Jurnal Studi at Difabel
Jurnal Studi at Difabel
Jurnal Studi at Difabel
ARIF MAFTUHIN
The State Islamic University of
Sunan Kalijaga maftuhin@uin-
suka.ac.id
Abstract
The research is about the ‘struggle’ to name persons with disabilities in Indonesia. As in
other countries that find naming as an important tool in the fight for equality, Indonesia
witnessed various naming influenced by the way people see disability and persons with
disability. The research is aimed at understanding which naming that is more popular in
terms of its usage and how a term is used. The data are gathered from the online use of
three words: penyandang cacat, difabel, dan penyandang disabilitas. It seeks to see
the popularity of the words in three different levels: their trends, popular use in the
online news media, and their academic use in the journals and books. The method to
gather and analyze the data is mostly helped by Google search engine and its rich
features. The research concluded that there has been a dynamic use of the words across
the level. ‘Difabel’ is the most popular word in trend; ‘Penyandang Disabilitas’ shared
the popularity with ‘Difabel’ among news media; and surprisingly ‘Penyandang Cacat’
is still the most used term among scholars.
Abstrak
A. Pendahuluan
Gerakan hak-hak difabel di bagian bumi manapun
tampaknya harus selalu berurusan dengan kata dan
makna yang terkait dengan dunia para difabel. Di
Amerika, pertarungan makna untuk merebut kembali hak
para difabel masih terus terjadi baik sesudah maupun
sebelum disahkannya ADA (the American Disability Act)
pada tahun 1990 (Wilson & Lewiecki-Wilson, 2001). Di
Inggris, pertarungan makna serupa juga terjadi dalam
kehidupan sehari-hari para difabel. Berbagai sebutan
yang merendahkan bertarung dengan usulan untuk
menggantinya dengan “disabled people” atau “people
with disabilities”(Pepper, 2016). Sementara di Indonesia,
sebelum tahun 1990an, berbagai istilah peyoratif juga
banyak digunakan
140 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi hak kaum
difabel di
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Indoensia
Misalnya, penyandang cacat, idiot, ‘kelainan’, picek juga
(Jawa), dll. melewati
Kedekatan relasi antara perjuangan hak difabel masa-
dengan penggunaan berbagai istilah, karena itu, masa
banyak mengundang penelitian di berbagai negara. perdebata
Sebagai misal adalah penelitian Devlieger tentang n yang
perubahan penggunaan istilah dari handicap ke sengit.
disability. Ia menyimpulkan, dalam kasus Amerika, Dari
bahwa istilah handicap mencerminkan era yang survei
menjadikan aksesibilitas sebagai fokus; sementara literatur
disability mengalihkan perhatian kepada kemampuan yang
seseorang (Devlieger, 1999). Perhatian terhadap penulis
perubahan dari satu istilah ke istilah lain juga menjadi lakukan,
perhatian Bolt dalam penelitiannya tentang istilah penelitian
blindness dan visual impairment (Bolt, 2005). terpenting
Penelitian lainnya, seperti yang dilakukan oleh Haller, dan paling
dkk, memfokuskan kajian hanya pada satu istilah dan menarik
bagaimana istilah itu digunakan oleh pengguna dalam
bahasa. Haller menganalisis penggunaan istilah topik ini
disability oleh media massa di Amerika Serikat, dengan di
sampel kasus harian Washington Post dan New York Indonesia
Times. Dalam penelitian tersebut, Haller adalah
menyimpulkan bahwa meskipun para aktifis relatif yang
berhasil dalam mengubah diksi, makna, dan penelitian
pemaknaan terhadap kata disability, sisa-sisa isitlah Suharto.
yang bersifat ‘menyepelekan’ atau ‘mencap’ difabel Topik
masih terus digunakan oleh para jurnalis (Haller, kajiannya
Dorries, & Rahn, 2006). Masih ada sejumlah penelitian secara
lain sejenis dalam konteks di luar Indonesia yang khusus
menekankan pentingnya pertaruangan istilah dalam ditujukan
perjuangan pememnuhan hak-hak difabel. untuk
Dalam konteks Indonesia, sebaliknya, tidak banyak membaha
penelitian dilakukan untuk mencermati pertarungan s
istilah ini. Padahal, sejak dekade 1990-an, pergerakan munculny
a istilah ‘difabel’. Tetapi, dalam proses itu, ia juga
menyinggung sejarah pergulatan berbagai istilah selain
difabel yang muncul dalam tiga dasa warsa terakhir.
