"Pasangan Minimal" Fonem Dasar Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
"Pasangan Minimal" Fonem Dasar Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
"Pasangan Minimal" Fonem Dasar Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
Ary Setyadi
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro
[email protected]
Abstract
Evidence as well as the goal of writing articles related to the statement: that the existence
of "minimal pair" phonemes are supposed to be the basis/early learning Indonesian
phonology is based on the following reasons: a. functional phoneme "minimal pair", b.
certainty of speech and phoneme symbols, c. certainty of type and number of phonemes, d.
phoneme as the cause of difference/contrast of meaning (words), and e. other forms of
antonym formation (i).
Starting from the effort of proof and the goal, finally it can be said: that such a
study is an important study, because from several literature sources there is a phoneme
"minimal pair" only discussed in a brief and simple manner. That is only limited to
capacity as a means of proofing phonemes to phonemic traits. In other words, it turns out
that the existing problems have never been discussed in depth and specifically.
The method applied is based on three strategic stages, namely: 1. provision of
data, 2. classification and analysis of data, and 3. preparation of reports/writing. The data
is obtained from written sources, so that the provision of data is secondary. The
application of theory is based on the linguistic theory of phonology and the semantic field.
The application of the phonology field is related to the effort to put words in the phoneme
"minimum pair", while the semantic field is related to the different meanings (words) of
the paired words.
Intisari
Pembuktian dan sekaligus sebagai tujuan penulisan artikel berkait dengan pernyataan:
bahwa keberadaan “pasangan minimal” fonem sudah semestinya dijadikan dasar/awal
pembelajaran fonologi bahasa Indonesia bertolak dari alasan: a. sifat fungsional “pasangan
minimal” fonem, b. kepastian ucapan dan simbol fonem, c. kepastian macam dan jumlah
fonem, d. fonem sebagai penyebab beda/kontras makna (kata), dan e. bentuk lain
pembentukan antonim(i).
Bertolak dari upaya pembuktian dan tujuan tersebut akhirnya dapat dikatakan:
bahwa kajian semacam merupakan kajian yang penting, sebab dari beberapa sumber
pustaka yang ada keberadaan “pasangan minimal” fonem hanya dibahas secara sepintas
dan sederhana.Yaitu hanya sebatas kapasitas sebagai alat pembuktian fonem ke sifat
fonemis. Dengan kata lain, ternyata permasalahan yang ada belum pernah dibahas secara
mendalam dan khusus.
521
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
Pendahuluan
Satu di antara sekian satuan ranah kajianfonologi adalah fonemik (Kentjono (Ed.), 1982:
31), sehingga keberadaan fonemik merupakan bagian materi pembelajaran fonologi. Sebab
fonologi sebagai cabang linguistik mempunyai dua subcabang, yaitu fonetik dan fonemik.
Pembedaan kedua subcabang tersebut sebenarnya saling melengkapi. Keberadaan fonetik
berkait dengan bunyi bahasa (yang dihasilkan oleh alat ucap), sedang keberadaan fonemik
berkait dengan wujud atau realiasi unsur bunyi yang berkorelasi atas “sistem”. Sebab apa
yang disebut fonemik adalah, “1. sistem fonem suatu bahasa; 2. prosedur untuk
menentukan fonem suatu bahasa; 3. penyelidikan mengenai sistem fonem suatu bahasa.”
(Kridalaksana, 2001: 56).
Bertolak dari kutipan tersebut, tampak jelas bahwa peramasalahan pembelajaran
materi fonologi berpangkal pada fonem; dan apa yang disebut fonem adalah, “Satuan
bunyi bahasa terkecil yang menunjukkan kontras makna; ...” (Kridalaksana, 2001: 55-56).
Dengan demikian permasalahan fonemik berkorelasi langsung dengan `prosedur
penentuan fonem bahasa`; dan permasalahan fonem berkait dengan `satuan bunyi bahasa
(terkecil) yang secara langsung sebagai penanda pembeda/pengkontras makna`. Oleh
sebab itu sangat beralasan jika pengkajian persoalan penentuan kepastian unsur bunyi
bahasa terkecil (fonem) dikatakan benar-benar sebagai fonem (bahasa Indonesia) harus
bertolak dari prosedur yang ada, salah satunya adalag dengan dimanfaatkannya “pasangan
minimal” sebagai alat. Sebab berdasarkan beberapa sumber bacaan/referensi yang ada,
keberadaan “pasangan minimal” hanya diposisikansebatas sebagai alat pembuktian fonem.
