Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi: Priori Terhadap Anak Korban Pencabulan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 27

Wendi & Firman Wijaya

Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori


Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

PENERAPAN ASAS LEX POSTERIORI DEROGAT LEGI


PRIORI TERHADAP ANAK KORBAN PENCABULAN
(STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI
JAKARTA UTARA NOMOR 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Wendi
(Mahasiswi Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(E-mail:[email protected])

Firman Wijaya
(Corresponding Author)
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Meraih Sarjana Hukum dari
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta, Doktor Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana)

Abstract
Abuses against Children are included in Extraordinary Crimes and often occue mainly to minors. This
is due to the lack of government in acting on the case. In this case, it occurred in a 3 years old boy who
is abused by his own teacher. Precisely happened on April 29, 2014 at Saint Monica Sunter during the
dance extracurricular activity. The victim’s mother found out about it when the victim complained of
pain in the part of his penis after the victim was abused. At that moment the victim’s mother reported
the incident of abuse to the authorities. It was then estabilished that the defendant was guilty of
fulfilling the elements of an offense against the victim. So the defendant must be held in the prison until
the court process is decided. In the indictment given by the public Prosecutor charged with using
Article 82 of Law Number 23 year 2002 on Child Protection. However, the Prosecutors should be
using the updated Law which is Article 82 of Law Number 35 year 2014 on the protection of new
Children in the Prosecution. This proves that the Prosecutor is less careful in preparing the indictment
given so as to cause legal irregularities that should in decideng the case reflects the legal objectives of
Justice, certainty and expediency. Where as in legislation known as the principle of lex posteriori
derogat legi priori that should be in the case of obscenity this principle is enforced. Because in the
new Child protection Law more confirms the perpetrator of abuse if it is proven to commit abuse then
the punishment is heavier that the old Law, and more to give special protection guarantee to the victim
of abuse so that its rights will not be violated.
Keywords :Implementation, Child, and Sexual Assault.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karena itu sudah
menjadi kewajiban bagi semua pihak khususnya negara untuk mempersiapkan
dan melindungi masa depan anak Indonesia.1) Anak merupakan bagian yang
tidak dapat terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Kemajuan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh perkembangan anak di negara tersebut dalam sebuah
pembangunan nasional.2)
Anak memilki peran yang penting dalam masyarakat internasional
sehingga semua dunia menekankan posisi anak sebagai manusia yang harus
mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Konvensi hak anak
ini merupakan perjanjian internasional yang secara lengkap menjamin hak
asasi manusia mengenai hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak budaya.3)
Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara yang telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak pada Tahun 1990.4) Konvensi Hak Anak terdiri atas 54
(lima puluh empat) pasal berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai
hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara lain yang
juga meratifikasi konvensi Hak Anak.5)
Instrumen hukum dari hak asasi manusia internasional telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
(selanjutnya disebut KepPres Nomor 36 Tahun 1990). dengan meratifikasi

1)
D.S. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak di Indonesia, (Depok: Indie Publishing, 2011), hal.21.
2)
Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology, Vol.18
No.1, April 2006, (Pekanbaru:Jurnal Mahkamah, 2006), hal.8.
3)
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.119.
4)
Melly Setyawati, Perlindungan Anak Dalam Rangka Rancangan KUHP, Cetakan ke-1,
(Jakarta: Elsam, 2007), hal.15.
5)
Muhammad Joni, Hak-hak Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan Konvensi
PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan
Anak, 2008), hal.2.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

konvensi ini, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang


Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak Perlindungan anak yang menyatakan bahwa memberikan
perlindungan khusus kepada semua anak tanpa kecuali guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual, maupun
sosial tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi
anak yang diharapkan nantinya sebagai penerus bangsa.6)
Beberapa undang-undang khusus yang menjelaskan mengenai hak-hak
anak, tidak hanya dalam undang-undang perlindungan anak saja melainkan
Pasal 28B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan hak anak
yang berbunyi sebagai berikut setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Selain itu juga Hak Asasi Manusia selanjutnya disingkat dengan
(HAM) yang mempunyai peran dalam memberikan jaminan melindungi hak
anak terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM mengemukakan bahwa setiap warga negara berhak atas jaminan sosial
yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya
secara utuh. HAM juga didukung dengan munculnya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil And
Political Right atau disingkat dengan ICCPR yang isinya mengenai hak sipil
dan politik, terdapat beberapa pasal yang memberikan jaminan keadilan dalam
melindungi haknya. Khususnya, Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh
hukum tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-
wenang, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang ICCPR
mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau

