Etika Bisnis Yusuf Al-Qaradâwi (Upaya Membangun Kesadaran Bisnis Beretika) Diana Ambarwati

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 24

ETIKA BISNIS YUSUF AL- QARADÂWI

(UPAYA MEMBANGUN KESADARAN BISNIS BERETIKA)

Diana Ambarwati

STAIN Jurai Siwo Metro


Email : [email protected]

Abstract
Business is one of the most important in human life. It is not amazing if Islam
gives guidance of business area. Now, business is considered as the effort to look for
the profit as much as possible. In fact, it is got by the sly and not etichal way.In
business ethics is very important for stating in globalization era that is often
neglecting the velue of morality and ethics. Because, Islam states that the human
business activity is not aim at the equiepment of satisfying only, but also the effort
of looking for balancing life with the positive behaviior not destructive.
Yusuf al-Qaradawi observes that business gives big contribusion in answering the
problem of business ethics comprehensively.In his opinion,the moderate is visible
that business ethics which stated by him is one of the professionalism in business
which will preserve in business performance.
Implementation of the business ethics means that do an effort or an occupation that
can produce the profit as the law in Islam. The effort can be done by recontruction
of new realizing about business, and also understanding the study of business and
economics that stand on paradigm of norming and empirical approach in which the
prominent development of the velue, in order to hendle alteration and moving on
the era fastly.

Key word: Business ethics, Yusuf Al-Qaradawi.

Abstraks
Bisnis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Tidak heran jika Islam memberi tuntunan dalam bidang usaha. Bisnis
selama ini, dikesankan sebagai usaha mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya, bahkan harus ditempuh dengan cara kotor dan tidak etis. Etika
bisnis sangat penting untuk dikemukakan dalam era globalilasasi yang
seringkali mengabaikan nilai-nilai moral dan etika. Karena itu, Islam
menekankan agar aktifitas bisnis manusia dimaksudkan tidak semata-mata
sebagai alat pemuas keinginan tetapi lebih pada upaya pencarian
kehidupan berkeseimbangan disertai prilaku positif bukan destruktif.

74
Yusuf al-Qaradâwi melihat bisnis kekinian turut memberikan kontribusi
yang besar dalam menjawab persoalan etika dalam berbisnis secara
komprehenship. Dalam pemikirannya yang moderat tercermin bahwa etika
bisnis yang beliau cetuskan merupakan bentuk profesionalisme bisnis yang
akan senantiasa menjaga keberlangsungan bisnis.
Mewujudkan bisnis yang beretika berarti menjalankan suatu usaha atau
pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan sesuai dengan hukum
yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Upaya tersebut dapat dilakukan
dengan melakukan suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis, juga
diperlukan suatu cara pandang baru dalam melakukan kajian-kajian
keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih berpijak pada paradigma
pendekatan normatif sekaligus empirik induktif yang mengedepankan
penggalian dan pengembangan nilai-nilai, agar dapat mengatasi
perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat.

Kata kunci: etika bisnis, Yusuf Al-Qaradawi,

Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan
Allah SWT. Dengan segala kompleksitas yang diberikan, manusia
memperoleh kedudukan paling tinggi jika dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Oleh karenanya manusia hidup tidak bisa terlepas dari interaksi
sosial di lingkungannya. Sifat sosial yang dimiliki manusia sesuai dengan
fitrahnya, yaitu adanya kesedian untuk melakukan interaksi dengan
sesamanya, yang salah satunya terwujud dalam suatu interaksi di bidang
ekonomi untuk melakukan kegiatan bisnis dan perdagangan.
Bisnis dan perdagangan menjadi salah satu kegiatan manusia yang
penting. Dilakukannya bisnis dan perdagangan karena ketidaksempurnaan
sifat seseorang dalam menyediakan berbagai macam keperluan dan
tuntutan hidupnya sendiri.
Beranjak dari hal tersebut, pertumbuhan bisnis modern dewasa ini
merupakan satu realitas kehidupan yang sangat kompleks dan merupakan
bagian integral dari masyarakat, baik positif maupun negatif.1 Sebagai
kegiatan sosial, bisnis merupakan cerminan dari kompleksitas masyarakat
modern. Banyak faktor yang melatarbelakangi timbulnya kegiatan bisnis
yang pada akhirnya turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis

1 M. Kamal Zuber, Pemikiran Etika Bisnis (studi atas konsep Etika Bisnis Al

Ghazali), (IAIN Mataram: Jurnal Istimbath no.2 Vol 4 tahun 2007), h. 25

75
dan perdagangan. Oleh karenya, bisnis yang telah merasuk ke segala aspek
dan lapisan masyarakat, dalam perspektif etis dituntut untuk memasarkan
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, bukan hanya
menawarkan keuntungan material belaka.2
Masyarakat dewasa ini telah mengenal bisnis. Istilah bisnis akrab dan
di lafalkan oleh seseorang ketika menjalankan aktifitas ekonomi di
lingkungannya. Walaupun terdapat kekeliruan dalam penempatan dan
penggunaan istilah bisnis, banyak yang tidak memperdulikannya.
Sebagaimana diketahui, bisnis merupakan usaha komersial di dunia
perdagangan; bidang usaha; usaha dagang.3 Selain itu dijelaskan pula
bahwa bisnis adalah kegiatan ekonomis. Dimana dalam kegiatan tersebut
terjadi aktivitas tukar-menukar, jual beli, memproduksi-memasarkan,
bekerja-mempekerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya dengan maksud
memperoleh untung.4
Kegiatan bisnis dapat dipahami sebagai suatu kegiatan yang
mempunyai prinsip dengan rumusan “Memaksimumkan keuntungan
perusahaan, kurangi biaya perusahaan”.5 Atau dapat juga dinyatakan
bahwa bisnis merupakan kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk
menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan
keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.6
Kebaikan dan kesuksesan serta kemajuan bisnis sangat tergantung
pada kesungguhan dan ketekunan kerja dari pelaku bisnis. Jika bisnis
dilakukan berdasarkan nilai kejujuran, amanah, adil, ihsan, kebajikan,
silaturahim dan kasih sayang7 sudah barang tentu kebaikan, kesuksesan
dan kemajuan serta keberlangsungan bisnis akan terjaga. Namun
sebaliknya, jika bisnis dilakukan dengan riba, menipu, penimbunan
barang, monopoli, tindakan yang merusak lingkungan serta mengancam
keselamatan orang lain, maka akan menghancurkan keberlangsungan
bisnis itu sendiri.
Berbagai contoh perilaku bisnis yang tidak mengindahkan norma
dan etika banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Diantaranya