Adapun apa yang disebut “pasangan minimal” adalah “Kemampuan pengubahan bentuk
dan beda/kontras makna kata sebagai akibat adanya penggantian satu atau lebih fonem
dalam struktur internal kata atas pasangan kata.” (Setyadi dan Djoko Wasisto, 2018: 28).
522
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
523
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
“pasangan minimal” dapat dipakai sebagai alat pembuktian kepastian fonem, dan
diberikan contoh: lupa xrupa.
b. Buku berjudul Dasar-dasar Linguistik Umum(Kentjono (Ed.), 1982: 21-38)
menyinggung juga masalah “pasangan minimal”. Bahasan yang ada juga hanya sebatas
pada: bahwa keberadaan “pasangan minimal” sebagai alat pembuktian adanya kepastian
fonem. Diberikan contoh: bila x bela.
c. Buku berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono (Ed.), 1988: 54-56)
secara tidak langsung memang telah juga menyoal “pasangan minimal”. Sajian bahasan
hanya sebatas bahwa keberadaan “pasangan minimal” itu ada dan dapat dipakai sebagai
alat pembuktian adanya kepastian fonem; dan diberikan contoh: tari x dari; cari xjari;
kalah x galah.
d. Buku berjudul Fonetik dan Fonologi (Yusuf, 1998: 17) Sajian bahasan hanya
menyinggung adanya “pasangan minimal” yang disebut juga dengan istilah minimal set,
dan diberikan contoh: paku x saku; kaku x laku; baku x daku; batik x batak; batuk x
batok.
e. Bersumber dari Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2001: 156) dijelaskan juga masalah
“pasangan minimal” disebut juga dengan istilahminimal pair atau contrastive pair, dan
diberikan pengrtian, “Dua ujaran yang salah satu unsurnya berbeda, dua unsur yang
sama kecuali dalam hal satu bunyi saja; mis. lupa dan rupa.”
Bersumber dari artikel dan jurnal (ilmiah bahasa), misalnya dapat dilihat pada:
a. Artikel berjudul “Fonologi Bahasa Indonesia” (Bagian I) (Sulastri, 2011), persoalan
sebagaimana yang disebut dalam tujuan yang hendak dicapai dalam artikel ini belum
disinggung sama sekali, meskipundijelaskan pengertian “pasangan minimal” yaitu,
“Pasangan minimal adalah seperangkat kata yang sama, kecuali dalam satu bunyi”.
“pasangan minimal” disebut dengan istilah “kata yang berkontras”; dan diberikan
contoh: lupa xrupa; putra x putri.
b. Jurnal (ilmiah bahasa) berjudul “Realisasi dan Varian Fonem” (Mustolih, 2011/10/23)
sajian kajian hanya berfokus pada realisasi fonem, baik fonem vokal maupun konsonan,
dan masalah alofon fonem vokal. “Pasangan minimal” disinggung juga, tetapi hanya
sebatas pada pembuktianadanya pasangan kata yang beda/kontras makna yang
disebabkan oleh penggantian fonem. Contoh: kapan x kafan; kita x gita.
524
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
Metode Penelitian
Penerapan metode penelitian sehubungan tujuan bahwa keberadaan “pasangan mnimal”
fonem sudah semestinya dijadikan dasar/awal pembelajaran fonologi bahasa Indonesia
sebelum dibicarakan materi (lain) lebih lanjut/jauh lagiberlaku sebagaimana penelitian
linguistik pada umumnya, yaitu bertumpu pada tiga tahap(an) strategis: 1.
penyediaan/pengumpulan data, 2. klasifikasi dan analisis data, dan 3.
penulisan/penyusunan laporan (Sudaryanto, 1981: 26-34).
Tahap(an) penyediaan/pengumpulan data, secara langsung berkait dengan data
sekunder, sebab temuan data lebih mendasarkan pada sumber bacaaan yang secara
langsung atau tidak membicrakan fonologi bahasa Indonesia. Dengan demikian persoalan
penyediaan data mendasarkan pada metode (ke)pustaka(an) dengan diterapkan tenik
penyimakaan yang lanjutan dengan pencatatan data dalam kartu data. Pemerolehan data
yang bersumber pada data tulis -- yang menghasilkan data primer – relatif tidak mudah.
Sebab persoalan temuan data dalam “pasangan minimal” fonem lebih bersifat teoritis
(sebagaimana sajian bahasan dalam pustaka yang ada).