6)
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2009), hal.25.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat, Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
ICCPR menjelaskan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama
di hadapan pengadilan dan badan peradilan, Pasal 26 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang ICCPR menyatakan bahwa semua orang
berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi apapun.
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi yang
melindungi anak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.7) Ini merupakan
interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi dalam rangka
memperjuangkan perlindungan anak, perlu kewaspadaan dan kesadaran
supaya anak tidak dijadikan korban pencabulan oleh orang dewasa. Perlunya
campur tangan Negara dan Pemerintah dalam mencegah supaya kejahatan
pencabulan terhadap anak ini menurun bukanlah malah meningkat setiap
tahunnya.
Seorang anak yang mengalami pencabulan dalam kitab undang-
undang hukum pidana yang selanjutnya disebut dengan (KUHP) merupakan
bagian dari tindak pidana kesusilaan.8) Menurut pendapat Moeljatno, yang
dimaksudkan dengan perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu
perkelaminan.9) Segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada
diri sendiri maupun yang dilakukan pada orang lain mengenai dan
berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat
merangsang nafsu seksual.10) Jadi, perbuatan cabul adalah segala perbuatan

7)
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Cetakan ke-3, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2004), hal.45.
8)
Ibid., hal.58.
9)
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003 ), hal.106
10)
Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Cetakan ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), hal.15.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

yang terkait dengan nafsu seksual namun berada di luar konteks


persetubuhan.11)
Sesuai dengan pasal KUHP yang mengatur tentang pencabulan,
namun hanya beberapa pasal saja yang tegas-tegas menyatakan bahwa korban
pencabulannya adalah anak. Menurut Pasal 290 Ayat (2) KUHP yang
menjelaskan bahwa barangsiapa melakukan perbuataan cabul dengan
seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin selain itu terdapat dalam lanjutan Ayat (3) KUHP
mengenai membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau kalau umurnya
tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuataan cabul, atau bersetubuh
diluar perkawinan dengan orang lain. Pasal 292 KUHP juga menjelaskan
orang dewasa yang melakukan perbuataan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam pidana penjara paling lama lima belas tahun mengenai larangan
terhadap praktik homo seksual dengan orang yang belum dewasa, dan Pasal
293 KUHP mengenai pemberian atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau degan
penyesatan sengaja menggerakan seorang belum dewasa dan baik tingkah
lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuataan cabul
dengan kedewasaanya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun. Ada beberapa bentuk dan jenis istilah tentang pencabulan adalah:12)
1. Exhibitionism seksual yaitu, sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.
2. Voyeurism yaitu, orang dewasa mencium anak dengan bernafsu.

11)
Ibid., hal.35.
12)
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju,
1985), hal.264.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

3. Fonding yaitu, mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.


4. Fellatio yaitu, orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak
mulut.
Anak-anak harus mendapatkan keadilan dari pihak-pihak yang
berwenang. Untuk mendapatkan keadilan tersebut jalan satu-satunya adalah
melalui jalan pengadilan agar pelaku menjadi jera dengan diberikannya sanksi
pidana yang setimpal atas perbuatannya yang telah dilakukan. oleh karena itu
pemerintah berupaya memberikan perlindungan pada anak atas dasar
pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak yaitu
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang
tersebut sudah berlaku dan memiliki perubahan dalam unsur pasalnya sesuai
dengan asas dalam hukum pidana peraturan undang-undang yang terbaru
mengesampingkan peraturan undang- undang yang lama lex posteriori
derogat legi priori.
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah, segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, namun pada kenyataannya banyak anak yang
dilanggar haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan,
eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi bahkan tindakan yang tidak
manusiawi terhadap anak, tanpa ia dapat melindungi dirinya, dan tanpa
perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat, dan pemerintah.
Meskipun demikian, pasal-pasal dalam KUHP tersebut masih belum
tercapai atau terpenuhi dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