2 Ibid
3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 157.
4 K Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 17
5 Peter Pratley, The Essence Of Business Ethisc, (Yogyakarta: Andi, 1997), h. 83
6 Buchari Alma, pengantar Bisnis, (bandung : Alvabet, 1997), h. 16
7 Yusuf al-Qaradhâwi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1997), h. 1

76
adalah masih adanya praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN)
dalam melakukan kegiatan bisnis. Kemudian masih sering ditemui oknum-
oknum yang mempraktekkan bisnis tanpa memperhatikan keselamatan,
kesehatan serta kenyamanan konsumen. Seperti halnya dalam bisnis
makanan. Ada produk-produk makanan yang dijadikan kegiatan bisnis
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mencampur
atau menggunakan daging babi, anjing, tikus dll sebagai pengganti daging
segar. Padahal bagi komunitas tertentu (baca: muslim), jenis daging ini
haram untuk dikonsumsi, termasuk haram juga untuk diperjual
belikannya. Selanjutnya, ditemukan pula produk-produk makanan yang
menggunakan bahan pengawet dalam bahan tambahan makanan seperti;
borax, formalin, pewarna tekstil (rodhamin dan methanil yellow), siklamat
(pemanis buatan). Padahal bahan-bahan tersebut merupakan bahan yang
dilarang penggunaannya pada makanan, karena akan menyebabkan diare,
pusing, kejang-kejang, demam, kram perut, diare dan muntah-muntah.8
Apa yang termuat dalam koran Tempo tersebut di atas merupakan
salah satu contoh kegiatan bisnis yang menyimpang dari norma dan etika.
Jika bisnis dilakukan untuk memberikan manfaat kepada orang lain, maka
kegiatan tersebut harus dilakukan dengan cara yang baik dan harus
mempertimbangkan berbagai dampak yang diakibatkan. Tampaknya
kegiatan tersebut di atas sebagaimana yang telah diberitakan dalam media
masa tersebut kurang memperhatikan dampak lingkungan, dampak dari
produk bagi konsumen, etika kemanusiaan dan lain-lainnya.9
Berbagai pakem bisnis telah muncul ke permukaan dalam bentuk
pemikiran etika bisnis yang berlandaskan Islam. Islam merupakan agama
sempurna yang di dalamnya terdapat risalah norma dan etika. Sementara
itu Sang Pembawa Islam, Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT ke
dunia untuk memperbaiki permasalahan (menyempurnakan akhlak),
termasuk di dalamnya kegiatan muamalah. Etika yang pada akhirnya
lazim disebut akhlak merupakan tatanan perilaku berdasarkan suatu
sistem tata nilai suatu masyarakat.10 Etika merupakan kumpulan aturan-
aturan, ajaran (doktrin) dan nilai-nilai yang dapat mengantarkan manusia –
dalam kehidupannya- menuju kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun

8 Berita dalam www.korantempo.com, tanggal 26 dan 28 April 2003.


9 R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al Qur’an, (Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2006), h. v
10 Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, (Yogyakarta: Gama Media,

2005), h. 161

77
akhirat. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Islam mengaitkan etika
dalam melakukan kegiatan muamalah, yaitu kejujuran, amanah, adil,
ihsan, kebajikan, silaturahim dan kasih sayang.11
Secara normatif, al-Qur‟an sebagai pedoman hidup umat Islam relatif
memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada
kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa
membedakan kelas.12 Yang sudah barang tentu memberikan rambu-rambu
dalam melakukan transaksi, istilah al- ťijarah, al-bai’u, ťadayantum dan
Isyťara yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai pertanda bahwa Islam
memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha atau perdagangan.
Menyikapi kondisi yang demikian Yusuf al-Qaradhâwi
memberikan kontribusi yang besar dalam menjawab persoalan etika dalam
berbisnis secara komprehenship. Sikap moderatnya mengikis mazhab
centris, hal ini dilakukan agar tidak terjebak kepada fanatisme buta. Juga
Sikapnya yang tasamuh (toleran) menjadikan pemikiran fiqhnya progresif
dan inovatif, tidak terjebak dalam kejumudan yang membuatnya mampu
berkontribusi menjawab persoalan kontemporer secara komprehenship.13
Dalam pandangan Yusuf al- Qaradâwi bahwa sisi kehidupan paling
mendesak pada kebutuhan ijtihad adalah bidang ekonomi dan keuangan,
Iptek dan kedokteran.14 Selanjutnya berbicara tentang ijtihad, beliau
menawarkan alternatif pemikiran, yang beliau namai ijtihad selektif
komparatif dan ijtihad konstruktif inovatif.15 Karena Islam yang kaya dengan
khazanah klasiknya memberikan peluang emas bagi pemikir Islam
kontemporer untuk melakukan kajian mendasar persoalan umat.

Pembahasan
1. Etika Bisnis dan Pengertiannya
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan etika bisnis secara
umum, maka ada dua hal yang perlu dimengerti sebelumnya, yaitu
etika dan bisnis. Kata etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam

11 Yusuf al-Qaradâwi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1997), h. 1
12 M Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam Wawasan Al Qur’an, dalam jurnal

Ulumul Qur‟an, No.3/VII/1997, h.4


13 Sulaiman bin Shalih al Khuraisyi, Pemikiran DR.Yusuf Al Qaradhawi dalam

Timbangan, (Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi‟I, 2003), h. 15


