak
serta dibuat-buat ketika dalam berbicara apa lagi dengan selain mahram
sehingga dapat menimbulkan respon buruk dari orang yang ada penyakit
dan kotoran di dalam hatinya; (2) mengucapkan perkataan yang baik,
tidak menjurus pada hal-hal yang negatif.
Kemudian dilajutkan oleh ayat 33 yang mengisyartakan kepada istri-
istri Nabi untuk (1) tetap tinggal di rumah (2) larangan untuk bertabarruj
(menampakkan perhiasan dalam pengertian umum yang biasanya
tidak ditampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang
berlebihan, yang tidak wajar dan tidk lazim, seperti berdandan menor,
berjalan berlenggak lenggok, dll). (3) perintah untuk melaksanakan
shalat, (4) perintah untuk menunaikan zakat, (5) perintah untuk mentaati
Allah dan Rasul-Nya. Kandungan tersebut jelas merupakan perintah
Allah tentang larangan untuk tidak melakukan hal-hal berlebihan yang
tidak lazim untuk dilakukan terhadap wanita yang baik-baik, dilanjutkan
dengan perintah untuk menjalankan perbuatan yang ma’ruf, dimana ke
lima perintah tersebut merupakan dominan perintah tentang etika atau
adab sopan santun sebagai seorang perempuan, apalagi perempuan yang
sudah bersuami.
Ini terkait dengan ayat setelahnya yaitu ayat 34, yang mengandung
pesan bahwa istri-istri Nabi memperhatikan apa yang dibaca di rumah-
rumah tentang petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya agar tidak
lengah atau menyimpang dari tuntunan-tuntunan tersebut. Adapun
tuntunan-tuntunan tersebut ialah (1) mengingat (hafalkan, pelihara) (2)
melaksanakan apa yang diingat, yakni apa-apa yang dibacakan di rumah-
rumah kamu (istri Nabi) berupa al-Qur’an dan hikmah sunah Nabi.
Dengan kandungan ke tiga ayat di atas maka dapat kita tarik kesimpulan
bahwa ayat 32 adalah ayat yang mengisyaratkan untuk menjaga etika/adab
kesopanan seorang perempuan dalam berkata, bersikap dan bertingkah
laku, dilanjutkan dengan ayat 33 agar istri-istri Nabi bertingkah laku
yang lazim dan tidak berlebihan dan diikuti dengan perintah yang berupa
ajaran untuk bertindak ma’ruf. Ini akhirnya diperkuat oleh ayat 34, yang

72 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

memiliki esensi untuk senantiasa menjaga dan memelihara tindakan-


tindakan ma’ruf yang berupa apa-apa yang dibacakan dari ayat-ayat Allah
dan hikmah Rasul.
Penafsiran QS Al-Ahzab: 33
QS. al-Ahzab: 33 merupakan ayat yang sering dijadikan sebagai
dasar untuk menghalangi wanita untuk pergi ke luar rumah. Dalam
menafsirkan Qs. al-Ahzab: 33, para mufasirin berbeda pendapat. Mereka
memiliki corak penafsiran yang multitafsir. Ada yang menafsirkan secara
tekstual sesuai dengan redaksi ayat seperti Al-Qurtubi dan Ibnu Al-‘Arabi,
ada pula yang lebih moderat yaitu Ibnu katsir, kemudian penafsiran yang
dilakukan oleh tokoh kontemporer al-Maududi yang menafsirkan ayat
tersebut berdasarkan redaksi ayat, namun dengan memberikan syarat-
syarat tertentu terhadap isi ayat tersebut.
“Tempat perempuan adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah
dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan
kewajiban rumah tangga. Adapun apabila memiliki hajat keperluan
untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu”
(Kementerian Agama RI, 2012: 77).
Demikian juga pemikir muslim kontemporer Wahbah az-Zuhaili
yang menyatakan:
“Hendaklah perempuan tetap tinggal di rumah, jangan sering keluar
rumah tanpa ada keperluan yang diperbolehkan agama”.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Tim Penyusun
Tafsir Departemen Agama RI yang memberi penjelasan bahwa istri Nabi
agar tetap tinggal di rumah mereka masing-masing kecuali apabila ada
keperluan. Berbeda dengan para mufasirin di atas, Sayyid Qutub dalam
tafsirnya Fi Zilalil-Qur’an, mengatakan ayat tersebut memberikan isyarat
bahwa rumah tangga adalah tugas pokok para istri, sedangkan selain itu
adalah tempat ia tidak menetap, maksudnya bukan merupakan bagian
dari pada tugas pokoknya. Kemudian Quraish Shihab yang cenderung
kepada penafsiran Sayyid Qutub dan Muhammad Qutub, menambahkan
bahwa fokus masalahnya adalah bukan terletak pada ada atau tidaknya hak
mereka untuk bekerja tetapi bahwa Islam tidak cenderung mendorong

