2695 5818 1 SM PDF
2695 5818 1 SM PDF
2695 5818 1 SM PDF
2016
32.3.2016 [285-308]
IMAN DI TENGAH
PENDERITAAN:
SUATU INSPIRASI
TEOLOGIS-BIBLIS
KRISTIANI
Elvin Atmaja Hidayat Graduate Student
Faculty of Philosophy
Parahyangan Catholic University
Bandung, Indonesia
Abstract:
Suffering is a reality experienced by every human being as an integral part
of their life. As part of one’s life, suffering is inevitable. Some people
whose faith in the benevolent God has been shaken by their worst
suffering ask the question: “Why does not God eliminate suffering if
He is gracious and omnipotent?” This article sheds light on the problem
of suffering using the Scriptures and theology, to find the different
meanings behind it. From the biblical perspective, it will explore a
number of meanings of suffering that essentially assert how suffering
also serves to bring goodness to human life. These meanings are then
complemented with a theological perspective which is based on the
three aspects of soteriology, ecclesiology, and eschatology. Through this
exploration, Christians are invited to “make peace” with their suffering
by way of finding its different meanings. Suffering as a ‘gift’ might help
the believers embrace life in its fullness and accept their being human.
The concept of God as the ‘Loving Father’ could also help them find
strength in facing suffering and grow in their faith as God’s children.
Keywords:
faith in suffering biblical inspiration soteriology ecclesiology eschatology
the Loving Father
285
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
286
MELINTAS 32.3.2016
sejak lahir, tidak memiliki salah satu organ tubuh, atau kemampuan
intelektualnya di bawah rata-rata, atau tidak berfungsinya salah satu panca
indera, dan sebagainya.
Sumber penderitaan kedua disebut “keburukan metafisik” karena
berasal dari luar diri manusia (dari alam) dan melampaui batas-batas
kemampuan atau pengendalian manusia. Keburukan metafisik ini
menimbulkan penderitaan yang juga dapat diatasi sekaligus tidak dapat
diatasi. Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam berupa gempa
bumi, tsunami, dan angin topan sama sekali tidak dapat diatasi oleh
manusia. Suatu bencana alam dapat diatasi atau dicegah oleh manusia
sejauh bencana tersebut disebabkan oleh campur tangan manusia sendiri.
Misalnya, bencana banjir yang disebabkan oleh kebiasaan membuang
sampah sembarangan dan menebang hutan secara liar, atau bencana tanah
longsor yang ditimbulkan oleh tindakan manusia mengeruk tanah secara
berlebihan. Penderitaan manusia yang berasal dari keburukan metafisik dan
yang dapat diatasi tampaknya lebih berhubungan erat dengan moralitas.
Sumber penderitaan ketiga dalam gagasan Leibniz ialah keburukan moral
(malum morale). Penderitaan jenis ini merupakan satu-satunya yang dapat
diubah oleh kemampuan atau usaha manusia sendiri. Dengan mengubah
keburukan moral ini menjadi kebaikan, hilanglah pula penderitaan yang
diakibatkan olehnya. Dengan kata lain, penderitaan ini dapat diatasi atau
ditanggulangi oleh manusia dengan mengubah keburukan moral atau sifat
dan perbuatannya yang jahat menjadi kebaikan. Banyak contoh penderitaan
terjadi karena keburukan moral ini. Para korban bencana alam dan rakyat
miskin, misalnya, mengalami penderitaan semakin besar karena bantuan
yang seharusnya disalurkan kepada mereka dikorupsi oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.4 Contoh lain ialah seorang anak menderita
karena mengalami pelecehan seksual oleh seorang guru bahkan orang tua
kandung yang selama ini menjadi panutan hidupnya. Penderitaan juga
dialami oleh rakyat sipil yang menjadi korban peperangan di sejumlah
negara. Penderitaan semacam itu tidak akan pernah terjadi jika oknum-
oknum terkait memiliki moralitas yang baik.
