Love in Montreal
Love in Montreal
Love in Montreal
LOVE
IN
MONTREAL
ARUMI E
pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak me-
lakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komesial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ta-
hun dan atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).
pustaka-indo.blogspot.com
LOV E
IN
MON TRE AL
Arumi E
pustaka-indo.blogspot.com
LOVE IN MONTREAL | Arumi E
GM 616202053
www.gramediapustakautama.com
ISBN: 978-602-03-3460-8
pustaka-indo.blogspot.com
Ucapan Terima Kasih
pustaka-indo.blogspot.com
tiadanya toleransi. Berharap sekelumit kisah ini bisa mengingat-
kan kita untuk tidak berputus asa menjadi agen perubahan bagi
kehidupan dunia yang lebih baik, memilih hidup berdampingan
dengan damai di antara segala perbedaan.
Mari menikmati kisah ini, mari menebarkan cinta. Dari
Montreal hingga Sangatta.
Salam damai,
Arumi E
vi
pustaka-indo.blogspot.com
1
Jarak Ribuan Mil
pustaka-indo.blogspot.com
Dia hanya diberi alamat rumah yang akan ditinggalinya. Semua
sudah diurus Miss Prudence, salah satu dosen di La Mode College
Montreal yang selama ini menjadi penghubung Maghali dengan
kampus barunya.
Sopir taksi yang dia hentikan mulanya berbicara dalam bahasa
Prancis. Walau Maghali bicara dalam bahasa Inggris, laki-laki se-
tengah baya itu tetap saja mengoceh dalam bahasa Prancis. Setelah
Maghali mengatakan dia dari Indonesia dan tidak bisa berbahasa
Prancis, barulah sopir itu mengalah, dan mau bicara dalam bahasa
Inggris.
“This is the place, Miss,” ucap sopir taksi setelah menghentikan
mobil yang dikendarainya. Maghali memandang ke luar jendela,
menatap satu rumah bercat hijau toska. Lalu matanya menyapu ke
sekeliling. Deretan rumah dengan desain nyaris mirip, hanya dicat
dengan warna berbeda-beda. Masing-masing setinggi tiga lantai,
dengan tangga di depan rumah langsung menuju lantai dua.
“Thank you, Sir,” sahut Maghali. Setelah menyerahkan uang
sebesar yang disebutkan sopir, gadis itu turun dari mobil, diikuti
sopir yang bergegas menuju belakang, membuka bagasi lalu me-
ngeluarkan dua koper besar milik Maghali.
“Thank you again,” ucap Maghali seraya tersenyum.
“You are welcome,” balas sopir itu, kemudian kembali ke balik
kemudi.
Maghali menyeret dua kopernya menjauh dari mobil, sampai
ke kaki tangga. Dia mengeluarkan ponselnya, mencocokkan no-
mor yang tertera di dekat pintu rumah itu dengan yang tersimpan
di note ponselnya. Kemudian dia mengangguk. Dengan menyipit-
kan mata, dia melihat bel terpasang di samping pintu. Dia mene-
kannya dua kali.
Butuh waktu hampir enam menit menunggu, sampai akhirnya
2
pustaka-indo.blogspot.com
pintu itu terbuka dan muncul sosok laki-laki muda bertubuh jang-
kung dengan wajah tirus dan rambut merah. Laki-laki itu terse-
nyum ramah.
“Bonjour… wait… mm, I guess you are Lili from Indonesia,” sam-
but pemuda itu sambil mengacungkan ibu jarinya.
Maghali tersenyum seraya mengangguk-angguk.
“Yes, I am. And you, Michael?” jawab Maghali sambil menebak
nama pemuda itu.
“Just call me Mike,” kata pemuda itu sambil mengulurkan ta-
ngan.
Maghali menangkupkan kedua tangannya sambil tersenyum
sopan, berharap pemuda itu mengerti, seperti itulah cara dia mem-
beri salam perkenalan. Pemuda bernama Michael itu mengangkat
alis kanannya, mencoba menghormati kebiasaan tamu yang belum
benar-benar dikenalnya ini.
“Mari masuk, nenekku sudah menunggumu. Sejak tadi dia su-
dah repot menyiapkan makanan untukmu.” Pemuda itu melirik
dua koper di dekat kaki tangga. “Itu kopermu?” tanyanya.
Maghali mengangguk.
“Kamarmu ada di lantai dua. Biar kubawakan kopermu,” kata
Mike. Dia menutup kembali pintu di belakangnya, lalu mendekati
koper Maghali. Maghali mengikutinya, meraih salah satu koper-
nya.
“No, Lili! Kamu naik duluan ke lantai atas. Biar aku yang mem-
bawakan kopermu.”
“Tapi, koperku berat. Biar satu aku membawa sendiri.”
“Justru karena berat, biar aku yang membawakan. Tenang saja,
kamu nggak perlu memberiku tip.”
Maghali mengernyit, agak tersinggung disangka ingin mem-
bawa sendiri kopernya untuk menghindari memberi tip. Tapi,
3
pustaka-indo.blogspot.com
kemudian dia sadar, Mike tentunya tidak bermaksud bicara kasar.
Pemuda itu pasti hanya bercanda. Maghali memang baru menge-
nalnya. Selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui email.
Miss Prudence merekomendasikan rumah Madame Maple seba-
gai tempatnya tinggal selama satu tahun ke depan. Madame Maple
yang berusia 65 tahun adalah pemilik rumah ini. Dia hanya dite-
mani cucunya, Michael, yang kemudian membantunya mengelola
penyewaan kamar di lantai dua dan tiga sejak delapan tahun lalu.
Maghali melangkah naik sambil sesekali menoleh ke bawah, ra-
sanya tidak tega melihat Michael mengangkat satu per satu koper
itu sambil menaiki tangga. Dua kali bolak-balik. Dia baru sadar,
Michael memiliki tubuh cukup kekar walau wajahnya terlihat tirus.
Pemuda itu tidak tampak kepayahan.
Maghali menunggu Michael di lantai dua. Kemudian meng-
ambil alih satu kopernya, sekarang koper beroda itu cukup ditarik
saja. Michael hanya mengembuskan napas, dia tampak agak terse-
ngal. Bolak-balik turun-naik sambil membawa koper besar benar-
benar menguras energinya. Setelah napasnya mulai teratur, dia
membuka pintu dan mempersilakan Maghali melangkah masuk
lebih dulu, lalu menyusul sambil menutup pintu.
“Ayo, kutunjukkan kamarmu,” kata Michael, terus melangkah
ke sebelah kiri, menuju satu pintu yang kemudian dibukanya. Dia
menyingkir, lagi-lagi mempersilakan Maghali masuk lebih dulu.
Maghali melangkah ragu, melirik cemas Michael yang mengikuti-
nya masuk ke kamar. Ini keadaan yang membuatnya sangat cang-
gung. Berada dalam satu kamar dengan laki-laki asing yang baru
ditemuinya hari ini.
“Bonjour, welcome to our house!”
Sapaan lembut diikuti sosok perempuan yang tersenyum ramah
membuat Maghali tersenyum lega. Beruntung sapaan itu dalam
bahasa Inggris yang dipahaminya.
4
pustaka-indo.blogspot.com
“Oh, hello. Madame Maple? I am glad to see you. Saya berterima
kasih sekali sudah diterima tinggal di sini.”
“Kenapa tidak? Kebetulan memang ada satu kamar kosong di
sini. I am sorry, what is your name, Dear?”
“Lili.”
“Lili, letakkan saja dulu kopermu di dalam. Mike akan mem-
berikan dua kunci untukmu. Kunci kamarmu ini, dan kunci pintu
utama. Lalu turunlah ke lantai bawah. Kita makan dulu. Aku yakin
kau pasti butuh sumber energi baru setelah melewati perjalanan
yang sangat panjang.”
Maghali mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah, aku akan segera ke lantai bawah. Aku… memang lu-
mayan lapar,” ucap Maghali berterus terang.
Madame Maple tertawa lebar, lalu berbalik dan kembali ke lan-
tai bawah, ke bagian rumah yang ditinggalinya bersama Michael.
Cucunya itu menyerahkan kunci pada Maghali, kemudian segera
menyusul neneknya. Dia cukup tahu diri untuk tidak berlama-
lama berada di kamar yang mulai hari ini menjadi kamar Maghali.
Setelah Michael menghilang, Maghali menutup pintu. Barulah dia
dapat leluasa memperhatikan kamarnya ini.
Kamar ini cukup luas. Ada satu tempat tidur berukuran lu-
mayan besar. Satu sofa yang tampak empuk. Tersedia juga lema-
ri kayu dua pintu yang terlihat agak kuno. Ada satu pintu yang
diyakini Maghali sebagai kamar mandi. Dia membuka pintu itu.
Merasa senang melihat kamar mandi yang apik dan bersih. Bahkan
tersedia bathtub dan air panas. Maghali mengangguk-angguk puas.
Biaya kuliahnya selama di sini memang ditanggung, tapi akomoda-
si harus dibiayainya sendiri.
Dia lebih senang tinggal di rumah seperti ini. Tampak lebih
homey dibanding apartemen. Miss Prudence tepat sekali mereko-
mendasikan tempat ini untuknya.
5
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali tak ingin membongkar kopernya dulu. Dia memilih
segera turun ke lantai bawah. Ternyata ada tangga di dalam ru-
angan yang langsung menghubungkan ke lantai bawah. Begitu
menjejakkan kaki di anak tangga terakhir, aroma harum masakan
menyambut Maghali, membuat rasa laparnya menjadi-jadi. Tapi,
kemudian dia ingat, dia tidak bisa makan sembarangan. Dia harus
memastikan apakah makanan yang disediakan Madame Marple
boleh disantapnya.
“Ah, akhirnya kamu turun juga. Duduklah di sini. Kamu harus
makan banyak. Aku khusus membuat daging sapi panggang de-
ngan saus spesial.”
“Mm, Madame…”
“Oh, jangan khawatir. Makanan yang kumasak ini aman untuk-
mu. Miss Prudence sudah memberitahuku, kamu seorang muslim.
Jadi, aku membeli daging ini di toko muslim. ”
“Sungguhkah? Miss Prudence sudah menjelaskan pada Anda?”
“Katanya itu hal penting yang harus kuketahui. Dia tahu aku
terkadang senang memasakkan sesuatu untuk penghuni rumahku
ini.”
Maghali mengangguk dan tersenyum, menghargai Madame
Maple yang sudah bersusah payah menyiapkan makanan beraro-
ma lezat ini untuknya. Dia merasa sangat beruntung. Dari Jakarta
hingga sampai di sini, semuanya dipermudah. Padahal ini perta-
ma kalinya dia datang ke negara ini. Semula dia khawatir, Mon-
treal yang menjadikan bahasa Prancis sebagai bahasa utama akan
mempersulitnya. Namun, ternyata, semua orang yang ditemuinya
sepanjang perjalanan tadi mau berbahasa Inggris dengannya. Ter-
masuk Mike dan Madame Maple.
“Anda baik sekali, Madame Maple. Ini sambutan yang luar bi-
asa buat saya.”
6
pustaka-indo.blogspot.com
“Ini hal biasa, Dear. Aku tak pernah menganggap orang-orang
yang tinggal di rumahku ini sebagai tamu. Aku menganggap kalian
sebagai satu keluarga.”
“Ada berapa kamar yang disewakan di rumah ini?”
“Hanya empat. Dua kamar di lantai dua, dua kamar lagi di lan-
tai tiga. Lantai satu tempatku dan Mike tinggal.”
“Aku di sini bukan hanya menumpang tinggal di rumah Nenek.
Aku merangkap sebagai karyawan Grandma. Membantu mengelo-
la wisma ini, memastikan semua kebutuhan penyewa terpenuhi,”
sambar Mike, merasa perlu menjelaskan agar Maghali tidak salah
paham mengenai keberadaannya di sini.
“Aku yakin kamu sangat dibutuhkan di sini, Mike,” sahut
Maghali lalu tersenyum.
“Ya, Mike sangat membantuku. Dia cucuku satu-satunya yang
mau tinggal di sini bersamaku.”
“Di mana cucu Anda yang lain, Madame Maple?”
“Tinggal di luar Montreal. Ada yang di Toronto, Ottawa. Aku
punya lima cucu.”
“Oh iya, ada pantry kecil di lantai dua, satu lantai dengan ka-
marmu, kalau kau ingin memasak sendiri makananmu.” Madame
Maple mengingatkan.
“Itu bagus sekali. Aku juga berpikir begitu, akan lebih hemat
kalau sesekali aku bisa memasak sendiri makananku.”
“Ngomong-ngomong, di manakah Indonesia? Kudengar itu
nama negaramu,” tanya Madame Maple.
“Sangat jauh dari sini. Di Asia Tenggara.”
“Oh… aku tak bisa membayangkan seberapa jauh. Aku belum
pernah keluar Kanada.”
“Sungguhkah?”
“Aku sudah cukup bahagia tinggal di kota ini, untuk apa pergi
ke tempat lain?”
7
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali hampir membuka mulut ingin membantah ucap-
an Madame Maple itu, namun diurungkannya. Setelah dia pikir,
perempuan generasi tua ini punya hak untuk memilih cara hidup
yang paling nyaman buatnya.
“Kau sendiri, sudah sering ke Kanada?”
“Ini yang pertama kali. Aku lulusan sekolah fashion di Jakarta,
kota tempat tinggalku, yang merupakan cabang dari jurusan fashion
di La Mode College. Kemudian aku mendapat kesempatan mem-
perdalam ilmu fashion di sini selama setahun. Aku tak akan menyia-
nyiakan kesempatan ini.”
Madame Maple mengangguk. “Kau akan suka di sini,” katanya,
lalu mulai mengamati Maghali lebih serius dari sebelumnya.
“Apakah kau seorang yang religius?”
Mata Maghali terbelalak, tak menyangka akan mendapat per-
tanyaan seperti itu.
“Aku berusaha menjalankan aturan agamaku sebaik-baiknya.”
“Dan agamamu menyuruhmu menutup rambutmu?”
Maghali mengangguk.
“Sewaktu aku muda dulu aku suka menutup rambutku dengan
skarf tiap kali ke gereja. Kami harus berpakaian sopan dan tertu-
tup. Tapi sekarang, aku lebih suka mengenakan topi yang indah.”
“Itu pun bagus. Yang penting kita harus mengenakan pakaian
terbaik kita saat berdoa kepada Tuhan, kan?”
Madame Maple tertawa senang. “Aku setuju,” ucapnya.
Mike tak banyak bicara. Dia menikmati makanannya, hanya
mendengarkan dua perempuan yang duduk di seberangnya ber-
bincang hingga makanan mereka lama habisnya, sementara dia su-
dah tambah dua kali.
Usai makan, Maghali langsung membayar biaya sewa kamarnya
untuk sebulan. Dia akan membayarnya setiap awal bulan. Setelah
itu dia bergegas menuju kamarnya. Dia ingin segera mandi air ha-
8
pustaka-indo.blogspot.com
ngat, shalat, kemudian tidur. Perjalanan panjang dari Jakarta me-
nuju Kanada sangat melelahkan. Walau tempat duduknya nyaman,
tetap saja berbeda terlelap di kursi dengan di tempat tidur.
Seluruh penatnya serasa berkurang tatkala air hangat meng-
guyur kepalanya, meresap ke dalam kulitnya. Seusai mandi, dia
mengaktifkan aplikasi untuk muslim di ponselnya. Memudahkan-
nya memantau jadwal shalat dan arah kiblat. Betapa dia merasa
sangat berterima kasih pada kecanggihan teknologi masa sekarang.
Sebelum memejamkan mata, dia sempatkan mengabarkan ke-
pada bapak-ibunya, dia sudah sampai dengan selamat di Montreal.
Dia kirimkan juga foto di kamarnya ini. Dia menyapa juga saudari
kembarnya Maura. Gadis itu langsung saja mengajaknya berbin-
cang lewat video call.
“Lili! Kelewatan! Pergi nggak pamit, tau-tau sudah di
Montreal!” teriak Maura sambil menunjukkan wajah kesal.
Maghali hanya menyeringai lebar. “Kamu kan tahu, aku senang
bikin kejutan.”
“Bagaimana di sana? Seperti apa Montreal? Bagus, nggak?
Ganteng-ganteng nggak cowoknya?”
Maghali meringis mendengar pertanyaan terakhir Maura.
“Nggak ada yang seperti Zach,” jawab Maghali. Mendadak dia
ingin menggoda Maura.
Gadis itu melotot. “Maksudmu?”
“Yah, kamu pasti bisa menduga, sebenarnya aku naksir Zach.
Berharap di sini bisa bertemu cowok seperti dia.”
“Kamu naksir Zach? Sejak kapan?” Suara Maura naik satu ok-
taf, matanya membelalak dan alisnya terangkat. Maghali tertawa.
“Bercanda, Ra! Sudah ya, aku mau tidur dulu. Entahlah ini jet-
lag atau apa. Tapi, rasanya aku mau tidur sampai berpuluh-puluh
jam lamanya. Bye, Ra.”
Tanpa menunggu Maura menjawab, Maghali memutuskan
9
pustaka-indo.blogspot.com
sambungan telepon, lalu mematikan ponselnya. Dia tersenyum,
tapi hatinya merasa nelangsa. Ada perasaan kosong, ada sebongkah
rasa yang hilang. Mendadak dia merasa kesepian. Tiba-tiba mun-
cul wajah Zach dalam benaknya. Zachary Mayers, laki-laki yang
kini telah menjadi calon suami saudari kembarnya, Maura1.
1
Love in Sydney (GPU, 2016)
10
pustaka-indo.blogspot.com
2
Sambutan Hangat
pustaka-indo.blogspot.com
pilan mirip dengannya. Berharap dari sekian banyak perempuan
ada yang juga berkerudung. Tapi, dia belum menemukannya.
Maghali masuk ke lobi, kemudian menelepon Miss Prudence,
menyampaikan dia sudah berada di sini. Dia merasa lega, dosen
La Mode yang sudah berkomunikasi dengannya sejak dia di Ja-
karta itu menjawab akan segera menemuinya. Maghali menunggu
sambil mengamati interior kampus ini. Paduan desain modern dan
kontemporer yang harmonis.
“Maghali… akhirnya kamu datang.”
Maghali menoleh, tersenyum senang melihat kemunculan seo-
rang perempuan cantik tinggi menjulang yang masih tampak muda
di usianya yang sudah empat puluh lewat. Miss Prudence memang
meminta disebut “miss” karena belum menikah. Dia tipe perempu-
an mandiri yang menganggap standar kebahagiaannya tidak seper-
ti orang kebanyakan. Untuk menjadi pribadi yang bahagia, bagi-
nya tidak harus dengan memiliki suami dan anak. Dalam salah satu
percakapannya dengan Maghali, Miss Prudence mengaku merasa
sudah cukup bahagia menjadi singel yang sibuk mengamati mode,
mengajar ilmu fashion, dan merancang pakaian.
“Miss Prudence, senang sekali akhirnya bisa bertemu lang-
sung,” sahut Maghali. Dia mengulurkan tangannya, disambut ha-
ngat oleh Miss Prudence.
“Sudah keliling Montreal selama di sini?” tanya perempuan be-
rambut cokelat terang itu.
“Lumayan, beberapa tempat penting sudah aku kunjungi. Aku
juga sudah menyiapkan semua kebutuhanku di sini termasuk akun
bank setempat.”
“Kamu senang tinggal di rumah Madame Maple?”
“Sangat senang. Madame Maple baik sekali. Menyambutku de-
ngan hangat, selalu bersedia membantu jika aku butuh informasi.
Sering membuatkan kue untukku. Terima kasih sudah mereko-
mendasikan rumahnya sebagai tempat tinggalku.”
12
pustaka-indo.blogspot.com
“Setelah banyak mengobrol denganmu melalui pesan Whats-
app, aku sudah bisa menebak, tempat tinggal seperti apa yang co-
cok untukmu. Ada tiga pilihan untuk mahasiswa La Mode College,
apartemen, recidence, dan host family.”
“Tinggal di tempat Madame Maple membuatku serasa berada
di rumah sendiri.”
Miss Prudence mengangguk dan tersenyum.
“Itulah yang kuharapkan. Ayo, ke ruanganku,” ajaknya sambil
menepuk lembut punggung Maghali.
Mereka melangkah beriringan, hingga sampai di sebuah ruang-
an bernuansa hangat dan rapi. Maghali duduk di hadapan meja
kerja Miss Prudence.
“Aku sangat terkesan dengan CV dan contoh-contoh pakaian
rancanganmu yang kamu kirimkan ke sini. Aku menyimpannya.
Bisa kita manfaatkan jika nanti kita mengadakan fashion show di
sini. Aku tertarik dengan konsep modest wear dalam rancangan-
rancanganmu, yang memadukan bahan-bahan modern dengan
kain tradisional. Itulah sebabnya kami menerimamu belajar di sini
selama satu tahun. Beasiswa ini memang khusus kami berikan bu-
kan untuk perancang mode pemula.”
Wajah Maghali menghangat, merasa bersyukur mendengar
penjelasan Miss Prudence. Kampus ini punya hubungan erat de-
ngan kampus La Mode di Jakarta yang pernah dijalaninya selama
dua tahun. Di sini, dia memilih kelas dengan bahasa pengantar ba-
hasa Inggris.
“Saya sangat berterima kasih telah diberi kesempatan belajar
di sini.”
“Kamu bukan hanya belajar. Kita saling transfer ilmu. Kami
berikan padamu pengetahuan lebih dalam tentang fashion, seba-
liknya, berbagilah pada kami tentang pengalaman merancangmu.”
13
pustaka-indo.blogspot.com
“Saya sangat setuju, Miss Prudence.”
“Modest fashion sedang berkembang cukup pesat di industri
mode. Aku tahu, di negerimu disebut sebagai pakaian muslim.
Tapi, aku lebih suka menyebutnya modest wear. Yang bukan mus-
lim pun ada yang menyukai pakaian dengan konsep santun, ser-
bapanjang, tertutup, tapi elegan dan berkesan mewah. Aku tidak
ingin melibatkan agama dalam fashion. Aku ingin semua rancangan
yang keluar dari kampus ini bersifat universal. Bisa dipakai siapa
saja. Kamu setuju?”
“Ya, saya juga mempelajari tentang tren modest wear ini. Prin-
sipnya adalah pakaian yang sopan, walau desainnya bisa berbentuk
apa saja, tapi tertutup. Tidak menampakkan pundak, dada, paha.
Lengan panjang, rok, celana, atau kulot minimal melebihi lutut.
Pakaian yang kurancang memenuhi kaidah itu. Bahkan lebih. Rok
atau celana sampai menutup mata kaki. Perempuan mana pun bisa
mengenakannya. Bagi perempuan muslim, tinggal ditambah skarf
lebar untuk menutup rambutnya.”
“Jadi kita sepakat soal ini, memasukkan rancanganmu ke kate-
gori modest wear. Aku punya beberapa rencana untukmu, Lili. Kau
membawa beberapa pakaian rancanganmu, kan?”
“Ya, aku membawanya.”
“Aku ingin mengadakan fashion show mini khusus modest wear
rancanganmu. Supaya murid-murid di sini bisa melihat sesuatu
yang berbeda. Itu bisa membuka pikiran mereka dan memancing
daya kreasi mereka lebih tinggi lagi. Terutama aku sangat tertarik
pada paduan kain tradisional yang kamu pakai dan detail-detail da-
lam rancanganmu.”
“Aku sudah menyiapkan sepuluh pakaian rancanganku untuk
diperagakan. Aku juga membawa banyak kain tradisional dari ber-
bagai provinsi di Indonesia untuk persiapan jika aku membuat ran-
cangan baru di sini.”
14
pustaka-indo.blogspot.com
“Itu bagus sekali. Baiklah, ayo kita masuk kelas. Dua puluh me-
nit lagi mata kuliah pertama dariku akan dimulai.”
Maghali mengangguk. Dia bangkit berdiri mengikuti langkah
Miss Prudence. Naik ke lantai dua, melewati lorong kelas, hingga
akhirnya sampai di sebuah kelas yang masih kosong. Mereka masih
mengobrol sambil menunggu mahasiswa lain datang.
Hari itu menjadi hari yang sibuk untuk Maghali. Berkenalan
dengan teman sekelasnya. Sebagian besar lebih muda darinya, tapi
saat perkenalan tadi dan mendengar ide-ide mereka, membuat
Maghali kagum. Inovatif dan kreatif. Lebih banyak murid perem-
puan daripada laki-laki. Ada satu laki-laki berambut merah yang
terus memperhatikannya. Lalu setelah mata kuliah pertama selesai,
laki-laki itu menghampirinya.
“Hi,” sapanya singkat.
Maghali yang masih duduk di kursinya mendongak, lalu terse-
nyum sopan.
“Hello…”
“I am Justin.”
“I am Maghali, just call me Lili. Oh, namamu sama dengan
nama Perdana Menteri Kanada.”
Pemuda bernama Justin itu tidak tersenyum. Tampaknya dia
menganggap candaan Maghali bukan sesuatu yang lucu.
“Apakah kamu hanya merancang pakaian seperti yang kamu
kenakan?”
Maghali menatap pemuda itu, lalu mengikuti arah pandangan
Justin ke pakaian yang dipakainya.
“Maksudmu serba tertutup hingga menutup kepala? Ya, me-
mang akan selalu seperti ini.”
“Menurutku itu membosankan,” kata Justin dengan wajah se-
tengah sinis.
Maghali tersenyum. “Kau sudah tahu tentang modest fashion?”
15
pustaka-indo.blogspot.com
“Tentu aku tahu. Tapi, menurutku modest fashion itu membo-
sankan. Terlalu sopan. Kurang berani.”
“Nanti akan kuperlihatkan, desain-desain menakjubkan yang
bisa aku buat dengan tetap mempertahankan prinsip pakaian serba
tertutup dan sopan.”
“Oke, kita lihat saja nanti. Setidaknya kehadiranmu di sini
membuat Shabrina tidak sendirian lagi. Dia punya teman seka-
rang, sama-sama menutup rambut di dalam ruangan.”
Pemuda itu pergi meninggalkan Maghali yang masih termangu
mendengar ucapannya. Shabrina yang berpakaian sama dengan-
nya? Maghali segera menduga, mungkin yang disebutkan Justin
tadi muslimah yang mengenakan hijab juga. Tapi, mengapa gadis
itu tadi tidak hadir?
Di mata pelajaran berikutnya, barulah Maghali bertemu Sha-
brina. Gadis keturunan Kaukasia berkerudung yang langsung ter-
belalak saat melihatnya pertama kali. Mereka belum sempat ber-
bincang, namun Maghali bisa merasakan gadis itu sesekali melirik
ke arahnya yang duduk berjarak dua kursi di sebelah kanannya.
“Assalaamualaikum,” sapa gadis itu setelah materi mereka se-
lesai.
Maghali baru saja membereskan tasnya. Dia mendongak, men-
dapati seraut wajah cantik berbingkai hijab bermotif bunga-bunga
kecil berwarna salem tersenyum manis padanya.
“Waalaikumussalam. Hello, are you Shabrina?” sahut Maghali.
Gadis itu mengangkat alis pirangnya, tampak heran mendengar
namanya disebut Maghali.
“Yes, I am. How do you know?”
“Justin told me about you,” jawab Maghali lalu tersenyum.
“Justin? Apa yang dia bilang tentangku?”
“Dia hanya bilang, bersyukur ada aku di sini, aku bisa menjadi
temanmu karena cara berpakaian kita sama.”
16
pustaka-indo.blogspot.com
“Oh, sungguhkah dia merasa senang untukku?”
“Aku duga begitu. Jadi, diam-diam dia peduli padamu.”
“No way. Dia selalu menghina cara berpakaianku. Katanya, aku
terlalu kuno dan tak pantas belajar fashion,” bantah Shabrina. Tapi,
dia gagal mencegah pipinya yang putih kemerahan menjadi sema-
kin bersemu merah.
“Anyway, aku Maghali, dari Indonesia. Panggil saja aku Lili.
Aku lulusan diploma fashion design La Mode Jakarta, Indonesia.”
“Wah, di sana ada La Mode juga?”
“Ya, masih punya hubungan dengan La Mode ini.”
“Kamu sudah lulus diploma?”
“Dan melanjutkan belajar di sini.”
“Ini tahun keduaku di sini. Selama setahun aku sendirian yang
menekuni modest wear. Sekarang ada kamu, aku lega sekali.”
“Jangan khawatir, modest wear makin banyak peminatnya.”
“Ya, tapi ketika mereka tahu aku muslim, kadang mereka
menganggap remeh, mengira pakaian rancanganku hanya bisa di-
pakai olehku.”
“Nanti sama-sama kita tunjukkan, dugaan mereka itu salah,”
kata Maghali, mencondongkan wajah mendekat ke wajah Shabri-
na. Dia tersenyum menularkan rasa yakin pada gadis itu. Shabrina
balas tersenyum dan mengangguk.
“Kamu mau makan siang?” tanyanya kemudian sambil melirik
jam tangannya. “Sudah pukul setengah satu. Ada kedai makanan
halal kalau kamu mau,” lanjutnya.
“Ya, tentu aku mau. Aku sudah lapar. Itu yang aku perlukan.
Rekomendasi tempat yang menjual makanan halal.”
Shabrina tersenyum. Dia menunggu Maghali bangkit dari kur-
sinya, lalu keduanya melangkah keluar kelas bersama.
“Aku senang melihatmu pertama kali tadi. Akhirnya ada sesa-
ma muslimah yang kuliah di sini. Rasanya bagai mendapat saudara
baru.”
17
pustaka-indo.blogspot.com
“Apakah kamu satu-satunya muslimah yang kuliah di sini?”
“Muslimah, iya, tapi ada dua mahasiswa muslim yang juga ber-
kuliah di sini. Sudah satu tahun ini aku menjadi satu-satunya per-
empuan yang selalu berpakaian serba tertutup dan berkerudung.
Di musim dingin, penampilanku tidak terlalu mencolok, karena
semua orang menutup tubuh rapat-rapat. Tapi di musim panas,
aku benar-benar terlihat aneh.”
“Kamu… seorang mualaf?”
Shabrina mengangguk. “Sudah sejak empat tahun lalu. Tahun
pertama adalah masa-masa yang berat. Bagaimana denganmu?
Apakah kamu muslim sejak lahir? Apakah Indonesia itu negara
muslim?”
“Ya, aku muslim sejak lahir, karena kedua orangtuaku muslim.
Indonesia bukan negara muslim, tapi memang banyak muslim di
sana. Jadi, kami dimudahkan mendapatkan apa saja kebutuhan
muslim. Makanan, umumnya halal di sana.”
“Bersyukurlah kamu.”
“Kamu pun harus bersyukur, kan?”
Shabrina mengangguk. “Tentu, aku sangat bersyukur. Aku ma-
sih bisa menjalankan hidup sesuai agama yang kupilih. Walau ada
beberapa orang yang mengganggu dan mencemooh, lebih banyak
yang tetap bersikap baik padaku.”
Langkah keduanya sudah sampai di luar gedung kampus.
“Tidak keberatan kan, kalau kita berjalan kaki sampai down-
town? Di sana banyak sekali kafe. Salah satunya yang halal adalah
langgananku.”
“Aku senang jalan kaki,” jawab Maghali lalu tersenyum lebar.
Sepanjang perjalanan, obrolan mereka berlanjut. Shabrina tan-
pa canggung menceritakan perjalanan religiusnya, dari awal mula
tertarik dengan Islam, hingga sekarang ini.
18
pustaka-indo.blogspot.com
“Walau umumnya warga di sini cukup terbuka menerima ke-
beradaan muslim, berita buruk tentang pengeboman di beberapa
kota Eropa dan aksi-aksi teror mengatasnamakan Islam, membuat
beberapa warga gelisah. Terkadang aku ikut terkena dampaknya.”
“Pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan?”
“Secara fisik memang tidak pernah, tapi ada yang tiba-tiba
menghampiri, lalu memaki-maki aku, menuduhku sudah dicuci
otak oleh teroris. Menyebut aku bodoh karena mau bergabung de-
ngan agama teroris. Sedih sekali mendengar kata-kata itu. Tapi,
aku hanya bisa bersabar. Aku tidak membalas dengan kata-kata
buruk juga.”
“Kamu tetap bertahan, itu luar biasa, Shabrina.”
“Aku percaya, dengan tetap bersikap baik, suatu saat mereka
sadar, Islam yang sebenarnya membawa damai dan kebaikan. Te-
roris itu kriminal, nggak ada hubungannya dengan agama.”
“Aku setuju itu. Tunjukkan kita hanya orang biasa yang ingin
hidup damai.”
Shabrina mengangguk.
“Bagaimana dengan keluargamu? Apakah mereka bisa meneri-
ma keputusanmu ini?” lanjut Maghali.
Shabrina tersenyum, ini salah satu pertanyaan yang paling se-
ring diterimanya. Pertanyaan yang masih saja membuat hatinya
nyeri mengingat ayah dan adiknya, dan perasaan kasihan tiap kali
melihat wajah sendu ibunya ketika memandanginya.
“Sebenarnya ayahku tidak mempermasalahkan apa yang aku
percayai. Keluargaku cukup terbuka dan memberi kebebasan pada
masing-masing dari kami. Tapi, Ayah sangat tidak suka ketika
aku memutuskan mengenakan pakaian muslim. Ayahku bilang,
bangsa Kanada ini menjunjung tinggi kebebasan, dan aku justru
membatasi kebebasanku. Aku bisa dituduh mendukung teroris.
Adik laki-lakiku tidak mau bicara denganku lagi. Adikku bilang dia
19
pustaka-indo.blogspot.com
malu terlihat jalan bersamaku dengan pakaian seperti ini, cemas
temannya akan mengira dia simpatisan teroris. Hanya ibuku yang
bisa menerima keputusanku dan tetap mendukungku. Termasuk
mendukung cita-citaku suatu saat nanti ingin membuka toko yang
menyediakan kebutuhan muslimah.”
Maghali menghela napas, sering kali seseorang bersikap me-
nentang karena tidak benar-benar paham apa yang ditentangnya.
Itu bisa terjadi dalam setiap hal. Sebagaimana dia tahu, di Indone-
sia terjadi sebaliknya, banyak orang muslim yang selalu curiga dan
anti segala sesuatu yang berasal dari Barat. Kedua pihak bersikap
begitu karena sama-sama belum memahami satu sama lain.
Hanya dengan berbincang singkat, Maghali sudah menaruh
rasa kagum pada Shabrina. Semuda itu sudah mampu mengam-
bil keputusan penting dan tetap teguh menjalaninya. Maghali juga
mengagumi semangat gadis itu mengejar cita-cita. Dia bertekad
akan membagikan pengetahuannya pada gadis itu.
“Ayo, kafe langgananku di bawah sana. Apakah kamu capek?”
kata Shabrina setelah mereka sampai di pintu masuk menuju ruang
bawah tanah.
“Ke mana ini? Subway?”
“Underground City.”
“Aku memang pernah dengar, Montreal terkenal dengan kota
bawah tanahnya.”
“Kurang-lebih panjangnya tiga puluh dua kilometer dengan
luas mencapai dua belas kilometer persegi.”
“Wow! Luas sekali.”
“Kalau kamu baru di sini, jangan pernah berani ke Underground
City sendirian. Kamu bisa tersesat.”
“Aku nggak akan berani masuk ke bawah situ kalau tidak kamu
temani. Aku agak fobia ruang gelap.”
20
pustaka-indo.blogspot.com
Shabrina tertawa. “Oh, walau ruang bawah tanah, tidak gelap,
kok. Modern, terang benderang, dan ramai sekali. Banyak toko,
kafe, dan restoran. Ayo, aku sudah mulai lapar.”
Maghali mengikuti langkah Shabrina yang semakin cepat hing-
ga mereka berada di sebuah ruangan seperti yang dikatakan Sha-
brina, tidak gelap. Tak menyangka ini adalah bangunan di bawah
tanah. Tempat itu menyerupai mal mewah, dengan deretan toko
di kanan-kiri. Mereka terus berjalan hingga sampai di deretan kafe,
lalu Shabrina masuk ke kedai dengan tulisan halal dalam bahasa
Arab di atas pintunya.
“Selain makanannya halal dan enak, di sini juga disediakan
tempat shalat. Jadi kita bisa sekalian shalat di sini.”
Maghali mengangguk. Dia menurut saja menu yang direko-
mendasikan Shabrina. Walau tempat makan ini dimiliki warga
negara Kanada yang berasal dari Aljazair, menu yang disajikan be-
ragam. Menu ala barat pun ada.
Seusai makan dan shalat, Shabrina mengajak Maghali menyu-
suri underground mall itu. Ternyata ada beberapa lantai ke bawah.
Bahkan ada air mancur pula. Maghali sampai lupa, dia sedang ber-
ada di bawah tanah karena keadaan di sini tak ada bedanya dengan
mal di atas tanah.
“Kamu mau langsung pulang, atau mau jalan-jalan dulu ke Chi-
na Town? Mumpung ada di sini bersamaku. Kamu perlu lebih me-
mahami Montreal, kan?” tanya Shabrina.
Seolah Maghali tak diberi kesempatan untuk berpikir lama,
Shabrina berucap lagi, “Atau kamu mulai berasa capek?”
“Oh, tidak. Aku masih sanggup berjalan sedikit lagi. Aku me-
mang ingin tahu seluk-beluk kota Montreal. Aku ingin cepat
beradaptasi. Seminggu kemarin aku sudah mengunjungi bebera-
pa tempat. Mike, cucu pemilik wisma tempat aku tinggal, sudah
21
pustaka-indo.blogspot.com
mengajariku cara naik metro. Tapi, dia tidak mengajakku keliling-
keliling mal mewah di bawah tanah ini,” sahut Maghali.
Shabrina tersenyum, lalu mengajaknya melanjutkan perja-
lanan menyusuri lorong-lorong panjang, dengan desain interior
yang berbeda-beda. Hingga mereka keluar dari bawah tanah dan
langsung terlihat atap bergaya Tiongkok dari hotel Holiday Inn.
Pecinan itu tak ubahnya dengan pecinan di kota-kota lain. Tak
lama mereka melihat-lihat di sepanjang jalan, kemudian Maghali
memutuskan kembali ke rumah Madame Maple. Shabrina menun-
jukkannya jalan naik kereta agar lebih cepat sampai.
Hari yang melelahkan, tapi menyenangkan. Menambah se-
mangat Maghali. Dia menjadi yakin, hari-harinya di kota ini bisa
dilaluinya dengan baik. Ada Shabrina, teman barunya di kampus.
Teman yang menyenangkan, yang bisa menjadi pemandunya me-
ngenal seluk-beluk kota ini.
Di bulan September ini, matahari baru tenggelam pukul sete-
ngah delapan malam. Sekarang sudah pukul setengah lima, baru
masuk waktu ashar. Maghali akan segera mandi, shalat, kemudian
sepertinya dia akan langsung terlelap.
Shabrina sukses membuat kakinya pegal!
22
pustaka-indo.blogspot.com
3
Belle
2
2
Cantik (bahasa Prancis).
pustaka-indo.blogspot.com
“Thank you, Justin. Sebenarnya motivasiku hanya ingin menun-
jukkan, pakaian serba tertutup dan santun bisa tetap tampil chic dan
penuh gaya. Kebetulan konsep ini cocok dengan cara berpakaian-
ku sehari-hari.”
“Ya, sekarang aku tahu, pakaian yang semula kuanggap terlalu
sopan bisa dibuat dengan teknik menggunting yang berani dan ti-
dak biasa.”
Maghali tersenyum.
“Excusez-moi, est-ce qu’il y a quelqu’un quis’appelle Maghali ici? 3”
Maghali menoleh ke sosok luar biasa cantik, tinggi, dan lang-
sing yang barusan menyebut namanya. Dia tidak tahu pasti apa
yang diucapkan gadis itu karena dia tidak mengerti bahasa Prancis.
“Lili, she is looking for you.” Justin yang masih berdiri di sam-
pingnya berbisik memberitahu Maghali.
“Bonjour, Madamoiselle. I am Maghali. Just call me Lili. Can I
help you?”
Gadis itu menatap Maghali yang berjalan ke arahnya. Jawab-
an Maghali dalam bahasa Inggris menyadarkannya, Maghali tidak
menguasai bahasa Prancis.
“Oh, you are Maghali. I mean, Lili. I am Isabelle Estelle. Miss
Prudence memintaku menemuimu untuk mencoba pakaian yang
harus kupakai di acara fashion show nanti.”
“Isabelle Estelle? Aku menunggumu sejak kemarin. Dua model
lain sudah datang mencoba pakaian yang harus mereka pakai. Ayo,
kutunjukkan pakaian bagianmu.”
Maghali berpamitan pada Justin dan Shabrina, lalu memandu
model cantik itu ke ruang produksi pakaian yang dilengkapi lemari
penyimpanan dan ruang ganti. Ini memang permintaan Maghali,
3
Permisi, ada yang bernama Maghali di sini?
24
pustaka-indo.blogspot.com
ingin model yang nanti memperagakan rancangannya mencoba
dulu pakaiannya. Harus terlihat bagus di tubuh sang model. Per-
tunjukan akan dilangsungkan dua minggu lagi. Dia masih punya
kesempatan jika ada bagian yang harus disempurnakan.
Tiga model perempuan dan dua model laki-laki akan mempe-
ragakan pakaian rancangan Maghali. Dia sudah bertemu dengan
dua model perempuan dan satu model laki-laki kemarin. Tampak-
nya cukup mewakili Kanada yang multikultural. Ada gadis berkulit
cokelat tapi berhidung mancung dengan mata hijau. Maghali men-
duga gadis itu campuran keturunan Afrika-Eropa, satu lagi gadis
bermata agak sipit dengan kulit sangat putih. Kabarnya ayah gadis
itu keturunan Jepang, sementara ibunya campuran Jerman-Indi-
an. Kesamaan tiga gadis itu, semuanya tampak memukau dan in-
dah. Tinggi mereka antara 175 sentimeter hingga 178 sentimeter,
membuat Maghali merasa tenggelam bila berdiri di antara mereka.
Gadis ketiga ini berwajah Eropa dengan rambut pirang yang
berkilau. Tubuh sangat ramping dan tungkai panjang. Isabelle Es-
telle. Dari namanya Maghali bisa menebak, gadis ini keturunan
Prancis. Dia mengambil tiga pakaian yang nanti akan dipakai mo-
del pirang itu, lalu menunjukkan ruang ganti pakaian. Tak lama
gadis itu muncul dengan pakaian pertama.
Isabelle mematut diri di depan cermin luas yang terpasang di
salah satu dinding. Pakaian yang dikenakannya berupa gaun te-
rusan warna hijau mint berbahan taffeta. Bahan jatuh itu dibentuk
kerut yang membuat bagian pinggang ke bawah tampak bergelom-
bang. Sentuhan batik berwarna krem ada di bagian dada sebelah
atas dan di pergelangan tangan, serta di tepi bawah gaun.
“Untuk musim gugur, pakaian serbapanjang dan tertutup se-
perti ini memang nyaman dipakai. Rasanya hangat, tapi bahannya
tetap terasa ringan. Aku suka rancanganmu ini. Cantik sekali dan
motif-motif di kain krem ini menarik sekali.”
25
pustaka-indo.blogspot.com
“Itu namanya batik. Banyak motif batik di Indonesia. Setiap
daerah punya ciri khas masing-masing. Ini hanya salah satunya,”
kata Maghali.
“Menarik sekali. Rasanya aku perlu membaca tentang negeri-
mu.”
Maghali mengangguk setuju dan tersenyum.
“Tanpa kerudung seperti yang kupakai ini, pakaian ini menjadi
pakaian dengan gaya modest wear. Bisa dipakai kalangan mana saja.
Untuk ke pesta pun tetap elegan,” katanya.
Isabelle mengangguk setuju.
“Untuk muslim seperti aku, tinggal menambah kerudung un-
tuk menutupi rambut.”
Isabelle menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah keru-
dung di kepala Maghali.
“Jadi, seperti itu pakaian muslimah? Harus menutup semua ku-
lit tubuhmu dan rambutmu?” tanyanya.
“Ada banyak pendapat, tapi aku termasuk golongan yang me-
yakini sebagai muslimah aku harus berpakaian tertutup dan san-
tun.”
“Kau tidak pernah memperlihatkan rambutmu pada siapa
pun?”
