687 1519 2 PB

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal.

19-31 ISSN : 1858 - 1307


E-ISSN : 2460 - 7649

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN


BELANJA DESA (APBDes) UNTUK MENINGKATKAN
PEMBANGUNAN DESA
(Studi Kasus di Desa Bandung Kecamatan Gedeg Kabupaten
Mojokerto)

Selamet Joko Utomo


Program Studi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo
Email: [email protected]

ABSTRACT
This study analyzes the implementation of policies APBDes in improving rural
development. In APBDes policy implementation is often in its execution is still a
dominance of village government. APBDes policies should apply the principle of
good governance that include participation, transparency and accountability so
that the goal is done in village development can be achieved.
Qualitative descriptive analysis techniques using domain analysis technique
which uses the pattern of semantic relationships. The results show, that in the
process of policy implementation APBDes held in the village of Bandung has not
met the principles of Good Governance. In terms of community participation, the
community has not been involved in policy-making process of development and
community participation has not been instituted so that people do not have the
power to influence policy-making, in terms of transparency, the village
government is not open to the public in the financial management of the village
where the people do not have access to know the size budget managed by the
village government. In terms of accountability, accountability of village
government in its financial management was limited to formal legal qualifies only,
and not be accountable to the village where the government is accountable for
the implementation of its development to the people they lead.

Keywords: APBDes, Good Governance, Rural Development

PENDAHULUAN
Penerapan otonomi daerah memerlukan dukungan dan pengembangan
suatu sistem pengelolaan pembangunan yang lebih mendorong keterlibatan
masyarakat secara lebih luas. Pada tataran pemerintahan, perlu ditumbuhkan
perilaku pemerintahan yang jujur, terbuka, bertanggungjawab dan demokratis
(good governance). Sedangkan pada tataran kemasyarakatan harus
dikembangkan mekanisme yang memberikan peluang partisipasi bagi warga
dalam proses pengambilan kebijakan.
Melalui undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Pemerintah Indonesia mengisyaratkan adanya desentralisasi atau
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang
tersebut merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 22 tahun 1999
tentang otonomi daerah. Penjelasan secara teoritis tentang desentralisasi oleh
19
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Kunarjo (2002) diterangkan sebagai upaya penyerahan atau pengakuan urusan


pemerintahan terutama terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
Pelibatan masyarakat dalam setiap proses penentuan kebijakan
pembangunan akan memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan kebijakan
pembangunan tersebut. Dengan partisipasi diharapkan masyarakat mampu
melakukan perencanaan pembangunan (melalui perencanaan tata ruang desa)
bersama-sama dengan pemerintah setempat, melaksanakan pembangunan
sesuai dengan keinginan masyarakat dan mengawasi jalannya pembangunan
serta hasil pembangunan dan yang paling utama adalah masyarakat dapat
menikmati hasil pembangunan yang dibiayai melalui pajak-pajak yang berasal
dari jerih payah rakyat. Islamy (2004) mencatat ada tiga hal yang bisa dipetik
dengan adanya pelibatan bawahan (masyarakat) dalam penentuan kebijakan,
yaitu: (a). masyarakat akan memiliki sense of belonging terhadap keputusan
yang mereka sendiri ikut membuatnya; (b). masyarakat memiliki sense of
partisipation; dan (c). masyarakat akan memiliki rasa ikut bertanggung jawab
(sense of accountability) atas keberhasilan pelaksanaan keputusan tersebut.
Pemerintahan desa, sebagaimana tingkat pemerintahan di atasnya,
memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya. Untuk bisa
melaksanakan kewenangan, pemerintahan desa memiliki sumber-sumber
penerimaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan.
Kemampuan setiap desa dalam menggali penerimaan dan membelanjakannya
tentunya sangat berbeda. Secara eksplisit semuanya itu dapat dilihat dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). APBDes, oleh karenanya
merupakan sebuah representasi bagaimana pemerintahan desa akan mencapai
tujuan-tujuan spesifik dalam membangun dan mengatur desanya. Sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
37 tahun 2007, APBDes terdiri dari tiga komponen yaitu; 1) pendapatan desa, 2)
belanja desa; 3) pembiayaan desa. Penerimaan desa dimaknai sebagai semua
penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam satu
tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Belanja desa yaitu
semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam
satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
desa. Pembiayaan desa yaitu semua penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/ atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran
yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya.
Dari APBDes tersebut terakomodir semua kegiatan pemerintahan,
pembangunan desa berikut penganggaran yang ditimbulkannya, sehingga
dipandang sangat perlu adanya pelibatan masyarakat dalam proses
penyusunan, penetapan dan pelaksanaannya. Karena strategi yang paling jitu
dalam mengakomodasi berbagai kebutuhan yang berkembang di masyarakat
desa adalah keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan proses penyusunan
dan pelaksanaan APBDes tersebut (Centre for Participatory Development
(CéPAD) Indonesia, 2004).
Seyogyanya dalam setiap tahapan penganggaran menurut Rinusu (2003)
harus melibatkan 3 komponen utama stakeholder, yaitu masyarakat, eksekutif,
dan legislatif. Proses penyusunan anggaran yang melibatkan banyak pihak lebih
banyak dampak positifnya daripada negatifnya, lebih dimungkinkan tercapainya
pembangunan yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat, karena tingginya
20
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