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 73
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

perempuan keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang


sangat perlu, dimana pekerjaan tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.
Kondisinya menjadi berbeda apabila kondisi ekonomi suatu keluarga
yang bisa dikatakan kurang dari cukup, maka perempuan pun tidak keliru
apabila bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Hal ini juga berlaku apabila sang suami sudah bekerja tetapi hasil yang
didapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka disini
peran perempuan adalah untuk membantu ekonomi sang suami demi
memenuhi kebutuhan hidup.
Setelah kita mengetahui berbagai pandangan mufasirin terkait
dengan penafsiran Qs. Al- Ahzab ayat 33, maka penulis tertarik untuk
menganalisis ayat tersebut mengunakan metode hermeunetika. Penulis
tertarik menggunakan metode ini karena hasil yang ditafsirkan cenderung
lebih sophisticated dengan menembus horizon teks itu sendiri kemudian
menuju horizon author atau pesan apa yang sebenarnya yang diinginkan
oleh pengarang, kemudian ditarik pada konteks kekinian atau horizon
audience dimana teks al-Qur’an menghadapi realitas masyarakat yang
cenderung dinamis dan kompleks ketika teks al-Qur’an tersebut sedang
ditafsirkan. Menurut Gadamer; dalam melakukan kegiatan penafsiran
meliputi tiga tahapan yaitu 1) Past (masa lampau, dikatakan sebagai
tempat lahirnya teks), 2) present (masa sekarang yang merupakan prejudice
dari para penafsir yang dihubungkan dengan teks dari masa lampau
sehingga memunculkan penafsiran yang sesuai dengan konteks penafsir,
3) Future (masa depan, yang merupakan affective history yang di dalamnya
terdapat keterkaitan antara dunia teks, dunia penafsir dan dunia audiensi
(Syamsuddin, 2003: 59).
Sebelum melangkah lebih jauh, langkah awal yang hendaknya
dilakukan adalah mengetahui dan membedah aspek kebahasaan dari kata
Waqarna. Ini merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan penafsiran
di kalangan mufasirin. Kata Waqarna diperselisihkan pada aspek akar
katanya; beberapa ulama berpendapat bahwa kata Waqarna berasal dari
kata Qarna (dibaca fathah pada huruf qaf). Hal tersebut dibaca oleh
imam ‘Asim berasal dari kata iqrirna yang menandung arti “tinggalah
dan beradalah di tempat”. Ini merupakan pandangan dari para ahli qiraat
Madinah dan sebagian ulama kuffah. Abdulah Yusuf ‘Ali menerjemahkan
kata tersebut dengan Stay quietly in your houses”. Kata stay oleh AS Hornby
dalam kamus Oxford diberikan arti sebagai “remain, continuously in place