14 Yusuf Al Qaradhawi, Reformasi Pemikiran Islam Abad 21 , (Surabaya:PT.

Bina Ilmu, 1998), h. 1-6


15 Ibid, pada halaman pendhuluan

78
bentuk jamaknya (ta etha), berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”.16
Etika juga dipandang sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).17 Selain itu, etika
juga berkaitan dengan perintah dan larangan langsung yang bersifat
konkrit. Maka, etika dalam pengertian ini lebih bersifat normatif dan
karena itu lebih mengikat setiap pribadi manusia.
Agar lebih konkrit, dapat dicontohkan nilai dan norma kejujuran.
Pertanyaan etis yang dihadapi pelaku bisnis tertentu adalah mengapa
kita harus jujur dalam menawarkan barang dan jasa kepada
masyarakat konsumen? Apakah memang ada nilai dan norma tertentu
bahwa kita harus berbisnis secara jujur sebagai manusia. Namun,
persoalannya adalah apakah memang dalam situasi konkrit yang kita
hadapi adalah sebuah kejujuran? atau justru sebaliknya,
ketidakjujuran?
Pertanyaan di atas penting diajukan, karena dimaksudkan ingin
mengetahui tekad atau niat, apakah ada kemauan pelaku atau
pengguna bisnis untuk berbuat jujur atau tidak, karena disanalah letak
dasar moral tindakan jujur atau ketidakjujuran tadi dapat dibuktikan,
yaitu pada saat menawarkan barang dan jasa kepada para konsumen
atau masyarakat pengguna bisnis. Oleh karenya, kejujuran tidak lagi
dipandang sebagai sebuah tuntutan moral dari luar diri, melainkan
tuntutan dari dalam diri dan perusahaan demi kepentingan pihak lain
(konsumen, relasi bisnis, dan lainnya) dan juga demi kepentingan
bisnis jangka panjang.18
Berkaitan dengan kegiatan bisnis, Kohlbeng sebagai ilmuan Barat
telah memberikan “rambu-rambu” bagi para pelakunya, yaitu prinsip-
prinsip etika didalam bisnis dapat digolongkan ke dalam tiga

16 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta :

Kanisius, 1998), h. 14.


17 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa

Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 309. Lebih lanjut, Suryadi


Prawirosentono menjelaskan bahwa Etika berkaitan dengan hal-hal yang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah (true and false), betul dan tidak betul (correct
and incorrect), jujur dan bohong (honest and lie). Lihat Suyadi Prawirosentono,
Pengantar Bisnis Modern, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h.2
18 A. Sonny Keraf, Loc.cit.

79
kelompok, yakni: (1) Prinsip manfaat, (2) Prinsip hak asasi, (3) Prinsip
keadilan.19
Dengan kata lain, tujuan utama bisnis sesungguhnya bukan untuk
mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
orang lain, dan melalui itu ia bisa memperoleh apa yang
dibutuhkannya. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Matsushita.
Dijelaskannya, bahwa tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari
keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat.20
Sedangkan kuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercaaan
masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan.
Selanjutnya, di dalam al-Qur‟an terdapat beberapa istilah atau
kata yang berkaitan dengan bisnis. Di antaranya; kata al-tijarah, al-bai’,
tadayantum, dan isytara. Namun, dari kata-kata tersebut yang seringkali
digunakan adalah al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal
dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang
atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan.
Dalam penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat yang termaktub
dalam al-Qur‟an memiliki dua macam pemahaman, yaitu dipahami
dengan perdagangan dan dipahami dengan perniagaan dalam
pengertian umum.
Sedangkan secara istilah etika bisnis menurut Business and
Society-Ethics and Stakeholder Management dinyatakan sebagaio
berikut:
Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and
wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of
right and wrong are increasingly being interpreted today to include the
more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.21

Selanjutnya dalam artikel ini, istilah “bisnis”yang dimaksud


adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan
yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa
dengan menempatkan uang dari para enterpreneur dalam resiko
tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan

19 Kwik Kian Gie, dkk, Etika Bisnis Cina: Suatu Kajian Terhadap Perekonomian

di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1996, h. 61


20 Ibid, h.51
21 R. Sims, Ethics and Corporate Social Responsibility-Why Giants Fall, (C.T.:

Greenwood Press, 2003), h. 26

80
keuntungan. Selain itu, bisnis juga dapat berupa kegiatan manusia
yang menyangkut produksi, menjual dan membeli barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.22 Dasar pemikirannya adalah
pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-pihak yang terlibat.
Dari berbagai uraian di atas, dipahami bahwa secara bahasa etika
bisnis merupakan sebuah aturan yang berbentuk perintah dan larangan
dalam kegiatan manusia yang menyangkut produksi, menjual dan
membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis
yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita
sebagai manusia. Demikian pula, prinsip-prinsip itu sangat erat terkait
dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Prinsip-prinsip etika
bisnis yang berlaku di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem
nilai masyarakat Indonesia. Namun, sebagai etika khusus atau etika
terapan, prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya
adalah penerapan dari prinsip-prinsip etika pada umumnya. Karena
itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat
bisnis, secara umum dapat dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis,
yakni :
Pertama, prinsip otonomi, yaitu sikap dan kemampuan manusia
untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarnnya
sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang
bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa
yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis.
Kedua, prinsip kejujuran, sekilas kedengarannya adalah aneh
bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip etika bisnis karena mitos
keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu menipu demi meraup
untung. Harus diakui bahwa memang prinsip ini paling problematic
karena masih banyak pelaku bisnis yang mendasarkan kegiatan
bisnisnya pada tipu menipu atau tindakan curang, entah karena situasi
eksternal tertentu atau karena dasarnya memang ia sendiri suka tipu-
menipu.
Ketiga, prinsip keadilan, yaitu menuntut agar setiap orang
diperlukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai
dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Demikian pula, prinsip keadilan menuntut
agar setiap orang dalam kegiatan bisnis apakah dalam relasi eksternal

22 A. Sonny Keraf, Op.Cit, h. 50

81
perusahaan maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan
sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak
boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
Keempat, prinsip saling menguntungkan, yaitu menuntut agar
bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua
pihak. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis.
Maka, dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar
persaingan bisnis haruslah melahirkan suatu win-win solution.
Kelima, prinsip integritas moral, yaitu prinsip yang menghayati
tuntutan internal dalam berprilaku bisnis atau perusahaan agar
menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik perusahaannya.
Dengan kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari
dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan
dibanggakan.
Dari semua prinsip bisnis di atas, Adam Smith menganggap
bahwa prinsip keadilan sebagai prinsip yang paling pokok.23
Sementara itu, Hatta memandang bahwa keadilan bersifat ketuhanan,
sehingga dia tidak hanya berdimensi keduanian atau kekinian, tetapi
juga berdimensi keaheratan.24 Pertanyaan penting yang perlu dijawab
adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip bisnis tadi secara tepat
sesuai dengan keperluan atau kebutuhan dalam operasionalnya.
Sehingga, dengan penerapan prinsip-prinsip bisnis yang tepat ke
dalam sebuah perusahaan, yang pertama terbentuk tentu akan
terbangun budaya kerja perusahaan (corporate cultur) yang memenuhi
aspek pembudayaan atau pembiasaan dan penghayatan nilai-nilai,
norma atau prinsip moral yang dianggap sebagai inti kekuatan dari
sebuah perusahaan yang sekaligus juga membedakannya dengan
perusahaan yang lain. Adapun wujud dari penerapan prinsip-prinsip
bisnis, bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, disiplin,
kejujuran, tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa adanya
diskriminasi dan seterusnya.