Tahap(an) pengklasifikasian bertolak dari kemampuan macam fonem: vokal,
diftong, konsonan sebagai penyebab adanya beda/kontras makna, sehingga dari sifat
kemampuan yang ada – yaitu akibat dari penggantian fonem dalam struktur internal kata
berpengaruh terhadap beda/kontras makna – dijadikan sebagai dasar klasifikasi data.
Adapun analisis databertolak pada penarapan teori linguistik bidang fonologi (subbidang
fonemik) dan semantik (leksikal).
Penerapan teori linguistik bidang fonologi (subbidang fonemik) sebab persoalan
“pasangan minimal;” fonem bertolak pada perilaku fonem yang bersangkutan. Sebagai
contoh kata kota akan menampakkan beda/kontras makna katanya setelah fonem /o/
diganti dengan fonem /a/ yang berubah menjadi kata. Perbedaan beda/kontras makna kata
semata-mata disebabkan adanya penggantian fonem dalam struktur internal pada kata kota,
sebab apa yang disebut fonem adalah, “Satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan
kontras makna; ...” (Kridalaksana, 2001: 55-56).
Penerapan teori linguistik bidang semantik (leksikal) akibat tuntutan atas: apakah
arti kata (leksikal/kamus) akibat adanya perubahan bentuk kata atas penggantian fonem
dalam kata sebagaimana dari kata kota berubah menjadi kata. Arti kata kota adalah, “n. 1.
Daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang nerupakan kesatuan tempat
525
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
tinggaldari berbagai lapisan masyarakat, 2. ...”; sedanga arti kata kata adalah, “n. 1. Unsur
bahasa yang diucapkan atau ditulis yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan
pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa; 2. Ujar; bicara; 3. ...” (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2001: 513; 597). Sumber lain menjelaskan bahwa makna
leksikal/kamus tercakup dalam bidang semantik leksikal/kamus, sebab persoalan makna
leksikal/kamus berkait dengan butir leksikal yang berfungsi sebagai pemberi informasi
yang duperlukan (fonologis, sintaksis, semsntik, ragam, dan sebagainya) (Leech, 2003:
247).
Bertolak dari paparan analisis data yang mendasarkan pada penerapan teori
linguistik bidang fonologi (subbidang fonemik) dan bidang semantik (leksikal) tersebut,
semata-mata demi pemenuhan analisis data ke arah pembuktian bahwa keberadaan
“pasangan minimal” fonem sudah semestinya jika dijadikan dasar/awal pembelajaran
fonologi bahasa Indonesia sebelum dibahas dibahas materi lebih lanjut/jauh.
Tahap(an) ketiga adalah tahap(an) penyusunan/pembuatan laporan (hasil
penelitian). Pada tahap(an) ini metode yang diterapakan adalah metode informal, sebab
berkait dengan upaya memaparkan hasil analisis data dengan bahasa sebagai alat
(bernarasi). Hasil pemaparan berakhir dengan: dapat dibuatkan sebuah artikel ini.
526
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
dijelaskan permasalahan yang berkait dengan fonem. Sebab analisis keenam temuan yang
dimaksud berkait secara langsung dengan apa yang disebut fonem.
Ramlan dalam buku Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksissecara jelas menjelaskan
bahwa bahasa terdiri atas dua lapis, yaitu: 1. lapis bunyi dan 2. lapis bentuk. (1985: 57)).
Lapis bunyi berkait dengan satuan terkecil yaitu fonem, sedang lapis bentuk berkait
dengan gabungan unsur bunyi (dalam pola struktur (kalimat) tertentu) yang berakhir
dengan makna. Oleh sebab itu sangat beralasan jikabentuk (makna) bermula dari adanya
unsur bunyi (bahasa), yaitu fonem.
Telah disinggung di atas, bahwa apa yang disebut fonem adalah, “Satuan bunyi
terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna; ...” (Kridalaksana, 2001: 55-56).
Bertolak dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa keberadaan fonem dapat sebagai
penyebab adanya beda/kontras makna kata, sehingga bentuk kata mana yang berarti, “n.
Orang tua perempuan, ibu.”, dan papayang berarti, “n. cak 1. Ayah; bapak; 2. ...”; (Kamus
Besar Bahasa Indonesia: 2001: 707; 827), seandainya diubah menjadi maka dan pipa,
sebagai akibat adanya penggantian fonem /n/ diganti /k/ dan fonem /a/ diganti /i/; maka
tampak jelas terjadi pergantian makna kata yang bersangkutan.