74 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

or condition (for long or short time, permanently or temporarily” (Kementrian


Agama RI, 2012: 78).
Sementara itu ada juga yang membaca waqirna ini merupakan
tulisan dari ulama Bashrah dan sebagaian ulama Kuffah yang mengartikan
waqirna “tinggalah di rumah kalian dengan tenang dan hormat”. Terlepas
dari perbedaan ulama mengenai akar kata dari ayat tersebut, di dalam al-
Qur’an juga banyak menggunakan term ini, dengan segala derivasinya
terulang sebanyak 38 kali yan secara umum mengandung arti “tempat”
atau “tempat tinggal”. Di antaranya adalah kata Fi Qararin makin dalam
surah al-Mu’minun ayat 13, dan juga kalimat fabi’sal-Qarar dalam
Surah Sad ayat 60. Dari Uraian di atas apabila kita lihat dari segi makna
kebahasaannya maka Qs. Al-Ahzab ayat 33, di mana makna kata waqarna
secara umum adalah tempat tinggal dan tempat, maka ayat tersebut
seolah-olah memberikan larangan terhadap perempuan untuk keluar
rumah termasuk untuk bekerja mencari nafkah. Namun kita tidak akan
hanya berhenti sampai pada makna secara kebahasaan yang seolah-olah
al-Qur’an mengekang perempuan untuk keluar dari rumah dan untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Setelah menganalisa makna teks kebahasaan, maka kita harus
kembali ke lorong waktu dan tempat (kontekstual) ketika ayat itu
diturunkan untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
waktu itu sehingga ayat tersebut turun. Qs. Al-Ahzab ayat 33 turun
diperuntuukan bagi istri Nabi. Sebagaimana hadist berikut dari Ikrimah
ra, dari Ibnu Abbas ra, Dia mengatakan bahwa ayat ini secara khusus
diturunkan berkenaan dengan para istri Nabi (Maghfirah, 2006).

Melihat dari sisi kebahasaan saja dirasa kurang cukup untuk
mencapai pada horizon teks, makna apa yang sebenarnya dimaksud
oleh pengarang. Fakta historis juga dapat digunakan untuk melacak
makna ayat. Fakta sejarah mencatat beberapa prosesi yang dimiliki oleh
perempuan-perempuan pada masa Nabi, sahabat, tabi’in, bahkan dalam
kitab hadis Imam Bukhari yang secara khusus menuliskan bab tentang
beberapa aktivitas sosial kaum perempuan pada masa Rasulullah ternyata
banyak yang terlibat aktivitas-aktivitas sosial kaum perempuan (Shihab,
1996). Pada masa Rasulullah, di kalangan sahabat dan tabi’in tercatat
nama-nama seperti Ummu Salamah, Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah,
Ummu Sinam Al-Syamsiyah, yang semunya merupakan tokoh-tokoh
wanita yang tercatat sebagai tokoh peperangan. Profesi lain seperti seperti

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 75
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

perias pengantin yaitu Ummu Salim binti Malhan yang merias antara
lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw serta ada juga yang
bekerja sebagai bidan, dan perawat. Dalam bidang ekonomi perdagangan
kita sangat tidak asing dengan nama Siti Khadijah binti Kuwailid yang
merupakan istri Nabi Muhammad Saw tercatat sebagai pedagang yang
sangat sukses. Selain itu Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai
seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy aktif bekerja menyamak
kulit binatang. Istri sahabat Nabi yaitu Raithah dari sahabat Nabi yang
bernama Abdulllah Ibnu Mas’ud sangat aktif bekerja karena suaminya
ketika itu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Al-Syifa,
seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh khalifah
Umar sebagai petugas yang mengangani pasar dikota Madinah. Hadist
lain yang dapat dijadikan penguatan adalah telah diriwayatkan oleh
Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya dari isyah dia berkata, “Saudah
keluar setelah turunnya ayat hijab untuk menunaikan hajatnya. Dia
adalah seorang wanita yang gemuk yang gampang dikenal oleh siapa saja
yang sebelumnya tahu tentang dirinya. Saat itu dilihat oleh Umar bin
Al-Khatab, maka Umar berkata, ‘Wahai Saudah ketahuilah, demi Allah
kau tidak bisa bersembunyi dari kami, maka pikirkan bagaimana kamu
keluar rumah!” Aisyah berkata, “Maka dia kembali, saat itu Rasulullah
berada di rumah saya dan dia sedang makan malam dan ditangannya ada
tulang dan bekas daging.” Saudah masuk dan berkata, “Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya keluar untuk menunaikan hajat saya, maka Umar
berkata kepada saya demikian, dan demikian. “Aisyah berkata “Maka
Allah menurunkan wahyu Nabi, lalu wahyu itu selesai, dan tulang itu
masih ada di tangannya.” Maka Rasululullah berkata, “Sesungguhnya
Allah telah mengizinkan pada kalian untuk keluar untuk hajat-hajat
kalian” (Al-Barudi, 2010: 443).
Lebih lanjut fakta sejarah mengatakan bahwa di dalam surah An-
Naml: 29-35, dipaparkan kesuksesan ratu Balqis, yang tidak dipaparkan
kecacatan sedikitpun, justru secara simbolik melalui peristiwa-peristiwa
yang dialaminya bahwa ratu Balqis sukses yang dapat diketahui melalui
sifat atau karakter yang dimilikinya yaitu demokratis, perhatian terhadap
ketentraman rakyat dan bijaksana, menyukai diplomasi, perdamaian
dan ketelitian, serta cerdas, hati-hati dan memiliki kekuatan mental
(Syamsuddin, 2009: 98).