2. Mengenal Yusuf Al- Qaradâwi dan Pemikirannya


Al Qaradhawi memiliki nama asli Yusuf bin „Abdillah al
Qaradâwi. Ia dilahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth

23 Ibid, h. 61
24 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam; Menangkap Makna Maqhasid al
Syariah, (Jakarta: Kompas Media Nusantra, 2010), h. 173

82
Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926.25 Al Qaradhawi besar,
tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga agamis dan
berperadaban, dengan pertanian sebagai mata penghasilan.26 Ketika
masih kanak-kanak beliau telah ditinggalkan oleh ayahnya tepatnya
pada usianya yang baru menginjak 2 (dua) tahun. Kemudian beliau
diasuh dan dididik oleh pamannya dengan penuh kasih sayang dan
beliau akui sebagai ayahnya.27
Ketika berumur 5 tahun, beliau dididik menghafal al-Qur‟an
secara intensif oleh pamannya.28 Kemudian pada Usia 10 tahun, beliau
telah menghafal Al-Qur‟an 30 juz dengan fasih dan sempurna
tajwidnya.29 Beliau menamatkan pendidikan di Ma‟had Thantha dan
Ma‟had Tsanawi. Seteleh itu, al Qaradâwi melanjutkan studinya ke
Universitas Al Azhar, Fakultas Ushuluddin dan menyelesaikannya
pada tahun 1952 M. Gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972
dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan
Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat.
Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat
dengan nuansa modern.
Pada tahab selanjutnya, Yusuf Qaradâwi tumbuh menjadi
seorang cendekiawan muslim dan seorang mujtahid yang tidak
mengikat diri pada salah satu madzhab tertentu. Menurut al- Qaradâwi
pemecahan masalah fiqih yang terbaik ialah yang paling jelas nash
landasannya, yang terbaik dasar pemikirannya, yang termudah
pengalamannya, dan yang terdekat relevansinya dengan kondisi
zaman.30 Sehingga ia mampu memadukan hukum-hukum syari‟at
Islam dan tuntutan zaman.31

25 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van

Hoeve, 2001), h.1448


26 Sulaiman bin Shalih al Khuraisyi, Pemikiran Yusuf Al Qaradhawi dalam

Timbangan, (Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi‟I, 2003), h. 7


27 Abdul Azis Dahlan, Op.cit.
28 Ibid
29 Anonim, Islam Ekstrem, www..salafi/Makalah Bedah Buku Yusuf Al
Qardhawi.
30 Yusuf Qardhawi, Hadyatul Islam Fatawi Mu’asishirah. Terj. As‟ad Yasin

“Fatwa-Fatwa Kontemporer”, hlm. Introduksi


31 Yusuf Qardhawi, Al-Islamu wa Fannu, Wahid Ahmadi dkk., Islam

Berbicara Seni, Solo : Era Intermedia, 2002, hlm. 196.

83
Tindakan al Qaradâwi dalam menetapkan suatu fatwa berpegang
pada jalan tengah, sehingga fatwanya dapat dipahami, dimengerti dan
diterima oleh lapisan masyarakat Islam. Dalam hal ini al- Qaradâwi
selalu berpegang pada kemudahan dan meringankan dan harus
mengalahkan kesulitan dan memberatkan. Karenanya, Al Qaradâwi
mengklaim dirinya sebagai orang yang menempuh jalan tengah
(moderat) dalam segala hal. Dan jalan ini ditempuh sejak awal proses
pendidikannya.
”Segala puji bagi Allah ta‟ala yang telah memberikan
karunia kepada saya sejak awal kehidupan pemikiran dan
dakwah saya untuk membangun jalan tengah yang didasarkan
pada teori keseimbangan yang komprehensif, dan jauh dari sikap
ifrath (pengagungan yang berlebihan) dan tafrith (sikap
meremehkan yang berlebihan).32

Pemikiran Yusuf al-Qaradâwi mempunyai pengaruh yang sangat


signifikan di seluruh dunia. Pemikiran yang dinamik dan bersesuaian
dengan keadaan dan suasana menjadikan beliau sering menjadi
rujukan. Di antara sumbangan besar Yusuf al-Qaradâwi ialah
memperkenalkan pendekatan dinamik untuk memahami Syari‟ah.
Menurutnya, bahwa sendi utama ekonomi Islam adalah sifatnya
yang pertengahan (keseimbangan).33 Bahkan ciri ini merupakan jiwa
yang merupakan keseimbangan yang adil. Sebagaimana sikap Islam
terhadap hak individu dan masyarakat. Kedua hak ini diletakkan
dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa
dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan. Dan Islam
berada di tengah-tengah antara Iman dan kekuasaan.34
Berkaitan dengan etika bisnis Islam, dalam karyanya yang
menumental Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami, al Qaradhawi
mendeskripsikan dan memaparkan tentang pentingnya norma dan
etika dalam ekonomi, kedudukannya, dan pengaruhnya dalam

32 Sulaiman bin Shalih al Khuraisyi mengutip dalam kitab Fataawaa

mu”aaashirah, Op Cit, h. 19
33 Yusuf Al Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1997), h.69


34 Ibid, h.71

84
lapangan ekonomi yang berbeda-beda seperti; bidang produksi,
konsumsi, dan bidang distribusi.35

a. Etika dalam bidang Produksi


Persoalan etika dalam bidang produksi, dimaknai dalam
menciptakan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-
sumber kekayaan lingkungan.36 Kekayaan merupakan segala sesuatu
yang diberikan Allah berupa alam yang bisa digarap dan diproses
menjadi kekayaan. Al-Qur‟an mendorong manusia untuk mengolah
sumber alam ini dan mengingatkan agar mengarahkan pandangan dan
akal dengan penuh kekuatan terhadap alam yang ada disekeliling.37
Dalam pengelolaan tersebut, akal memiliki peranan yang sangat
penting. Karena penggunaan akal inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Dengan penggunaan akal yang maksimal,
maka akan melahirkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
manusia sendiri. Sehingga kegiatan produksi dapat memiliki peran dan
fungsi dalam menjalankan tanggung jawab sosial untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat serta manifestasi keterhubungan manusia
dengan Tuhan.
Pada lain sisi, ilmu tidak akan membuahkan hasil jika tidak
diikuti oleh amal. Islam mendorong pemeluknya agar berproduksi dan
menekuni aktifitas ekonomi dengan cara bekerja. Bukan hanya bekerja
untuk diri sendiri, tetapi juga bekerja untuk kepentingan keluarga,
masyarakat, bekerja untuk kehidupan dan semua makhluk secara
umum, serta bekerja untuk memakmurkan bumi. Dengan bekerja
setiap individu dapat mememenuhi kebutuhannya hidupnya. Ini
semua adalah keutamaan yang dijunjung tinggi oleh agama, yang tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan harta.38
Islam telah memberikan peringatan dan hanya membolehkan
usaha yang dilakukan dengan adil, jujur dan cara yang bijaksana.
Dalam mencapai sasaran ini, Islam tidak memberikan kebebasan tanpa
batas dalam usaha ekonomi. Selain itu, Islam tidak juga terlalu

