Landslide Area With Agroforestry System in Gowa Residency of South Sulawesi)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Pot Media Semai dalam Rehabilitasi

Lahan Bekas Tanah Longsor dengan Pola Tanam Agroforestri di Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan
(Application of Arbuscular Mycorrhizae Fungi and Media Pot of Seedling in Post
Landslide Area with Agroforestry system in Gowa Residency of South Sulawesi)
Oleh
Retno Prayudyaningsih, C. Andriyani P dan Merryana Kiding Allo
( Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16,5 Makassar)
Email: [email protected], [email protected]

Abstract

Landslide is soil erosion that can cause natural disasters to humans and declining of soil
chemical properties, soil biology and physics. The low nutrient content, organic matter,
microorganisms population, infiltration capacity and increased density and soil penetration
resistance is a characteristic of post landslides are. This causes inhibition of plant growth so
that rehabilitation efforts in the area difficult. Appropriate technology required to support the
successful rehabilitation of post landslides area. Potential use of soil microbes such as
arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and the use of organic materials in the form of potted
seedling media as a growing medium in the nursery in order to obtain quality seeds and
have high vitality in the field. Agroforestry cropping pattern also applied as well as the
increasing success of the rehabilitation of the post landslides area, is also expected to
provide benefits to the surrounding community especially when applied to the optimization of
land use on soil erosion affected community. The research aims to evaluate the
effectiveness of applications FMA and pot media seedlings to plant growth in the post
landslide area. The study was conducted in 2011-2012. The treatments applied are the
seedling grown in potting media and inoculated by AMF species of Acaulospora sp,
Gigaspora sp., Glomus sp , A mixture of all three types of the AMF ( Mix ) and without AMF
inoculation (control). Species of test plant testing are sengon butoh (Enterolobium
cylocarpum) and lamtoro (Leucena leucochephala). The experimental design used was
Randomized Complete Design bolck. Agroforestry cropping pattern is applied is silvopasture
which is the sengon butoh as a main plant (forest types) and lamtoro as alley crop for animal
feed. Observations were made on plant growth (height and diameter, the survival rate and
the level of AMF colonization every 3 months. Results showed media applications of FMA
and media pot of seedlings on post landslide area in spoilbank Parangloe improve plant
growth of lamtoro and sengon butoh. Plant growth responses lamtoro best at age 3, 6 and 9
months in the field shown by plants inoculated AMF species Glomus sp. Plant growth
responses sengon best butoh at the age of 3, 6 and 9 months in the field indicated by
Acaulospora sp

Key words: Agroforestry, rehabilitation, landslide, mycorrhizae, pot media of seedling