Maghali terdiam sesaat, tidak menemukan jawaban yang tepat,
tapi akhirnya dia memilih mengangguk perlahan. Isabelle memi-
ringkan kepala cantiknya, memasang wajah iba.
“Oh, itu aneh sekali. Aku bakal nggak betah kalau harus menu-
tup tubuh dan rambutku seumur hidupku.”
“Saat tidak ada siapa pun di dalam kamar, aku boleh melepas
kerudung ini dan memakai pakaian biasa yang santai.”
“Kalau kamu sudah menikah dan tinggal sekamar dengan sua-
mimu, kamu harus menutupnya juga?”
Maghali tersenyum. “Di hadapan suami tentu aku boleh bebas.
Tanpa sehelai benang pun boleh. Suami, soal lain.”
26
pustaka-indo.blogspot.com
Isabelle tersenyum geli mendengar jawaban Maghali.
“Ah, ternyata kamu bisa berpikir nakal juga.”
“Itu bukan pikiran nakal. Tapi, suami-istri memang punya hak
istimewa satu sama lain.”
“Oke, jadi hanya suamimu yang boleh melihatmu tanpa pakai-
an. Lalu, apakah kau sudah punya suami?”
Maghali tersenyum miris, lalu menggeleng. “Belum.”
“Tapi, pasti sudah punya kekasih. Dia tidak keberatan kamu
tinggal di sini?”
“Tidak ada yang keberatan karena aku tidak punya kekasih.”
“Oh, kau persis seperti aku. Aku pun masih sendiri.”
“Oya? Kenapa? Maksudku, gadis secantik kamu…”
“Bukan berarti aku nggak pernah berhubungan dengan laki-
laki. Sering, tapi nggak ada yang kuanggap spesial. Buatku, berhu-
bungan bukan berarti harus menjadi kekasih.”
Maghali menelan ludah, berusaha memahami mereka memang
punya pilihan gaya hidup yang berbeda.
“Kenapa?” tanyanya, dia tidak benar-benar ingin tahu, hanya
mendadak iseng ingin bertanya seperti itu.
“Aku pernah punya kekasih, tapi dia mengkhianatiku dengan
cara yang sangat menyakitkan. Sejak itu aku tak mau lagi terikat
dengan seseorang. Kalau ada yang kusukai, cukup berhubungan
sekilas tanpa komitmen. Saat aku bosan, dengan mudah tanpa be-
ban kami bisa berpisah. Selain itu, aku masih ingin bebas. Kamu
juga masih ingin bebas, kan?” jawab Isabelle, menceritakan kisah
percintaannya di masa lalu tanpa beban. Seolah gadis sepertinya
bukan jenis yang ditakdirkan bisa mudah jatuh cinta.
“Alasanku bukan karena itu,” sahut Maghali.
“Lalu karena apa?” tanya Isabelle tanpa menoleh. Dia masih
asyik mengagumi penampilannya sendiri yang terpantul di cermin.
“Karena aku belum menemukan orang yang tepat,” jawab
Maghali.
27
pustaka-indo.blogspot.com
Isabelle memandangi Maghali, lalu tertawa.
“Aku juga begitu. Karena itu aku belum berminat menjadi ke-
kasih siapa pun.”
“Kamu mau mencoba memakai skarf ini menutup rambutmu?”
tanya Maghali, mencoba menghentikan pembicaraan tentang ke-
kasih yang menurutnya tak akan berujung pada titik temu.
“Apakah nanti aku harus memakai itu?”
“Ya, aku ingin kamu memakainya.”
“Yang lain juga memakainya?”
“Semua model perempuan yang memperagakan pakaian ran-
canganku memakai ini. Itu kesepakatan kita.”
Isabelle mengangkat bahu. “Apa yang bisa kulakukan. Aku ha-
nya peraga pakaian. Kau boleh memakaikan apa saja ke tubuhku.
Aku dibayar untuk itu.”
Maghali tersenyum, walau dia merasa aneh mendengar per-
nyataan Isabelle itu. Isabelle duduk di kursi, sementara Maghali
memakaikan kerudung berupa bahan sifon berwarna senada de-
ngan gaunnya, dengan gaya sederhana. Wajah cantik Isabelle tetap
terlihat jelas walau kini rambut pirangnya tertutup. Setelah rapi,
Isabelle kembali mematut diri di depan cermin.
“Oh, aku seperti gadis zaman dulu. Era lima puluhan.”
“Kamu tahu seperti ini gaya fashion perempuan era lima pu-
luhan?”
“Aku melihatnya di film-film klasik. Gaya menutup kepala de-
ngan skarf sering muncul.”
Maghali hanya tersenyum. Baginya, Isabelle mau memakainya
saja sudah membuatnya sangat lega. Dua model lainnya pun tidak
keberatan diminta mengenakan kerudung yang ditata oleh Magha-
li menjadi terlihat modis. Mereka bilang, mereka sering mengena-
kan pakaian yang jauh lebih aneh dari sekadar kerudung.
“Sebentar, aku masih nggak habis pikir. Kamu betah berpakai-
28
pustaka-indo.blogspot.com
an tertutup terus seperti itu setiap hari. Bagaimana kalau kamu ke
pantai? Atau berenang?”
“Tetap harus menutup semua kulit kecuali tangan dan wajah.”
Isabelle mengangkat alisnya, tak bisa membayangkan repotnya
ke pantai atau berenang dengan pakaian serba tertutup. Tapi, ke-
mudian dia ingat pakaian penyelam.
“Maksudmu, saat kau berenang, kau memakai pakaian penye-
lam?”
Maghali tertawa. “Mirip seperti itu.”
Tatapan Isabelle berubah memelas, seolah prihatin dengan na-
sib Maghali. “Oh, sungguh malang, kamu nggak boleh pakai biki-
ni.”
Maghali tertawa. “Hidupku baik-baik saja walaupun aku nggak
bisa memakai bikini di pantai atau kolam renang. Tak perlu meng-
khawatirkan aku.”
Maghali memotret Isabelle sebelum gadis itu masuk lagi ke ru-
ang ganti, mencoba pakaian kedua. Setelah mencoba tiga pakai-
an sambil berbincang-bincang, Maghali bisa memutuskan, gadis
itu menyenangkan. Tidak seperti dua model yang datang kema-
rin, Isabelle paling ramah dan satu-satunya yang minta penjelasan
Maghali tentang pakaian rancangan Maghali yang akan diperaga-
kannya.
Ada kerendahan hati dan sikap membumi pada gadis itu yang
bisa dirasakan Maghali. Membuatnya menjadi semakin menarik.
Pintu diketuk. Maghali mempersilakan masuk. Pintu terbuka, me-
nyembulkan wajah Justin dari baliknya.
“Lili, satu model lagi datang untuk diukur tubuhnya,” kata Justin.
“Ya, silakan, masuk saja,” jawab Maghali, dia belum menyadari,
model terakhir yang akan ditemuinya ini akan membuat dunianya
jungkir balik.
29
pustaka-indo.blogspot.com
4
4
Beau
4
Tampan (bahasa Prancis).
pustaka-indo.blogspot.com
Tapi, Maghali tidak menyambut uluran tangan itu. Kebetulan
dia sedang memegang tiga tumpuk pakaian. Dia hanya mengang-
guk dan tersenyum, berpura-pura tangannya sibuk memegang pa-
kaian hingga tak bisa bersalaman dengan laki-laki itu.
“I am Lili. Aku yang merancang pakaian yang nanti akan kau-
pakai. Justin membantuku mengukur tubuhmu, supaya pakaian
yang kubuat nanti pas di badanmu.”
Laki-laki itu mengangguk.
“Kai, kamu ikut proyek ini juga?” kata Isabelle yang baru keluar
dari ruang ganti. Dia maju mendekati laki-laki bernama Kai itu,
mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Kai cukup lama.
“Belle. Kamu lagi. Kita bekerja bersama lagi?”
“Untuk yang kesepuluh kalinya.”
Kai tertawa. “Kau menghitungnya!”
“Itu mudah diingat. Maksudku, kamu mudah diingat,” sahut
Isabelle, lalu tersenyum penuh arti.
Maghali bergantian memandangi Kai dan Isabelle yang terlihat
akrab. Dia sadar, semua model di kota ini pasti saling kenal.
“Baiklah. Kita sudah selesai, Belle. Kita bertemu dua minggu
lagi.”
“Merci5, Lili. Aku senang sekali bisa mengobrol denganmu. Pe-
rancang dari… apa tadi nama negaramu?”
“Indonesia.”
“Nah, iya. Baru kali ini aku mengenakan pakaian rancangan de-
sainer Indonesia. Dan aku suka pakaian-pakaianmu.”
“Merci, Belle. Suatu kebanggaan bagiku kamu menyukai ran-
canganku yang masih belajar di kampus ini.”
“Aku pergi sekarang. Ada janji berikutnya.”
5
Terima kasih (bahasa Prancis).
31
pustaka-indo.blogspot.com
Isabelle menyalami Maghali.
“Au revoir6,” katanya sambil melambaikan tangan pada semua
yang ada di ruang itu sebelum ke luar ruangan. Kai dan Justin ba-
las melambai, Maghali hanya mengangguk. Diam-diam Magha-
li memperhatikan Kai yang masih memandangi Isabelle hingga
menghilang ke balik pintu. Laki-laki itu tampan, tak terbantahkan.
Wajahnya seperti campuran Kaukasia dan Asia. Dengan alis hitam
legam dan tebal menaungi sepasang mata tajam. Maghali terbe-
lalak saat Kai menoleh dan memergokinya sedang memandangi,
membuatnya salah tingkah.
“Baiklah, kita ukur tubuhmu sekarang,” kata Justin.
Kai mengalihkan pandangannya dari wajah Maghali ke Justin.
Maghali menghela napas lega. Justin menyelamatkannya dari rasa
malu yang berkepanjangan.
Maghali mengembalikan pakaian yang tadi dicoba Isabelle ke
lemari. Setelah itu mengawasi proses pengukuran tubuh Kai. Dia
bisa leluasa memandangi Kai. Sosok yang langsung menyita per-
hatian Maghali. Ada sesuatu pada laki-laki itu, sesuatu yang tidak
dimiliki model lain. Sikapnya berbeda dengan Tom, model laki-
laki yang kemarin datang. Kai punya wajah ramah. Mata cokelat
terang yang jernih dan terlihat cerdas.
“Jadi, kamu dari Indonesia?” tanya Kai, bibir merahnya mem-
bentuk senyum.
Membuat Maghali ternganga, hampir lupa bernapas. Setelah
dadanya terasa sesak, barulah dia ingat harus menghirup udara.
Untunglah Justin sudah permisi pergi karena ada keperluan lain
sehingga tak ada yang melihat ekspresinya yang memalukan tadi.
“Miss Prudence tidak memberitahumu?”
6
Sampai jumpa (bahasa Prancis).
32
pustaka-indo.blogspot.com
Kai menggeleng.
“Tidak, dan aku tidak bertanya. Dia cuma meneleponku mena-
warkan pekerjaan ini. Sekolah mode ini cukup penting. Jadi, aku
tak pernah menolak ajakan Miss Prudence. Tanpa banyak tanya,
aku pasti menerimanya.”
Tiba-tiba Maghali ingat, dia hanya berdua dengan Kai di ru-
angan ini, dan itu berbahaya.
“Bisa kita bicara di luar? Di sini sudah tak ada siapa-siapa. Se-
lain itu, aku harus kembali menguncinya. Ini sudah hampir sore,”
kata Maghali menciptakan alasan untuk lepas dari keadaan hanya
berduaan.
Kai mengangguk. Dia membiarkan Maghali berjalan di de-
pannya. Maghali lega saat sudah berada di luar ruangan. Di luar,
banyak mahasiswa lain berlalu lalang. Dia mengunci pintu, lalu
memasukkannya ke saku celana. Mulai berjalan perlahan menuju
kantor Miss Prudence. Kai berjalan di sampingnya.
“Aku memang dari Indonesia. Di sana ada La Mode College
juga. Banyak bakat hebat di Indonesia, yang membuat kampus ini
tertarik membuka cabang di negeriku. Aku sudah lulus diploma.
Lalu aku membuka usaha butik yang memajang rancanganku. Su-
dah berjalan empat tahun dan cukup sukses. Membuatku diundang
ikut serta dalam pertunjukan fashion di beberapa negara. Aku mela-
mar beasiswa di sini karena ingin lebih memperdalam ilmu fashion
sekaligus menambah wawasan dan pengalaman,” kata Maghali
menjelaskan tentang asal-muasal kenapa dia kini berada di sini.
Kai mendengarkan dengan tekun.
“Wow, ternyata kamu sudah menjadi desainer hebat di sana.”
Maghali tersenyum. “Aku masih perlu menambah ilmu dan
pengalaman,” katanya merendah.
“Kamu akan mendapatkannya di sini.”
Maghali mengajak Kai duduk dulu di lobi kampus, sebelum dia
33
pustaka-indo.blogspot.com
ke kantor Miss Prudence. Ada beberapa kursi yang tersedia. Sore
ini kampus mulai sepi. Maghali memlilih kursi yang berada di de-
kat lalu lalang orang.
“Baru kali ini aku bertemu desainer Indonesia. Sungguh suatu
kebetulan yang tidak pernah kubayangkan,” kata Kai melanjutkan
perbincangan.
“Kamu tertarik dengan Indonesia?” tanya Maghali, mulai he-
ran menyadari Kai sepertinya antusias sekali saat mengucapkan
nama Indonesia.
“Aku separuh Indonesia,” jawab Kai singkat. Tapi, jawaban
singkat itu mampu membuat alis Manghali terangkat dan lagi-lagi
matanya terbelalak.
“Kamu keturunan Indonesia? Ah, pantas saja.”
“Apa yang pantas saja? Apa dugaanmu?”
“Aku sudah menebak kamu keturunan Asia, tapi nggak me-
nyangka kamu keturunan Indonesia.”
“Aku lahir di Indonesia.”
“Serius? Oh, jadi kamu pernah tinggal di Indonesia. Berapa
lama? Bisa bahasa Indonesia?” tanya Maghali beruntun, dia mulai
dilanda rasa penasaran.
Kai menggeleng. “Aku tinggal di sana cuma sampai berusia
enam bulan. Lalu ayahku membawaku pindah ke kota ini. Sejak itu
aku nggak pernah ke Indonesia lagi.”
“Enam bulan? Itu masih kecil sekali.”
“Ya, karena itu aku nggak ingat sedikit pun tentang Indone-
sia. Aku hanya bisa melihatnya dari foto-foto yang masih disimpan
ayahku.”
“Tadi, kamu bilang namamu Reeves. Berarti ibumu yang orang
Indonesia?
Kai mengangguk. “Ibuku orang Kalimantan. Tepatnya ting-
gal di Sangatta. Di sanalah aku lahir. Itu sebabnya nama tengah-
34
pustaka-indo.blogspot.com
ku Sangatta. Ayahku sengaja memberi nama itu sebagai kenang-
kenangan yang mengikat aku dengan tempat itu.”
Mendengar ucapan Kai itu, menelusup rasa malu di hati
Maghali. Sebagai Warga Negara Indonesia, dia malah belum tahu
tentang Sangatta. Dia berharap Kai tidak bertanya tentang kota
itu.
“Nama yang unik,” katanya memberi tanggapan, menutupi
rasa bersalahnya.
“Kamu pernah ke sana?” tanya Kai, mengharapkan jawaban
“iya”.
“Oh, belum pernah. Kamu tahu, Indonesia luas sekali. Belum
semua jengkal wilayahnya aku datangi. Kamu juga, belum semua
tempat di Kanada sudah kamu kunjungi, kan?”
“Ya, aku tahu. Tadinya kupikir kalau kamu pernah ke sana,
kamu bisa menceritakan padaku seperti apa suasana di sana.”
“Suatu saat aku bisa ke sana. Kamu punya rencana suatu hari
nanti kembali melihat Sangatta? Apakah ibumu pernah pulang ke
kampung halamannya?”
Kai menghela napas, dia mengalihkan pandangannya dari mata
Maghali, menatap beberapa orang yang lalu lalang.
“Ibuku meninggal setelah melahirkan aku. Aku belum pernah
melihat ibuku. Hanya melihat fotonya.”
Maghali tercekat. Jawaban Kai itu membuat Maghali merasa
bersalah karena telah mengajukan pertanyaan salah.
“Maaf, aku nggak tahu. Aku turut berduka cita.”
Kai tersenyum seolah sinis pada dirinya sendiri. “Itu nggak per-
lu, itu sudah lama banget. Aku sudah biasa tanpa ibu.”
Kai mengerjap, lalu dia bangkit berdiri. “Maaf, aku membicara-
kan hal yang nggak penting untuk dibicarakan.”
“Nggak ada yang salah dengan pembicaraan kita. Aku jadi tahu,
kamu orang Indonesia juga, walau hanya separuh.”
Kai kembali tersenyum sinis.
35
pustaka-indo.blogspot.com
“Tidak, aku cuma lahir di Indonesia. Hanya sebentar menghi-
rup udara sana dan meminum airnya. Nggak ada jejak yang tersisa.
I am Canadian.”
“Tapi, kamu kelihatannya tertarik mengenalku lebih jauh sete-
lah tahu aku orang Indonesia...”
“Aku hanya penasaran. Ingin tahu lebih jauh, seperti apa kebia-
saan orang Indonesia. Cara berpikirmu, dan sebagainya.”
“Itu artinya kamu mengakui, ada sejarah Indonesia dalam da-
rahmu dan kamu ingin mengenalnya,” kata Maghali sambil terse-
nyum. Dia berusaha menjaga nada ringan dalam nada suaranya.
Kai mengangkat bahu. “Mungkin,” sahutnya singkat.
“Kalau kamu ada waktu, datanglah ke Indonesia. Aku berani
bertaruh, pendapatmu akan berubah tentang dirimu yang orang
Kanada.”
“Maksudmu?”
“Kemungkinan kamu akan berharap kamu orang Indonesia.”
Kening Kai berkernyit.
“Baiklah, aku harus menemui Miss Prudence untuk mengem-
balikan kunci ini,” lanjut Maghali sambil memutar-mutar kunci
yang dipegangnya.
“Oke, kita ngobrol lagi kapan-kapan. Nice to meet you. Kita ke-
temu dua minggu lagi.”
Maghali mengangguk. Dia belum beranjak sampai sosok men-
julang dan gagah itu menghilang ke luar gedung. Lagi-lagi dia
tersenyum, merasa sangat senang. Dulu dia selalu curiga kepada
laki-laki yang terlalu tampan, tapi kali ini rasa itu tidak ada. Entah
mengapa dia yakin, ada sesuatu yang beda dengan laki-laki berna-
ma Kai Sangatta Reeves itu.
36
pustaka-indo.blogspot.com
5
Laki-laki Nyaris Sempurna
pustaka-indo.blogspot.com
Seusai acara, sesuatu terjadi tanpa terduga. Natalie, model Ka-
nada campuran Jepang-Jerman-Indian itu mendadak lemas, tu-
buhnya lunglai dan jatuh begitu saja. Kejadian itu sangat tiba-tiba.
Tak ada yang sempat menangkap tubuhnya. Kepalanya memben-
tur lantai, gadis itu seketika tak sadarkan diri. Gadis-gadis yang
berdiri di sekelilingnya menjerit histeris. Semua menoleh ke arah
kegaduhan itu.
“Kai!” teriak Miss Prudence.
Maghali terpana mendengar nama itu dipanggil, lalu dengan
cepat Kai yang sudah berganti pakaian muncul, menyibak keru-
munan orang, bersimpuh di sisi tubuh Natalie yang masih terge-
letak di lantai. Kai membenahi posisi tubuh Natalie, meluruskan
kakinya, mengatur tubuhnya dalam posisi telentang. Dia membuka
jasnya, melipatnya, lalu meletakkannya di bawah kepala Natalie se-
bagai bantal. Kemudian dia memeriksa nadi di pergelangan tangan
gadis itu. Natalie masih bernapas teratur, hanya matanya terpejam
bagaikan tertidur.
“Tubuhnya lemah sekali. Aku akan membawanya ke rumah
sakit,” ujar Kai sambil menoleh pada Miss Prudence yang mem-
perhatikan di sisi Kai sambil membungkuk, menahan rasa cemas.
“Kenapa dia?” tanyanya masih dengan raut khawatir.
“Aku akan tahu setelah memeriksanya di rumah sakit,” jawab
Kai.
Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci mobil.
“Tolong temani aku ke rumah sakit, Tom. Bawa saja mobilku.
Kamu yang menyetir,” lanjut Kai pada Tom, yang berdiri paling
dekat dengannya.
Tom mengangguk, menerima kunci yang disodorkan Kai,
lalu bergegas keluar, sementara Kai mengangkat tubuh Natalie
dan membopongnya keluar gedung. Semua masih terpana me-
38
pustaka-indo.blogspot.com
mandangi kepergian mereka, beberapa model bahkan tanpa sadar
mengikuti langkah Kai.
“Sudah selesai. Aku yakin Kai bisa mengatasi Natalie. Kita lan-
jutkan urusan kita. Buat yang belum berganti pakaian, segera ber-
gantilah!” teriakan Miss Prudence itu mengembalikan perhatian
para model padanya.
Mereka melanjutnya kegiatan masing-masing sambil saling bi-
sik membicarakan kejadian tadi.
Maghali juga kembali melanjutkan kegiatannya membereskan
pakaian-pakaian yang telah dipakai para model. Menyimpannya ke
dalam bungkusnya satu per satu. Memasukkannya kembali ke le-
mari penyimpanan yang tersedia di dekat ruang ganti pakaian yang
tersedia di kampus ini. Namun, sepanjang dia melakukan itu, pi-
kirannya masih dipenuhi kejadian tadi. Betapa dia terpana dengan
apa yang dilakukan Kai. Dengan cekatan laki-laki itu bergerak me-
nolong Natalie. Miss Prudence langsung memanggilnya. Kenapa
Kai yang dipanggil? Kenapa Kai yang harus menolong Natalie?
Kenapa Kai yang membawa gadis itu ke rumah sakit? Ada hubung-
an apa antara Kai dengan Natalie? Apakah Kai seseorang yang spe-
sial untuk Natalie? Pertanyaan-pertanyaan itu berlompatan dalam
kepala Maghali.
“Miss Prue, ke rumah sakit mana Kai membawa Natalie?” ta-
nya Maghali setelah tugasnya selesai, beberapa model sudah me-
ninggalkan ruangan.
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Aku ingin mengunjunginya. Ingin tahu keadaannya. Natalie
pingsan setelah memperagakan rancanganku. Aku merasa ikut
bertanggung jawab. Sudah seharusnya kan, ada di antara kita yang
peduli padanya?”
“Sudah ada Kai yang membantu mengurus Natalie. Aku perca-
ya Kai sanggup menyembuhkan Natalie.”
39
pustaka-indo.blogspot.com
“Kenapa harus Kai? Apa Kai punya hubungan spesial dengan
gadis tadi?”
Miss Prudence mengangkat alis, lalu menepuk bahu Maghali
dan tersenyum.
“Kamu belum tahu? Kai seorang dokter. Dia yang paling pa-
ham bagaimana cara mengatasi orang sakit. Memang, itu bukan
tugasnya di sini. Tapi, tadi keadaan darurat. Dan Kai ada di ru-
angan ini. Kupikir tak ada salahnya kalau aku minta bantuan dia.”
Maghali ternganga. Ini adalah informasi yang sangat menge-
jutkannya. Kai seorang dokter? Model rupawan bertubuh nyaris
sempurna itu seorang dokter? Mengapa Tuhan memberi laki-laki
itu anugerah terlalu berlebihan? Bukankah seharusnya tak ada ma-
nusia yang sempurna? Tapi Kai, setampan itu dan seorang dokter!
Itu terlalu sempurna.
“Montreal General Hospital. Kai membawanya ke sana. Dia
bekerja paruh waktu di sana. Kamu bisa naik taksi dan sebutkan
saja nama rumah sakit itu. Sopirnya pasti tahu.”
“Thank you, Miss Prue. Perasaanku akan lebih baik kalau sudah
melihat keadaan Natalie.”
“Aku yang berterima kasih padamu karena peduli padanya. Aku
belum bisa mengunjunginya. Banyak yang harus kubereskan di
sini.”
“No problem. Biar aku yang mewakili menjenguknya. Aku pergi
sekarang,” kata Maghali.
Dia segera berbalik, setelah sampai di luar bergegas menghen-
tikan taksi kosong yang lewat. Menyebutkan nama rumah sakit tu-
juannya setelah duduk di jok belakang. Sepanjang perjalanan, dia
masih tak habis pikir, bagaimana cara seorang model sibuk seperti
Kai bisa bekerja paruh waktu di rumah sakit. Bagaimana dia meng-
atur waktunya?
Maghali terpana melihat gedung rumah sakit besar yang dise-
butkan Miss Prudence. Membuatnya tak yakin bisa menemukan
40
pustaka-indo.blogspot.com
Kai. Namun, saat dia sampai di lobi, dia melihat banner setinggi
dua meter, berisi ajakan menjaga kesehatan dan modelnya adalah
Kai! Laki-laki itu mengenakan jas putih panjang, tersenyum ra-
mah, dan tampan sekali.
Saat seorang perawat lewat, bergegas Maghali menghentikan-
nya dan menanyakan di mana dia bisa menemukan dokter seperti
yang ada di banner itu. Perawat itu menjawab di lantai tiga. Magha-
li berterima kasih, lalu menuju lift. Sesampai di lantai tiga, lagi-lagi
Maghali kebingungan. Lantai itu luas sekali, banyak yang berlalu
lalang. Pasien, keluarga pasien, paramedis, dokter.
Maghali menanyakan pada salah satu paramedis yang lewat di
dekatnya, di mana dia bisa menemukan Dokter Kai Sangatta Ree-
ves. Paramedis itu menunjuk ke arah ruang di bagian paling ujung.
Di dalam ruang yang luas itu terdapat sekat-sekat tertutup gorden
putih. Ada enam tempat tidur. Walau tertutup gorden, saat mele-
watinya Maghali bisa melihat sekilas sosok yang berada di dalam
sekat itu. Tiga tempat tidur dia lewati, belum dilihatnya Kai dan
Natalie. Hingga tempat tidur kelima, barulah terlihat sosok Kai.
Laki-laki itu sedang menunggui Natalie yang masih berbaring dan
memejamkan mata.
“Excuse me, Dokter Kai Reeves?” tanya Maghali
Kai menoleh, mengernyit heran melihat Maghali. Dia keluar
dari ruang tempat tidur yang hanya bersekat gorden itu.
“Lili? Sedang apa kamu di sini?”
“Aku ingin tahu keadaan Natalie. Bagaimana dia?”
“Sudah sadar, tapi sekarang sedang tidur karena efek obat.”
“Sakit apa dia?”
“Kelaparan. Aku perkirakan dia belum makan apa-apa tiga hari
ini. Lambungnya kosong, akhirnya terluka.”
Kening Maghali mengernyit. Memang itu penyakit para mo-
del. Mereka takut gemuk, takut kalah bersaing di dunia mode.
41
pustaka-indo.blogspot.com
Model-model memang menjaga pola makan, ada juga yang sampai
kecanduan minum obat pelangsing, bulimia, atau anoreksia. Bu-
kan sekali ini Maghali bertemu model seperti itu sepanjang karier-
nya sebagai perancang busana. Tapi, baru kali ini ada yang sampai
pingsan di hadapannya.
Kai menghela napas melihat kernyitan di wajah Maghali. “Ini
masalah yang sering dialami beberapa model perempuan. Takut
gemuk. Mungkin juga ada hubungannya dengan gangguan psiko-
logis. Selalu merasa kurang langsing, alam bawah sadarnya meme-
rintahkan untuk tidak makan. Jadi, setelah ini aku mungkin akan
menyarankan dia menemui psikolog.”
“Apakah model laki-laki tidak memiliki ketakutan yang sama?”
Kai tampak enggan menjawab pertanyaan itu. Dia segera
mengalihkan pembicaraan.
“Pelankan suaramu, Li. Tunggulah di luar, di ruang tunggu ada
kursi. Duduklah di sana. Aku akan menemuimu sebentar lagi. Aku
akan memindahkannya ke ruang rawat inap.”
“Baiklah, aku tunggu di luar.”
Maghali duduk menunggu hingga dua puluh menit kemudian.
Waktu menunggu dia manfaatkan untuk menelaah sosok Kai lagi.
Model dan dokter. Membayangkan seorang dokter berjalan di atas
catwalk membuat Maghali tersenyum geli.
“Apakah kamu terganggu secara psikologis juga?”
Maghali menengadah, terenyak melihat Kai sudah berdiri di
hadapannya.
“Maksudmu?”
“Kamu senyum-senyum sendiri.”
“Oh, maaf, itu karena aku membayangkan sesuatu yang lucu.
Natalie sudah dipindahkan?”
Kai mengangguk. “Dia bisa tidur lebih nyaman. Aku perkira-
kan dia harus dirawat inap sekitar empat atau enam hari, tergan-
tung perkembangan kondisinya nanti.”
42
pustaka-indo.blogspot.com
“Selama itu?”
“Untuk sementara dia harus mengonsumsi makanan khusus
agar penyembuhan lambungnya yang terluka tidak terganggu.”
“Kamu masih akan menungguinya?”
“Tidak, aku akan pulang. Jam kerjaku baru besok pagi. Ayo,
kuantar kamu pulang.”
“Aku bisa langsung naik bus dari sini.”
“Ayolah, apa salahnya aku antar. Kita bisa ngobrol banyak sam-
bil jalan.”
Maghali menimbang-nimbang. Sebenarnya, tawaran Kai itu
sungguh menggiurkan. Diantar mobilnya yang nyaman. Hanya
berdua dengan laki-laki tampan. Maghali terbelalak. Itulah yang
berbahaya. Hanya berdua.
“Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan untuk menjawab
ya atau tidak? Ini sudah larut. Lebih aman bila kamu kuantar.”
Akhirnya Maghali mengangguk. Kai berbalik, melangkah ke-
luar gedung rumah sakit. Maghali melangkah mengikuti Kai. Dia
yakin, Kai orang baik. Tak akan terjadi apa pun di dalam mobil
walau mereka hanya berdua.
“Oh ya, kamu tinggal di mana? Sebutkan saja nama jalannya,”
tanya Kai setelah mobil yang dikendarainya meluncur keluar dari
area rumah sakit.
“Rue d’Aragon,” jawab Maghali.
Kai mengangguk.
“Aku baru tahu kamu seorang dokter. Benar-benar membuatku
terkejut,” kata Maghali
“Kenapa terkejut? Tidak mengira seorang model bisa menjadi
dokter?” sahut Kai.
“Tepatnya, aku nggak mengira seorang dokter mau menjadi
model,” bantah Maghali. “Bagaimana kamu membagi waktu anta-
ra karier sebagai model dan pekerjaan sebagai dokter?”
43
pustaka-indo.blogspot.com
“Tidak banyak pekerjaan sebagai model yang aku lakukan. Ha-
nya sesekali menerima tawaran memperagakan pakaian di catwalk.
Lokasinya pun hanya sekitar Kanada. Paling jauh New York. Di
rumah sakit ini aku bekerja paruh waktu. Shift-nya bisa aku atur.”
“Lebih dulu mana, menjadi model atau menjadi dokter?”
“Keterlibatanku di dunia model benar-benar tanpa sengaja.
Saat masih kuliah, aku sedang tugas praktik di rumah sakit ini. Seo-
rang pencari bakat berobat ke sini karena mendadak pusing dalam
perjalanan menuju kantornya. Kebetulan aku yang memeriksanya.
Tekanan darahnya rendah sekali. Setelah aku beri obat, aku me-
nawarkan mengantarnya pulang. Memeriksanya adalah tugas ter-
akhirku hari itu setelah shift malam. Dia terkesan dengan perhati-
anku. Selain itu dia bilang, dia tertarik dengan wajahku. Katanya
unik, eksotis. Dia menawariku menjadi model. Aku hanya tertawa.
Seumur hidup tak pernah terpikir olehku menjadi model.”
“Lalu, apa yang membuatmu berubah pikiran menerima tawar-
annya?”
“Uang. Aku butuh uang. Dan bayaran yang ditawarkan untukku
menjadi model iklan sebuah produk, bagiku saat itu cukup besar.”
“Untuk membiayai kuliahmu?”
Kai tertawa, matanya yang tajam menyipit.
“Banyak keperluan. Tapi, aku nggak perlu menceritakan sebe-
rapa berat beban hidupku, kan? Aku hanya ingin mendengar ceri-
ta tentang Indonesia, langsung dari warga negaranya sendiri. Aku
sudah membaca artikel, buku tentang Indonesia. Terutama Kali-
mantan. Tapi mendengar ceritanya langsung darimu, pasti beda.”
“Sejujurnya, aku jarang ke Pulau Kalimantan. Baru dua kali
menemani saudariku bertugas, itu pun bukan ke Sangatta. Sehari-
hari aku lebih sering di pulau Jawa.”
Kai mengangguk mengerti.
“Ini sudah sampai Rue d’Aragon. Yang mana rumah tempatmu
tinggal?”
44
pustaka-indo.blogspot.com
“Itu dia, yang bercat hijau toska,” katanya menunjuk rumah
berlantai tiga yang sudah terlihat dari sini. Kai mulai memperlam-
bat laju mobilnya.
“Kamu menyewa sebuah kamar di sini?” tanya Kai setelah mo-
bilnya berhenti tepat di rumah yang ditunjuk Maghali.
“Ya, hanya ada empat kamar yang disewakan di sini. Madame
Maple pemilik rumah ini. Baik sekali. Aku merasa bagai tinggal di
rumah sendiri.”
“Baiklah. Sekarang aku tahu di mana kamu tinggal. Kalau suatu
saat aku ada perlu, aku bisa menjemputmu di sini. Oh ya, boleh
minta nomor ponselmu?”
“Oh, tentu saja,” Maghali menjawab gugup.
Setelah bertukar nomor ponsel, Maghali berdeham, meng-
ucapkan terima kasih, kemudian keluar dari mobil. Dia masih
berdiri sampai Kai melajukan lagi mobilnya. Maghali menghela
napas lega, kemudian tersenyum. Tak pelak lagi, Kai sudah me-
narik perhatiannya. Bagaimana dia bisa menahan diri dari seorang
seperti Kai? Model sekaligus dokter, berhati baik, pula. Semula dia
tak sabar ingin menceritakan tentang Kai kepada Maura, tapi se-
telah mempertimbangkan, dia ingin menyimpan dulu semua cerita
tentang laki-laki memesona itu. Belum saatnya untuk dibicarakan.
Lagi pula, Kai hanya bersikap ramah. Maghali cukup tahu diri un-
tuk tidak berharap lebih.
Kai seorang model. Bukankah dia tidak pernah bisa memerca-
yai model laki-laki? Manusia yang hanya mengandalkan keindahan
fisik. Tapi, bagaimana kalau Kai bukan model biasa?
Maghali bergegas menaiki tangga, masuk ke rumah langsung
menuju kamarnya. Membereskan banyak hal yang masih harus
dirapikan sebelum tidur. Melupakan untuk sesaat sosok Kai. Me-
nyingkirkannya dari dalam pikirannya. Dia pasti bisa.
45
pustaka-indo.blogspot.com
6
Satu Hari Menakjubkan
pustaka-indo.blogspot.com
“Keluarlah, aku sudah ada di depan rumah tempatmu tinggal.”
Maghali terbelalak, mendadak dia dilanda panik.
“Kamu sudah ada di depan?”
“Ya, cepatlah. Hari ini udara di luar agak dingin.”
“Oke, aku segera turun.”
Maghali bergegas ke kamar mandi. Beruntung dia sudah man-
di, kebiasaan mandi pagi masih dilakukannya di sini. Dia hanya
menyikat giginya cepat-cepat. Setelah yakin mulutnya berbau ha-
rum, bergegas dia berganti pakaian. Melapis kaus katun dengan
jas panjang, bawahannya kulot berbahan jins berwarna biru tua.
Dengan cepat dia mengenakan pashmina, lalu memoles bibirnya
dengan lipgloss semu peach. Dia menarik tas di atas meja rias, me-
masukkan ponsel. Kemudian membuka pintu, keluar kamar dan
menguncinya. Membuka pintu depan, menguncinya lagi, terburu-
buru menuruni tangga. Kai menunggunya tepat di depan anak
tangga terbawah. Saat Maghali sudah menjejakkan kaki di hala-
man, napasnya masih tersengal-sengal.
“Kamu terburu-buru sekali,” kata Kai sambil tersenyum lebar
hingga sederet giginya yang putih terlihat.
“Aku nggak mau bikin kamu terlalu lama menunggu. Kenapa
kamu punya rencana ke sana mendadak sekali?”
“Aku sudah berencana ke sana sejak semalam. Lalu sepanjang
perjalanan tadi terpikir olehku, kenapa nggak mengajak kamu?
Aku ingat kamu pernah bertanya soal Jean Talon Market. Mung-
kin kamu mau kuajak ke sana.”
Maghali tertawa dan mengangguk-angguk. Seolah sebagai tan-
da dia menyetujui dugaan Kai. Padahal sebenarnya dia tak peduli
diajak ke mana, bila yang mengajak Kai, dia tak akan menolak.
Kai berjalan mendekati mobilnya yang terparkir di depan ru-
mah Madame Maple ini. Membukakan pintu untuk Maghali.
47
pustaka-indo.blogspot.com
“Masuklah,” ucapnya sopan diiringi senyum.
Maghali balas tersenyum sambil bergegas masuk ke mobil.
“Di akhir Oktober seperti sekarang, Jean Talon Market masih
ramai. Masih ada penjual yang memasang tenda di bagian luar.
Aku senang belanja buah dan sayur di sana. Karena benar-benar
segar, langsung diantar dari petani.”
“Aku memang punya rencana ke sana, tapi belum sempat.”
Hari ini cuaca masih cerah. Setelah Kai memarkir mobil, me-
reka berjalan beriringan menuju pintu masuk Jean Talon Market.
Pasar ini mirip pasar tradisional di Indonesia. Dengan buah-buah
segar beraneka warna dipajang untuk menarik minat pengunjung.
Kai membeli cukup banyak buah, sayur, susu, dan keju. Dia juga
membeli salmon segar. Dia bilang, itu untuk persediaan selama
seminggu. Maghali membeli beberapa buah-buahan yang terlihat
menggiurkan.
“Hari ini aku akan memasak. Kamu mau ke rumahku? Bertemu
nenekku dan mencicipi masakanku?”
Kali ini Maghali benar-benar terkejut. Kerongkongannya men-
dadak terasa kering, membuatnya terbatuk-batuk.
“Ehm, maaf,” ucapnya setelah batuknya reda.
“Kamu kenapa, Li?”
“Tidak apa-apa. Hanya tenggorokanku mendadak gatal. Ehm,
kenapa kamu baru bilang sekarang kalau mau mengundangku ke
rumahmu?”
“Kenapa? Kamu nggak bisa? Sudah ada acara?”
“Bukan begitu. Tapi, pakaianku kasual banget. Sangat nggak
pantas bertamu ke rumahmu, apalagi bertemu nenekmu.”
Kai melirik pakaian Maghali, lalu tersenyum lebar.
“Rumahku juga sederhana. Nenekku juga seorang yang se-
derhana. Dia nggak akan peduli pakaianmu bermerek atau tidak.
48
pustaka-indo.blogspot.com
Asalkan kamu berpakaian sopan dan bersikap ramah, dia akan me-
nyukaimu.”
“Kamu yakin?”
“Percayalah.”
Maghali memilih percaya. Hanya saja diam-diam dia menyesal-
kan, andaikan tahu akan diundang Kai ke rumahnya, dia akan me-
milih pakaian yang lebih layak. Dia teringat pakaian dengan kain
rajut Lombok di bagian dada dan pundak. Itu pakaian yang bagus
sekali dan selalu membuatnya merasa lebih menarik tiap kali me-
makainya. Maghali membelalak. Ada yang harus lebih dia cemas-
kan dibanding soal pakaian. Kai, mengundangnya ke rumahnya!
Bertemu neneknya! Apakah artinya ini?
Maghali melirik Kai perlahan. Laki-laki itu sedang fokus me-
nyetir dan memandang ke jalanan di depan. Sudah sepuluh menit
mereka saling diam.
“Apakah kamu betah tinggal di Montreal?” tanya Kai tiba-tiba.
Maghali tersentak. Buru-buru dia mengalihkan pandangannya
ke depan.
“Aku suka tinggal di sini. Kota yang menyenangkan. Aku pa-
ling suka Old Montreal. Tiap kali ke sana, seperti sedang berada
di Eropa. Paduan dari Prancis yang klasik dan gaya modern war-
ganya.”
“Banyak tempat menarik di kota ini yang harus kamu kun-
jungi.”
“Ya, aku sudah membaca tentang Montreal. Kurasa aku punya
banyak waktu untuk mengunjunginya satu per satu. Aku masih cu-
kup lama tinggal di sini.”
“Rencana yang bagus.”
Maghali kembali melirik Kai. “Ngomong-ngomong, kenapa
kamu mengundangku ke rumahmu?”
49
pustaka-indo.blogspot.com
Kai menoleh sebentar pada Maghali, lalu kembali memandang
ke depan dan tersenyum. “Aku ingin membuat nenekku senang.
Granny, begitu aku memanggilnya, sudah lama nggak dikunjungi
tamu. Ayah dan adik-adikku hanya setahun sekali berkunjung, se-
minggu selama libur Natal dan Tahun Baru.”
“Jadi… kamu sering mengundang temanmu ke rumah supaya
nenekmu senang?”
“Nggak sering. Sebenarnya, baru kamu yang kuundang ke ru-
mah.”
Kening Maghali berkernyit. Kali ini dia terang-terangan me-
noleh ke arah Kai. “Kenapa baru aku?” tanyanya, memandangi Kai
terus, menunggu jawaban.
“Karena aku ingin memeperkenalkanmu pada nenekku.”
“Alasannya?” tanya Maghali sambil berusaha menenangkan
jantungnya yang berdentum-dentum tidak teratur.
“Aku bilang pada nenekku, aku kenal gadis Indonesia. Granny
penasaran sekali ingin bertemu denganmu dan mendengar cerita-
mu tentang Indonesia. Granny pernah ke Indonesia dua kali, se-
belum aku lahir.”
Maghali meluruskan kepalanya perlahan, mencoba menghen-
tikan rasa besar kepala yang mendadak muncul. Kai punya alasan
masuk akal mengapa mengundangnya ke rumahnya. Bukan karena
tertarik pada Maghali. Mana mungkin Kai yang nyaris sempurna
tertarik pada gadis sederhana seperti dirinya?
“Kita sudah sampai,” kata Kai. Mobil membelok masuk ke
pekarangan sebuah rumah cukup besar dengan halaman luas tak
berpagar.
Setelah mobil berhenti, Kai bergegas keluar. Maghali juga ke-
luar mendahului Kai yang berencana membukakan pintu untuk-
nya. Kai hanya tersenyum lebar, lalu mengambil kantong belanja-
an yang dia letakkan di jok belakang.
50
pustaka-indo.blogspot.com
“Ayo, masuklah, Li,” ajak Kai pada Maghali yang masih berdiri
menunggu di depan teras. Maghali mengikuti langkah Kai. Laki-
laki itu menekan bel. Beberapa menit kemudian muncul seorang
gadis belia dengan rambut hitam lurus panjang diikat satu mem-
bukakan pintu.
“Hello,” sapanya, lalu mengambil alih kantong belanjaan yang
dibawa Kai.
“Ini Selena, gadis yang bertugas menemani Granny. Dia ting-
gal di sini bersama kami,” kata Kai, memperkenalkan gadis itu.
“Lili,” ucap Maghali sambil tersenyum pada Selena. Gadis itu
balas tersenyum dan mengangguk, lalu masuk ke rumah.
Kai menahan pintu untuk Maghali, baru kemudian dia menu-
tup pintu dan menyusul. Memandu Maghali masuk ke ruang ke-
luarga. Sebuah ruang cukup luas dengan seperangkat sofa, televisi
layar datar di tengah ruangan. Gorden berdesain klasik berwarna
kuning gading yang diikat di kanan-kiri, hingga cahaya matahari
menelusup dari jendela lebar yang terbuka. Di sebuah kursi yang
berbeda dengan sofa, dengan sandaran lebih tinggi, duduk seorang
perempuan tua, rambutnya ikal sebatas leher, kacamata bulat kecil
bertengger di ujung hidungnya yang mancung.