partisipasi memungkinkan semakin banyaknya preferensi masyarakat desa yang


bisa diakomodasi oleh anggaran (Maryunani, 2002). Namun pada prakteknya
masyarakat menjadi kelompok marginal. Misalnya dalam tahap penyusunan
anggaran, di tingkat desa yang terlibat adalah rukun tetangga (RT), rukun warga
(RW), tokoh masyarakat, dewan kelurahan dan badan perwakilan desa. Tapi
kenyataan selama ini dalam proses penganggaran yang benar-benar terlibat
secara aktif hanya aparat desa/kelurahan. Kalau seandainya ada pelibatan
masyarakat dalam penyusunan anggaran, pada prakteknya, biasanya hanyalah
superficial belaka dan hanya untuk memenuhi persyaratan legal.
Dengan mendasarkan pada bahwa pemerintahan desa adalah
pemerintahan yang paling bawah yang langsung berhubungan dengan rakyat di
mana rakyat Indonesia sebagian besar masih tinggal di pedesaan.
Pembangunan di desa dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaannya
akan mengakibatkan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
itu sendiri, dimana pendanaan perencanaan pembangunan tersebut dituangkan
dalam APBDes. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu kiranya diadakan
penelitian tentang implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) dalam meningkatkan pembangunan di desa.
Penelitian ini dibatasi pada masyarakat di Desa Bandung Kecamatan
Gedeg Kabupaten Mojokerto. Pemilihan masyarakat di daerah ini didasarkan
atas beberapa hal antara lain. Pemerintah Desa Bandung telah menyusun
APBDes disetiap tahunnya, namun dalam pelaksanaannya masih banyak
kendala- kendala yang dihadapi sehingga dalam pelaksanaan penyusunan
rencana kerja pemerintah desa belum optimal. Dalam kebijakan implementasi
APBDes seringkali proses- proses menjadi monopoli pemerintah desa. Peran
masyarakat hanya sebagai pelengkap dari kebijakan pembangunan yang
dilakukan pemerintah desa.
. Selain alasan di atas Desa Bandung Kecamatan Gedeg Mojokerto adalah
salah satu desa yang secara rutin melaksanakan kegiatan penyusunan rencana
pembangunan desa melalui kegiatan Musrenbang desa dan juga membuat
rencana anggaran kerja selama satu tahun anggaran dalam bentuk APBDes
yang dibahas bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang tertuang
dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) tahunan. serta tujuan
penelitian ini untuk mengetahui implementasi kebijakan Anggaran Pendapatan
dan Balanja Desa ( APBDes) Desa Bandung Kecamatan Gedeg Kabupaten
Mojokerto.
Kondisi sosial kemasyarakatan Desa Bandung masih sangat terjaga
dengan baik. Sebagai desa di pulau jawa, masih kentalnya budaya jawa seperti
masih terlaksananya budaya gugur gunung, rembug desa, gotong royong. Ini
menunjukkan bahwa masyarakat Desa Bandung mempunyai modal social yang
cukup untuk ikut dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan. Hal ini
merupakan cikal bakal dari partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
untuk meningkatkan pembanguna di Desa Bandung.
Di samping itu, berdasarkan data awal di lapangan, hasil wawancara
dengan beberapa tokoh masyarakat Desa Bandung yang peneliti temui dengan
sistem acak diindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Bandung
tidak mengetahui kegiatan-kegiatan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah
Desa Bandung beserta jumlah pembiayaannya seperti yang tertuang dalam
APBDes. Padahal dari APBDes tersebut terakomodir semua kegiatan
pemerintahan, pembangunan desa berikut penganggaran yang ditimbulkannya.
21
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Masyarakat merasa adanya pelibatan terhadap dirinya berkaitan dengan


