Resume Materi Auditing

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 25

FORMULASI PENGATURAN BEA METERAI PADA TRANSAKSI E-

COMMERCE DI INDONESIA

Ahmad Alaudin1

Program Studi Magister Kenotariatan


Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
JL. MT. Haryono 169 Malang 65145, Telp (0341) 553898 Fax (0341) 566505
Email: [email protected]

Abstract
This journal discusses the regulation concerning the stamp duty is still considered changing
times at the moment, especially in the Internet field. Legislation governing stamp duty has not
been set on the granting of a seal on e-commerce transactions (online transactions). The purpose
of this paper is to formulate the stamp duty regulation on online transactions in Indonesia
method used is normative. Yet the organized the stamp duty regulation on online transactions
will impact the potential loss of revenue to the state treasury from the tax side, especially stamp
duty. In addition, if the stamp duty rules for online transactions can help prevent fraud in online
transactions in other words, will protect the interests of consumers, especially in online
transactions. So the government and the House of Representatives necessary to reformulate laws
newer stamp duties so as to encompass all online transactions are now commonly used.
Regarding the imposition of stamp duty on transactions online may use the electronic seal or
using a QR Code that can be the seal. It is also viewed from the UU ITE acknowledge the
evidence that comes from the Internet or electronic documents.
Key words: formulation, stamp duty, e-commerce (online transactions), electronic stamp

Abstrak
Jurnal ini membahas peraturan yang mengatur mengenai Bea Meterai dinilai masih belum
mengikuti perkembangan jaman pada saat ini, terutama pada bidang internet. Undang-undang
yang mengatur Bea Meterai belum mengatur mengenai pemberian meterai pada transaksi e-
commerce (transaksi online). Tujuan dari penulisan ini adalah memformulasikan pengaturan bea
meterai pada transaksi online di Indonesia Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif. Belum diaturnya pengaturan bea meterai pada transaksi online akan berdampak
hilangnya potensi pemasukan untuk kas negara dari sisi pajak khususnya bea meterai. Selain itu
apabila peraturan bea meterai untuk transaksi online dapat membantu mencegah terjadinya
penipuan dalam transaksi online dengan kata lain akan melindungi kepentingan konsumen
khususnya dalam transaksi online. Sehingga pemerintah beserta DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) perlu merumuskan kembali undang-undang Bea Meterai yang lebih baru sehingga dapat
mencakup semua transaksi online yang sekarang sering digunakan. Mengenai pengenaan bea
meterai terhadap transaksi online bisa saja menggunakan meterai elektronik ataupun

1
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

1
2

menggunakan QR Code yang dapat menjadi meterai. Hal ini juga melihat dari UU ITE yang
mengakui adanya bukti yang berasal dari internet atau dokumen elektronik.
Kata kunci: formulasi pengaturan, bea meterai, e-commerce (transaksi online), meterai
elektronik
Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang
lain. Sehingga manusia tidak bisa hidup sendiri dalam mempertahankan hidupnya. Aristoteles
mengungkapkan bahwa manusia merupakan zoon politicon yang berarti manusia sebagai
makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan memiliki hubungan yang satu dengan yang lain2.
Sehingga untuk mempertahankan hidup manusia harus saling bekerja sama dan saling
menguntungkan antara yang satu dengan yang lain. Kita bisa dengan mudah menemukan orang
yang mengadakan berbagai jenis perjanjian.

Perjanjian inilah akan timbul suatu hubungan antara dua orang atau lebih tersebut yang
dinamakan perikatan.3 Misalnya saja perjanjian jual beli, tukar-menukar, pemberian kuasa,
penitipan barang, perjanjian kerja dan masih banyak lagi perjanjian yang lain. Namun sebagai
pelaku perjanjian, apakah mereka yang membuat perjanjian benar-benar mengetahui mengenai
perjanjian yang dibuat itu. Dalam melakukan perjanjian memiliki aturan hukum, apabila aturan
hukum ada maka konsekuensi dari perjanjian yang dibuat pun akan ada, bahkan harus dipikirkan
juga mengenai bagaimana bila nanti perjanjian tersebut menimbulkan masalah. Hal itu memang
harus dipikirkan sebelum membuat sebuah perjanjian dengan pihak lain.

Orang melakukan suatu perbuatan hukum tapi belum mengetahui aturan yang
mengaturnya. Tidak sedikit pula orang membuat perjanjian hanya memuat hal-hal yang pokok
saja. Memang pada dasarnya Undang-undang tidak melarang hal ini, namun ketika perjanjian itu
dijalankan dan ternyata terdapat masalah, ketentuan kemudian pihak-pihak yang melakukan

2
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 49.
3
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. Perhubungan dua pihak itu, adalah suatu perhubungan hukum. Sedangkan suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seoranng lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang,
perikatan itu paling banyak ditimbulkan oleh perjanjian, tetapi ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan
sebuah perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir
dari perjanjian dan ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:
Intermasa, 1990), hlm. 1.
3

perjanjian memikirkan bagaimana aturan hukumnya untuk menyelesaikan masalah yang timbul.
Keadaan itu, dengan berbagai persoalan hukum yang muncul baru disadari merupakan suatau
masalah hukum ketika timbul konflik.

Munculnya akan kesadaran pemahaman hukum setelah timbul persoalan hukum bukan
merupakan gejala yang baru pada akhir-akhir ini, tetapi merupakan hal yang umum terjadi di
negara yang sedang membangun atau di negara yang tingkat kesadaran hukumnya masih
rendah4. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka dapat diharapkan perbuatan hukum yang
dilakukan orang, termasuk ketika mengadakan perjanjian, akan dapat meminimalisir akan
timbulnya permasalahan hukum bahkan tidak menimbulkan masalah hukum. Kepastian hukum
akan didapat oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian yang menjadi subjeknya. Hal ini
merupakan salah satu aspek penting dalam suatu perjanjian guna menjamin hak dan kewajiban
para pihak yang menjadi subjek perjanjian. Dengan demikian dengan adanya perjanjian, apa
yang disepakati para pihak dalam perjanjian yang mereka buat akan mendapatkan kepastian
hukum. Dalam hal seperti itu maka fungsi perjanjian itu sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan para pihak akan dirasakan sebenar-benarnya karena kepentingan mereka terjamin.

Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum. Sehingga setiap masyarakat


Indonesia harus taat dengan hukum guna tercapainya keamanan dan ketertiban dalam berbangsa
dan bernegara. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
yang memberikan hak dan kewajiban sama kepada semua warga negara untuk berberan serta
dalam pembangunan Nasional5. Masyarakat Indonesia merupakan subjek hukum. Subjek hukum
tentunya manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan
hukum. Salah satunya pada era globalisasi ini. Masyarakat Indonesia dituntut untuk selalu
memberikan inovasi-inovasi dalam setiap kegiatannya. Pada saat ini teknologi sangat
berkembang pesat di Indonesia. Terutama untuk teknologi internet, internet ini sangat memegang
peranan penting dalam kemajuan sebuah negara, salah satunya Indonesia. Peranan penting
internet ini sudah memasuki semua bidang yang ada, diantaranya hiburan, pendidikan,

4
F.X Suhardana, Contract Drafting, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2008), hlm. 3.
5
Eugenea Liliawati Moeljono, Tanya-Jawab Bea Meterai, (Jakarta: Harvalindo, 1999), hlm. 31.
4

kesehatan, perikanan, perdagangan dan masih banyak bidang-bidang lainnya yang dipengaruhi
oleh kemajuan teknologi internet.