“Hello, Granny. Ini dia gadis yang kuceritakan berasal dari In-
donesia. Maghali, tapi dia lebih senang dipanggil Lili,” kata Kai.
Dia membungkuk dan menepuk punggung tangan neneknya yang
asyik merajut.
Perempuan yang dipanggil Granny itu menoleh pada Maghali,
mendekatkan kacamatanya, mengamati lebih saksama.
“Kenapa pakaianmu seperti itu?” Komentar Granny itu sung-
guh tak diduga Maghali, membuatnya tidak tahu harus menjawab
apa.
“Karena Lili seorang muslim, Granny,” Kai membantu men-
jawab.
51
pustaka-indo.blogspot.com
Granny masih memandangi Maghali beberapa saat, lalu meng-
angguk-angguk.
“I see. I am Irish Reeves. But you can call me Granny.”
“Hello, Granny. Thank you, I am glad to see you.”
“Aku ingin memasak makanan istimewa hari ini. Biar aku tun-
jukkan dapur kita dulu pada Lili. Oke, Granny?”
“Ya, lakukanlah. Tolong panggilkan Selena. Aku ingin ke ka-
mar mandi.”
Kai memanggil Selena. Setelah gadis itu datang, dia menga-
jak Maghali ke dapur. Dapur itu cukup luas, bersebelahan dengan
ruang makan tanpa sekat. Ada jendela yang menerus dari lantai
sampai langit-langit. Jendela itu dibuka lebar, hingga dari dapur
terlihat taman penuh pepohonan yang saat ini beberapa daunnya
sudah mulai berubah warna.
Selena sudah mengeluarkan seluruh isi belanjaan. Kai memin-
ta Maghali membantunya mengupas dan memotong kentang, se-
mentara dia mulai meracik menu yang belum dibocorkannya apa.
“Berapa usia Granny?” tanya Maghali di sela-sela kesibukan-
nya.
“Tujuh puluh tiga tahun.”
“Oh, tapi masih terlihat kuat. Rajin sekali Granny merajut.”
Kai menggeleng. “Granny sudah tidak sekuat dulu. Penyakit
membuatnya lemah.”
“Penyakit? Granny sakit apa?” tanya Maghali, keningnya ber-
kernyit.
“Granny menderita kanker usus besar. Baru terdeteksi setahun
lalu. Sebenarnya baru stadium tiga. Pernah dikemoterapi dan ra-
diasi beberapa kali, tapi kemudian Granny menolak melakukannya
lagi,” kata Kai sambil fokus meracik bumbu. Dia sama sekali tidak
mengalihkan pandangannya ke Maghali, suaranya tenang. Seolah
apa yang disampaikannya itu adalah hal biasa.
52
pustaka-indo.blogspot.com
“Kanker… oh… kenapa tidak mau?” tanya Maghali hati-hati.
“Granny bilang, dia tidak tahan sakitnya. Di usianya sekarang,
dia tak mau menderita. Bahkan tanpa takut Granny bilang lebih
baik cepat mati, bisa bertemu Grandpa daripada harus menderita.”
Maghali menelan ludah, tidak tahu harus berkomentar apa.
“Aku tidak bisa memaksa Granny. Aku tak ingin membuatnya
menangis. Yang bisa kulakukan hanya mengatur makanannya. Ku-
pilih yang benar-benar sehat. Sekarang ini keadaan Granny cukup
baik. Lebih segar, walau terkadang katanya sesekali diserang rasa
nyeri.”
“Apakah ada kemungkinan sembuh?”
“Tanpa kemoterapi sulit sekali menghancurkan sel-sel kan-
kernya. Jadi, sebisanya aku memenuhi apa pun keinginan Granny
yang bisa membuatnya senang.”
Mata Maghali memanas mendengar kata-kata Kai itu. Dia bisa
merasakan rasa khawatir bercampur kasih sayang tulus Kai pada
neneknya. Selena yang baru selesai mengantar Granny ke kamar
mandi, masuk ke dapur.
“Kamu sudah selesai mengupas dan mengiris semua kentang.
Sekarang biarkan aku sendiri melanjutkan memasak menu hari ini.
Selena akan membantuku. Tolong temani Granny. Kamu mau,
kan? Ngobrollah dengannya. Jangan biarkan Granny sendiri.”
Maghali tak bisa menolak, “Baiklah,” sahutnya, lalu keluar dari
dapur menuju ruang keluarga, melihat Granny asyik merajut.
“Hello, Granny,” sapa Maghali, dia duduk di bagian sofa yang
paling dekat dengan kursi Granny. Perempuan tua itu menoleh.
“Hei, kau tidak membantu Kai memasak?” tanyanya.
“Kai bilang Selena yang akan membantunya. Dia memintaku
menemani Granny di sini.”
Granny mengangguk-angguk dan tersenyum.
“Kemarilah. Ambil kursi yang kecil itu, seretlah ke sini, lebih
dekat ke aku. Supaya kita bisa ngobrol lebih nyaman,” perintahnya.
53
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali menurut. Dia menarik satu kursi tanpa sandaran,
hingga berada tepat di samping Granny.
“Kamu tahu, aku menduga Kai menyukaimu,” bisik Granny,
mendekatkan mulutnya ke telinga Maghali.
Ucapan Granny itu seketika membuat Maghali tersipu.
“Kenapa Granny menduga begitu?”
“Karena sudah lama sekali dia tidak mengajak seorang gadis ke
rumah ini. Terakhir waktu dia SMA. Itu sudah lama sekali. Seka-
rang dia sudah dua puluh enam tahun!”
“Memangnya semasa kuliah dia nggak punya pacar?”
“Mungkin ada beberapa. Tapi, tak ada yang dianggapnya seri-
us. Karena itu tak pernah dia kenalkan padaku.”
“Menurutku, Kai hanya menganggapku teman. Dia ingin me-
ngenalkan Granny kepadaku karena aku berasal dari Indonesia dan
Granny pernah ke Indonesia.”
“Oh, itu sudah lama sekali. Saat aku dan Isaac masih muda.
Kami berkeliling Asia Tenggara. Kami suka dengan cuacanya yang
hangat.”
Granny tersenyum senang, memejamkan mata seolah sedang
kembali ke masa lalu. Tiba-tiba matanya membuka.
“Tapi, aku tetap yakin Kai menyukaimu. Ini insting seorang
nenek.”
“Aku senang jika Kai menganggapku teman yang menyenang-
kan,” sahutnya tetap berusaha menyimpan rapat perasaan melam-
bungnya.
Granny tertawa geli.
“Oh, Dear, kamu lucu sekali. Kamu terus mengelak. Biarkanlah
Kai menyukaimu dan kamu pun boleh menyukainya.”
“Jangan terlalu diambil hati ucapan Granny. Granny memang
sudah lama ingin sekali melihatku mengajak seorang gadis ke ru-
mah ini. Jadi, dia senang sekali melihatku mengajakmu.”
54
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali tersentak. Dia menoleh kepada Kai yang tiba-tiba saja
sudah berdiri di sampingnya. Pipinya menghangat, malu sekali
menyadari Kai pasti mendengar apa yang diucapkan Granny tadi.
“Makanan sudah hampir siap. Lili, kamu boleh membantuku
sekarang. Menata piring di atas meja makan dan membuat jus je-
ruk?”
Maghali segera berdiri. Mohon diri pada Granny, lalu menyu-
sul Kai menuju dapur. Kai menuang kacang merah berbumbu yang
masih mengepulkan asap ke dalam sebuah mangkuk. Di mangkuk
lain yang lebih besar, sudah tersedia irisan beragam sayuran disi-
ram saus putih dan taburan wijen. Mangkuk lain sudah ada kentang
tumbuk hangat yang juga sudah berbumbu. Menu yang sederhana.
“Makanan ini halal untukmu. Ini makanan vegetarian. Sejak
setahun lalu, Granny mulai terbiasa makan makanan vegetarian.
Kalau di rumah, aku pun memakan menu yang sama dengan Gran-
ny,” kata Kai sambil melirik sekilas pada Maghali yang sedang me-
nata piring di meja.
“Hanya ini yang dimakan Granny?”
“Ini sudah cukup lengkap. Ada sumber protein dari kacang-
kacangan. Ada karbohidrat dari kentang, vitamin dan mineral dari
sayur-sayuran.”
“Mm, rasanya? Apakah Granny tidak bosan?”
Kai tersenyum. Dia meletakkan panci kosong ke dalam kitchen
sink, merendamnya dengan air. Lalu kembali fokus pada Maghali.
“Soal rasa, silakan kamu coba. Nilailah sendiri, menurutmu
enak, hambar, atau membosankan?”
Kai melepas celemek dari tubuhnya.
“Duduklah duluan, Li. Aku akan menuntun Granny ke sini,”
katanya. Setelah Maghali mengangguk, dia menuju ruang kelu-
arga, tempat Granny masih duduk menekuni kegiatan merajut-
nya. Maghali memilih menunda duduk, ingin menunggu Granny,
membiarkannya duduk lebih dulu.
55
pustaka-indo.blogspot.com
Walau berjalan tertatih-tatih dituntun Kai, Granny tampak ce-
ria. Kai membantu neneknya duduk. Lalu mengisi piring nenek-
nya dengan semua makanan yang tersedia. Kai melayani neneknya
dengan lembut. Terlihat jelas pemuda itu sangat menyayangi ne-
neknya. Menyaksikan ini membuat perasaan Maghali tersentuh.
Berapa banyak laki-laki sesukses Kai, dengan kegiatan yang luar
biasa padat, masih menyempatkan diri merawat neneknya, menye-
diakan segala keperluan sang nenek?
“Khusus untukmu, aku membuat poutine. Ini makanan khas
Montreal. Kentang yang diris-iris lalu digoreng seperti french fri-
es,” kata Kai. Dia meletakkan beberapa kentang goreng di atas pi-
ring cekung berukuran sedang.
“Ditambah keju dari susu sapi yang mudah meleleh. Siram de-
ngan saus kaldu sapi dan berbagai bumbu resep rahasiaku. Sapi dan
kejunya kita beli di toko muslim, kamu lihat sendiri tadi, kan? Jadi,
pasti boleh kamu makan,” lanjut Kai sambil meletakkan bulatan-
bulatan keju yang tampak lembut sekali. Susunan makanan itu dia
siram dengan saus berwarna cokelat yang menebarkan aroma se-
dap. Kai meletakkan piring berisi poutine itu ke hadapan Maghali.
“Terima kasih. Aku bisa makan poutine buatanmu.”
“Selain itu, ada satu menu spesial lainnya untukmu. Salmon
panggang bumbu lada hitam. Ini makanan sehat dan lezat.”
Kai mengeluarkan piring lonjong dari oven, di atasnya tertata
rapi potongan-potongan ikan salmon. Asap mengepul dari masak-
an itu, menerbangkan aroma menggiurkan hingga menelusup ke
hidung Maghali. Membuatnya tanpa sadar menelan air liur, lalu
pandangannya beralih pada Kai. Saat ini laki-laki itu tampak ber-
kali lipat lebih memesona dibanding biasanya. Perempuan mana
yang tak akan meleleh jika di hadapannya berdiri sosok laki-laki
tinggi tegap, tampan, cerdas, dan ahli memasak?
56
pustaka-indo.blogspot.com
Perhatiannya teralih saat Selena menuang jus jeruk ke gelas di
sampingnya. Maghali mengucapkan terima kasih dan tersenyum.
Setelah mengisi semua gelas dengan jus jeruk, Selena duduk di
kursi di sebelah Maghali. Ikut makan satu meja bersama mereka.
Diam-diam Maghali mengagumi cara Kai dan Granny memperla-
kukan Selena. Gadis berusia delapan belas tahun itu sudah diang-
gap sebagai keluarga.
“Kai, aku juga mau poutine buatanmu itu. Sudah lama sekali aku
nggak makan poutine. Aku juga mau salmonnya. Aromanya enak
sekali.”
Ucapan neneknya membuat Kai menoleh dan mengangkat se-
belah alis.
“Granny, ada kaldu sapi dan keju di poutine ini. Selain itu, sal-
mon kan termasuk daging. Granny nggak bisa memakannya.”
“Kenapa nggak bisa? Siapa yang bikin aturan seperti itu? Aga-
maku tidak melarangku makan kaldu sapi, keju, dan salmon pang-
gang.”
“Tapi, Granny sudah menjadi vegetarian satu tahun ini.”
Granny menggeleng.
“Tidak ada yang melarangku makan daging apa pun. Tuhan
pun tidak melarangnya. Jadi, kamu juga tidak bisa melarangku,
Kai.”
Kai masih memandangi neneknya. Tak percaya dengan per-
mintaan neneknya kali ini. Selama ini neneknya sudah sepakat un-
tuk bergaya hidup sehat. Semua makanan sudah diperhitungkan
nilai gizinya oleh Kai.
“Kai, hari ini aku sedang bahagia. Aku ingin makan enak. Dan
poutine-mu itu terlihat enak sekali. Biarkan aku menikmati hidup,
Kai. Mumpung aku masih bernapas.”
“Granny! Please, jangan bilang begitu.”
“Kamu tahu apa yang dikatakan dokter. Aku sudah divonis mati
setahun lalu. Nyatanya aku masih hidup sampai sekarang.”
57
pustaka-indo.blogspot.com
“Itu karena Granny menurut, mau mengikuti pola hidup se-
hat.”
“Aku yakin, sepiring poutine tidak akan membunuhku. Kalau-
pun aku mati gara-gara makan itu, tidak apa-apa. Aku puas karena
sudah mencicipi masakan cucu kesayanganku.”
“Granny, please... berhenti bicara soal itu. Baiklah, akan kuam-
bilkan poutine untuk Granny.”
“Cukup untuk kita berempat, kan? Mana mungkin kamu tega
membiarkan aku hanya makan daun-daunan sementara kalian ber-
tiga menikmati makanan dengan aroma menggiurkan itu.”
Kai tersenyum, menyadari memang keterlaluan sekali berharap
neneknya sendirian makan buah dan sayur sementara dia, Maghali,
dan Selena melahap ikan salmon dan poutine yang dari mencium
wanginya saja sudah bisa tertebak kelezatannya.
“Cukup, Granny. Aku sengaja membuat banyak.”
Granny tersenyum lebar, terlihat sungguh-sungguh bahagia.
Kai memandangi neneknya dengan kening berkerut. Merasa aneh
melihat tingkah neneknya yang tidak seperti biasanya. Hari ini ne-
neknya terlihat sangat sehat. Banyak bercerita dan tersenyum. Kai
bisa melihat neneknya menyukai Maghali.
Seusai makan dan berdecak kagum mengakui kelezatan masak-
an Kai, Maghali bersikeras membantu mencuci piring. Kai mem-
biarkan Maghali membantu memasukkan piring-piring dan gelas
ke mesin pencuci piring.
“Kalau aku boleh jujur, kamu benar-benar luar biasa, Kai. Aku
sungguh nggak menyangka, selain mengobati pasien dan berjalan
di atas catwalk, kamu juga piawai mengolah makanan di dapur. Se-
butkan, apa yang kamu nggak bisa?” tanya Maghali. Dia berdiri
bersebelahan dengan Kai.
Kai tertawa. Dia merendahkan tubuh, memiringkan kepala
hingga bersentuhan dengan kerudung Maghali. Membuat gadis
58
pustaka-indo.blogspot.com
itu tersentak, secara refleks memundurkan tubuh, menghindar
terlalu dekat dengan Kai.
“Aku nggak bisa merancang pakaian,” bisiknya. Lalu, dia kem-
bali menegakkan tubuh dan mengedipkan sebelah matanya pada
Maghali. Lagi-lagi Maghali menelan air liur.
Kai tampaknya sadar sikapnya membuat Maghali merasa tidak
nyaman. Dia menyudahi pekerjaan, lalu beralih mengelap meja
makan. Maghali juga sudah selesai memasukkan semua peralatan
makan ke mesin. Dia pindah ke sisi meja yang berseberangan de-
ngan Kai.
“Aku senang melihatmu sangat perhatian pada Granny. Kamu
merawatnya lembut sekali,” kata Maghali.
Kai melirik Maghali, melipat lap yang dipakainya untuk mem-
bersihkan meja, baru kemudian fokus kepada Maghali.
“Dapur sudah bersih. Ayo kita ke teras. Kita lanjutkan obrolan
kita di sana.”
Kai mendahului Maghali berjalan keluar dari dapur. Mereka
melewati Granny yang terlelap di kursinya. Selena duduk di kursi
membaca sebuah buku.
“Biarkan Granny istirahat,” bisik Kai pada Maghali. Dia tetap
berjalan menuju teras. Ada kursi panjang dari kayu. Kai duduk di
situ, Maghali ikut duduk.
“Granny sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Aku dirawat
Granny sejak berusia enam bulan. Ayahku membawaku pulang ke
Montreal. Meminta Granny merawatku, setelah itu Ayah pergi
lagi, ditugaskan di negara Asia lainnya,” tanpa membuang waktu,
Kai melanjutkan ceritanya.
“Jadi, saat kecil kamu hanya dirawat nenekmu?” tanya Maghali.
“Waktu itu Grandpa masih ada. Grandpa meninggal saat aku
berusia sepuluh tahun. Serangan jantung. Semula aku mengira
tak akan sanggup hidup hanya berdua Granny setelah ditinggal
59
pustaka-indo.blogspot.com
Grandpa. Tapi, kami sama-sama tangguh, dan bertahan sampai
sekarang.”
“Ayahmu… nggak pernah datang lagi?”
Kai terdiam beberapa menit.
“Setelah Grandpa tiada, ayahku kembali ke Kanada. Menikah
lagi dengan perempuan Filipina yang ditemuinya ketika bertugas
di sana. Tapi, ayahku tidak tinggal di kota ini lagi. Dia mendapat
pekerjaan di Toronto, memilih tinggal di sana bersama keluarga
barunya. Mereka punya dua anak. Satu laki-laki, satu perempuan.
Jadi, aku punya dua adik. Ayah menawariku tinggal bersamanya.
Mana mungkin aku mau. Aku lebih mengenal Granny daripada
Ayah. Aku lebih sayang Granny. Aku nggak akan pernah mening-
galkan Granny sendirian di sini.”
Mata Maghali menghangat, membuatnya panik, khawatir air
matanya mengalir. Dia tak mau menangis di hadapan Kai. Tapi,
walau sudah berusaha menahan sekuatnya, dua bulir air mata tanpa
permisi turun perlahan di pipinya.
“Li, kamu kenapa?” Kai yang melihatnya bertanya heran.
“Aku, eh… nggak apa-apa. Aku cuma…”
“Kamu nangis? Gara-gara ceritaku?”
Maghali bergegas menghapus air matanya dengan ujung le-
ngan baju.
“Aku bukan nangis, aku cuma terharu. Aku senang kamu me-
milih tetap di sini bersama Granny. Aku bersyukur kamu nggak
ninggalin Granny sendirian. Nggak terbayang…”
“Granny itu pengganti ibuku. Merawatku sejak aku nggak bisa
apa-apa. Aku nggak akan ninggalin Granny.”
Maghali mengangguk dan tersenyum.
“Itulah sebabnya aku nggak berambisi mengembangkan karier
modelku. Aku hanya menerima pekerjaan di Kanada atau New
York yang tidak jauh dari Kanada. Sudah banyak kesempatan ber-
60
pustaka-indo.blogspot.com
kiprah di kota-kota mode dunia yang aku tolak. Tapi, aku nggak
peduli. Aku nggak akan meninggalkan Granny terlalu lama.”
“Tapi, di sini ada Selena yang tinggal menemani Granny.”
Kai menggeleng.
“Selena memang sangat membantu. Terutama kalau aku pergi
beberapa hari ke kota lain. Tapi, aku nggak pernah meninggalkan
Granny lebih dari tiga hari.”
“Selena… tidak kuliah?”
“Itu juga yang aku pikirkan. Dia gadis Indian asli. Lulus SMA
setahun lalu. Kehidupannya sederhana. Orangtuanya tidak mampu
membiayai kuliahnya. Jadi, kuminta dia bekerja dan tinggal di sini
menemani Granny. Aku nggak mungkin lagi meninggalkan Gran-
ny sendirian di rumah. Selena setuju, dia malah senang sekali. Aku
menggajinya sangat layak. Bahkan aku sering memberinya bonus
dan hadiah. Dia menabung gajinya untuk biaya kuliahnya kelak.
Granny pun nggak pernah menyusahkannya. Selena sudah diang-
gap cucunya sendiri.”
Maghali mengangguk-angguk.
“Aku bisa melihatnya, cara Granny dan Selena berinteraksi me-
mang seperti nenek dan cucunya.”
“Aku sangat bersyukur Selena mau tinggal di sini.”
“Kalian saling membutuhkan.”
Kai mengangguk. Menjelang sore, Maghali pamit pulang. Kai
bersikeras mengantarkan. Dia bilang, dia sudah menjemput, jadi
harus dia juga yang mengantarkan. Maghali tak bisa menolak. Te-
patnya, dari hatinya yang terdalam, dia memang tidak ingin meno-
lak tawaran Kai.
Mungkin ini dosa, tapi dia sedang tidak ingin melawan pesona
Kai.
61
pustaka-indo.blogspot.com
7
Cinta Tak Seharusnya
Salah Arah
pustaka-indo.blogspot.com
mode di tingkatan yang lebih tinggi. Perancang-perancang top du-
nia ikut serta. Model-model yang terlibat pun model kelas dunia.
Maghali tersenyum senang saat mendapati Isabelle dan Kai
ternyata terpilih juga menjadi model yang akan memperagakan
rancangan desainer-desainer Kanada. Maghali memperhatikan
dengan saksama, mulai dari persiapan hingga berlangsungnya aca-
ra. Profesionalisme terlihat dari setiap perancang. Desain-desain
spektakuler dengan ide-ide baru membuka mata Maghali. Akan
menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang baru
dalam rancangannya kelak. Acara berlangsung sukses. Beberapa
rancangan Miss Prudence laku terjual. Maghali merasa bahagia
terlibat dalam acara ini.
Setelah acara usai, pakaian-pakaian yang tersisa tidak langsung
dibawa pulang oleh perancangnya. Tapi, dipamerkan di Montreal
Museum of Fine Art. Museum yang memamerkan beragam jenis
seni, termasuk perkembangan fashion kota ini. Hari ini sepulang
dari kampus yang hanya ada satu mata kuliah, Maghali akan meng-
ambil kembali pakaian-pakaian rancangan Miss Prudence setelah
dipamerkan selama lima hari. Maghali merasa senang menerima
tugas ini. Rancangan Miss Prudence memang menjadi tanggung
jawabnya.
Maghali naik bus menuju museum itu, turun di daerah Golden
Square Mile. Dulu, kawasan ini menjadi tempat tinggal para warga
kaya raya. Rumah-rumah megah dengan desain klasik memanjakan
mata. Maghali melambatkan langkah. Ke tempat ini selalu menye-
nangkan. Dia tak menyia-nyiakan pemandangan indah yang dile-
watinya di kanan-kiri. Membayangkan bagaimana rasanya tinggal
di rumah-rumah mewah itu.
Di museum, dia menyampaikan maksud kedatangannya. Pen-
jaga museum sudah mengenalnya karena bertemu dengannya pada
acara fashion show lalu. Seorang wanita matang berpakaian elegan
63
pustaka-indo.blogspot.com
menunjukkan pada Maghali tempat penyimpanan pakaian-pakaian
yang telah dipindahkan dari ruang pameran.
Maghali membuka pintu perlahan. Ruang itu ternyata sudah
terang benderang. Rak tempat menggantung pakaian berbaris rapi
berderet-deret. Di antara sekian banyak pakaian yang tergantung,
Maghali mencari pakaian milik Miss Prudence.
Saat itulah dia mendengar suara perbincangan dalam baha-
sa Prancis. Secara refleks mata Maghali mencari sumber suara.
Akhirnya matanya terpaku pada dua sosok perempuan yang berdiri
berhadapan. Salah satunya sangat dia kenal. Isabelle. Satu lagi dia
ingat sebagai model yang juga ikut memperagakan pakaian juga di
atas catwalk pada pertunjukan lalu, tapi dia belum tahu namanya.
Maghali tidak ingin ikut campur atau mengintip. Dia bermak-
sud mengalihkan pandangan saat sesuatu terjadi dan membuatnya
tersentak. Gadis model yang entah siapa namanya itu tiba-tiba
menarik tubuh Isabelle hingga berada dalam dekapannya. Dan de-
ngan gerakan sangat cepat gadis itu mendaratkan bibirnya di bibir
Isabelle. Maghali terbelalak. Apa yang dilihatnya sungguh mem-
buatnya shock.
“Astaghfirullahalazim!” pekik Maghali, lalu buru-buru menu-
tup mulut dengan tangannya. Tapi, sudah terlambat. Kedua gadis
itu terlanjur mendengar suaranya dan kompak menoleh ke arah-
nya.
“Qui-est ce7?” tanya gadis teman Isabelle itu.
Isabelle memanjangkan leher, memajukan tubuh, matanya
menyipit. Maghali berbalik secepatnya. Dengan langkah cepat
Isabelle mendekati Maghali yang masih gugup. Maghali sendiri
ingin segera keluar dan mengurungkan niatnya mencari pakaian-
pakaian milik Miss Prudence.
7
Siapa itu? (bahasa Prancis)
64
pustaka-indo.blogspot.com
“Lili? Is that you?”
Belum sempat Maghali menyingkir dari tempat itu, Isabelle su-
dah berada di sampingnya.
“Lili, what are you doing here?” tanya Isabelle memandangnya
curiga.
“Aku… ingin mengambil pakaian rancangan Miss Prudence,”
jawab Maghali. Dia sudah tidak segugup sebelumnya, rasa percaya
dirinya mulai muncul. Toh dia tidak bersalah.
“Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di sini, Belle?”
Isabelle tidak terlihat gugup, sikapnya sangat tenang.
“Aku dan temanku Jane ada pemotretan untuk katalog terba-
ru museum ini. Kami baru saja mengganti pakaian yang tadi kami
pakai,” jawab Isabelle. Dia mengucapkan kalimatnya itu seolah ti-
dak terjadi apa-apa, tak terlihat rasa bersalah. Diam-diam Maghali
menghela napas, berpikir mungkin bagi Isabelle apa yang tadi di-
lakukannya bersama teman perempuannya itu bukan sesuatu yang
salah.
“Kamu melihat apa yang kami lakukan tadi?” tanya Isabelle
tiba-tiba, membuat Maghali tersentak.
“I am sorry, aku harus segera membawa pakaian milik Miss
Prudence. Dia sudah menungguku. Permisi, Belle,” jawab Magha-
li. Dia enggan memperbincangkan kejadian tadi. Suatu hal yang
membuatnya merasa tidak nyaman. Baru kali ini dia melihat ade-
gan tadi, dan dia tak punya persediaan kata-kata untuk mengo-
mentarinya.
Maghali bergegas menelusuri pakaian-pakaian yang tergan-
tung. Di deretan ketiga, dia menemukan sepuluh pakaian rancang-
an Miss Prudence. Dia segera mengambil, mendekapnya erat, lalu
bergegas keluar dari ruang itu. Isabelle hanya diam memperhati-
kannya, tidak lagi bersuara.
65
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali berjalan cepat, baru sekarang bisa lebih tenang. Sela-
ma dia mendampingi Maura saudari kembarnya bekerja di dunia
hiburan, gosip tentang gaya hidup bebas yang dilakukan beberapa
selebriti kerap terdengar. Tapi selama ini, itu hanya gosip. Magha-
li belum pernah mengenal secara langsung pelakunya. Tak heran
jika apa yang dilihatnya tadi membuatnya shock.
Bagaimana bisa dua gadis dengan fisik nyaris sempurna saling
menyukai? Apa di kota ini sudah tidak ada laki-laki normal yang
layak dipacari? Maghali menggeleng, berusaha menyingkirkan
ingatan yang terlanjur terekam dalam memorinya. Bergegas ke-
luar dari gedung ini. Langkahnya yang terburu-buru membuatnya
hampir bertabrakan ketika berbelok menuju lobi.
“Lili!” Bukan teriakan itu yang membuatnya tersentak, tapi ka-
rena dua tangan kokoh memegang lengannya, mencegah tubuhnya
menabrak sosok di depannya.
“I am sorry, I didn’t see you,” ucapnya gugup sambil melepaskan
diri dari pegangan laki-laki di depannya. Kai. Sosok yang tanpa
berbuat apa pun bisa membuatnya gugup, apalagi sekarang.
“Kamu buru-buru?”
“Ya, aku harus segera mengembalikan pakaian-pakaian ini ke
rumah Miss Prudence.”
Kai melirik tumpukan pakaian dalam dekapan Maghali. Dia
mengangguk mengerti.
“Kamu ada di sini juga?” tanya Maghali, baru menyadari kebe-
tulan bertemu Kai terjadi lagi.
“Aku baru selesai pemotretan untuk katalog baru museum ini,”
jawab Kai.
“Oh, sama seperti Belle.”
“Kamu bertemu Belle juga?”
Maghali mengangguk. “Bersama temannya, aku baru melihat
tadi.”
66
pustaka-indo.blogspot.com
“Itu Jane Dantec. Dia termasuk model papan atas negeri ini.
Sudah kelas dunia.”
Maghali terperangah. “Tampaknya dia dekat sekali dengan
Belle.”
“Sejak muncul pertama kali, Belle sudah dekat dengannya. Me-
reka tinggal satu apartemen.”
Maghali terbelalak.
“Maaf, Kai, aku harus pergi sekarang, Miss Prudence sudah
menungguku,” katanya, merasa harus cepat-cepat menghindar.
“Biar kuantar, supaya lebih cepat sampai. Urusanku di sini juga
sudah selesai,” sahut Kai.
Maghali menggeleng. “Ah, tidak perlu, aku bisa sendiri, aku
akan naik taksi.”
“Ayolah, apa salahnya kuantar. Mumpung aku ada di sini.
Kamu bisa menghemat biaya taksi.”
“Tidak, Kai, terima kasih atas tawaranmu, tapi aku harus pergi
sendiri. Ada yang ingin kurenungkan sendirian dalam perjalanan
nanti.”
Kai memandangi Maghali agak lama, membaca ekspresinya,
menyadari gadis itu sedang gelisah.
“Kamu perlu merenung? Memangnya ada apa?” tanyanya.
“Nggak ada apa-apa, aku hanya perlu waktu berpikir sendiri-
an.”
Kai menghela napas, sadar tidak bisa memaksakan kehendak-
nya.
“Baiklah, aku nggak bisa memaksamu. See you later, Li,” ucap-
nya.
Maghali hanya mengangguk, lalu melangkah cepat ke pintu ke-
luar. Saat ini dia merasa benar-benar perlu sendirian.
Tak lama taksi yang ditunggunya datang. Dia segera naik, lalu
menyebutkan alamat tujuannya. Begitu sampai di rumah Miss
Prudence, dia menyerahkan pakaian-pakaian yang dibawanya dan
67
pustaka-indo.blogspot.com
langsung mohon diri. Tawaran Miss Prudence untuk minum teh
ditolaknya dengan halus. Dia menciptakan alasan untuk bisa sege-
ra menyingkir. Dari tempat itu Maghali menuju taman. Di sinilah
dia akan merenung, menenangkan pikirannya. Dia menarik napas
dalam-dalam. Melihat sekeliling. Pemandangan indah terhampar
di depannya. Musim gugur di Montreal membuat Maghali tak-
jub. Daun-daun berwarna-warni. Cokelat muda, merah, kuning
keemasan membuat semarak pemandangan. Udara menjadi lebih
dingin, tapi tak menjadi halangan untuk berjalan-jalan menikmati
pemandangan indah ini.
Berjalan-jalan sendirian membuat Maghali punya kesempatan
merenung. Mensyukuri keberadaannya di sini. Mengenal orang
dari beragam latar belakang. Membuka pikirannya. Membuatnya
paham mengapa ada orang-orang seperti Isabelle dan Jane. Mem-
buatnya sadar tidak seharusnya dia anti pada orang-orang yang
memilih jalan hidup berbeda dengannya. Belajar untuk tidak me-
rasa pilihan hidupnya yang paling benar. Tidak, Maghali sadar, dia
tak sempurna. Dia pun masih sering berbuat salah. Tapi, sudah
lama dia belajar untuk tidak egois. Tidak hanya fokus pada hu-
bungannya dengan Tuhan, tapi juga mengutamakan hubungannya
dengan sesama manusia. Dia tidak pernah memilih-milih teman.
Sejak dulu, dia terbuka berteman dengan siapa saja. Selama tidak
mengganggu atau tidak merugikan.
Dia duduk di kursi taman, menikmati semilir angin yang me-
nyapu lembut wajahnya. Seolah menghapus rasa kecewa yang tadi
sempat bercokol di dalam hati. Dia tersenyum, menyadari seharus-
nya dia berhenti merasa kesal. Kota ini terlalu indah untuk disia-
siakan dengan menyimpan perasaan negatif. Sikapnya pada Isabel-
le tidak perlu berubah hanya karena apa yang dilakukan gadis itu
tadi. Dia hanya perlu waspada, sejak sekarang.
68
pustaka-indo.blogspot.com
Setelah hanya duduk diam memandangi sekitar selama hampir
satu jam, Maghali bangkit berdiri. Perutnya mulai lapar. Dia men-
cari kafe tak jauh dari taman. Kali ini dia ingin mencoba makanan
khas Montreal selain poutine, yaitu bagel. Beruntung dia menemu-
kan kafe Maroko yang menyajikannya. Roti khas Montreal di tem-
pat ini dijamin halal. Kafe ini bukan hanya menyediakan bagel rasa
original, tapi juga yang diisi berbagai selai yang bisa dipilih.
Mendadak Maghali terpikir membeli empat bagel lagi dengan
isi berbeda. Blueberry, lemon, dua original. Setelah itu dia membeli
beberapa jeruk segar. Dia memutuskan ingin mampir menjenguk
Mrs. Irish Reeves, nenek Kai. Bukan, ini bukan usahanya mende-
kati Kai dan menarik simpati Granny. Ini murni karena dia peduli
pada Granny. Dia selalu punya kecenderungan menyayangi dan
menghormati orangtua. Membayangkan orangtuanya dan dirinya
sendiri suatu saat juga akan menua. Beberapa kali dia juga pulang
ke rumah sambil membawa oleh-oleh untuk Madame Maple. Jika
ada waktu luang, dia senang mengunjungi pemilik tempat tinggal-
nya itu. Menjaga hubungan baik dan menunjukkan keramahan ala
Indonesia.
Madame Maple pernah mengatakan, dia menyukai Maghali.
Baginya, Maghali adalah tamu favoritnya. Maghali paling beda.
Paling peduli padanya dan paling ramah. Keramahan memang ni-
lai lebih Maghali. Dia belajar lama untuk menjadi seperti sekarang.
Murah senyum dan senang menyapa. Dia yang dulu introvert se-
karang mulai membuka diri. Terbukti keramahan dan senyum tu-
lus memberinya banyak keberuntungan.
69
pustaka-indo.blogspot.com
8
Kisah Cinta Sejati
pustaka-indo.blogspot.com
“Saus poutine dengan kaldu daging sapi, keju segar dan ikan sal-
mon yang kemarin dibuat Kai enak sekali. Ah, aku sudah menyia-
nyiakan waktu selama setahun tidak menikmati makanan enak se-
perti itu.”
Maghali tersenyum.
“Kai sangat pandai memasak. Jus dan salad yang dia buatkan
untukku memang enak. Tapi, ikan salmon dan kaldu daging itu
rasanya luar biasa!”
“Aku rasa ikan salmon cukup sehat untuk disantap, selain rasa-
nya juga sedap sekali.”
“Ah, mumpung kamu di sini, maukah kamu menemaniku ber-
jalan-jalan ke Old Port?”
“Granny mau keluar rumah? Memangnya boleh?”
“Kenapa tidak? Aku cukup kuat untuk keluar berjalan-jalan.
Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi Old Port. Itu tempat
favoritku dan Isaac.”
Maghali tak tahu harus menjawab apa. Dia tidak yakin Kai
memperbolehkan neneknya berjalan-jalan ke luar rumah.
“Isaac itu suamiku. Dia sudah lama pergi, sejak Kai baru beru-
sia sepuluh tahun.”
“Ya, Granny sudah menceritakannya padaku.”
“Benarkah? Aku sudah cerita?”
“Sudah. Di pertemuan pertama kita. Granny juga sudah me-
nunjukkan fotonya padaku. Banyak sekali foto Monsieur Isaac di
sini.”
“Sebut saja dia Mister. Kakek buyut kami dari Inggris, bukan
Prancis. Karena tinggal di Montreal, aku jadi bisa bahasa Prancis.”
“Baiklah, Mr. Isaac.”
Granny memandangi kantong kertas yang dibawa Magha-
li.“Kamu membawakan aku sesuatu?”
Maghali baru ingat apa yang dibawanya. “Oh iya, aku bawakan
bagel. Tadi aku membelinya di Downtown. Aku juga membawa
71
pustaka-indo.blogspot.com
beberapa jeruk manis. Kalau boleh, aku ingin membuatkan jus un-
tukmu. Ini segar sekali.”
“Tentu aku suka bagel. Pergilah ke dapur. Ambil piring untuk
tempat bagel itu. Buatlah jus. Cukup untuk kita bertiga, kan? Mak-
sudku, untukku, kau, dan Selena?”
Maghali mengangguk. Dia segera menuju dapur. Selena sedang
di sana menyeduh teh untuk Maghali. Maghali segera menyiapkan
jus jeruknya. Tak lama mereka bertiga sudah duduk di sofa ruang
tengah menikmati jus, teh hangat, dan bagel yang superenak.
“Setelah ini, temani aku ke Old Port, Lili.”
Granny melingkarkan tangannya ke punggung Maghali, mene-
puk-nepuk bahu Maghali.
“Kamu akan suka di sana. Dulu saat suamiku masih ada, kami
sering ke sana. Kamu harus melihat saat matahari tenggelam di
ujung cakrawala. Priceless moment! Beautiful and romantic!”
Granny mengucapkan kata-kata itu dengan antusias. Maghali
tak punya pilihan selain mengangguk. Tidak tega rasanya menge-
cewakan Granny. Maghali meminta Selena di rumah sampai me-
reka kembali. Dia berjanji tak akan lama. Akan kembali setelah tiga
puluh menit. Maghali berjalan hingga ujung jalan besar menunggu
taksi lewat, baru kemudian menjemput Granny. Tak lama taksi su-
dah meluncur menuju Old Port.
“Clock tower, please,” kata Granny pada sopir taksi.
Taksi meluncur terus melewati parkiran panjang. Dari kejauh-
an Maghali bisa melihat Menara Jam yang berdiri gagah di ujung
dermaga dengan latar belakang Jacques Cartier Bridge di kejauhan.
Di sebelah kanan tersedia jalan dan kursi-kursi untuk pengunjung
menikmati pemandangan di tepian dermaga yang dipagari. Tak-
si berhenti di ujung parkiran, tak jauh dari Menara Jam. Maghali
membayar ongkos taksi, lalu membantu Granny keluar. Granny
tersenyum senang, menghirup udara dalam-dalam.
72
pustaka-indo.blogspot.com
“Lihat Menara Jam itu, Lili!” kata Granny sambil menunjuk
Menara Jam bercat putih menjulang tinggi di dekat mereka.
“Dulu aku sanggup naik sampai atas dan melihat seluruh Mont-
real dari ketinggian. Tapi, sekarang aku tak mampu melakukannya
lagi. Kau mau naik?”
Maghali menggeleng.
“Tidak, aku menemani Granny saja di sini,” jawabnya. Dia me-
noleh ke arah kursi kosong di dermaga menghadap ke laut. “Kita
duduk di sana saja, Granny,” lanjutnya, lalu memapah Granny,
memegangi lengannya menuju kursi itu. Granny menurut, dia du-
duk perlahan. Menghela napas lega. Memandang ke arah laut dan
tersenyum.
“Kamu tahu, Isaac tinggal di sana,” katanya.
Maghali yang sudah duduk di samping Granny menoleh, alis-
nya terangkat. “Maksud Granny tinggal di sana bagaimana?”
“Abu Isaac, aku menaburnya di laut sana. Itulah sebabnya aku
sangat rindu berada di sini.”
Maghali mulai memahami maksud ucapan Granny. “Jenazah
Mr. Isaac dikremasi?”
Granny mengangguk. “Itu permintaannya. Dia sangat menyu-
kai dermaga ini. Tempat ini adalah segalanya bagi kami berdua.
Aku bertemu dengannya pertama kali saat menaiki tangga Mena-
ra Jam itu. Aku tersandung hampir jatuh terguling ke bawah, tapi
Isaac dengan cepat meraih pinggangku, menjaga tubuhku sehing-
ga tidak jatuh. Dia menyelamatkan hidupku. Saat itu Isaac masih
muda, aku pun masih muda, hanya dua bulan lebih muda darinya.
Kami sama-sama baru lulus SMA. Aku jatuh cinta padanya saat itu
juga. Dia pun begitu. Sering sekali kami datang ke sini. Hingga
kami tua, kami tetap ke sini. Betapa cintanya Isaac pada tempat
ini hingga berpesan, jika dia mati, dia ingin dikremasi, lalu abunya
ditabur ke laut dari dermaga ini.”
73
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali terpana mendengarkan cerita Granny. Kisah cinta
yang menyentuh, membuatnya merana menyadari hingga detik
ini dia belum pernah merasakan kisah cinta seindah itu, pertemu-
an yang sangat berkesan. Jodoh, terkadang hadir dengan cara sa-
ngat ajaib. Keajaiban seperti itulah yang saat ini sedang ditunggu
Maghali.
“Aku berpesan pada Kai, jika nanti aku mati, aku ingin dikre-
masi juga, lalu abuku ditabur di laut ini juga, dari dermaga ini. Wa-
lau jarak kepergianku dengan Isaac terpisah jauh, aku yakin masih
bisa bersatu lagi dengan Isaac di lautan sana.”
Perasaan Maghali berubah tak keruan mendengar penuturan
Granny. Mengapa sore ini jadi terasa sangat kelabu? Tapi, dia tak
bisa menghentikan Granny bicara.
“Sudah lama sekali aku tidak ke sini. Sejak tubuhku semakin
lemah. Berada di sini lagi membuatku merindukan Isaac.”
Maghali menoleh, melihat wajah Granny berubah sendu.
Ujung bibirnya yang mengeriput bergetar. Maghali hanya diam,
memahami perasaan seseorang yang sedang memendam rindu.
Satu rasa yang sering kali menghadirkan pilu.
“Jadi, selama ini Granny di rumah saja?”
“Banyak yang bisa kulakukan di rumah. Aku masih bisa berke-
bun. Aku juga suka menulis. Tentang kenangan perjalananku ber-
sama Isaac. Banyak kisah menarik yang pernah kami alami.”
“Tapi hari ini tiba-tiba saja Granny ingin ke sini.”
“Kamu datang, jadi aku ingin mengajakmu ke sini. Jarang sekali
ada yang datang mengunjungiku.”
“Maaf, Granny. Aku ingin bertanya. Sejak awal Granny me-
lihat cara berpakaianku, tentu Granny tahu aku seorang muslim.
Apakah Granny nggak keberatan aku berteman dengan Kai?”
Granny menoleh, menatap heran pada Maghali. “Kenapa aku
harus keberatan?”
74
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya penasaran.
Aku pikir Granny akan cemas melihat Kai akrab denganku. Aku
mengira, Granny akan lebih suka kalau Kai mengajak gadis ketu-
runan Kaukasia.”
“Itu pikiran yang aneh sekali. Aku tidak pernah berpikir seperti
itu. Aku dan Isaac sudah berkunjung ke banyak negeri. Membu-
at pikiran kami terbuka. Jadi, saat putra kami satu-satunya pulang
setelah tugasnya yang panjang di Asia, membawa bayi hasil perni-
kahannya dengan perempuan Asia, kami menerimanya dengan se-
nang hati. Bagaimanapun Kai cucu kami. Sekarang, kalau Kai yang
sudah separuh Asia memilihmu sebagai istrinya, aku tidak punya
hak melarangnya. Hidupku tak lama lagi. Aku tak mau mengacau-
kan hidup cucuku sebelum aku mati.”