Suharto secara rinci menceritakan sejarah dan
penggunaan berbagai istilah itu seraya berargumen
tentang
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 141
Arif Maftuhin
142 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi kelainan
fisik,
Berbeda dengan data ‘lapangan’ yang ditawarkan emosional
Suharto, peneliti akan membawa data lapangan dari , mental,
dunia daring. Sebagai bangsa dengan pengguna intelektua
internet terbesar di dunia, riset berbasis data daring l,
sangat signifikan untuk melihat penggunaan sebuah dan/atau
istilah. sosia, (7)
Ketiga, sebagaimana Suharto, penelitian ini juga anak
mengantisipasi terbitnya Undang-undang No. 8 tahun berkebutu
2016. Penulis sependapat bahwa dibutuhkan periode han
waktu yang lebih panjang untuk mnegetahui dampak khusus
undang-undang itu; tetapi riset awal dapat dilakukan (anak luar
untuk melihat dampak undang-undang itu dalam biasa),
penggunaan istilah ‘penyandang disabilitas.’ dan (8)
Strateginya adalah dengan melihat penggunaan istilah penyanda
itu setelah Undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang ng cacat.
Ratifikasi CRPD. Meskipun UU No 8/2016 lebih kuat (selengka
daripada UU No. 19/2011, tetapi istilah ‘penyandang pnya lihat
disabilitas’ sudah mulai resmi digunakan dalam Tabel 1).
undang-undang ini dan dapat dilihat dampak
sesudahnya.
B. Berbagai istilah
Pada tahun 2014, Lembaga Demografi Universitas
Indonesia merilis sebuah riset tentang difabel di
Indonesia. Dalam salah satu bagiannya, riset ini
menemukan setidaknya delapan istilah yang digunakan
oleh dokumen legal (seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan daerah, dan semisalnya) di
Indonesia sejak zaman kemerdekaan (Sri Moertiningsih
Adioetomo, Daniel Mont, & Irwanto, 2014, h. 21).
Kedelapan istilah yang dilaporkan dalam riset itu adalah:
(1) bercacat, (2) orang yang dalam keadaan kekurangan
jasmani dan rohani, (3) tuna, (4) orang yang terganggu
atau kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
hidupnya, (5) penderita cacat, (6) penyandang kelainan
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 143
Arif Maftuhin
Tabel 1
144 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi
asosiasi
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 145
Arif Maftuhin
146 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi
Within
a social
si difabel dan treatment apa yang perlu dilakukan. model
individ
Secara umum, manusia dianggap sebagai pihak yang
uals
bisa ‘diubah’, ‘diperbaiki’ (rehabillitasi); sementara who are
differen
masyarakat adalah pihak yang sudah ‘demikian
t by
adanya’, tidak salah, dan tidak menjadi fasktor dalam virtue
disabilitas. Model medis menekankan pada ‘adaptasi of an
impair
terhadap lingkungan’. Difabel harus percaya diri, ment
yakin, dan mau berusaha agar sukses mengatasi find
that
disabilitasnya. (Llewellyn & Hogan, 2010, h. 158). they
Model medis kemudian digunakan oleh banyak pihak di are
oppress
luar dunia medis, di antaranya kalangan psikolog dan ed by a
para pengambil kebijakan publik di bidang kesejahteraan society
obsesse
sosial. Dalam kasus Indonesia, model medis dalam d with
menangani isu-isu disabilitas jelas dapat dibaca dalam concept
s of
pasal-pasal Undang-undang Penyandang Cacat tahun normali
1997. Pada bagian ‘upaya’ pemerintah untuk kaum ty. In
other
difabel, UU No. 4/1997 menyatakan di pasal 16, words
“Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan disabili
ty only
upaya: 1. rehabilitasi; exists
2.bantuan sosial; 3. pemeliharaan taraf kesejahteraan in so
far as it
sosial.” (Undang-undang Penyandang Cacat, 1997). is
Fokus dari tiga upaya ini adalah difabelnya, sama socially
constru
seperti dokter menangani pasiennya. Istilah cted
‘penyandang cacat’ dan berbagai istilah sejenisnya and
impose
mewakili pandangan medis ini.
d on
Model alternatif yang kemudian berkembang adalah people
with
model sosial (social model of disability). Model ini tidak
impair
menyangkal adanya masalah medis dalam disabilitas; ments
tetapi melihat bahwa masalah yang lebih besar bagi (Hutch
ison,
para difabel ada di masyarakat. Kemajuan teknologi 1995)
bantu dalam banyak hal telah mampu mengatasi Disabili
hambatan-hambatan medis para difabel. Namun, toh tas,
setelah masalah itu teratasi, masyarakatnya tidak dalam
berubah. Menurut Hutchison: sosial
model,
adalah akibat dari konstruksi sosial masyarakat yang
terobsesi dengan normalitas. Ketika masyarakat
mengkategorikan manusia menjadi normal dan tidak
normal, di situlah awal diskriminasi atas hak-hak
difabel mulai muncul. Misalnya, meskipun
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 147
Arif Maftuhin
Tabel 2
148 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi Singapura
. istilah ini
perubahan istilah yang disarankan untuk berubah dari kemudian
model medis ke model social ini (sebagian contohnya diindonesi
lihat Tabel 2). Merujuk ke proses perubahan itu, maka akan
dalam konteks Indonesia, muncullah dua alternatif: menjadi
difabel dan penyandang disabilitas. "difabel".