Khususnya bidang perdagangan, saat ini memiliki peranan yang sangat penting dalam
memajukan bidang perdagangan ini. Kemajuan di bidang teknologi internet ini mendukung
perkembangan transaksi perdagangan yang ada di Indonesia. Internet semakin memanjakan
pelaku bisnis dalam memperoleh informasi apapun untuk melakukan aktivitas bisnisnya.
Kemajuan dari aktivitas konvensional menjadi sistem online ini sangat membantu pelaku-pelaku
bisnis untuk mengembangkan usahanya baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini
menjadi suatu hal yang positif melihat negara Indonesia merupakan negara yang berkembang
sehingga membutuhkan sarana dan prasana untuk mengembangkan potensi dalam negeri, salah
satunya dengan cara membantu pelaku-pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya. Salah
satunya dengan adanya jual beli online yang semakin memanjakan pembeli yang dipandang
sebagai pilihan yang tepat untuk transaksi berbelanja pada saat ini. Hal ini dikarenakan proses
yang mudah tanpa perlu bertemu ataupun harus keluar rumah untuk mendapatkan suatu barang
yang diinginkan ke tempat perbelanjaan.

Namun seperti yang sering kita dengar, sebagai Warga Negara Indonesia kita harus
membayar pajak. Begitu pula dengan transaksi e-commerce. Sudah sewajarnya transaksi e-
commerce dikenakan pajak, salah satunya dengan pengenaan materai pada transaksi ini. Pada
dasarnya pengenaan materai ini memang bukan merupakan salah satu sarat sahnya perjanjian.
Namun pemateraian pada perjanjian adalah penting agar perjanjian tersebut bisa digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UUBM)
tidak mengatur mengenai pengenaan materai pada transaksi e-commerce. Hal ini memang sering
dipandang sebelah mata oleh banyak orang, namun akan terasa sangat penting ketika terjadi
suatu kasus penipuan dimana pembeli atau penjual melalui transaksi e-commerce. Untuk
memberikan bukti yang kuat sebaiknya ada pernyataan yang dapat dicetak oleh kedua belah
pihak yang telah dibubuhi materai, sehingga para pihak sendiri merasa aman dalam melakukan
transaksi. UUBM tidak mengatur pemberian materai kepada transaksi e-commerce, hal ini
menyebabkan kekosongan hukum dalam pemberian materai pada transaksi e-commerce. Pasal 2
5

UUBM menyatakan bahwa yang dikenakan materai salah satu obyeknya adalah Surat perjanjian
dan lainnya yang dibuat bertujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan,
kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Dalam pasal ini memang tidak mengatur
mengenai transaksi e-commerce yang ada di Indonesia.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang
selanjutnya akan disebut dengan UU ITE). Transaksi e-commerce harus dikenakan Bea Meterai.
Hal ini berdasarkan pasal 5 UU ITE yang pada intinya menjelaskan mengenai Informasi
Elektronik dan atau dokumen elektronik hasil cetaknya merupakan dokumen yang sah. Hal ini
pada dasarnya berkesinambungan dengan UUBM yang mengatur perjanjian jual beli juga
didukung dengan aturan UU ITE sehingga transaksi e-commerce perlu dikenai dengan Bea
Meterai seperti yang diatur di dalam UUBM.

Adanya peraturan Bea Meterai pada transaksi e-commerce diharapkan dapat mencegah
perbuatan melawan hukum yang sekarang marak terjadi. Tidak sedikit korban dari penipuan
akibat belanja online yang ada di Indonesia. Contoh saja, pembeli sudah melakukan pembayaran
melalui bank, namun barang yang dipesan tidak sesuai dengan yang dikirimkan, bahkan barang
yang telah dipesan tidak datang atau tidak dikirim oleh pihak penjual kepada pihak pembeli. Hal
ini menjadi salah satu perbuatan melawan hukum. Adanya Bea Meterai pada transaksi online
diharapkan dapat mengurangi kejahatan penipuan seperti contoh yang dijelaskan di atas. Selain
itu, pengenaan Bea Meterai pada transaksi e-commerce guna menjalankan ketentuan-ketentuan
perpajakan yang mengatur perjanjian jual beli, terutama jual beli yang objeknya di atas
Rp.250.000,- (Dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Pemberian Bea Meterai terhadap transaksi e-commerce ini hanya diberikan pada transaksi
yang ada di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa fokus studi yang dilakukan oleh penulis
dikhususkan transaksi elektronik atau e-commerce hanya yang terjadi atau yang pelaku-pelaku
transaksi baik itu pembeli maupun penjual yang ada di dalam yuridiksi Negara Indonesia.
Sehingga pengaturan Bea Meterai yang dikenakan pada transaksi hanya di Indonesia saja.
penulis tidak memfokuskan pada transaksi elektronik/e-commerce yang terjadi lintas negara.

Pada tahun 2013 pengguna internet yang berbelanja menggunakan online sekitar
4,3 juta jiwa, maka pemerintah dapat pemasukan yang berasal dari Bea Meterai 6000 saja sekitar
6

lebih dari Rp.25 miliar. Data yang diterima pada tahun 2015 pengguna internet yang melakukan
belanja secara online meningkat menjadi 7,4 juta jiwa, hal ini akan memberikan pemasukan
terhadap transaksi online tersebut sekitar lebih dari Rp. 40 miliar. Pada tahun 2016, diperkirakan
akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan, sebanyak 8,4 juta jiwa yang melakukan
transaksi elektronik, apabila dikalkulasi maka pemerntah akan mendapatkan pemasukan dari
sektor pajak yang berasal dari Bea Meterai sebesar lebih dari Rp. 50 miliar. Kesemuanya ini
diasumsikan apabila semua pengguna internet dikenakan materai 6000 dalam setiap
transaksinya.6

Pada tahun 2013 pengguna internet yang berbelanja menggunakan online sekitar 4,3 juta
jiwa, maka pemerintah dapat pemasukan yang berasal dari Bea Meterai 6000 saja sekitar lebih
dari Rp.25 miliar. Data yang diterima pada tahun 2015 pengguna internet yang melakukan
belanja secara online meningkat menjadi 7,4 juta jiwa, hal ini akan memberikan pemasukan
terhadap transaksi online tersebut sekitar lebih dari Rp. 40 miliar. Pada tahun 2016, diperkirakan
akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan, sebanyak 8,4 juta jiwa yang melakukan
transaksi elektronik, apabila dikalkulasi maka pemerntah akan mendapatkan pemasukan dari
sektor pajak yang berasal dari Bea Meterai sebesar lebih dari Rp. 50 miliar. Kesemuanya ini
diasumsikan apabila semua pengguna internet dikenakan materai 6000 dalam setiap
transaksinya. Latar belakang yang telah di jelaskan oleh penulis ada, menjadi dasar perlunya
dilakukan pengkajian mendalam secara normatif tentang masalah “Formulasi Pengaturan Bea
Meterai pada Transaksi E-commerce di Indonesia”