Sementara itu, dalam perspektif evolusionis yang dipelopori oleh
Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), penderitaan dipandang muncul
sebagai dampak dari dunia yang diciptakan Allah secara evolutif. Dalam
proses evolusi dunia dari yang relatif tidak sempurna menuju keadaan
287
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
288
MELINTAS 32.3.2016
289
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
290
MELINTAS 32.3.2016
disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang
tidak dapat dipercayai” (Yer 15:18). Perikop mengenai “hamba Tuhan yang
menderita”, yang dideskripsikan sebagai seseorang yang kenyang dengan
penderitaan dan dianggap sebagai orang yang dikutuk Tuhan, padahal dia
diremukkan oleh karena dosa manusia (Yes 53:5), dapat menjadi jawaban
atas penderitaan yang dialami oleh para nabi dan rasul. John J. Collins,
berdasarkan “Kidung Hamba Yahwe” itu, menggambarkan penderitaan
seorang ‘hamba’ sebagai orang yang diserahkan kepada kematian dan
dihitung bersama orang-orang jahat, meskipun ia sendiri tidak melakukan
kejahatan. Hidupnya diserahkan laksana kurban bagi orang lain.15 Jadi,
orang benar bisa menderita demi keselamatan orang lain, dan ia mewakili
sesamanya dalam menanggung hukuman atas dosa.16
Aspek kedua yang menggambarkan penderitaan sebagai konsekuensi
atas iman kepada Allah dan kebenaran termuat misalnya dalam Kitab
2Makabe 7. Dalam kitab ini dikisahkan tujuh orang bersaudara yang rela
disiksa sampai mati demi mempertahankan iman mereka kepada Allah,
kepada perjanjian dan perintah-perintahNya, dan akan kebenaran yang
mereka imani. Gagasan ini memberikan suatu teladan kemartiran bagi orang
beriman, yang menurut Collins harus diterima agar Hidup Abadi menyusul.17
Berbeda dari pengertian ‘penderitaan’ dalam aspek pertama, penderitaan
yang dimaksud dalam aspek kedua ini tidak mengandung aspek penebusan
atau penderitaan demi orang lain. Apa yang diperjuangkan dalam konteks
kedua ialah kebenaran ideologis, pembelaan akan keyakinan yang dipercaya
mampu menyelamatkan pribadi yang bersangkutan, suatu kematian demi
mempertahankan iman. Terkait perikop 2Makabe 7 ini, Alphonse P. Spilly
memberikan penafsiran mengenai kemartiran. Hal terutama yang mau
diajarkan ialah bahwa ketaatan kepada hukum lebih penting daripada
hidup itu sendiri: lebih baik mati daripada melanggar hukum. Kematian
dianggap tidak menakutkan karena Allah diyakini sebagai pencipta dan
pemulih kehidupan; Allah dapat membuat semesta alam dan manusia dari
kekosongan, maka Ia juga dapat memulihkan kehidupan manusia.18
Ketiga, penderitaan dipandang sebagai awal dari suatu kebaikan.
Penderitaan dimaknai sebagai ‘pendahulu’ atau “pembuka jalan” bagi
sesuatu yang baik. Gagasan ini dijelaskan misalnya dalam kisah Yusuf
dan Ayub. Yusuf mengalami penderitaan karena dibenci dan dijual oleh
saudara-saudaranya, dan sempat mengalami nasib sebagai orang asing dan
291
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
difitnah oleh istri Potifar di Mesir. Yusuf berkata, “Janganlah bersusah hati
dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk
memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” (Kej.