Pipi Maghali memerah mendengar kata “istri” yang diucapkan
Granny.
“Ah, Kai dan aku hanya berteman. Karena aku orang Indonesia
dan Kai penasaran dengan Indonesia, kami jadi dekat.”
“Kamu nggak naksir Kai? Cucuku yang tampan, cerdas, dan
baik hati itu? Apalagi dia jago memasak. Akuilah, masakannya ke-
marin lezat sekali, kan?”
Maghali tersipu. Ingin sekali dia jujur, dia memang terpikat
pada Kai. Tapi, dia masih gengsi mengakuinya. Dia sudah pernah
merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Dia tidak ingin meng-
alaminya lagi. Dia sadar, dia tidak sebanding dengan perempuan-
perempuan cantik rekan sesama model Kai. Selain itu, mereka
meyakini hal yang berbeda. Itu sudah cukup menjadi alasan bagi
Maghali untuk tidak membiarkan perasaannya berkembang terlalu
jauh.
“Apa pun yang kamu rasakan, aku sarankan jujurlah pada pera-
saanmu. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan keterpaksaan.”
Maghali menoleh bertepatan dengan Granny yang juga meno-
leh ke arahnya. Membuat mereka saling pandang. Maghali menco-
75
pustaka-indo.blogspot.com
ba tersenyum. Tapi, ujung bibirnya bergetar, membuatnya terlihat
ragu.
“Kai memang menarik. Aku merasa dia laki-laki yang nyaris
sempurna.”
Granny tersenyum lebar. Dia terlihat sangat lega mendapat
kepastian perkiraannya benar. “Kai tidak pernah gagal membuat
siapa pun yang mengenalnya terpesona padanya. Kai-ku itu me-
mang istimewa. Tapi, dia tidak sempurna. Tak ada manusia yang
sempurna. Seperti manusia lain, dia juga punya kekurangan.”
“Apa kekurangannya, Granny?”
“Kesepian. Itu kekurangannya. Kalau kau bisa membuat hidup-
nya lebih penuh warna, kau akan jadi istimewa buatnya, Lili.”
Maghali kehilangan kata-kata. Dia hanya diam. Membiarkan
Granny bangun dari duduknya, berjalan sendiri tanpa ada yang
menuntunnya, hingga berdiri di tepian dermaga, bersandar pada
pagar besi. Beberapa menit kemudian Maghali tersadar, lalu berla-
ri mengejar Granny dan merangkul lengannya kuat-kuat.
“Sejak lahir Kai tidak mengenal ibunya. Bayangkanlah, mereka
tidak sempat saling memandang. Ayah Kai membawanya padaku
lalu meninggalkannya. Hingga bertahun-tahun kemudian, Kai
juga tidak merasakan kasih sayang ayahnya. Kecuali uang luma-
yan banyak yang dikirim tiap bulan. Sekarang ini Kai hanya punya
aku. Sedangkan aku sebentar lagi akan menghilang. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana nanti hidup Kai setelah aku tiada. Dia
belum punya seseorang yang dianggapnya dekat. Hingga kemarin
dia mengajakmu ke rumah dan memperkenalkanmu padaku.”
“Bukan sebagai seorang yang spesial. Hanya sebagai teman
yang berasal dari Indonesia,” sergah Maghali, berusaha menepis
harapan yang terlalu muluk untuk dirinya sendiri.
Granny tersenyum. “Tapi, kalau Kai menyukaimu, kamu tidak
akan menolaknya, kan?”
76
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali tertawa, lalu menuntun Granny menjauh dari tepian
dermaga. “Aku nggak mau patah hati, Granny. Kami belum lama
saling kenal. Aku nggak mau besar kepala mengira Kai mengang-
gapku spesial.”
“Kamu diundang menemuiku. Itu artinya kamu spesial. Kena-
pa kamu nggak mengerti juga?”
Maghali tersenyum lebar, dalam hati merasa miris. Dia tak
akan membantah lagi.
Namun, senyumnya mendadak hilang berganti panik, saat tiba-
tiba tubuh Granny limbung. Maghali memegangi lengan kanan-
kiri Granny dengan kedua tangannya, tapi tubuh tua itu tetap tak
bisa lagi berdiri tegak. Granny terbatuk-batuk, meringis meme-
gangi perutnya. Angin sore berembus kencang, membuat udara
semakin dingin. Maghali pun merasa linu tatkala angin menerpa
wajahnya. Dia merangkul Granny erat.
“Granny sakitkah? Apakah bisa berjalan? Kita harus pulang.”
Granny hanya menggeleng, masih meringis seperti menahan
sakit. Maghali kebingungan, untuk sesaat dia tak tahu apa yang ha-
rus dia lakukan. Saat ini suasana dermaga mulai sepi. Ada sepasang
kakek-nenek di dekat mereka, rasanya tak mungkin dimintai to-
long. Sampai kemudian lewat seorang pemuda sedang jogging sore.
Maghali berteriak memanggilnya. Pemuda itu memakai earphone,
tapi dia melihat Maghali meneriakinya. Dia menarik earphone dari
telinganya, barulah mendengar Maghali berteriak minta tolong.
“What’s wrong?”
“Please help us? Tolong bantu saya menuntun Granny ke kursi
itu.”
Pemuda itu mengangguk. Dia menahan tubuh Granny di se-
belah kanan, sementara Maghali menahan sebelah kiri. Tapi, kaki
Granny lemah sekali, dia tidak sanggup berjalan tegak.
“Granny!”
77
pustaka-indo.blogspot.com
Teriakan itu mengejutkan Maghali. Dia segera mengangkat
wajah, mengembuskan napas lega melihat Kai berlari ke arahnya.
Tanpa bicara, Kai mengambil alih neneknya dari rengkuhan pe-
muda yang dimintai tolong oleh Maghali. Dengan sigap Kai mem-
bopong Granny, lalu berjalan meninggalkan Maghali yang masih
terpana. Maghali tersadar, kemudian mengucapkan terima kasih
pada pemuda yang tadi menolongnya, sekaligus meminta maaf lalu
permisi. Segera dia menyusul Kai, mengikutinya di belakang. Kai
terus membopong Granny hingga sampai dekat mobilnya yang di-
parkir agak jauh dari tepian dermaga. Kai menurunkan neneknya di
samping mobil, memegangi pinggangnya erat, sementara Granny
bersandar ke mobil. Kai membuka pintu bagian belakang, mem-
bantu Granny duduk, lalu menutup pintu. Dia baru saja membuka
pintu depan tempat dia akan duduk di belakang kemudi saat dia
menyadari Maghali masih berdiri terpaku di samping mobil.
“Masuklah, Li. Temani Granny di belakang.”
Bergegas Maghali masuk, duduk di sebelah Granny.
“Kenapa kamu membawa Granny keluar tanpa bilang dulu pa-
daku?” tanya Kai setelah dia duduk di balik kemudi, menoleh ke
belakang, menatap Maghali dengan pandangan kesal.
Maghali baru saja membuka mulut hendak menjawab, tapi ke-
buru didahului Granny. “Aku yang minta ditemani ke sini. Bukan
salah Lili. Ini salahku. Kai, jangan pernah kausalahkan Lili,” kata
Granny menjawab pertanyaan Kai untuk Lili.
Setelah itu napas Granny tersengal-sengal. Dia menyandar-
kan kepalanya ke kursi. “Granny! Kenapa? Aku harus membawa
Granny ke rumah sakit!” kata Kai mulai panik.
“Tidak, jangan. Aku ingin pulang.”
“Tapi, Granny terlihat kesakitan.”
“Aku tidak kesakitan, aku cuma lelah. Jangan membantah lagi,
Kai. Cepat bawa aku pulang.”
78
pustaka-indo.blogspot.com
Kai bergegas memegang setir, lalu menyalakan mesin mobil.
Sementara Maghali masih berusaha mengatasi rasa bersalah yang
menerpanya. Dia merangkul Granny, meletakkan kepala Granny
di bahunya. Granny mulai memejamkan mata kemudian tertidur.
Maghali merasa lega melihat napas Granny yang teratur. Itu arti-
nya Granny baik-baik saja.
“Terima kasih kamu datang menemui kami, Kai. Tapi, bagai-
mana kamu bisa tahu kami ada di dekat Menara Jam?”
“Selena meneleponku. Memberitahu kamu membawa Granny
ke Old Port. Aku tahu tempat favorit Granny di sana. Benar saja,
aku menemukan kalian.”
“Di waktu yang tepat. Tadi aku bingung juga harus mencari
taksi di mana.”
“Seharusnya kamu meneleponku, Li. Beritahu aku.”
“Rencananya tadi pun begitu. Aku berusaha membawa Granny
ke kursi, setelah Granny duduk, baru aku meneleponmu.”
Terdengar Kai mengembuskan napas dengan suara keras. Dia
tak bicara lagi hingga mobilnya sampai di rumah. Kai bergegas
keluar. Meraih tubuh neneknya di kursi belakang dan membo-
pongnya lagi ke dalam rumah. Selena sudah berlari-lari keluar me-
nyambut dengan wajah panik. Lalu berbalik membukakan pintu
lebar-lebar untuk Kai. Maghali masih berdiri di samping mobil.
Menyaksikan semuanya. Menarik napas panjang, lalu mengembus-
kannya perlahan sambil melangkah pelan, berhenti di teras kemu-
dian duduk di kursi kayu panjang yang tersedia di teras. Maghali
menunggu dengan perasaan campur aduk. Cemas, khawatir, ber-
salah…
“Lili.”
Maghali segera menoleh, menengadah, mendapati Kai sudah
berdiri di hadapannya.
“Granny baik-baik saja, kan?”
79
pustaka-indo.blogspot.com
“Tidak apa-apa. Aku sudah memeriksanya. Hanya kelelahan.
Fisiknya sudah tidak seperti dulu. Sekarang mudah lelah.”
“Aku sungguh-sungguh minta maaf, Kai. Aku nggak bisa me-
nolak permintaan Granny. Walau sempat terpikir olehku apakah
kamu akan mengizinkan Granny keluar rumah.”
“Sudahlah, sudah terlanjur terjadi. Maafkan aku sudah menya-
lahkanmu. Kamu hanya berusaha membuat Granny senang.”
“Walau kamu nggak menyalahkanku, aku tetap merasa bersa-
lah, Kai.”
“Tidak perlu merasa begitu. Granny tidak apa-apa. Aku hanya
kelewat cemas.”
Kai duduk di sebelah Maghali. Lalu dia menoleh, teringat se-
suatu. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu ke sini? Tadi saat aku
menawarkan mengantarmu pulang, kamu tolak. Ternyata kamu
malah menemui Granny.”
“Awalnya aku nggak berencana ke sini. Maafkan kejadian tadi.
Aku melihat sesuatu yang membuat perasaanku kacau. Karena itu-
lah aku ingin buru-buru menghindar darimu. Aku takut mengu-
capkan kata-kata yang menyebalkan saat perasaanku sedang tidak
beres. Lalu aku jalan-jalan ke taman, menenangkan pikiran. Sete-
lah itu mencari makanan. Saat aku melihat bagel dan jeruk-jeruk
segar, aku langsung ingat Granny. Kupikir bagus juga kalau aku
mampir ke sini memberikan bagel dan jeruk untuk jus buat Gran-
ny.”
“Memangnya ada kejadian apa yang membuat perasaanmu ka-
cau?”
“Ah, sudahlah. Nggak perlu dibahas. Aku sudah nggak mau
memikirkannya lagi.”
“Sudah hampir gelap. Sebaiknya aku pulang sekarang,” kata
Maghali, memandang ke arah luar. Kai mengangguk.
80
pustaka-indo.blogspot.com
“Maaf aku nggak bisa mengantarmu. Aku masih harus menga-
wasi Granny.”
“Tidak apa-apa, aku memang tidak perlu diantar. Semoga
Granny segera membaik. Titip salam kalau Granny sudah kembali
sehat.”
“Baiklah.”
Maghali bangkit berdiri, melangkah meninggalkan rumah itu.
Dia perlu berjalan kaki beberapa ratus meter hingga mencapai hal-
te terdekat. Perasaannya kembali kacau. Semua sudah membaik,
tapi peristiwa yang dialami Granny tadi kembali membuatnya tak
keruan. Dia merasa sangat bersalah. Seharusnya dia menolak per-
mintaan Granny. Dia hanya bisa berjanji, suatu hari nanti dia akan
kembali mengunjungi Granny. Janji yang entah bisa dia penuhi
atau tidak.
81
pustaka-indo.blogspot.com
9
Tenggelam dalam Salju
pustaka-indo.blogspot.com
“Kegiatan sosial apa?”
“Kegiatan rutin menjelang Natal. Mengumpulkan sumbangan
jaket dan selimut, lalu membagikannya pada tunawisma. Di mu-
sim dingin paling ekstrem, semua tunawisma harus tinggal di pe-
nampungan. Tidak ada yang boleh tinggal di luar. Mereka bisa
mati beku. Tapi, pemanas di tempat penampungan tetap kurang
hangat. Mereka tetap butuh jaket dan selimut tebal.”
“Kamu sudah menemukan mahasiswa yang mau membantu-
mu?”
“Sudah ada enam orang. Tapi, aku juga butuh mahasiswa yang
mau membantuku di penampungan untuk pengungsi asal Suriah.
Kamu mau ikut?”
Alis Maghali terangkat. Mengapa Kai selalu punya banyak
cara untuk membuatnya terkejut? Kai menjadi sukarelawan untuk
pengungsi Suriah?
“Kamu membantu mereka juga?” tanyanya dengan pandangan
takjub.
“Ya, semakin banyak yang sukarela membantu mereka, sema-
kin baik. Aku juga jadi dokter relawan untuk mereka.”
Maghali tersenyum lebar, setengah tertawa.
“Kenapa?” tanya Kai sambil mengernyit.
“Kamu luar biasa! Begitu banyak kegiatan sosial yang kamu la-
kukan.”
“Sejak kecil Granny mendidikku untuk peduli pada orang lain
yang membutuhkan bantuan. Aku jadi terbiasa. Bagaimana? Kamu
mau ikut?”
Maghali mengangguk.
“Bantu aku mengumpulkan pakaian di pusat pakaian sumbang-
an, nanti kita bawa ke wisma pengungsi.”
“Siapa lagi yang ikut?”
“Sayangnya untuk wisma pengungsi, hanya kita berdua. Hanya
kamu yang menerima ajakanku.”
83
pustaka-indo.blogspot.com
“Kenapa nggak ada yang berminat? Apa karena yang dibantu
ini pengungsi Suriah?”
“Mungkin.”
Kening Maghali berkernyit. “Shabrina! Dia pasti mau ikut.”
“Shabrina? Oh, temanmu yang mualaf itu. Aku belum melihat-
nya di sini.”
“Nanti akan kusampaikan padanya ajakanmu ini. Kapan kita
akan mulai?”
“Tiga hari lagi aku hubungi kamu.”
Maghali mengangguk. Dia jadi tidak sabar terlibat dalam acara
sosial ini. Dia memang membutuhkan kegiatan lain yang berman-
faat di sela-sela kuliah dan acara jalan-jalan ke berbagai tempat di
Montreal hingga Quebec.
Tiga hari kemudian, Kai menjemput Maghali dan Shabrina
usai kuliah. Pengalaman baru bagi Maghali, mengetahui di kota
ini tersedia penampungan untuk tunawisma selama musim dingin.
“Tak mudah membuat kota ini bebas tunawisma. Setidaknya,
pemerintah memastikan di musim dingin tak ada warganya yang
hidup di luar ruangan. Mereka bisa mati beku.”
Kai mengajak Maghali dan Shabrina menuju tempat pengum-
pulan barang-barang sumbangan. Di sini pun banyak sukarelawan
yang menyortir barang sumbangan warga. Mencuci ulang pakaian
dan selimut hingga menjadi layak pakai. Sukarelawan lain datang
mengambil barang-barang itu untuk disalurkan ke tempat pe-
nampungan. Kai bilang, timnya bersama enam mahasiswa sudah
menyalurkan jaket dan selimut ke penampungan tunawisma. Kali
ini Kai meminta Maghali dan Shabrina mengumpulkan lima pu-
luh jaket dan selimut untuk dibawa ke wisma pengungsian. Bagasi
mobil Kai penuh. Sebagian diletakkan di jok belakang di samping
Shabrina. Sementara Maghali duduk di samping Kai.
Wisma pengungsian itu berupa flat sederhana setinggi enam
lantai. Lantai dua hingga lantai lima berisi unit-unit kamar. Satu
84
pustaka-indo.blogspot.com
lantai terdiri atas lima belas kamar. Totalnya ada 75 kamar di ge-
dung flat itu. Satu keluarga mengisi satu unit kamar. Biasanya satu
keluarga terdiri atas tiga sampai lima orang. Lantai satu menjadi
tempat untuk berbagai fasilitas. Lobi, klinik kesehatan, sekolah
anak-anak, ruang pelatihan berbagai keterampilan untuk peng-
ungsi yang lebih dewasa, dan laundry. Banyak relawan bekerja di
sini. Dokter, guru, dan lainnya yang dibutuhkan penghuni. Bukan
hanya Kai yang mengumpulkan barang-barang sumbangan untuk
diberikan pada pengungsi. Relawan lain pun ada.
Selama membagikan jaket dan selimut, Maghali sempat ber-
bincang dengan pengungsi yang pandai berbahasa Inggris. Rupa-
nya dia dosen saat di negerinya dulu. Sebelumnya, hidupnya cukup
mapan bersama istri dan dua anaknya. Tapi, perang yang melanda
negerinya memaksanya pindah ke negeri asing demi hidup yang
lebih baik. Mendengar kisahnya membuat Maghali semakin sadar,
betapa beruntung dirinya memiliki negeri yang aman, semoga te-
tap baik-baik saja sampai kapan pun.
Kai menuju klinik. Memeriksa beberapa pengungsi yang me-
ngeluh sakit. Shabrina asyik bercengkrama dengan anak-anak, wa-
lau mereka tidak bicara dalam bahasa yang sama. Selama hampir
dua jam mereka berada di sana. Setelah selesai, Kai mengantar
Shabrina dan Maghali pulang.
“Apakah nanti para pengungsi akan menjadi warga negara Ka-
nada? Boleh bekerja sesuai keahlian mereka?” tanya Maghali da-
lam perjalanan pulang ke rumah Madame Maple. Shabrina sudah
lebih dulu diantar sampai apartemennya.
“Mungkin.”
“Kupikir mereka hanya sementara ditampung di sini.”
“Jika negara mereka sudah kembali aman dan ada yang ingin
pulang, silakan saja.”
“Seenak-enaknya di negeri orang, tetap lebih menyenangkan di
negeri sendiri. Menurutku begitu.”
85
pustaka-indo.blogspot.com
“Kamu nggak betah tinggal di sini?”
“Nggak ada masalah tinggal di sini kalau hanya sementara.
Dulu aku sangat penasaran ingin merasakan salju. Sekarang sete-
lah aku tahu rasanya, aku berkesimpulan cuaca di negeriku adalah
yang terbaik.”
Kai tersenyum. “Aku penasaran ingin merasakan cuaca di dae-
rah tropis.”
“Suatu saat nanti kamu memang harus ke Indonesia.”
Kai mengangguk-angguk dan tertawa. Tak lama dia menghen-
tikan mobilnya tepat di depan rumah Madame Maple. Maghali
buru-buru keluar sebelum Kai mendahuluinya membukakan pintu.
“Terima kasih, Kai. Kamu sudah membuat hari ini lebih berarti
untukku. Melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain sung-
guh menyenangkan,” kata Maghali dari luar. Dia berdiri di sam-
ping Kai yang tetap berada dalam mobil, tapi membuka jendela.
“Membuat hidupmu menjadi lebih seimbang,” sahut Kai. Dia
menopangkan sikunya di tepi jendela.
Maghali mengangguk.
“Cepat masuk, di luar dingin. Jangan sampai kamu kena influ-
enza. Kamu belum terbiasa dengan udara dingin di sini.”
“Okay, see you, Kai.” Maghali bergegas menaiki tangga. Dia
membuka pintu dan buru-buru masuk. Kai mengawasi sampai
Maghali tak terlihat lagi. Baru kemudian dia menyalakan mobilnya
dan melaju meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Maghali masih mengintip dari balik jendela, sam-
pai mobil Kai menghilang. Dia tersenyum bahagia. Satu lagi keis-
timewaan Kai yang dia ketahui. Apakah ada model lain yang punya
kegiatan sosial seperti Kai? Yang begitu peduli pada nasib tunawis-
ma dan pengungsi? Rasa kagum itu menelusup pelan-pelan dalam
relung hati Maghali. Sosok Kai yang nyaris sempurna.
Hanya saja, sayang sekali. Maghali mengembuskan napas, lalu
86
pustaka-indo.blogspot.com
memasukkan kunci pintu kamarnya, memutarnya hingga pintu
terbuka. Kai Sangatta Reeves hanya bisa dikaguminya, tak bisa le-
bih, tidak boleh. Maghali sadar itu. Dia bertekad tak akan terbu-
ai dengan sosok Kai yang memesona. Jika dia mau diajak terlibat
kegiatan sosial Kai, hanya karena itu memang sesuatu yang baik
untuk dilakukan.
Tapi, seminggu kemudian, hari terakhir di kampus sebelum li-
bur panjang, Kai datang menjemput Maghali.
“Kuliahmu sudah selesai, kan?” sapa Kai. Laki-laki itu langsung
menghampiri Maghali yang baru sampai di lobi kampus.
“Kai, kamu datang nggak bilang-bilang.”
“Dalam perjalanan ke wisma pengungsi, baru terpikir olehku
ingin mengajakmu.”
“Dan kamu tahu aku masih di kampus?”
“Tadi aku bertemu Miss Prudence. Dia yang memberitahuku.”
Maghali menoleh pada Shabrina. “Kamu mau ikut juga, Shab?”
tanyanya.
Shabrina menggeleng. “Kali ini aku nggak bisa ikut, Li. Aku
sudah berjanji akan mengunjungi ibuku,” sahutnya.
Maghali menimbang-nimbang, ini artinya dia hanya akan ber-
dua dengan Kai. Keadaan yang seharusnya dia hindari. Tapi, dia
memang ingin bertemu lagi dengan para pengungsi. Mendengar
cerita mereka, memupuk harapan mereka. Terutama membantu
mengurangi beban trauma anak-anak dengan cerita-cerita ringan.
“Ada sesuatu yang ingin kamu bagikan lagi pada mereka?”
“Tidak. Aku hanya mengecek kesehatan mereka. Tapi, kalau
kamu nggak mau ikut, nggak apa-apa.”
Maghali tersentak, tanpa kompromi otaknya segera memutus-
kan. “Aku ingin ikut.”
Menurutnya, ikut Kai dan menghabiskan waktu di wisma pe-
87
pustaka-indo.blogspot.com
ngungsi lebih baik daripada hanya mendekam di kamar. Kai terse-
nyum. Mereka berpisah dengan Shabrina. Setelah Maghali berada
di mobil dan duduk di sampingnya, Kai baru memberitahu ingin
mengajak Maghali makan malam dulu sebelum ke wisma pengungsi.
“Kita nggak akan sempat makan malam di sana. Kamu mau ma-
kan apa? Biar kutraktir.”
Maghali tercenung, berpikir mungkin keputusannya untuk ikut
adalah salah. Sekarang bagaimana caranya lepas dari pesona Kai?
“Apa saja, asalkan halal,” jawabnya.
Mobil Kai meluncur hingga berhenti di depan sebuah restoran
bertajuk “Malayan Taste”. Ada logo halal dalam tulisan Arab di
dekat nama restoran ini. Maghali baru tahu ada restoran dengan
menu masakan Melayu di sini.
“Pemiliknya perempuan Malaysia yang menikah dengan laki-
laki Kanada. Mereka muslim, jadi aku yakin masakan di sini boleh
kamu makan.”
Maghali mengangguk, melihat foto berukuran besar menam-
pilkan nasi hangat dengan rendang dan gulai entah daun apa. Wa-
lau ada restoran milik orang Indonesia yang menyajikan masakan
Indonesia, tidak setiap hari dia membeli makanan di sana. Hanya
saat dia kangen masakan negerinya. Sehari-hari Maghali lebih se-
ring memasak sendiri makanan praktis.
Usai makan, mereka melanjutkan perjalanan ke wisma peng-
ungsi. Kedatangan Kai langsung disambut antusias. Sosoknya yang
menarik dan ramah membuat para pengungsi betah menyampaikan
keluhan mereka. Kali ini banyak anak yang terkena influenza karena
tidak kuat udara dingin. Maghali memilih mengajak ibu-ibu berbin-
cang-bincang. Ada satu ibu yang dulu berprofesi sebagai pengacara.
Bahasa Inggris-nya bagus sekali. Dia menerjemahkan kata-kata ibu
lain yang tidak bisa berbahasa Inggris. Dalam sekejap Maghali teng-
88
pustaka-indo.blogspot.com
gelam dalam cerita pilu ibu itu. Perjuangan mereka yang mengharu
biru bertaruh nyawa untuk bisa sampai ke sini. Maghali ikut sha-
lat magrib dan isya berjemaah dengan para pengungsi di sini. Ada
satu ruang yang dijadikan pusat kegiatan ibadah, untuk shalat dan
mengaji.
Tidak terasa waktu merambat menuju pukul sepuluh malam.
Udara semakin dingin. Untuk menghemat energi, gedung ini ha-
nya menyalakan pemanas ruangan pada malam hari. Maghali baru
merasakan, salju hanya terlihat indah di foto-foto, tapi saat dirinya
berada di sebuah tempat yang dikelilingi salju, alam terasa kejam,
dingin menusuk tulang. Butuh perjuangan lebih keras hidup dalam
cuaca sedingin ini.
Maghali menuju klinik kesehatan. Dilihatnya Kai masih sibuk
memeriksa anak-anak, dikerumuni ibu-ibu yang mengeluhkan
anak mereka yang sakit. Tebersit rasa curiga, ibu-ibu itu hanya
ingin berdekatan dengan Kai. Maghali mendekati Kai, meminta
waktu untuk bicara.
“Sampai kapan kita di sini?” tanya Maghali.
“Sebentar lagi. Ada anak yang badannya panas sekali. Tadi dia
kejang-kejang. Aku menunggu panasnya turun sedikit lagi.”
Maghali ingin bicara lagi, tapi seorang ibu sudah mengambil
alih percakapan, membuat Kai tidak lagi fokus pada Maghali.
“Kai, aku pulang duluan ya. Sudah larut sekali,” kata Maghali.
Kai menoleh. Dia mendengar Maghali mengucapkan sesuatu,
tapi tidak mendengar dengan jelas. “What did you say, Lili?” tanya-
nya.
“Lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku pulang duluan. See you later,
Kai!” ujar Maghali menaikkan suaranya.
Lagi-lagi Kai tidak punya kesempatan menjawab. Seorang ibu
mulai meratap, mencemaskan keadaan anaknya.
Maghali berbalik, keluar dari ruang klinik. Dia merapatkan jas
89
pustaka-indo.blogspot.com
tebalnya. Sepengetahuannya, bus masih beroperasi hingga tengah
malam. Dia hanya berharap itu pun berlaku di cuaca bersalju se-
perti sekarang ini.
Begitu berada di luar, angin dingin langsung menyerbunya ba-
gai ratusan jarum menerpa wajah. Bahkan berbalut pakaian setebal
ini dia masih merasakan dingin. Maghali menaikkan syal hingga
menutup hidung, tersisa dua matanya yang menyipit menajamkan
pandangan ke depan. Tersaruk-saruk, dia berjalan, melipat tangan
di dada. Dia hanya perlu mencapai halte berjarak seratus meter
dari sini, lalu meloncat ke bus yang lewat agar rasa dingin ini ber-
kurang.
Awalnya dia merasa aman, namun dua orang yang mendekat
beberapa meter di depan membuat rasa waswas mendadak mun-
cul. Mengapa dia merasa dua orang itu sedang memperhatikan-
nya? Maghali menepis rasa cemas, kakinya terus melangkah. Tapi
kemudian dia sadar, dua orang tadi kini berada di kanan-kirinya,
mengiringi langkahnya. Mendadak jantung Maghali berdetak le-
bih cepat, hawa yang semula dingin kini mendadak memanas.
“Are you a refugee?”
Suara itu hampir tak terdengar, tapi Maghali enggan menanya-
kan apa yang sebenarnya diucapkan orang di samping kanannya
itu. Dia menunduk, mempercepat langkah.
“Hey, are you deaf?” Kali ini suara itu terdengar lebih keras.
“I think she can’t speak English.” Kali ini orang di samping kiri
Maghali yang bicara, seolah sedang menjawab pertanyaan teman-
nya.
Maghali masih tak bereaksi. Dia terus berjalan, berharap segera
mencapai halte.
“Hey, bad moslem! This is our country! If you cannot speak English,
go home!”
“Maybe she can speak France,” sahut laki-laki lainnya, lalu mener-
tawai ucapannya sendiri.
90
pustaka-indo.blogspot.com
Akhirnya Maghali berhenti. Dia sadar, dia tak bisa melarikan
diri dari kedua orang ini. Lebih baik dia hadapi, walau dia takut
setengah mati. Perlahan Maghali menatap laki-laki di samping ka-
nannya yang kini bergerak ke depannya.
“I am sorry, I feel very cold outside. I am in a rush. I can hear you, I
can speak English and I am not a refugee.”
Laki-laki di hadapannya membelalakkan mata.
“See, you can talk! Are you sure you are not a refugee from Syria?”
tanya laki-laki itu terlihat sangsi, dia menyipitkan mata.
Maghali menggeleng. “I am from Indonesia. I am a student in La
Mode College.”
Laki-laki itu tampak terkejut, dia memperhatikan wajah
Maghali lebih saksama.
‘I can’t believe it!” ujarnya, lalu dia beralih pada kawannya yang
masih berdiri di samping kiri Maghali. “Can you believe it? She is a
student!”
“In La Mode College? No way!” sahut temannya.
“Where is Indonesia?” tanya laki-laki yang bertampang menye-
balkan itu lagi.
“In Asia…,” jawab Maghali ragu, tak yakin laki-laki di hadapan-
nya ini cukup cerdas mengetahui apa itu Asia.
“You lied to me. You must be a refugee from Syria. Aku melihatmu
datang dari pengungsian.”
“Aku ke sana menemui temanku seorang dokter relawan. Aku
bukan pengungsi. Lagi pula, apa urusannya dengan kalian andai
aku pengungsi?”
Laki-laki di depan Maghali itu mendekat, ucapan terakhir
Maghali tampaknya telah mengusik emosinya. “We hate refugees!
We don’t need them! They are dangerous! Mereka bisa mengundang
teroris ke negara ini!” teriaknya.
“And you are moslem, right?” tanya laki-laki lainnya.
“Yes, what’s wrong with that?”
91
pustaka-indo.blogspot.com
“Sama seperti para pengungsi itu.”
“Tapi, aku bukan pengungsi!”
Laki-laki itu tampak semakin emosi mendengar intonasi suara
Maghali yang meninggi. Dia mendekat, menatap tajam Maghali.
“Agama kalian memerintahkan memusuhi kami, lalu sekarang
kalian minta bantuan dari kami? No way! Pergi kalian dari sini!”
“Berapa kali aku harus jelaskan? Aku bukan pengungsi. Aku
memang muslim, tapi aku nggak pernah minta bantuan dari ka-
lian!”
Maghali tercengang sendiri pada keberaniannya menjawab tu-
duhan laki-laki itu. Dia yakin tak akan terjadi apa-apa. Memangnya
apa yang akan dilakukan laki-laki itu dan temannya? Tak mungkin
mereka berani membunuhnya. Atau… Mata Maghali terbelalak.
Satu kemungkinan mengerikan mendadak muncul dalam kepala-
nya. Dia mulai merasa terintimidasi melihat tatapan nanar laki-laki
di hadapannya, apalagi kemudian persis seperti dugaannya, laki-
laki itu merengkuh kedua lengannya, memegangnya erat hingga
Maghali merasa nyeri.
“What are you doing? Lepaskan aku!” teriak Maghali masih be-
rani melawan sambil berusaha membebaskan diri.
“Kami bisa melakukan apa saja padamu saat ini. Kamu tahu
itu?” ucap laki-laki itu dengan suara keras di dekat telinga Maghali.
Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengucap istigfar ber-
kali-kali dalam hati seraya berdoa, semoga ada seseorang yang da-
tang menolongnya.
“Hei, jangan ganggu gadis itu!”
Teriakan itu mengejutkan Maghali, tak menyangka doanya ter-
kabul dengan cepat. Dua pemuda itu menoleh pada sumber suara
yang meneriaki mereka, menatap nanar. Satu pemuda yang ma-
sih memegangi lengan Maghali mengentak tubuh gadis itu hingga
berada di belakangnya.
92
pustaka-indo.blogspot.com
“Apa yang kalian lakukan? Dua laki-laki melawan seorang pe-
rempuan? Pengecut sekali!”
“Bukan urusanmu!” balas pemuda yang masih memegangi ta-
ngan Maghali.
“Tentu menjadi urusanku. Aku nggak akan membiarkan seo-
rang perempuan dianiaya di depan hidungku!”
Pemuda itu tampak naik pitam. Dia menarik tangan Magha-
li, lalu mengempaskannya sekuat tenaga setengah mendorong ke
belakang. Tangan Maghali terlepas dari pegangannya, tapi dia ke-
hilangan keseimbangan. Tubuhnya setengah terpelanting, hingga
jatuh terjerembap sangat keras dengan wajah tersuruk ke tumpuk-
an salju. Maghali gelagapan, kesulitan bernapas. Dia berusaha ba-
ngun, tapi sulit sekali. Rasanya pergelangan tangannya yang tadi
dipegang erat pemuda itu terkilir. Kai, laki-laki yang menegur pe-
muda pengganggu tadi langsung melesat menuju Maghali, semen-
tara kedua pemuda itu tampaknya memutuskan tak mau lagi ikut
campur. Keduanya berlari menuju bus yang berhenti.
“Hei! Kabur ke mana kalian?” teriak Kai.
Kedua pemuda itu sudah meloncat ke dalam bus yang lang-
sung melaju. Kai kembali fokus pada Maghali. Dia bersimpuh di
samping Maghali, perlahan mengangkat wajah gadis itu. Wajah itu
membiru dengan cepat, masih kesulitan bernapas. Kai membalik
tubuh Maghali perlahan, meletakkannya di pangkuan, kemudian
mendekapnya.
“Lili?” panggilnya. Lalu, dia tepuk pipi gadis itu lembut, dingin
sekali. Kai harus berpikir cepat. Dia harus segera membawa pergi
Maghali ke tempat yang lebih hangat. Gadis dalam dekapannya itu
pingsan, kemungkinan kesulitan bernapas. Kai membopong tubuh
Maghali lalu berjalan kembali ke gedung pengungsian.
“Open the door!” teriak Kai pada seorang pemuda yang berjaga
di balik pintu kaca gedung itu. Pemuda itu segera membuka pintu,
93
pustaka-indo.blogspot.com
menjaganya tetap terbuka sampai Kai yang membopong Maghali
masuk. Kai mempercepat langkahnya, menuju lobi, lalu merebah-
kan tubuh Maghali di karpet.
“What happened, Kai?” tanya Grace, sesama relawan.
“My friend, she is very cold,” jawab Kai. Dia membuka jasnya,
meletakkan begitu saja di sampingnya. Dia memeriksa lagi nadi
di leher Maghali, menghadapkan pipinya di atas hidung Maghali
untuk merasakan udara yang keluar dari sana. Hampir tak terasa.
“Ini bukan pertanda baik. Grace, tolong bantu aku menyetir
mobilku, antarkan kami ke rumah sakit tempatku bekerja. Ini kun-
ci mobilku,” kata Kai.
Grace mengangguk, menerima kunci itu, lalu bergegas per-
gi. Sementara Kai memutuskan dia harus memberi napas buatan
untuk Maghali, karena gadis itu masih belum memberi respons
dan tampak hampir tak bernapas. Kai mengangkat dagu Maghali
hingga gigi bagian bawah berada lebih tinggi daripada gigi atasnya.
Membersihkan mulutnya dari apa saja yang mungkin mengganggu
pernapasan dengan jarinya. Ada sisa-sisa salju di sana. Mungkin
beberapa sudah tertelan. Setelah mulut Maghali bersih, dia memi-
jit hidung Maghali, menempelkan mulutnya di mulut Maghali dan
mulai meniupkan udara.
Masih tak ada reaksi. Kai menghadapkan lagi pipinya di atas
hidung Maghali, merasakan napas yang berembus dari mulut
Maghali. Masih tak terasa, mengecek lagi nadi leher depan, masih
tak ada denyut. Dia melakukan kompresi, menekan dada Magha-
li dengan kedua kepalan tangan tiga puluh kali. Lalu meniupkan
udara lagi ke mulut Maghali. Kali ini Maghali bereaksi. Dia tam-
pak menarik napas, lalu mulai bernapas teratur walau perlahan.
Tapi, dia masih tak sadar.
“Kai, mobilnya sudah siap,” ucap Grace yang sudah masuk lagi.
Kai mengangguk. Dia mengangkat tubuh Maghali dan membo-
94
pustaka-indo.blogspot.com
pongnya menuju mobil yang mesinnya sudah menyala. Sementara
pemuda yang masih berjaga di situ membawakan jas Kai. Kai me-
mangku Maghali di kursi belakang, sementara Grace mengendarai
mobil menuju rumah sakit.
Kai baru bisa bernapas lega, merasakan pipi Maghali mulai
menghangat. Gadis itu sudah bernapas teratur, tapi matanya ma-
sih terpejam.
“Bertahanlah, Lili,” bisik Kai lembut di telinga gadis dalam
pangkuannya.
Dia mengusap perlahan pipi Maghali, membiarkannya sema-
kin hangat. Dia tak akan memaafkan dirinya jika sampai terjadi
sesuatu yang fatal pada Maghali. Seharusnya dia tidak membiarkan
Maghali berjalan sendirian di malam hari dalam terpaan udara di-
ngin bersalju.
Dalam kasus ini, Kai merasa sangat bersalah.
95
pustaka-indo.blogspot.com
10
Bagaimana Cara Lepas
dari Pesonanya?
pustaka-indo.blogspot.com
“Hampir. Untunglah aku dengan cepat memberimu napas bu-
atan.”
Maghali terbelalak. Bayangan mengerikan langsung muncul
dalam kepalanya. Saat dia dalam keadaan tak sadar, entah Kai telah
berbuat apa padanya.
“Na… pas buatan? Maksudmu, bibirmu menempel di bibirku?”
Kai mengangguk, lalu matanya menyipit heran. “Kenapa?
Nggak apa-apa, kan? Napas buatan itu yang bikin kamu selamat.”
Mata Maghali membulat, dia seperti teringat sesuatu. Dia me-
raba kepalanya, tampak lega merasakan kerudung masih berada di
tempatnya, menutupi rambutnya. Lalu dia meraba pakaiannya, dia
terenyak melihat pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian un-
tuk pasien rumah sakit.
“Aku tahu, penting sekali buatmu untuk menutup rambutmu
dengan skarf itu. Karena itu aku minta perawat tidak membuka-
nya.”
“Pakaianku di mana? Siapa yang mengganti pakaianku? Bu-
kan… kamu, kan?” tanya Maghali menatap Kai curiga.
Alis Kai terangkat. “Jangan berharap terlalu tinggi. Tentu bu-
kan aku yang mengganti pakaianmu, tapi perawat,” sahut Kai se-
ngaja menambahkan kata-kata meledek.
Maghali memberengut, Kai membalas dengan telak. Siapa bi-
lang dia berharap Kai yang mengganti pakaiannya? Bagaimana-
pun, seharusnya dia berterima kasih pada Kai. Dia selamat, bukan-
kah itu yang paling penting?
“Terima kasih sudah menolongku,” katanya.
“Sebenarnya, aku juga salah. Seharusnya aku nggak membiar-
kan kamu pulang sendirian di malam sedingin itu.”
“Aku yang salah, nggak menuruti permintaanmu untuk me-
nunggu. Kupikir, aku nggak tahu kapan kamu selesai, sedangkan
sudah saatnya aku pulang.”
97
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku lebih salah lagi, seharusnya aku nggak mengajakmu ke
sana.”
“Oh, tidak, aku senang kamu ajak ke sana. Melihat keadaan di
sana membuat pikiranku semakin terbuka. Melihat para relawan
yang dengan tulus menolong para pengungsi, orang-orang asing
yang datang ke negeri mereka. Dua laki-laki yang menggangguku
semalam pengecualian. Mereka orang berpikiran sempit yang ha-
tinya penuh kebencian,” sergah Maghali.
“Aku menyesalkan, masih ada beberapa orang di kota ini yang
percaya muslim adalah pembuat onar. Walau pemerintah meya-
kinkan teroris tidak berhubungan dengan muslim, tetap saja ada
warga yang Islamophobia,” kata Kai.
“Aku juga sangat menyesalkan itu. Apalagi aku jadi kena batu-
nya,” sahut Maghali.
“Itulah sebabnya, aku memilih nggak beragama,” kata Kai lagi.
Maghali terbelalak. “Kamu nggak percaya Tuhan ada?” tanya-
nya tak percaya.
Kai tergelak. “Tidak beragama bukan berarti tidak percaya Tu-
han.”
Maghali terus menatap Kai hingga matanya menyipit. “Mak-
sudmu?”
“Sudahlah, nggak usah membicarakan soal itu lagi. Itu pembi-
caraan yang paling nggak aku sukai. Sekarang kamu harus istirahat
dulu. Besok pagi aku akan mengantarmu pulang.”
“Kenapa harus besok pagi? Aku bisa pulang sekarang. Rasanya
aku sudah baik-baik saja.”
“Jangan membantah doktermu, Nona. Tidurlah, besok pagi
aku akan mengantarmu pulang.”
“Tapi aku baru bangun, masa disuruh tidur lagi?”
“Lihat botol infus itu? Tunggu sampai habis, baru kamu boleh
pergi dari sini.”
“Masih tiga perempat, tapi aku merasa sudah sehat.”
98
pustaka-indo.blogspot.com
Kai tersenyum. “Percayalah, aku lebih tahu bagaimana keada-
anmu yang sebenarnya.”
Tiba-tiba Maghali terbelalak, dia baru ingat sesuatu. “Madame
Maple! Aku belum memberitahu dia aku ada di sini. Dia pasti ce-
mas sekali kenapa aku belum pulang.”
“Madame Maple? Memangnya dia bisa tahu kalau kamu nggak
pulang? Dia kan tinggal di lantai bawah.”
“Benar juga. Terkadang aku menganggapnya nenekku sendiri,
aku selalu berusaha tidak pulang larut malam.”
Kai tersenyum. Maghali melirik sekilas, lalu menutup mulut-
nya karena menguap. “Aku tidur sekarang. Lama-lama ngantuk
juga. See you tomorrow, Kai. Sekali lagi, terima kasih,” ucapnya.
“Goodnight, Li. Aku yakin besok pagi keadaanmu sudah lebih
baik.”
Maghali mengangguk. “Jadi, kamu akan pulang sekarang?”
“Tidak, aku akan menginap di rumah sakit, menungguimu di
ruangan lain.”
Mata Maghali yang sudah setengah tertutup mendadak kemba-
li melebar. “Kamu menginap di sini nungguin aku?”
“Ya, kamu tanggung jawabku. Selain itu supaya aku nggak per-
lu bolak-balik.”
“Tapi Granny, dia pasti berharap kamu pulang.”
“Aku sudah memberitahu Granny. Justru dia bilang aku harus
menungguimu, jangan sampai aku meninggalkanmu. Lagi pula,
sekarang sudah jam tiga dini hari. Beberapa jam lagi sudah pagi.”
Maghali hanya menatap Kai, perasaannya campur aduk. Sung-
guh dia tak mengira akan menjadi sedekat ini dengan Kai. Dia ter-
libat terlalu dalam. Apakah kelak dia mampu melepaskan diri?
“Aku pergi sekarang, supaya kamu bisa segera tidur. Sweet
dreams.”
Maghali hanya mengangguk dan tersenyum. Kai balas terse-
99
pustaka-indo.blogspot.com
nyum, lalu berbalik, melangkah ke luar. Maghali masih mengikuti
kepergian Kai dengan matanya. Setelah Kai tidak terlihat lagi, dia
menarik napas panjang kemudian mengembuskannya pelan.