1. PENDAHULUAN
Tanah longsor merupakan salah satu bentuk erosi tanah yang dapat menimbulkan
kerusakan tanah berupa merosotnya sifat kimia dan fisika tanah. Rendahnya kandungan
unsur hara, bahan organik, kapasitas infiltarasi, kemampuan tanah menyimpan air dan
meningkatnya kepadatan serta ketahanan penetrasi tanah merupakan karakteristik lahan
bekas tanah longsor. Hal tersebut menyebabkan rendahnya pertumbuhan tanaman
sehingga upaya rehabilitasi di lahan tersebut sulit dilakukan. Teknologi yang tepat
diperlukan untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi lahan bekas tanah longsor.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu jenis mikroba tanah yang
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui peningkatan ketersediaan dan
penyerapan hara dalam tanah. Tanaman yang berasosiasi dengan FMA dapat beradaptasi
dengan baik pada lahan-lahan kritis yang kondisi haranya sangat terbatas. Mosse et al.
(1981) menyatakan bahwa fase bibit merupakan fase yang sangat tergantung pada
mikoriza. Dengan demikian pengadaan bibit dari jenis tumbuhan yang sesuai dengan tapak
dan berasosiasi dengan FMA merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan
keberhasilan rehabilitasi lahan.
Selain mikroba yang berperan penting dalam ketersediaan unsur hara, aplikasi
bahan organik juga mempunyai peran penting dalam peningkatan ketersediaan unsur hara
dan perbaikan sifat tanah. Bahan organik berasal dari bahan tanaman atau kotoran hewan,
berisi semua unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Foth, 1995).
Pemberian bahan organik sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan pertumbuhan
tanaman. Penggunaan kompos sebagai bahan organik untuk campuran media tanam telah
banyak dilakukan saat pengadaan bibit di persemaian maupun pada saat penanaman di
lapangan. Dalam pengadaan bibit di persemaian penggunaan polybag sebagai wadah
sudah umum dilakukan. Teknologi media pot semai merupakan salah satu alternatif tersebut
yang merupakan upaya meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pembuatan kantong-kantong
kompos yang bertujuan meningkatkan dan mensuplai bahan organik pada media tanam
sekaligus berfungsi sebagai lubang tanam atau wadah/pot bibit merupakan konsep dasar
teknologi pot media semai. Pembuatan pot media semai sebagai wadah pembibitan
merupakan salah satu teknik yang tepat untuk merehabilitasi lahan kritis selain karena
mengandung bahan organik, pot media semai juga ramah lingkungan sebab dengan pot
media semai pembibitan tidak memerlukan lagi polybag.
Pola agroforestry merupakan penerapan campuran tanaman pertanian atau tanaman
semusim dan tanaman kehutanan atau kayu-kayuan. Pola pencampuran antar komponen
agroforestry yang tepat dapat memberikan hasil pertumbuhan tanaman pokok dan tanaman
semusim (pertanian) yang terbaik sehingga dapat mempercepat upaya rehabilitasi lahan
bekas longsor.
Dengan demikian upaya revegetasi lahan bekas longsor dengan melibatkan
pemanfaatan mikroba potensial seperti FMA, aplikasi bahan organik dalam bentuk pot
media semai dengan pola tanam agroforestri yang tepat diharapkan tidak hanya
mempercepat keberhasilan upaya rehabilitasi lahan bekas longsor tapi juga memberi
manfaat bagi masyarakat sekitar terutama ketersediaan pangan. Untuk itu penelitian
mengenai aplikasi FMA dan pot media semai dalam rehabilitasi lahan bekas tanah longsor
dengan pola agroforestri perlu dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi
respon pertumbuhan tanaman terhadap aplikasi FMA dan pot media semai dalam
rehabilitasi lahan bekas tanah longsor dengan pola tanam agroforestri.

2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi demplot di Spoilbank Parangloe dam Bili-Bili, Kabupaten Gowa. Spoilbank
Parangloe dam Bili-Bili merupakan hasil pengerukan materi longsoran gunung Bawakaraeng
yang mengendap di dam Bili-Bili. Materi longsoran tersebut ditimbun sehingga membentuk
lahan (spoilbank) seluas 64 ha. Dengan demikian spoilbank tersebut merupakan lahan
bekas tanah longsor. Lokasi ini merupakan wilayah kerja Balai Besar Wilayah Sungai
Pompengan-Jeneberang, Kementerian Pekerjaan Umum. Penelitian ini akan dilakukan pada
bulan Maret 2011 sampai November 2012.
2.2 Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan untuk pembuatan persemaian dan pertanaman berupa: cangkul, parang,
sekop,dan alat pres pot media semai. Peralatan laboratorium berupa: compound
microscope, saringan tanah, cawan petri, obyek gelas, gelas penutup, pinset, scalpel,
erlenmeyer, tabung reaksi, dan oven. Peralatan untuk pemeliharaan pertanaman berupa:
cangkul, parang, sekop dan sabit. Peralatan pengamatan pertumbuhan tanaman berupa:
kaliper, galah ukur, oven dan timbangan digital.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih L. Leucochephala
dan E. cylocarpum, isolat FMA dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar, kompos, pasir,
bahan perekat (tanah liat), EM 4, pupuk urea, pasir, pot plastik, kantong plastik, batuan
zeolit, larutan FAA, alkohol 70 %, Gliserol, aquades, asam laktat, tripan blue, larutan KOH
10%, dan larutan HCl 2%,.
2.3 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang diterapkan Randomized Complete Block Design
(RCBD). Perlakuan yang diterapkan adalah inokulasi dengan 4 jenis FMA (Acaulospora sp,
Gigaspora sp, Glomus sp dan Mix) dan tanpa FMA. Plot penelitian dibagi menjadi 3 blok dan
disetiap blok terdiri dari 5 plot/perlakuan. Jenis tanaman yang digunakan adalah Sengon
butoh (E. cylocarpum) sebagai tanaman kehutanan, lamtoro (L. leucocephala) sebagai
tanaman lorong. Pada kegiatan ini pembibitan kedua jenis tanaman tersebut menggunakan
media pot media semai dan diinokulasi FMA. Jarak tanam untuk tanaman lamtoro adalah
2,5 x 2 m, sedang sengon butoh 5 x 4 m. tanaman lamtoro ditanamam diantara sengon
butoh. Selain itu di sekeliling plot ditanami jenis tanaman kaliandra sebagai tanaman pagar
dengan jarak tanam 1,5 m. Sketsa pola tanam untuk setiap plot atau perlakuan tersaji pada
Gambar 1.:
1,5 m

