Jurnal Studi at Difabel

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 44

INKLUSI: Journal of Disability Studies

Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016, h. 139-162


DOI: 10.14421/ijds.030201

MENGIKAT MAKNA DISKRIMINASI:


Pen ya n d an g C a ca t , Difabel , d an
Pen ya n d an g Disa b il it a s

ARIF MAFTUHIN
The State Islamic University of
Sunan Kalijaga maftuhin@uin-
suka.ac.id

Abstract

The research is about the ‘struggle’ to name persons with disabilities in Indonesia. As in
other countries that find naming as an important tool in the fight for equality, Indonesia
witnessed various naming influenced by the way people see disability and persons with
disability. The research is aimed at understanding which naming that is more popular in
terms of its usage and how a term is used. The data are gathered from the online use of
three words: penyandang cacat, difabel, dan penyandang disabilitas. It seeks to see
the popularity of the words in three different levels: their trends, popular use in the
online news media, and their academic use in the journals and books. The method to
gather and analyze the data is mostly helped by Google search engine and its rich
features. The research concluded that there has been a dynamic use of the words across
the level. ‘Difabel’ is the most popular word in trend; ‘Penyandang Disabilitas’ shared
the popularity with ‘Difabel’ among news media; and surprisingly ‘Penyandang Cacat’
is still the most used term among scholars.

Keywords: stigma; disabled; persons with disability; difabel; differently abled.


Arif Maftuhin

Abstrak

Penelitian ini difokuskan untuk meneliti ‘perebutan makna’ dan


penggunaan berbagai istilah terkait dengan difabel. Penelitian bertujuan
melihat istilah mana yang paling banyak digunakan dan bagaimana istilah-
INKLUSI:
istilah itu digunakan. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-
Journal of
data daring (online) terkait dengan tiga istilah kunci dalam wacana
Disability
disabilitas di Indonesia: penyandang cacat, difabel, dan penyandang
Studies, Vol.
disabilitas. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data online
3, No. 2,
dan menganalisisinya dalam tiga aspek: tren penggunaan istilah;
Jul-Des
popularitas di dunia berita daring; dan penggunaan di dunia akademik.
2016 Penelitian menunjukkan bahwa ada dinamika menarik dalam penggunaan
ketiga istilah itu di ketiga wilayah pencarian. Istilah ‘difabel’, meskipun
tidak diakui sebagai istilah resmi undang-undang, adalah istilah yang
paling populer di tren. Sementara istilah ‘penyandang disabilitas’
mencatatkan skor popularitas yang sedikit lebih tinggi dari ‘difabel’ dalam
penggunaan di media daring. Sementara istilah ‘penyandang cacat’ justru
masih sangat populer dalam penggunaan akademik.

Kata kunci: asal-usul istilah; penyandang cacat; difabel; penyandang


disabilitas.

A. Pendahuluan
Gerakan hak-hak difabel di bagian bumi manapun
tampaknya harus selalu berurusan dengan kata dan
makna yang terkait dengan dunia para difabel. Di
Amerika, pertarungan makna untuk merebut kembali hak
para difabel masih terus terjadi baik sesudah maupun
sebelum disahkannya ADA (the American Disability Act)
pada tahun 1990 (Wilson & Lewiecki-Wilson, 2001). Di
Inggris, pertarungan makna serupa juga terjadi dalam
kehidupan sehari-hari para difabel. Berbagai sebutan
yang merendahkan bertarung dengan usulan untuk
menggantinya dengan “disabled people” atau “people
with disabilities”(Pepper, 2016). Sementara di Indonesia,
sebelum tahun 1990an, berbagai istilah peyoratif juga
banyak digunakan
140 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi hak kaum
difabel di
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Indoensia
Misalnya, penyandang cacat, idiot, ‘kelainan’, picek juga
(Jawa), dll. melewati
Kedekatan relasi antara perjuangan hak difabel masa-
dengan penggunaan berbagai istilah, karena itu, masa
banyak mengundang penelitian di berbagai negara. perdebata
Sebagai misal adalah penelitian Devlieger tentang n yang
perubahan penggunaan istilah dari handicap ke sengit.
disability. Ia menyimpulkan, dalam kasus Amerika, Dari
bahwa istilah handicap mencerminkan era yang survei
menjadikan aksesibilitas sebagai fokus; sementara literatur
disability mengalihkan perhatian kepada kemampuan yang
seseorang (Devlieger, 1999). Perhatian terhadap penulis
perubahan dari satu istilah ke istilah lain juga menjadi lakukan,
perhatian Bolt dalam penelitiannya tentang istilah penelitian
blindness dan visual impairment (Bolt, 2005). terpenting
Penelitian lainnya, seperti yang dilakukan oleh Haller, dan paling
dkk, memfokuskan kajian hanya pada satu istilah dan menarik
bagaimana istilah itu digunakan oleh pengguna dalam
bahasa. Haller menganalisis penggunaan istilah topik ini
disability oleh media massa di Amerika Serikat, dengan di
sampel kasus harian Washington Post dan New York Indonesia
Times. Dalam penelitian tersebut, Haller adalah
menyimpulkan bahwa meskipun para aktifis relatif yang
berhasil dalam mengubah diksi, makna, dan penelitian
pemaknaan terhadap kata disability, sisa-sisa isitlah Suharto.
yang bersifat ‘menyepelekan’ atau ‘mencap’ difabel Topik
masih terus digunakan oleh para jurnalis (Haller, kajiannya
Dorries, & Rahn, 2006). Masih ada sejumlah penelitian secara
lain sejenis dalam konteks di luar Indonesia yang khusus
menekankan pentingnya pertaruangan istilah dalam ditujukan
perjuangan pememnuhan hak-hak difabel. untuk
Dalam konteks Indonesia, sebaliknya, tidak banyak membaha
penelitian dilakukan untuk mencermati pertarungan s
istilah ini. Padahal, sejak dekade 1990-an, pergerakan munculny
a istilah ‘difabel’. Tetapi, dalam proses itu, ia juga
menyinggung sejarah pergulatan berbagai istilah selain
difabel yang muncul dalam tiga dasa warsa terakhir.
Suharto secara rinci menceritakan sejarah dan
penggunaan berbagai istilah itu seraya berargumen
tentang
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 141
Arif Maftuhin