Berdasarkan Latar belakang yang telah di jelaskan sebelumnya, menjadi dasar perlunya
dilakukan pengkajian mendalam secara normatif tentang masalah (1) Mengapa pengaturan Bea
Meterai tidak mengatur transaksi e-commerce? dan (2) Bagaimana formulasi pengaturan Bea
Meterai pada transaksi e-commerce? Metode Penelitian, yang digunmakan oleh penulis yaitu,
Jenis Peletian, yaitu penelitian hukum adalah suatu proses untuk menentukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi.7 Jenis penelitian yang akan digunakan dalam rencana penelitian ini adalah penelitian

6
Elfa Putri Setyanti, “Transaksi e-commerce Indonesia Tahun Depan Diprediksi capai $4,5 miliar”,
https://id.techinasia.com/transaksi-ecommerce-indonesia, diakses 9 April 2016.
7
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 35.
7

hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang menitik beratkan terhadap suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.8 Terkait penelitian ini, sisi normatif yang akan dikaji yaitu adanya kekosongan
hukum pada UUBM yang tidak mengatur mengenai bea meterai pada transaksi e-commerce di
Indonesia, sedangkan perkembangan jual beli elektronik ini terus berkembang, hal ini menuntut
pemerintah untuk memberikan pengaturan yang lebih lengkap, salah satunya dengan
memformulasikan pengaturan Bea Meterai pada jual beli online. Studi Kepustakaan untuk
mendukung pembahasan dilakukan studi kepustakaan, yang dilakukan dengan menggunakan
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti, untuk
lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut: Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat,
terdiri dari: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 (selanjutnya disebut dengan UU ITE),
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313 tahun 1985 (selanjutnya di sebut dengan
UUBM), Peraturan Pemerintah tahun 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 51 (selanjutnya disebut dengan UU nomor 24 tahun
2000). Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan
terhadap bahan hukum primer, meliputi buku/referensi dan jurnal hukum, juga pendapat dan
doktrin para sarjana yang terkait dengan permasalahan penelitian ini.

Pembahasan

Pada dasarnya hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, namun bukan berarti
tidak ada hubungannya dengan hukum perdata. Hukum perdata, yaitu bagian dari keseluruhan
hukum yang mengatur hubungan antara orang- orang pribadi. Hal ini dapat dimengerti karena
sebagian besar hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan atas kejadian-kejadian,
keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam ligkungan perdata,
seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindaan hak karena warisan, dan
8
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing,
2007), hlm. 57.
8

sebagainya. Beberapa sarjana mengatakan bahwa bukan bukan hal itu yang menyebabkan
timbulnya hubungan yang eratantara hukum pajak dan hukum perdata, melainkan karena suatu
ajaran bahwa huku perdata harus dipandang sebagai hukum yang meliputi segala-galanya,
kecuali jika hukum publik telah menetapkan peraturan yang menyimpang terhadap hal tersebut.

Menurut Prof. Mr. W. F. Prins, guru besar pada Universitas Indonesia dalam ilmu
hukum pajak, mengatakan bahwa hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak
dipergunakan istilah-istilah hukum perdata dalam perundang-undangan pajak, walaupun sebagai
prinsip harus dipegang teguh bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh hukum perdata tidak
selalu dianut dalam hukum pajak.9 Hubungan erat dengan hukum perdata dapat pula disebabkan
oleh kenyataan bahwa bilamana diperlukan suatu kepuasan mengenai persoalan yang tidak
dijelaskan dalam undang-undangnya, dalam hal demikian seringkali harus dipertimbangkan
masak-masak, interpretasi yang manakah yang harus dipergunakan, yang yuridis ataukah yang
menurut kenyataannya.

Perkembangan teknologi informasi disadari telah memberikan dampak positif terhadap


perkembangan hukum bisnis, terutama sejak dikembangkannya internet, yaitu suatu koneksi
antar jaringan komputer, yang dimanfaatkan untuk mendukung aktivitas bisnis, dengan
kontribusinya terhadap efisiensi, cepat mudah dan praktis. Internet telah memberikan
kemudahandalam berkomunikasi secara lokal, regional, nasional maupun internasional tanpa
terhalangi geografisantar negara, termasuk komunikasi bisnissecara elektronik yang kemudian
dituangkan dalam kontrak elektronik.

Kontrak elektronik merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak melalui sistem
elektronik, hal ini seperti yang tercantum pada pasal 1 angka 17 UU ITE. Secara prinsipil
kontrak elektronik merupakan kontrak pada umumnya. Perbedaannya adalah kontrak elektronik
menggunakan sistem elektronik sedangkan kontrak biasa tidak menggunakan sistem elektronik.
Sedangkan yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah serangkanaian perangkat yang
berguna mempersiapkan, mengumpulkan, mengurus dan menyebarkan informasi elektronik.
Sistem elektronk ini digunakan sebagai media oleh para pihak untuk membuat kontrak

9
Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Eresco, 1991), hlm. 11.
9

elektronik. Kontrak elektronik ini merupakan kontrak yang pembutanannya diwujudkan melalui
perbuatan hukum riil yang berupa transaksi elektronik. Transaksi elektronik ini merupakan
perbuatan hukum yang menggunakan media elektronik. Penyelenggaraan transaksi elektronik
dapat dilakukan dalam lingkup hukum publik maupun hukum privat. Hal ini memberikan
peluang bagi pemanfaatan teknologi informasi oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha,
atau masyarakat yang harus dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif dan
efisien agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Beberapa pihak
yang terlibat dalam kontrak elektronik yang didasarkan atas transaksi bisnis secara elektronik
atau e-commerce, yaitu:10 (1)Penjual (merchant), (2) Pembeli (buyer), (3) Certification authority
(CA), (4) Account issuer (Penerbit rekening, contoh:kartu kredit), (5) Jaringan pembayaran,
contoh: visa dan master card, dan (6) Internet Servive Provider

E-commerce dipahami oleh Mariam Darus Badrulzaman sebagai kontrak dagang


elektronik yang terletak dalam bidang hukum perdata, khususnya hukum kontrak. Kontrak
dagang elektronik adalah kontrak dagang yang mempergunakan elektronik dan mempunyai
tempat di dunia maya. Adapun para pihak dalam kontrak dagang elektronik menurut Mariam
Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut: Penyedia jasa internet (Internet Service Provider)
yaitu pemiliki ruang elektronik yang disebut dengan website. Untuk mengenmangkan saluran
elektronik ini, ISP dipasarkan ke masyarakat untuk mengakses internetdengan menggunakan
usaha pengembang jasa internet dan Pengembang, yaitu pelaku bisnis yang mengadakan e-
kontrak dengan ISP, yang harus online selama 24 jamagar dapat dikunjungi oleh para calon
konsumen.