anak sebagai korban. Ini disebabkan karena beberapa hal, yakni: pertama,
tidak adanya batasan umur yang konsisten dengan batasan umur menurut
Konvensi Hak Anak yakni belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dalam
Pasal 290 KUHP adalah anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun dan
umurnya tidak jelas atau yang bersangkutan belum menikah.
Pasal 292 KUHP hanya menyatakan diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya belum dewasa. Selain itu juga dimaksudkan dalam Pasal 293
KUHP yang membujuk seseorang yang belum dewasa baik tingkah lakunya.
Tidak jelasnya Batasan umur anak tersebut mengakibatkan tidak jelasnya
perlindungan yang bisa diberikan terhadap korban kejahatan ini. Standar umur
15 (lima belas) tahun, diduga berumur 15 (lima belas) tahun, belum kawin dan
lain sebagainya sangat menguntungkan pelaku kejahatan.
Demikian juga halnya ancaman pidana yang terdapat dalam pasal-
pasal tersebut justru sangat menguntungkan pelaku. Selain ancaman
maksimum yang kurang memadai, juga memberikan kewenangan pada hakim
untuk menjatuhkan pidana yang bersifat subyektif, sehingga dalam
implementasinya pasal ini memberikan disparitas pidana yang cukup besar.
Dalam kasus tersebut Terdakwa dituntut Jaksa Penuntut Umum
bersalah dalam melakukan tindak pidana pencabulan dengan cara kekerasan
memaksa seseorang untuk melakukan perbuataan yang melanggar kesusilaan
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun pada saat sidang pembacaan putusan terdakwa dinyatakan bebas
terlepas dari bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk menganalisis secara
mendalam yang hasilnya dituangkan dalam bentuk penelitian dengan judul
“PENERAPAN ASAS LEX POSTERIORI DEROGAT LEGI PRIORI
TERHADAP ANAK KORBAN PENCABULAN (STUDI KASUS:
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

PENGADILAN NEGERI JAKARTA UTARA NOMOR


195/PID.SUS/2015/PN.JKT.UTR).

B. Permasalahan
Dalam penulisan jurnal ini yang menjadi pokok permasalahan adalah
bagaimana penerapan asas lex posteriori derogat legi priori terhadap anak
korban pencabulan (studi kasus Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)”?

C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan guna menemukan sumber-sumber diperlukan untuk
memprediksi apa yang akan dilakukan sehingga dapat diketahui apa tindakan-
tindakan yang dapat diambil.13) Sehingga dalam metode penelitian yang merupakan
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin hukum
untuk menyelesaikan isu hukum yang ada.

1. Tipe Penelitian
Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif sendiri adalah metode atau cara yang dipergunakan
didalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka yang ada.14)
2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Metode Penelitian normatif terdapat 3 (tiga) macam bahan pustaka
yang dapat digunakan, yakin:
a. Bahan Hukum Primer
13)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Edisi revisi), (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), hal. 57.
14)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, (Jakarta: UI Press, 1984).
hal.13.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya


mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.15)
Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014.
2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
3) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi.16) Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.
c. Bahan Non-Hukum
Bahan penulisan yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang
terkait dengan penelitian,17) seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
hasil wawancara.

3. Pendekatan

15)
Ibid., hal.141.
16)
Ibid., hal.181.
17)
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hal. 43.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam penelitian hukum terdapat 5


(lima) pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).18) Pada penelitian ini
peneliti menggunakan pendekatan kasus dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitaan dengan isu yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuataan hukum yang tetap.19) selain itu, juga peneliti menggunakan
pendekatan undang-undang statute approach dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang dihadapi.20)

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach) dan
pendekatan undang-undang (statute approach), penulis harus
mengumpulkan putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang
dihadapi dan melakukan studi kepustakaan (library research). Putusan
pengadilan tersebut sebaiknya merupakan putusan yang sudah mempunyai
kekuatan yang tetap.21) Kemudian, pendekatan undang-undang yang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang dihadapi.

5. Teknik Analisa Bahan Hukum

18)
Ibid., hal.133.
19)
Ibid., hal,134,
20)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-5, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2013), hal.133.
21)
Ibid., hal.238.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Hasil pengelolaan data tersebut dianalisis dengan teori yang


didapatkan sebelumnya.22) Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat preskriptif. Penelitian
preskriptif, Penulis akan memberikan argumentasi atas hasil yang
diperoleh melalui sumber-sumber penelitian. Argumentasi tersebut berupa
penilaian mengenai benar atau salahnya, atau apa yang seyogyanya
menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.

II. PEMBAHASAN
Penerapan asas lex posteriori derogat legi priori dalam kasus tindak
pidana pencabulan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak penyempurnaan dari Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Asas berasal dari bahasa Arab disebut dengan asasun yang artinya dasar,
basis, pondasi. Jika dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan
asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar.23) Asas dalam Bahasa
Indonesia mempunyai arti sebagai dasar, alas, fundamen.24)
Sejalan dengan pengertian asas-asas hukum, selain dari fungsi-fungsi
diatas O.Notohamidjojo menjelaskan 4 (empat) macam fungsi dan asas-asas
hukum:25)
a. Perundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai
pedoman richtlijnen bagi pembentukan hukum positiveringsarbied.
Perundang-undangan perlu meneliti dasar pikiran dari asas hukum itu,
22)
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hal.183.
23)
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Cetakan ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
hal.126.
24)
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan ke-1, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1976), hal.60.
25)
Suparto, Demi Keadilan dan Kemanusiaan Beberapa Cabang Filsafat Hukum,Cetakan ke-1,
(Jakarta: Gunung Mulia,1975), hal.50.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