Jantungnya berdenyut lebih cepat. Dia memainkan bibirnya,
lalu merabanya perlahan. Dia mengerjap, mengusir bayangan ter-
larang yang mampir dalam kepalanya. Seharusnya dia tak usah
memikirkannya. Maghali tidak sadar apa yang sudah terjadi, yang
dia ingat hanya dua pemuda menyebalkan yang membuatnya ter-
jerembap ke tumpukan salju tebal, wajahnya mendarat lebih dulu.
Walau serpihan salju tidak keras, jatuh dalam posisi seperti itu
membuatnya kehabisan napas.
Saat itu saking dinginnya dia merasa mati rasa. Dia tak berdaya,
sukmanya bagai terenggut. Lalu… mendadak dia ingat, perlahan
dia merasakan kehangatan menjalari tubuhnya. Maghali menger-
jap. Rasanya dia tak sanggup bertatap muka dengan Kai lagi. Tapi,
tentu saja itu mustahil.
Esok paginya, Kai sudah muncul. Pukul sembilan pagi, Maghali
sudah berada di dalam mobil Kai, diantar sampai ke depan rumah
Madame Maple. Kai membukakan pintu untuk Maghali, bertepat-
an dengan Mike yang baru keluar dari pintu lantai satu.
“Lili? Kamu dari mana?” tanyanya menatap heran Maghali
yang terkejut dan mendadak gugup.
“Kamu nggak pulang semalam?” tanya Mike lagi, matanya me-
nyipit, lalu beralih memandang Kai.
“Ceritanya panjang, Mike,” jawab Maghali, tak tahu harus
menjelaskan dari mana.
“Semalam Maghali diserang dua pemuda Islamophobia hingga
pingsan. Aku membawanya ke rumah sakit. Dia harus menginap,
pagi ini baru boleh pulang.” Kai mengambil alih menjawab perta-
nyaan Mike untuk Maghali.
100
pustaka-indo.blogspot.com
Mike terbelalak. “Kamu diserang? Sampai pingsan? Semalam
di rumah sakit? Kenapa tidak mengabari kami? Kalau terjadi apa-
apa padamu, kami yang akan disalahkan.”
“Sudah ada Kai, jadi kupikir aku akan baik-baik saja.”
“Dia menungguimu di rumah sakit?”
“Dia dokter yang menanganiku.”
Mike menatap Kai tajam. “Sepertinya aku familier dengan wa-
jahmu.” Kemudian Mike terbelalak. “Kamu bintang iklan televisi!
Sabun pencuci wajah untuk laki-laki. Kamu mau bohong padaku,
Li?”
“Aku nggak bohong. Dia memang dokter, sekaligus model. Dia
yang memperagakan pakaian rancanganku.”
Mike masih memandangi Kai tajam, lalu menghela napas.
“Oke, siapa pun kamu, benar atau tidak cerita kalian, aku bersyu-
kur kau baik-baik saja, Li. Aku pergi dulu.”
Setelah Mike sudah jauh, Maghali tertawa geli.
“Kenapa kamu tertawa?” tanya Kai.
“Dia sama tercengangnya denganku dulu saat aku tahu kamu
dokter.”
“Memangnya aku nggak pantas menjadi dokter?”
Maghali tersenyum. “Aku masuk sekarang. Terima kasih, Kai.
Atas segalanya,” katanya.
“Lain kali berhati-hatilah. Jangan pergi malam-malam sendi-
rian.”
Maghali mengangguk.
Sesampai di kamar, Maghali merebahkan tubuh di tempat ti-
dur. Bibirnya membentuk senyum, lalu dia tertawa geli sendiri.
Semalam adalah kejadian paling mencekam sepanjang hidupnya di
sini. Tapi, Kai menyelamatkannya.
Kai mengganggu perasaannya. Maghali ingat pengakuan Kai
yang memilih tidak beragama. Bagaimana mungkin orang yang ti-
dak beragama bisa punya hati sebaik Kai?
101
pustaka-indo.blogspot.com
Apakah benar, akhlak baik seseorang tidak bergantung pada
agama? Beragama atau tidak, bisa saja berakhlak baik? Berdosakah
bila Maghali tertarik pada pemuda yang berakhlak baik walau dia
tak beragama?
Maghali memejamkan mata. Dia mulai merasakan ancaman
bahaya yang mengintai hubungannya dengan Kai. Seharusnya dia
tidak boleh sedekat ini. Seharusnya dia menjaga jarak. Dan lagi-
lagi dia hanya bisa berjanji, akan memulainya besok.
Tapi dia sendiri tidak yakin bisa menepati janjinya itu.
102
pustaka-indo.blogspot.com
11
Bebaskan Rasa itu
SEHARI sebelum Natal. Kota ini ramai sekali. Banyak orang yang
baru berbelanja di hari terakhir sebelum Natal. Orang berlalu-
lalang seolah tak memedulikan rasa dingin. Maghali juga memu-
tuskan berbelanja hari ini. Memang pilihan hari yang salah. Tapi,
dia baru ingat sekarang, harus menyiapkan persediaan makanan
sampai Tahun Baru. Untung toko langganan Maghali tidak terlalu
penuh.
Toko itu menyajikan khusus makanan halal. Maghali bisa bebas
membeli ikan kalengan, daging sapi kalengan, mi instan goreng
dan rebus, sayuran beku (ini akan dia titipkan di kulkas Madame
Maple), gandum, serbuk kentang instan. Ini untuk mengantisipasi
andaikan beberapa hari ke depan cuaca di kota ini semakin dingin
dan dia enggan keluar rumah. Maghali memasukkan kantong be-
lanjaannya ke dalam tote bag yang selalu dia bawa. Keluar toko, dia
berjalan santai sambil melihat hiasan-hiasan di setiap toko yang
lebih indah daripada hari biasa. Underground city tampak lebih se-
marak. Penuh dengan hiasan bernuansa Natal. Penuh pengunjung
dengan wajah-wajah bahagia.
Maghali menghela napas. Hidup ini sesungguhnya indah, an-
daikan semua orang sebahagia ini, bebas dari rasa benci dan saling
curiga, meluapkan rasa ingin berbagi kasih. Dia ingin melupakan
kejadian minggu lalu, saat orang yang tidak dia kenal menggang-
pustaka-indo.blogspot.com
gunya hanya karena mengira dia salah satu penghuni wisma peng-
ungsi. Bukankah sesungguhnya semua warga di sini asal muasalnya
adalah imigran? Bukankah seharusnya mereka saling menerima
dan merasa senasib?
“Lili?”
Panggilan itu mengalihkan Maghali dari keasyikannya mere-
nung sambil memandang kagum sebuah pohon natal raksasa yang
demikian indah. Dia terpaku, tidak langsung menoleh. Dia me-
ngenal suara itu. Suara Kai. Rasanya dia masih malu bertatap muka
dengan Kai. Laki-laki itu yang sudah menolongnya, yang sudah
memberinya napas buatan. Maghali menutup mata, mengucap
mantra berharap pikiran itu enyah dari dalam kepalanya. Dia su-
dah berjanji akan menjaga jarak, mengapa hari ini dia bertemu Kai
lagi? Apakah Montreal sesempit ini?
“Lili, kamu nggak dengar aku panggil, ya?”
Kali ini Kai menarik lengan Maghali, berdiri di hadapan
Maghali dan tersenyum lebar.
“Aku nggak sangka ketemu kamu di sini.”
“Oh ya? Kamu nggak sangka?” Kening Kai berkerut. “Kamu
mengira aku menguntitmu?”
“Siapa tahu?”
“Untuk apa?”
“Entahlah.”
“Aku habis belanja di supermarket itu, kebutuhan untuk masak
sedikit istimewa besok. Sama sekali aku nggak menduga kamu ada
di sini.”
“Oh, begitu. Baiklah Kai, aku harus buru-buru,” kata Maghali.
Dia bergegas berjalan melewati Kai yang terpana memandanginya.
Satu menit kemudian Kai tersadar, dia mengejar langkah
Maghali.
“Ada apa, Li? Kenapa aku merasa kamu menghindariku?” tanya
104
pustaka-indo.blogspot.com
Kai, kembali menarik lengan Maghali.
“Bukan begitu. Aku cuma... aku malu dengan kejadian malam
itu.”
Kening Kai berkernyit. “Kejadian apa?”
“Kamu menyelamatkanku dari tumpukan salju.”
Kerut di kening Kai semakin bertambah. “Apa yang memalu-
kan dari kejadian itu?”
“Mm... aku belum pernah sedekat itu dengan laki-laki. Aku se-
harusnya nggak boleh bersentuhan denganmu seperti itu. Apalagi
kamu… bibir kita bersentuhan. Itu sangat tidak boleh. Aku sudah
berbuat dosa.”
“What?” Alis Kai terangkat, matanya membelalak. “Saat itu
kamu nggak sadarkan diri. Badanmu hampir beku. Hanya ada aku
di sana. Aku nggak mungkin pergi dulu mencari perempuan yang
bisa menolongmu. Ada Grace, tapi dia bukan paramedis, dia hanya
petugas administrasi. Maaf, aku nggak banyak berpikir. Aku lang-
sung membawamu kembali ke wisma pengungsian dan melakukan
pertolongan pertama padamu supaya kamu bisa bernapas lagi. Dan
itu sama sekali bukan hal memalukan!”
Maghali menelan ludah, melihat ekspresi wajah Kai yang tam-
pak serius bercampur kesal, hingga suaranya naik satu oktaf.
“Aku mengira kamu orang yang berpikiran terbuka. Sebagai
seorang desainer pakaian yang sudah sering melihat dunia luar,
seharusnya kamu nggak berpikiran sesempit itu. Menuduh aku se-
ngaja melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan,” lanjut Kai.
Mata Maghali menyipit. Kali ini dia agak tersinggung dituduh
berpikiran sempit. “Aku nggak menuduhmu!”
“Kata-kata dan sikapmu tadi membuatku merasa kamu begi-
tu. Kamu menyalahkan aku karena sudah menyentuhmu, mem-
bopong tubuhmu, menghangatkanmu, meniupkan udara ke dalam
mulutmu...”
105
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali ternganga, dia tidak melihat semua kejadian yang di-
katakan Kai itu, tapi tak bisa dihindari, pipinya menghangat mena-
han malu membayangkan kejadian itu.
“Aku nggak menyalahkanmu. Aku sangat berterima kasih kamu
ada di sana dan menolongku. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku
baru ditemukan esok paginya, dalam keadaan sudah nggak bernya-
wa.”
Kai mengangkat tangan, memberi tanda agar Maghali berhenti
bicara. “Jangan bilang begitu. Itu nggak akan pernah terjadi. Aku
nggak akan membiarkanmu celaka. Aku akan selalu ada beberapa
langkah di belakangmu. Memastikan kamu baik-baik saja.”
Maghali tidak bisa melihat wajahnya sendiri. Tapi, dia yakin
saat ini pipinya bersemu merah.
“Kenapa kamu sangat peduli padaku? Aku cuma orang asing...”
“Siapa pun yang sudah aku kenal baik, dan selama orang itu
bersikap baik, nggak akan luput dari perhatianku.”
Maghali menghela napas, tersenyum getir, bibirnya bergetar.
Lagi-lagi dia merasa malu, mengira dirinya dianggap istimewa
oleh Kai. Padahal itu adalah sifat dasar Kai. Peduli pada orang lain,
siapa pun orang lain itu.
“Jadi, kamu mau kan berhenti menghindariku? Aku tahu kamu
muslimah yang taat. Percayalah, aku nggak akan sembarangan me-
nyentuhmu. Aku menghormatimu. Aku menyentuhmu hanya da-
lam keadaan terpaksa.”
Maghali mengangguk dan tersenyum. “Kamu benar, itu bukan
kejadian memalukan. Aku nggak akan merasa malu lagi padamu.”
“Aku seorang dokter. Ingatlah itu. Aku harus menolong siapa
pun yang butuh bantuanku. Kejadian malam itu hal biasa buatku.
Aku sudah sering menolong orang yang kesulitan bernapas.”
Maghali menggigit bibir. “Apakah sebagian besar yang kamu
tolong perempuan?”
106
pustaka-indo.blogspot.com
Kai tersenyum lebar. “Nggak ada bedanya laki-laki atau perem-
puan. Saat seseorang dalam keadaan kritis, aku harus menolongnya
tanpa banyak berpikir.”
Mata Maghali membesar. “Waktu Natalie pingsan, kamu
nggak memberinya napas buatan. Apa bedanya dengan keadaanku
malam itu?”
Mata Kai menyipit. “Kamu yakin masih ingin mempermasa-
lahkan hal itu? Keadaanmu dan Natalie berbeda. Napas Natalie
masih teratur, denyut nadinya masih normal, dia pingsan karena
perutnya kosong, gula darahnya merosot tajam. Kamu pingsan ka-
rena jalan napasmu tersumbat, akibat banyaknya salju yang masuk
melalui mulut dan hidung. Sebagian terisap olehmu. Aku harus
membuka jalan napasmu. Apakah kamu mengerti sekarang?”
Maghali mengangguk, memutuskan tak akan berkomentar lagi.
Dia sadar sudah bersikap berlebihan. Dia malu pada dirinya sendiri
telah membayangkan romantisme saat Kai menolongnya. Padahal
bagi Kai itu hanya kejadian biasa.
“Ayo, aku traktir minum cokelat hangat di kafe dekat sini. Ada
pancake enak dan halal untukmu. Aku kenal pemilik kafenya. Laki-
laki muslim keturunan Pakistan,” ajak Kai.
Kali ini tanpa banyak pertimbangan, Maghali mengangguk se-
tuju. Dia berusaha yakin, Kai peduli padanya hanya sebagai teman.
Lebih baik memiliki teman di kota yang jauh sekali dari keluar-
ganya ini. Keputusannya berubah. Dia tidak perlu menjaga jarak
dengan Kai.
107
pustaka-indo.blogspot.com
di negara tropis. Siapa yang bisa bertahan hidup dalam cuaca se-
dingin ini? Tidak ada orang yang berkeliaran di luar jika tidak be-
nar-benar perlu. Itu pun harus mengenakan pakaian berlapis-lapis.
Mungkin lima lapis. Apa pun yang berada di luar bisa langsung
membeku. Dalam cuaca sedingin ini, sekolah-sekolah termasuk
kampus diliburkan.
Seminggu ini sungguh membosankan. Maghali hanya mering-
kuk di kamar. Menonton DVD film, membaca buku. Kegiatan
berselancar di internet agak terganggu karena sinyal buruk sekali.
Pemanas ruangan menyala terus-menerus. Berharap pemanas itu
mampu bertahan hingga musim dingin berakhir. Di saat seperti
inilah Maghali merindukan negerinya. Sedingin-dinginnya Solo
atau Jakarta, suhu masih 23 derajat Celsius. Kemudian terpikir
olehnya, bagaimana nasib hewan-hewan liar di kota? Alis Magha-
li terangkat. Bagaimana nasib para pengungsi? Pemanas di wisma
pengungsian hanya dinyalakan pada malam hari.
Berita di televisi mengabarkan besok diperkirakan akan datang
badai salju. Dan esoknya, badai salju itu benar-benar datang. Men-
cekam sekali, badai itu menyebabkan listrik mati! Maghali terke-
jut. Buru-buru dia menyalakan lampu di ponselnya. Tapi baterai
ponselnya tidak akan bertahan lama. Pemanas mulai mati, menyi-
sakan sedikit hawa panas yang sebentar lagi akan habis.
Tok, tok, tok! Pintu diketuk.
“Lili, apakah kau baik-baik saja? Ini Mike!” Teriakan dari balik
pintu.
Maghali beringsut bangun sambil tetap menyalakan lampu di
ponselnya. Dia menuju pintu kemudian membukanya. Tampak
Mike membawa lilin dengan wadahnya di tangan kiri, sementara
tangan kanannya memegang lipatan selimut.
“Ini tambahan selimut dan lilin untukmu. Grandma yang me-
mintaku membawakan ini untuk semua yang menyewa kamar di
sini. Maaf kami tidak punya genset. Tapi, kuharap mati listrik ini
108
pustaka-indo.blogspot.com
tidak lama. Semoga setelah badai salju berlalu, listrik kembali me-
nyala.”
“Terima kasih, Mike.”
“Bertahanlah dari suhu dingin ini. Kami punya selimut peng-
hangat tapi harus pakai listrik. Tetap tidak bisa dipakai.”
“Tidak apa-apa, Mike. Dua lapis selimut tebal semoga cukup.”
“Oke, aku mau ke atas memberikan selimut dan lilin juga untuk
penghuni lantai atas,” ujar Mike. Dia memberikan tiga batang li-
lin dan korek api. Maghali tersenyum, terharu pada kebaikan serta
perhatian Madame Maple dan Mike. Besok pagi dia harus menje-
nguk Madame Maple.
Setelah menutup pintu, Maghali menyalakan lilin, lalu naik
ke tempat tidur, melapisi tubuhnya dengan long john, kaus tebal
berlengan panjang, celana panjang tebal, masih dilapisi jaket tebal,
kerudung, topi wol, lalu dua lapis selimut tebal. Lumayan hangat.
Dia berusaha tetap terjaga, membayangkan dan memikirkan ber-
bagai hal. Tidak mudah menghalau rasa kantuk di suhu sedingin
ini.
Waktu berlalu hingga akhirnya jam meja menunjukkan pukul
enam pagi. Dia turun dari tempat tidur untuk shalat subuh. Di
luar masih gelap. Bahkan hingga pukul sembilan pagi. Listrik be-
lum menyala. Untunglah air yang dia simpan dalam termos tidak
membeku. Maghali sarapan bubuk kentang yang dia beri air panas
hingga menjadi pure. Bekal makanannya sudah hampir habis. Ha-
nya cukup untuk tiga hari ke depan. Setelah itu dia terpaksa keluar
untuk berbelanja.
Tengah hari cuaca sudah lebih baik. Salju berhenti turun.
Semburat cahaya matahari mulai terlihat walaupun sangat samar.
Maghali keluar kamar, menuju pantry untuk menyeduh air. Baru
saja air mendidih dan dia mematikan kompor, terdengar ketukan
di pintu depan. Maghali bergegas ke pintu, mengintip dari balik
jendela, terbelalak melihat siapa yang datang. Buru-buru dia kem-
109
pustaka-indo.blogspot.com
bali ke kamarnya, mengambil kunci pintu depan miliknya. Lalu
membuka pintu.
“Kai!” teriaknya pada Kai yang sudah turun dua anak tangga.
“Maaf, aku harus mengambil kunci dulu di kamar,” lanjutnya.
“Syukurlah kamu ada. Aku baru saja ingin ke bawah menitip-
kan ini pada Madame Maple,” kata Kai, menunjuk kantong kertas
dalam rengkuhan lengan kirinya. Dia kembali melangkah naik.
Maghali mempersilakan masuk, membiarkan Kai duduk di sofa.
“Kenapa dingin-dingin begini kamu berkeliaran di luar?” ta-
nyanya.
Kai menyerahkan kantong kertas yang dibawanya pada Maghali.
“Apa ini?” tanya Maghali lagi dengan kening berkerut sambil
mengintip isi kantong itu.
“Bekal makanan instan untukmu. Kurasa cukup untuk seming-
gu. Supaya kamu nggak perlu keluar berbelanja di cuaca dingin.”
“Kamu repot-repot keluar cuma untuk membelikan ini untuk-
ku?”
Kai tersenyum. “Tidak, aku berkeliaran di luar hari ini bukan
hanya karena itu. Aku dari wisma pengungsi, mengecek keadaan
mereka saat mati listrik seperti sekarang. Dari sana aku belanja ke-
butuhan sehari-hari untuk rumahku. Kemudian aku ingat mung-
kin kamu butuh tambahan persediaan makanan.”
“Kamu seperti harapanku yang terkabul, Kai. Persediaan ma-
kananku memang hampir habis. Aku baru berencana ke toko be-
sok. Terima kasih.”
Kai langsung berdiri dan permisi. Menolak saat Maghali me-
nawarkan minum teh. Maghali mengalihkan pandangan, tak tahan
menghadapi tatapan Kai yang cukup lama.
“Sama-sama, Li. Tak perlu sungkan. Aku peduli padamu kare-
na tak ingin kamu celaka seperti dulu. Saat ini suhu di luar sangat
dingin. Walaupun hari ini lebih baik daripada kemarin, salju masih
bisa turun lagi beberapa hari ke depan.”
110
pustaka-indo.blogspot.com
Mendengar ucapan Kai itu, Maghali kembali menatap Kai.
“Terima kasih, Kai. Kamu membuatku merasa tidak lagi merana
tinggal di tempat dingin ini jauh dari keluargaku.”
Kai tersenyum. “Selama kamu tinggal di kota ini, anggap saja
aku sebagai pengganti keluargamu. Bilang padaku kapan pun kamu
butuh bantuan.”
Maghali mengangguk.
“Aku pergi sekarang,” ucap Kai, melangkah ke pintu.
“Salam untuk Granny. Bagaimana keadaannya?”
“Granny sehat, walau di cuaca dingin ini Granny lebih lemah
daripada biasanya.”
“Cepatlah pulang, temani Granny. Jangan tinggalkan dia ter-
lalu lama.”
“Terima kasih,” sahut Kai.
Maghali tidak bisa menyangkal, dia merasa senang. Tak peduli
apakah rasa senang ini adalah perasaan yang salah. Yang jelas, dia
jadi tidak terlalu merasa merana dalam musim dingin yang menye-
ngat ini.
Satu jam kemudian listrik menyala. Rasa syukur Maghali jadi
berlipat-lipat.
111
pustaka-indo.blogspot.com
12
Membuka Pikiran
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali menelan ludah, apa yang dicemaskannya benar terjadi.
“Selain itu, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” lanjut Isa-
belle.
Maghali memejamkan mata sebentar, menghalau rasa tak nya-
man yang mulai merayapinya. Kejadian tak terlupakan itu mencip-
takan jarak dengan Isabelle tanpa bisa dia cegah. Tingkat kewaspa-
daannya meninggi.
“Apa yang ingin kamu bicarakan? Tentang rancanganku
atau…” sahutnya.
Isabelle mendekat, Maghali makin merasa canggung.
“Bukan tentang rancanganmu. Aku selalu setuju dengan apa
pun rancanganmu. Ini tentang hidupku.”
“Mm, apa?”
“Boleh aku menumpang tinggal di apartemenmu untuk semen-
tara?”
Pertanyaan Isabelle itu membuat Maghali hampir tersedak.
“Kenapa kamu mau menumpang di tempatku? Tempat ting-
galmu pasti lebih mewah dari tempatku. Lagi pula, kamarku hanya
cukup untuk satu orang,” elak Maghali.
Isabelle menghela napas. “Aku harus menjauh dari Jane,” ja-
wabnya.
Maghali terbelalak. Lagi-lagi dia dibuat terkejut. “Kenapa?”
tanyanya.
“Apartemennya memang mewah, tapi sekarang dia berubah.
Membuatku tak lagi nyaman tinggal berdua dengannya.”
“Apa yang sudah dia lakukan?”
“Jane memaksakan kemauannya padaku. Aku jadi cemas, kha-
watir dia akan melakukan sesuatu padaku saat aku terlelap.”
Maghali mengerjap, percakapan ini semakin absurd.
“Kemarin kami bertengkar hebat sekali. Sudah lama aku ingin
meninggalkan Jane. Tapi, dia selalu melarangku. Dia bilang aku
nggak akan sanggup tinggal sendirian. Dan dia benar. Aku tahu
113
pustaka-indo.blogspot.com
kamu tinggal sendiri di apartemenmu, jadi aku mengajukan diri
menjadi teman sekamarmu. Boleh, kan?”
“Tempat tinggalku bukan apartemen. Hanya rumah biasa. Ka-
marnya kecil.”
Isabelle menggeleng-geleng. “Itu bukan masalah. Tak perlu
tinggal di apartemen. Yang penting aku punya teman sekamar dan
itu bukan Jane.”
Maghali menarik napas pelan, mengembuskannya hampir tak
kentara, secepatnya berusaha memutar otak, memikirkan alasan
apa lagi. Tapi, dia benar-benar kehilangan ide.
“Please, Li. Aku nggak sanggup tinggal sendirian. Aku terbia-
sa ditemani. Aku khawatir kalau aku tinggal sendirian, nggak baik
buat kesehatan mentalku.”
“Ada apa dengan kesehatan mentalmu?” Maghali menyipitkan
mata.
“Apakah aku harus menceritakan lika-liku hidupku yang me-
nyedihkan padamu?”
“Tidak harus.”
“Baiklah, akan kuceritakan secara singkat. Aku dulu tinggal di
panti asuhan. Aku terbiasa tinggal di tempat ramai. Kami tidur di
ruangan luas dengan banyak tempat tidur. Suatu hari aku pernah
terkunci sendirian dalam gudang selama dua hari. Bayangkan! Itu
terjadi saat usiaku dua belas tahun. Aku ketakutan dan kelaparan.
Kejadian itu membuatku trauma sampai sekarang. Aku nggak per-
nah berani di sebuah tempat sendirian. Harus selalu ada yang me-
nemaniku. Minimal satu orang.”
Maghali memandangi Isabelle agak lama, seolah sedang men-
deteksi kebenaran cerita gadis itu. Dia tak menyangka Isabelle per-
nah tinggal di panti asuhan. Semula dia mengira Isabelle berasal
dari keluarga kaya, terlihat dari sikapnya yang bagai bangsawan
dan pakaiannya yang selalu berkualitas terbaik.
114
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku sebatang kara. Ayah dan ibuku pergi meninggalkan aku,”
lanjut Isabelle.
“Pergi…” Maghali menebak-nebak “pergi” yang dimaksud Isa-
belle.
“Ayahku meninggalkan aku ke benua lain. Ibuku tak mampu
merawatku.”
Maghali memandangi Isabelle, kali ini dengan pandangan pri-
hatin.
“Aku tidak menyangka…”
Isabelle tersenyum. “Aku sudah bilang, hidupku dulu penuh
liku dan menyedihkan. Apakah ceritaku ini cukup untuk membu-
atmu mau menerimaku tinggal bersamamu? Aku nggak bohong.
Itu adalah kisah nyata kehidupanku yang sebenarnya. Kalau kau
tak percaya, kau bisa mencari berita tentang aku di internet.”
Maghali menimbang-nimbang untung-rugi jika dia menerima
permohonan Isabelle. Andai dia tidak melihat apa yang dilakukan
Jane dan Isabelle dulu, tak perlu berpikir panjang untuk menerima
gadis jangkung itu tinggal bersamanya. Tapi, sekarang dia harus
waspada. Dia tak keberatan tetap berteman dekat dengan Isabelle.
Orientasi seksual seseorang yang berbeda bukan alasan untuk
menjauhi orang tersebut. Tapi, tinggal satu kamar adalah soal lain.
Dia tak bisa bergerak bebas di kamarnya sendiri, tak bisa hanya
mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Benar-benar akan
sangat merepotkan. Isabelle masih menunggu jawaban Maghali
dengan tatapan mata penuh harap bercampur sendu.
“Bagaimana? Aku tahu kamu teman yang baik. Kamu pasti
nggak keberatan, kan?”
Maghali menarik napas panjang, lalu perlahan mengembuskan-
nya, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab. “Baiklah…”
Ucapannya terputus, matanya terbelalak saat dengan tiba-tiba
Isabelle memeluknya erat.
115
pustaka-indo.blogspot.com
“Merci8. You are a good friend. I will always remember your kind-
ness,” ucap Isabelle masih belum mau melepas pelukannya.
Maghali mengurai pelukan, lalu tersenyum canggung. “That’s
okay,” sahutnya singkat.
“Ne t’inquites pas9, aku akan membayar biaya selama tinggal di
sana.”
“Oke,” jawab Maghali lebih singkat lagi.
Isabelle tersenyum senang. “Aku akan ke apartemen Jane se-
karang juga, mengambil barang-barangku, mumpung Jane sedang
pergi. Hari ini hingga besok dia akan berada di Ottawa.”
“Kamu akan pergi diam-diam? Itu bukan sikap yang baik. Jane
pasti akan merasa tersinggung.”
“Dia nggak akan mengizinkan aku pergi kalau aku bilang dulu.
Aku harus pergi secepatnya sebelum dia tahu.”
Maghali hanya diam.
“Kamu belum mengenal Jane. Dia punya karakter mendomina-
si. Sulit sekali lepas dari dominasinya saat kau berada di dekatnya.
Dia bagai mengisap jiwamu. Membuatmu tak bisa berkutik.”
Kata “mengisap jiwa” itu membuat Maghali membayangkan
dementor dalam kisah Harry Potter, tapi dengan wajah Jane.
“Apakah dia separah itu?” tanyanya tak yakin.
Isabelle mengangguk kuat-kuat.
“Percayalah! Ah, sudahlah, ayo kita ke apartemennya seka-
rang.”
“Untuk apa aku ikut ke apartemennya?”
“Untuk menemani aku. Ayo!”
Maghali tak bisa mengelak lagi, Isabelle sudah merangkulnya
keluar gedung kampus, membuka pintu belakang taksi yang ru-
8
Terima kasih (bahasa Prancis).
9
Jangan khawatir (bahasa Prancis).
116
pustaka-indo.blogspot.com
panya sudah disiapkan Isabelle dan menunggu mereka di depan
gedung.
Sesampai di apartemen Jane, Maghali tercengang. Itu aparte-
men mewah. Lebih mewah daripada apartemen milik Maura sau-
dari kembarnya saat tinggal di Jakarta dulu. Ada ruang tamu yang
luas, ruang menonton televisi, ruang makan, dan dapur. Satu ka-
mar tidur yang juga luas, dilengkapi balkon dan kamar mandi. Ru-
ang kamar Maghali tidak sampai seperempat luas apartemen ini.
“Belle, rasanya bukan ide bagus kamu pindah ke kamarku.
Kamu sudah terbiasa hidup nyaman di sini. Ruang apartemen ini
mewah dan luas. Jauh sekali keadaannya dengan kamarku yang se-
derhana dan sempit.”
Isabelle tersenyum. “Kamu salah kalau mengira aku merasa
nyaman di tempat mewah ini. Selama bertahun-tahun aku terbiasa
hidup sederhana bersama anak-anak panti asuhan tempatku ting-
gal dulu. Bukan tempatnya yang penting, tapi dengan siapa kita
tinggal.”
Maghali menelan ludah. “Apa nggak ada temanmu sesama mo-
del yang mau menerimamu tinggal bersama?”
Isabelle menggeleng. “Model-model terkenal itu lebih suka hi-
dup sendiri, lalu bisa mengundang siapa saja yang mereka sukai
ke apartemen mereka. Aku punya cukup keahlian menilai karakter
orang, Li. Dan menurutku, kamu gadis yang baik. Aku lebih suka
tinggal bersama orang baik sepertimu.”
“Apa kriteria baik untukmu?”
“Kamu nggak suka mabuk, menghabiskan malam hingga pagi
di kelab-kelab malam atau mendatangi pesta-pesta liar, kan?”
Maghali menggeleng kuat-kuat, membayangkannya saja sudah
membuatnya ngeri.
“Itulah tanda kamu gadis baik-baik and I love it!” ujar Isabelle
lalu tersenyum lebar.
117
pustaka-indo.blogspot.com
Isabelle sudah menyiapkan koper-kopernya. Tiga koper beru-
kuran besar. Untungnya dia sudah memanggil petugas apartemen
untuk membantunya membawa koper-koper itu sampai ke bawah,
lalu menunggu sampai mereka mendapatkan taksi.
Setelah sampai di depan rumah Madame Maple, barulah me-
reka harus bekerja keras. Maghali membantu membawakan koper
Isabelle ke atas. Isabelle membawa satu, Maghali terpaksa mem-
bawa dua bolak-balik karena Isabelle sudah mengeluh lelah dan
napasnya tersengal-sengal.
Maghali membuka pintu, membiarkan Isabelle dan koper-
kopernya masuk, lalu kembali menutup pintu.
“Di sini cuma ada satu tempat tidur dan nggak terlalu besar,”
kata Isabelle setelah berada di kamar Maghali.
“Ya, aku tinggal sendiri, nggak perlu tempat tidur besar.”
“Jadi, kita akan tidur berdua di tempat tidur itu?”
Bulu kuduk Maghali meremang, ngeri membayangkan dia ti-
dur berdua dengan Isabelle.
“Tidak, kamu tidur di tempat tidur itu, aku akan tidur di sofa.”
Isabelle mengangkat alisnya yang tebal dan melengkung indah.
“Oh, tidak. Aku tamu di sini. Aku yang harus tidur di sofa.”
“Tubuhmu lebih panjang daripada tubuhku. Pasti nggak nya-
man buatmu kalau tidur di sofa. Nggak apa-apa. Sofa itu cukup
nyaman. Empuk sekali. Aku sering tertidur di sofa saat menonton
televisi atau saat kelelahan setelah membuat rancangan desain pa-
kaian.”
Isabelle menatap Maghali agak lama, memastikan gadis itu ti-
dak sedang berbohong.
“Kamu yakin?”
Maghali mengangguk. “Yakin sekali,” katanya.
Beberapa hari kemudian Maghali sudah merasakan repotnya
tinggal sekamar dengan Isabelle. Seperti hari ini. Dia menghenti-
118
pustaka-indo.blogspot.com
kan kesibukannya mewarnai gambar desain terbarunya. Dia buru-
buru berdiri, lalu berlari ke kamar mandi. Begitu pintu terbuka, dia
terkesiap melihat Isabelle sedang berendam di bathtub penuh busa.
“Belle! Kamu masih di sini? Kukira sudah selesai mandi sejak
tadi!”
“Aku sedang rileks. Kamu mau apa?”
“Aku… eh, tidak. Nanti saja,” sahut Maghali. Dia berbalik, ber-
niat keluar.
“Kamu mau buang air kecil, Li?” tanya Isabelle.
Maghali masih terdiam.
“Don’t be shy. Kamu bisa melakukannya sementara aku beren-
dam di sini. Kita kan sama-sama perempuan,” lanjut Isabelle.
“No, thanks. Aku tunggu sampai kamu selesai. Oh iya, please,
Belle, biasakan mengunci pintu saat kamu sedang di kamar man-
di,” kata Maghali mengingatkan sambil menoleh.
“Why?” tanya Isabelle, dia mengerutkan keningnya.
“Mandi itu kegiatan yang sangat pribadi. Jangan sampai ada
orang lain yang masuk saat kamu sedang mandi.”
“Kenapa itu jadi masalah? Bagiku nggak apa-apa. Kita kan
cuma tinggal berdua dan sama-sama perempuan.”
Maghali hanya menghela napas. Kini dia harus menahan diri.
Haruskah dia ke tetangga sebelah menumpang izin memakai ka-
mar mandi? Apakah itu sopan di malam selarut ini?
“Baiklah, aku berhenti berendam supaya kamu bisa ke kamar
mandi,” kata Isabelle tiba-tiba, keluar dari kamar mandi hanya ber-
balut handuk.
“Thank you,” jawab Maghali singkat, bergegas masuk ke kamar
mandi dan mengunci pintu.
Isabelle tersenyum sambil menggeleng beberapa kali, lalu se-
gera mengambil kaus longgar yang biasa dia kenakan untuk tidur.
Dia memakainya tanpa dalaman. Duduk di atas kasur, dia bersan-
119
pustaka-indo.blogspot.com
dar pada tumpukan bantal dan mendengarkan musik melalui ear-
phone.
Tak lama Maghali keluar dari kamar mandi, dan segera mere-
bahkan tubuh di atas sofa. Isabelle memandanginya.
“Aku benar-benar heran. Untuk apa kamu tetap berpakaian
serba tertutup di dalam kamar?”
“Udaranya dingin,” jawab Maghali singkat, lalu memejamkan
mata.
“Musim dingin sudah berakhir,” bantah Isabelle.
“Buatku ini sudah dingin. Di Jakarta, suhu rata-rata kalau ma-
lam hari dua puluh tiga derajat Celsius.”
“Wow! Itu panas banget.”
“Karena itu aku tetap berpakaian tertutup di dalam kamar,”
kata Maghali.
Ah, andai saja Maghali berani mengatakan yang sebenarnya.
Dia berpakaian tertutup agar Isabelle tidak merasakan “sesuatu”
pada dirinya. Dia harus waspada.
120
pustaka-indo.blogspot.com
13
Yang Merasa Dikhianati
pustaka-indo.blogspot.com
Isabelle menggeleng. “Tidak, Jane, kupikir sudah saatnya kita
berpisah. Kita punya cara hidup berbeda. Kita tetap bisa berteman,
tapi sebaiknya kita tidak tinggal bersama lagi.”
Jane menggeleng kuat-kuat. “Tidak! Kamu nggak boleh pergi.
Aku temanmu sejak pertama kali kamu memulai karier modelmu.
Kamu berutang budi banyak padaku!”
“Kamu menuntutku mengganti semua biaya selama aku ting-
gal bersamamu? Aku sudah tinggal setahun denganmu. Aku harus
membayar sewa apartemenmu selama setahun kemarin?”
“Kamu nggak akan sanggup membayarnya.”
“Kupikir kamu tulus saat mengajakku tinggal bersamamu. An-
dai aku tahu sejak awal akan menjadi seperti ini, lebih baik aku
menyewa apartemen sendiri.”
“Kamu nggak bisa membatalkan apa yang sudah terjadi, Belle!”
Isabelle menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Aku
akan membayarnya, Jane. Mungkin tidak langsung lunas. Tapi, aku
akan membayar ganti rugi selama aku tinggal di apartemenmu.”
“Ongkos sewa apartemenku tidak murah, Belle.”
“Aku memang belum selama kamu menjadi model profesional
dengan bayaran tinggi. Tapi, tabunganku sudah cukup banyak.
Aku akan membayarnya, Jane. Pasti. Sebutkan saja berapa yang
harus kubayar.”
Jane mengatupkan bibirnya rapat-rapat sementara matanya
menatap tajam Isabelle. Lalu dia mengangkat dagu dan berbalik,
membaur dengan tamu-tamu lain. Isabelle mengembuskan napas
lega. Meskipun berat, berapa pun akan dia bayar. Asalkan dia bisa
bebas dari jerat Jane.
Isabelle tidak menyadari, Jane masih mengawasinya. Bahkan
membuntuti taksinya setelah pesta berakhir dan semua tamu pu-
lang. Jane mengangkat alis saat taksi yang ditumpangi Isabelle ber-
henti di depan sebuah rumah. Dia tidak percaya ini tempat tinggal
122
pustaka-indo.blogspot.com
yang dipilih Isabelle. Tempat yang sangat sederhana, jauh berbeda
dengan apartemen mewah Jane.
Dari tempat duduk di dalam mobil yang berhenti di seberang
rumah Madame Maple, Jane menatap tajam Isabelle yang mena-
iki tangga menuju lantai dua. Giginya berkertak menahan geram.
Isabelle sedikit pun tak menduga, suatu hari nanti hidupnya akan
diguncang prahara.
123
pustaka-indo.blogspot.com
“Kamu menguntit Belle?”
“Aku sudah mencurigaimu sejak melihatmu di Museum of Fine
Art. Kamu pasti melihat apa yang aku dan Belle lakukan. Kamu
pasti mengkhotbahinya macam-macam. Orang seperti kamu pasti
sok religius.”
“Tidak perlu aku nasihati, Belle sudah tahu apa yang baik atau
tidak. Itu adalah pilihannya, seharusnya kamu menghargainya. Dia
tidak mau tinggal bersamamu lagi. Terimalah itu. Jangan memak-
sakan kehendakmu.”
“Aku nggak percaya Belle punya ide sendiri untuk pindah dari
apartemenku.”
“Kamu salah kalau mengira Belle tergiur dengan kemewahan.
Untuk merasa nyaman nggak harus tinggal di kamar yang mewah.
Belle yang memaksa ingin tinggal denganku karena dia merasa
nyaman bersamaku.”
Jane mendengus semakin kesal.
“Kamu tahu, Belle itu nggak normal. Dia butuh aku supaya bisa
tetap normal,” katanya, tampaknya ini menjadi senjatanya yang
terakhir.
Maghali menyipitkan mata, memandang Jane sangat serius.
“Nggak normal bagaimana maksudmu?”
Jane menyeringai sinis. “Jadi kamu nggak tahu rahasia yang di-
sembunyikan Belle? Penyakit keturunan yang sewaktu-waktu bisa
menyerangnya?”
“Aku nggak ingin tahu rahasia Belle. Selama aku mengenal
Belle, dia baik-baik saja. Justru aku meragukan kenormalanmu.
Kamu terlalu obsesif pada Isabelle. Itulah yang nggak normal!”
Jane mengangkat dagu. “Kamu benar-benar nggak tahu siapa
Belle sebenarnya, ya? Aku berbaik hati memberimu peringatan.
Waspadalah saat malam hari ketika kau sedang tidur. Hati-hatilah
jika tiba-tiba Belle berubah menjadi mengerikan.”
Setelah memberi peringatan dengan ekspresi wajah horor, Jane
124
pustaka-indo.blogspot.com
berbalik. Maghali masih memandanginya dengan kening berkerut.
Ucapan Jane tadi memang menimbulkan rasa penasaran. Walau
dia berusaha untuk tidak terpengaruh, tanpa sadar dia menjadi le-
bih waspada.
Hari ini Isabelle pulang cukup larut. Pukul sebelas lewat. Se-
benarnya Maghali tak perlu menunggunya karena Isabelle sudah
diberi kunci kamar ini juga. Tapi, saat gadis itu masuk ke kamar
sambil berjingkat, Maghali mengintip dari ujung selimut. Dia bi-
arkan gadis itu ke kamar mandi, berganti pakaian, lalu merebahkan
tubuh di tempat tidur. Maghali menunggu sampai dua puluh me-
nit kemudian. Lalu dia berdiri, berjalan perlahan ke tempat tidur,
memandangi Isabelle dalam cahaya redup dari lampu meja yang
berada di atas nakas.
Isabelle sudah terlelap. Napasnya teratur dan lembut, wajah
cantiknya terlihat semakin teduh dengan mata terpejam seperti
itu. Tidak ada yang tampak mengerikan. Lalu apa maksud Jane
memberinya peringatan agar waspada pada Isabelle? Apa rahasia
gadis ini? Apakah gadis ini bisa mendadak berubah menjadi sosok
mengerikan? Sejenis werewolf? Atau berkepribadian ganda?
Maghali menghela napas, kembali ke sofa. Merebahkan lagi
tubuhnya. Dia ingin membuang jauh-jauh pikiran negatif dalam
kepalanya. Dia tak ingin terpengaruh kata-kata Jane. Seharusnya
dia lebih percaya pada Isabelle. Dia mengenal Isabelle lebih dulu.
Selain adegan Isabelle dan Jane di ruang penyimpanan pakaian
yang dilihatnya dulu, dia tak melihat ada sesuatu yang salah de-
ngan Isabelle. Gadis itu cukup menyenangkan, tidak pernah ber-
tingkah menyebalkan. Tidak sombong seperti model-model kelas
atas yang satu level dengan Jane Dantec.
Pukul sembilan pagi Isabelle baru bangun. Dia mengernyit me-
lihat Maghali masih duduk di sofa, terdengar suaranya sedang ber-
bincang-bincang dengan seseorang. Isabelle mendekat, mengintip
125
pustaka-indo.blogspot.com
dari balik bahu Maghali. Alisnya terangkat melihat seraut wajah
yang tampak di layar ponsel Maghali.
“Siapa itu di belakangmu, Li?” wajah di layar ponsel Maghali
itu bertanya, Maghali menoleh ke belakang, mendapati wajah Isa-
belle yang tampak heran memandangi layar ponselnya.
“Ini Isabelle. Aku pernah cerita, kan? Sekarang tinggal bersa-
maku di sini.”
“Bonjour, Isabelle!” sahut Maura, sosok yang sedang mengo-
brol dengan Maghali itu, sambil tersenyum kepada Isabelle yang
masih melihat ke arahnya. Isabelle terkejut, dia hanya melongo,
lupa menyahut.
“Siapa itu?” tanya Isabelle setelah Maghali selesai ber-video call
dengan saudari kembarnya.
“Maura, my twin sister.”
“Twin? Oh, pantas saja wajah kalian mirip sekali.” Isabelle
mengangguk-angguk. “Bagaimana rasanya menjadi kembar?”