76 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

Selain fakta historis kita bisa mengetahui melalui hadist-hadist


yang berkaitan dengan QS. Al-Ahzab ayat 33. Rasulullah bersabda,
“Janganlah kalian menghalangi kaum wanita untuk pergi ke masjid-
masjid Allah, tetapi hendaklah mereka itu pergi tanpa memakai wangi-
wangian, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka (HR Abu
Dawud). Juga dipaparkan Nabi Muhammad Saw dalam hadist lain Dari
Salim bin Abdillah ra, dari bapaknya, Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid
maka hendaklah ia jangan melarangnya” (HR Bukhari). Hadist tersebut
telah menunjukkan bahwa Rasul tidak memberikan larangan kepada
perempuan akan tetapi Rasul justru memberikan penegasan bahwa
jangan melakukan pelarangan terhadap perempuan apabila, perempuan
hendak melakukan sholat ke masjid-masjid Allah Swt., namun dalam
hadist tersebut dipaparkan juga bagi kaum perempuan untuk tidak
memakai wangi-wangian dengan maksud bahwa untuk menjaga kesucian
diri, berpakaian sederhana sehingga tidak mengundang lawan jenis
untuk tertarik kepadanya. Nabi juga menjelaskan bahwa rumah-rumah
perempuan adalah lebih baik, namun Nabi pun juga tidak melarang
apabila wanita keluar rumah untuk melaksanakan ibadah ke masjid Allah.
Yang terjadi saat ini, pelarangan wanita-wanita keluar rumah
sekalipun untuk pergi ke masjid seperti yang terjadi di Palestina dan
Iraq adalah dikarenakan masalah keamanan dan keselamatan, bukan
masalah fiqih. Mereka dilarang keluar rumah secara sembarangan untuk
mengantisipasi kejahatan yang dilakukan tentara Israel bagi warga
Palestina dan demikianpun yang terjadi di Iraq dan Suriah. Fenomena
baru justru muncul di Negara-negara Arab selain Palestina dan Suriah,
seperti di Negara Arab Saudi yang terkenal super ketat terhadap kaum
wanita. Pada tahun 2018 ini pemerintah Arab Saudi secara resmi
membolehkan kaum wanita untuk menyetir mobil sendiri. Setelah
berabad-abad lamanya peraturan ini baru keluar di tahun 2018, hal ini
menunjukkan bahwa di negeri Arab telah terjadi perubahan nilai yang
berkaitan dengan masalah wanita. Selain hal tersebut berkaitan dengan
profesi di negara Arab juga telah muncul pilot-pilot wanita, di mana
hal ini menjadi terobosan baru bagi wanita Arab dan sekaligus prestasi
yang membanggakan sebagai seorang pilot wanita. Banyak profesi
yang digeluti wanita saat ini seperti pemain sepak bola, wasit, atlet voly
(Ibtihaj Muhammad), tinju (Laela Ali), di mana profesi tersebut biasanya