35Yusuf Qardhawi, Darul Qiyam wa Akhlaq fi Iqtishadil Islam, Dalam kata

pengantar, Terj. Zainal Arifin, et al., "Norma dan Etika Ekonomi Islam", Cet. I,
Jakarta: Gema Insani Press, 1887, h. v.
36 Yusuf Al Qaradhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam,

(Jakarta: Rannabi Press, 2001), h. 138


37 Ibid., h. 138
38 Ibid., h. 158

85
mengikat manusia dengan pengawasan ekonomi. Islam telah
memberikan prinsip-prinsip produksi yang adil dan wajar dalam
bisnis, dimana setiap orang dapat memperoleh kekayaan tanpa
mengeksploitasi individu lain atau merusak kemaslahatan masyarakat.
Seseorang dalam bekerja dalam pandangan Islam haruslah ihsan
(baik) dan jihad (bersungguh-sungguh). Karena Islam bukan semata-
mata memerintahkan bekerja, namun bekerja dengan baik. Karena
kesungguh-sungguhan dalam bekerja atau lazimnya disebut
professional merupakan salah satu implementasi dari iman. Dengan
bekerja professional, maka seseorang akan mendapatkan ketenangan
jiwa, ketenangan jiwa akan berpengaruh positif terhadap
produktifitas.39
Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa aktifitas yang demikian
akan membebaskan usaha atau bisnis dari kezaliman dan penindasan.
Senada dengan rambu-rambu Islam yang memberikan keadilan dan
persamaan prinsip produksi sesuai kemampuan masing-masing tanpa
menindas orang lain atau menghancurkan masyarakat.
Sementara itu, akhlak (etika) utama dalam produksi yang wajib
diperhatikan baik secara individu maupun bersama-sama ialah bekerja
di bidang yang di halalkan Allah, dan tidak melampaui apa yang
diharamkan-Nya.40 Dengan kata lain, produksi tidak hanya
memproduksi barang dan jasa belaka, tetapi juga memproduksi segala
sesuatu yang merusak aqidah dan akhlak manusia.
Prinsip etika dalam produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim baik individu maupun komunitas menurut Yusuf Al
Qaradhawi adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan
tidak melampaui batas.41
Kemudian, akhlak (etika) yang selanjutnya adalah memelihara
sumber daya alam (SDA). Sumber daya alam merupakan nikmat Allah
kepada makhluk-Nya, dan manusia wajib mensyukurinya. Di antara
bentuk syukur itu adalah menjaganya dari kerusakan, kehancuran,
polusi dan lain-lain yang tergolong sebagai kerusakan di muka bumi.
Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Araaf ayat 56.

39 Ibid., h.166
40 Ibid, h.168
41 Yusuf Al Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Op.cit., h. 117

86
              

 
Artinya:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik.

Perusakan sumber daya alam (SDA) dapat dalam bentuk material,


misalnya dengan menghancurkan orang-orang yang
memakmurkannya, mengotori kesuciannya, menghancurkan benda-
benda hidupya, merusak kekayaannya atau menghilangkan
kemanfaatannya. Atau dalam bentuk spiritual, seperti menyebarkan
kezaliman, meramaikan kebatilan, memperkuat kebutuhan,
mengeruhkan hati nurani dan menyesatkan akal pikiran.42
Dengan demikian, etika dalam bidang produksi benar-benar
harus diperhatikan dan diaplikasikan. Sebab, jika dalam berproduksi
tidak memperhatikan etika atau norma-norma yang berlaku, maka
akan berakibat pada rusaknya sumber daya alam yang ada
disekitarnya. Selain itu, tidak dibenarkan pula eksploitasi terhadap
sumber daya manusia dalam menjalankan kegiatan produksi. Berkaitan
dengan etika dalam kegiatan produksi sumber daya manusia (SDM)
dan sumber daya alam (SDA) harus di tempatkan sesuai proposinya
masing-masing sehingga terjadi prinsip keseimbangan.

b. Etika dalam Bidang Konsumsi


Etika kedua yang menjadi sorotan al-Qaradâwi adalah dalam
bidang konsumsi. Menurut Yūsuf al-Qaradāwī bukan hanya sikap
sederhana dalam kegiatan konsumsi, namun harus juga diterapkan
menghindari dari dari sikap kemewahan (bermewah-mewah).
Kemewahan merupakan sikap yang dilarang karena akan
menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan.

42 Yusuf Al Qaradhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam,

Op.cit., h.173

87
Pada satu sisi, bermegah-megahan atau mengutamakan sikap
kemewahan akan mengarahkan seseorang kepada sikap boros. Sikap
boros itu sendiri termasuk sikap yang merusak harta, meremehkan
atau kurang merawatnya sehingga rusak dan binasa. Perbuatan ini
termasuk kriteria menghambur-hamburkan uang yang dilarang.43
Lain dari pada itu, konsumsi merupakan tujuan yang penting dari
produksi.44 Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang komprehensif dan
mencakup seluruh aspek kehidupan45, telah mengatur segala tingkah
laku manusia. Bahkan tidak ada satu sistem kemasyarakatan pun, baik
masyarakat modern atau lama, telah ditetapkan etika untuk manusia
yang mengatur segala aspek kehidupannya sampai pada persoalan
yang detail, termasuk dalam hal ini konsumsi.
Islam telah memberikan rambu-rambu berupa arahan-arahan
positif dalam berkonsumsi. Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal
ini, yaitu:
1) Pembatasan dalam hal sifat dan cara
Pada persoalan ini, seorang muslim harus peka terhadap
sesuatu yang dilarang oleh Islam. Produk-produk yang jelas ke-
haraman-nya harus dihindari untuk mengkonsumsinya, seperti
minum khamr dan makan daging babi. Seorang muslim harus
senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat
dan maslahat, sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan
adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang dalam Islam dan secara
tegas telah disebutkan dalam firman Allah pada QS. Al Israa: 27.
          