Mariam juga menjelaskan mengenai ciri-ciri kontrak dagang elektronik sebagai berikut:11
(1) Cara Berkomunikasi, dalam kebanyak kontrak dengan ISP terdapat klausula bagi pelanggan
untuk tidak menggunakan situs yang melanggar ketertiban umum, melanggar hak milik
intelektual, mengadakan pengumuman yang menyesatkan, menyebarkan dokumen yang
terlarang, bertindak melawan peraturan yang ada, (2) Garansi dan Vrijwaring, dalam kontrak

10
Yahya Ahmad Zein, Kontrak Elektronik & Penyelsaiaan Sengketa Bisnis E-Commerce dalam Transaksi
Nasional dan Internasinal, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 85-86.
11
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Adya Bakti, 2001),
hlm. 285-286.
10

harus dikatakan jaminan oleh pengembang website bahwa hasil karyana bebas dari unsur
penjiplakan, memperhatikan hak milik intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang
ada, (3) Biaya, para pihak dapat bersepakat bahwa kewajiban umtuk membayar ganti rugi
dilakukan dengan pembagian risiko, (4) Pembayaran, harga dan cara pembayaran sekaligus,
kredit, atau berdasarkan jumlah tertentu dari tugas yang telah diselesaikan, (5) Kerahasiaan,
pengembang terikat untuk menjaga kerahasiaan segala informasi yang terdapat di dalam kontrak,
(6) Kaitan dengan Hak Milik Intelektual, kepemilikan dari perangkat lunak untuk
menciptakan dan mendesain website terkait dengan peraturan hak milik intelektual, khususnya
hak cipta dan merek, (7) Website, mempunyai kemampuan untuk melampaui batas-batas
yurisdiksi nasional. Oleh karena itu, kontrak-kontrak internasional yang terjadi di dalam e-
commerce harus menganduung pilihan hukum, dan (8) Perjanjian Campuran, mengandung
beberapa unsur perjanjian yang dikenal oleh KUH Perdata yaitu: jual beli, sewa dan lisensi.

Pasal 1338 KUH Perdata memuat ketentuan imperatif bahwa suatu kontrak yang sah
menurut hukum mengikat para pihak yang membuat kontrak tersebutdengan syarat, prestasoi
dalam kontrak tidak bertantangan dengan aturan hukum positif, ketertiban umum dan kesusilaan.
Sehubungan dengan syarat-syarat sahnya suatu kontrak menurut pasal 1320 KUH Perdata dan
keberlakukannya terhadap kontrak elektronik. Kespakatan kontrak dibentuk olej dua unsur,
yaitu: (1) Penawaran, yang diartikan sebagai pernytaan kehendak yang mengandung usul untruk
mengadakan kontrak yang mencakup essensialia (unsur yang harus ada) dalam kontrak yang
akan dibuat dan (2) Penerimaan, yaitu pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.

Kontrak elektronik didasarkan atas transaksi bisnis secara elektronik atau e-commerce,
pihak yang memberikan penawaran adalah pihak penjual yang dalam hal ini menawarkan
barang-barang dagangannya melalui website. Jika memang pembeli tertarik untuk membeli suatu
barang, maka merchant akan mengirimkan e-mail atau melalui telpon untuk mengkonfirmasi
pesanan tersebut pada costumer.12 Apabila kalusula-klausula yang ditawarkan oleh penjual dari
kontrak elektronik tidak mencantumkan dalam persyaratan orang tertentu yang tidak dapat
melakukan transaksi secara elektronikmaka tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan buku III
KUH Perdata. Namun, hukum kontrak pada dasarnya tergolong kedalam hukum mengarut,

12
Zein, op.cit., hlm. 56.
11

sehingga apabila para pihak tidak mengatur secara khusus dalam kontrak, maka kembali kepada
lex generalis, dalam hal ini ketentuan-ketentuan buku III KUH Perdata.13

Dalam kontrak elektronik yang didasarkan atas transaksi bisnis secara elektronik atau e-
commerce, transaksi yang terjadinya biasanya dilakukan dalam suatu kontrak baku. Oleh karena
itu, pihak penjual telah menyiapkan syarat-syarat baku yang tercantum dalam formulir kontrak
(web contract) dan kemudian ditawarkan kepada pihak lain dalam hal ini calon pembeli untuk
disetujui. Kontrak baku ini dalam dunia bisnis sering dilakukan. Namun sifat dari kontrak ini
hampir tidak adanya suatu negosiasi dalam perumusan klausula-klausula kontraknya.14

Perkembangan teknologi informasi yang membawa dampak positifbagi aktivitas bisnis,


juga menimbulkan dampak negatifberupa pelanggaran dan kejahatan yang didorong oleh pikiran
pihak-pihak dengan pikiran yang tidak baik mencari keuntungan dengan cara melawan hukum
atau tidak sah. John Naisbitt, telah memprediksi bahwa telekomunikasi akan melengkapi
infrastuktur setiap industri dan perusahaan yang bersaing di pasar di dunia. Bisnis teknologi
informasi akan berkembang berlipat gandake arah interkonektivitas global yang di dalamnya
teknologi informasi dikombinasikan dengan pemanfaatannya dengan telepon, televisi, komputer,
dan konsumen elektronik menjadi kekuatan global, namun jika tidak hati-hati pengaruhnya akan
menciptakan kekacauan.15 Sehubungan dengan potensi timbulnya pelanggaran dan kejahatan
yang didorong oleh pikiran pihak-pihak dengan itikad buruk untuk mencari keuntungan secara
melawan hukum tidak sah, maka diperlukan sistem pengamanan dan pembuktian hukum kontrak
elektronik, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaannya.

Sistem pengamanan komunikasi elektronik (yang dilakukan dalam rangka perancangan


dan pelaksanaan kontrak elektronik) harus mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan pengamanan
yang berkaitan dengan aspek-aspek, sebagai berikut:16 (1) Confidentiality, menyangkut
kerahasiaan dan perlindungan terhadap data atau informasi dari pihak yang tidak berwenang,
seperti para hackers, yang melakukan intersepsi atau gangguan selama berlangsungnya transmisi