2m

= Sengon Buto = Lamtoro = Kaliandra

Gambar 1. Denah pola tanam agroforestri untuk setiap perlakuan/setiap plot

2.4 Tahap Penelitian


 Persiapan media kecambah dan benih
Media kecambah yang digunakan adalah pasir yang disterilisasi dengan autoclave
selama 30 menit pada tekanan 15 psi. Benih tanaman sebelum dikecambahkan harus
disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi benih dengan cara merendamnya dalam larutan
hipoklorit 2,5% selama lima menit dan selanjutnya dicuci sampai bersih. Setelah itu benih
ditabur pada media pasir yang sudah disterilisasi.
 Pembuatan pot media semai
Pembuatan pot media semai dilakukan dengan terlebih dulu mencampur bahan-bahan
penyusun sesuai perlakuan. Komposisi pot media semai yaitu kompos 55%, arang sekam
25% serta tanah liat 20%. Selanjutnya masing-masing komposisi campuran dicetak pada
alat pencetak menjadi pot media semai. Pot media semai ini berukuran rata-rata tinggi 12
cm, diameter 6,62 cm dan diameter lubang 1,5 cm dan tinggi lubang tanam 4,5 cm.
 Penyapihan, inokulasi FMA dan pemeliharaan semai
Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap disapih, yaitu kecambah telah
mempunyai dua daun pertama. Inokulasi dilakukan pada saat penyapihan dengan cara
memberikan inokulum FMA (5 gram per tanaman) sesuai perlakuan di dalam lubang
tanam pada pot media semai. Selanjutnya semai ditanam dengan posisi akar mengenai
inokulum FMA. Pemeliharaan di persemaian dilakukan selama 3 bulan berupa
penyiraman yang dilakukan setiap hari dan pengendalian hama-penyakit.
 Penanaman
Penanaman dilakukan pada bibit tanaman yangn telah disiapkan di persemaian, yang
merupakan bibit yang telah diinokulasi beberapa jenis FMA dan media tanam berupa pot
media semai. Dalam kegiatan penanaman ini diterapkan pola agroforestry yaitu E.
cylocarpum sebagai tanaman pokok dan L. leucochephala sebagai tanaman lorong/aley
cropping. Jarak tanam untuk E. cylocarpum adalah 5 x 4 m, sedang Tanaman L.
leucochephala ditanam diantara E. cylocarpum dengan jarak 2,5 x 2 m. Pada saat
penanaman, pada semua tanaman juga diberikan bahan penyerap air (hidrogel) yang
bertujuan untuk membantu menjaga kelemababan tanah. Penanaman dilakukan sesuai
dengan rancangan percobaan yang telah ditetapkan.
 Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman umur 3 ,6
dan 9 bulan di lapangan, serta persen kolonisasi FMAnya tanaman L. leucochephala dan
E. cylocarpum