“Kamu orang keseratus sekian yang bertanya begitu kepadaku.”
“Tapi, itu memang bikin orang penasaran. Seperti apa rasanya
menjadi kembar? Apakah ada ikatan batin? Apakah kamu bisa tahu
apa yang dipikirkan kembaranmu?”
“Walau fisik kami mirip, kami dua pribadi yang berbeda. Tak
ada bedanya kembar atau adik-kakak. Kami hanya disatukan de-
ngan hubungan saudara sedarah.”
“Apa pekerjaannya? Dia perancang fashion juga sepertimu?”
“Bukan, dia seorang model dan pemain film.”
Isabelle terbelalak. “Wow, that’s amazing! Saudari kembarmu
model dan pemain film! Kenapa kamu nggak pernah cerita? Itu
keren sekali! Aku ingin sekali bermain film. Tapi, belum pernah
mencobanya. Baru menjadi model iklan televisi.”
“Kenapa kamu nggak mencoba ikut audisi untuk bermain
film?”
Isabelle tampak berpikir sebentar.
126
pustaka-indo.blogspot.com
“Ya, aku harus mencobanya. Terkadang pekerjaan sebagai mo-
del membuatku nggak sempat mencoba pekerjaan lain.”
“Semalam kamu pulang larut.”
“Oh, iya. Ada pemotretan hingga malam. Aku harus lebih giat
mencari uang, Li. Jane memintaku membayar sewa apartemennya
selama setahun kemarin aku tinggal bersamanya.”
“Apa? Itu nggak fair! Dia yang mengajakmu tinggal di aparte-
mennya, kan? Dan sekarang setelah kamu pergi dia menagih uang
sewa?”
“Aku yakin masalahnya bukan uang. Uangnya sudah banyak.
Dia cuma kesal padaku dan sengaja ingin membuatku susah.”
“Kamu nggak menolak permintaannya?”
“Aku akan membayarnya. Aku nggak mau berutang padanya.”
Maghali mengangguk. “Benar juga. Lebih baik kamu nggak
punya utang apa-apa sama dia.”
“Kapan saudari kembarmu datang ke sini mengunjungimu?”
tanya Isabelle
“Oh, dia nggak bisa berkunjung ke sini. Dia sibuk dengan pe-
kerjaannya,” jawab Maghali.
“Di Indonesia?”
“Bukan, Sydney.”
“Dia tinggal di Sydney?” tanya Isabelle lagi.
Maghali mengangguk.
“Itu artinya dia model dan pemain film di Sydney?”
Maghali mengangguk lagi.
“That’s awesome! Dia bukan orang Indonesia?”
“Dia warga negara Indonesia, tapi sedang kuliah dan bekerja
di Sydney.”
“Hm... Aku benar-benar harus bekerja lebih keras. Aku ingin
mendapat pekerjaan lebih banyak lagi. Terutama pekerjaan di luar
negeri. Aku ingin ke Sydney dan kota-kota besar dunia lainnya.”
“Aku mendukung keinginanmu itu. Kamu memang harus bisa
127
pustaka-indo.blogspot.com
mengembangkan kariermu. Tapi ingat, saat kamu sudah semakin
terkenal, jangan menjadi sombong. Jangan seperti Jane.”
Isabelle menggeleng. “Aku bermula dari orang biasa. Aku tahu
rasanya jadi orang susah. Aku akan selalu ingat asal-usulku. Suatu
saat nanti aku justru ingin terlibat lebih banyak dalam kegiatan
sosial.”
“Itu rencana yang bagus sekali.”
Maghali melirik Isabelle, menimbang-nimbang apakah perlu
menceritakan pembicaraannya dengan Jane kemarin.
“Ngomong-ngomong, Jane sudah tahu kamu tinggal di sini
bersamaku,” katanya akhirnya.
Isabelle menoleh cepat, wajahnya tampak terkejut. “Dari mana
kamu tahu?” tanyanya.
“Kemarin Jane menemuiku di kampus. Dia bilang sudah tahu
kamu tinggal denganku. Dia menuduhku telah memengaruhimu
hingga kamu akhirnya meninggalkannya dan memilih tinggal de-
nganku.”
Mata Isabelle membesar, lalu mengernyit. “What? Kenapa
kamu baru bilang sekarang?”
“Kupikir kemarin aku nggak mau bikin kamu cemas.”
“Dia bilang apa lagi?”
“Dia bilang… aku harus hati-hati tinggal denganmu.”
Isabelle menunjukkan ekspresi lucu, matanya menyipit, lalu
tertawa sinis.
“Dia bilang begitu? Memang menurutnya aku berbahaya ka-
rena apa?”
Maghali mengangkat bahu. “Dia cuma bilang kamu punya ra-
hasia yang hanya dia yang tahu.”
“Oya? Lalu, dia sebutkan apa rahasiaku?”
Maghali menggeleng.
“Kamu nggak penasaran pingin tahu?” tanya Isabelle.
128
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku nggak mau ikut campur urusan pribadimu,” jawab
Maghali.
Isabelle mengalihkan pandangan, menatap permukaan meja yang
tak berisi apa-apa. Dia mengetuk-ngetuk jarinya ke sandaran sofa.
“Terserah padamu. Kalau kamu ingin mewaspadaiku, silakan.
Aku hanya mengingatkan, aku nggak pernah punya niat buruk
padamu. Aku tahu kamu gadis baik. Nggak mudah menemukan
teman sebaik kamu di kalangan teman-teman yang seprofesi de-
nganku. Percayalah padaku, sedikit pun aku nggak pernah berniat
membuatmu celaka.”
Maghali pura-pura mengembuskan napas lega.
“Syukurlah. Jadi, aku bisa tidur dengan tenang. Nggak perlu
cemas tiba-tiba kamu menerkamku saat aku sedang tidur.”
“Menerkam? Memangnya kamu pikir aku bisa berubah menja-
di serigala jadi-jadian?”
Maghali tertawa, lalu berdiri dan menepuk lembut bahu Isa-
belle.
“Aku bercanda. Tenang saja, aku lebih percaya kamu daripada
Jane. Aku nggak peduli pada ucapan Jane. Kita sudah tinggal ber-
sama seminggu lebih. Menurutku kamu lumayan. Kamu membi-
arkanku tetap melakukan hal yang perlu kulakukan. Kamu nggak
banyak bertanya soal caraku beribadah. Kamu punya rasa toleransi
yang baik, tidak ribut saat aku sedang berdoa. Itu sudah cukup ba-
giku.”
“Itu bagus, kalau kamu memang berpendapat begitu,” sahut
Isabelle. Dia memandangi Maghali agak lama, tampak sedang me-
nimbang-nimbang sesuatu.
“Kamu tahu apa alasanku sebenarnya pindah dari apartemen
Jane?” tanya Isabelle dua menit kemudian.
“Apa?” tanya Maghali yang sejak tadi memang sudah menduga,
Isabelle ingin menceritakan sesuatu.
“Jane bilang, dia jatuh cinta padaku,” jawab Isabelle.
129
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali pura-pura terkejut, padahal dia sudah menduganya.
“Jane suka kamu? Tapi, kamu kan perempuan,” sahutnya.
Isabelle mengangguk. “Setahun aku tinggal bersamanya. Sejak
dua bulan tinggal bersama, aku memang merasakan Jane sangat
peduli padaku. Betul-betul menunjukkan perhatiannya. Tapi, saat
itu aku mengira hanya rasa peduli kepada sesama teman. Sampai
enam bulan tinggal bersamanya, dia mulai overprotektif padaku.
Dia nggak suka aku akrab dengan teman lain. Dia selalu memantau
keberadaanku.”
Maghali masih menunggu kelanjutan cerita Isabelle dengan
hati berdebar.
“Lalu?” tanyanya tak sabar.
“Dua bulan lalu, aku memergokinya mencium pipiku saat aku
tidur. Aku curiga. Dia memang biasa mencium pipi atau keningku
saat kami merayakan sesuatu. Tahun Baru misalnya, atau Natal,
atau saat kami selesai melaksanakan tugas berjalan di catwalk. Tapi,
baru kali itu aku memergokinya mencium pipiku saat aku tidur.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Entahlah… kebetulan aku terbangun. Dan melihat wajahnya
sangat dekat dengan wajahku, tubuhnya menempel erat di tubuh-
ku. Aku merasa itu nggak wajar.”
Maghali menelan ludah.
“Akhirnya Jane mengaku, dia bilang dia mencintaiku. Aku sem-
pat bingung, cinta seperti apa yang dia maksud? Aku bilang aku
nggak keberatan dicintai sebagai sahabat. Tapi, Jane bilang mak-
sudnya lebih dari itu. Dia ingin aku menjadi kekasihnya. Tentu
saja itu nggak mungkin. Aku masih suka laki-laki walau hingga saat
ini aku nggak punya kekasih.”
“Andai kamu punya kekasih, kekasih laki-laki maksudku, mung-
kin bisa membuat Jane sadar kamu berbeda dengannya.”
“Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, Li. Hidupku keras.
Aku jarang merasakan kasih sayang tulus. Membuatku juga susah
130
pustaka-indo.blogspot.com
menyayangi orang lain. Aku punya gambaran buruk tentang hu-
bungan laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa.”
“Membuatmu trauma pada laki-laki?”
“Trauma berhubungan serius. Tapi, aku masih tertarik tiap kali
melihat laki-laki tampan. Walau bukan berarti langsung ingin ku-
jadikan kekasih. Aku pernah punya pacar. Pengusaha sukses. Laki-
laki. Tapi, ternyata dia playboy yang sudah biasa mempermainkan
banyak model dan artis cantik. Susah sekali menemukan laki-laki
yang mau tulus menyayangiku.”
Maghali menghela napas, setuju dengan kata-kata terakhir Isa-
belle.
“Aku suka laki-laki. Contohnya Kai. Aku tertarik padanya. Dia
beda dengan model lain. Selain tampan, dia punya karisma,” lanjut
Isabelle.
Maghali tersentak mendengar nama Kai disebut Isabelle.
“Kamu nggak pernah berusaha mendekati laki-laki yang kamu
sukai?” tanyanya untuk menutupi keterkejutan.
“Aku kan sudah bilang. Aku masih malas berhubungan serius.
Tapi, aku jelas-jelas lebih tertarik secara seksual kepada laki-laki
dibanding kepada perempuan.”
“Lalu, kejadian antara kau dan Jane yang kulihat waktu itu?”
Isabelle menoleh cepat, matanya membulat. “Nah, benar kan?
Kamu mengintip kami!”
“Aku nggak mengintip. Aku nggak sengaja melihat. Kalian me-
lakukan itu bertepatan dengan saat aku masuk ke sana.”
“Itu salah satu alasanku pergi dari apartemen Jane. Bukan aku
yang menciumnya, dia yang tiba-tiba menarik tubuhku dan men-
ciumku. Aku terlambat mengelak. Aku marah sekali, pulang dari
sana aku bertengkar hebat dengannya.”
“Tapi, kamu masih tinggal bersamanya sejak kejadian itu.”
“Dia minta maaf berkali-kali dan meyakinkan aku tidak akan
melakukan hal itu lagi. Selain itu, aku memang belum punya ke-
131
pustaka-indo.blogspot.com
beranian pergi dari sana dan menyewa apartemen sendiri. Sampai
akhirnya dia membuatku khawatir lagi. Kami bertengkar hebat
lagi dan kali itu aku yakin aku harus pergi. Lalu terpikir olehku,
menumpang tinggal denganmu. Menurutku kamu gadis yang baik
dan religius. Aku yakin kamu bukan tipe perempuan yang menyu-
kai perempuan juga. Iya, kan?”
“Aku hanya tertarik pada laki-laki. Aku selalu jatuh cinta pada
laki-laki, walau sama sepertimu, sampai saat ini aku belum punya
kekasih.”
Isabelle tersenyum. “Siapa laki-laki terakhir yang sudah mem-
buatmu jatuh cinta? Dan kapan? Ini saatnya kita saling jujur dan
saling mengenal lebih baik. Kita sudah tinggal sekamar tapi aku
masih belum tahu tipe laki-laki yang kamu sukai seperti apa.”
Maghali tersenyum. “Aku cerita pun percuma, kamu nggak
mengenalnya. Yang jelas dia laki-laki baik,” jawabnya tidak ingin
berpanjang kata.
Dia bangun dari duduknya, berjalan menuju meja di ujung
ruangan. Tempatnya meletakkan semua perlengkapan kuliahnya.
Dia mengambil tas punggungnya yang berbahan batik, serta satu
map berisi contoh-contoh bahan pakaian dan sketsa-sketsa ran-
cangannya. Lalu, dia menoleh pada Isabelle sebelum berjalan me-
nuju pintu.
“Aku berangkat ke kampus sekarang. Malam ini kamu pulang
larut lagi?”
“Oh, ya, aku hampir lupa bilang padamu. Nanti sore aku be-
rangkat ke Toronto. Ada pekerjaan memperagakan pakaian di cat-
walk. Tiga hari aku di sana.”
Maghali mengangguk.
“Okay, be careful. See you in three days later. Bye, Belle,” ucap
Maghali lalu keluar kamar. Isabelle memandang ke arah pintu
yang sudah tertutup, keningnya kembali berkerut.
“Jane…,” gumamnya menahan geram.
pustaka-indo.blogspot.com
14
Pembalasan Jane
MATA KULIAH hari ini baru saja usai, penghuni kelas satu per
satu keluar. Maghali bersiap bangun, tapi Shabrina yang duduk di
kursi sebelah menarik lengannya hingga dia terduduk lagi.
“Li, kamu sudah baca berita gawat?” tanya Shabrina, wajahnya
terlihat serius.
“Ada apa sih? Kamu kok panik banget,” tanya Maghali dengan
kening berkerut.
“Kamu harus segera meminta Isabelle pergi dari kamarmu.
Maksudku, kamu jangan tinggal dengannya lagi.”
“Kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku begitu? Nggak ada ma-
salah dengan Belle. Nggak ada alasan aku mengusirnya dari ka-
marku.”
“Dia berbahaya, Li!”
“Berbahaya gimana?”
“Dia keturunan orang gila dan sewaktu-waktu dia bisa gila
juga.”
Maghali langsung berdiri sebagai reaksi keterkejutannya, ke-
mudian dia membungkuk, menatap Shabrina dengan serius.
“Maksudmu gila gimana? Gosip dari mana itu?”
“Ini bukan gosip, tapi fakta.”
“Sebentar, siapa yang gila? Dan kenapa Belle bisa gila juga?”
Shabrina menarik napas panjang, mengembuskannya sangat
perlahan. Dia menenangkan dirinya sendiri yang terlalu meng-
gebu-gebu ingin menyampaikan kabar ini pada Maghali.
pustaka-indo.blogspot.com
“Ibunya. Kamu nggak tahu? Belle nggak pernah cerita? Dia
pasti merahasiakannya.”
“Maksudmu ibu Belle gila?”
Shabrina mengangguk. “Aku baca beritanya di koran.”
Shabrina membuka tasnya, mengeluarkan koran, lalu diberi-
kannya pada Maghali.
Maghali memandangi koran itu dengan kening berkerut. Dia
sering melihat koran ini di lapak koran di stasiun atau halte, mes-
kipun tidak pernah tertarik membelinya—apalagi sejak apa yang
menimpa Maura dulu itu. Maghali tahu, koran ini sejenis tabloid
gosip artis.
Shabrina sepertinya tidak menangkap ekspresi kurang suka
yang tampak di wajah Maghali. Dengan tak sabar, dia menunjuk-
kan bagian yang harus dibaca Maghali.
“Ini, baca ini. Di sini beritanya. Ada bukti fotonya. Isabelle
menjenguk ibunya yang dirawat di rumah sakit jiwa.”
Maghali memandangi tulisan dan foto yang ditunjukkan Shab-
rina. “Aku nggak ngerti. Ini bahasa Prancis.”
Shabrina menghela napas. “Ini skizofrenia. Kelainan itu bisa
diturunkan dari orangtua ke anak. Jadi, kemungkinan Isabelle pu-
nya bibit skizofrenia juga. Ibu Isabelle pernah berkali-kali menco-
ba bunuh diri, pernah melukai Isabelle juga. Mungkin Isabelle bisa
mati terbunuh kalau tetangga mereka nggak segera datang saat
mendengar teriakan Isabelle. Tetangganya segera melaporkan ibu
Isabelle. Sejak itu dia dirawat di rumah sakit jiwa hingga sekarang.
Sepertinya nggak ada tanda-tanda dia akan sembuh. Gilanya per-
manen. Beberapa bagian saraf di otaknya sudah terlanjur rusak,”
kata Shabrina menjelaskan berita yang tertulis di koran itu.
Maghali memandangi Shabrina hingga keningnya berkerut,
lalu beralih menatap lagi foto di koran itu. Tampak Isabelle duduk
di samping seorang perempuan setengah baya dengan tubuh kurus
134
pustaka-indo.blogspot.com
dan wajah sayu. Isabelle merangkul perempuan itu, menempelkan
pipinya ke pipi perempuan itu. Karena inikah Isabelle pernah bi-
lang, ibunya tak mampu merawatnya?
“Tidak ada tanda foto ini diambil di rumah sakit jiwa.”
“Tapi, Jane bilang…”
Maghali langsung menoleh dan menatap tajam Shabrina. “Jane
bilang?”
Shabrina menelan ludah, sedikit tersentak melihat reaksi
Maghali yang mendadak tampak emosional. “Sumber artikel itu
Jane Dantec.”
“Jane, model yang pernah tinggal satu apartemen dengan Belle?”
Shabrina mengangguk ragu, masih cemas melihat ekspresi ke-
ras di wajah Maghali.
“Kamu percaya sama Jane?”
“Tapi, itu tertulis di koran, dan koran itu beredar di seluruh
Kanada.”
“Jane sudah mencemarkan nama baik Belle.”
Maghali menempelkan koran itu ke dada Shabrina, lalu mele-
pasnya. Shabrina buru-buru menangkap koran itu.
“Tapi aku yakin, Belle nggak akan peduli dengan berita itu.
Siapa yang peduli? Apa salahnya punya ibu sakit jiwa? Itu bukan
kesalahan. Itu kekurangan yang harusnya mendapat simpati kita.”
“Tapi, ibu Belle punya riwayat kekejaman bukan hanya pada
dirinya sendiri, tapi pada orang lain. Siapa yang bisa memastikan
itu nggak akan menurun ke Belle?”
Maghali mengangkat wajah. “Aku akan tetap tinggal dengan
Belle! Aku nggak takut padanya. Belle itu baik. Akan kubuktikan
aku akan baik-baik saja tinggal bersamanya.”
Shabrina bangkit dari duduknya, memasukkan lagi koran itu
ke tasnya.
“Coba tanya Jane. Dia baik-baik saja kan tinggal bersama Belle
selama setahun?”
135
pustaka-indo.blogspot.com
Shabrina mengangkat bahu. Maghali menghela napas, menya-
dari dia sudah terpancing emosi. Tidak seharusnya dia bicara de-
ngan suara keras pada Shabrina.
“Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku akan tetap ting-
gal bersama Belle,” kata Maghali sambil menepuk lembut lengan
Shabrina. “Sudahlah, ayo kita shalat, makan, lalu pulang,” ajak
Maghali.
Shabrina mengangguk. Mereka berjalan ke luar ruangan.
“Terima kasih sudah peduli padaku, Shab,” kata Maghali, me-
noleh ke arah Shabrina sambil terus berjalan beriringan ke luar
kampus.
Shabrina mengangguk dan tersenyum.
“Aku harap kamu baik-baik saja. Maafkan aku terlalu terpenga-
ruh berita di koran. Kamu benar, seharusnya aku nggak mengha-
kimi Belle. Seharusnya kita mendengarkan dulu penjelasan Belle.
Aku hanya mencemaskanmu.”
“Besok dia pulang dari Toronto. Aku akan menanyakannya.”
Shabrina berhenti, mengeluarkan lagi koran yang dibawanya
tadi. Menyerahkannya pada Maghali.
“Tunjukkan berita di koran ini pada Belle. Biarkan Belle men-
jelaskan semuanya.”
Maghali menerima koran itu. “Benar juga, aku akan tunjukkan
ini pada Belle bukan untuk menghakiminya, tapi untuk memberi-
nya kesempatan menceritakan yang sebenarnya.”
Keesokkan harinya, Isabelle pulang dengan wajah muram. Sa-
paan Maghali tidak digubrisnya. Akhirnya Maghali sadar, Isabelle
sedang tidak ingin diganggu. Dia menduga, Isabelle sudah menge-
tahui tentang berita buruk perihal dirinya yang telah disebar Jane.
Malam harinya, barulah Isabelle mendekati Maghali.
“Li, aku perlu bicara denganmu,” katanya.
Maghali yang sudah berbaring di sofa segera bangun, meng-
136
pustaka-indo.blogspot.com
ganti posisinya menjadi duduk. “Ada apa?” tanyanya, menunjuk-
kan wajah siap menampung curahan hati.
“Kamu pasti sudah tahu berita tentang ibuku yang dimuat di
koran-koran bahkan di media online.”
Maghali diam sesaat. Dugaannya benar, itu yang akan dibica-
rakan Isabelle.
“Ya, aku sudah tahu dan sudah membacanya. Maaf jika aku ber-
tanya, apakah berita itu benar, Belle?”
Isabelle mengangguk. “Itu benar, maafkan aku berbohong pa-
damu. Sebulan sekali diam-diam aku mengunjunginya. Aku juga
yang membayar semua biaya perawatannya di rumah sakit. Tidak
murah, itu sebabnya hingga sekarang aku belum mampu membeli
satu kamar apartemen pun.”
Maghali hanya diam, menunggu Isabelle melanjutkan cerita-
nya.
“Masa laluku benar-benar muram. Ditinggal ayahku pergi.
Menghadapi pacar-pacar ibuku yang berganti-ganti dan semua-
nya berengsek. Untunglah di antara mereka tidak ada yang mele-
cehkan aku. Saat usiaku sepuluh tahun, ibuku depresi. Hubungan
yang selalu gagal, kekerasan yang dia terima dari pacar-pacarnya,
dipecat dari pekerjaan berkali-kali, semua masalah itu membuat
mentalnya terganggu.”
Isabelle menghela napas, lalu bicara lagi. “Berkali-kali dia men-
coba bunuh diri, tapi aku selalu berhasil menggagalkannya. Hing-
ga suatu hari dia marah sekali dan melukaiku dengan pisau. Te-
tanggaku mendengar teriakanku. Ibuku ditangkap dan diperiksa.
Dia dinyatakan mengalami tekanan, yang berujung pada gangguan
mental. Berbahaya sekali jika dia dibiarkan bebas. Dia dimasukkan
ke rumah sakit jiwa, sementara aku dikirim ke panti asuhan.”
Maghali menelan ludah, membayangkan betapa trauma Isabelle
pada masa kecilnya yang buruk itu.
“Setelah lulus SMA, aku pergi dari panti. Aku sudah terlalu be-
137
pustaka-indo.blogspot.com
sar untuk tinggal di sana. Aku mencari pekerjaan apa saja. Pelayan
toko, pencuci piring. Sampai suatu hari keajaiban terjadi. Seorang
pencari bakat, melihatku dan tertarik padaku. Dia bilang aku bisa
menjadi model. Tubuhku tinggi dan sangat langsing, wajahku me-
narik dan fotogenik. Sejak saat itu nasibku berubah.”
Maghali menarik napas, lalu mengembuskan perlahan, seolah
dia ikut lega saat mendengar hidup Isabelle membaik.
“Setelah aku punya cukup uang, aku memindahkan ibuku ke
tempat perawatan yang lebih baik. Tak peduli biayanya lebih ma-
hal. Semula tidak ada yang tahu tentang ibuku itu. Sampai Jane
memergoki saat aku menjenguk ibuku.”
“Apa salahnya jika memang ibumu sakit? Itu bukan kesalahan.
Justru aku kagum padamu, masih tetap peduli pada ibumu walau
dia sempat melukaimu saat kamu kecil.”
“Masalahnya, Jane mengarang cerita, aku juga berbahaya. Pe-
nyakit ibuku adalah penyakit gila yang bisa menurun padaku. Itu
nggak benar!”
“Dan aku lebih percaya padamu daripada Jane.”
“Tapi, yang lain lebih percaya artikel koran itu.”
“Jangan mencemaskan pendapat orang lain tentangmu, Bel-
le. Kamu nggak perlu menjelaskan pada mereka seperti apa kamu
sebenarnya. Belum tentu mereka percaya padamu. Yang penting,
orang-orang yang dekat denganmu, yang mengenalmu dengan
baik, tahu siapa kamu sebenarnya.”
“Kamu tetap percaya padaku? Aku tetap boleh tinggal di sini?”
“Aku yakin kamu nggak akan menusukku dengan pisau saat aku
tidur. Aku yakin mental kamu sehat. Kamu boleh tinggal di sini
sampai kapan pun. Tapi, kalau kamu merasa di sini terlalu sempit,
aku akan pesan pada Madame Maple agar memberitahu kalau ada
penghuni kamar lain yang pindah. Kudengar penghuni kamar se-
belah berniat pindah ke kota lain. Kamu bisa menyewa kamarnya.”
“Benarkah?”
138
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali mengangguk. Isabelle langsung menghambur meme-
luk Maghali.
“Terima kasih, Li. Aku bersyukur sekali mengenalmu. Kamu
yang paling peduli padaku.”
Maghali tersenyum. Isabelle merasa lega sudah mencurahkan
kegalauannya pada Maghali.
“Menurutku, berita ini akan reda dengan sendirinya. Malah,
bisa jadi promosi gratis. Kamu menjadi terkenal karena banyak
yang membicarakanmu. Manfaatkan itu untuk audisi peran seperti
cita-citamu dulu. Mungkin kali ini kamu akan beruntung.”
Isabelle mengangguk. Maghali benar, berita itu malah akan
membuatnya semakin terkenal.
Beberapa menit kemudian Isabelle sudah terlelap, tapi Maghali
masih memikirkan banyak hal. Membayangkan kepedihan hidup
Isabelle di masa lalu membuatnya tiba-tiba merindukan ayah dan
ibunya, serta Maura. Dia tak sabar ingin kembali pulang.
139
pustaka-indo.blogspot.com
menanggapi. Dia ingin tak peduli. Sesungguhnya dia hampir ter-
pengaruh. Dia cemas akan mengalami depresi lalu berakhir seperti
ibunya. Tidak, dia tidak ingin seperti itu. Dia harus tetap waras.
Tak ada seorang pun tahu, Jane lebih sakit jiwa dibanding Isabelle.
Gadis itu terbiasa segala keinginannya terpenuhi. Saat merasa ke-
cewa, Jane bisa melakukan hal sangat kejam yang tak terbayangkan.
Setelah bertemu ibunya, berbincang-bincang dan menyadari
mental ibunya belum juga membaik, Isabelle sadar, ada yang harus
berubah dalam hidupnya. Dia tak mungkin terus-menerus mere-
potkan Maghali. Dia memikirkan untuk mulai serius menabung,
lalu membeli sebuah unit apartemen tidak jauh dari tempat ibunya
dirawat. Dia menghitung tabungannya, cukup untuk uang muka
satu unit apartemen kecil dan sederhana. Dia pun menyiapkan
semuanya. Setelah dia resmi diperkenankan tinggal di apartemen
pilihannya, Isabelle mulai membereskan barang-barangnya.
Maghali sedang di kampus. Isabelle bebas berkemas sendirian.
Hingga hari menjelang sore, dia baru selesai. Isabelle merebah-
kan tubuhnya di sofa. Di sebelah kanan sofa itu berdiri tiga koper
besar berisi semua barang miliknya. Dia menyandarkan kepala ke
sandaran sofa, memejamkan mata. Menunggu Maghali muncul
dari balik pintu. Matanya masih menutup saat dia mendengar sua-
ra kunci pintu diputar, tak lama pintu terbuka, Maghali mengham-
bur masuk.
“Belle!” Suara Maghali lebih keras dari normal. Gadis itu ter-
senyum antusias saat sudah berdiri di hadapan Isabelle yang masih
belum beranjak dari posisi nyamannya.
“Ada kabar baik, Bel!” kata Maghali masih dengan raut antu-
sias.
“Kabar baik untukmu atau untukku?” sahut Isabelle tampak ti-
dak antusias.
“Untukmu. Tadi aku bertemu Madame Maple. Dia bilang ka-
140
pustaka-indo.blogspot.com
mar sebelah kosong sejak hari ini. Kamu bisa tinggal di sana kalau
mau.”
Isabelle tak bereaksi, kening Maghali berkerut. Menyadari ada
yang tidak beres. Lalu matanya menangkap tiga koper besar yang
berjajar di samping sofa.
“Belle, ada apa? Kenapa kamu terlihat lesu? Koper-kopermu
itu...”
Isabelle tampak masih enggan menjawab.
“Oh, kamu sudah siap pindah ke kamar sebelah? Ternyata
kamu sudah tahu. Tapi, tadi Madame Maple berpesan untuk mem-
beritahumu.”
“Aku nggak akan pindah ke kamar sebelah.”
“Kamu mau ke mana? Jangan bilang kamu berniat kembali ke
apartemen Jane.”
Isabelle menggeleng kuat-kuat seraya tersenyum sinis. “Diba-
yar berapa pun aku nggak akan mau tinggal bersama Jane lagi. Aku
memutuskan tinggal di apartemen tak jauh dari rumah sakit tem-
pat ibuku dirawat.”
“Oh,” ucap Maghali, mulutnya ternganga.
“Sudah saatnya aku lebih memperhatikan ibuku. Aku ingin se-
ring-sering mengunjunginya.”
Maghali masih tidak tahu harus berkomentar apa.
“Terima kasih, kamu sudah menerimaku tinggal di sini, ber-
bagi kamar denganku. Sudah sekian bulan aku membuatmu repot.
Sekarang kamu bisa nyaman lagi di kamarmu sendiri.”
Maghali tersenyum. “Aku senang dengan keputusanmu ini. Bu-
kan karena aku jadi bisa bebas menikmati kamarku sendirian, tapi
karena kamu mau lebih peduli pada ibumu. Walaupun ini benar-
benar membuatku kaget. Kenapa mendadak sekali? Kamu pasti
sudah merencanakan ini sejak berhari-hari lalu.”
“Ya memang. Sejak Jane membuka aibku, aku sudah memikir-
kannya. Aku justru ingin lebih sering bertemu ibuku. Lalu, aku
141
pustaka-indo.blogspot.com
mencari apartemen dekat ibuku. Aku punya rencana, saat libur aku
ingin membawa ibuku pulang. Menghabiskan waktu bersamanya.
Tapi, ketika aku kerja, kuantarkan lagi ibuku ke pusat rehabilitasi
itu.”
Maghali mengangguk. “Itu rencana yang bagus sekali, Belle.
Aku bangga padamu. Aku selalu kagum tiap kali melihat anak yang
berbakti pada orangtuanya.”
“Aku sadar sekarang, separah apa pun keadaan ibuku, aku ber-
untung, ibuku masih ada. Aku nggak akan lagi menyia-nyiakan-
nya.”
Isabelle bangkit berdiri. “Aku pergi sekarang,” lanjutnya.
“Kubantu membawa kopermu.” Maghali menawarkan bantuan.
Isabelle membiarkan Maghali menyeret satu kopernya yang
beroda. Sementara dia menyusul menarik dua koper sekaligus.
Maghali membukakan pintu, membiarkan Isabelle dan dua ko-
pernya keluar lebih dulu. Dia menyusul keluar membawa satu lagi
koper Isabelle, lalu mengunci pintu. Keduanya berjalan menuju
pintu depan. Maghali membantu Isabelle membawa koper-koper
itu menuruni tangga. Menunggu hingga taksi yang dipesan Isabel-
le datang.
“Au revoir, Li. Walau kita sudah tidak tinggal satu kamar lagi,
kita masih bisa berkirim pesan.”
“Tentu, aku yakin kita masih akan sering bertemu. Kamu kan
bakal jadi model untuk pakaian rancanganku.”
“Ya, itu benar sekali.” Isabelle tersenyum, melambaikan tangan
sebelum menutup jendela. Taksi itu meluncur pergi, meninggal-
kan Maghali yang masih berdiri di ujung tangga. Dia tersenyum,
merasa lega melihat Isabelle tetap tegar menghadapi cobaan ini.
Hikmah dari segala kejadian ini adalah akhirnya dia bisa leluasa
lagi tinggal di kamarnya.
142
pustaka-indo.blogspot.com
15
Bencana
pustaka-indo.blogspot.com
yang terpakai olehku. Kemudian aku harus melapor pada Miss
Prudence. Kamu mau kan membantuku sekali lagi?”
Shabrina tertawa ringan. “Tidak perlu bertanya seperti itu. Aku
pasti mau. Justru aku senang sekali kamu melibatkanku dalam pro-
yek ini. Aku banyak belajar darimu.”
Maghali tersenyum. “Oh, kamu nggak akan menyangka betapa
rasa syukurku pasti lebih besar karena kamu dan tiga teman la-
innya mau membantuku. Aku tak akan sanggup mengerjakannya
sendirian.”
“Siapa yang bisa mengerjakan semua ini sendirian? Wonder
Woman pun pasti nggak bisa.” Shabrina mengedipkan matanya.
Maghali tertawa. Baju-baju rancangannya itu sudah dikemas
satu per satu dalam bungkus tahan air khusus pakaian.
Dia membawa lima pakaian, lalu mendahului Shabrina keluar
gedung. Shabrina segera mengikuti Maghali. Sesampai di depan
gedung, datang satu taksi yang langsung dihentikan Maghali. Dia
membawakan semua pakaian, lalu membiarkan Shabrina masuk le-
bih dulu, kemudian menyerahkan pakaiannya pada Shabrina.
“Aku akan membereskan ruang menjahit secepatnya. Nanti
aku segera menyusul,” kata Maghali sebelum menutup pintu tak-
si. Shabrina mengangguk. Pintu ditutup, lalu taksi melaju pergi.
Maghali menghela napas panjang. Membalikkan tubuh dan berja-
lan kembali ke ruang yang tadi ditinggalkannya.
Sementara di dalam taksi Shabrina tersenyum senang. Walau
rancangannya dianggap belum layak ikut serta dalam ajang fashion
show, dia sangat bangga bisa ikut membantu Maghali menyiapkan
pakaian-pakaian rancangannya ini.
Shabrina membayangkan dirinya punya butik yang menjual se-
gala macam produk fashion untuk muslim di kota ini. Tak terasa,
taksi sampai di depan gedung tempat para model yang nanti akan
144
pustaka-indo.blogspot.com
mengenakan pakaian rancangan Maghali sedang melakukan pe-
motretan. Shabrina membayar ongkos taksi, meraih sepuluh tum-
puk pakaian sekaligus. Dia agak kesulitan menutup pintu taksi se-
mentara sopir taksi sepertinya tak berminat membantunya. Susah
payah Shabrina memegang sepuluh pakaian dengan tangan kanan,
sementara tangan kirinya menutup pintu.
Kemudian tanpa terduga dengan gerakan sangat cepat, seseo-
rang merampas pakaian-pakaian yang tersampir di lengan kanan
Shabrina. Gadis itu bengong sesaat saking terkejutnya. Dia hanya
memandangi orang yang merampas pakaian itu berlari cepat men-
jauhinya.
“Hei!” hanya itu yang bisa dia teriakkan. Lalu dia menoleh ke
sekeliling.
“Help me!” Tapi dia tak tahu harus minta tolong pada siapa.
Sopir taksi masih diam di depan kemudi, hanya mengintip yang
terjadi di luar mobilnya dari tempatnya duduk. Shabrina tersadar,
dia harus berjuang sendirian menyelamatkan pakaian-pakaian itu.
Segera dia berlari mengejar perampas pakaian itu. Jarak mereka
sudah sangat jauh, tapi Shabrina tak peduli. Beruntung dia menge-
nakan sepatu flat sehingga bisa berlari lebih cepat.
Orang di depannya berbelok ke jalan kecil, Shabrina masih
sempat melihatnya di ujung jalan. Tapi, saat dia sudah sampai di
sana, orang itu sudah tak terlihat lagi! Shabrina tak berhenti berla-
ri, terus menyusuri jalan itu. Tak banyak orang di sana. Di ujung,
jalan bercabang lagi ke kanan dan ke kiri. Shabrina melihat orang
itu di jalan sebelah kiri, sudah sampai ujung dan berbelok hingga
menghilang lagi. Shabrina terus mengejar. Hingga sampai di ujung
jalan dia berbelok. Orang itu tak terlihat. Hanya ada dua orang tua
berpakaian lusuh. Dari penampilannya Shabrina menduga kedua-
nya tunawisma. Di depan keduanya ada tong besar. Shabrina tahu
itu apa, biasa dipakai untuk menyalakan api menghangatkan diri
145
pustaka-indo.blogspot.com
para tunawisma di malam hari. Saat ini masih siang, tapi dalam
tong itu sudah menyala api yang membakar sesuatu.
“Excusez-moi. Apakah kalian melihat orang membawa tumpuk-
an baju lewat sini?” tanya Shabrina pada dua laki-laki yang me-
mandanginya itu. Keduanya mengangguk.
“Ke mana dia?”
“Sudah pergi bersama temannya yang menunggu di sini. Mere-
ka naik mobil. Kamu nggak akan bisa mengejarnya, Mademoiselle,”
jawab salah satu dari laki-laki itu.
Shabrina lemas lunglai mendengar jawaban itu.
“Tapi, dia tidak membawa pakaian-pakaian itu ke dalam mo-
bil,” lanjut laki-laki berpakaian lusuh lainnya.
Mata Shabrina membulat, muncul harapan dalam hatinya.
“Apakah Anda melihat di mana dia meletakkan pakaian-pakaian
itu?”
Kedua laki-laki lewat setengah baya itu berbarengan menunjuk
ke arah tong besar dengan api menyala-nyala di dalamnya. Shab-
rina mengerutkan kening, matanya beralih ke arah tong itu. Dia
tak percaya…
Segera dia berlari menuju tong, melongok ke dalamnya sambil
menahan hawa panas yang menghambur ke wajahnya. Dia terpe-
kik melihat bagian tersisa yang belum terbakar. Sisa-sisa pakaian
rancangan Maghali!
“Air! Air! Aku butuh air! Tolong aku matikan api ini!”
“Api itu akan mati sendiri kalau bahan bakarnya sudah habis.”
Shabrina menggeleng-geleng panik, bahunya bergetar.
“Tidak! Aku harus mematikan api itu sekarang!”
“Tak ada yang bisa mematikannya, Mademoiselle.”
Shabrina mulai menangis. “Kenapa mereka jahat sekali? Me-
rampas pakaian-pakaian itu lalu membakarnya. Untuk apa?”
Salah satu laki-laki itu mendekati Shabrina, menyerahkan se-
146
pustaka-indo.blogspot.com
lembar kertas padanya. “Orang tadi menitipkan ini. Katanya be-
rikan pada perempuan muda yang mengejarnya. Maksudnya pasti
kamu.”
Kening Shabrina berkerut, tapi dia terima juga kertas itu. Dia
membuka lipatannya, lalu terbelalak membaca tulisan yang tertera
dengan huruf kapital besar-besar di kertas itu.
147
pustaka-indo.blogspot.com
Alis Maghali terangkat, dia sungguh terkejut. “Shab, ada apa?”
tanyanya, mendadak mendapat firasat buruk.
Shabrina mengurai pelukan, lalu dari mulutnya berhamburan
kata-kata yang menceritakan kronologi kejadian yang tadi dialami-
nya. Maghali terbelalak. Wajahnya memanas. Dia tidak tahu harus
marah atau menangis. Rasanya dia tak percaya mendengar ceri-
ta Shabrina. Sempat curiga Shabrina hanya mengada-ada, mana
mungkin ada kejadian seperti tadi? Tapi ketika dia melihat foto
yang ditunjukkan Shabrina dan kertas bertuliskan kata peringatan,
Maghali mulai goyah.
“Aku sungguh menyesal. Semua pakaian rancanganmu untuk
fashion show seminggu lagi hancur, nggak bisa dipakai lagi,” ucap
Shabrina lirih penuh penyesalan.
Maghali tak mampu berkata-kata. Hanya bisa menelan ludah.
Bahkan otaknya tidak bisa memutuskan saat ini dia seharusnya me-
nangis atau meluapkan kemarahan.
“Aku mohon maaf, ini semua gara-gara aku. Aku bersedia
menggantinya. Aku akan menjahit ulang semua pakaian itu.”
“Shabrina, ini bukan salahmu.”
“Tapi, aku yang kamu beri tugas membawa pakaian-pakaian
itu, dan aku nggak melaksanakan tugas dengan baik.”
“Aku yang salah, harusnya aku sendiri yang membawanya.”
“Jadi, sekarang bagaimana? Apakah aku masih sempat menjahit
ulang semua pakaian rancanganmu itu?”
“Tidak, Shab. Tidak akan sempat. Waktu kita tinggal lima hari.
Aku dan kamu nggak akan sanggup membuat ulang sepuluh pakai-
an sekaligus hanya dalam lima hari.”
“Kecuali kalau kami membantumu. Kita pasti bisa membuat
ulang pakaian-pakaian itu.”
Maghali menoleh mendengar suara yang sangat dia kenal itu.
“Justin?” ucapnya, menoleh ke arah seorang pemuda dan seo-
rang gadis yang muncul dari belakang Justin.
148
pustaka-indo.blogspot.com
“Sally, Terry?”
“Saat Shabrina bercerita tadi, kebetulan kami sedang di sini.
Kami mendengar dari balik pintu yang lupa kamu tutup, Shab.
Kami benar-benar tak percaya ada kejadian seperti itu. Tapi, itu
sudah terlanjur terjadi. Sekarang kita harus memecahkan masa-
lahnya. Menurut kami, Maghali masih bisa ikut jika kita bekerja
sama.”
“Kalian mau membantuku?” tanya Maghali masih belum pulih
dari rasa terkejutnya.
“Kamu teman kami. Kamu baik sekali pada kami. Saat kamu
sedang susah, kami harus membantumu.”
Tanpa bisa dicegah, mata Maghali berkaca-kaca. Dia sungguh
tak percaya akan mendapat tawaran bantuan dari teman-teman
satu kelasnya ini.
“Justin benar. Aku dan Terry juga akan membantumu,” Sally
menimpali.
“Rasanya sulit dipercaya. Kalian… kalian baik sekali,” kata
Maghali sambil menghambur memeluk Sally, gadis kurus beram-
but cokelat itu. Tak kuasa, air matanya mengalir.
“It’s okay, Li. Kami senang membantumu.”
“Manusia itu beda-beda. Ada yang tega sekali pada orang lain.
Tapi, dunia tetap berjalan sebagaimana mestinya karena masih ada
orang-orang baik seperti kalian,” katanya sambil bergantian me-
mandangi Justin, Terry, dan Sally.
“Jangan berlebihan. Lain kali mungkin kamu yang akan mem-
bantu kami,” sahut Justin sambil menepuk lembut bahu Maghali.
Maghali tersenyum dan mengangguk. Dia sudah kehabisan
kata-kata.
“Boleh aku melihat kertas yang berisi tulisan ancaman itu?” ta-
nya Justin.
Shabrina menyerahkan kertas yang dia bawa.
149
pustaka-indo.blogspot.com
“Apa maksud tulisan ini?” tanya Sally yang ikut membaca ker-
tas yang dibentangkan Justin.
“Aku punya dugaan, mereka sekelompok orang yang nggak
suka dengan makin bertambahnya perempuan yang mengenakan
hijab di kota ini. Apalagi perempuan seperti aku, seorang ketu-
runan Kaukasia. Aku dianggap terpengaruh pemikiran ekstremis
Timur Tengah,” jawab Shabrina.
“Apakah anggota kelompok mereka banyak di sini?” tanya
Maghali. Dia teringat dua pemuda yang pernah mengganggunya
musim dingin lalu.
“Aku kurang tahu. Tapi, semoga tidak. Mereka sekelompok
orang yang terpengaruh pemberitaan buruk media. Kudengar
memang beberapa orang nggak suka dengan kebijakan PM Justin
Trudeau yang dianggap terlalu memanjakan imigran dari negeri
muslim,” jawab Shabrina lagi.
“Rasanya nggak bisa dipercaya, zaman sekarang masih ada
orang yang berpikiran picik seperti mereka,” kata Terry.