pembangunan terbatas hanya dalam musyawarah dusun, itupun sebatas pada
permintaan pemerintah desa agar masyarakat mengajukan usul-usul berkaitan
dengan pembangunan. Namun ’nasib’ dari pada usulan-usulan tersebut,
sebagian masyarakat tidak tahu bagaimana kelanjutannya.
Sutoro (2001), memaparkan bahwa pemerintah desa yang dominan
misalnya, dalam hal ini lurah desa dengan perangkatnya, telah terbukti
menciptakan pemerintahan tanpa kontrol warga yang memberikan kemudahan
bagi suburnya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme. Untuk menumbuhkan
pelembagaan demokrasi secara kuat guna tercapainya kesejahteraan dan
keadilan sosial, maka tata kelola pemerintahan dengan menggunakan asas good
governance menjadi penting. Maksudnya adalah berimbangnya pilar- pilar
kekuatan/ kelompok- kelompok kepentingan untuk tidak saling mendominasi
tetapi sebaiknya saling memberikan akses , yakni: antara pilar pemerintahan
desa dengan civil society.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui mekanisme perencanaan pembangunan yang


dilaksanakan di Desa Bandung Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) di Desa Bandung Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto.
3. Untuk mengetahui pengawasan dan pertanggungjawaban dari
implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di
Desa.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Pembangunan
Pembangunan diartikan sebagai suatu perubahan tingkat kesejahteraan
secara terukur dan alami. Perubahan tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
dimensi dari definisi ekonomi, sosial, politik, atau hukum. Perubahan alami
ditentukan oleh siapa yang berperan dalam perubahan itu (Salim,2002 dalam
Wrihatnolo, 2006)

Konsep Partisipasi Masyarakat


Indonesia sebagaimana ditegaskan di atas memiliki tradisi yang
sangat kaya berkaitan dengan pengambilan keputusan, khususnya di level desa.
Dalam berbagai literatur, partisipasi masyarakat dalam pembangunan
diinterpretasikan bermacam-macam. "Partisipasi adalah 'gerakan' masyarakat
untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan, dalam pelaksanaan kegiatan,
ikut menikmati hasil kegiatan tersebut, dan ikut serta dalam mengevaluasinya."
(Uphoff, 1992).

Makna Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan


Partisipasi berasal dari kata participation yang artinya peran serta, dan
secara luas diartikan peran atau ikut serta mengambil bagian dalam suatu
kegiatan tertentu. Mubyarto (1984) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan
untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang
tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
22
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Partisipasi Masyarakat Dari sudut pandang Jenismya


Menurut Nelson di dalam Ndraha (1990) ada dua jenis partisipasi yaitu
partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang
dinamakan partisipasi horisontal, dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan
dengan atasan, atau antara masyarakat dengan pemerintahan yang diberi nama
partisipasi vertikal.

Partisipasi Masyarakat Dilihat Dari Bentuknya


Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat menurut Forum Inovasi (2002)
dapat berupa; 1) mendiskusikan program atau rancangan kebijakan antara
melalui public hearing, dialog interaktif; 2) menyampaikan usulan/keluhan
dalam berbagai kegiatan; 3) menolak kebijakan dengan mendatangi kantor
DPRD dan Pemerintah Daerah secara bersama-sama; 4) merencanakan dan
melaksanakan proyek pembangunan oleh masyarakat.

Tinjauan Partisipasi Masyarakat Dari Tahapannya


Arnstein yang dikutip dalam Forum Inovasi (2002) lewat tipologinya yang
dikenal dengan Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat (Eight Rungs on The
Ladder of Citizen Participation) menjelaskan peran serta masyarakat yang
didasarkan kepada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir.
Delapan tangga partisipasi masyarakat .

Strategi Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat


Peningkatan keterlibatan masyarakat atau partisipasi dalam pembangunan
daerah dikemukakan oleh Tjokroamidjojo (1996) sebagai berikut; pertama
adalah mobilisasi kegiatan-kegiatan masyarakat serasi untuk kepentingan-
kepentingan pencapaian tujuan pembangunan, kedua adalah dengan
meningkatkan oto-aktivitas, swadaya dan swakarya masyarakat sendiri. Pada
cara yang pertama, partisipasi masyarakat lebih didasarkan pada hubungan
satu arah dari atas ke bawah. Sedangkan pada cara kedua terutama ditujukan
kepada sektor usaha swasta. Perhatian khusus kepada golongan masyarakat
tertentu dapat berperan penting dalam meningkatkan partisipasi dalam
pembangunan.