2.5 Analisis data


Data pertumbuhan tanaman berupa tinggi, diameter, dan tingkat kolonisasi FMA
dianalisis dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan akan
dilanjutnkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Respon Pertumbuhan Tanaman Lamtoro (L. leucochephala) Terhadap Inokulasi
FMA
Inokulasi beberapa jenis FMA dengan menggunakan pot media semai pada tanaman
lamtoro (L. leucochephala) umur 3, 6 dan 9 bulan menunjukkan pengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tanaman lamtoro. Hasil uji Duncan rata-rata tinggi, diameter batang dan
persentase tumbuh tanaman lamtoro disajikan pada Tabel 1.
Tabel. 1. Pengaruh inokulasi FMA terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang dan
persentase tumbuh tanaman lamtoro (L. leucochephala)

No Perlakuan Umur (bulan)/variabel pengamatan


(Treatment) (Age (Mounth)/observation variable
3 6 9
Tinggi Diameter % Tinggi Diameter % Tinggi Diameter %
(cm) (mm) hidup (cm) (mm) hidup (cm) (mm) hidup
1 Acaulospora 63,39c 10,68c 90,21 129,93c 20,01c 90,21 163,16b 30,89bc 90,21
2 Gigaspora 56,43bc 8,54ab 89,98 114,01bc 17,87bc 89,98 143,13ab 26,08ab 89,98
3 Glomus 55,84b 9,72bc 90,23 125,42bc 20,68c 87,85 158,22b 31,41c 87,85
4 Mix 48,31a 7,94a 88,83 84,58a 13,90a 86,57 116,09a 21,13a 83,97
5 Kontrol 48,25a 7,70a 87.24 103,11ab 16,37ab 81,19 128,74a 23,85a 81,18
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Pertumbuhan tinggi, diameter batang dan persentase tumbuh tanaman lamtoro yang
diinokulasi FMA memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan yang tidak
diinokulasi fugi mikoriza (kontrol) pada umur 3 bulan di lapangan. Menurut Rungkat (2009),
tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada tanaman yang tidak
bermikoriza. Hal ini terjadi karena FMA mampu memperluas daerah jelajah akar dan
menumbuhan akar (Suhardi et al., 1999), membebaskan hara terikat menjadi tersedia bagi
tanaman dan memfasilitasi akar menyerap hara dan air dari dalam tanah (Simanungkalit,
2000).
Setiap jenis FMA memiliki tingkat keefektifan yang bervariasi terhadap tanaman
inangnya. Demikian juga dengan tanamannya memberikan tanggap yang berbeda terhadap
FMA. Pada pertambahan tinggi tanaman lamtoro umur 3, 6 dan 9 bulan menunjukkan jenis
FMA Glomus mempunyai pola pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih baik diantara
beberapa jenis FMA yang dicobakan (Tabel 1). Ini menunjukkan adanya simbiosis
mutualisme yang baik antara tanaman lamtoro dengan FMA terutama dari jenis Glomus sp.
Pertambahan diameter batang tanaman lamtoro umur 3, 6 dan 9 bulan (Tabel 1 dan
Gambar 2) menunjukkan ada 2 jenis FMA yang menghasilkan respon yang lebih baik
terhadap diameter batang tanaman lamtoro yaitu Gigaspora dan Glomus. Tanaman lamtoro
termasuk dalam kelompok polong-polongan dimana mikoriza seperti Gigaspora dan Glomus
sangat mendukung simbiosis antara bintil akar dan polong-polongan.
Persentase tumbuh tanaman lamtoro mulai umur 3 bulan hingga umur 9 bulan di
lapangan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan yang menggunakan FMA jenis Glomus
(Tabel 1). Persentase tumbuh sangat didukung oleh tingkat kolonisasi dari FMA pada
tanaman inang. Dengan tingkat kolonisasi FMA jenis Glomus yang cukup tinggi akan lebih
banyak menyerap unsur hara dan air sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanaman
untuk bertahan terhadap lingkungan yang tidak mendukung.