13
C. Maya Indah, “Aspek Perjanjian Electronic Commerce dan Implikasi pada Hukum Pembuktian di
Indonesia”, Jurnal Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum Diponegoro, Jilid 39, No. 2, (Juni 2010): 178.
14
Ibid., hlm. 179.
15
John Naisbitt, Global Paradox, (New York: William Morrow and Company, 1994), p. 53.
16
Kamlesh K. Bajaj & Debjani Nag, E-Commerce: The Cutting Edge Of Business, (New Delhi:
TatMcGraw-Hill Publishing Limited, 2000), hlm. 198.
12

melalui jaringan komunikasi. Caranya isi dari data informasi itu ditransformasikan sedemikian
rupa, sehingga tidak dapat dipahami oleh siapapun yang tidak mengetahui prosedurdan proses
tranformasi itu. Untuk e-commerce confidentiality sangat penting untuk melindungi, misalnya,
data keuangan perusahaan dan berbagai jenis informasi rahasia lainnya, (2) Integrity,
menyangkut perlindungan terhadap data dari usaha memodifikasi data itu oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab, baik selama data itu disimpanatau selama data itu dikirim kepada pihak
lain. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu mekanisme yang dapat memastikan otentikasi atas
pembuatan salinan dari pesan tersebut, yaitu otentikasi yang menerangkan bahwa salinan itu
adalah sesuai dengan aslinya, (3) Authorization, menyangkut pengawasan terhadap akses kepada
informasi tertentu, dengan cara membatasi perbuatan oleh pihak-pihak yang tidak
berwenanguntuk dapat berbuat sesuatu di dalam lingkungan jaringan informasi itu, yang
mencakup pembatasan yang mencakup dalam hal-hal: memasukkan data/informasi, membaca
data/informasi, memodifikasi, menambah atau menghapus data/informasi, mengekspor atau
mengimpor data/informasi, serta mencetak data/informasi tersebut, (4) Avaibality, menyangkut
informasi yang disimpan dan ditransmisikan melalui jaringan komunikasi yang harus tersedia
sewaktu-waktu apabila diperlukan, guna mencegah timbulnya sebab-sebab yang dapat
menghalangi tersedianya informasi yang diperlukan itu. Misalanya kesalahan jaringan, listrik
mati, kesalahan operasional, virus, dalan lain-lain, (5) Authenticity, menyangkut kemampuan
seseorang, organisasi, atau komputer untuk membuktikan identitas dari pemilik yang sebenarnya
dari informasi tersebut. Jika suatu pesan diterima, maka penerima harus dapat memverifikasi
pesan itu benar-benar dikirmkan oleh orang atau pihak yang sebenarnya, (6) Non-repudation of
origin atau non-repudiability, menyangkut perlindungan terhadap pihsk ysng terlibat dalam suatu
transaksi atau kegiatan komunikasi yang kemudian hari pihak tersebut menyanggah terjadinya
transaksi tersebut. Sistem ini harus dapat membuktikan kepada para pihak ketiga yang
independen terhadap orisinalitas dan mengenai pengiriman data yang dipersoalkan itu, dan (8)
Audiability, menyangkut data yang harus dicatat sedemikian rupa bahwa terhadap data itu semua
syarat confidentiality dan integrity yang diperlukan telah terpenuhi, yaitu pengiriman data
tersebut telah dienkripsi oleh pengirimnya dan telah dideskripsi oleh penerimanya sebagaimana
mestinya.
13

Verifikasi dan otentikasi kontrak elektronik sangat penting tidak hanya dalam rangka
pengamanan, tetapi juga dalam rangka pembuktian hukum kontrak elektronik. Kontrak
elektronik yang didasarkan atas transaksi bisnis secara elektronik atau e-commerce berbeda
dengan kontrak pada umumnya, karena konrak elektronik menggunakan sistem elektronik atau
sebagai media elektronik sebagai media pembuatannya, sehingga dokumen-dokumen yang
digunakan bukan menggunakan dokumen kertas sebagaimana kontrak pada umumnya,
melainkan dokumen elektronik, yang sampai bukti dokumennya dicetak, bukti dari suatu
komuter mudah sekalimenghilang, mudah diubah tanpa dapat dilacak kembali, tidak berwujud
dan sulit dibaca. Jadi sumber atau otentifikasi dari bukti yang terkai dengan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang diterima oleh suatu sistem elektronik sulit dipastikan
mengenai otentikasinya. Oleh karena itu diperlukan aturan hukum positif yang mengatur alat dan
mekanismenya verifikasi dan otentikasi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam
sistem elektronik dalam rangka pembuktian hukum kontrak elektronik yang didasarkan atas
transaksi bisnis secara elektronik atau e-commerce.

Hukum pembuktian dalam perkara perdata, mencakup: pertama, hukum pembuktian


materiil yang mengatur pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan dan kekuatan
pembuktian; dan kedua, hukum pembuktian formal yang mengatur cara mengadakan pembuktian
hukum yang memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara, guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Tujuan pembuktian hukum
adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitif, obyektif, pasti dan tidak meragukan
yang mempunyai akibat hukum.17 Hukum pembuktian dalam perkara perdata, yang timbul dari
kontrak elektronik (wanprestasi atau perbuatan melawan hukum), mencakup perbuat hukum
materiil dan mencakup hukum perbuatan formil, diatur secara khusus di dalam UU ITE.

A. Dasar Pertimbangan Peraturan Bea Meterai Tidak Mengatur Transaksi E-commerce di


Indonesia

Melihat perkembangan yang sangat cepat dari pertumbuhan e-commerce di dunia


termasuk di Indonesia, maka diperlukan suatu strategi yang efektif bagi otoritas perpajakan

17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 135-136.
14

dalam menyikapinya. Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan yang
sangat pesat ini harus tetap dijaga agar tidak terjadi distorsi sebagai akibat kebijakan perpajakan.
Selama ini, aspek perpajakan dalam e-commerce telah menjadi sorotan otoritas perpajakan di
dunia, terutama apakah harus ada pengenaan pajak baru terhadap transaksi ini dan juga
bagaimana menyelaraskan peraturan perpajakan yang ada dengan perkembangan ecommerce.

Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Co-
operation and Development) sepakat bahwa setiap perubahan pada aspek perpajakan bagi
ecommerce agar dilakukan melalui kerja sama dan perjanjian internasional dengan berdasarkan
pada prinsip dasar perpajakan. Lima prinsip dasar perpajakan tersebut adalah: neutrality,
efficiency, certainty and simplicity, effectiveness and fairness dan flexibility, prinsip ini juga
berlaku bagi semua perdagangan non ecommerce. Hampir semua negara bersikap wait and see
dalam menyikapi pajak dalam ecommerce. Hanya negara Uni Eropa yang agak berbeda. Apabila
seseorang bermaksud menjual barang dan jasa melalui sarana internet dan telah memenuhi nilai
penjualan dalam batas tertentu, maka diwajibkan baginya untuk mendaftarkan diri di salah satu
negara anggota Uni Eropa dan memungut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bagi pembelinya.

Perlu menjadi perhatian bahwa dengan tidak adanya ketentuan pajak baru yang bersifat
signifikan, bukan berarti e-commerce terbebas dari pajak. Perlakuan pajak yang sama perlu
diterapkan bagi pelaku usaha dunia maya ini agar prinsip keadilan dalam pengenaan pajak dapat
dipenuhi. Tidak adil apabila seseorang menjual pakaian pada sebuah toko harus membayar pajak
atas penghasilan yang diperolehnya, sementara orang lain yang menjual pakaian melalui toko
online di dunia maya terbebas dari pajak.

Bea Meterai merupakan salah satu pajak yang menjadi permasalahan tersendiri.
Terutama mengenai objek yang dikenai oleh bea meterai. Hal ini dikarenakan bea meterai sendiri
dinilai masih belum lengkap dalam mengatur objek-objek yang harus dikenakan meterai itu
sendiri. Salah satu penyebabnya adalah perundang-undangan yang mengatur tentang bea meterai
yang kurang “update”. Salah satunya adalah pengaturan bea meterai terhadap transaksi e-
commerce. Peraturan bea meterai ini memang tidak mengatur transaksi online dikarenakan
undang-undang tersebut diberlakukan 1985. Sedangkan perkembangan internet sangat pesat
15

dimulai sekitar pada tahun 2000an, sehingga tidak memunginkan peraturan yang sudah begitu
lama mengatur perubahan keadaan yang terjadi pada saat ini.