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 77
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

dilakukan oleh laki-laki. Berkaitan dengan hal tersebut tidak ada ulama
yang melarang atau mengecam tindakan yang dilakukan oleh para wanita
tersebut, justru hal tersebut menjadi viral di dunia dan merupakan bagian
dari prestasi yang membangggakan.
Untuk menambahkan penguatan bahwa QS. Surah Al-Ahzab: 33
tidak mengandung larangan bagi perempuan untuk keluar rumah, maka
kita bisa melihat ayat-ayat lain yang saling berhubungan. Contohnya
Pada QS. An-Nisa: 15, dimana di dalam kandungan ayat tersebut
dipaparkan tentang hukuman perempuan yang berzina untuk menetap
di rumah dan tidak keluar sama sekali hingga ia wafat atau diberi jalan
keluar lain, yakni adanya ketetapan hukum baru atau dia memperoleh
suami (ibid). Dari kandungan ayat tersebut kita bisa mengetahui adapun
wanita yang berada di dalam rumah terus menerus adalah perempuan
yang telah melakukan zina maka ia dihukum untuk tidak keluar rumah.
Pengasingan tersebut merupakan bentuk punishment yang bukan tanpa
sebab, melainkan terdapat kasus yang jelas yaitu zina. Dengan demikian
rasanya tidak adil, tidak manusiawi dan sangat membelenggu perempuan
apabila perempuan yang tidak bersalah, tidak melakukan perbuatan zina
kemudian diperlakukan dengan perlakuan yang sama yaitu dilarang
untuk keluar rumah atau diasingkan. Jika demikian yang terjadi maka
tidak ada perubahan yang berarti antara perlakuan terhadap wanita ketika
zaman jahiliyah dan sesudah zaman jahiliyah. Hal tersebut didasarkan
dengan asumsi bahwa perempuan tetap terkekang dan tidak memiliki
kemerdekaan dalam bersosialita, dan menyalurkan kapabilitasnya
termasuk untuk bekerja di luar rumah.
Jika memahami substansi ayat dari QS. Al-Ahzab: 33, dengan
merujuk pendapat beberapa mufasir atau ulama yang telah dipaparkan
di atas bahwa tugas utama seorang wanita adalah mengerjakan pekerjaan
domestik rumah tangga atau melayani suami, menjaga harta suami
dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Jadi dapat dipahami bahwa
persoalan utamanya adalah terletak pada tugas utama seorang wanita yang
berada pada wilayah domestik rumah tangga, bukan pada tetap tinggal
atau keluar dari rumah (Shihab, 2008: 648). Melihat realita pada zaman
sekarang banyak wanita-wanita yang hanya fokus mengurusi urusan
domestik keluarga, namun mereka juga tidak fokus karena beberapa faktor
diantaranya karena rasa jenuh yang membuat mereka bekerja dengan
tidak maksimal dalam mengurusi suami dan dalam mendidik anak-anak