merumuskannya dan mengenakannya dalam pembentukan undang-


undang.
b. Hakim seharusnya dan sepatutnya bekerja dengan asas-asas hukum
apabila ia harus melakukan interprestasi pada penafsiran artikel yang
kurang jelas, dan dengan menggunakan asas hukum hakim dapat
mengadakan penetapan precisering dan pada keputusan-keputusannya.
c. Hakim perlu menggunakan rechtbeginselen ia perlu mengandalkan
analoginya.
d. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan undang-undang,
apabila peraturan perundang-undangan itu terancam kehilangan makna
atau artinya.
Kasus tindak pidana pencabulan ini dilakukan oleh Hariyanti binti Sukadi
Alias Miss Hari, berumur 44 (empat puluh empat) tahun, beragama katholik,
berkerja sebagai pengajar/guru, berjenis kelamin perempuan,
kewarganegaraan Indonesia yang bertempat tinggal di Jalan Kelapa Molek VI
S 2/3 RT 010 RW 019 Kelurahan Kelapa Gading Timur, Kecamatan Kelapa
Gading, Jakarta Utara. Kasus tersebut telah diperiksa dan diputus pada
Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan registrasi perkara pidana khusus anak
No. 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr.
Kekerasan tindak pidana pencabulan tersebut terjadi pada Sekolah Saint
Monica di Sunter Jakarta Utara yang dilakukan oleh Miss Hari (terdakwa)
kepada anak muridnya TK yang bernama Luckrene Benedix Stance (korban)
yang sekarang berusia 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan 12 (dua belas)
hari. Kekerasan terjadi pada saat korban melaksanakan ekstakulikuler dancing
berlangung di Sekolah pada tanggal 29 April 2014 pukul 07.00 Wib s/d Jam
8.30 Wib. Adapun perbuataan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban
adalah membujuk korban untuk melepaskan celana korban lalu menusuk
dubur korban dengan jari telunjuk terdakwa sendiri. Kemudian terdakwa lalu
membuka kancing baju atasnya dan memaksa korban untuk meletakan kedua
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

tangan anak korban dibagian dadanya. Setelah melakukan perbuataan tersebut


anak korban diberikan 1 (satu) buah permen lolipop oleh Terdakwa supaya
tidak memberitahukan kejadian yang dilakukan terdakwa kepada orang tua
korban dan mengatakan korban untuk merahasiakannya.
Hasil dari Visum Et Repertum pada tanggal 30 April 2014 yang dibuat
dan ditandatangani oleh Dr. Zulhasmar Syamsu, SpF, S.H dokter spesialis
Forensik pada Departemen Ilmu Kedokteran Forensik pada Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo yang memeriksa LUCKRENE BENEDIX
STANE menerangkan bahwa pada pemeriksaan fisik pada status generalis
tanda-tanda vital frekuensi nadi sekitar seratus kali permenit.; frekuensi nafas
dua puluh kali per menit.; berat badan lima belas koma lima gram.; tinggi
badan sembilan puluh tujuh sentimeter.; suhu tubuh tiga puluh enam derajat
celcius.
Status lokalis lubang pelepasan pada bagian luar lipatan lubang
pernapasan tampak jelas pada posisi jam sebelas dan dua belas searah jarum
jam dan tampak kemerahan. Tampak kemerahan itu dapat disebabkan oleh
banyak faktor seperti karena benda tumpul bisa berupa jari tangan, bisa juga
karena benda lain seperti contohnya pensil, bisa juga karena pampers, dan bisa
juga kemerahan tersebut disebabkan karena alergi dari makanan. Selaput
dalam pada posisi jam sebelas hingga jam satu kearah jarum jam tampak
kemerahan, selain itu pemeriksaan pada bagian kekuataan otot lubang
pelepasan dalam keadaaan baik.
Pemeriksaan korban LUCKRENE BENEDIX STANCE anak laki-laki
berusia 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan 12 (dua belas) hari tahun ini,
telah ditemukan kemerahan pada lubang pelepasan akibat kekerasan tumpul.
Selanjutnya, tidak ditemukan luka-luka atau tanda-tanda kekerasan pada
anggota tubuh korban yang lain.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Berdasarkan unsur-unsur dalam tindak pidana pencabulan bahwa