Perundang-undangan yang mengatur Bea Meterai tidak mencakup transaksi e-


commerce adalah sebagai berikut: (1) Pada saat itu perkembangan transaksi e-commerce masih
sangat sedikit, bahkan masih belum dikenal di negara Indonesia, (2) Perkembangan internet
masih belum pesat atau masih terbatas, (3) Perkembangan internet pada saat itu masih belum
berkembang pesat, sehingga pada saat itu pengaturan Bea Meterai terhadap transaksi e-
commerce masih dirasa belum perlu adanya pengaturan yang lebih lanjut, (4) Pada perjanjian
jual beli sendiri sudah dikenai dengn Pajak Penjualan dan Pajak Penghasilan sehingga hal ini
berarti sudah ada pajak ganda yang membebani para pelaku usaha yang dinilai cukup
memberatkan bagi pelaku usaha tersebut, dan (5) Pengenaan Bea Meterai pada saat itu dinilai
hanya dikenai pada dokumen penting saja, sedangkan pada saat itu perjanjian online masih
belum marak bahkan masih belum ada di Indonesia, sehingga masih belum dianggap penting.

Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media


aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan melalui
media internet ini populer disebut dengan electronic commerce. Seperti kita ketahui bahwa
internet adalah dunia virtual yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang
bagaimana aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat sipengguna
internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan internet yang ada. Maka dalam konteks
ini pula maka aspek hukum yang melekat terhadap mekanisme E-Commerce adalah berinteraksi
dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui
sistem E-Commerce.

Perbincangan mengenai electronic commerce, yang biasa disebut e-commerce,


tampaknya tidak ada hentinya di Indonesia. Perkembangan bisnis via internet ini semakin
diminati. Berbagai seminar dan kajian bertemakan e-commerce diselenggarakan dari sudut-sudut
kampus sampai hotel berbintang. Bahkan, ada tuntutan yang semakin besar untuk segera
mengatur e-commerce ini dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tentunya, perkembangan
e-commerce ini tidak serta merta bebas masalah. Berbagai permasalahan hukum ditemui dalam
e-commerce ini, termasuk mengenai hubungan hukum antar para hukum dari para pihak yang
16

melakukan transaksi e-commerce itu. Namun, dalam konteks hukum Indonesia, ketegasan
hubungan hukum itu belumlah diatur.

Apabila dilihat dari segi perkembangan internet seperti yang telah dijelaskan di
atas, yang sama-sama diketahui perkembangannya sangat pesat di Indonesia. Apabila merujuk
pada UUBM dan UU ITE sudah seharusnya konrak elektronik ini dikenai bea meterai. Selain
perjanjian yang sudah seharusnya dikenakan bea meterai seperti yang diatur di dalam UUBM
juga dengan adanya UU ITE yang juga mengajui bahwa dokumen elektronik merupakan
dokumen. Sudah saatnya perjanjian elektronik dikenakan bea meterai. Beberapa kegunaan bea
meterai dikenai pada perjanjian elektronik, sebagai berikut: (1) Bea Meterai merupakan salah
satu bagian dari pajak, sehingga apabila bea meterai dikenakan pada transaksi elektronik yang
objeknya tertera sesuai dengan UUBM. Maka hal ini akan dapat menambah pendapatan negara.
Penambahan pendapatan negara ini seharusnya cukup signifikan mengingat banyaknya pengguna
internet yang melakukan transaksi internet, seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang, (2)
Selain menambah pemasukan bagi negara, pemberian bea meterai pada perjanjian elektronik
pada transaksi elektronik juga dapat menjadikan perjanjian tersebut menjadi lebih kuat apabila
dijadikan alat bukti di pengadilan, walaupun bea meterai sendiri bukan merupakan syarat sahnya
suatu perjanjian, dan (3) Apabila dilihat lebih luas lagi, denga perkembangan transaksi elektronik
ini menjadikan orang-orang tidak keluar rumah, cukup dengan belanja dari rumah yang
menggunakan fasilitas internet yag tersedia, maka pembeli tidak perlu keluar rumah untuk
berbelanja. Hal ini dapat mengurangi banyaknya kendaraan bermotor yang ada di jalan, sedikit
banyak akan mengurangi kemacetan di jalanan.

Bea Meterai pada Transaksi E-commerce

Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) telah membuat aturan pelaksanaan atas KMK
(Keputusan Menteri Keuangan) dengan menetapkan Keputusan Dirjen Nomor KEP-
122d/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea
Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi. Keputusan Dirjen Pajak ini menentukan bahwa:
(1) Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem
komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah
uang sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000
17

dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen, (2) Penerbit
dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea
Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi, harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis
kepada Dirjen Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata
dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari, (3) Penerbit dokumen yang akan
melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar
perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi, (4) penerbit dokumen yang
mendapatkan ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan
dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah
uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan dan dokumen yang digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan.Pengaturan Bea Meterai pada saat ini yang dinilai perlu untuk
pembaharuan. Hal ini dikarenakan peraturan yang ada yaitu UUBM belum mencakup adanya
transaksi online yang saat ini sedang mengalami kemajuan yang pesat. Pada dasarnya transaksi
online merupakan perjanjian pula, namun menggunakan sistem informatika. Selain itu UU ITE
juga mendukung adanya transaksi ini, hal ini ditunjukkan dengan adanya pengakuan dengan
transaksi online. Namun pengaturan Bea Meterai saat ini masih belum mencakup transaksi
online. Pengaturan Bea Meterai hanya mengatur objek-objek tertentu.

Pembagian pengenaan objek meterai pembagian, yaitu meterai 3000 dan 6000, objek-
objek yang dikenakan meterai 3000 sebagai berikut: (1) Surat yang membuat jumlah uang yang
mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi
tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah): yang menyebutkan penerimaan uang, yang
menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank, yang berisi
pemberitahuan saldo rekening di bank, yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau
seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan, (2) Surat-surat berharga seperti: wesel, promes
18

dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), (3) Efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan (4) Cek dan bilyet giro
dengan harga nominalnya berapapun.

Sedangkan objek-objek yang dikenakan meterai 6000, sebagai berikut: (1) Apabila suatu
dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai tidak lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut tidak terutang Bea Meterai, (2) Dokumen yang
berupa, antara lain: surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan
barang, bukti pengiriman dan dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas
tanggungan pengirim, surat-surat lainnya yang disamakan dengan surat-surat tersebut di atas, (3)
Segala bentuk Ijasah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat Belajar
(STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan
penataran, (4) Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu, (5) Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah
Daerah, dan Bank, (6) Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank, (7) Tanda
penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan internal organisasi, (8) Dokumen yang
menyebutkan tabungan, pembayarn uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan
badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut, (9) Surat gadai yang diberikan oleh
Perum Pegadaian, dan (10) Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama
dan dalam bentuk apapun.