Melembagakan Konsep Partisipasi Dalam Pembangunan


Seperti yang diutarakan sebelumnya, bahwa untuk menjamin
berkembangnya konsep serta berkelanjutan dari partisipasi, maka partisipasi itu
sendiri perlu dilembagakan/diregulasikan dalam suatu produk hukum (misalkan di
daerah dalam bentuk Perda). Pelembagaan partisipasi akan dibutuhkan bila
mana tradisi, atau sistem serta mekanismenya yang berlaku di pemerintahan
tidak/kurang menyediakan ruang untuk keterlibatan masyarakat. Dikarenakan
regulasi ini akan mengatur tentang partisipasi, maka proses penyusunanya harus
dilakukan secara partisipastif pula, dimana tersedia ruang bagi pihak-pihak yang
memiliki kepentingan dalam kebijakan tersebut untuk terlibat.

Konsep Good Governance


Dimensi good governance menurut World Bank sebagaimana
disampaikan oleh Turner dan Hulme (1997) dalam bukunya yang berjudul
“Governance, Administrstion and Development, Making The State work”. World
23
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Bank mengidentifikasi empat kunci dimensi governance pada sektor publik, yaitu
akuntabilitas (accountability), kerangka hukum untuk pembangunan (legal
framework for development), informasi (information), dan transparansi
(transpiration).

Konsepsi Tentang Anggaran


Anggaran menurut Rufus Wixon dalam Burhanuddin (1999) didefinisikan
sebagai “suatu rencana yang disajikan secara kuantitatif yang biasanya
dinyatakan dalam satuan uang yang disusun untuk periode yang akan datang”.
Sementara Syamsi dalam Basri (2003) mendefiniskan, “anggaran adalah hasil
perencanaan yang berkaitan dengan bermacam-macam kegiatan secara terpadu
yang dinyatakan dalam satuan uang dalam jangka waktu tertentu”.
Dalam penyusunan anggaran menurut Rinusu (2003), ada beberapa
prinsip dasar yang harus diakomodir, yaitu:
a. Transaparan
Anggaran hendaknya dapat memberikan informasi tentang tujuan, sasaran,
hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek
yang dianggarkan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penganggaran
harus dilakukan secara transparan.
b. Partisipatif
Masyarakat harus dilibatkan dalam setiap proses penganggaran, demi
menjamin adanya kesesuaian antara kebutuhan dan aspirasi masyarakat
dengan peruntukan anggaran. Selain itu juga untuk memainkan peran
kontrol masyarakat sehingga dapat mencegah dan menemukan praktek
korupsi.
c. Disiplin
Penyusunan anggaran harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat, tanpa
harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Disiplin penting untuk
mencegah terjadinya pencampuradukan dan duplikasi anggaran disamping
juga berkaitan dengan ketepatan waktu dalam pengimplementasian untuk
menghindari kebocoran maupun pemborosan.
d. Keadilan
Pembiayaan pemerintah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi
yang dibebankan kepada segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu,
pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil sehingga bisa
dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian
pelayanan.
e. Efisiensi dan Efektivitas
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk
menghasilkan peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat
secara maksimal. Untuk itu dalam perencanaan perlu ditetapkan secara
jelas, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari setiap
proyek yang diprogramkan.
f. Rasional dan Terukur
Dalam menyusun anggaran baik menyangkut sisi pendapatan maupun
pengeluaran harus memperhatikan aspek rasionalitas anggaran dan dapat
diukur sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah No.
105 Tahun 2000, yaitu (1). Jumlah pendapatan yang dianggarkan merupakan
perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap
24
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

sumber pendapatan; (2). Jumlah belanja yang dianggarkan merupakan


batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.