perbuataan yang dilakukan oleh terdakwa sudah memenuhi setiap unsur dalam
tindak pidana, bahwa terjadinya luka yang disebabkan karena benda tumpul,
disamping itu juga di dukung dengan bukti yang dihadirkan di pengadilan
menguatkan bahwa terdakwalah yang melakukan kekerasaan pencabulan dan
ancaman kepada korban.
Surat dakwaan jaksa yang diberikan kepada terdakwa hanya didakwakan
melakukan satu tindak pidana saja yang mana penuntut umum merasa yakin
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakannya tersebut,
yang jaksa gunakan adalah Pasal 82 No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak maka terdakwa hanya didakwa dengan Pasal 82 saja tentang perbuataan
pencabulan yang berbunyi sebagai berikut bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuataan cabul, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak Berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Perubahan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun Undang-Undang Nomor 35 Tahun


beserta 2002 tentang Perlindungan Anak 2014 tentang Perlindungan Anak
ayat
Pasal 76 Setiap orang dilarang melakukan
dirubah Hanya ada Pasal 76 tetapi tidak ada kekerasan atau ancaman
dengan Pasal 76E kekerasan, memaksa, melakukan
Pasal tipu muslihat, melakukan
76E serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak untuk
melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuataan cabul.

Pasal Setiap orang dengan sengaja Setiap orang yang melanggar


81 melakukan kekerasan atau ancaman ketentuan sebagaimana dimaksud
Ayat kekerasan memaksa anak melakukan dalam Pasal 76D dipidana dengan
1 persetubuhan dengannya atau dengan pidana penjara paling singkat 5
orang lain, dipidana dengan pidana (lima) tahun dan paling lama 15
penjara paling lama 15 (lima belas) (lima belas) tahun dan denda
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun paling banyak Rp
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) rupiah).
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Ketentuan pidana sebagaimana Ketentuan pidana sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula dimaksud pada ayat (1) berlaku
Pasal bagi setiap orang yang dengan sengaja pula bagi setiap orang yang
81 melakukan tipu muslihat, serangkaian dengan sengaja melakukan tipu
Ayat kebohongan, atau membujuk anak muslihat, serangkaian
2 melakukan persetubuhan dengannya kebohongan, atau membujuk anak
atau dengan orang lain. melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang
lain.
Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal Tidak ada pada ayat (1) dilakukan oleh
81 Orang Tua,Wali, pengasuh Anak,
Ayat pendidik atau tenaga
3 kependidikan, maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal Setiap orang yang dengan sengaja Setiap orang yang melanggar
82 melakukan kekerasan atau ancaman ketentuan sebagaimana dimaksud
Ayat kekerasan, memaksa, melakukan tipu dalam pasal 76E dipidana dengan
1 muslihat, serangkaian kebohongan, pidana penjara paling singkat 5
atau membujuk anak untuk melakukan (lima) tahun dan paling lama 15
atau membiarkan dilakukan (lima belas) tahun dan denda
perbuataan cabul, dipidana dengan paling banyak Rp
pidana penjara paling lama 15 (lima 5.000.000.000,00 (lima miliar
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

belas) tahun dan paling singkat 3 rupiah)


(tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).

Sudah sangat jelas jika dibandingkan perbedaan pada tabel diatas


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 memiliki sanksi pidana yang berbeda
dan apabila dibandingkan dari Undang-Undang yang baru Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak alangkah baiknya mengikuti sanksi hukuman
yang terdapat dalam undang-undang yang baru dibandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
lama. Setiap isi yang tercantum dari undang-undang yang baru dikarenakan
lebih spesifik mengurangi tindak kejahatan pencabulan dibanding yang lama
dan memiliki banyak perubahan pasal yang menegaskan hukuman bagi pelaku
tindak pidana pencabulan jika dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh
Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana dan menjelaskan tentang pencegahan dan
perlindungan bagi korban pencabulan. Pada kasus ini tuntutan yang diajukan
oleh jaksa melanggar asas lex posteriori derogat legi priori dimana jaksa
menggunakan undang-undang yang lama oleh sebab itu jaksa kurang
mengikuti perkembangan undang-undang khusus tentang perlindungan anak
yang telah diperbarui sehingga tidak sesuai dengan 3 (tiga) unsur tujuan
hukum dari Gustav Radburch yaitu keadilan Gerechtigkeit, kepastian Hukum
Rechtssicherheit dan kemanfaatan Zweckmabigkeit.26) Seharusnya yang
digunakan jaksa adalah Undang-Undang yang baru yaitu Nomor 35 Tahun