“Kita singkirkan dulu tentang dugaan siapa pelakunya. Kita
fokus pada rencana membuat lagi pakaian-pakaian rancangan
Maghali. Jangan buang waktu. Kamu masih punya bahan-bahan
untuk membuat pakaian-pakaianmu?” tanya Justin.
“Untuk kain-kain tradisional Indonesia, aku punya persediaan.
Tapi, untuk bahan lainnya, aku harus beli lagi. Untunglah hanya
pakaian-pakaian untuk perempuan yang menjadi korban. Enam
pakaian untuk laki-laki masih berada di sini karena ukurannya su-
dah pas dengan modelnya.”
“Baiklah, aku dan Sally akan menemanimu membeli bahan-
bahannya. Shabrina dan Terry, mintalah izin lagi pada Miss Pru-
dence, kita pinjam lagi ruang menjahit kampus. Kita hanya punya
waktu empat hari.”
Shabrina dan Terry mengangguk. Sementara Maghali dan Sally
menuju pintu keluar halaman kampus, menunggu Justin muncul
150
pustaka-indo.blogspot.com
dengan mobilnya. Pemuda itu akan membawa Maghali ke toko
bahan-bahan pakaian langganannya di Downtown. Maghali me-
nemukan kain-kain yang diinginkannya di sana. Setelah itu mere-
ka kembali ke kampus. Langsung menuju ruang produksi pakaian.
Shabrina dan Terry sudah menyiapkan peralatan bekerja mereka.
Dalam waktu singkat mereka sudah tenggelam dalam kesibukan
mengerjakan tugas masing-masing. Maghali menjelaskan satu per
satu pakaian rancangannya. Menyerahkan contoh pola yang sudah
dia gunakan sebelumnya. Dia percaya sepenuhnya pada teman-
temannya yang sudah ahli membuat pakaian.
Maghali menegakkan tubuhnya yang sejak tadi membungkuk,
mengamati satu per satu guntingan bahan mengikuti pola yang di-
buat teman-temannya. Dia menghela napas panjang. Tersenyum
lega. Beberapa menit lalu perasaannya kacau-balau, kecewa seka-
ligus marah. Detik ini dia dibuat terharu dengan teman-temannya
ini. Membuat rasa percaya dirinya tumbuh lagi. Rasa cemas perla-
han menghilang. Dia merasa lega, ternyata masih ada orang-orang
baik berpikiran terbuka yang mau membantunya, walau keyakinan
mereka berbeda.
“Justin, Terry, Sally, Shabrina, thank you so much. Kalian sangat
membantuku. Apa jadinya nasibku kalau kalian tidak membantuku.
Aku bakal mengacaukan acara yang sudah jauh-jauh hari direnca-
nakan, juga mengecewakan Miss Prudence,” kata Maghali dengan
suara cukup keras, membuat teman-temannya yang sedang fokus
bekerja menoleh padanya.
“Lili, aku sudah bilang, kamu teman kami. Kalau kamu kesu-
sahan, kami harus membantumu. Sejujurnya selain sebagai rasa
setia kawan, kami juga ingin menunjukkan padamu, tidak semua
warga Montreal semena-mena seperti orang yang merampas dan
membakar pakaianmu. Kita nggak tahu apa motivasinya. Yang je-
las, aku, Terry dan Sally ingin menunjukkan padamu, kami berpi-
151
pustaka-indo.blogspot.com
kiran terbuka. Kanada tak bisa mengelak dari multikulturalisme.
Kami semua bukan penduduk asli tanah ini. Kami semua imigran.
Kakek buyut kami juga dulu imigran. Masing-masing bebas memi-
lih apa yang diyakini, termasuk Shabrina.” Justin berhenti bicara
saat sadar dia sudah mengoceh terlalu panjang.
“Kami ingin kamu nggak khawatir. Kamu akan baik-baik saja
tinggal di Montreal. Ada kami yang selalu siap membantumu,”
lanjut Sally, merangkul bahu Maghali yang berdiri di sampingnya.
“Merci, Sally. Aku nggak khawatir lagi. Aku beruntung punya
teman-teman seperti kalian. Aku nggak tahu akan membalas keba-
ikan kalian dengan apa. Berapa yang harus kubayar untuk semua
jerih payah kalian?”
“Hei, jangan bilang begitu, Li! Kalau kamu membayar kami,
itu sama saja kamu menghina kami,” sahut Terry cepat.
“Oh, aku nggak bermaksud menghina,” sergah Maghali.
Sally menepuk-nepuk lengan Maghali dan tertawa. “Dia ber-
canda. Kamu nggak usah bayar sepeser pun. Anggap saja kami se-
dang magang padamu. Ini kesempatan bagi kami untuk menunjuk-
kan keahlian kami membuat pakaian berkualitas,” katanya.
Maghali tersenyum lega. “Syukurlah. Merci, merci, merci,” sam-
bil menangkupkan kedua tangan dan menunduk beberapa saat.
“Stop bilang terima kasih. Ayo, fokus bekerja lagi. Kita dikejar
waktu,” kata Justin sambil mengarahkan telapak tangannya kepada
Maghali. Maghali mengangguk. Dia kembali tenggelam dalam ke-
sibukan bersama teman-teman yang lain.
Dia mengerjakan tugas sambil tersenyum, beban masalah sebe-
lumnya sudah terbang dibawa angin.
152
pustaka-indo.blogspot.com
16
Misi Penyelamatan
pustaka-indo.blogspot.com
dungku. Untunglah aku sudah selesai shalat dan sudah memakai
kerudung lagi.”
“Begitu ya? Berarti kamu yang beruntung, aku yang rugi.”
“Kamu rugi?” mata Maghali menyipit.
“Yah, aku gagal lagi melihat wajahmu berhias rambut indahmu
tanpa kerudung.”
“Itu sama sekali nggak boleh. Membayangkannya pun kamu
nggak boleh!”
Kai tertawa geli. “Baiklah. Sekarang, makanlah dulu. Sudah
hampir jam lima. Kamu bukan model, nggak perlu menahan lapar
berlebihan. Kamu butuh banyak sumber energi.”
“Aku sudah biasa berpuasa.”
“Tapi, sekarang kamu sedang nggak berpuasa, kan?”
“Kamu membelikannya hanya untukku?”
“Tidak, aku belikan untuk semua yang ada di sini. Yang lainnya
langsung melahap habis makanan yang kubawakan, tanpa banyak
tanya.”
Maghali membuka mulutnya, baru saja akan bicara lagi, tapi
Kai buru-buru melanjutkan ucapannya. “Sebelum kamu bertanya,
aku beritahu, makanan ini halal. Makanan kesukaanmu, aku beli di
kedai langgananmu.”
Maghali tersipu sambil mengangguk-angguk. Menyadari diri-
nya terlalu cerewet. “Terima kasih, Kai. Aku kirain kamu cuma
perhatian sama aku saja,” ledek Maghali.
“Tujuanku sebenarnya memang cuma menunjukkan perhatian
padamu. Tapi, supaya tidak terlalu mencolok, yang lain pun aku
perhatikan.”
Kai tertawa setelah bicara begitu, membuat Maghali tak bisa
menebak, yang diucapkannya itu serius atau hanya bercanda.
“Baiklah, aku makan sekarang. Thank you again.”
“Begitu dong. Setelah itu kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu.”
154
pustaka-indo.blogspot.com
Kai bangkit dari duduknya, tersenyum sekali lagi lalu berbalik
dan keluar dari ruang itu. Maghali menghela napas. Dia memang
merasa lapar. Bergegas dia keluar dari ruangan itu, berniat makan
bersama yang lain.
Tapi ketika dia sudah berada di ruang produksi dan melihat
beberapa temannya sedang makan, dia tidak melihat Kai.
“Di mana Kai?” tanyanya pada Shabrina sambil duduk di kursi
di sampingnya yang masih kosong.
“Sudah pergi,” jawab Shabrina singkat karena dia sedang me-
ngunyah.
“Sudah pergi? Cepat sekali?”
“Dia hanya memberi kami makanan ini, lalu membawakan ba-
gianmu ke ruang itu, keluar ruang lagi, kemudian permisi pergi.”
Maghali tersenyum. Kai memang unik. Segera Maghali me-
ngeluarkan wadah berbentuk mangkuk dan satu gelas minuman
dingin dari kantong kertas. Membuka tutup wadah itu. Nasi kebuli
dengan irisan daging domba empuk bersiram saus teriyaki. Menu
gabungan dua negara yang menjadi favorit Maghali. Gadis itu ter-
senyum, menyadari Kai memperhatikan sedetail ini, tahu makanan
kesukaannya.
Segera dia melahap habis makanannya. Dia harus menyelesai-
kan pakaian yang dibuatnya malam ini juga. Besok, dia harus mulai
menjahit pakaian baru.
155
pustaka-indo.blogspot.com
dia menawarkan akan membayar jerih payah teman-temannya itu,
tapi mereka menolak. Mereka hanya minta Maghali tidak melu-
pakan mereka. Jika mereka nanti sudah lulus, mereka tetap harus
berhubungan. Jika suatu saat Maghali mengetahui informasi fas-
hion show yang bisa mereka ikuti, Maghali tidak keberatan berbagi
dengan mereka. Maghali tentu saja menyetujui semuanya. Teman-
teman yang membantunya ini tidak akan pernah dia lupakan.
Maghali merapikan pakaian-pakaian yang telah jadi. Kali ini,
terpaksa dia memohon model-modelnya yang datang mencoba
pakaian-pakaian yang akan mereka pakai. Model yang membantu
Maghali masih sama seperti biasa. Isabelle, Natalie, Maine, Kai,
dan Tom.
“Aku dengar ada yang merampas pakaian rancanganmu sebe-
lumnya dan membakarnya. Itu jahat sekali. Kamu sudah tahu siapa
pelakunya?” tanya Isabelle yang datang belakangan dan baru saja
akan mencoba satu pakaian.
“Aku tidak tahu siapa pelakunya dan tidak ingin tahu. Diban-
tu teman-teman, aku sudah membuat ulang semuanya,” jawab
Maghali tenang.
“Kalian memang luar biasa, dan tekadmu juga bukan main.
Pantang menyerah.”
“Aku pasti sudah menyerah kalau tidak ada teman-teman yang
membantuku. Mana mungkin aku bisa membuat ulang seluruh pa-
kaian sendirian.”
“Kamu beruntung memiliki teman-teman yang baik, Li.”
“Benar sekali, Belle.”
“Tapi, perampas pakaianmu itu tetap harus ditangkap. Itu per-
buatan kriminal, nggak bisa dibiarkan.”
“Nggak ada yang tahu pelakunya. Shabrina hanya melihat seki-
las, gerakannya cepat sekali.”
“Aku curiga, jangan-jangan ini kerjaan Jane. Maksudku, dia
menyuruh seseorang untuk merusak pakaian rancanganmu.”
156
pustaka-indo.blogspot.com
Kening Maghali berkernyit. “Jane? Kenapa kamu menuduh
dia?”
“Jane tahu kamu desainer pakaian. Dia pasti tahu rencana
fashion show-mu. Mungkin dia mendapat info dari model-model
lain yang ikut acara itu juga. Yang jelas bukan dari aku. Aku sudah
tidak bicara lagi dengan Jane.”
“Tapi, apa untungnya buat Jane merusak pakaian rancangan-
ku?”
“Bisa jadi dia masih dendam padamu karena mengira aku me-
ninggalkannya gara-gara bujukanmu. Mungkin...”
“Belle, semua itu cuma perkiraanmu. Belum tentu Jane. Jangan
menuduhnya sembarangan. Pamflet fashion show itu ditempel di
banyak tempat. Ada beberapa foto pakaian rancanganku. Aku di-
sebut sebagai desainer modest wear. Tapi, karena foto pakaian ran-
canganku menyertakan kerudung, membuat mereka mengira aku
ingin menyebarkan kebiasaan berpakaian ala perempuan muslim.
Mungkin yang merampas pakaian itu seseorang yang nggak suka
dengan kegiatan yang mendukung muslim. Aku sadar ada segelin-
tir orang yang terkena sindrom Islamophobia di kota ini. Shabrina
pernah dihujat karena cara berpakaiannya. Aku pun pernah men-
jadi korban dua pemuda yang mencurigaiku hanya karena caraku
berpakaian. Ini hanya salah satu dugaanku. Bukan berarti benar.”
Isabelle mengernyit. Dia ingat kejadian musim dingin lalu, ce-
rita Maghali yang diserang dua pemuda pengecut hingga terpaksa
menginap di rumah sakit.
“Sekelompok orang ini, justru yang menebar rasa saling curi-
ga. Dan berita-berita di media memperburuk keadaan. Aku punya
pengalaman buruk dengan media, itulah sebabnya aku nggak mau
lagi baca berita apa pun, kecuali tentang perkembangan mode ter-
baru dan desain-desain yang up-to-date.”
157
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku tidak ingin memikirkan pakaian-pakaian yang sudah mus-
nah itu. Yang penting sekarang, aku sudah punya pakaian peng-
ganti.”
“Jadi, kamu akan membiarkan pelakunya melenggang bebas?”
Maghali mengangkat bahu. “Biar dia sadar, kalau memang
ingin mengacaukan aku, dia sudah gagal. Aku tetap melaju dan te-
tap ikut fashion show nanti. Menurutku, ini pembalasan yang paling
elegan.”
Isabelle tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kamu benar se-
kali. Aku suka itu, pembalasan yang elegan,” katanya. Kemudian
dia mencoba pakaian lain.
Maghali merasa lega, pakaian yang dia buat sudah pas dipakai
model-model yang nanti akan memperagakannya. Sekarang, dia
punya waktu beristirahat sebentar, sebelum besok dia harus mulai
sibuk bersiap-siap menampilkan pakaian-pakaian rancangannya.
158
pustaka-indo.blogspot.com
17
Hari Penting Itu
pustaka-indo.blogspot.com
“Selama ini dia selalu bisa diandalkan. Dia tak pernah lalai dari
tugasnya. Aku memang kurang setuju dia terlalu aktif di kegiatan
sosial. Belum lagi pekerjaan paruh waktunya di rumah sakit. Mem-
buatnya sering menolak tawaran jadi model di negara lain. Kali ini
dia benar-benar membuatku kecewa,” kata Miss Prudence.
“Aku belum terlambat, kan? Mana pakaian yang harus kupa-
kai?”
Maghali limbung, hampir saja jatuh saking terkejutnya. Kai su-
dah berdiri di sampingnya, membuka kaus bergitu saja di hadap-
annya, menampakkan tubuhnya yang kokoh dan berotot. Maghali
menelan ludah, lalu ingat untuk segera berpaling. Terburu-buru
dia mengambil pakaian yang harus dipakai Kai. Kai segera meneri-
ma lalu memakainya. Maghali melotot saat Kai membuka celana-
nya, kali ini dia langsung menutup mata.
“Jangan ke mana-mana. Setelah ini, siapkan pakaianku berikut-
nya,” kata Kai berbisik keras di telinga Maghali. Gadis itu masih
tak berani membuka mata.
“Hei, Lili, kenapa kamu menutup mata? Lihat baik-baik, se-
bentar lagi giliranku keluar, setelah itu siapkan secepatnya pakai-
anku berikutnya.”
Maghali membuka matanya perlahan satu per satu. Mengem-
buskan napas lega melihat Kai sudah berpakaian lengkap. Dengan
refleks dia mengangguk. Kemudian giliran Kai harus melangkah
ke catwalk.
“Kai akhirnya datang juga?” tanya Miss Prudence yang tampak
terkesima menatap Kai yang berjalan di catwalk.
Maghali mengangguk. “Tepat di saat kritis.”
“Uh, pemuda itu benar-benar membuatku hampir terkena se-
rangan jantung! Dia harus menjelaskan banyak hal sesudah acara
ini selesai.”
“Aku rasa dia sedang terburu-buru.”
160
pustaka-indo.blogspot.com
“Apa pun masalahnya, dia harus mendahulukan tugasnya. Dia
sudah berkomitmen dengan pekerjaan ini. Kalau memang dia ke-
walahan membagi waktu, dia harus mulai mengurangi salah satu
kegiatan sosialnya.”
“Bagaimana kalau dia lebih memilih kegiatan sosialnya?”
“Tidak mungkin! Kariernya sebagai model cukup bagus. Wa-
laupun dia kurang maksimal melakukannya. Aku sudah sering me-
nawarkan ikut show di kota-kota mode dunia. Milan, Paris. Tapi,
dia menolaknya! Oh, sementara model lain banyak yang harus ber-
juang ekstra keras untuk bisa sampai pada posisinya.”
Maghali urung bicara lagi saat Kai muncul usai menjalankan
tugas pertamanya.
“Kai, kenapa kau datang terlambat?” Miss Prudence langsung
menyemburkan pertanyaan.
“Aku tidak terlambat, aku tepat waktu.”
“Seharusnya kau sudah ada di sini sejak tiga puluh menit sebe-
lum acara dimulai.”
Kai tidak langsung menjawab. Dia membuka pakaian yang di-
kenakannya, menyerahkannya pada Maghali, lalu meminta pakai-
an lain. Maghali buru-buru memberikan pakaian selanjutnya.
“Bisakah kita bicarakan soal itu nanti? Sekarang biarkan aku
menyelesaikan tugasku.”
Kai bicara sambil mengancingkan kemeja yang dipakainya. Un-
tunglah dia laki-laki, tak banyak pernik yang harus dipakai. Bahkan
wajahnya pun masih terlihat baik-baik saja walau tidak sempat di-
dandani.
Maghali mengarahkan matanya fokus ke wajah Kai saat pemu-
da itu mengganti celana panjang yang harus dipakainya. Sementara
Miss Prudence akhirnya memutuskan berhenti bicara saat menya-
dari tidak bijak mengganggu konsentrasi model andalannya itu.
Dia menyingkir mengecek keadaan model lain.
Maghali masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia melirik ke
161
pustaka-indo.blogspot.com
arah Shabrina yang membantunya menyiapkan pakaian yang akan
dipakai para model perempuan. Ada tiga pakaian yang akan dipe-
ragakan Kai. Setelah selesai pakaian ketiga, Kai mengembuskan
napas lega. Lagi-lagi dengan santai dia langsung membuka pakai-
annya, tak peduli ada Maghali di hadapannya. Maghali menyiap-
kan pakaian pribadi Kai yang dipakainya saat pertama datang tadi.
Dia masih berusaha tidak memandang ke arah tubuh Kai, hanya
ke wajahnya.
Kai mengenakan kausnya, lalu dia balas memandang Maghali,
hingga mereka saling tatap. Maghali terenyak, belum sempat dia
mengalihkan pandangan, Kai tersenyum. Hanya tersenyum, tidak
bicara apa-apa. Maghali menunggu sampai Kai benar-benar sudah
mengganti seluruh pakaiannya.
“Merci, Li. Aku pergi sekarang,” kata Kai setelah dia sudah se-
lesai berpakaian lengkap, mengenakan pakaiannya sendiri.
“Kai, tunggu, kamu mau pergi ke mana? Miss Prudence ingin
bicara dulu denganmu.”
“Ada yang lebih penting daripada sekadar mendengar ocehan
Miss Pru.”
“Apa ada masalah? Kenapa kamu tadi datang terlambat?”
“Aku sudah bilang, aku tidak terlambat. Aku selalu memegang
teguh janji dan komitmen. Kalau aku bilang bersedia terlibat da-
lam acara ini, artinya aku pasti datang.”
“Dan sekarang, apa yang lebih penting daripada bicara dengan
Miss Pru?”
“Nanti saja kuceritakan. Please, jangan ganggu aku saat ini. Aku
harus pergi sekarang juga.”
Tanpa menunggu Maghali menjawab, Kai sudah berlalu de-
ngan langkah cepat. Maghali hanya bisa termangu memandangi
kepergian pemuda itu sambil masih memegangi pakaian yang ter-
akhir dipakai Kai.
162
pustaka-indo.blogspot.com
“Di mana Kai?” Miss Prudence mendadak muncul, sibuk meli-
hat sekeliling mencari sosok Kai dengan matanya.
“Kai sudah pergi.”
“Pergi? Ke mana? Aku kan sudah berpesan, dia harus bicara
denganku setelah acara.”
“Aku sudah menyampaikan pesan itu pada Kai. Tapi, dia tetap
pergi. Katanya ada hal penting yang harus dia urus.”
Miss Prudence berdecak kesal. “Kai menyebalkan sekali hari
ini.”
“Aku akan mampir ke rumah neneknya setelah ini. Mungkin
dia di sana. Mungkin… neneknya sedang kumat sakitnya. Aku me-
lihat ada bias kesedihan di mata Kai,” kata Maghali.
“Hm, mungkin juga apa yang kamu bilang itu. Kai memang
belum pernah seperti ini. Kalau dia begini, pasti karena ada sesua-
tu yang sedang mengganggu pikirannya. Baiklah, kabari aku kalau
kamu sudah mendapat info apa yang terjadi pada Kai.”
Maghali mengangguk. Tapi setelah acara usai, Maghali tidak
sempat mampir ke rumah Mrs. Irish. Dia lelah sekali. Lagi pula
sudah malam. Dia masih mencoba mengirim pesan dan menele-
pon Kai, tapi tidak mendapat tanggapan. Maghali menyerah. Dia
memilih beristirahat. Besok dia tidak punya kegiatan apa-apa. Dia
bisa ke rumah Mrs. Irish menanyakan tentang Kai sekaligus me-
ngunjungi nenek Kai yang sudah lama tidak ditemuinya itu.
Maghali merebahkan tubuhnya yang letih di tempat tidur. Dia
tersenyum malu mengingat Kai tadi saat di balik panggung. Bagai-
mana sekarang cara dia melupakan apa yang sudah dilihatnya tadi?
Tak lama kemudian Maghali terlelap. Untungnya, dia tidak
memimpikan Kai.
163
pustaka-indo.blogspot.com
18
Hari Kelabu
pustaka-indo.blogspot.com
“Ada apa dengan Granny?” Maghali menunggu jawaban de-
ngan wajah cemas.
“Granny sudah pergi, bertemu Grandpa,” jawabnya dengan su-
ara hampir tidak terdengar.
Pipi Maghali meremang, matanya panas, firasat buruknya ter-
bukti. “Granny,” gumamnya, air matanya mengalir.
“Di mana Kai?” tanyanya menahan pilu.
“Di halaman belakang.”
“Aku ingin menemui Kai.”
Selena mengangguk. Bergegas Maghali menuju halaman bela-
kang, melewati dapur dan ruang makan. Di teras belakang sosok
Kai terduduk lesu. Memandangi kakinya sendiri.
“Kai,” sapa Maghali.
Laki-laki itu mengangkat wajahnya. Tidak ada senyum khas
Kai. Dia tidak menangis, tapi matanya berkaca-kaca. “Granny su-
dah bahagia sekarang. Penderitaannya sudah berakhir,” ucapnya
pelan.
Maghali kehilangan kata-kata. Dia duduk di samping Kai.
“Granny sudah bersatu dengan kekasih abadinya, Grandpa,” ucap-
nya pelan.
Kai menoleh pada Maghali.
“Di mana Granny sekarang? Maksudku, tubuhnya…” tanya
Maghali sendu.
“Di tempat kremasi. Sebentar lagi aku akan ke sana. Setelah
tamu-tamu pulang.”
“Aku boleh ikut?” tanya Maghali penuh harap.
“Kamu sanggup?” sahut Kai terdengar tidak yakin.
“Entahlah, tapi aku ingin melihat Granny untuk terakhir kali.”
“Sudah tidak bisa dilihat lagi.”
“Kemarin itu, kamu datang terlambat apakah karena Granny...”
165
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku tidak datang terlambat, aku tepat waktu. Walau perasaan-
ku sedang kacau, aku berusaha memenuhi janji dan kewajibanku.”
“Jadi, saat kamu sedang berjalan di catwalk, kamu sedang ber-
sedih?”
“Aku profesional. Tidak akan mundur dari pekerjaan hanya ka-
rena sedang berduka.”
Maghali memejamkan mata, membayangkan perasaan Kai saat
itu. Pantas saja ekspresinya sangat dingin.
“Ada sesuatu untukmu, titipan dari Granny sebelum tiada. Se-
benarnya sudah dua hari lalu Granny berpesan sebelum sakitnya
makin parah.”
Tanpa menunggu Maghali menyahut, Kai bangkit berdiri, lalu
pergi ke ruangan lain. Maghali tidak mengikuti Kai, dia memilih
tetap duduk. Tak lama Kai kembali membawa sebuah tas berbahan
kain dengan motif bunga-bunga.
“Ini untukmu, dari Granny,” kata Kai, menyerahkan tas itu
pada Maghali. Gadis itu menerimanya masih dengan pandangan
bertanya-tanya. Maghali segera membuka tas itu, matanya terbe-
lalak. Dia mengeluarkan isinya. Benda itu terbuat dari wol lembut
berwarna fuschia.
“Sweter? Bagus sekali. Bahannya lembut.”
“Granny sendiri yang membuatnya.”
“Serius? Granny membuat sweter seindah ini?”
“Kamu lihat sendiri kan saat terakhir kali kamu ke sini? Granny
senang sekali merajut. Granny sangat terkesan padamu. Sudah se-
jak dua bulan lalu dia bilang akan membuat satu sweter untukmu.
Itu adalah karyanya yang terakhir.”
Maghali mendekatkan sweter itu ke hidungnya, menghirup
aromanya. Bukan hanya aroma wol yang dia rasakan. Tapi, juga
aroma Granny. Membuatnya teringat lagi pada kebaikan perem-
puan tua itu. Suaranya yang lembut dan senyumnya yang teduh.
166
pustaka-indo.blogspot.com
Walau dia merasakan sakit yang sangat, tak ada kata-kata kema-
rahan dan penyesalan akan nasibnya. Dia ikhlas menerima apa pun
yang harus dijalaninya. Tanpa sadar, dua bulir air hangat muncul
dari sudut mata Maghali, meluncur turun menciptakan dua garis
di wajahnya.
“Lili? Kamu menangis?”
“Aku menyesal.”
“Kenapa?”
“Aku menyesal baru dua kali bertemu Granny. Aku menyesal
tidak sering ke sini menemui Granny. Padahal Granny memikir-
kanku, bahkan membuatkan sweter yang cantik ini untukku. Se-
dangkan aku tidak memberikan apa-apa. Berdoa untuk Granny
pun aku lupa.”
Maghali mengucapkan itu sambil terisak. Dia menutup mata-
nya, masih menutupi ujung hidungnya dengan sweter yang dipe-
gangnya itu. Lalu dia merasakan ada yang mengusap ujung mata
dan pipinya dengan kain lembut. Dia mengerjap, membuka mata,
mendapati Kai sedang menghapus air matanya.
“Hapus air matamu dengan ini. Jangan biarkan sweter itu
basah,” kata Kai sambil menyodorkan saputangan putih dengan
sulaman berbentuk kupu-kupu.
Maghali menerimanya, terpana melihat sulaman di saputangan
itu, dan menduga itu pun buatan Granny. Perlahan dia menyusut
air matanya. Setelah yakin air matanya tak akan keluar lagi, dia
mengembalikan saputangan itu.
“Untukmu,” tolak Kai.
Maghali mengerutkan kening.
“Itu salah satu saputangan buatan Granny untukku.”
“Ini punyamu dari Granny, jangan kauberikan kepada orang
lain.”
“Aku sudah punya banyak. Semuanya selalu diberi sulaman.
Jadi, kuberikan itu untukmu. Sebagai kenang-kenangan dari
167
pustaka-indo.blogspot.com
Granny. Kalau Granny masih hidup, dia pasti setuju kuberikan itu
untukmu.”
“Jangan beri aku saputangan. Katanya, hadiah saputangan itu
tanda perpisahan. Baiklah, saputangan ini akan kubawa pulang.
Akan kucuci dulu. Setelah itu baru aku kembalikan padamu.”
“Itu mitos yang nggak perlu dipercaya. Lagi pula, kita memang
akan berpisah, kan? Tak lama lagi kamu akan kembali ke negeri-
mu.”
Maghali terenyak, mendengar ucapan Kai itu membuatnya
kembali dilanda rasa hampa. Tiga bulan lagi dia akan kembali ke
Indonesia. Masa tinggalnya di sini berakhir, bertepatan dengan
kewajibannya harus membantu Maura mempersiapkan pernikah-
annya.
Dia masih menunggu hingga tamu-tamu pulang. Kai mence-
ritakan, Granny pergi dalam tidurnya kemarin pagi. Saat Selena
membangunkannya pukul setengah tujuh pagi, jam biasa Granny
bangun. Tapi Granny tidak bisa dibangunkan. Wajahnya tenang,
dengan seulas senyum tipis. Selena segera membangunkan Kai.
Saat itulah Kai sadar, Granny sudah pergi dua jam sebelumnya.
Tentu dia terguncang, tidak menyangka perempuan kesayangan-
nya itu pergi tanpa pertanda. Ayah, ibu tiri, dan dua adik Kai tiba
di rumah ini semalam. Kai memperkenalkan mereka pada Magha-
li. Ayah Kai tampak menyesal lama sekali tidak mengunjungi ibu-
nya. Lelaki berambut pirang itu tidak banyak bicara. Kedua adik
Kai, gadis berusia lima belas dan anak lelaki berusia sepuluh tahun,
juga hanya diam, bersandar di bahu kanan-kiri ibu mereka.
Kai mengajak Maghali ke tempat kremasi. Ayahnya bersikeras
ikut, juga memaksa istri dan kedua adik Kai ikut memberi peng-
hormatan terakhir pada nenek mereka. Seharian itu Maghali men-
dedikasikan waktunya untuk menemani Kai. Sampai akhirnya pe-
168
pustaka-indo.blogspot.com
tugas kremasi menyerahkan abu Granny dalam sebuah guci indah
pada Kai.
“Maghali, maukah kamu ikut menabur abu Granny di Old
Port?” tanya Kai.
“Kamu mau menaburkannya sekarang juga?”
“Aku rasa, semakin cepat Granny disatukan dengan Grandpa,
Granny akan semakin bahagia.”
Maghali tidak menolak ajakan Kai ikut bersama keluarganya.
Ayah Kai tidak bertanya langsung, hanya sesekali melihat ke arah
Maghali, tampak bahwa dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa
gadis itu diajak Kai. Tak lama mereka sudah melaju menuju Old
Port. “Kita harus menyewa kapal, menaburkan abu Granny harus
sangat dekat dengan air laut supaya abunya tidak terbang terbawa
angin,” kata Kai.
Kai menyewa kapal kecil, pemiliknya yang mengemudikan.
Kai minta diantar ke bawah dermaga yang tidak jauh dari Menara
Jam. Sesampai di sana, dia mulai menaburkan abu Granny perla-
han, bergantian dengan ayah dan kedua adiknya. Maghali hanya
memperhatikan. Bertanya-tanya apakah Kai berdoa untuk nenek-
nya. Kepada siapa doa itu dia panjatkan. Maghali ingat, Kai bilang
dia memang memilih tidak beragama, tapi bukan berarti dia tidak
percaya adanya Tuhan.
“Sekarang Granny bahagia, kembali bertemu Grandpa, cinta
sejatinya. Cinta pertama dan cinta terakhirnya,” kata Kai setelah
semua abu sudah dia taburkan ke laut.
Setelah itu kapal kembali berlabuh. Ayah Kai langsung kembali
ke rumah bersama istri dan kedua adik Kai. Sementara Kai menga-
takan pada ayahnya masih ingin di dermaga ini lebih lama.
“Granny hanya sekali jatuh cinta seumur hidupnya?” tanya
Maghali setelah mereka tinggal berdua dan berjalan pelan menyu-
suri dermaga.
169
pustaka-indo.blogspot.com
“Granny dan Grandpa bertemu sejak mereka remaja. Masing-
masing adalah cinta pertama. Mereka terus bersama dan saling
mencintai, sampai maut memisahkan,” jawab Kai.
“Beruntung sekali Granny dan Grandpa memiliki cinta sejati.
Sekarang ini, nggak banyak yang seberuntung itu.”
“Kamu, sudah berapa kali jatuh cinta?”
Maghali terenyak, tak menyangka akan mendapat pertanyaan
seperti itu.
“Nggak banyak. Cinta monyet saat SMA, selanjutnya hanya
naksir dan kagum, nggak lebih dari itu.”
“Aku pernah sangat mencintai seorang gadis saat SMA. Kupikir
kisah percintaanku akan seindah Granny dan Grandpa. Tapi, ter-
nyata aku belum seberuntung itu. Cintanya padaku tidak sebesar
cintaku padanya. Dia memilih mengejar impiannya ke New York,
kemudian melupakanku.”
“Itu tidak membuatmu kapok jatuh cinta, kan?” tanya Maghali.
Kai menggeleng. “Beberapa kali aku mencoba menjalin hu-
bungan dekat dengan beberapa gadis. Tapi, cinta sejati itu belum
kutemukan,” jawabnya.
“Zaman sudah berubah, nggak seperti dulu lagi. Percayalah,
banyak yang senasib dengan kita,” kata Maghali.
Kai berhenti setelah mereka semakin mendekati Menara Jam.
“Kamu mau naik ke puncak Menara Jam? Melihat Montreal
dari atas sana?”
Maghali menoleh ke menara yang ditunjuk Kai, lalu mengang-
guk.
“Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah bertekad ingin naik
sampai puncaknya.”
“Menara ini tempat istimewa buat Granny dan Grandpa.”
“Ya, aku tahu, Granny sudah bercerita padaku.”
170
pustaka-indo.blogspot.com
Setelah membeli tiket, keduanya mulai menaiki tangga menuju
puncak menara. Kai membiarkan Maghali naik lebih dulu. Ada 192
anak tangga yang harus mereka lewati. Sore ini, pengunjung tidak
terlalu penuh. Sesampai di puncak, mereka bisa melihat sebagi-
an kota Montreal dan hamparan Sungai St. Lawrence. Kai hanya
diam memandangi cakrawala. Maghali melirik dan membiarkan
Kai dalam keheningan. Dia tahu, saat ini banyak yang dipikirkan
Kai. Laki-laki itu hanya minta dia temani, bukan diajak berbin-
cang-bincang.
Mereka masih bertahan di atas sampai matahari tenggelam.
Semburat senja dari atas sini indah sekali. Maghali menghidu uda-
ra, merasakan aroma laut yang terbawa angin. Setelah matahari
benar-benar tenggelam, barulah mereka turun.
Kai memaksa mengantar Maghali pulang, walau Maghali su-
dah meyakinkan Kai dia bisa pulang sendiri. Sepanjang perjalanan,
Kai masih diam. Mungkin seperti itulah cara dia mengekspresikan
rasa sedihnya. Bukan dengan air mata berurai, hanya dengan diam.
Maghali tidak ingin mengganggunya.
“Bonne nuit10,” hanya itu yang diucapkan Kai setelah mereka
sampai di depan rumah Madame Maple dan Maghali sudah keluar
dari mobil.
Maghali hanya mengangguk dan tersenyum. Menunggu sam-
pai Kai pergi. Barulah hatinya diserang rasa pilu. Dia bergegas ke
kamarnya. Segera menyampaikan berita duka ini pada Miss Pru-
dence dan teman-teman yang mengenal Kai melalui ponsel. Mere-
ka semua tenggelam dalam suasana duka.
10
Selamat malam (bahasa Prancis).
171
pustaka-indo.blogspot.com
19
Mural Seraut Wajah
“LILI, aku datang, aku sudah tepat di pintu depan. Cepat keluar,
Li!”
Maghali menerima telepon itu dengan kening berkerut. Menga-
pa banyak sekali orang yang sering mendatanginya tanpa memberi-
tahu lebih dulu? Apakah mereka mengira untuk keluar dari kamar,
dia tidak butuh persiapan? Maghali meraih kardigan panjangnya,
memakai kerudung instan secepatnya, wajahnya dia biarkan tanpa
make up, lalu bergegas keluar kamar dan membuka pintu depan.
“Hai, Li! Lihat, cuaca cerah di luar. Ini saat yang tepat untuk
jalan-jalan sore,” sambut Isabelle dengan senyum lebar dan wajah
superceria.
“Aku ingin ke Festival Mural. Kamu harus ikut ke sana. Ini ba-
gus sekali. Festival penting di kota ini. Hanya ada di bulan Juni,”
ajak gadis itu masih dengan suara antusias.
Maghali hanya bisa memandangi wajah cantik gadis jangkung
di depannya. Isabelle, yang beberapa saat lalu muram gara-gara
Jane Dantec, kini sudah kembali ceria. Sebenarnya Maghali agak
enggan berada di tempat ramai. Dia pernah mendengar tentang
Festival Mural. Salah satu ciri khas kota ini. Banyak sekali mu-
ral menghiasi dinding-dinding bangunan. Tapi, di Festival Mural,
akan semakin banyak dinding yang dilukis dengan gambar-gambar
baru.
pustaka-indo.blogspot.com
“Apa nggak ada teman lain yang lebih tertarik ikut denganmu
melihat mural-mural itu?” tanya Maghali, masih mencoba mencari
jalan keluar.
“Temanku kan cuma kamu,” bantah Isabelle cepat.
“Pasti ada juga teman model yang mau kamu jadikan teman.”
“Tak ada model yang mau menjadi teman dekatku. Kamu tahu,
kan? Mereka takut aku mendadak gila. Mana mungkin mereka
mau pergi berjalan-jalan keliling kota bersamaku.”
“Betapa kejamnya dunia model,” sahut Maghali.
“Begitulah. Andai saja aku bisa mencari uang dalam jumlah
banyak dalam waktu singkat di bidang lain, pasti aku sudah alih
profesi. Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan selain mengandalkan
fisikku? Jadi, cuma kamu teman yang bisa kuandalkan. Lagi pula,
mereka sudah pernah melihat Festival Mural. Kamu kan belum.”
Maghali menghela napas.
“Kamu capek?” tanya Isabelle melihat keletihan di wajah
Maghali.
Bulan Ramadhan di Montreal jatuh saat musim panas. Itu ar-
tinya durasi puasa cukup panjang. Subuh pukul tiga pagi, magrib
baru datang pukul delapan lewat empat puluh menit. Hari ini ku-
liah Maghali hanya sampai pukul dua siang. Setelah itu dia beren-
cana akan beristirahat saja di kamarnya sampai sore. Lalu belanja
bahan-bahan makanan dan memasak menu buka puasanya sendiri.
Tapi, wajah antusias Isabelle membuat Maghali tidak tega meno-
lak ajakan gadis itu.
“Baiklah, setelah kupikir-pikir, rasanya aku memang perlu
melihat festival itu. Aku sudah berada di Montreal, sayang kalau
nggak melihatnya.”
“Nah, itulah maksudku.” Isabelle tersenyum lebar, merasa me-
nang.
173
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali minta izin untuk membereskan dandanannya. Dia me-
milih pakaian yang lebih pantas untuk berjalan-jalan di luar. Me-
moles bedak di wajah dan lipgloss di bibir, serta sedikit wewangian
di seluruh tubuh. Barulah dia keluar. Tak lama kemudian, dia dan
Isabelle sudah di dalam bus yang meluncur ke Saint Laurent Bo-
ulevard.
Sesampai di area festival, keceriaan Isabelle semakin menjadi-
jadi. Maghali pun mulai merasa keputusannya ikut tidak salah.
Tempat ini ramai sekali, banyak lukisan dinding indah. Beberapa
masih dalam proses dilukis.
“Li, lihat! Kamu kenal wajah di mural dinding yang itu?” teri-
ak Isabelle sambil setengah melompat-lompat kegirangan ketika
mereka tiba di sebuah dinding luas dengan seraut wajah cantik ter-
lukis di sana.
Maghali memperhatikan lukisan besar di dinding luas itu. Wa-
jah seorang perempuan yang sedang menatap sendu. Seraut wa-
jah yang digambar dengan hidup, hingga tampak nyata dan seolah
bernyawa. Maghali mengerutkan kening.
“Itu wajahmu, kan? Mirip sekali denganmu,” katanya.
“Benar sekali. Itu aku,” sahut Isabelle sambil tersenyum bang-
ga. Matanya berbinar-binar.
“Kamu memesan pada pelukis itu supaya melukis wajahmu?”
tanya Maghali.
“Tidak. Aku nggak kenal dia. Itulah yang bikin aku penasaran.
Kenapa dia memilih wajahku untuk dia jadikan mural karyanya?”
jawab Isabelle.
“Itu artinya pelukisnya adalah penggemar beratmu,” sahut
Maghali.
“Hey, you look like that face in the mural!” teriak seseorang yang
berdiri di samping Isabelle.
Sontak orang-orang yang ada di sekeliling Isabelle menoleh ke
174
pustaka-indo.blogspot.com
arahnya. Memperhatikan wajahnya. Lalu sang pelukis mural yang
baru saja menyelesaikan lukisannya menghampiri Isabelle.
“Oh No! You are Isabelle Estelle!”
Keadaan menjadi makin ramai. Semakin banyak yang mengeru-
bungi Isabelle. Sang pelukis membawa Isabelle naik tangga tempat
dia melukis bagian atas dinding itu. Sementara Maghali semakin
terdorong menjauh dari Isabelle. Tubuhnya terbawa ke sana-sini
oleh kerumunan orang.
Dia hampir jatuh saat kemudian ada seseorang yang menang-
kap punggungnya. Tangan kukuh itu memegang lengannya, ke-
mudian turun hingga mencapai jari-jari Maghali, menggenggam-
nya erat dan menuntunnya keluar dari kerumunan orang sambil
melindungi tubuhnya.
“Kita pergi dari sini!” ujar sosok itu.
Bergegas Maghali menoleh, tercengang melihat sosok yang
menariknya keluar dari kerumunan itu.
“Kai?” ujarnya terkejut.
Kai tidak menyahut. Dia terus menuntun Maghali hingga men-
capai tempat yang lebih lega. Setelah itu baru melepaskan geng-
gamannya.
“Kita harus menolong Belle. Dia terjebak dalam kerumunan
itu.”
“Dia akan baik-baik saja. Itu fansnya. Lihat, dia sudah dibawa
ke atas tangga. Dia aman di sana. Yang penting, kamu yang harus
menyingkir kalau nggak ingin tergencet dan dehidrasi. Kamu kan
sedang berpuasa.”
“Terima kasih, Kai. Aku nggak menyangka kamu ke sini juga.
Kupikir kamu masih butuh dibiarkan sendiri,” kata Maghali hati-
hati sambil melirik Kai.
Sejak menemani Kai menaburkan abu Mrs. Irish di derma-
ga Old Port, dia tidak bertemu Kai lagi. Maghali tidak berusaha
175
pustaka-indo.blogspot.com
menghubungi Kai karena mengira pemuda itu memang sedang
butuh waktu sendiri mengatasi kesedihan ditinggal orang yang pa-
ling dikasihinya.
“Aku ke sini karena ada proyek mural penting,” sahut Kai.
“Kamu bisa melukis dinding juga?” tanya Maghali. Dia sudah
siap terkejut.
“Tidak, aku tidak sesempurna itu. Aku nggak bisa melukis.
Tapi, aku menyewa salah satu dinding dan membayar seorang se-
niman lukis mural untuk melukis Granny dan Grandpa di Menara
Jam.”
“Dinding itu bisa disewa?”
“Aku akan melakukan apa saja untuk mengabadikan Granny
dan Grandpa dalam sebuah lukisan raksasa.”
“Lukisan itu akan ada selamanya?”
“Tidak, mural-mural itu berganti-ganti. Hanya untuk beberapa
bulan. Tapi, itu sudah cukup bagiku untuk merayakan bersatunya
kembali Granny dan Grandpa. Kamu mau melihatnya?”
“Tentu saja!”
Kai hampir saja menggandeng tangan Maghali, tapi kemudi-
an ingat, Maghali paling tidak nyaman jika disentuh. Dia berjalan
menuju dinding yang dia maksud. Maghali mengikutinya. Mere-
ka sampai di sebuah dinding luas berhiaskan lukisan seorang gadis
dan seorang pemuda di puncak Menara Jam saat matahari hampir
tenggelam. Lukisan yang indah sekali. Maghali sampai ternganga
melihatnya.
“It’s beautiful, Kai,” ucapnya senang.
“I know,” sahut Kai singkat. Dia memandangi lukisan itu de-
ngan perasaan bahagia. “Jadi, aku ke sini bukan karena membun-
tutimu, kok. Aku ke sini setiap hari. Hanya untuk memandangi
lukisan ini, kemudian berkeliling sebentar,” lanjut Kai.