Sudut Pandang Ekonomi Politik dan Sudut Pandang Teori Pilihan Rasional
Pendekatan klasik menyatakan bahwa cara terbaik untuk mewujudkan
kepentingan publik adalah cara dimana tidak ada intervensi publik. Keputusan
terbaik yang dapat dibuat negara adalah dengan mengarahkan anggota
masyarakat agar mencapai tujuan-tujuan tertentu dimana tujuan-tujuan ini dapat
dicapai sebaik-baiknya kalau tidak ada campur tangan dari negara. Karena itu
kearifan dari keputusan politik sangat patut dipertanyakan, maka sebaiknya
perkembangan masyarakat dibiarkan saja terbentuk sebagai akibat konsekuensi-
konsekuensi yang tidak disengaja oleh tindakan dan keputusan individu dalam
kapasitas pribadi, atau dengan kata lain masyarakat politik sebaiknya digeser
dan diganti masyarakat sipil (Caporaso dan Levine, 1994).
Bagi sebagian penulis dengan metode empiris-analitis, "ekonomi politik"
tampaknya merupakan sebuah label formal yang dapat diterapkan pada
berbagai macam studi yang berkaitan dengan aspek-aspek kebijakan publik. Hal
ini tidak memiliki art i pent ing metodologi tertentu dan hanyalah
merupakan pirant i klasifikasi siap pakai, berguna untuk menarik perhatian
pembaca potensial dan sebagainya.
Teori pilihan rasional mengasumsikan bahwa perilaku manusia
dipandu oleh seperangkat akal. Selain itu juga mengasumsikan bahwa
berbagai fenomena sosial dapat dijelaskan melalui aktifitas yang mendasar dari
individu-individu dalam masyarakat. Aktifitas individu-individu itu sendiri
seringkali dimotivasi oleh tujuan atau keinginan yang mencerminkan pilihan
mereka. Dan individu dalam beraktifitas tentunya akan menghadapi keterbatas-
keterbatasan. Tidak akan mungkin individu akan mencapai semua keinginan
dan tujuannya karena adanya keterbatasan tersebut. Untuk itu, individu harus
membuat pilihan-pilihan tertentu dalam upaya mencapai tujuan dan
keinginannya. Tentu saja pilihan yang merupakan pilihan terbaik dan
memberikan pencapaian tujuan dan keinginan serta memberikan kepuasan.
Individu akan menghitung opportunity cost atas setup pilihan yang akan dia
buat. Rasionalitas individu pada gilirannya akan memberikan pilihan yang
didasarkan atas pencapaian keinginan terbaik tersebut (Green dan Shapiro,
1994).

Gambar 1
Kerangka Berpikir

25
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Sebagaimana diuraikan dimuka bahwa obyek penelitian ini adalah


implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dalam rangka
peningkatan pembangunan pedesaan dengan batasan ruang lingkup:
pelaksanaan APBDes di Desa Bandung Kecamatan Gedeg Kabupaten
Mojokerto. Secara normatif dalam pelaksanaan APBDes pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman pelaksanaan
APBDes.
Menyoroti arti penting Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
dalam proses pembangunan desa yang mempunyai dampak yang luas bagi
masyarakat desa yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa. Dengan melihat semakin tingginya penerimaan desa baik yang
berasal dari pendapatan asli desa, dana bantuan dari pemerintah yang
berbentuk Alokasi Dana Desa (ADD) dan dari penghasilan lainnya yang sah
sesuai dengan undang- undang, belum bisa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa dan merupakan hegemoni dari aparat pemerintah desa; maka
peneliti berupaya untuk menganalisis dan mendeskripsikan berbagai aspek
berkaitan dengan implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) dengan menafsirkan/ menginterprestasikan fenomena social, nilai, dan
kelembagaan serta realitas, kapasitas dan interelasi apara stakeholders
sekaligus terhadap hasil pembangunan di desa.
Landasan teori yang dipersiapkan sebagai grand theory yang
dikemukakan pada bab sebelumnya untuk mendukung kajian ini antara lain:
konsep good governance. Sedangkan pisau bedah yang digunakan adalah
pendekatan good governance untuk memahami implementasi APBDes yaitu:
aspek transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kelembagaan serta relevansi dari
pelaksanaan APBDes dengan hasil pembangunan di Desa Bandung Kecamatan
Gedeg Kabupaten Mojokerto.
Hasil penelitian yang diharapkan adalah eksplorasi implementasi dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dalam proses pembangunan
di Desa Bandung sebagai masukan bagi pemerintah, praktisi dan dunia ilmu
pengetahuan untuk menciptakan pembangunan desa yang lebih baik
sebagaimana yang dimaksud dalam teori dan sesuai dengan kondisi obyektif
sosial ekonomi masyarakat desa. Secara skematis kerangka konsep dapat
digambarkan sebagaimana diatas.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan maka penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan maksud untuk mengetahui
secara mendalam dan memperoleh gambaran tentang partisipasi masyarakat
melalui Musrenbang Kelurahan dalam perencanaan pembangunan daerah.
Penelitian deskriptif kualitatif berusaha untuk mencari dan memperoleh informasi
mendalam suatu kasus/peristiwa yang terjadi dengan menempatkan teori pada
data yang dperolehnya (Bungin, 2007).
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis domain
(Domain Analysis). Menurut Bungin (2007) teknik analisis domain digunakan
untuk menganalisis gambaran obyek penelitian secara umum atau ditingkat
permukaan, namun relatif utuh tentang obyek penelitian tersebut. Teknik ini
dipakai dalam penelitian yang bertujuan eksplorasi, artinya analisis hasil
penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari
26
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