78 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

mereka. Di sisi lain ada juga wanita yang bekerja di luar rumah, mereka
memiliki profesi tetap tetapi pekerjaan domestik rumah tangga tetap
berjalan, dan wanita tersebut sukses untuk mengurusi keduanya. Jadi
tidak bisa dijadikan sebagai patokan bahwa yang hanya fokus terhadap
pekerjaan domestik akan lebih cakap atau professional dalam mengurusi
urusan domestik rumah tangga. Dan yang berkarir atau bekerja di luar
rumah terhalang atau tidak cakap mengurusi urusan rumah tangga. Yang
perlu dijadikan perhatian adalah bagaimana memanajemmen waktu
dengan baik, tidak hanya fokus pada kuantitas namun kualitas juga harus
diutamakan, keduanya sama-sama memiliki kedudukan yang penting.
Melihat berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa pemaparan
hadist, ditambah dengan melihat fakta historis kehidupan pada zaman
Nabi, sahabat, tabi’in yang juga memberikan ruang kepada wanita
untuk berkecimpung dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan
berkecimpung di kehidupan masyarakat maka pandangan-pandangan
yang membatasi atau bahkan melarang perempuan untuk keluar rumah
apabila bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah
termasuk pandangan yang kontra produktif terhadap ajaran al-Qur’an
secara keseluruhan dan menurut penulis kurang tepat. Pandangan
tersebut hanya berhenti pada makna literal ayat atau hanya berhenti pada
romantisme sejarah masa lalu yang berada pada lorong waktu dan tempat
ketika teks itu diturunkan. Pandangan yang semacam itu hanya berpaku
pada makna teks dan kontekstual ketika ayat tersebut di turunkan
sehingga tidak melihat dinamika zaman yang terus berkembang, dan
tidak melihat betapa perkembangan wanita yang hebat, pandai, dan cerdas
dalam berbagai aspek bidang kehidupan. Bahkan pada sebagian jabatan
publik, politik, dan profesi yang lain banyak fakta yang menunjukkan
bahwa wanita telah sukses menjadi seorang pemimpin dimana bawahan
mereka termasuk kaum laki-laki telah loyal terhadap pemimpinnya.
Permasalahan yang tampak di antara bidang profesi yang tidak sama
antara bidang pekerjaan yang ada pada masa Nabi, sahabat, tabi’in
dibandingkan dengan pekerjaan pada masa sekarang, bukan merupakan
suatu halangan atau suatu argumentasi bahwa wanita dilarang keluar dari
rumah untuk bekerja. Pekerjaan-pekerjaan yang ada pada zaman sekarang
sebagian sudah ada pada masa Nabi, sahabat, tabi’in, hanya saja bidang
pekerjaan pada zaman sekarang lebih kompleks dan lebih bervarian. Perlu
di garis bawahi bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada ayat satupun yang

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 79
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

melarang wanita untuk bekerja, hal ini dapat dilihat pada surah al-Mulk:
2. Dalam ayat ini laki-laki dan perempuan dituntut untuk mengerahkan
kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan melakukan tugas-tugasnya.
Kemudian dapat juga dilihat pada Surah an-Nisa: 32, ayat tersebut
mengandung makna bahwa Allah telah memberikan karunia pada laki-
laki dan perempuan atas yang mereka usahakan masing-masing. Mufasir
Abu Hayyan memberikan komentar terhadap ayat tersebut bahwa islam
tidak menerima orang yang hanya berangan-angan dan berpangku tangan
tidak pula memperkenankan sikap pasif dan malas melainkan untuk
selalu progresif dan bekerja keras (ibid: 84). Secara sederhana kita dapat
memahami makna tersirat dari rukun islam yaitu untuk bersyahadat,
shalat, puasa, zakat dan haji. Allah secara tidak langsung memerintahkan
umat manusia untuk menjadi orang yang mampu secara materi untuk
melaksanakan rukun islam yang berjumlah 5 tersebut. Ada perintah untuk
shalat, apabila kita tidak memiliki materi untuk membeli perlengkapan
sholat kita tidak bisa menunaikan sholat. Demikian juga zakat, apabila
tidak punya materi atau harta benda maka kita tidak bisa melaksanakan
zakat secara materi, dan rukun islam yang terakhir adalah pergi haji, kita
tidak bisa berhaji apabila tidak istita’ah (mampu) baik secara materil
maupun non materil. Hal-hal yang demikian perlu kita hayati betapa
islam sebenarnya menyuruh kita menjadi orang yang cukup atau mampu
untuk dapat memenuhi rukun islam.
Yang perlu diperhatikan adalah meyangkut bagaimana pekerjaan
yang baik dan pantas bagi seorang perempuan sehingga apabila dijalankan
tetap aman dan tidak menimbulkan mudharat. Mengambil pendapat
dari Muhammad al-Ghazali yang dikutip oleh Quraish Shihab (2007:
405): pertama, pekerjaan yang dilakukan perempuan adalah pekerjaan
yang layak bagi perempuan, apalagi kalau memang itu spesialisasinya
perempuan (fardu kifayah bagi perempuan), seperti berprofesi menjadi
bidan, maka pelarangan terhadap hal tersebut justru sangat keliru. Yang
perlu ditambahkan adalah ketika keluar rumah untuk bekerja, perempuan
harus tampil dengan sikap dan pakaian yang terhormat. Kedua, perempuan
bekerja untuk membantu tugas pokok suami. Ketiga, bahwa perempuan
bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya jika
tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun ada namun tidak
mencukupi.