Bertolak dari contoh data tersebut tampak jelas bahwa kutipan pengertian fonem
berlaku benar adanya. Demikian juga halnya, bertolak dari sajian data tersebut tampak
jelas bahwa hasil penggantian fonem yang berakibat adanya beda/kontras makna kata
menunjukkan bahwa fonem /n, k, a,i/ bersifat fonemis (sebagai fonem tersendiri).
527
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
528
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
khususnya fonem /ê/. Sedangkan untuk fonem diftong dan fonem konsonan tidak ada
persoalan.
Persoalan yang ada sehubungan kepastian wujud simbol/gambar/lambang hanya
berkait dengan fonem /ê/. Persoalan yang ada. misalnya dapat dirunut dari sumber
referensi yang secara tegas mengatakan, “Huruf yang melambangkan vokal bahasa
Indonesia ada lima huruf /a, ê*, i, o, dan u/. Khusus huruf yang melambangkan vokal
/ê*/ diberikan contoh data: enak [é n a k], ember [è m b è r], emas [ê m a s].” (Tim
Pengembangan Pedoman Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan
Kemendikbud, 2016: 2).
Bertolak dari contoh data yang ada, pentur bahasa Indonesia dapat merasakan
bahwa realisasi fonem /ê/ dapat diucapkan [é] sebagaimana kata enak, [è] sebagaimana
kata ember, dan [ê] sebagaimana kata emas; maka semestinya jika apa yang disebut
fonem vokalsecara pasti memiliki simbol/lambang/gambar dan ucapan: /a, é, è, ê, i, o,
dan u/,sehingga jumlah fonem vokal ada tujuh. Adapun alasan/argumentasi fonem /ê*/
mencakup fonem /é, è, dan ê/, sebab masing-masing fonem tersebut dapat dibuatkan
“pasangan minimal” fonem; sehingga hasil pembuktian meyakinkan bahwa keberadaan
ketiga fonem yang dimaksud bersifat fonemis (masing-masing fonem tersebut
merupakan fonem tersediri, meskipun memiliki simbol/lambang/gambar huruf yang
sama).
/é/: e n a k x a n a k, p a r e x p a r u
/è/: k a k e k x k a k a k, k a l e n g x k a l u n g/
/ê/: s e r a n g x s a r a n g, t e m a n x t a m a n
Catatan. Fonem /o/ tidak dibuatkan “pasangan minimal”, meskipun fonem /o/ dapat
diucapkan [o] dan /ɔ/. Realisasi bunyi fonem /o/ menjadi [o] dan [ɔ] tersebut hanya
menunjukkan kasus alofon; sehingga kebaradaannya tidak bersifat fonemis. Contoh
kata pohonmempunyai variasi ucapan [p ɔ h ɔ n], dan [p o h o n ].
b. Kepastian Macam dan Jumlah Fonem
Kepastian fonem dalam bahasa Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas
mencakup: fonem vokal, fonem diftong, dan fonem konsonan. Adapun jumlah fonem
vokal ada tujuh mencakup: /a, é, è, ê, i, o, u/, jumlah fonem diftong ada tiga mencakup:
/ai, ou, oi/, dan jumlah fonem konsonan ada 25 mencakup: /b, c, d, f, g, h, j, k, kh, l, m,
n, ŋ, ɲ, p, q, r, s, ʃ, t, v, w, x, y, z/.
529
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
Bertolak dari macam fonem dan masing-masing jumlah fonem yang ada, akhirnya
dapat dipastikan jumlah fonem dalam bahasa Indonesia adalah 35. Ke-35 fonem yang
ada ternyata masing-masing merupakan fonem tersendiri, sehingga secara pasti bersifat
fonemis. Sebab masing-masing fonem yang ada dapat dibuatkan “pasangan minimal”-
nya (sebagaimana dapat dilihat dalam hasil laporan yang berjudul “Sifat Fungsional dan
Manfaat ‘Pasangan Minimal’ Fonem dalam Pembelajaran Fonologi Bahasa Indonesia”).
c. Fonem sebagai Penyebab Beda/Kontras Makna (Kata)
Bertolak dari macam dan jumlah fonem bahasa Indonesia di atas, akhirnya dapat
dibuktikan bahwa unsur utama penentuan fonem benar-benar bersifat fonemis harus
berlaku: akibat adanya penggantian fonem dalam struktur internal kata, maka hasil
penggantian fonem sebagai penyebab adanya beda/kontras makna (kata), yang
kemudian berakhir pada dasar penentuan fonem benar-benar bersifat fonemis.