obyek yang diteliti, tanpa harus dirinci secara detail unsur-unsur yang ada dalam
keutuhan obyek penelitian.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Peranan Partisipasi Masyarakat Dan Mekanisme Dalam Perencanaan


Pembangunan Desa
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah
khususnya di Desa Bandung Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto secara
spesifik bisa dilihat dari tiga hal, yaitu: kepesertaan, penguasaan materi
musrenbang, pelaksanaan Musrenbang dan jenis partisipasinya.
Dari sisi kepesertaan sedikitnya keterwkilan perempuan dalam
Musrenbang desa tidak bisa disimpulkan bahwa peranan partisipasi masyarakat
Desa Bandung khususnya pada keterwakilan perempuan bisa dikategorikan
dalam definisi partispasi yang pasif, akan tetapi ketidakhadiran kelompok
perempuan dalam musrenbang desa karena ada anggapan bahwa perempuan
tidak perlu terlibat dalam proses musrenbang desa.
Dari sisi materi dapat disimpulkan bahwa kerjasama masyarakat dengan
pemerintah di tingkat desa sudah berjalan sesuai dengan aturan dalam
merencanakan, melaksanakan,dan menegosiasikan usulan.
Dapat disimpulkan bahwa dari sisi pelaksanaan peranan partisipasi
masyarakat dalam Musrenbang sudah sangat optimal. Hal ini bisa dilihat dari
berjalannya musyawarah yang demokratis dan negosiasi yang alot antar
perwakilan masyarakat untuk mempertahankan usulannya meskipun apa
disampaikan peserta terkadang tidak rasional. Dari sisi jenis partisipasi tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa didalam perencanaan pembangunan daerah
telah terjadi partisipasi vertikal yaitu antara masyarakat dengan Pemerintah Desa
dan partisipasi horisontal yaitu partisipasi antar/sesama peserta musyawarah.
Untuk mengetahui tahap dan tingkatan partisipasi masyarakat digunakan
tipologi yang dikenal dengan Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat (Eight
Rungs on The Ladder of Citizen Participation) yang diperkenalkan oleh Arnstein,
yang menjelaskan peran serta masyarakat didasarkan pada kekuatan
masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Dan masyarakat desa
bandung tidak dapat memastikan usulan mereka dilaksanakan oleh pemerintah
desa. Kondisi ini menimbulkan asymmetric information dimana masyarakat tidak
mengetahui apa yang menjadi bahasan dalam penentuan prioritas program yang
dilaksanakan oleh pemerintah desa.
Bahkan kecenderungan bahwa peranan partisipasi masyarakat melalui
Musrenbang hanyalah semu dan sebuah kepura-puraan (Camouflage). Apabila
fenomena pelaksanaan tersebut di kaji dengan pendekatan teori ekonomi politik
dimana peserta baik atas nama kelompok (profesi) maupun atas nama pribadi
mengusulkan atau menegosiasikan pendapatnya dilatar belakangi “kepentingan”
politik dan sekaligus “kepentingan ekonomi”; kepentingan politik berarti
bagaimana yang bersangkutan mendapakan tambahan “kekuasaan” dan
kepentingan ekonomi mendapat “keuntungan ekonomi” (yang keduanya dalam
teori ini keduanya merupakan satu kesatuan), berkaitan dengan usulan yang
diperjuangkan. Begitu pula apabila proses musyawarah ini dilihat dari pandangan
teori pilihan rasional maka secara rasional para elit desa akan memperjuangkan
kepentingan kelompok dan pribadinya dengan mengabaikan kepentingan
masyarakat banyak.
27
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Dari tangga partisipasi tersebut diatas dan berdasarkan hasil penelitian