Tabel 2. Tingkat kolonisasi (%) FMA pada akar tanaman Lamtoro (L. leucochephala)

No Perlakuan Umur (bulan)/%Kolonisasi FMA


6 9
1 Acaulospora 63,69abc 77,23b
2 Gigaspora 66,68bc 71,82ab
3 Glomus 73,82c 70,78ab
4 Mix 54,71a 71,82ab
5 Kontrol 48,13a 61,94a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Tingkat kolonisasi FMA yang tertinggi pada akar lamtoro umur 6 bulan di lapangan
diperoleh pada tanaman lamtoro yang diinokulasi FMA jenis Glomus (Tabel 2 dan Gambar
2). Tanaman lamtoro umur 9 bulan di lapangan menunjukkan tingkat kolonisasi yang
meningkat pada semua perlakuan termasuk kontrol tetapi sebaliknya tingkat kolonisasi
Glomus menurun meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Adanya
kolonisasi yang lebih banyak dengan pemberian FMA didukung oleh curah hujan yang tinggi
pada waktu tanaman berumur 6 hingga 9 bulan di lapangan. Kelembaban tanah yang tinggi
pada tanah yang basah akan merangsang perkecambahan spora dan terbentuknya
kolonisasi dengan tanaman inang (Delvian, 2004).

Gambar 2. Akar L. leucochephala yang terkolonisasi FMA

B. Respon pertumbuhan tanaman sengon buto (E.cylocarpum)

Respon pertumbuhan tanaman sengon buto meliputi tinggi tanaman, diameter


batang dan persentase hidup dianalisis menggunakan sidik ragam. Hasil sidik ragam
menunjukkan perlakuan inokulasi beberapa jenis fungi mikriza berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tanaman sengon buto. Hasil analisis kemudian dilanjutkan dengan uji
Duncan untuk mengetahui perlakuan terbaik yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh inokulasi FMA terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang dan
persentase tumbuh tanaman sengon buto (E.cylocarpum)