45:5). Bagi Pauline A. Viviano, teologi yang ada di balik kisah Yusuf sangat
jelas, yaitu bahwa Allah telah mengarahkan dan membimbing terjadinya
peristiwa-peristiwa hidup. Allah ikut campur tangan dalam sejarah bangsa
Israel, khususnya, dan sejarah manusia, umumnya. Allah dalam hal ini
“turut andil” mengirim Yusuf ke Mesir guna memelihara mereka terhadap
kehancuran total.19 Gagasan ketiga ini dapat ditemukan juga dalam Kitab
Ayub yang memandang penderitaan sebagai ujian atas iman (bdk. Ayub 1:9-
12).20 Ujian hidup yang dialami Ayub sangat berat, dari kehilangan ternak
dan anak-anaknya serta menderita penyakit kulit mengerikan. Kenyataan
buruk yang awalnya sangat berat diterima ini, ternyata mengawali suatu
kebaikan dalam hidup Ayub, yakni kematangannya dalam beriman, dan
bahkan menjadi awal pengenalan antara Allah dan manusia secara lebih
mendalam. Ketika Ayub menderita hebat, dalam keyakinannya bahwa ia
memang tidak pernah melakukan kejahatan apa pun yang membuatnya
layak dihukum, ia mulai bertanya kepada Allah. Sejak Bab 38-42 (epilog),
Allah sendiri menampakkan diri dan menyingkapkan diri-Nya. Allah tidak
menjelaskan mengapa Ayub menderita, melainkan hanya menunjukkan
kepadanya kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, sambil menyadarkan Ayub
akan kekecilannya sebagai manusia. Lewat pengalaman penderitaan inilah,
Allah memberi Ayub gambaran yang lebih lengkap dan semakin otentik
akan diri-Nya meskipun Ia tetaplah misteri, yaitu bahwa Ia bukan semata-
mata Allah yang suka membalas dendam atau menghukum manusia
berdosa. Pengenalan mendalam akan Allah ini dinyatakan oleh Allah dalam
Ayub 42:7-8, “Ayub hamba-Ku, telah bicara benar mengenai Aku.”21
Melalui penderitaan, bukan hanya manusia menjadi semakin
mengenali Allah, melainkan Allah pun semakin mengenali manusia. Allah
menyetujui provokasi setan untuk mencobai Ayub dengan penderitaan
(Ayub 1:6-12), bukan hanya untuk memperlihatkan kepada setan bahwa
Ayub adalah orang yang sungguh tulus, namun juga untuk mengenali bagi
diri-Nya sendiri siapakah Ayub itu. Dan ternyata bahwa dia sungguh-
sungguh orang yang beriman. Pengenalan yang semakin mendalam antara
Ayub dan Allah ini menciptakan persahabatan (relasi yang intim) di
antara keduanya, yang kembali terjalin seperti dulu (seperti digambarkan
292
MELINTAS 32.3.2016
dalam bab 1:1-5).22 Kedekatan antara Allah dan Ayub yang pertama-tama
disebabkan oleh penderitaan, bahkan membuat Allah memulihkan dua
kali lipat keadaan Ayub (42:10-17). Pengalaman kedua tokoh Perjanjian
Lama tersebut (Yusuf dan Ayub) memuat gagasan bahwa penderitaan atau
apa yang semula tampak seperti malapetaka ternyata akan berakhir dengan
baik, sesuai kehendak Allah, karena Allah telah mengatur segala sesuatu
sedemikian rupa. Dalam hal ini, kehendak bebas manusia diandaikan tetap
menentukan. Melalui gagasan yang terakhir ini, pandangan Perjanjian
Lama tentang penderitan mulai diperbarui. Ada hal yang lebih bermakna
mengenai penderitaan daripada hanya sebagai suatu ganjaran atas dosa,
yaitu suatu kebaikan di akhir bagi manusia yang menderita itu sendiri,
bahkan bagi semua orang di sekitarnya.
293
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
solidaritas Allah yang rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus dan
yang rela menanggung penderitaan bersama manusia. Gagasan pertama
ini bertolak dari 1Yoh. 4:19 yang berbunyi, “Kita mengasihi, karena Allah
lebih dahulu mengasihi kita.” Jadi, partisipasi manusia dalam penderitaan
Kristus bukan pertama-tama karena manusia mengasihi Allah, melainkan
karena Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia dengan solidaritas-Nya
dan menjelma sebagai manusia (kenosis).23 Sebagai manusia, Ia mengalami
penderitaan bersama manusia lainnya. Penderitaan Yesus merupakan cara-
Nya menarik manusia kepada Allah. Pandangan semacam ini sudah muncul
dalam Jemaat Kristen Purba (setelah peristiwa Yesus naik ke surga) yang
memandang penderitaan sebagai kesempatan untuk mengambil bagian
atau berpartisipasi dalam kemuliaan Kristus (misalnya, 1Petrus 2:20). Jadi,
Yesus menyodorkan pemahaman baru. Ia tidak menjelaskan penyebab
penderitaan dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Ia justru
menempatkan penderitaan dalam karya keselamatan Allah dan mengambil
penderitaan sebagai bagian dari hidup-Nya.