Artinya:
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-
saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.

2) Pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi.

43 Yūsuf al-Qaradāwī, Norma dan Etika, Op.cit., h. 157


44 Afzalurrahman. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. (Jakarta : Yayasan
Swarna Bhumy, 1997), h.
45 M.Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek. (Jakarta : Gema Insani

Press, 2003), h. 69

88
Berbeda dengan persoalan pembatasan dalam hal sifat dan
cara, Islam juga melarang umatnya untuk berlaku kikir yakni
terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada
mereka. Namun, Allah juga tidak menghendaki umatnya
membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di luar
kewajaran. Dalam perilaku konsumsi, Islam sangat menekankan
kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Furqon: 67.

           

Artinya:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Dalam berprilaku konsumsi, Islam telah mengarahkan


umatnya kedalam tiga hal yaitu; Pertama, jangan boros. Seorang
muslim dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya.
Tidak semua hal yang dianggap butuh saat ini harus segera dibeli.
Karena sifat dari kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar sangat pandai
mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang
yang seolah sangat dibutuhkan.
Kedua, menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan.
Seorang muslim hendaknya mampu menyeimbangkan antara
pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin tidak
berhutang. Karena hutang, menurut Rasulullah SAW akan
melahirkan keresahan di malam hari dan mendatangkan kehinaan
di siang hari. Jika tidak memiliki daya beli, maka dituntut untuk
lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah memaksakan diri
sehingga terpaksa harus berhutang. Hal ini tentu bertentangan
dengan perilaku konsumsi.
Ketiga, tidak bermewah-mewahan. Islam melarang umatnya
hidup dalam kemewahan.46 Kemewahan yang dimaksud menurut

46 Lihat, QS. Al-Waqi‟ah ayat 41-46

89
Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam dalam kenikmatan hidup
berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.
Islam mewajibkan setiap orang mambelanjakan harta
miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya
serta menafkahkannya di jalan Allah dengan sikap sederhana. Sikap
sederhana semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang sangat
minim, dengan cara menahan atau mengurangi pengeluarannya.
Kesederhanaan dalam konsumsi ini berlaku bagi siapa saja dan
untuk siapa saja. Pada prinsipnya setiap individu dalam syari‟at
Islam bebas untuk mengkonsumsi rizki yang baik dan yang telah
dihalalkan Allah, tapi dengan syarat tidak membahayakan diri,
keluarga atau pun masyarakat. Kebebasan yang diberikan Allah
bukan berarti dengan semauanya sendiri untuk membelanjakan
hartanya tanpa melihat batasan-batasan yang telah disebutkan di
depan, yang bisa mengakibatkan seseorang berhutang.
Dalam perspektif al-Qur‟an sikap bermewah-mewahan
dianggap sebagai musuh dalam setiap risalah, lawan setiap gerakan
perbaikan dan kemajuan. Kemewahan disini yaitu terlampau
berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana
hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari
berbagai jenis makanan dan minuman serta apa saja yang memadai
rumah dari perabot dan hiasan, seni dan patung serta berbagai
peralatan dari emas dan perak dan sejenisnya.
Kemewahan dalam kacapandang Islam merupakan salah satu
faktor utama dari kerusakan dan kehancuran bagi diri sendiri dan
masyarakat. Sementara itu standar kemewahan antara seorang
dengan orang lain sangat berbeda dan tergantung pada pendapatan
masing-masing. Dengan kata lain, standar kemewahan terkaitpaut
dengan pendapatan individu.
Dengan demikian, perilaku konsumsi, sesuai arahan Islam di
atas menjadi lebih terasa urgensinya pada kehidupan saat ini. Krisis
ekonomi yang belum juga reda bertemu dengan harga-harga yang
melambung tinggi, menuntut kita untuk selektif dalam berbelanja.
Islam tidak melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan
untuk mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di luar batas
kemampuan.
Persoalan kenapa Islam harus membatasi hak orang dalam
mengkonsumsi tentu saja menjadi buah pertanyaan bagi sebagian

90
orang yang belum mengenal tentang Islam. Seolah kehadiran Islam
hanya memberikan “batasan-batasan” dalam melakukan aktivitas
umatnya. Pertanyaan tersebut juga dimungkinkan muncul dan
mengemuka bagi kalangan umat Islam itu sendiri. Namun
demikian, pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu
dalam mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT
sepanjang pelaksanaannya tidak mengganggu kepentingan umum.
Pada dasarnya hal ini dapat menjaga stabilitas sosial serta
menjamin terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya
kuasa atas harta tidak bisa secara sewenang-wenang menimbun
bahan pangan.

c. Etika dalam bidang distribusi


Distribusi menjadi salah satu aspek dari pemasaran. Distribusi
juga dapat diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha
memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari
produsen kepada konsumen, sehingga penggunaannya sesuai dengan
apa yang diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam
menghendaki pendistribusian harus disandarkan pada dua sendi, yaitu
sendi kebebasan dan keadilan.47
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam bertindak
yang dibingkai oleh nilai–nilai agama dan keadilan. Sebagai bentuk
keseimbangan antara andividu dan masyarakat. Selain itu, Islam juga
mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dalam berbagai aspek. Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa keadilan merupakan inti semua ajaran
yang ada dalam Al-Qur‟an. Telah dinyatakan secara tegas bahwa al-
Qur‟an diwahyukan untuk membangun keadilan dan persamaan.
Bicara tentang keadilan dalam Islam, al-Maududi mengatakan bahwa
hanya Islam lah yang mampu menghadirkan sebuah sistem yang
realistik dan keadilan sosial yang sempurna, karena bersifat imperative
(bentuk perintah) dan yang berbentuk perlindungan.48
Kategori yang mengandung perintah dan rekomendasi yang
berkaitan dengan perilaku bisnis, pertama, hendaknya janji,
kesepakatan dan kotrak dipenuhi. Salah satu ajaran al-Qur‟an yang
paling penting dalam bidang ekonomi adalah masalah pemenuhan janji

47 Yusuf Al Qaradhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam,

Op.cit., h. 381
48 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Al Kausar, 2001), h.99

91
dan kontrak. Al-Qur‟an mengharuskan semua janji dan kontrak
kesepakatan dihormati dan semua kewajiban dipenuhi. Kedua, Jujur
dalam timbangan dan takaran (ukuran), ketiga, Kerja, Gaji dan
bayaran, keempat, Jujur tulus hati dan benar, dan kelima, efisien dan
kompeten.49