26)
Shidarta, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Cetakan ke-1, (Jakarta: Komisi
Yudisial,2010), hal.3.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

2014 bukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang lama, sehingga


menyebabkan tidak tercapainya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan
dalam memberikan hukuman yang sesuai kepada terdakwa. Menurut pendapat
Marwan Mas peraturan konkret seperti undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan asas hukum, demikian juga dalam putusan hakim,
pelaksanaan hukum maupun sistem hukum dan apabila terjadi pertentangan,
maka asas hukum adalah solusi ampuh untuk mengatasi pertentangan
tersebut.27)
Menurut Hartono Hadisoeprapto memberikan penjelasan mengenai asas
lex posteriori derogat legi priori dengan pengertian bahwa undang-undang
baru itu merubah atau meniadakan undang-undang lama yang mengatur
materi yang sama.28) Asas ini berlaku terhadap 2 (dua) peraturan yang
mengatur masalah yang sama dalam hierarki yang sama. Jadi, apabila suatu
masalah yang diatur dalam suatu undang-undang kemudian diatur kembali
dalam suatu undang-undang baru, meskipun pada undang-undang baru tidak
mencabut atau meniadakan berlakunya undang-undang lama itu, dengan
sendirinya undang-undang lama yang mengatur hal yang sama tidak
berlaku.29) Sesuai dengan kasus pidana Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr
yang menjadi kategori lex posteriori peraturan yang baru adalah Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bukan yang legi
prior yang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang artinya adalah peraturan lama. Pemberian Pasal 82 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidaklah sesuai
dengan perbuataan yang telah terdakwa lakukan yang dimana terdapat
perubahan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

27)
Marwan Mas, Pengatar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal.95.
28)
Sudikno Mertokusuma, Mengenal Hukum, Cetakan ke-3, (Yogyakarta: Liberty, 2007),
hal.87.
29)
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke-4, (Yogyakarta:
Liberty, 2001), hal.26.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Perlindungan Anak. Dalam kasus ini dianggap memihak kepada terdakwa


sehingga tidak mengutamakan keadilan bagi korban, dikarenakan dalam kasus
pencabulan anak dibawah umur ini seorang anak yang menjadi korban
mengalami gangguan psikologis dan trauma dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain dan dampaknya pula merusak masa depan
anak. oleh karena itu suatu putusan haruslah memenuhi dengan tujuan hukum
yaitu rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi seluruh
masyarakat dan lebih mengutamakan prinsip equality before the law yang
artinya semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.30)
Hakim dalam memutuskan perkara ini tidak menerapkan asas ex aequo et
bono dalam memutus suatu perkara yang artinya mohon memutuskan
keadilan yang seadil-adilnya, sering terjadi konflik antara keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan. Selain itu juga hakim dalam menjalankan tugasnya
harus sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari
negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan
perkataan undang-undang, mahkluk yang tidak bernyawa yang tidak boleh
melemahkan kekuataan dan kekerasaan undang-undang.31) Berdasarkan Pasal
5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman menjelaskan bahwa tugas hakim seharusnya wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat, ternyata dalam mengambil putusan untuk menghukum
terdakwa kurang memberikan pertimbangan hukum dengan tepat, sehingga
dapat berakibat tidak tercapainya hukum. Sebab kenyataan tidak sejalan
dengan keinginan jika berpegang kepada kemanfaatan, maka secara langsung
kepastian hukum dan keadilan tidak didapatkan atau diabaikan begitupun
sebaliknya. Putusan hakim juga dikenal dengan keadilan yang berorientasi

30)
Lirik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal.20.
31)
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan ke-1, (Jakarta: Sapta Artha
Jaya,1996), hal.30.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (sosial justice) dan
keadilan moral (moral justice).32)
Tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan
sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah
sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan
kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya jangan sampai suatu
tujuan hukum malah menimbulkan keresahan dan penyimpangan hukum
kesewenang-wenangan didalam masyarakat.33) Menurut Jeremy Bentham
hukum adalah kebahagiaan, kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari
kesengsaraan yang disebut bentham dengan The aim of law is The Greatest
Happines for the greatest number.34) Jika tujuan ini dipenuhi maka tercapailah
suatu tujuan hukum. Proses hukum bagi pelaku tindak pidana pencabulan
terhadap anak di bawah umur merupakan suatu langkah dalam menanggulangi
tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Proses hukum
tersebut haruslah berjalan secara efisien demi tercapainya suatu penegakan
hukum yang diharapkan oleh masyarakat khususnya kepada korban dan
keluarganya.
Tampaknya perlu disadari bahwa permasalahan anak bukanlah yang
sederhana bahkan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa bukan termasuk
dalam masalah yang mudah ditahani melainkan sulit untuk dicari jalan keluar
supaya pelaku menyesali perbuataannya,. Penanggulangan permasalahan anak
sangat menuntut banyak pihak bukan hanya semata-mata sebagai tanggung
jawab orang tua saja melainkan juga menjadi tanggung jawab Negara dan
Pemerintah serta semua masyarakat. Kejahatan kesusilaan ini tidak hanya