pentingnya istilah ‘difabel’ sebagai alat perlawanan


kuasa dan wacana hegemonik (Suharto, 2016).
Selain Suharto, nyaris tidak ada tulisan lain yang
lebih komprehensif membahas penggunaan berbagai
INKLUSI:
istilah terkait difabel. Hanya saja, penting juga dicatat
Journal of
kontribusi Tarsidi dan Somad dalam topik ini. Berada
Disability
di seberang Suharto, Tarsidi menolak istilah ‘difabel’.
Studies, Vol.
Sebagai ganti ‘penyandang cacat’ ia pernah
3, No. 2,
mengusulkan istilah ‘penyandang ketunaan’ pada
Jul-Des
tahun 2009 (Tarsidi & Somad, 2009). Berbeda dengan
2016
penelitian Suharto, Tarsidi dan Somad lebih berbicara
di wilayah semantik yang membahas tentang layak dan
tidaknya sebuah istilah untuk digunakan. Di luar dua
tulisan ini, penulis tidak menemukan penelitian lain
yang membahas topik penggunaan berbagai istilah
terakit difabel.
Sebenarnya, tulisan ini awalnya akan mengkaji hal-hal
yang telah diteliti Suharto. Hanya saja, penulis
mempertimbangkan dua hal penting untuk menjadi dasar
perlunya penelitian lagi tentang penggunaan istilah
difabel dan istilah alternatifnya. Pertama, penelitian
Suharto sesungguhnya belum menyediakan data yang
cukup kaya dari segi bagaimana istilah-istilah itu
digunakan. Secara empiris, dasar-dasar argumenya
masih terbatas. Misalnya, ia menyebutkan penggunaan
istilah difabel di dua koran nasional secara kualitatif saja.
Kemudian menunjukkan beberapa kasus penggunaan
istilah difabel dalam sejumlah peraturan daerah di
sejumlah daerah di Indonesia. Argumen Suharto, oleh
sebab itu, perlu diperkuat dan diperbarui. Kedua, tidak
terlalu mendasar tetapi penting, aksesibilitas informasi
terhadap riset yang ia publikasikan dalam bahasa Inggris
dan di jurnal berbayar. Secara praktis, itu menjadi
hambatan bagi pembaca-peneliti pemula di Indonesia,
seperti para mahasiswa yang sedang menulis skripsi,
yang Indonesia. Penulis berharap bisa berkontribusi di bagian
memerluk ini.
an akses Di luar kedua alasan awal tersebut, ada beberapa hal
ke baru yang akan penulis tawarkan secara khusus dalam
pengetah tulisan ini. Pertama, berbeda dengan Soeharto yang
uan dalam lebih ‘historis’, penelitian ini akan benar-benar fokus
bahasa pada penggunaan berbagai istilah itu di masyarakat.
Kedua, penelitian ini menawarkan riset dengan
dukungan data daring (online).

142 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi kelainan
fisik,
Berbeda dengan data ‘lapangan’ yang ditawarkan emosional
Suharto, peneliti akan membawa data lapangan dari , mental,
dunia daring. Sebagai bangsa dengan pengguna intelektua
internet terbesar di dunia, riset berbasis data daring l,
sangat signifikan untuk melihat penggunaan sebuah dan/atau
istilah. sosia, (7)
Ketiga, sebagaimana Suharto, penelitian ini juga anak
mengantisipasi terbitnya Undang-undang No. 8 tahun berkebutu
2016. Penulis sependapat bahwa dibutuhkan periode han
waktu yang lebih panjang untuk mnegetahui dampak khusus
undang-undang itu; tetapi riset awal dapat dilakukan (anak luar
untuk melihat dampak undang-undang itu dalam biasa),
penggunaan istilah ‘penyandang disabilitas.’ dan (8)
Strateginya adalah dengan melihat penggunaan istilah penyanda
itu setelah Undang-undang No. 19 tahun 2011 tentang ng cacat.
Ratifikasi CRPD. Meskipun UU No 8/2016 lebih kuat (selengka
daripada UU No. 19/2011, tetapi istilah ‘penyandang pnya lihat
disabilitas’ sudah mulai resmi digunakan dalam Tabel 1).
undang-undang ini dan dapat dilihat dampak
sesudahnya.

B. Berbagai istilah
Pada tahun 2014, Lembaga Demografi Universitas
Indonesia merilis sebuah riset tentang difabel di
Indonesia. Dalam salah satu bagiannya, riset ini
menemukan setidaknya delapan istilah yang digunakan
oleh dokumen legal (seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan daerah, dan semisalnya) di
Indonesia sejak zaman kemerdekaan (Sri Moertiningsih
Adioetomo, Daniel Mont, & Irwanto, 2014, h. 21).
Kedelapan istilah yang dilaporkan dalam riset itu adalah:
(1) bercacat, (2) orang yang dalam keadaan kekurangan
jasmani dan rohani, (3) tuna, (4) orang yang terganggu
atau kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
hidupnya, (5) penderita cacat, (6) penyandang kelainan
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 143
Arif Maftuhin

Tabel 1

Istilah Dokumen yang menggunakan

(Ber)cacat Undang-undang No. 33 Tahun 1947


tentang Ganti Rugi Buruh yang
INKLUSI: Kecelakaan
Journal of Undang-undang No. 4 Tahun 1979
Disability tentang Kesejahteraan Anak
Studies, Vol. Orang-orang yang Undang-undang Nomor 12 tahun 1954
3, No. 2, dalam keadaan kekurangan tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh
Jul-Des jasmani atau
Indonesia
2016 rokhaninya

Tuna Undang-undang (Law) Nomor 6 Tahun


Orang yang terganggu atau 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial
kehilangan kemampuan
untuk mempertahankan
hidupnya
Penderita Cacat Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial
Bagi Penderita Cacat
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
Penyandang kelainan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
1991 tentang Pendidikan Luar Biasa
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Anak berkebutuhan khusus Surat Edaran Direktorat Jenderal
(anak luar biasa) Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun
2003 Perihal: Pendidikan Inklusi
Penyandang cacat Pertama digunakan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan

Laporan di atas jelas tidak menyebutkan istilah


‘difabel’. Padahal istilah ‘difabel’ telah digunakan dalam
berbagai dokumen pemerintahan di

144 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi
asosiasi

sejumlah daerah. Menurut penelitian Suharto, apa yang

setidaknya ada tiga Peraturan Daerah (Perda) yang muncul

menggunakan istilah difabel, yaitu: Perda Sleman dari kata

Nomor 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas cacat dan


pada Bangunan Umum dan Lingkungan bagi Difabel; difabel.
Perda Kota Surakarta Nomor 2 tahun 2008 tentang Kedua
Kesetaraan Difabel; dan Peraturan Daerah Kabupaten , peran
Klaten Nomor 2 tahun 2011 tentang Kesetaraan, lain dari
Kemandirian dan Kesejahteraan Difabel (Suharto, istilah
2016). adalah
Istilah berikutnya yang juga tidak dimasukkan dalam ‘generali
riset Lembaga Demografi adalah istilah terpenting saat sasi’.
ini: ‘penyandang disabilitas’ yang untuk pertama Dalam
kalinya secara resmi digunakan dalam Undang-undang penelitia
No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on n yang
the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi dikutip
mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Istilah ini Zola
kemudian mengukuhkan posisi strategisnya sebagai (1988)
‘istilah resmi’ dengan terbitnya Undang-undang No. 8 tentang
Tahun 2016 yang menegaskan kembali digunakannya istilah
istilah ‘penyandang disabilitas’. blind dan
Keragaman istilah yang terkait dengan difabel legally
menunjukkan betapa pemilihan istilah itu sangat penting. blind
Menurut Zola (1988) setidaknya ada dua peran penting ditemuka
sebuah istilah (naming). Pertama, peran konotasi dan n
asosiasi. Coba sebut saja seseorang sebagai ‘maling’, persepsi
maka segala hal dapat terjadi padanya seperti para umum
maling yang lain: dikeroyok massa, digebuki, atau masyarak
minimal ditangkap polisi. Tetapi coba sebut saja ia at bahwa
‘khilaf’, maka mungkin orang akan berusaha kedua
mengklarifikasi, mendudukkan perkara, dan memperbaiki istilah itu
kesalahannya. Misalnya lagi sebut saja ia ‘gila’, maka artinya
segala tindakannya akan diabaikan dan dimaafkan orang ‘orang
karena “toh, ia gila.” Sekarang, mari bandingkan dampak yang
istilah ‘penyandang cacat’ dan ‘difabel’: konotasi dan tidak
dapat melihat sama sekali’. Padahal, harusnya, dalam
istilah itu juga tercakup mereka yang low vision, yang
dalam batas-batas tertentu masih menyisakan
pengelihatan.

INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 145
Arif Maftuhin

C. Tiga Istilah: Asal-usul dan Maknanya


Sebelum secara khusus membahas penggunaannya,
penting untuk mengingatkan kembali mengapa sebuah
istilah digunakan atau tidak digunakan. Dari sepuluh
INKLUSI:
istilah yang sudah disebutkan di sub bahasan
Journal of
sebelumnya, penulis batasi tiga istilah terpenting yang
Disability
mewakili sudut pandang yang berbeda: ‘penyandang
Studies, Vol.
cacat’, ‘difabel’, dan ‘penyandang disabilitas’.
3, No. 2,
Jul-Des 1. Penyandang Cacat
2016 Penyandang cacat dipilih dalam riset ini karena dua
alasan. Pertama, istilah ‘penyandang cacat’ pernah
secara resmi digunakan sebagai istilah undang-undang
pada tahun 1997. Dengan demikian, menjadi istilah
yang banyak dirujuk oleh dokumen-dokumen lain
sesudahnya. Kedua, istilah ‘penyandang cacat’
mewakili sudut pandang berbagai istilah yang
digunakan di dalam dokumen-dokumen yang terbit
sebelum dan sesudah 1997, seperti ‘bercacat’,
‘penderita cacat’, ‘kekurangan jasmani atau rohani’,
hingga ‘penyandang kelainan’. Istilah-isitilah ini secara
umum menekankan pada ‘kecacatan’ atau ‘kurang’
atau ‘abnormal’ dari aspek jasmani atau rohaninya.
Menurut definisi Undang-undang No. 4/1997,
‘penyandang cacat’ diartikan sebagai:
... setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: (a)
penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; (c) penyandang
cacat fisik dan mental.
Dalam kajian disabilitas, istilah ‘penyandang cacat’
mewakili model medis dalam melihat disabilitas. Pada
jaman dulu, segala masalah yang timbul dalam
menghadapi orang dengan disabilitas fisik adalah dengan
memberikan obat dan ditangani oleh para profesional
alumni sekolah-sekolah kedokteran. Model medis
memandang semua disabilitas bersumber dari kecacatan
yang kerusakan fisik atau penyakit. Cara berpikir model ini
diakibatka mirip dengan dokter dalam menangani pasiennya:
n oleh penyakitnya apa, obatnya apa. Asesmennya lebih
suatu terfokus pada