3. Upaya Membangun Kesadaran Bisnis beretika di Indonesia


Berbisnis merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan.
Islam sebagai agama yang bersifat komprehensif telah mengatur segala
aktifitas manusia (kegiatan beruamalah) dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satunya adalah etika dalam berbisnis secara Islam. Hal ini
penting untuk diketahui agar apa yang dilakukan tidak membawa
madhorat. Di dalam al-Qur‟an, bisnis disebut-sebut sebagai aktivitas
yang memiliki tujuan bersifat fisik (material) dan non fisik (immaterial).
Suatu bisnis dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuannya tersebut
telah dapat terpenuhi secara berimbang.
Dewasa ini, di era kehidupan modern, etika-etika dalam berbisnis
menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena semakin banyak pihak
yang kurang mengindahkannya. Ada sebagaian para pebisnis yang
berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan
lagi cara-cara yang dilakukan. Terutama bagi pebisnis yang memiliki
basic agama Islam, kegiatan bisnis yang dijalankan harus sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Karena bagi umat Islam kegiatan bisnis menjadi salah
satu cermin sikap dan prilaku seseorang dalam mengaplikasikan Islam
di dalam kehidupannya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kiranya sangat diperlukan
sebuah metode agar bisnis yang dilakukan mencerminkan nilai-nilai
keislaman. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan
iklim bisnis yang islami. Mewujudkan bisnis yang beretika berarti
menjalankan suatu usaha atau pekerjaan yang dapat menghasilkan
keuntungan sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh agama
Islam. Islam sebagai agama yang telah sempurna sudah barang tentu
telah memberikan rambu-rambu dalam melakukan kegiatan ekonomi
dan bisnis.

49 Yusuf Al Qaradhawi, Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam,

Op.cit., h. 381

92
Kegiatan bisnis sesungguhnya tidak terlepas dari etika
dikarenakan tiga alasan.50 Berkaitan dengan itu, Yusuf Al-Qaradawi
memberikan gambaran yang gamblang tentang bagaimana
membangun bisnis beretika. Dimulai dari proses produksi, konsumsi
sampai pada proses distribusi. Misalnya dalam bidang produksi
seorang hendaknya bekerja pada bidang yang dihalalkan, tidak
melampaui hal yang diharamkan oleh Allah, juga memelihara sumber
daya alamgar tetap terjaga keberlangsungannya. Dalam bidang
konsumsi, seorang muslim harus membelanjakan harta pada hal-hal
yang baik, tidak bakhik serta tidak kikir. Seorang muslim juga
hendaknya hidup sederhana dan menghindari kemubaziran.
Selanjutnya dalam mendistribusikan hasil produksi hendaknya seorang
muslim melandaskan kegiatannya pada nilai kebebasan yang dibingkai
dalam nilai keadilan.
Kadar ke-halal-an yang disyaratkan dalam berproduksi pada
hakikatnya mengandung makna seorang produsen selalu memberikan
manfaat positif kepada konsumen. Selain itu, produsen juga
mempunyai tanggungjawab untuk menyediakan produk yang aman
baik bagi jasmani maupun rohani konsumen.
Nilai-nilai di atas sesungguhnya bukanlah hal yang sulit untuk
diwujudkan, namun membutuhkan sebuah kemauan dan kemampuan
yang tinggi. Karena selama ini bisnis hanya dipahami sebagai usaha
yang dilakukan untuk mancari keuntungan sebanyak-banyaknya,
bahkan harus ditempuh dengan cara yang kotor dan tidak etis.
Sesungguhnya, pemahaman akan bisnis yang demikian secara tidak
langsung merusak substansi dari bisnis itu sendiri. Padahal bisnis
merupakan salah satu kegiatan mauamalah yang amat penting dalam
kehidupan manusia. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku bisnis maka
akan berimbas pada bisnis yang dilakukan.
Dilakukannya bisnis dengan tidak mengidahkan atau
memperhatikan etika oleh para pelakunya disebabkan oleh berbagai
kemungkinan. Kemungkinan itu diantaranya disebabkan sifat kealpaan
seseorang dalam mendalami, memahami dan mengetahui bagaimana
Islam mengajarkan cara berbisnis yang benar. Dengan demikian,

50 Pertama, bisnis bebas nilai, kedua, bisnis merupakan bagian dari sistem

sosial, ketiga, aplikasi etika bisnis identik dengan pengelolaan bisnis secara
professional. Lihat Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif dan Fungsional,
(Yogyakarta: Ekonomika Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 1998), h. 24-25

93
mereka berbisnis dengan caranya sendiri yang terpenting mendapat
keuntungan. Selain itu, muncul kemungkinan bahwa pada dasarnya di
mereka telah mengetahui, akan tetapi tidak mau melaksanakan karena
etika dipandang tidak akan membawa keuntungan yang besar.
Melihat fenomena yang telah berkembang di tengah-tengah
masyarakat, selama ini masih banyak masyarakat yang memahami,
memaknai dan mengaplikasikan makna bisnis yang tidak sesuai.
Kiranya sudah menjadi suatu kebutuhan tersendiri melakukan
rekonstruksi kesadaran baru bagi masyarakat tentang bisnis. Pada
dasarnya konsep bisnis yang beretika telah diajarkan di dalam kitab
suci umat Islam. Di dalam al-Qur‟an telah disebutkan bahwa bisnis
sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus immaterial.
Karenanya suatu bisnis itu dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuan
tersebut balance, yaitu pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
berjalan secara beriringan dan seimbang. Melalui pandangan kesatuan
bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu bisnis
akan lebih bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual
secara seimbang, tidak mengandung kebatilan, kerusakan dan
kezaliman.
Selanjutnya, selain merekontruksi pemahaman tentang bisnis,
maka yang patut dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan bisnis
beretika adalah suatu cara pandang baru dalam melakukan kajian-
kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih berpijak pada
paradigma pendekatan normatif sekaligus empirik induktif yang
mengedepankan penggalian dan pengembangan nilai-nilai, agar dapat
mengatasi perubahan dan pergeseran zaman dan globalisasi. Dengan
istilah lain, pengembangan ilmu pengetahuan modern harus
dikembangkan dalam pola pikir abductive pluralistic.
Penyebaran dan penegakan prinsip bisnis beretika merupakan
kewajiban setiap muslim. Dengan asumsi dasar bahwa kewajiban
menjalankan etika bisnis sama dengan kewajiban menjalankan shalat.
Namun sosialisasi ini belum optimal, sehingga sangat tergantung
kepada kesadaran para pelaku ekonomi sendiri.51
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar
keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga berorientasi kepada
prinsip-prinsip tauhid dan sikap ta’awun (menolong orang lain).