80 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwa QS. al-Ahzab ayat 33 berbicara
mengenai hak-hak kaum perempuan (bolehkah perempuan keluar rumah
(untuk bekerja) atau tidak?) dan larangan berhias atau bertabarruj seperti
kaum jahiliyah terdahulu. Mengenai topik pada ayat ini, banyak mufasir,
ulama dan masyarakat yang berbeda pendapat mengenai konten ayat 33.
Mereka memahami ayat ini secara tekstual sehingga menimbulkan hasil
penafsiran yang kontradiktif terhadap pesan ajaran al-Qur’an. Penggunaan
metode hermeunetika terhadap penafsiran ayat ini dapat mengantarkan
kita ke dalam cakrawala yang lebih holistik, tidak terjerat pada makna
yang bersifat tekstual/normatif sehingga menimbulkan pemahaman yang
kaku terhadap teks ayat.
Terkait apakah kaum perempuan boleh ke luar rumah atau tidak,
penulis menyimpulkan bahwa kaum perempuan boleh bekerja di luar
rumah dalam berbagai aspek kehidupan. dengan syarat tetap menjaga
kehormatan dan kesucian diri baik bagi perempuan yang belum atau sudah
bersuami. Karena permasalahan yang utama adalah bukan terletak pada
menetap atau tidak menetap di rumah, melainkan tugas dan kewajiban
perempuan dalam wilayah domestic rumah tangga. Ketika perempuan
dapat menyelesaikan pekerjaan domestic rumah tangga dengan baik,
maka perempuan boleh bekerja di luar rumah. Bagi wanita yang sudah
tercukupi kebutuhan hidup oleh suaminya maka pekerjaan itu diniati untuk
beribadah. Namun apabila perekonomian keluarga belum mencukupi
maka pekerjaan yang dilakukan adalah dalam rangka membantu sendi
ekonomi sang suami. Tentunya penulis dalam menyimpulkan penafsiran
ini di dasarkan atas hadist-hadist Nabi dan juga ayat-ayat al-Qur’an
yang telah di paparkan pada bab pembahasan, serta dibenturkan dengan
konteks keadaan dinamika masyarakat yang terus mengalami perubahan.

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 81
Volume X, No.2, 2017
Naili Fauziah Lutfiani

Daftar Pustaka
Al-Barudi, Imad Zaki, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2010.
Alqur’an Maghfirah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006.
Arrifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema
Insani, 2012.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (‘Ulum
al-Qur’an), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
As-Suyuti, Jalaludin, Sebab Turunnya Ayat Alqur’an, Jakarta: Gema Insani
2008.
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005.
Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981.
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran
Perempuan, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Pelajar, 2012.
Palmer, Richard E., Hermeunetika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Saenong, Ilham B., Hermeunetika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Qur’an
menurut Hasan Hanafi, Jakarta, Teraju, 2002.
Sahiron Syamsuddin, Studi Al-Qur’an (Metode dan Konsep), Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2010.
Shihab, M., Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Shihab, M., Quraish, 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui,
Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Shihab, M., Qurais, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Berbagai
Persoalan Umat, Jakarta: Lentera Hati, 1996.
Sibawaihi, Hermeunetika Alqur’an Fazlurrahman, Bandung: Jalasutra,
2007.
Sumaryono, E., Hermeunetik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: 1999,
Kanisius.

82 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume X, No.2, 2017
Hak-Hak Perempuan dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33

Syamsudin, Sahiron, Hemeunetika dan pengembangan Ulumul Qur’an,


Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2009.
Syamsuddin, Sahiron, DKK., Hermeneutika Alqur’an: Madzhab Yogya,
Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.
Ricoeur, Paul, Hermeunetika Ilmu Sosial, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Offset, 2012.

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 83
Volume X, No.2, 2017

You might also like