146 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi
Within
a social
si difabel dan treatment apa yang perlu dilakukan. model
individ
Secara umum, manusia dianggap sebagai pihak yang
uals
bisa ‘diubah’, ‘diperbaiki’ (rehabillitasi); sementara who are
differen
masyarakat adalah pihak yang sudah ‘demikian
t by
adanya’, tidak salah, dan tidak menjadi fasktor dalam virtue
disabilitas. Model medis menekankan pada ‘adaptasi of an
impair
terhadap lingkungan’. Difabel harus percaya diri, ment
yakin, dan mau berusaha agar sukses mengatasi find
that
disabilitasnya. (Llewellyn & Hogan, 2010, h. 158). they
Model medis kemudian digunakan oleh banyak pihak di are
oppress
luar dunia medis, di antaranya kalangan psikolog dan ed by a
para pengambil kebijakan publik di bidang kesejahteraan society
obsesse
sosial. Dalam kasus Indonesia, model medis dalam d with
menangani isu-isu disabilitas jelas dapat dibaca dalam concept
s of
pasal-pasal Undang-undang Penyandang Cacat tahun normali
1997. Pada bagian ‘upaya’ pemerintah untuk kaum ty. In
other
difabel, UU No. 4/1997 menyatakan di pasal 16, words
“Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan disabili
ty only
upaya: 1. rehabilitasi; exists
2.bantuan sosial; 3. pemeliharaan taraf kesejahteraan in so
far as it
sosial.” (Undang-undang Penyandang Cacat, 1997). is
Fokus dari tiga upaya ini adalah difabelnya, sama socially
constru
seperti dokter menangani pasiennya. Istilah cted
‘penyandang cacat’ dan berbagai istilah sejenisnya and
impose
mewakili pandangan medis ini.
d on
Model alternatif yang kemudian berkembang adalah people
with
model sosial (social model of disability). Model ini tidak
impair
menyangkal adanya masalah medis dalam disabilitas; ments
tetapi melihat bahwa masalah yang lebih besar bagi (Hutch
ison,
para difabel ada di masyarakat. Kemajuan teknologi 1995)
bantu dalam banyak hal telah mampu mengatasi Disabili
hambatan-hambatan medis para difabel. Namun, toh tas,
setelah masalah itu teratasi, masyarakatnya tidak dalam
berubah. Menurut Hutchison: sosial
model,
adalah akibat dari konstruksi sosial masyarakat yang
terobsesi dengan normalitas. Ketika masyarakat
mengkategorikan manusia menjadi normal dan tidak
normal, di situlah awal diskriminasi atas hak-hak
difabel mulai muncul. Misalnya, meskipun
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 147
Arif Maftuhin

seorang tunadaksa sudah mendapatkan rehabilitasi


medis berupa kursi roda yang bisa membawanya
kemana pun ia pergi, tetapi karena menurut
pandangan ‘normal’ manusia berjalan dengan kaki,
INKLUSI:
maka trotoar pun dikonstruksi untuk dapat dilewati
Journal of
oleh mereka yang berjalan dengan kaki. Menggunakan
Disability
kursi roda di trotoar itu ‘tidak normal’. Di sinilah
Studies, Vol.
semangat ‘model sosial’ itu menemukan sasaran
3, No. 2,
tembaknya. Agar kesetaraan untuk difabel tercapai,
Jul-Des
konstruksi trotoar harus diadaptasi untuk pengguna
2016
kursi roda.

Tabel 2

Istilah negatif Istilah sesuai Model Sosial

the handicapped, the disabled disabled people,


people with disabilities, a person
with a disability
cripple, invalid, defective, a person with a disability
abnormal,
the blind sight impaired, vision impaired,
low vision, people with visual
impairments, blind people, blind
and partially sighted people
the deaf deaf/Deaf (spelt with capital “D” is
accepted to denote social and
cultural identification), user of
British/American sign language,
hard of hearing people, hearing
impaired, a person with hearing
impairment, a person who is deaf

Jadi, menjadi difabel itu netral dan tidak boleh


menjadi dasar stigmatisasi. Satu-satunya jalan untuk
‘merehabilitasi disabilitas’ adalah dengan
menghilangkan hambatan, mengubah model interaksi
antara individu dan perubahan lingkungan fisik dan
sosial (Stopa, 2012). Model sosial inilah yang di Barat,
khususny mendorong orang untuk mengoreksi istilah
a, ‘penyandang cacat’ tadi. Stopa membuat daftar

148 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi Singapura
. istilah ini
perubahan istilah yang disarankan untuk berubah dari kemudian
model medis ke model social ini (sebagian contohnya diindonesi
lihat Tabel 2). Merujuk ke proses perubahan itu, maka akan
dalam konteks Indonesia, muncullah dua alternatif: menjadi
difabel dan penyandang disabilitas. "difabel".

2. Difabel Menurut

Istilah difabel seringkali dilihat sebagai akronim Tarsidi

istilah ‘differently abbled’ (bukan different abbility dan

seperti yang disebutkan oleh sebagian orang). Maka Somad,

istilah ini berasal dari bahasa Inggris yang artinya para

‘orang yang memiliki kemampuan berbeda’. Menurut pendudku

Zola, istilah differenlty abled diciptakan untuk ng istilah

menekankan pada 'the can-do' aspects of having a ‘difabel’

disability (Zola, 1988). Istilah ‘difabel’ bermakna secara

bahwa disabilitas mungkin saja mengakibatkan orang tidak


tidak mampu melakukan sesuatu secara ‘normal’, tepat
tetapi si difabel masih dapat melakukannya dengan mengartik
cara yang berbeda. Berjalan, misalnya, adalah cara an
untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat ‘disability’
lain. Mereka yang tidak memiliki kaki, bisa saja sebagai
melakukan mobilitas dengan kursi roda. "ketidakm

Asal-usul istilah ‘difabel’ dalam Bahasa Indonesia ampuan"


tidak dapat dipastikan karena penulis menemukan dan

beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa karena itu


istilah difabel adalah istilah khas Indonesia yang mereka
diciptakan Mansour Faqih. Dalam versi ini tidak berargum
disebutkan kapan dan dimana persisnya Fakih en bahwa
menciptakan istilah itu, tetapi taksirannya adalah orang-
pertengahan pada dekade 1990-an (lihat Suharto, orang
2016). dengan
Menurut versi kedua istilah difabel diperkenalkan disability
pada tahun 1981 dalam suatu diskusi pada konferensi “bukan
ketunanetraan Asia yang diselenggarakan bersama oleh tidak
International Federation of the Blind (IFB) dan World mampu
Council for the Welfare of the Blind (WCWB) di tetapi
memiliki kemampuan yang berbeda.” (Tarsidi & Somad,
2009).
Saya sendiri menemukan versi ketiga yang
menunjukkan bahwa istilah difabel tidak khas Indonesia
dan bukan istilah yang ‘diciptakan’ Mansour

INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 149
Arif Maftuhin

Fakih seperti dalam versi pertama. Istilah ‘differently


abled’ sudah muncul di Amerika Serikat pada tahun
1980an. Pelacakan saya dari berbagai sumber,
khususnya Oxford Dictionary (“differently abled,” n.d.)
INKLUSI:
dan The Phrase Finder (“Differently abled,” n.d.)
Journal of
mengantarkan kepada sebuah artikel yang dimuat di
Disability
Harian LA Times terbitan 9 April 1985. Artikel yang
Studies, Vol.
berjudul “Is the language itself disabled in that it can't
3, No. 2,
fairly define the handicapped?” ini menggugat ketidak-
Jul-Des
mampuan berbagai istilah yang ada untuk mewakili
2016
dan mendefinisikan para difabel. Penulisnya sendiri
memilih kata handicap dan ia sedang menjawab kritik
dari berbagai pihak tentang istilah yang ia pilih. Ada
dua kritikusnya yang mengatakan bahwa ia hendaknya
mempertimbangkan istilah differently abled, istilah
yang diusulkan oleh dan telah digunakan oleh
beberapa organsiasi difabel. Ia mengutip salah satu
kliping yang dirkirimkan kepadanya yang berbunyi, “In
a valiant effort to find a kinder term than handicapped,
the Democratic National Committee has coined
differently abled” (Smith, 1985).
Jadi, mungkin, istilah ‘difabel’ dalam tulisan dan
akronim Indonesia adalah khas Indonesia, tetapi
sumbernya dari belahan dunia yang lain yang mungkin
juga telah dibaca oleh Fakih. Gagasan dan argumen
Fakih sendiri tentang istilah ‘difabel’ dimuat dalam dua
artikelnya yang mirip dari segi materi bahasannya:
“Panggil Saja Kami Kaum Difabel;”(Fakih, 2002, h. 136–
146) dan “Akses Ruang yang Adil: Meletakkan dasar
keadilan sosial bagi kaum difabel” (Marcoes-Natsir,
Juliantoro, Wahono, Suharto, & Munandar, 2004). Artikel
“Akses ruang yang adil ...” pertama kali ditulis dan
disajikan dalam sebuah seminar bertajuk Perwujudan
Fasilitas Umum Yang Aksesibel bagi Semua pada
September 1999 (Fakih, n.d.). Dalam tulisan-tulisannya,
Fakih yang diperlukan sebagai counter diskursus istilah cacat
menekank dan disabled:
an bahwa salah satu bentuk resistensi dan pemberdayaan yang hakiki adalah
istilah justru mulai dari usaha untuk membongkar konvensi sosial yang
diyakini kalangan masyarakat, birokrat, akademisi, bahkan aktivis LSM
difabel untuk melakukan dekonstruksi terhadap diskursus 'disable' ataupun
adalah 'penyandang cacat' dengan memuncukan wacana tandingan yang lebih
adil dan memberdayakan, yakni bahwa mereka yang tidak memiliki
istilah kaki, misalnya, ternyata memiliki 'different abilities' atau yang di-
Indonesiakan dan disingkat sebagai 'difabel'(Fakih, n.d.).

150 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi 2009 yang
membaha
Sumber persoalannya ada di diskursus ‘normal’ dan s secara
‘cacat’ yang menopang konstruksi sosial istilah khusus
‘penyandang cacat’ dan melahirkan berbagai bentuk istilah apa
diskriminasi terhadap difabel, mulai dari diskriminasi yang
ekonomi, subordinasi, stereotyping, kekerasan, dan paling
penyempitan akses sosial (Fakih, 2002, h. 306–312). tepat
Dengan kata lain, penggantian istilah ini adalah bagian untuk
dari upaya ‘mengikat’ makna baru untuk melawan menerjem
diskriminasi terhadap kaum difabel. Penggantian istilah ahkan
ini, dengan demikian, lebih dari sekedar upaya eufimistik kata
seperti yang dituduhkan para kritikusnya. ‘disability
Seperti diuraikan dalam tulisan Suharto (2016), istilah ’ dalam
difabel dipopulerkan dan menjadi ‘alat’ perjuangan para Conventio
pegiat difabel, khususnya di Yogyakarta dan Jawa n on the
Tengah. Istilah difabel mereka gunakan dalam program- Rights of
program pemberdayaan, dalam kampanye hak, sebagai Persons
nama lembaga dan organisasi, bahkan dalam sejumlah with
kasus berhasil menjadi nama dokumen-dokumen Disabilitie
pemerintahan semisal peraturan daerah. Meski pada s.
akhirnya tidak digunakan sebagai istilah resmi dalam Semiloka
undang-undang, istilah difabel sudah amat popler ini adalah
digunakan. sebuah
3. Penyandang Disabilitas upaya

Menurut definisi undang-undang, ‘penyandang untuk

disabilitas’ adalah setiap orang yang.. merespon


kontrover
... mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan si pilihan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk istilah di
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak (UU No. 8/2016, 2016, Pasal. 1). saat
Istilah yang pada akhirnya menjadi pilihan bahasa menyusun
undang-undang ini adalah istilah paling baru dan rancanga
diciptakan sesudah tahun 2009. Hal ini setidaknya dapat
disimpulkan dari penjelasan Tarsidi dan Somad bahwa
dalam rangka merativikasi CRPD, Komnas HAM
menyelenggarakan sebuah semiloka pada awal tahun
n undang-undang ratifikasi. Pada akhirnya, semiloka
sendiri tidak

INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 151
Arif Maftuhin

mencapai kata sepakat dan hanya menghasilkan


istilah-istilah alternatifnya. Ada sembilan istilah dan
tidak satu pun yang mengusulkan “penyandang
disabilitas”. Tiga yang terkuat, yang direspon tulisan
INKLUSI:
Tarsidi dan Somad adalah: orang berkebutuhan
Journal of
khusus, penyandang ketunaan, dan difabel (Tarsidi &
Disability
Somad, 2009, h. 128).
Studies, Vol.
Keterangan Tarsidi selaras dengan sumber lain yang
3, No. 2,
menyebutkan bahwa istilah ‘penyandang disabilitas’
Jul-Des
lahir dari sebuah “Diskusi Pakar Untuk Memilih
2016
Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” yang
juga diselenggarakan oleh Komnas HAM pada 19 – 20
Maret 2010 di Jakarta (“Istilah Penyandang Disabilitas
Sebagai Pengganti Penyandang Cacat,” 2016).
Keterangan tentang kegiatan dan hasil kegiatan ini
dapat dibaca di Laporan Tahun Komnas HAM (Komnas
HAM, 2011, h. 96). Menurut artikel di web tersebut,
ada sejumlah alasan untuk dipilihnya istilah
“penyandang disabilitas”, di antaranya:
• Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan
istilah tersebut.
• Mendeskripsikan fakta nyata.
• Tidak mengandung unsur negatif.
• Menumbuhkan semangat pemberdayaan.
• Memberikan inspirasi hal-hal positif.
• Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah
kerancuan istilah.
• Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian.
• Dapat diserap dan dimengerti oleh berbagai kalangan secara
cepat.
• Bersifat representatif, akomodatif, dan baku untuk
kepentingan ratifikasi Konvensi
• Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau
mengandung unsur pemanis
• Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah
internasional
• Memperhatikan perspektif linguistik. Mengandung
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
• Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.
• Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan.
• Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.
152 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi Juni
201
Jadi, baik istilah difabel dan ‘penyandang disabilitas’ 6.
adalah istilah-istilah alternatif yang sengaja diciptakan Peri
dan lahir dari upaya-upaya untuk melawan diskriminasi ode
terhadap difabel. ini
men
D. Popularitas Istilah Penyandang Cacat, Difabel, dan caku
Penyandang Disabilitas. p 6
Pada bagian ini, makalah akan membahas dan tahu
membandingkan popularitas dan penggunaan istilah n
‘penyadang cacat’, ‘difabel’, dan ‘penyadang wakt
disabilitas’ di Indonesia. Tiga aspek ayang akan dilihat u
melalui riset data daring: (1) tren yang
pencarian/popularitas, (2) penggunaan oleh media istila
massa daring, dan (3) penggunaan istilah dalam dunia h
akademik. “pen
Ketiga, sedangkan untuk penggunaan di dunia yand
akademik, penelitian menggunakan data-data yang ang
tersedia di Google Scholar. Google Scholar adalah situs disa
khusus yang mendata sumber-sumber akademik bilit
(scholar). Sejak diwajibkannya para pengelola jurnal as”
ilmiah di Indonesia menggunakan OJS (Open Journal seca
System), semakin banyak tulisan akademik terindeks ra
oleh Google Scholar. Teknik ini akan sangat membantu resm
dalam riset popularitas akademik istilah ‘penyandang i
cacat’, ‘difabel’ dan ‘penyandang disabilitas’. belu
m
1. Tren Istilah ‘Penyandang Cacat’, ‘Difabel’
lahir
dan ‘Penyandang Disabilitas’
(201
Untuk membandingkan tren popularitas, peneliti
0).
menggunakan data yang tersedia di Google Trend yang
b. Penc
dapat diakses melalui situs https://trends.google.co.id/
aria
Adapun teknisnya, tiga kata ini kita bandingkan secara
n
umum dengan kriteria pencarian sebagai berikut:
awal
a. Menggunakan data paling awal yang tersedia di
dilak
Google (1 Januari 2004) sampai dengan akhir 30
ukan
dengan membandingkan tiga istilah itu dari aspek
‘web search’. Ini adalah pencarian yang paling
umum

INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 153
Arif Maftuhin

dibandingkan dengan fitur pencarian yang lebih


spesifik seperti image, video, dan news.
Dengan dua kriteria yang disebutkan di pendahuluan
sub bahasan ini, peneliti menemukan data-data
INKLUSI:
menarik sebagai berikut. Pertama, pencarian Google
Journal of
mengkonfirmasi riset literer sebelumnya bahwa istilah
Disability
‘penyandang disabilitas’ muncul sesudah 2009. Dalam
Studies, Vol.
kasus data daring, pertama kali kata itu muncul adalah
3, No. 2,
pada Juni 2010 (lihat Gambar 1.) atau sekitar dua
Jul-Des
bulan sesudah “Diskusi Pakar untuk Memilih
2016
Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” yang
diselenggarakan oleh Komnas HAM.

Gambar 1

Kedua, data Google Tren juga mencerminkan


‘sejarah’ ketiga istilah itu. Pada awal data, kata yang
pertama kali muncul di ruang daring adalah
‘penyandang cacat’. Istilah ‘difabel’ baru dikenal
secara daring kemudian pada akhir 2004.
Ketiga, kata ‘penyandang cacat’ adalah kata yang
paling populer dari segi rata-rata tren selama dua
belas tahun (2004-2016). Tercatat, skor yang diperoleh
adalah 14 (garis biru dalam grafik), disusul ‘difabel’
dengan skor 11 (garis merah), dan ‘penyandang
disabilitas’ terendah dengan skor 2 (garis kuning).
Keempat, sebagai istilah yang tergugat, kata
‘pendang cacat’ awalnya adalah kata yang paling
populer. yang paling mencolok adalah dari kata ‘difabel’.
Gerakan Dominasi kata ‘penyandang cacat’ mulai terganggu pada
perlawan Juli 2013, ketika untuk pertama kalinya dalam sejarah

154 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi

Google kata ‘difabel’ lebih tinggi pepularitasnya (17)


dibadingkan ‘penyandang cacat’ (11). Lihat Gambar 2.

Gambar 2

INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

Kelima, meskipun istilah ‘penyandang disabilitas’


sudah menjadi istilah resmi, tampaknya masih butuh
waktu yang lebih lama bagi kata ini untuk dapat
menjadi istilah standar. Kita dapat mengamati pada
perbandingan ketiga istilah itu dengan mengubah
periodenya ke periode yang lebih pendek, pasca
ratifikasi CRPD (10 November 2011) dalam grafik di
Gambar 3. Pada periode pasca ratifikasi CRPD, istilah
‘penyandang cacat’ (skor 6) sudah tergeser oleh
‘difabel’ (skor 8). Tetapi kata ‘penyandang disabilitas’
masih berada di urutan paling akhir (skor 2). Sejauh
data ini yang menjadi ukuran, legalitas dan posisi
penting istilah ‘penyandang disabilitas’ ternyata tidak
serta merta mengubah cara orang menulis tentang
difabel.