51 Said Agil Husin Munawar, Dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam,

(Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), h. 211

94
Dengan kata lain, berbisnis bukan mencari untung material semata,
tetapi harus berdasarkan atas kesadaran memberi kemudahan bagi
orang lain dengan menjual barang, karena Allah menyuruh kita untuk
saling tolong-menolong, sebagaimana firman-Nya:

             ...

      


Artinya:
“... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah :2)

Konsepsi seseorang atau masyarakat tentang sesuatu, lambat laun


akan melahirkan suatu kesadaran mengenai hal tersebut. Suatu
kesadaran lahir dari suatu pengetahuan atau wawasan dan proses
panjang perilaku yang dilakukan terus-menerus. Pandangan tentang
bisnis sebagai media usaha yang bersifat material untuk mencapai
tujuan maksimalisasi laba dan tidak ada bisnis kecuali untuk
keuntungan semata, bahwa bisnis bersifat material dan dilakukan
hanya untuk mencapai maksimalisasi keuntungan.
Dalam konteks perusahaan atau entitas, bisnis dipahami sebagai
suatu proses keseluruhan dari produksi yang mempunyai kedalaman
logika, bahwa bisnis dirumuskan sebagai memaksimumkan
keuntungan perusahaan dan meminimumkan biaya perusahaan.
Akibat dari kesadaran demikian maka, upaya meraih keuntungan
dilakukan dengan cara apapun. Walaupun cara yang digunakan
mengakibatkan kerugian pihak lain, tetapi bila menguntungkan bagi
pelaku bisnis atau perusahaannya, maka dianggap sebagai pilihan
bisnis. Adanya pemahaman baru mengenai bisnis dianggap mengada-
ada.
Dengan kenyataan itu, maka pengembangan etika bisnis harus
menghadapi situasi dan kondisi yang membutuhkan kedalaman logika
rasionalitas bisnis yang bersifat material dan karenanya telah
menimbulkan ketegangan dan kerugian-kerugian pada masyarakat.
Dan pada sisi lain berhadapan dengan kesadaran “common sence”
mengenai bisnis itu sendiri. Dengan demikian pada konteks ini, tugas

95
utama etika bisnis dipusatkan pada upaya mencari cara untuk
menyelaraskan kepentingan strategis suatu bisnis atau perusahaan
dengan tuntutan moralitas. Tetapi penyelerasaan di sini bukan berarti
hanya mencari posisi saling menguntungkan antara kedua tuntutan
tersebut, melainkan merekonstruksi pemahaman tentang bisnis dan
sekaligus mengimplementasikan bisnis sebagai media usaha atau
perusahaan yang bersifat etis. Etis dalam pengertian sesuai dengan
nilai-nilai bisnis pada satu sisi dan tidak bertentangan dengan nilai-
nilai kebatilan, kerusakan dan kezhaliman dalam bisnis pada sisi
lainnya.

Simpulan
Etika bisnis yang dikemukakan oleh Yusuf Al Qaradhawi meliputi 3
bidang; pertama, bidang produksi, seorang hendaknya bekerja pada bidang
yang dihalalkan, tidak melampaui hal yang diharamkan oleh Allah, juga
memelihara sumber daya alam agar tetap terjaga keberlangsungannya.
Kedua, dalam bidang konsumsi, seorang muslim harus membelanjakan
harta pada hal-hal yang baik, tidak bakhik serta tidak kikir. Seorang
muslim juga hendaknya hidup sederhana dan menghindari kemubaziran.
Ketiga, dalam mendistribusikan hasil produksi hendaknya seorang muslim
melandaskan kegiatannya pada nilai kebebasan yang dibingkai dalam nilai
keadilan.
Mewujudkan bisnis yang beretika berarti menjalankan suatu usaha
atau pekerjaan yang dapat menghasilkan keuntungan sesuai dengan
hukum yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Upaya tersebut dapat
dilakukan dengan cara; pertama melakukan suatu rekonstruksi kesadaran
baru tentang bisnis. Kedua, diperlukan suatu cara pandang baru dalam
melakukan kajian-kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih
berpijak pada paradigma pendekatan normatif sekaligus empirik induktif
yang mengedepankan penggalian dan pengembangan nilai-nilai, agar
dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat.

Daftar Pustaka
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van
Hoeve, 2001)
Afzalurrahman. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. (Jakarta : Yayasan
Swarna Bhumy, 1997)
Anonim, Islam Ekstrem, www..salafi/Makalah Bedah Buku Yusuf Al
Qardhawi.

96
Brown dan petrello, yang kutip oleh Buchari Alma, pengantar Bisnis,
(bandung : Alvabet, 1997)
Dumairy, Perekonomian di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1996)
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19,
(Yogyakarta: Kanisius, 1999)
M.Syafi‟I Antonio.Bank Syariah Teori dan Praktek. (Jakarta : Gema Insani
Press, 2003)\
Mubyarto, Penerapan Ekonomi Islam di Indonesia, www.ekonomirakyat.com
Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif dan Fungsional, (Yogyakarta:
Ekonomika Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 1998)
Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif dan Fungsional, (Yogyakarta:
Ekonomika Fak. Ekonomi UII Yogyakarta, 1998)
Peter Pratley, The Essence Of Business Ethisc, (Yogyakarta: Andi, 1997)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
R. Sims, Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants Fall,(
C.T.:Greenwood Press, 2003)
Said Agil Husin Munawar, Dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam,
(Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002)
Sulaiman bin Shalih al Khuraisyi, Pemikiran DR.Yusuf Al Qaradhawi dalam
Timbangan, (Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi‟I, 2003)
Suyadi Prawirosentono, Pengantar Bisnis Modern, (Jakarta: Bumi Aksara,
2002)
UU RI Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Yusuf Al Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997)
_____, al-Ijtihad al-Mu’asir, Dar at-Tauzi‟ wa an-Nasy al-Islamiyah, 1994.
_____, Al-Qur’an Berbicara Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gema Insani
Press, 1998.
_____, Daurul Qiyam wal Akhlak Fil Iqtishodil Islami, Beirut: Ar Risalah, 1996.
_____, Hukum Zakat, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004.
_____, Halal dan Haram Dalam Islam, Terj. Muammal Hamidy, Surabaya:
Bina Ilmu, 2003

97

You might also like