No Perlakuan Umur (bulan)/variable pengamatan


Treatment Age (Mount)/observation variable

3 6 9
Tinggi Diameter % Tinggi Diameter % Tinggi Diameter %
(cm) (mm) hidup (cm) (mm) hidup (cm) (mm) hidup
1 Acaulospora 63,39c 10,68c 90,21 129,93c 20,01c 90,21 163,16b 30,89bc 90,21
2 Gigaspora 56,43bc 8,54ab 89,98 114,01bc 17,87bc 89,98 143,13ab 26,08ab 89,98
3 Glomus 55,84b 9,72bc 90,23 125,42bc 20,68c 87,85 158,22b 31,41c 87,85
4 Mix 48,31a 7,94a 88,83 84,58a 13,90a 86,57 116,09a 21,13a 83,97
5 Kontrol 48,25a 7,70a 87.24 103,11ab 16,37ab 81,19 128,74a 23,85a 81,18
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Menurut Gardner dkk., (1991), meristem ujung menghasilkan sel-sel baru di ujung
akar atau batang mengakibatkan tumbuhan bertambah tinggi atau panjang. Tinggi tanaman
merupakan indikator pertumbuhan atau sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur
pengaruh lingkungan atau perlakuan karena sifatnya sensitif terhadap faktor lingkungan.
Pengaruh inokulasi beberapa jenis FMA terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang dan
persentase tumbuh tanaman sengon buto mulai umur 3 -9 bulan di lapangan yang terbaik
diperoleh pada tanaman sengon buto yang diinokulasi FMA jenis Acaulospora.
Hampir semua tanaman dapat diinfeksi oleh FMA, namun kemampuan FMA
menginfeksi tanaman sangat tergantung pada spesies FMA dan spesies tanaman inang
(Smith dan Read 2008). Pada Tabel 3, nampak asosiasi yang baik terjadi antara tanaman
sengon buto sebagai tanaman inang dengan FMA jenis Acaulospora. Asosiasi atau
kompatibilitas antara mikoriza dan tanaman inang dapat dinyatakan bila FMA dapat
menembus akar tanaman inang dan membentuk arbuskula tempat bahan-bahan (fosfat dan
karbohidrat) dipertukarkan dan mempengaruhi perkembangbiakan FMA, sedangkan di pihak
tanaman inang, indikatornya adalah bila tanaman inang dapat tumbuh dan berkembang
(Koide dan Schreiner 1992).
Setiap jenis FMA berbeda-beda dalam kemampuannya membentuk hifa di dalam
tanah, baik distribusi maupun kuantitasnya yang berhubungan dengan kemampuan dalam
meningkatkan pertumbuhan tanaman (Delvian, 2003). Selain itu, FMA diketahui mampu
memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang
kurang menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan
memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan
sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air (Cruz et al.,
2004).
Fungi Mikoriza Arbuskula memiliki struktur hifa yang menjalar ke dalam tanah. Hifa
meluas di dalam tanah, melampaui jauh jarak yang dicapai oleh rambut akar. Ketika fosfat di
sekitar rambut akar sudah terkuras, maka hifa membantu menyerap fosfat di tempat-tempat
yang tidak dapat dijangkau akar (Simanungkalit,2000). Sehingga unsur-unsur hara yang
terserap dapat dimanfaatkan tanaman sengon buto untuk pertumbuhannya. Aplikasi FMA
terbukti meningkatkan pertumbuhan tanaman, biomassa dan serapan N dan P tanaman
legum tropis Cassia siamea Lam (Giri et al., 2005).
Persentase tumbuh tanaman sengon buto umur 3 bulan di lapangan rata-rata di atas
85%. Tetapi pada umur 6 dan 9 bulan tanaman sengon mulai memperlihatkan perbedaan
persentase tumbuh. Tanaman sengon buto yang diinokulasi FMA pada umumnya
mempunyai persentase tumbuh masih di atas 85% sedangkan tanaman sengon buto yang
tidak diinokulasi mempunyai persentase tumbuh yang menurun. Hal ini terjadi karena
tanaman sengon buto yang diinokulasi FMA mempunyai kemampuan menyerap unsur hara
terutama unsur P. Kemampuan penyerapan unsur hara ini didukung oleh tingginya
kolonisasi Acaulospora yang terdapat pada akar tanaman sengon buto (Tabel 4 dan
Gambar 3).
Tabel 4. Tingkat kolonisasi FMA pada akar tanaman Sengon butoh (E.cylocarpum)

No Perlakuan Umur (bulan)/%Kolonisasi FMA


6 9
1 Acaulospora 60,71c 73,05c
2 Gigaspora 53,0bc 45,46a
3 Glomus 48,58ab 52,09a
4 Mix 48,90ab 62,87b
5 Kontrol 43,03a 44,02a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Pengaruh kolonisasi FMA yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman


terutama disebabkan oleh meningkatnya penyerapan P khususnya dari sumber-sumber
yang sulit larut (Baon, 1995). Penelitian yang dilakukan Black (1980), menjelaskan pengaruh
utama FMA pada tanaman inang adalah meningkatkan penyerapan P. Menurut Muin (1993),
asosiasi FMA pada akar tanaman mampu meningkatkan konsentrasi P pada semua organ
tanaman.