32)
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006), hal.2.
33)
Darji Darmodihardjo, Filsafat Hukum, (Jogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya, 2011),
hal .159.
34)
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, (Bandung :
Refika Aditama, 2010), hal.44.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

terjadi kepada orang dewasa saja tetapi pada anak dibawah umur juga yang
menjadi korbannya sedangkan anak-anak merupakan penerus generasi bangsa.
Oleh sebab itu segala bentuk perlakuan yang menggangu dan merusak hak-
hak dasar seorang anak dalam berbagai bentuk kekerasaan atau kejahatan
harus segara dipulihkan dan dihentikan. Terdapat dibagian menimbang Huruf
C Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia.
Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak merupakan
salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar
perlindungan anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung
jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan
masyarakat Indonesia. Kenyataannya saat ini upaya perlindungan tersebut
belum dapat diberikan secara maksimal oleh pemerintah, aparat penegak
hukum, masyarakat dan pihak-pihak lain yang berhak membantu. Keadilan
yang diberikan oleh penerapan hukum melalui penjatuhan sanksi hukum yang
dijatuhkan kepada pelaku tidak adil dan tidak sesuai dengan akibat yang
ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah yang disebut dapat menjauhkan
masyarakat yang terkena musibah menjadi korban suatu kejahatan untuk
bersedia berurusan dengan dunia peradilan.
Menurut hasil wawancara yang telah dikumpulkan dari berbagai
narasumber dan diolah kembali dari Ibu Dr. Mety Rahmawati, S.H.,M.H.,
selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
bahwa penerapan asas lex posteriori derogat legi priori yang artinya adalah
posterior hukum yang baru sedangkan prior merupakan hukum yang lama.
Asas lex posteriori derogat legi priori erat hubungannya dengan
pemberlakuan hukum pidana yang satu dengan yang lain harus dilihat terlebih
dahulu dari tempus delicti dalam kasus tersebut dan kapan undang-undang
baru tersebut muncul sebab kasus pencabulan ini terjadi pada masa transisi.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Menurut Dr. Aji Wibowo, S.H., M.H selaku Dosen Hukum Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara menjelaskan bahwa pengertian
asas lex posteriori derogat legi priori adalah hukum yang kemudian
mengesampingkan hukum yang lama atau hukum belakang
mengesampingkan hukum yang didepan berlakunya suatu asas sangatlah
bergantung dari penegak hukum yang menjalankannya. Secara normatif telah
diatur dalam Pasal 28i Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 bahwa adanya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum dikenal dengan
Non derogable rights. Penerapan undang-undang oleh penegak hukum juga
harus disesuaikan dengan kebutuhan karena sudah pasti adanya pertentangan
antara undang-undang dengan undang-undang dasar adalah tidak tepat, namun
ada aspek keadilan haruslah dinilai secara keseluruhan. Ketika dirasa ada
ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku dengan kenyataan maka
masyarakat sebagai pencari keadilan harus melakukan tindakan yang sudah
diatur dalam undang-undang, dapat diajukan upaya hukum yang pada
akhirnya bergantung kepada pihak yang menjalankannya. Terkait penerapan
asas lex posteriori derogat legi priori harus dilihat terlebih dahulu dari tempus
delicti kasus tersebut sebab kasus ini terjadi pada masa transisi dimana kasus
ini terjepit diantara dua undang-undang yang lama dan baru. Ketika jaksa
penuntut umum keliru dalam memilih undang-undang yang dijadikan dasar
dakwaan dalam sebuah perkara maka terdapat permasalahan yang harus dicari
jalan keluarnya. Selain itu menurut Didit Wijayanto Wijaya,
S.H.,M.H.,S.E.,Ak.CA.,MBA selaku kuasa hukum korban mengatakan bahwa
pengertian asas lex posteriori derogat legi priori adalah undang-undang yang
baru menyempurnakan undang-undang yang lama seharusnya demikian. Hal
tersebut membuktikan tidaklah undang-undang yang baru mengesampingkan
undang-undang yang lama masuk dalam spesialis yang ada disempurnakan
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