dapat disimpulkan bahwa tingkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan desa bandung telah mencapai pada Tangga Kelima (Placation).
Menurut Arnstein Tangga Kelima (placation) dikategorikan pada Tingkat
Tokenisme (pertanda) yaitu tingkat peran serta masyarakat, dimana masyarakat
didengar dan berpendapat, tetapi masyarakat tidak mempunyai kemampuan
untuk mendapatkan jaminan bahwa usulan, pandangan dan pendapatnya akan
dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Pada tingkat ini partisipasi
masyarakat memiliki kemungkinan sangat kecil untuk menghasilkan perubahan
dalam masyarakat
Dapat disimpulkan bahwa tahap dan tingkatan partisipasi masyarakat di
Desa Bandung pada tahapan Placation dan pada tingkat pertanda (Tokenisme)
yaitu tingkat peran serta masyarakat, dimana masyarakat didengar dan
berpendapat, tetapi masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk
mendapatkan jaminan bahwa usulan, pandangan dan pendapatnya akan
dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Pada tingkat ini partisipasi
masyarakat memiliki kemungkinan sangat kecil untuk menghasilkan perubahan
dalam masyarakat.

Gambar 2.
Mekanisme Perencanaan pembangunan Desa Bandung

Mekanisme perencanaan pembangunan yang dilakukan di Desa Bandung


sudah berjalan bagus, dimana dimulai dari tingkatan yang paling rendah yaitu
RT, namun untuk kedepannya partisipasi masyarakat dari yang paling bawah
untuk dilembagakan sehingga dengan pelembagaan tersebut diharapkan
masyarakat mempunyai kekuatan dalam menegosiasikan usulan mereka dan
juga menjamin usulan tersebut direalisasikan oleh pemerintah desa.
28
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Pelaksanaan Kebijakan APBDes


Pelakanaan kebijakan APBDes di Desa Bandung dari hasil penelitian
dilapangan dapat ditemukan fakta bahwa dalam proses penyusunan APBDes
sering mengalami keterlambatan, hal ini dikarenakan karena sumber daya yang
dimiliki Desa Bandung masih sangat rendah dan belum maksimalnya sosialisasi
dan pelatihan penyusunan APBDes oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Hal
ini menyebabkan pemerintah desa mengalami kesulitan dalam mengadopsi
kebijakan APBDes sesuai dengan Permendagri No. 35 Tahun 2007.
Dari sisi pelaksanakan program pembangunan yang tertuang dalam Rencana
Kerja pemerintah Desa (RKPDes) dimana dalam dokumen RKPDes ada tujuh
program kerja yang direncanakan, terlaksana hanya empat program. Ini
disebabkan karena pemerintah desa bandung dalam pengelolaan pembangunan
dan anggaran kurang transparan sehingga masyarakat tidak pernah tahu
program pembangunan pemerintah desa dan anggaran yang menyertainya.
Disini dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan
desa, pemerintah desa bandung kurang transparan.
Dari tinjauan teori pilihan rasional, dimana masyarakat akan terlibat dalam proses
pembangunan ketika pembangunan itu member keuntungan ekonomi bagi
individu maupun kelompoknya. Demikian juga masyarakat Desa Bandung,
mereka akan terlibat dalam proses pembangunan di Desa bandung ketika
program tersebut memberikan manfaat baginya. Hal ini menyebabkan program
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Desa bandung tidak sesuai
dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes)

Pertanggungjawaban APBDes
Dari hasil penelitian tentang proses pertanggungjawaban APBDes yang
dilaksanakan oleh pemerintah Desa Bandung ditemukan fakta bahwa
pertanggungjawaban APBDes oleh pemerintah Desa bandung Masih sebatas
untuk memenuhi persyaratan legal formal sesuai dengan perundang- undangan
dan belum bersifat bertanggung gugat, yaitu pemerintah desa wajib
mempertanggungjawabkan pelaksanaan program pembangunannya kepada
masyarakat yang dipimpinnya.