Gambar 3
► 155
Arif Maftuhin

Keenam, di luar komparasi tren ketiga istilah,


grafik-grafik tersebut juga menunjukkan gambaran
umum yang menarik bahwa istilah difabel dan lainnya
semakin banyak dibicarakan orang. Grafik meningkat
INKLUSI:
sesudah tahun 2013 menunjukkan minat dan perhatian
Journal of
orang terhadap isu difabel juga mengalami
Disability
peningkatan.
Studies, Vol.
3, No. 2, 2. Popularitas Penggunaan di Media Massa
Daring
Jul-Des
Untuk melacak popularitas penggunaan di media
2016
massa, metode yang akan digunakan adalah dengan
melacak kata apa yang paling populer di situs-situs
paling populer di Indonesia. Untuk memilih situs paling
populer, penelitian merujuk kepada dua situs
perangking: alexa.com dan similarweb.com. Sebagai
sampling, penelitian memilih empat situs terpopuler
yang ‘disepakati’ sebagai situs berita terpopler di
Indonesia oleh alexa.com dan similarweb.com.
Setelah ditentukan empat situsnya, penelitian
melakukan advance search di Google untuk melihat
popularitas ‘penyandang cacat’, ‘difabel’, dan
‘penyandang disabilitas’ di empat situs dimaksud.
Baik Alexa maupun Similarweb sebenarnya tidak
merangking secara khusus situs berita. Rangking mereka
buat untuk top sites, yaitu situs yang paling banyak
dikunjungi orang, di dalamnya termasuk Google dan
Facebook, atau situs dagang seperti Lazada, Bukalapak,
dll. Karena itu, peneliti memilih empat saja yang dapat
dikategorikan sebagai situs berita. Secara kebetulan ada
empat situs berita terpopuler yang sama-sama masuk
dalam top sites Alexa dan Similarweb. Rangking mereka
saja yang berbeda.

Tabel 3

Rangking Alexa Similarweb


1
2
Berdasarkan rangking tersebut, maka penelitian
3
melakukan advance search di Google untuk
4
menemukan berapa ribu entri berita yang

156 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi disabilita
s’ lewat
menggunakan masing-masing istilah. Hasilnya adalah undang-
sebagaimana terlihat dalam Tabel 4. undang.

Tabel 4

Penyandang Difabel Penyandang Jumlah


Cacat Disabilitas
Detik 5.190 98.800 127.000 230.990
(2%) (43%) (55%) (100%)
Kompas 2.940 12.900 50.800 66.640
(4%) (60%) (33%) (100%)
Liputan6 2.940 27.100 15.100 45.140
(7%) (60%) (33%) (100%)
Tribunnews 4.480 19.200 13.800 37.480
(12%) (51%) (37%) (100%)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa Detik dan Kompas


lebih sering menggunakan istilah ‘penyandang
disabilitas’ dibandingkan ‘difabel’. Sebaliknya, dua
media lain (Liputan6 dan Tribunnews) lebih sering
menggunakan istilah ‘difabel’ daripada ‘penyandang
disabilitas’. Istilah ‘penyandang disabilitas’ dan
‘difabel’ dapat dikatakan sama-sama populer dan
digunakan secara saling menggantikan. Istilah
‘penyandang cacat’ sudah tidak populer digunakan.
Kampanye untuk menggantikan istilah ‘medis’ ini
tampaknya berhasil dengan baik.
3. Popularitas Akademik
Untuk penelusuran akademik, penelitian melakukan
pencarian dalam dua tahap. Pertama, pencarian
dilakukan secara menyeluruh tanpa membagi periode
untuk memberikan penilaian umum tentang bagaimana
dunia akademik menggunakan istilah-istilah itu. Pada
tahap kedua, peneliti merinci periode penggunaan
menjadi sebelum ratifikasi CRPD (sebelum 2012) dan
sesudah ratifikasi CRPD (20012-2016) untuk
mengetahui dampak formalisasi istilah ‘penyandang
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

► 157
Arif Maftuhin

Berdasarkan penelusuran di Google Scholar, pada


tahap search pertama peneliti menemukan data
sebagaimana tersaji di Tabel 5.
INKLUSI: Tabel 5
Journal of Penyandang Difabel/ Penyandang Jumlah
Disability Cacat Diffabel*) Disabilitas
Total naskah 3760 1267 765 5792
Studies, Vol. (65%) (22%) (13%) 100%
3, No. 2,
Jul-Des
Pertama, data tersebut menunjukkan bahwa istilah
2016
‘penyandang cacat’ paling banyak digunakan dalam
dunia akademik, mendominasi jauh di atas dua istilah
yang diperjuangkan gerakan difabel. Di sini tampak
bahwa dunia akademik lebih sulit untuk berubah
dibandingkan dengan dunia media mass. Kedua, istilah
difabel, meskipun tidak menjadi istilah formal, lebih
banyak digunakan daripada ‘penyandang disabilitas’.
Seperti direncanakan, data ini perlu dipecah
waktunya untuk melihat dampak sesungguhnya dari
formalisasi istilah ‘penyandang disabilitas’ lewat
ratifikasi CRPD pada akhir 2011. Setelah dipecah, hasil
yang diperoleh disajikan dalam Tabel 6.
*)
Dalam data ini, peneliti menggabungkan hasil pencarian ‘difabel’ dengan ‘diffabel’ karena
adanya pengejaan ‘diffabel’ yang cukup signifikan dalam sejumlah teks bila harus diabaikan.

158 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi berlakuny
a CRPD
Tabel 6 saja,
Penyandang Difabel/ Penyandang Jumlah pengguna
Cacat Diffabel*) Disabilitas
Sebelum 2012
an istilah
1200 189 30 1419
(85%) (13%) (2%) (100%) ‘penyand
Periode 2012-2016 2560 1078 735 4373 ang
(59%) (25%) (17%) (100%) cacat’
mengala
Data menunjukan bahwa meskipun tidak secepat mi
dunia populer, dunia akademik mrespon dengan baik penuruna
upaya untuk mengganti istilah ‘penyandang cacat’. Jika n hingga
pada periode pra-CRPD istilah ‘penyandang disbilitas’ 26%;
nyaris menjadi istilah satu-satunya yang digunakan, sedangka
sesudah ratifikasi CRPD dominasinya jauh berkurang. n
Istilah difabel mengalami peningkatan hampir dua kali
lipat dari 13% menjadi 25%. Meskipun masih kalah
dengan istilah ‘difabel’, istilah ‘penyandang disabilitas’
benar-benar ‘meraup kuntungan’ dengan melonjak
secara drastis dari hanya 2% sebelum ratifikasi CRPD
menjadi 17%.

E. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun
undang-undang telah menetapkan satu pilihan istilah
untuk menerjemahkan persons with disabilities, istilah-
istilah lain masih digunakan secara luas di masyarakat.
Penyancang cacat masih banyak digunakan di dunia
akademik, sementara ‘difabel’ juga masih memperoleh
tempat yang siginifikan baik di kalangan masyarakat
umum maupun di dunia akademik.
Dari penelitian tadi juga dapat disimpulkan bahwa
istilah ‘penyandang disabilitas’ meskipun masih harus
bersaing keras untuk menggantikan ‘penyandang
cacat’ di dunia akademik, secara optimistik dapat
diperkirakan menggantikan istilah ‘penyandang cacat’
dalam waktu mendatang. Selama empat tahun
INKLUSI:
Journal of
Disability
Studies, Vol.
3, No. 2 Jul-
Des 2016

*)
Dalam data ini, peneliti menggabungkan hasil pencarian ‘difabel’ dengan ‘diffabel’ karena
adanya pengejaan ‘diffabel’ yang cukup signifikan dalam sejumlah teks bila harus diabaikan.

► 159
Arif Maftuhin

‘penyandang disabilitas’ melonjak naik sampai delapan


kali lipat. Istilah ‘difabel’ mungkin akan tetap bertahan
sebagai istilah alternatif kedua karena sejarahnya yang
unik sebagai istilah yang populer di kalangan pegiat
INKLU
SI: hak-hak difabel dan akademisi di Yogyakarta.

Journal of
Disability
Studies,
Vol. 3, No.
2,
Jul-Des
2016
160 ◄
Mengikat Makna Diskriminasi

Daftar Pustaka

Bolt, D. (2005). From Blindness to Visual Impairment: Terminological


Typology and the Social Model of Disability. Disability & Society,
20(5), 539–552. https://doi.org/10.1080/09687590500156246
INKLUSI:
Devlieger, P. (1999). From Handicap to Disability: Language Use and
Cultural Meaning in the United States. Disability and Rehabilitation, Journal of
21(7), 346–354. https://doi.org/10.1080/096382899297594 Disability
differently abled. (n.d.). Diakses pada 6 Juli, 2016, dari
https://en.oxforddictionaries.com/definition/differently_abled Studies, Vol.
Differently abled. (n.d.). Diakses pada 6 Juli, 2016, dari 3, No. 2 Jul-
http://www.phrases.org.uk/meanings/111450.html
Fakih, M. (2002). Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Des 2016
Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press.
Fakih, M. (n.d.). Akses Ruang yang Adil: Meletakkan dasar keadilan sosial
bagi kaum difabel. Diakses pada 6 Juli, 2016, dari
https://suryaden.com/syahadat-indonesia/analisis-kritis-
diskriminasi-terhadap-kaum-difabel
Haller, B., Dorries, B., & Rahn, J. (2006). Media Labeling Versus the Us
Disability Community Identity: A Study of Shifting Cultural
Language. Disability & Society, 21(1), 61–75.
https://doi.org/10.1080/09687590500375416
Hutchison, T. (1995). The classification of disability. Archives of Disease in
Childhood, 73(2), 91–94. https://doi.org/10.1136/adc.73.2.91
Istilah Penyandang Disabilitas Sebagai Pengganti Penyandang Cacat. (2016,
Mei). Diakses pada 6 Juli, 2016, dari http://daksa.or.id/istilah-
penyandang-disabilitas-sebagai-pengganti-penyandang-cacat/
Komnas HAM. (2011). Konsistensi Mewujudkan Kemanusiaan yang Adil &
Beradab (Laporan Tahun Komnas HAM 2010).
Llewellyn, A., & Hogan, K. (2010). The Use and Abuse of Models of
Disability. Disability & Society.
https://doi.org/10.1080/09687590025829
Marcoes-Natsir, L. M., Juliantoro, D., Wahono, F. X., Suharto, & Munandar,
H. (2004). Pokok-pokok pikiran Dr. Mansour Fakih: refleksi kawan
seperjuangan. Yogyakarta: SIGAB : Oxfam.
Pepper, P. (2016, November 22). We’ve Had All the Insults. Now We’re
Reclaiming the Language of Disability. The Guardian. Retrieved dari
https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/nov/22/lang
uage-of-disability-stereotypes-disabled-people
Smith, J. (1985, April 9). Is the Language Itself Disabled in that It can’t Fairly
Define the Handicapped? [Newspaper]. Diakses pada 6 Juli, 2016,
dari http://articles.latimes.com/1985-04-09/news/vw-
28150_1_handicapped-persons
Sri Moertiningsih Adioetomo, Daniel Mont, & Irwanto. (2014). Persons with
Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social

► 161
Arif Maftuhin

Protection Policies. Jakarta: Lembaga Demografi Fakulutas Ekonomi


Universitas Indonesia.
Stopa, D. (2012). The Language of Disability. Zeszyty Glottodydaktyczne,
2012(4), 145–154.
Suharto, S. (2016). Disability terminology and the emergence of “diffability”
INKLUSI: in Indonesia. Disability & Society, 31(5), 693–712.
https://doi.org/10.1080/09687599.2016.1200014
Journal of Tarsidi, D., & Somad, P. (2009). Penyandang Ketunaan: Istilah Alternatif
Disability Terbaik untuk Menggantikan Istilah “Penyandang Cacat”?, 8(2),
128– 132.
Studies, Vol. Undang-undang Penyandang Cacat, Pub. L. No. 4 (1997). Undang-undang
3, No. 2, tentang Penyandang Disabilitas, Pub. L. No. 8, 32 (2016). Wilson, J. C., &
Lewiecki-Wilson, C. (2001). Embodied Rhetorics: Disability in
Jul-Des Language and Culture. Carbondale: Southern Illinois University Press. Zola,
2016 I. K. (1988). The Language Of Disability: Problems Of Politics And Practice.
Journal of the Disability Advisory Council of Australia (Formerly
the Australian Rehabilita-tion Review), 1(3).

162 ◄

You might also like