Gambar 3. Akar E. cylocarpum yang terkolonisasi FMA

4. KESIMPULAN
Hasil aplikasi FMA dan pot media semai pada lahan bekas tanah longsor di
spoilbank Bili-bili yang memberikan respon pertumbuhan tanaman lamtoro dan sengon
butoh yang lebih baik dibanding yang tidak diinokulasi FMA. Pertumbuhan terbaik tanaman
lamtoro pada umur 3, 6 dan 9 bulan di lapangan ditunjukkan oleh tanaman yang diinokulasi
FMA Glomus sp. Untuk tanaman sengon butoh, yang memberikan respon pertumbuhan
yang terbaik adalah FMA dari jenis Acaulospora sp.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kemeterian Riset dan Teknologi


yang telah mendanai penelitian ini, The Word Agroforestry Center (ICRAF) yang telah
mensponsori keikutsertaan dalam kegiatan seminar Agroforestry IV di Banjarbaru
Kalimantan Selatan sehingga makalah ini dapat tersusun. Selain itu ucapan terima kasih
juga diberikan kepada tim peneliti dan teknisi Balai Penelitian Kehutanan Makassar, yaitu:
Nursyamsi, Heri Suryanto, Muhammad Syarif, Edi Kurniawan, Abdul Qudus Toaha, dan Andi
Sri Rahmadania atas kerjasama dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Baon, J.B. 1995. Serapan Hara dan Pertumbuhan Kopi Robusta Bermikoriza, dalam
Prosiding Konggres Seminar Nasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Serpong.
Vol. 1. 741 – 749
Black, R. 1980. The Role of Mycorrhizal in Nutrition of Tropical Plant. dalam: Tropical
Mycorrhiza Research. Ed. Mikola.P. Clarendon Press Oxford. New York
Cruz, C., J. J. Green, C. A. Watson, F. Wilson, and M.A.Martin-Lucao. 2004. Functional
aspect of root architecture and mycorrhizal inoculation with respect to nutrient uptake
capacity. Mycorrhiza 14:177-184.
Delvian. 2003. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai dan
Potensi Pemanfaatannya. Disertasi. Program Pascasarjana IPB Bogor.158p. (tidak
dipublikasikan)
Delvian. 2004. Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula dalam Reklamasi Lahan Kritis Pasca
Tambang. Medan. Hal 5-7.
Foth, H.D. 1978. Fundamentals of Soil Science. Penerjemah S. Adisoenarto (1995).Dasar-
dasar Ilmu Tanah. Erlangga. Jakarta.
Gardner, F.P., R.B. Pearce. dan Roger L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya
(terjemahan). Penerjemah Herawati Susilo. UI-Press, Jakarta. Hal 38, 258.
Giri B, R Kapoor and KG Mukerji. 2005. Effect of the arbuscular mycorrhizae Glomus
fasciculatum and G. macrocarpum on the growth and nutrient content of Cassia
siamea in a semi-arid Indian wasteland soil. New Forests 29, 63–73.
Mosse, B., D.P.Stribley dan F. Le-Tucon.1981. Ecology of Mycorrhizae and Mycorrhizal
Fungi. Adv. Microb. Ecology. 5 : 137 -210.
Muin, A. 1993. Pertumbuhan Anakan Ramin (Gonystylus bacanus (Miq). Kurz) Dengan
Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Berbagai Intensitas Cahaya
dan Dosis Fosfat Alam. Disertasi. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Rungkat, J. A. 2009. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman. Jurnal Formas 2 (4) : 270-276.
Simanungkalit, R.D.M. 2000. Pemanfaatanjamur mikoriza arbuskular sebagai pupuk hayati
untuk memberlanjutkan produksi pertanian. Makalah "Seminar sehari", Peranan
mikoriza dalam pertanian yang berkelanjutan. Univ. Padjadjaran, Bandung, 28 Sept.
2000, 13 hal.
Smith, S.E., and D.J.Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3th edition. Academic Press. New
York.
Suhardi, M. Naiem, B. Radjagukguk, O. Karyono, and Widada, W. W. Wjennarn,T Herawan.
1997. Interaction among progenies/provenance of sengon (Paraserianthes
falcataria), arbuscular mycorrhizal and rhizobial isolates grown on Ultisol Soils.
Papers Presented at the International Coference Mycorrhizas in Sustainable Trop.
Agric. and Forest Ecosystem, Bogor, Indonesia, Oct. 26-30, 1997. 13p.

You might also like