B. Formulasi Pengaturan Bea Meterai Pada Transaksi E-Commerce di Indonesia

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) membawa berbagai


perubahan besar dalam sistem sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. TIK saat ini terlibat pada
setiap aspek kehidupan manusia. TIK memengaruhi semua lini kehidupan manusia sejak dari
cara ia berkirim surat hingga melakukan deal bisnis dengan rekanan bisnisnya yang bahkan
berada di benua lain. Pemerintah telah mengakomodasikan berbagai perubahan yang disebabkan
19

oleh penggunaan TIK dalam bisnis, pemerintahan ataupun kehidupan sehari-hari tersebut dengan
mengeluarkan UU ITE. UU ITE ini membawa pengaruh yang cukup besar berkaitan dengan
bagaimana setiap orang di Indonesia memanfaatkan TIK. Pasal 5 UU ITE menyatakan bahwa
pada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun walaupun dengan adanya UU
ITE yang sudah mengatur dan mengakui dokumen elektronik, transaksi elektronik dann yang
lainnya.

Jika kita menelaah proses bisnis BM yang saat ini berjalan lebih dalam, dapat diambil
kesimpulan bahwa di dalam proses tersebut terdapat adanya aliran (atau saling kebergantungan)
informasi dari satu pihak ke (dengan) pihak lain. Artinya, proses bisnis merupakan proses yang
dapat didukung dengan prinsip-prinsip layanan elektronik. Jadi model bisnis e-Meterai yang
akan diajukan ini merupakan model bisnis berbasis layanan elektronik. Layanan elektronik
adalah layanan elektronis ini dapat berupa integrasi berbagai aplikasi dan saluran komunikasi
data. Layanan elektronik dapat dikenali setidaknya dari karakteristik: Layanan yang tersedia
dimana saja, Integritas antar layanan yang berbeda-beda dan Layanannya yang bersifat
transparan. Namun memang harus disadari sepenuhnya bahwa internet menjadikan layanan
elektronis ini menjadi sedemikian rupa sehingga relatif mudah untuk diimpelementasikan oleh
pihak penyedianya dan diakses oleh para

Pemerintah telah mengakomodasikan berbagai perubahan yang disebabkan oleh


penggunaan TIK dalam bisnis, pemerintahan ataupun kehidupan sehari-hari tersebut dengan
mengeluarkan UU ITE. Pasal 5 UU ITE menyatakan bahwa pada Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku
di Indonesia. Dalam kaitan dengan pengembangan model bisnis BM berbasis layanan elektronik
20

ini, prinsip dasar yang digunakan adalah:18 (1) Adanya fungsi Application Service Provider
(ASP) yang sebaiknya terpisah/bukan-bagian-dari dari otoritas perpajakan (Ditjen Pajak); (2)
Adanya skema provisi (fee) yang nanti diterima oleh ASP sebagai imbalan atas layanan
elektronik yang dia sediakan; (3) Adanya kebebasan bagi ASP untuk membuat jaringan
bisnisnya sendiri misalnya dengan membuat outlet/downline; (4) ASP wajib menyediakan
berbagai fitur untuk mendapatkan BM-elektronik, misalnya: via web browser add-ons, ataupun
mobile applications.

1. Aspek Legalitas

Aspek legal yang berkaitan model ini adalah memungkinkan menggunakan asas hukum lex
posteriori derogat legi priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior)
mengesampingkan hukum yang lama (prior). Artinya, tanpa mengubah UU BM (legi priori),
dapat menerapkan ketentuan dalam UU ITE (lex posterior) sehingga pengertian dokumen adalah
“kertas” dapat diperluas sebagai “informasi elektronik”. Hal ini mengingat perubahan UU
bukanlah perkara yang mudah dalam praktik legislasi yang berlaku saat ini. Apabila persoalan di
level UU ini selesai, maka tetap diperlukan perubahan pada level peraturan yang lebih teknis,
baik peraturan Menteri Keuangan atau Dirjen Pajak.19
Aspek legal selanjutnya adalah keberadaan ASP. Sebenarnya konsep penggunaan ASP
sebagai perantara antara wajib pajak dengan otoritas pajak ini sudah ada selama ini. Otoritas
pajak sudah mempunyai pengalaman menyusun proses bisnis dengan menggunakan jasa ASP
sehingga proses bisnis e-Meterai yang juga melibatkan fungsi yang mirip diharapkan tidak
menghadapi kendala. Hal yang juga berkaitan dengan aspek legal di sisi ini adalah apa
persyaratan dan bagaimana tata cara penunjukkan lembaga yang menjadi ASP untuk e-Meterai
ini.
2. Bea Meterai Elektronik
Pertama adalah dengan cara menggunakan Quick Respon Code (QR Code) atau disebut
juga dengan Kode QR. Kode QR memiliki kapasitas tinggi dalam data pengkodean, yaitu
mampu menyimpan semua jenis data, seperti data numerik, data alphabetis, kanji, kana,

18
Agung Darono, “Kajian Model Bisnis e-Meterai”. Balai Diklat Keuangan Malang, Badan Pendidikan
dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan RI, (2013): 2.
19
Ibid., hlm. 5.
21

hiragana, simbol ,dan kode biner. Secara spesifik, kode QR mampu menyimpan data jenis
numerik sampai dengan 7.089 karakter, data alphanumerik sampai dengan 4.296 karakter. Selain
itu kode QR memiliki tampilan yang lebih kecil daripada kode batang. Hal ini dikarenakan kode
QR mampu menampung data secara 2 arah, maka secara otomatis ukuran dari tampilannya
gambar kode QR bisa hanya seperspuluh dari ukuran sebuah kode batang. Tidak hanya itu kode
QR juga tahan terhadap kerusakan, sebab kode QR mampu memperbaiki kesalahan sampai
dengan 30%. Oleh karena itu, walaupun sebagian simbol kode QR kotor ataupun rusak, data
tetap dapat disimpan dan dibaca. Tiga tanda berbentuk persegi di tiga sudut memiliki fungsi agar
simbol dapat dibaca dengan hasil yang sama dari sudut manapun sepanjang 360 derajat.20
Berdasarkan penjelasan di atas, otoritas pajak di Indonesia membuat badan khusus atau bekerja
sama dengan suatu badan yang bergerak di bidang TIK untuk membuat suatu QR code yang
khusus digunakan untuk mengambil data dan mengeluarkan data. Sehingga pada akhirnya QR
code akan diproyeksikan digunakan sebagai meterai tempel elektronik.
Pada pilihan kedua yaitu menggunakan software meterai tempel ini, peran otoritas
perpajakan di Indonesia sedikit lebih ringan dibandingkan dengan sistem yang dijelaskan di atas.
Kelebihan menggunakan software ini otoritas perpajakan tidak perlu menggunakan atau
membuat badan tersendiri untuk memberikan meterai tempel elektronik. Sistem ini hanya
membutuhkan software seperti software antivirus. Baik itu berlangganan dalam sebulan maupun
berlangganan untuk satu tahun. Jadi setiap mall online ataupun penjual online diwajibkan untuk
memiliki software ini. Sehingga perjanjian yang membutuhkan meterai tempel elektronik hanya
perlu dipasang atau ditempel pada perjanjian tersebut, tanpa harus mencetak terlebih dahulu
perjanjian tersebut. Selain itu terdapat cara yang lain untuk menggunakan software meterai
tempel ini, otoritas perpajakan hanya perlu menggunakan software ini untuk mengeluarkan
meterai tempel elektronik tersebut sama seperti meterai tempel yang ada saat ini, dengan
menggunakan software ini otoritas perpajakan dapat menjual meterai seperti biasa, hanya saja
berbentuk meterai tempel elektronik.