apabila ada undang-undang yang baru menjelaskan tentang hukuman yang


dipertambah sepertiga berarti disempurnakan bukan malah dikesampingkan
justru harus dilihat dulu dari tempus delictinya dalam menerapkan hukum.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum tidaklah cermat
dalam melimpahkan berkas perkara ke pengadilan jika jaksa salah membuat
suatu dakwaan maka hakim juga akan keliru dalam memutuskan terdakwa
bersalah atau tidak. Seharusnya jaksa lebih mengikuti perkembangan undang-
undang perlindungan anak yang baru yaitu menggunakan Undang-Undang yang
baru Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bukan dengan Undang-
Undang lama dengan Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
mengetahui asas peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan asas lex
posteriori derogat legi priori undang-undang yang baru menyempurnakan
undang-undang yang lama. setiap pasal tersebut baik undang-undang baru
maupun undang-undang yang lama memiliki perubahan dan penegasan sanksi
hukuman bagi yang melakukan perbuataan cabul. Karena jika salah dalam
menerapkan hukum maka nilai dasar tujuan hukum yaitu rasa keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum tidak akan terpenuhi kemudian
mengakibatkan tidak ada keadilan bagi korban yang seharusnya hak-hak korban
tersebut tidak dilanggar melainkan diberikan jaminan oleh Negara sesuai
dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

B. Saran
1. Jaksa haruslah lebih cermat dalam menyusun dakwaan, demikian pula
hakim diharapkan lebih cermat dalam memeriksa dan memberikan
pertimbangannya dalam proses peradilan jangan sampai membebaskan
terdakwa padahal terdakwa sudah terbukti bersalah dan memenuhi unsur-
unsur tindak pidana.
2. Hakim dan aparat penegak hukum semestinya memberikan hukuman
yang setimpal atas perbuataan pelaku tindak pidana pencabulan
khususnya yang terjadi kepada anak supaya tingkat pencabulan pada anak
dibawah umur tidak terjadi dikemudian hari.
3. Hakim seharusnya mengikuti perkembangan dalam perubahan undang-
undang mengenai Perlindungan Anak yang baru yaitu Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak agar tidak terjadinya penyimpangan
hukum.
4. Hakim seharusnya lebih dekat dan lebih jauh mengenal masyarakatnya
supaya bisa memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga
memiliki pengetahuan yang lebih konkret dan cukup dalam memberikan
pertimbangan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan di
persidangan.
5. Peran pendamping merupakan kebutuhan korban, hal tersebut berkaitaan
dengan hak korban untuk didengar keterangannya, mendapat informasi
atas upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang
ingin diperoleh dan dipulihkan situasi dirinya.
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
A Fatahillah dan Dewi D.S . Syukur, Mediasi Penal Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak di Indonesia. (Depok: Indie Publishing,
2011).
Chazawi, Adami. Tindak Pidana Kesopanan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005).
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).
Darmodihardjo, Darji. Filsafat Hukum.(Jogyakarta : Penerbit Universitas Atma
Jaya, 2011).
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004).
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta: Sapta Artha
Jaya,1996).
Hadisoeprapto, Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Yogyakarta:
Liberty, 2001).
Joni, Muhammad. Hak-hak Anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak
dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga.
(Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008).
Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. (Bandung:
Mandar Maju, 1985).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008).
_____________________. Penelitian Hukum, (Edisi Revisi). (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009).
Mertokusuma, Sudikno. Mengenal Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 2007).
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

Mas, Marwan. Pengatar Ilmu Hukum. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004).


Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Jakarta: Bumi Aksara,
2003).
Mulyadi Lirik. Hukum Acara Pidana. (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007).
ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2015).
Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003).
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1976).
Saraswati, Rika . Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2009).
Setyawati, Melly. Perlindungan Anak Dalam Rangka Rancangan KUHP. (Jakarta:
Elsam, 2007).
Shidarta. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara. (Jakarta: Komisi
Yudisial,2010).
Suparto, Demi Keadilan dan Kemanusiaan Beberapa Cabang Filsafat Hukum.
(Jakarta: Gunung Mulia,1975).
S, HR, Salman, Otje. Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika
Masalah,(Bandung : Refika Aditama, 2010).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1984).

B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana terahkir diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109).
Wendi & Firman Wijaya
Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)

_______. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297).
_______. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
(195/Pid.Sus/2015/PN.Jkt.Utr)
C. Kamus
Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1976)

D. Jurnal
Faiz Mohamad Pan . Teori Keadilan John Rawls. dalam jurnal konstitusi,
Volume 6 Nomor 1 (April 2009).

E. Lain-Lain
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung
Republik Indonesia, 2006).

You might also like