Gagasan pertama ini juga dapat ditemukan dalam pengalaman
Paulus, misalnya, dalam 1Kor. 4:10-13, 2Kor. 4:8-11, dan 11:23-29. Ada
berbagai penderitaan dan tekanan yang dihadapinya, seperti diabaikan,
haus dan kelaparan, kurang tidur, disiksa, direndahkan, kedinginan dan
kepanasan, dan sebagainya. Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut,
ia merenungkan bahwa “kami yang hidup ini terus menerus diserahkan
kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di
dalam tubuh kami” (2Kor 4:11).24 Penderitaan sebagai aspek partisipatif
dapat ditemukan pula dalam surat-surat Paulus, yaitu Galatia 2:19-20, “Aku
telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku
sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” dan Filipi
3:10-11, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-
Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa
dengan Dia…” Orang beriman diberi kekuatan untuk menanggung
penderitaannya berdasarkan kesadaran bahwa Kristus pun mengalami hal
yang serupa dan berhasil menang atas penderitaan tersebut.
Kedua, penderitaan dimaknai sama seperti konsep Perjanjian Lama di
atas, yaitu sebagai suatu pengorbanan untuk orang lain dan untuk kebenaran.
Seperti para nabi Perjanjian Lama, Yesus juga menderita karena
menjalankan misi Allah Bapa-Nya (Luk. 24:26, 46; Kis. 3:18) dan sama
294
MELINTAS 32.3.2016
295
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
296
MELINTAS 32.3.2016
297
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
298
MELINTAS 32.3.2016
299
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
secara eskatologis dilihat sebagai sarana mengalami awal hidup abadi, atau
yang dalam bahasa Küng adalah awal memasuki “rumah cahaya”.46
300
MELINTAS 32.3.2016
301
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
Alasan edukatif ini mungkin dapat dipahami sebagai salah satu maksud
Allah membiarkan manusia mengalami berbagai penderitaan semasa
hidupnya. Dengan memahami dan menghayati kebenaran iman ini, tak
ada alasan bagi manusia untuk goyah ketika mengimani-Nya.
Simpulan
Penderitaan merupakan suatu realitas yang tak terelakkan dan terus
menerus menghantui hidup manusia. Kenyataan ini digambarkan oleh
Yeremia dengan suatu pertanyaan retoris, “Mengapakah penderitaanku
tidak berkesudahan dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?” (Yer.
15:8) Sebagai bagian integral kehidupan, penderitaan seharusnya diterima
dengan berani. Umat beriman mesti mengusahakan jalan untuk berdamai
dengannya. Melalui pendekatan biblis dan teologis yang ditawarkan di atas,
penderitaan yang tak terhindarkan menjadi sesuatu yang berharga untuk
dijalani. Beberapa pokok dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pertama, penderitaan dilihat secara lebih utuh, yakni dengan sudut
pandang biblis dan teologis. Sebelum didekati dengan kedua perspektif
ini, penderitaan hampir selalu berakhir dengan penjelasan sebagai sekadar
‘misteri’ atau ‘hukuman’. Kedua penjelasan ini terlalu simplistis. Bahasan
dari sudut pandang biblis-teologis yang ditawarkan di atas memungkinkan
realitas penderitaan memperoleh pemaknaan baru. Dengan memandang
penderitaan secara baru, muncullah pengharapan akan perubahan ke arah
yang lebih baik. Salah satu pandangan itu adalah penderitaan dipandang
sebagai suatu proses atau perjalanan hidup menuju penyempurnaan. Manusia
diajak untuk melihat realitas penderitaan dari sudut pandang Allah. Allah
yang Mahabaik menghendaki kebaikan bagi setiap manusia di balik setiap
bentuk penderitaan yang diizinkan-Nya. Di akhir proses kehidupan
yang memuat penderitaan sebagai salah satu bagiannya, Allah menanti
dengan sabar. Penderitaan hanya bersifat sementara, atau seperti kata
Paulus, “kematian tak lagi berdaya sengat”; habis gelap akan terbit terang.
Manusia disadarkan bahwa ia tidak pernah sendirian dalam menghadapi
penderitaan. Penderitaan menyakitkan dan menimbulkan luka. Meskipun
demikian, selalu ada sesama yang mendampingi, bahkan Allah sendiri, yang
adalah “Bapa”, hadir dan selalu mengulurkan tangan. Dengan kesadaran
ini, penderitaan menjadi realitas yang dapat dihadapi dengan suka rela,
bahkan dapat diterima dengan penuh syukur.
302
MELINTAS 32.3.2016
303
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
References:
Bergant, Dianne. dan Robert J. Karris (Ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Boff, Leonardo. Passion of Christ, Passion of the World: The Facts, Their
Interpretation, and Their Meaning Yesterday and Today. Maryknoll, NY:
Orbis Books. 1984.