2. Difabel Menurut
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 149
Arif Maftuhin
150 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi 2009 yang
membaha
Sumber persoalannya ada di diskursus ‘normal’ dan s secara
‘cacat’ yang menopang konstruksi sosial istilah khusus
‘penyandang cacat’ dan melahirkan berbagai bentuk istilah apa
diskriminasi terhadap difabel, mulai dari diskriminasi yang
ekonomi, subordinasi, stereotyping, kekerasan, dan paling
penyempitan akses sosial (Fakih, 2002, h. 306–312). tepat
Dengan kata lain, penggantian istilah ini adalah bagian untuk
dari upaya ‘mengikat’ makna baru untuk melawan menerjem
diskriminasi terhadap kaum difabel. Penggantian istilah ahkan
ini, dengan demikian, lebih dari sekedar upaya eufimistik kata
seperti yang dituduhkan para kritikusnya. ‘disability
Seperti diuraikan dalam tulisan Suharto (2016), istilah ’ dalam
difabel dipopulerkan dan menjadi ‘alat’ perjuangan para Conventio
pegiat difabel, khususnya di Yogyakarta dan Jawa n on the
Tengah. Istilah difabel mereka gunakan dalam program- Rights of
program pemberdayaan, dalam kampanye hak, sebagai Persons
nama lembaga dan organisasi, bahkan dalam sejumlah with
kasus berhasil menjadi nama dokumen-dokumen Disabilitie
pemerintahan semisal peraturan daerah. Meski pada s.
akhirnya tidak digunakan sebagai istilah resmi dalam Semiloka
undang-undang, istilah difabel sudah amat popler ini adalah
digunakan. sebuah
3. Penyandang Disabilitas upaya
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 151
Arif Maftuhin
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
► 153
Arif Maftuhin
Gambar 1
154 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi
Gambar 2
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
Gambar 3
► 155
Arif Maftuhin
Tabel 3
156 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi disabilita
s’ lewat
menggunakan masing-masing istilah. Hasilnya adalah undang-
sebagaimana terlihat dalam Tabel 4. undang.
Tabel 4
► 157
Arif Maftuhin
158 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi berlakuny
a CRPD
Tabel 6 saja,
Penyandang Difabel/ Penyandang Jumlah pengguna
Cacat Diffabel*) Disabilitas
Sebelum 2012
an istilah
1200 189 30 1419
(85%) (13%) (2%) (100%) ‘penyand
Periode 2012-2016 2560 1078 735 4373 ang
(59%) (25%) (17%) (100%) cacat’
mengala
Data menunjukan bahwa meskipun tidak secepat mi
dunia populer, dunia akademik mrespon dengan baik penuruna
upaya untuk mengganti istilah ‘penyandang cacat’. Jika n hingga
pada periode pra-CRPD istilah ‘penyandang disbilitas’ 26%;
nyaris menjadi istilah satu-satunya yang digunakan, sedangka
sesudah ratifikasi CRPD dominasinya jauh berkurang. n
Istilah difabel mengalami peningkatan hampir dua kali
lipat dari 13% menjadi 25%. Meskipun masih kalah
dengan istilah ‘difabel’, istilah ‘penyandang disabilitas’
benar-benar ‘meraup kuntungan’ dengan melonjak
secara drastis dari hanya 2% sebelum ratifikasi CRPD
menjadi 17%.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun
undang-undang telah menetapkan satu pilihan istilah
untuk menerjemahkan persons with disabilities, istilah-
istilah lain masih digunakan secara luas di masyarakat.
Penyancang cacat masih banyak digunakan di dunia
akademik, sementara ‘difabel’ juga masih memperoleh
tempat yang siginifikan baik di kalangan masyarakat
umum maupun di dunia akademik.
Dari penelitian tadi juga dapat disimpulkan bahwa
istilah ‘penyandang disabilitas’ meskipun masih harus
bersaing keras untuk menggantikan ‘penyandang
cacat’ di dunia akademik, secara optimistik dapat
diperkirakan menggantikan istilah ‘penyandang cacat’
dalam waktu mendatang. Selama empat tahun
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016
*)
Dalam data ini, peneliti menggabungkan hasil pencarian ‘difabel’ dengan ‘diffabel’ karena
adanya pengejaan ‘diffabel’ yang cukup signifikan dalam sejumlah teks bila harus diabaikan.
► 159
Arif Maftuhin
Journal of
Disability
Studies,
Vol. 3, No.
2,
Jul-Des
2016
160 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi
Daftar Pustaka
► 161
Arif Maftuhin
162 ◄