Contoh data berikut sebagai bukti bahwa akibat penggantian fonem ternyata
sebagai penyebab adanya beda/kontras makna kata (sebagaimana sajian pasangan kata
berikut):
/a/ x /i/ : p a s a r x p a s i r, p i p a x p a p a
/au/ x /a/ : p u l a ux p u l a, d a n a u x d a n a
/p/ x /l/ : p u r a x p u l a, p a k u x p a l u
530
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
Sajian di bawah ini diberikan contoh “pasangan minimal” fonem, yaitu dengan
dipasangkannya dua atau lebih kata yang berakhir beda/kontras makna kata
(sebagaimana contoh di atas). Contoh lain:
/a/ x /u/ : a d a x a d u, d a d a x d a d u
/ai/ x /i/ : p a n t a ix p a n t i, t a p a i x t a p i
/s/ x /t/ : s a r i x t a r i, s a r u x s a t u
e. Bentuk Lain Antonim(i)
Pengertian antonim(i)dari beberapa sumber dikatakan, “n. 1. Kata yang berlawanan
makna dengan kata yang lain: “buruk” adalah – dr “baik”; 2. ... “ (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001: 58); atau, “(lat) dikatakan kepada kata yang berlawanan artinya,
misalnya kaya lawan miskin, baik lawan buruk, dsb.” (Badudu, 2003: 24), dan, “Oposisi
makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan, misalnya dalam tinggi :
rendah ...” (Kridalaksana, 2001:5).
Bertolak dari sajian pengertian antonim(i) dan contoh data yang ada tersebut,
ternyata ditemukan pula pasangan kata dalam “pasangan minimal” fonem yang berlaku
sebagaimana pasangan kata dalam antonim(i) yang menunjukkan adanya beda/kontras
makna kata. Contoh:
papi x mami
papa xmama
dewa x dewi
muda x mudi
Simpulan
Berdasarkan sajian analisis data dalam Pembahasan di atas, terbukti bahwa keberadaan
“pasangan minimal” fonem yang bersifat fungsional sebagai alat pembuktian bahwa suatu
fonem dapat dikatan benar-benar fonem jika bersifat fonemis, sehingga sangat beralasan
jika keberadaan “pasangan minimal” fonem sudah semestinya jika dijadaikan dasar/awal
pembelajaran fonologi bahasa Indonesia sebelum diajarkan materi lebih lanjut/jauh lagi.
Pemahaman dan penjelasan secara mendalam atas sifat fungsional “pasangan
minimal” fonem memberi bekal dan kesadaran bagi pembelajar fonologi bahasa Indonesia
akan arti-penting memahami ranah satuan materi pembelajaran. Sebab sebagaimana telah
disinggung di depan bahwa keberadaan “pasangan minimal” fonem dengan fonem
531
NUSA, Vol. 13 No. 4 November 2018 Ary Setyadi, “Pasangan Minimal” Fonem Dasar
Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa Indonesia
Daftar Pustaka
Cahyono, Widi Eko. 2013. Bahasa Indonesiaku. Bandung: Pelita.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Jakarta: Balai Pustaka.
Kentjono, Djoko (Ed.). 1982. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fak. Sastra UI.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Leech, 2004. Semantik. Terjemahan. Jakarta: PT Gramedia.
Moeliono, Anton M (Ed.). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Marsono. 1987. Fonetik. Yogyakarta: Kanisius.
Mustolih, 2011. “Realisasi dan Variasi Fonem”.
(https://mustolihbrs.wordpress.com/2011/10/23/fonologi-bahasa-indonesia/).
Ramlan, M. 1985. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: Kanisius.
Setyadi, Ary. 2017. “ Pasangan minimal Fonem Bahasa Indonesia”. Makalah Fakultas
Ilmu Budaya Undip, Semarang.
Setyadi, Ary dan Djoko Wasisto. 2018. “Sifat Fungsional dan Manfaat “Pasangan
Minimal” Fonem dalam Pembelajaran Fonologi Bahasa Indonesia”. Laporan
Penelitian. Fakultas Ilmu Budaya Undip. Semarang.
Soedjarwo, dkk.. 1985/1986. “Perbandingan Tata Bunyi Bahasa Indonesia dan Bahasa
Jawa. Projek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Propinsi Jawa
Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sulastri, Isna. 2011. Fonologi Bahasa Indonesia. (Bagian 1). Bandung: BAS, 13 Juli.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Tim Pengembangan Pedoman Bahasa Indonesia. 2016. Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Kemendikbud.
Verhaar, WJ. 1977. Pengantar Linguistik. Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Yusuf, Suhendra. 1988. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
532