3. Perluasan Mekanisme Pemungutan dan Objek Bea Meterai

20
Pimbli Editor, “QR Code – Apakah Ini, Bagaimana Menggunakannya dan Beberapa Contoh
Penggunaanya”, http://www.plimbi.com/news/134232/qr-code, diakses 23 Juli 2016.
22

Perluasan mekanisme pemungutan ini dapat dipahami sebagai pengembangan dari tata cara
pelunasan BM dengan sistem komputerisasi yang selama ini telah dijalankan. Sistem yang
berjalan selama ini membatasi hanya pada hanya minimal 100 keping per hari. Bagaimana
halnya dengan wajib pajak BM yang tidak memenuhi kriteria tersebut, apakah tidak berhak
menggunakan pelunasan BM secara komputerisasi. Dalam hemat penulis, pelunasan BM secara
komputerisasi secara eceran ini memungkinkan secara teknis. Artinya, kendalanya lebih pada
aspek ketentuan hukum yang membatasi namun sebenarnya bukan pada masalah teknis-
teknologi. Model bisnis yang diusulkan adalah tidak lagi membatasi pelunasan ini dengan jumlah
keping per hari tetapi lebih pada keinginan dan kemampuan wajib pajak yang bersangkutan
untuk menerapkan pelunasan BM secara komputerisasi. Jadi, dalam perluasan mekanisme ini
dokumennya tetap berupa kertas tetapi cara pemeteraiannya yang berubah dengan menggunakan
QR-Code yang didapatkan dari oleh WP dari ASP. Semua WP dapat menggunakan mekanisme
ini tanpa adanya jumlah minimal keping pemeteraian per hari.

Pasal 1 angkat 1 UU BM menyatakan bahwa dokumen secara fisik adalah berbentuk kertas.
Namun di sisi lain, UU ITE juga mengakui adanya dokumen elektronik yang tidak berbentuk
kertas. Berdasarkan UU ITE e-mail tersebut merupakan sebuah informasi elektronik yang dapat
berlaku sebagaimana surat kuasa dalam bentuk fisik/kertas. Cara melunasi BM terutang atas
surat kuasa (fisik) antara lain adalah dengan benda meterai. Namun bagaimana halnya dengan
cara melunasi BM terutang tas surat kuasa dalam bentuk e-mail tadi? Dalam perluasan objek BM
ini dokumennya adalah berupa dokumen/informasi elektronik sehingga mau tidak mau
pelunasannya harus menggunakan mekanisme e-Meterai. QR-Code juga didapatkan dari oleh
WP dari ASP

Simpulan

Peraturan Bea Meterai masih belum mengatur secara lengkap mengenai transaksi Bea
Meterai, hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi belum diaturnya kontrak
elektronik pada transaksi e-commerce, beberapa faktor tersebut adalah karena pada saat itu
internet masih belum berkembang pesat di negara Indonesia, selain itu perkembangan transaksi
elektronik masih belum pesat, khususnya hal ini berkesinambungan dengan faktor yang pertama,
dan juga masih belum adanya peraturan yang memfasilitasi dan mengakui adanya transaksi e-
23

commerce pada saat itu. Berbeda dengan saat ini yang sudah ada peraturan yang mengakui
adanya transaksi elektronik dan sah menjadi bukti.

Dokumen-dokumen yang harus dikenakan oleh Bea Meterai pada UUBM hanyalah dokumen
yang terdapat fisiknya atau dokumen yang sudah diprint. UU ITE memfasilitasi dengan
diaturnya dokumen elektronik yang digunakan transaksi elektronik. Berdasarkan hal pemerintah
mencoba mengatur lebih jauh mengenai transaksi elektronik. Maka Bea Meterai sudah harus
dikenai oleh pemerintah dengan mengeluarkan undang-undang yang menjadikan kontrak
elektronik menjadi salah satu objek Bea Meterai, dengan menggunakan QR code atau
menggunakan software meterai tempel untuk memudahkan membubuhkan meterai pada
perjanjian atau kontrak elektronik. Selain itu pemerintah merevisi UUBM dengan cara
memasukkan beberapa pasal mengenai kontrak elektronik dan menjadikan dokumen elektronik
sebagai salah satu objek yang dapat dikenakan Bea Meterai.
DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Adya Bakti,
2001.

Bajaj, Kamlesh K. & Debjani Nag. E-Commerce: The Cutting Edge Of Business. New Delhi:
TatMcGraw-Hill Publishing Limited, 2000.

Brotodihardjo, Sastro. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama, 2003.

Brotodiharjo, Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco, 1991.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Publishing, 2007.

Kotler dan Amstrong. Prinsip-prinsip Pemasaran Jilid 2. Jakarta: Airlangga, 2001.

Marzuki, Petter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2006.

Moeljono, Eugenea Liliawati. Tanya-Jawab Bea Meterai. Jakarta: Harvalindo, 1999.

Naisbitt, John. Global Paradox. New York: William Morrow and Company, 1994.

S, Munawir. Pokok-pokok Perpajakan. Yogyakarta: Liberty, 1985.

Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2007.

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Subekti, Hukum Perjanjian. Cetakan Ke-19. Jakarta: Intermasa, 2001.

Suhardana, F.X. Contract Drafting. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2008.

24
Zein, Yahya Ahmad. Kontrak Elektronik & Penyelsaiaan Sengketa Bisnis E-Commerce dalam
Transaksi Nasional dan Internasinal. Bandung: Mandar Maju, 2009.

Jurnal

Darono, Agung “Kajian Model Bisnis e-Meterai”. Balai Diklat Keuangan Malang, Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan RI, (2013): 2.

Indah, C. Maya. “Aspek Perjanjian Electronic Commerce dan Implikasi pada Hukum
Pembuktian di Indonesia”. Jurnal Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum Diponegoro
jilid 39, No. 2, (Juni 2010): 178.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai.

Peraturan Pemerintah tahun 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya
Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.

Naskah Internet

Editor, Pimbli. “QR Code – Apakah Ini, Bagaimana Menggunakannya dan Beberapa Contoh
Penggunaanya.” http://www.plimbi.com/news/134232/qr-code. Diakses 23 Juli 2016.

Setyanti, Elfa Putri. “Transaksi e-commerce Indonesia Tahun Depan Diprediksi capai $4,5
miliar”. https://id.techinasia.com/transaksi-ecommerce-indonesia. Diaksess 9 April 2016.

You might also like