PENUTUP
1. Mekanisme perencanaan pembangunan di Desa Bandung dimulai dari
musyawarah di tingkat RT, RW, Tingkat dusun yang kemudian usulan-
usulan program pembangunan dibawa pada musrenbang desa.
2. Belum dilembagakannya mekanisme perencanaan pembangunan mulai
dari tingkat RT, RW maupun tingkat dusun, hal ini menyebabkan daya
tawar masyarakat dalam memperjuangkan usulannya sangat rendah.
3. Dalam pelaksanaan kebijakan APBDes yang dilaksanakan di Desa
Bandung masih belum sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh
Pemerintah Daerah, hal ini dikarenakan sumber daya manusia yang ada
di desa masih rendah dan sosialisasi yang kurang dari pemerintah
Kabupaten Mojokerto.
4. Dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban pemerintah dalam
program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Desa
Bandung masih sebatas memenuhi syarat legal saja, pemerintah desa
tidak mempertanggungjawabkan laporan pembangunannya kepada
masyarakat.
29
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

5. Dari sisi mekanisme perencanaan pembangunan perlu adanya


pendampingan oleh pihak yang independen dan kompeten tidak hanya
dibutuhkan di tingkat Musrenbang desa akan tetapi harus dimulai dari
para Musrenbang di tingkat RT/RW dan tingkat dusun, dan perlu adanya
pelembagaan mekanisme perencanaan pembangunan desa mulai dari
tingkat RT, RW dan Dusun.
6. Dari sisi pelakanaan perencanaan pembangunan desa perlu adanya
pendampingan oleh pihak yang independen dan kompeten mulai dari
proses pra musrenbang sampai musrenbang desa.
7. Untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan desa,
pemerintah desa harus memberikan informasi yang jelas tentang
anggaran desa dan program pembangunan pemerintah desa baik melalui
forum rembug warga, pengumuman yang ditempel di papan
pengumuman di masing- masing RT, dan juga bisa disampaikan pada
forum pertemuan warga lainnya sehingga masyarakat mengetahui berapa
besar dana yang dikelola oleh pemerintah desa.
8. Untuk meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan APBDes, pemerintah
desa harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan pembangunannya
kepada masyarakat desa dengan beberapa cara seperti dalam forum
RTan, dan ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di masing-
masing RT, RW dan dusun sehingga masyarakat mengetahui program
pembangunan yang dilakanakan oleh pemerintah desa.
9. Berkaitan dengan sumber daya manusia yang dimiliki oleh pemerintah
yang masih rendah dan sosialisasi penyusunan APBDes yang masih
kurang kepada pemerintah desa, pemerintah Kabupaten Mojokerto perlu
mengadakan pelatihan bagi aparatur pemerintah desa dalam proses
penyusunan APBDes sehingga dalam penyusunan APBDes olehb
pemerintah desa tidak mengalami keterlambatan.
10. Perlu adanya penguatan organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan
peran masyarakat dalam proses pembangunan desa, sehingga
pemerintah desa prinsip- prinsip pengelolaan keuangan desa seperti,
partisipasi, transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa
dapat tercapai gunan meningkatkan pembangunan di desa dan
menciptakan pelaksanaan pembangunan desa yang bertanggung gugat.

Daftar Putaka
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Caporaso, James., P.Levine, David. 1992. Theories of Political Economy.
Cambridge University Press.
Centre for Participatory Developmen (CéPAD) Indonesia, 2004. “Advokasi
APBDes di Kabupaten Sidoarjo”, tanpa nomor,
www.forumdesa.org/makalah/kasimun.html. January 28, 2004
Forum Inovasi. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah. http://www.forum-inovasi.or.id. 27 September 2008.

30
Media Trend Vol. 10 No. 1 Maret 2015, hal. 19-31 ISSN : 1858 - 1307
E-ISSN : 2460 - 7649

Green, Donald p., Shapiro, Ian. 1994. Pathologies of Rational Choice Theory; A
Critique of Aplecations in Political Science. Yale University Press, New
Heaven and London.
Islamy, M. Irfan, 2004. “Membangun Maysrakat Partisipatif”. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik, 4 (2), hal.3-9, 2004
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. P3PK. Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat; Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakarta.
Rinusu dan Sri Mastuti, 2003. Panduan Praktis Mengontrol APBD, Jakarta : Civic
Education and Budget Transperency Advocation (CiBa) & Friedrich Ebert
Stiftung (FES)
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1996. Perencanaan Pembangunan. PT. Toko Gunung
Agung. Jakarta.
Uphoff, N, 1992. Sustainable Agriculture Programme of the International Institute
for Enviromental and Development. Gatekeeper Series No. 31, London.
Wrihatnolo, Randy R, dan Riant Nugroho D, 2006, Manajemen Pembangunan
Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta

31

You might also like