304
MELINTAS 32.3.2016
Brown, Raymond E., et. al. (Eds..). The Jerome Biblical Commentary. New
Jersey: Prentice Hall. 1968.
Cavanaugh, Brian. Rangkaian Kisah Bermakna. Jakarta: Obor. 1995.
Chardin, Pierre T. The Phenomenon of Man. London: Collins. 1959.
Chua, Amy. Battle Hymn of the Tiger Mother. New York: The Penguin Press.
2011.
Collins, Gerald O’ dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta:
Kanisius. 1996.
Collins, John J. Makabe I dan II. Yogyakarta: Kanisius. 1990.
Darmawijaya, St. Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus. Yogyakarta:
Kanisius. 1991.
Dister, Nico S. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta:
Kanisius. 2004.
Dulles, Avery. Model-model Gereja. Ende: Nusa Indah. 1990.
Elwell, Walter A. (Ed.). Evangelical Dictionary of Theology. Michigan: Baker
Book House. 1990.
Foxe, J. Foxes Book of Martyrs. Jakarta: Andi. 2001.
Gibellini, R. The Liberation Theology Debate. Maryknoll: Orbis Books. 1987.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius. 1980.
__________. Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus. Ende: Nusa Indah. 1983.
Gutiérrez, Gustavo. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation.
Maryknoll, NY: Orbis Books. 1973.
Horbury, William. and Brian Mc Neil (Ed.). Suffering and Martyrdom in the
New Testament. Cambridge: Cambridge University Press. 1981.
Kompas, Senin, 10 November 2014.
Küng, Hans. Does God Exist?. London: Collins. 1980.
__________. Eternal Life. London: SCM Press. 1991.
Martini, C. M. Kesaksian Santo Paulus. Yogyakarta: Kanisius. 1989.
Moltmann, Jurgen. Theology of Hope. London: SCM Press. 1967.
Morris, Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Yayasan Penerbit Gandum
Mas. 1996.
Nouwen, Henry J.M. The Road to Daybreak: A Spiritual Journey. New York:
Doubleday. 1988.
Pandor, Pius. Ex Latina Claritas. Jakarta: Obor. 2010.
Pidyarto, H. “Mengapa Orang Benar Menderita?” Wacana Biblika Vol. 14,
305
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
Endnotes:
306
MELINTAS 32.3.2016
8 Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (London: Collins, 1959) 51.
9 Wim van der Weiden, Seni Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 1995) 214.
10 Richard Leonard, “Where the Hell is God?” dalam Thinking Faith: The Online Journal
of the British Jesuits (F. Suryanto Hadi (terj.)), dalam Rohani, No. 02, Tahun ke-59
(Februari 2012) 35.
11 Ibid., 36.
12 Bdk. H. Pidyarto, “Mengapa Orang Benar Menderita?” dalam Wacana Biblika Vol.
14, No. 2, (April-Juni 2014) 52-54.
13 Ketiga sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya bernama Elifas, Zofar, dan
Bildad. Ketiganya menganggap penderitaan Ayub sebagai hukuman atas dosa-
dosanya. Lih. perkataan Elifas dalam Kitab Ayub Bab 4, 15, 22; perkataan Zofar
dalam Bab 11, 20; dan pernyataan Bildad dalam Bab 8, 18, dan 25. Bdk. Silogisme
argumentasi ketiganya dalam Wim van der Weiden, op. cit., 119.
14 C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1980) 175.
15 Dianne Bergant dan Robert J. Karris (Ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (Yogyakarta:
Kanisius, 2002) 543.
16 Collins mendasarkan gagasan ini dalam upacara yang dikenal sebagai “pelepasan
kambing” dalam Kitab Imamat Bab 16. Dalam upacara itu, Harun mengakukan
dosa-dosa orang Israel atas seekor kambing dan kemudian kambing itu dilepaskan
ke padang gurun dengan membawa dosa-dosa mereka. Bdk. ibid.
17 John J. Collins, Makabe I dan II (Yogyakarta: Kanisius, 1990) 99.
18 Bergant dan Karris (Ed.), op. cit., 859.
19 Ibid., 76.
20 Michael D. Guinan misalnya, menafsirkan Ayub 36:15 yang berbunyi “dengan
sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka
telinga mereka”, sebagai suatu aspek ujian iman yang berfungsi untuk mendidik dan
mengajar manusia. Lih. ibid., 423.
21 Ibid., 427.
22 Bdk. ibid., 426-427, dalam subjudul “Misteri Penderitaan dan Hubungan dengan
Allah”.
23 Solidaritas Allah ini digambarkan secara lengkap oleh Paulus dalam Filipi 2:6-8,
“yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-
Nya sendiri… merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati
di kayu salib.” Dimensi solidaritas inilah yang mendorong dan memungkinkan
manusia berpartisipasi dalam penderitaan Kristus, atau dengan kata lain menyatukan
penderitaan hidupnya dengan penderitaan Kristus.
24 Kardinal C. M. Martini mengidentifikasi seluruh penderitaan Paulus ini sebagai yang
serupa dengan penderitaan Yesus. Lih. Martini, Kesaksian Santo Paulus (Yogyakarta:
Kanisius, 1989) 98-110.
25 Bdk. definisi ‘Penebusan’ dalam Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996) 241.
26 G. W. H. Lampe, “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian
Mc Neil (Ed.), Suffering and Martyrdom in the New Testament (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981) 119.
27 John Foxe, Foxes Book of Martyrs (Jakarta: Andi, 2001) 4.
28 Lih. definisi terminologi ‘Pain’ oleh J. S. Feinberg dalam Walter A. Elwell (Ed.),
Evangelical Dictionary of Theology (Michigan: Baker Book House, 1980) 815.
307
Elvin Atmaja H.: Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
29 Lih. Morna D. Hooker, “Interchange and Suffering” dalam William Horbury and
Brian Mc Neil (Ed.), op. cit.,74.
30 Elwell (Ed.), op.cit., 815.
31 Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996)
115.
32 C. Groenen, Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus (Ende: Nusa Indah, 1983) 147.
33 St. Darmawijaya, Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
95.
34 Leonardo Boff, Passion of Christ, Passion of the World: The Facts, Their Interpretation,
And Their Meaning Yesterday and Today (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1984) 114.
“Semua salib” di sini berarti semua penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa.
Penderitaan dan kematian Yesus di salib merupakan suatu bentuk penebusan yang
mampu meniadakan semua penderitaan yang harus ditanggung manusia.
35 Bdk. Efesus 2:8-9, “Karena kasih karunia [kita] diselamatkan oleh iman; itu bukan
hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada
orang yang memegahkan diri.”
36 Edward Schillebeeckx, Church: The Human Story of God (New York: Crossroad, 1990)
12.
37 Istilah “eklesiologi pembebasan” ini dimunculkan oleh R. Gibellini, Lih. Gibellini,
The Liberation Theology Debate (Maryknoll: Orbis Books, 1987) 27-34.
38 Suryawasita, Teologi Pembebasan Gustavo Gutiérrez (Yogyakarta: Jendela, 2001) 19.
39 Lih. Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (Maryknoll, NY:
Orbis Books, 1973) 16-25.
40 Bdk. Avery Dulles, Model-model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990) 109.
41 W. Pannenberg, Theology and the Kingdom of God, 75. Dalam Dulles, ibid., 110.
42 Jurgen Moltmann, Theology of Hope (London: SCM Press, 1967) 327-328.
43 Lih. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta:
Kanisius, 2004) 565-566.
44 Dikutip oleh Dulles, op. cit., 97.
45 Ibid., 103.
46 Hans Küng, Eternal Life (London: SCM Press, 1991) 152.
47 Inspirasi subjudul ini ialah Ensiklik pertama Paus Benediktus XVI, Deus Caritas Est
(2005).
48 Hans Küng, Does God Exist? (London: Collins, 1980) 674.
49 Bdk. Ibid.
50 Bdk. Karl Rahner, Theological Investigations XIX (New York: Crossroad, 1983) 207-
208.
51 Henri J. M. Nouwen, The Road to Daybreak: A Spiritual Journey (New York: Doubleday,
1988) 56.
52 Yohanes Paulus II (Terj: R. Hadiwikarta), Salvifici Doloris (Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2011) No. 11.
53 Kej. 3:14-19, Bil. 12: 10-12.
54 Yes. 53:5, 2Mak. 7.
55 Bdk. Yak. 1:2-4, 1Pet. 1:7-8, Rm. 5:3-4.
308