“Aku tidak menuduhmu membuntutiku,” kata Maghali. Ke-
ningnya berkernyit.
176
pustaka-indo.blogspot.com
Kai hanya tertawa. Maghali terkesima melihat tawa Kai setelah
terakhir melihat wajahnya sangat kelabu.
Setelah agak lama, Kai mengajak Maghali melihat mural-mural
lain. Melihat seniman-seniman pelukis dinding menuangkan krea-
tivitas mereka. Membuat dinding-dinding bangunan sepanjang ja-
lan ini dipenuhi lukisan-lukisan menakjubkan berwarna-warni dan
artistik. Sebagian besar menunjukkan jenis seni lukis kontemporer.
Tidak terasa Maghali dan Kai sampai lagi di dinding yang ber-
hiaskan lukisan wajah Isabelle. Sekarang sudah tidak seramai tadi.
Isabelle masih terlihat asyik berbincang-bincang dengan pelukis
yang memilih wajahnya sebagai objek lukisannya. Isabelle melihat
kehadiran Maghali dan Kai, dia mengangkat tangan dan melambai,
lalu berbicara dengan si pelukis. Tak lama kemudian, dia sudah
berjalan menuju Maghali dan Kai.
“Hei, ke mana saja kamu? Aku baru melihatmu lagi di sini.
Lho, Kai? Tadi kamu nggak ada. Lili mengajakmu ke sini?” tanya
Isabelle sambil memandangi Maghali dan Kai bergantian.
“Tidak, kebetulan aku memang sedang berada di sini, lalu me-
lihat Lili,” jawab Kai. Dia enggan menceritakan tentang lukisan
kakek dan neneknya pada Isabelle. Menurutnya Isabelle tidak per-
lu tahu, karena dia tidak mengenal Granny.
Isabelle menggamit lengan Maghali. “Pelukis tadi bilang, dia
penggemar beratku. Dia mengoleksi foto-fotoku dari berbagai
majalah. Dia bilang, dia sangat menyukai aktingku saat aku men-
jadi bintang tamu di drama aksi favoritnya. Aku memang pernah
menjadi bintang tamu di salah satu episode. Dia bilang, aku sangat
berbakat akting, seharusnya aku menjadi pemain film. Menurutku
sarannya itu bagus juga.”
“Kamu bebas mengembangkan kariermu menjadi apa saja,
Belle.”
177
pustaka-indo.blogspot.com
“Ya, aku akan serius ikut audisi. Aku butuh pekerjaan yang lebih
besar dengan penghasilan lebih banyak. Aku ingin membeli apar-
temen yang lebih besar, lalu mengajak ibuku tinggal bersamaku.”
“Menjadi model juga bisa menghasilkan banyak uang kan, kalau
kamu benar-benar fokus dan mau menerima tugas ke luar negeri.”
“Tapi, aku suka berakting. Aku akan mencobanya.”
“Aku senang melihat semangatmu.”
Isabelle menoleh pada Kai yang berjalan di samping Maghali.
“Bagaimana denganmu, Kai? Apakah kamu juga berminat menjadi
bintang film?”
“Tidak, suatu saat nanti aku ingin menekuni tugas sebagai dok-
ter. Bagiku itu lebih menantang,” jawab Kai.
“Kamu beruntung lulus dari fakultas kedokteran. Aku hanya
tamatan SMA.”
“Kalau kamu berminat menjadi pemain film, kamu bisa memu-
lai dengan kuliah jurusan akting,” saran Kai.
Isabelle menoleh, matanya menyipit memandangi Kai. “Itu ide
yang bagus, Kai.”
“Temukan passion-mu, lalu tekuni. Saat kamu sudah menjadi
ahli di bidang yang kamu sukai, kamu bekerja tapi serasa tidak be-
kerja karena kamu menikmati pekerjaanmu.”
Isabelle memandangi Kai lama, lalu dia tertawa. “Oh, Kai, ta-
hukah kamu? Sudah lama aku menyukaimu. Dan sekarang mende-
ngar saran bijakmu, aku semakin menyukaimu.”
Maghali terenyak, tak menyangka mendengar Isabelle seberani
itu menyatakan perasaannya.
Kai mengangkat alis, lalu tersenyum lebar. “Terima kasih su-
dah menyukaiku.” Hanya itu jawaban Kai.
Maghali yang berjalan di antara Isabelle dan Kai bagai terse-
ngat. Seolah semua keping puzzle yang selama ini bertebaran mu-
lai menemukan bentuknya. Isabelle dan Kai. Sama-sama rupawan,
sama-sama punya kehidupan yang memilukan, masa lalu yang ti-
178
pustaka-indo.blogspot.com
dak biasa. Isabelle yang tidak pernah merasakan kasih sayang ayah-
nya, ditinggalkan begitu saja sejak dia balita bersama ibu yang dep-
resi. Kai yang ditinggal mati ibunya sejak dia dilahirkan, dengan
ayah yang lebih memilih melanglang buana dibanding mengurus
anaknya. Mungkin Kai lebih beruntung, ada nenek dan kakek yang
memeliharanya penuh kasih sayang, sehingga dia bisa kuliah de-
ngan baik sampai bergelar dokter.
Kai dan Isabelle. Keduanya cocok. Kenapa kenyataan ini mem-
buat jantung Maghali mendadak berdenyut nyeri?
“Hei, apakah kalian mau makan malam? Aku lapar sekali,” ajak
Isabelle, menyadarkan Maghali dari pikirannya yang berkecamuk.
“Nanti, dua jam lagi. Sekarang Maghali sedang berpuasa.” Kai
yang menjawab. Lidah Maghali masih kaku untuk berucap.
“Puasa? Apa itu?” tanya Isabelle. Keningnya berkerut.
“Tidak makan, tidak minum, sejak matahari belum terbit, sam-
pai matahari tenggelam.” Lagi-lagi Kai yang menjawab.
Alis Isabelle terangkat tinggi. “What? Siapa yang membuat per-
aturan seperti itu? Untuk apa kamu melakukannya, Li?”
“Itu adalah salah satu ibadah kaum muslim. Bulan ini namanya
bulan Ramadan. Muslim berpuasa selama satu bulan penuh.” Lagi-
lagi Kai yang menjawab.
Isabelle menatap tajam pada Kai. “Memangnya sekarang kamu
muslim, Kai? Kenapa kamu tahu sekali tentang ibadah umat
muslim?” tanyanya heran.
“Bukan, aku belajar tentang itu dari para pengungsi Suriah,”
jawab Kai tenang.
Maghali hampir tertawa geli melihat wajah shock Isabelle. Tapi,
walau mulut gadis itu menganga lebar, dia tetap terlihat cantik.
Selain itu diam-diam Maghali kagum pada Kai yang mengetahui
dengan tepat arti puasa bagi umat Islam.
“Aku tak akan bisa melakukannya. Aku suka makan. Aku mudah
179
pustaka-indo.blogspot.com
sekali lapar. Makanku banyak. Pencernaanku super sekali, mereka
nggak perlu beristirahat,” kata Isabelle sambil menggeleng-geleng.
Kali ini Maghali benar-benar tak bisa lagi menahan tawanya.
Dia merangkul Isabelle.
“Kalian berdua benar-benar teman yang luar biasa. Hidupku di
kota ini jadi menyenangkan karena ada kalian,” kata Maghali. Dia
tersenyum pada Isabelle, lalu pada Kai. Laki-laki itu hanya mem-
balas dengan mengangkat alis.
“Aku tahu kamu nggak kuat menahan lapar, Belle. Kalau kamu
memang ingin makan sekarang, mari aku temani. Kamu bisa ma-
kan duluan, dua jam kemudian aku menyusul memesan makanan.”
“Nah, aku nggak salah memilihmu sebagai teman, Li. Kamu
baik sekali.”
Maghali tersenyum. Dia merasa lega. Walau bulan Ramadan
ini dia jauh dari keluarga, dia tidak merasa sendirian. Ada Kai yang
punya toleransi tinggi, Isabelle yang polos dan tak memperma-
salahkan segala aturan yang dipatuhi Maghali. Walau dia pernah
mengalami kejadian buruk dari beberapa orang pembenci multi-
kulturalisme, lebih banyak orang baik di kota ini.
Alhamdulillah, ucap Maghali dalam hati. Dengan langkah ri-
ngan, bersama Isabelle dan Kai di kanan-kirinya, dia berjalan me-
nuju sebuah restoran.
180
pustaka-indo.blogspot.com
20
Di Sini Aku Tidak Sendiri
pustaka-indo.blogspot.com
bisa merasakan seperti apa masakan Indonesia yang dibuat oleh
orang Indonesia.
Setelah membeli semua bahan yang diperlukan, Shabrina ikut
Maghali ke rumah Madame Maple. Tak lama keduanya sudah
tenggelam dalam kesibukan memasak di pantry yang tersedia di
lantai dua. Maghali sudah minta tolong Mike untuk menambah
kursi di ruang tamu. Madame Maple punya persediaan enam kursi
lipat yang kemudian ditata berjajar di ruang tamu oleh Mike. Laki-
laki itu bahkan juga meminjamkan meja bundar kecil untuk tam-
bahan tempat masakan. Di lantai ini memang tidak tersedia meja
makan. Tapi, meja panjang di depan sofa bisa dijadikan tempat
meletakkan masakan. Menjelang sore, masakan mereka sudah siap.
Pukul lima, Justin, Terry, dan Sally datang. Masakan menggu-
gah selera sudah terhidang di meja. Madame Maple dan Mike juga
sudah naik ke lantai dua. Maghali mengetuk pintu tetangga seru-
mah yang juga tinggal di lantai dua. Tapi, rupanya belum pulang.
Di lantai tiga hanya ada satu orang yang bisa bergabung. Seorang
mahasiswi yang hari ini libur kuliah. Semua sudah siap, tapi ada
satu orang yang belum hadir. Seseorang yang justru sangat diha-
rapkan Maghali.
Senyum terbentuk di bibir Maghali saat mendengar bel berbu-
nyi setengah jam kemudian. Dia bergegas membuka pintu.
“Bonjour. Maaf aku terlambat. Aku mampir membeli buah-
buah ini dulu,” kata Kai.
Mata Maghali berbinar senang menyambut Kai. “Belum ter-
lambat, kami belum mulai. Belle juga belum datang.”
“Hai, aku sudah datang,” sapa Isabelle dengan senyum lebar.
Mata Maghali membesar, terenyak melihat wajah yang muncul
dari balik bahu Kai. Maghali mengernyit. Kai dan Isabelle datang
bersama?
182
pustaka-indo.blogspot.com
“Kami memang janjian datang bareng. Sama-sama ada pemot-
retan di sebuah kantor majalah,” Kai menjelaskan, seolah dia bisa
membaca tatapan bertanya dari mata Maghali.
Maghali tersenyum. “Yuk, masuk,” ajaknya.
“Sayang tidak ada sampanye atau wine. Apakah kita hanya akan
minum air putih?” tanya Justin sambil mencomot satu puff buatan
Madame Maple yang juga dihidangkan sebagai makanan kecil.
“Tidak boleh ada sampanye dan wine dalam makan malam kali
ini, Justin. Tapi, aku akan membuat minuman yang tak kalah enak-
nya,” kata Kai. Dia membawa kantong belajaannya ke pantry.
Kai meminjam alat pembuat jus milik Madame Maple. Dalam
waktu singkat dia sudah membuat banyak jus stroberi dan blueber-
ry. Madame Maple juga meminjamkan dua jar untuk tempat jus,
sekaligus gelas-gelasnya.
Tak lama semua mulai menikmati hidangan. Mereka yang be-
lum pernah merasakan masakan Indonesia memuji masakan buat-
an Maghali. Maghali bilang, dia dibantu Shabrina. Tak disangka,
banyak yang suka nasi. Semangkuk besar nasi yang dihangatkan di
microwave itu habis tak bersisa.
Maghali menikmati kebersamaan ini. Walau berada jauh dari
keluarganya, dia tidak sendirian. Dia punya teman-teman baik di
sini yang membuat hidupnya menyenangkan. Malam itu Maghali
merebahkan tubuh letihnya di atas tempat tidur dengan perasa-
an puas. Walau kesibukan hari ini membuat tubuhnya pegal, dia
sungguh bahagia.
Maghali meraih ponsel, menghubungi orangtuanya melalui vi-
deo call. Masyarakat Indonesia sudah lebih dulu merayakan Idulfit-
ri. Dia menanyakan pada ibunya, apakah banyak tamu yang datang.
Ibunya bilang, banyak sekali. Maura, saudari kembar Maghali, su-
dah berada di rumah sejak seminggu sebelum hari raya. Maura si-
buk mempersiapkan pernikahannya dengan Zach.
183
pustaka-indo.blogspot.com
Dari ibunya Maghali tahu, dua bulan lalu Zach Mayers datang
menemui orangtua Maura bersama ayah dan ibu tirinya. Melamar
Maura secara resmi. Menetapkan tanggal pernikahan mereka di
akhir tahun ini. Maura meminta Maghali membantunya menyiap-
kan acara pernikahan. Maura tidak ingin memakai wedding organi-
zer. Dia ingin resepsi sederhana yang terbuka menerima tetangga
di sekitar rumah orangtua yang akan dijadikan tempat resepsi per-
nikahan.
“Bagaimana lebaran di sana, Li?” tanya ibunya.
“Menyenangkan sekali. Aku bikin perayaan kecil di sini. Me-
masak makanan khas Indonesia, mengundang beberapa teman.
Walau mereka tidak merayakan Idulfitri, mereka mau menemani-
ku merayakan. Mereka teman-teman yang luar biasa, Bu. Selalu
membantuku. Saat aku kesusahan, mereka semua membantu.”
Bu Haning mengangguk-angguk. Maghali sudah menceritakan
tentang pakaian rancangannya yang dirampas dan dibakar orang
tak dikenal, teman-temannya mau membantu membuat lagi tanpa
dibayar. Maghali juga menceritakan penyerangan yang dia alami
di malam dingin bersalju, tapi dia beruntung ada Kai yang menye-
lamatkannya. Maghali yakin semua keberuntungannya itu adalah
buah dari doa ibu-bapaknya. Yang selalu memohon keselamatan
untuk anak-anak mereka.
Maghali tersenyum. “Terima kasih, Pak, Bu.”
“Baik-baik kamu di sana, Nduk. Pulang dengan selamat. Seben-
tar lagi kuliahmu selesai, kan?”
Maghali mengangguk. “Awal September aku sudah kembali ke
Solo, Bu.”
Setelah berbincang sedikit lagi, Maghali permisi untuk tidur.
Dia mulai mengantuk. Mengingat wajah kedua orangtuanya,
membuat air matanya mengalir, tapi dia tersenyum. Dia terharu
tapi bahagia. Menyadari lagi betapa beruntungnya dia, dikaruniai
184
pustaka-indo.blogspot.com
orangtua yang masih sehat hingga hari ini. Yang menyayanginya
sejak dia bayi hingga sekarang. Beberapa orang tidak seberuntung
dia.
Maghali akan selalu ingat betapa Allah sudah melimpahinya
dengan banyak berkah. Air matanya sudah berhenti mengalir, se-
nyumnya merekah semakin lebar. Dia mematikan lampu, meng-
gantinya dengan lampu meja yang lebih redup. Kembali dia berba-
ring lalu memejamkan mata. Membayangkan rumah orangtuanya
di Solo dengan halaman sangat luas. Rumah yang juga luas dengan
desain bangunan khas Jawa dengan dominasi unsur kayu. Rumah
penuh kehangatan. Rumah tempat kasih sayang melimpah ruah.
Tak lama lagi dia akan kembali ke rumah itu. Dua bulan lagi.
Hanya itu waktu yang dia miliki di kota ini. Hanya selama itu dia
bisa sesekali bertemu Kai. Setelah itu mereka akan berpisah dan
entah kapan bertemu lagi.
185
pustaka-indo.blogspot.com
21
Sebelum Berpisah
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali hanya tersenyum.
“Aku bilang pada Kai, ingin terlibat dalam kegiatan sosial. Aku
ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Lalu
Kai mengajakku ke sini. Bertemu para pengungsi, mendengarkan
beberapa kisah mereka yang membuat pikiranku terbuka. Di anta-
ra mereka ada yang bergelar doktor, pemain film, banyak yang du-
lunya hidup mapan di negerinya. Lalu bencana kemanusiaan terja-
di. Perang saudara menghancurkan kehidupan mereka. Memaksa
mereka pergi dari tanah kelahiran untuk kesempatan hidup yang
lebih baik. Menyadarkan aku, betapa aku beruntung. Hidupku ke-
balikannya. Dulu hidupku hancur, terjerat kemiskinan dan masa
depan tak jelas. Sekarang hidupku sudah lebih baik. Aku nggak bo-
leh menyia-nyiakan berkah yang sudah kuterima. Aku harus selalu
ingat untuk melakukan kebaikan.”
Maghali mengangguk. “Itu rencana yang bagus sekali, Belle.
Aku setuju denganmu sepenuhnya.”
“Kemarin Kai juga mengajakku mengunjungi anak-anak pen-
derita kanker. Menghibur mereka, berbahagia bersama mereka.
Membuat perasaanku campur aduk. Aku berterima kasih sekali
pada Kai yang mengenalkanku pada dunia baru,” kata Isabelle.
“Nggak masalah, aku nggak akan menolak sukarelawan baru.
Apalagi kalau orangnya secantik dan seterkenal kamu. Bagus sekali
sebagai kampanye peduli pada sesama yang membutuhkan bantu-
an kita,” sambar Kai.
“Aku melakukan ini bukan untuk pencitraan. Aku tulus ingin
berbuat sesuatu, nggak berharap ada paparazzi memergokiku se-
dang menghibur pengungsi atau anak-anak yang sedang sakit.”
Kai merangkul Isabelle, menepuk lengannya beberapa kali.
“Aku percaya kamu tulus, Belle. Terlihat dari aura wajah dan se-
nyummu.”
“Merci, Kai.”
Maghali menelan ludah perlahan melihat Kai dan Isabelle sa-
187
pustaka-indo.blogspot.com
ling tatap, saling tersenyum, dan tampak bahagia. Mereka pasang-
an sempurna dan tidak ada hal apa pun yang menghalangi kedu-
anya.
“Kamu tahu, Li? Aku dan Kai telah memutuskan,” kata Isa-
belle. Dia sengaja menggantung kalimatnya, memandangi Maghali
dengan senyum manis, seolah menyiapkan klimaks dari rangkaian
kata-katanya yang akan mengejutkan Maghali.
Maghali menunggu dengan perasaan tidak tenang, segala ma-
cam dugaan berkecamuk dalam kepalanya. Apa yang diputuskan
Isabelle dan Kai? Mereka telah menjadi sepasang kekasih? Atau
mendadak ingin menikah? Dalam hati Maghali mengutuk Isabelle
yang tersenyum bahagia di atas kecemasannya menunggu.
“Memutuskan apa?” tanyanya tak sabar. Semenyakitkan apa
pun jawaban Isabelle, lebih cepat Maghali tahu, lebih baik.
“Aku dan Kai memutuskan akan mengembangkan karier kami.
Kami sama-sama menerima tawaran show ke beberapa pusat mode
di Eropa. Selama sebulan penuh kami akan terlibat dalam berbagai
kegiatan mode di Paris, Milan, London, Amsterdam, Monte Carlo,
mmm... satu lagi...,” jawab Isabelle, ucapannya terputus mencoba
mengingat nama satu kota yang mendadak lenyap dari kepalanya.
“Berlin,” lanjut Kai sambil memandang Isabelle, lalu beralih
pada Maghali dan tersenyum.
“Yes, Berlin! Enam kota dalam satu bulan! Setelah selama ini
kami hanya berkubang di Kanada dan sekitarnya,” Isabelle menim-
pali.
“Kamu kan pernah ikut fashion show di Milan dan Paris?” Kai
mengingatkan Isabelle sambil menoleh lagi padanya.
“Cuma sekali dan nggak lama. Masing-masing hanya tiga hari.”
Maghali menelan ludah. Dia merasa agak lega, jawaban Isabelle
tidak seperti yang diduganya. Tapi dia sadar, kelegaan itu hanya
bersifat sementara. Bekerja bersama satu bulan penuh. Apa pun
188
pustaka-indo.blogspot.com
bisa terjadi pada keduanya. Semakin akrab kemudian saling jatuh
cinta. Maghali sadar, itu bukan urusannya lagi. Dia memang me-
ngagumi Kai, tapi dia tahu hanya sampai di situ batasnya. Dia tak
boleh merasakan lebih dari sekadar kagum. Sebaik apa pun Kai,
laki-laki itu tidak memenuhi syarat sebagai calon suami idaman.
Selain itu, rasanya hanya dia yang terpesona pada Kai, tidak seba-
liknya. Kai hanya menganggapnya teman biasa.
“Sudah seharusnya kalian lakukan itu. Tawaran yang nggak
boleh ditolak. Sudah saatnya kalian menjadi model internasional.”
“Bagiku ini cuma sementara. Ada batas usia untuk berkarier se-
bagai model. Usiaku sekarang dua puluh enam tahun. Aku ingin
berkarier sebagai dokter. Menyembuhkan banyak orang,” kata Kai.
“Aku juga, setelah tur selesai, aku akan sekolah akting. Itu per-
siapanku setelah tidak diperlukan lagi di dunia model.”
Maghali bergantian memandangi keduanya sambil tersenyum.
“Apa pun pilihan kalian, aku bangga pada kalian. Aku bersyu-
kur sekali sudah bertemu dan mengenal kalian.”
Dan saat kalian kembali ke Montreal, aku sudah tidak di sini lagi,
lanjut Maghali dalam hati.
Maghali memejamkan mata, menyadari sudah saatnya dia mun-
dur. Dia tidak punya rencana untuk datang lagi ke kota ini dalam
waktu dekat dan rasanya dia harus mengurungkan niatnya meng-
undang Kai datang ke Indonesia, negara tempat laki-laki itu lahir.
“Granny, I am home!”
Kai termangu, menjatuhkan tasnya begitu saja di lantai. Kebi-
asaannya masih belum bisa hilang. Memanggil neneknya tiap kali
dia membuka pintu. Seperti hari-hari kemarin, yang menyambut-
189
pustaka-indo.blogspot.com
nya hanya rasa sepi. Tapi, kali ini sunyi ini terasa semakin meng-
gigit. Bukan hanya dicabik kesepian, Kai merasa ada yang kosong
dalam dadanya. Seolah sebongkah hatinya terenggut paksa, men-
ciptakan lubang besar.
Dia sudah berusaha menghibur diri dengan berlama-lama di
wisma pengungsi, kemudian mampir ke rumah sakit mendongeng
untuk anak-anak. Tapi, hatinya tetap saja merasa sendu. Dia kehi-
langan rasa bahagia.
“Kenapa begini?” gumamnya kesal. Dia mengempaskan tubuh-
nya di sofa, matanya memejam, mulutnya meringis seolah mena-
han rasa pedih.
Neneknya sudah berbulan-bulan tiada, tapi dia masih saja me-
rasa sedih. Kai mengerjap, seraut wajah hadir dalam benaknya.
Rasa pilu ini bukan hanya karena neneknya sudah tidak ada lagi
di sini, tapi karena ada satu sosok yang juga pergi dari kota ini dan
tidak bisa dilihatnya lagi.
“Lili…,” gumamnya lirih.
Gadis itu pergi tanpa berpamitan padanya. Tidak memberi
kabar, itu rasanya sangat menyakitkan. Kai baru tahu Maghali su-
dah tidak di Montreal lagi dari Shabrina. Mengapa gadis itu tega
sekali? Padahal dia mengira hubungannya dengan Maghali sudah
cukup dekat. Bukan sekadar sebagai dua orang yang pernah ter-
libat kerja sama, tapi lebih dari itu. Teman dekat. Kai mengira
seperti itulah arti dirinya bagi Maghali. Bahkan jika berani jujur,
sedikit rasa lain mulai tumbuh di hatinya untuk gadis itu. Entah
sejak kapan, bisa jadi sejak gadis itu dia bawa ke rumah untuk ber-
temu dengan Granny. Makin dalam saat gadis itu terjerembap di
tumpukan salju. Tapi kenyataannya, Maghali pergi tanpa membe-
ritahunya, bahkan tidak menghubunginya setelah sampai di Indo-
nesia. Ini sangat menyakitkan. Dia merasa diabaikan.
190
pustaka-indo.blogspot.com
Kemudian terpikir olehnya, Shabrina dan teman-teman sekam-
pus Maghali pasti tahu nomor ponsel Maghali yang baru.
Kai bangkit dari duduknya di sofa dan segera mengambil
ponselnya. Dia menghubungi Shabrina. Tanpa curiga, gadis itu
memberikan nomor ponsel Maghali di Indonesia pada Kai.
Kai hampir saja menekan tombol kirim, setelah mengetik
serangkai kalimat yang sudah susah payah dia pikirkan untuk
Maghali. Tapi, tiba-tiba terbetik ide dalam kepalanya. Dia tidak
akan menghubungi Maghali dulu. Dia akan menyusun rencana.
Setelah semuanya siap, Kai akan membuat Maghali terkejut se-
tengah mati.
191
pustaka-indo.blogspot.com
22
Aroma Kayu Rumah Ibu
pustaka-indo.blogspot.com
akan menimbulkan kecurigaan. Sejujurnya, memang nama Zach
yang muncul dalam benaknya saat ini.
“Kalau kabar Bapak dan Ibu aku sudah tahu. Tadi kan aku sem-
pat kirim pesan mengabarkan aku sudah sampai,” elaknya mem-
bela diri.
Maura masih menatapnya curiga.
“Kalau Zach, aku kan sudah lama nggak dengar kabar dia. Be-
lum nanya ke kamu juga,” tambah Maghali.
“Kadang-kadang aku curiga, jangan-jangan kamu serius waktu
kamu bilang sebenarnya kamu naksir Zach.”
Maghali hampir tersedak, tapi menyamarkannya dengan terta-
wa. “Nggak. Memangnya cowok keren di dunia cuma Zach. Ba-
nyak kok. Di Montreal aku ketemu banyak.”
“Oya? Lalu, ada yang nyangkut, nggak? Kok kamu nggak per-
nah cerita? Setiap aku tanya soal itu, kamu malah ngobrolin yang
lain.”
“Karena memang belum saatnya untuk diceritain. Ayo ah, bu-
ruan pulang. Aku sudah nggak sabar mau ketemu Bapak dan Ibu.
Makan masakan Solo. Aku lapaaar,” elak Maghali, berjalan cepat
mendahului Maura sambil mendorong troli yang dipenuhi koper-
kopernya.
Maura termangu sesaat, lalu buru-buru mengejar langkah
Maghali.
“Li, kamu bawa oleh-oleh khas Montreal buatku, kan?” teriak
Maura sambil setengah berlari.
“Lihat nanti di rumah. Jadi, kita naik apa nih?”
Maura memberengut, tapi segera mengangkat teleponnya,
memberitahu Pak Sudi yang bertugas menyetir mobil. Tak lama
Maghali sudah merebahkan tubuhnya di jok belakang, sementara
Maura duduk di depan menemani Pak Sudi.
Maura menoleh bersiap menanyakan hal lain pada Maghali,
193
pustaka-indo.blogspot.com
tapi urung ketika dilihatnya Maghali langsung terlelap. Dia terse-
nyum, menyadari saudari kembarnya itu sangat kelelahan. Maura
kembali pada posisi duduknya menghadap ke depan. Mobil melaju
dengan kecepatan sedang langsung menuju rumah Pak Safri dan
Bu Haning, orangtua Maura dan Maghali.
Maghali mengerjapkan matanya beberapa kali setelah tubuh-
nya diguncang-guncang Maura. Baru sekarang terasa lelahnya
melewati perjalanan sekian lama. Namun, sambutan ibunya yang
hangat seolah melumerkan segala rasa letih. Maghali menghambur
keluar dari mobil, memeluk ibunya erat.
“Ibu nyiapin nasi liwet buat Lili, kan? Aku sudah kangen ba-
nget masakan Ibu. Setahun lho nggak makan masakan Ibu.”
“Semua makanan favoritmu sudah Ibu buatkan.”
“Ah, terima kasih, Bu.” Maghali mengecup pipi ibunya.
“Kamu kok kelihatan kurusan, Nduk?”
Wajah Maghali terasa merona mendengar ucapan ibunya itu.
“Masa sih, Bu? Ibu nggak bohong?”
“Iya, jadi makin mirip Maura gini lho.”
Maghali tak bisa mencegah senyum semringah menghias bibir-
nya. Sepanjang hari ini, ucapan ibunya itulah yang paling membu-
atnya bahagia.
“Di sana makanannya nggak seenak di sini, Bu. Aku kurang la-
hap makannya,” sahut Maghali menjawab dengan canda.
“Aduh, kasihan anak Ibu,” sahut Bu Haning sambil mengusap-
usap lengan Maghali.
“Nggak apa-apa, Bu. Malah bagus. Bikin aku makin langsing.”
“Ah, di sini seminggu, kamu juga bakal gemuk lagi,” sambar
Maura sambil terus berjalan masuk ke rumah tanpa menoleh pada
Maghali.
Maghali hanya melirik, sadar bahwa ucapan Maura itu kemung-
kinan memang akan terjadi. Tubuhnya memang tidak seperti tu-
buh Maura yang sulit gemuk. Tubuhnya sangat mudah bertambah
194
pustaka-indo.blogspot.com
berat hanya dengan makan enak lebih banyak daripada biasanya.
Maghali hampir yakin dia tak akan mampu menolak masakan ibu-
nya selama dia tinggal di sini. Maghali merangkul lengan ibunya,
lalu melangkah masuk bersama. Dia tersenyum senang bisa kem-
bali ke rumah yang baginya paling nyaman di dunia.
Setelah hari itu Maghali dibiarkan beristirahat, esok harinya
Maura tidak membiarkan Maghali menganggur terlalu lama. Dia
ingin Maghali langsung membuat sketsa baju pengantinnya.
“Aku pingin baju pengantin putih serba tertutup. Dengan keru-
dung ringan menjuntai sampai ke tumit. Bagian dada dibuat long-
gar supaya nggak membentuk tubuh. Kamu pasti sudah paham
bagaimana pakaian pengantin muslimah yang sesuai syariah tapi
tetap elegan dan bikin aku terlihat anggun.”
Kening Maghali berkerut. “Sebentar, kamu bilang pakaian pe-
ngantin muslimah? Serba tertutup? Nggak membentuk tubuh dan
dilengkapi kerudung?”
Maura mengangguk.
“Ooh, kamu pingin mencoba mengenakan pakaian pengantin
muslimah di acara pernikahan nanti supaya terasa sakral, gitu?”
“Bukan mencoba. Saat ijab kabul nanti, itulah pertama kali-
nya, dan Insya Allah seterusnya, aku akan mengenakan pakaian
muslimah.”
Maghali ternganga. “Maksudmu?”
“Aku berniat memakai hijab dan acara ijab kabulku menjadi
momen pertama aku memakainya.”
Maghali tersenyum lebar, matanya menatap Maura nyaris tak
percaya.
“Serius? Kamu mau pakai baju muslimah untuk seterusnya?
Setiap hari?”
“Iya, memangnya kenapa? Ada yang aneh? “
Maghali menggeleng. “Nggak aneh. Aku cuma nggak me-
nyangka. Ini kejutan luar biasa.”
195
pustaka-indo.blogspot.com
“Biasa saja. Bukan sesuatu yang istimewa. Sudah saatnya aku
memakainya.”
Maghali tersenyum, memeluk hangat Maura.
“Alhamdulillah. Aku senang, Ra. Aku akan buatkan baju pe-
ngantin terbaik untukmu. Aku akan bikin kamu terlihat makin can-
tik di hari spesialmu nanti. Bagai bidadari turun dari surga. Aku
buat Zach tercengang melihatmu, merasa menjadi laki-laki paling
beruntung dunia-akhirat.”
“Li, cantik fisik itu bukan hal yang penting. Yang utama cantik
hati, baik perilakunya.”
Maghali tertawa, mengangkat kedua telapak tangannya, mem-
beri tanda menyerah. “Oke, aku nyerah. Kamu berubah jadi bijak-
sana sekarang. Ngalahin aku.”
Dua minggu sebelum akad nikah, barulah Zach datang beser-
ta keluarganya. Zach memperkenalkan adiknya, Sarah dan Noah.
Ayahnya Mr. Abraham Mayers, ibu tirinya Bu Marinata, dan adik
tirinya Aleska. Ada laki-laki bernama Neil yang diperkenalkan se-
bagai “teman” Aleska. Gadis itu mengatakan mengajak Neil kare-
na temannya ingin tahu seperti apa Indonesia. Aleska sendiri gadis
Indonesia asli kelahiran Bandung. Dia akan mengajak Neil dan
Sarah ke beberapa tempat wisata. Minggu ini akan keliling Yogya
dan Semarang. Baru kembali ke Solo beberapa hari sebelum acara
pernikahan sang kakak tiri.
Diam-diam Maghali mengamati interaksi antara Zach dan
Aleska. Laki-laki dan perempuan yang menjadi saudara setelah
mereka menjelang dewasa. Cara Zach memandang Aleska, bagi
Maghali tidak biasa. Walau laki-laki bernama Neil itu hampir sela-
lu terlihat bersama Aleska. Hingga terbetik satu kesimpulan dalam
kepala Maghali. Saudari kembarnya akan menikah. Dia harus me-
mastikan Maura tidak salah pilih.
“Zach, bisa bicara sebentar?” tanya Maghali setelah acara peng-
ukuran tubuh Zach di ruang tamu rumah orangtua Maghali. Ga-
196
pustaka-indo.blogspot.com
dis itu minta bantuan sepupu laki-lakinya untuk mengukur tubuh
Zach. Maghali akan membuatkan dua pakaian pengantin untuk
Zach. Satu untuk akad nikah berupa jas putih dengan peci pu-
tih, satu untuk resepsi berupa pakaian adat Jawa, lengkap dengan
blangkon yang juga bernuansa putih. Sepupunya paham Maghali
butuh bicara hanya berdua dengan Zach, karena itu dia menying-
kir setelah menyerahkan catatan ukuran tubuh Zach.
“Ya? Apa yang ingin kamu bicarakan, Li?”
“Aleska, apakah dia gadis yang pernah menolak lamaranmu?”
tanya Maghali merendahkan suaranya. Zach tampak terkejut, ke-
palanya tersentak ke belakang, alisnya terangkat.
“Siapa yang mengatakan itu padamu?”
“Nggak ada yang bilang. Ini cuma pengamatan dan naluriku.
Dari caramu memandang Aleska, dari canggungnya sikap Aleska,
dan Neil yang tampak menahan cemburu.”
Zach tertawa kecil. “Kamu terlalu berimajinasi, Li. Semua
pengamatanmu itu salah.”
“Kamu berkata jujur? Kamu akan menikah dengan saudari
kembarku. Aku nggak mau Maura hanya jadi pelarian.”
“Aku sungguh-sungguh mencintai Maura. Cinta masa laluku
sudah nggak ada artinya lagi.”
Maghali tidak menyahut, hanya memandangi Zach.
“Aleska is my sister. Kami bersaudara. Lagi pula dia mencintai
Neil.”
“Kamu menyangkal pertanyaanku atau tidak ingin menjawab-
nya?”
“Pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Bahkan seharusnya per-
tanyaan itu nggak perlu ditanyakan. Beberapa hari lagi aku dan
Maura akan menikah. Itu kenyataan yang tidak terbantahkan.”
Maghali menatap Zach, lalu menghela napas dalam-dalam.
“Baiklah, aku percaya padamu. Jaga Maura baik-baik. Hargai dan
197
pustaka-indo.blogspot.com
cintai dia dengan tulus. Kalau kamu sampai menyakiti Maura,
kamu akan berhadapan denganku.”
Zach menyeringai samar. “Kamu lebih kejam dari ayahmu. Pak
Safri saja percaya penuh padaku. Nggak pernah mengancamku be-
gitu.”
“Aku nggak mengancam, cuma mengingatkan. Aku dan Maura
punya ikatan batin. Kalau kamu menyakiti Maura, aku juga akan
merasakan sakit.”
Zach tersenyum. “Berhentilah merasa cemas. Aku nggak akan
pernah menyakiti Maura.”
“Aku pegang janjimu.”
“Aku sudah berjanji pada Allah. Akan berusaha menjadi imam
yang baik untuk istriku kelak.”
Maghali terenyak. Ucapan Zach itu membuat hatinya ngilu.
Imam yang baik. Mengapa tiba-tiba dia merasa iri pada Maura?
Betapa beruntungnya Maura sudah menemukan calon imam yang
akan mendampingi hidupnya hingga akhir hayat. Kapankah dia se-
beruntung itu?
Maghali mengerjap, berusaha mengembalikan kesadarannya.
Nasib tiap manusia memang berbeda-beda, bagi sepasang kembar
sekalipun. Takdir hidup mereka tidak sama. Sekaranglah saatnya
Maura bersatu dengan jodohnya, sedangkan Maghali masih harus
sabar menunggu gilirannya merengkuh kebahagiaan hidup berpa-
sangan.
Maghali tersadar dari renungan singkatnya. Setelah memeriksa
kelengkapan ukuran untuk pakaian Zach, Maghali mempersilakan
Zach untuk mohon diri. Dia akan berjalan-jalan bersama keluar-
ganya ke Yogya. Dia tidak diperkenankan bertemu Maura sebelum
ijab kabul. Aturan yang semula membuat Zach heran, tapi tak akan
bisa dia tentang. Biar Aleska yang memandu keluarganya menje-
lajahi Yogya.
198
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali langsung memulai tugasnya membuat pakaian Zach.
Pegawainya di butik “Maghali” cabang Solo yang akan menjahit,
sementara dia yang merancang dan membuat pola.
Dia menyukai kesibukannya mengurus persiapan pernikahan
Maura. Membuatnya perlahan bisa melangkah maju, melupakan
semua kenangan indah di Montreal. Terutama, melupakan sosok
Kai Sangatta Reeves.
199
pustaka-indo.blogspot.com
23
White Wedding
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali tertawa. “Jangan salah, aku memuji pakaian rancang-
anku. Pakaian buatanku itu membuat kamu jadi terlihat semakin
tampan.”
Zach mengangguk-angguk. “Cukup adil. Rancanganmu ini
memang bagus dan nyaman sekali dipakai.”
“Untuk pernikahan teman baik dan saudari kembarku tersa-
yang, tentu aku harus memberikan rancangan terbaikku.”
“Terima kasih, Li. Kamu sangat membantuku dan Maura.”
“Tidak usah berterima kasih. Itu memang harus aku lakukan.”
Zach menghela napas panjang. “Aku gugup sekali,” katanya.
“Ah, aku yakin dengan kemampuanmu. Semua pasti berjalan
lancar.”
“Aku sudah berlatih semalaman, semoga pada waktunya nanti
aku sudah ahli.”
Maghali tertawa. “Cuma perlu mengucapkan beberapa kalimat.
Setelah itu kalian resmi menjadi suami-istri.”
“Zach.”
Panggilan itu membuat Zach dan Maghali menoleh. Aleska su-
dah berada di dekat mereka. Tersenyum dan mengangguk pada
Maghali.
“Bisa bicara sebentar, Zach? Sebelum acara dimulai?” tanya
Aleska.
Zach tampak agak bingung, namun dengan tangkas Maghali
menghentikan kebingungannya.
“Baiklah, aku pergi dulu. Aku harus melanjutkan mencari ibu-
ku. Oya, Zach, jangan lupa, pakai peci yang sudah kusiapkan, sena-
da dengan pakaianmu, saat ijab kabul nanti. Permisi,” kata Magha-
li, mengangguk dan tersenyum pada Aleska.
“Oke. Aku nggak akan lupa,” jawab Zach. Maghali masih sem-
pat mendengarnya sebelum dia berbalik dan melangkah menjauhi
Zach dan Aleska.
201
pustaka-indo.blogspot.com
“Ada apa, Aleska?” tanya Zach, segera beralih pada Aleska.
“Aku hanya ingin bilang, selamat. Hari ini kamu akan mema-
suki masa penting hidupmu.”
“Aku belum sah menikah sudah kamu beri selamat?”
Aleska tertawa kecil. “Apa bedanya? Beberapa menit lagi kamu
dan Maura akan resmi menjadi suami-istri.”
“Masih satu jam lagi. Tapi, terima kasih, aku anggap ucapan
selamat darimu sebagai doa.”
“Aku selalu mendoakanmu.”
“Aku juga. Kapan kamu berniat menyusulku dan Maura?”
“Aku nggak harus menyusul kamu.”
“Jangan terlalu lama berhubungan dekat dengan seorang laki-
laki tanpa ada kejelasan.”
“Kamu sendiri butuh satu tahun meresmikan hubunganmu de-
ngan Maura, setelah kamu melamarnya.”
“Tapi, aku sudah memberi kepastian. Bagaimana dengan Neil?”
“Zach, please. Aku baru saja mengucapkan selamat untukmu,
jangan kamu bikin kacau. Besok, aku akan mengajak Neil dan Sa-
rah jalan-jalan ke Lombok. Biar mereka tahu seperti apa bagian
Indonesia yang lain.”
“Aku peduli padamu, Aleska. Tapi, aku nggak akan ikut campur
urusanmu lagi. Kamu sudah dewasa. Kamu tahu apa yang baik un-
tukmu dan yang tidak melanggar aturan agama.”
“Cukup doakan aku, Zach,” sahut Aleska. Setelah mengucap-
kan itu, Aleska permisi, meninggalkan Zach sendiri.
Beberapa anggota keluarga besar Maura hilir-mudik di depan-
nya. Zach kembali masuk ke kamar, mengambil peci yang berwar-
na senada dengan jas off white yang dipakainya. Lalu dia menutup
pintu dan berjalan keluar rumah. Dia masih punya waktu meli-
hat-lihat keadaan sebelum acara dimulai. Baru saja dia keluar pin-
202
pustaka-indo.blogspot.com
tu utama, salah satu dari anggota keluarga Maura menghentikan
langkahnya.
“Mister Zach, ini ada tamu. Katanya nyari Mbak Lili.”
Zach mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki tegap di
samping pemuda itu.
“Hello, I am Kai Sangatta Reeves. I am from Montreal. Can I
meet Lili? Maghali?”
Alis Zach terangkat mendengar laki-laki itu menyebut
Montreal. Baru dua bulan lalu Maghali kembali dari Montreal.
Sudah ada laki-laki yang menyusulnya ke sini. Dan laki-laki itu
tampan.
“Hello, I am Zach. Hari ini aku akan menikah dengan saudari
kembar Maghali. Sebentar, akan kupanggilkan Lili. Silakan duduk
dulu di salah satu kursi di sana,” jawab Zach, sambil menunjukkan
deretan kursi lipat yang sudah ditata apik di pekarangan rumah.
“Okay, thank you,” sahut laki-laki itu.
Bergegas Zach masuk ke rumah, menanyakan kepada siapa saja
yang ditemuinya di dalam rumah, apakah melihat Maghali. Salah
satu memberitahu, Maghali ada di kamar Maura, sedang mem-
bantunya berdandan. Zach setengah berlari menuju kamar calon
istrinya itu.
“Hello, ada Lili di dalam?” tanyanya setelah mengetuk pintu ka-
mar Maura tiga kali.
Maura tersentak. Dia menoleh ke arah pintu, lalu ke arah
Maghali.
“Seperti suara Zach. Ngapain dia ke sini? Dia belum boleh me-
lihatku,” kata Maura pada Maghali.
“Tapi, kayaknya dia cari aku. Aku lihat dulu ya.”
Tanpa menunggu persetujuan Maura, Maghali menuju pintu,
membukanya sampai selebar kepalanya. Dia menyembulkan sepa-
ruh wajahnya keluar pintu.
203
pustaka-indo.blogspot.com
“Ada apa, Zach?”
“Lili, ada yang mencarimu di luar.”
“Mencariku? Siapa? Dari mana?”
“Katanya dari Montreal.”
Belum sempat Maghali menjawab, Maura sudah muncul di be-
lakangnya, membuka pintu lebar-lebar, membuat Maghali tersen-
tak.
“Dari Montreal mencari Lili sampai sini? Laki-laki?” tanyanya
antusias, membuat kening Maghali berkerut melihatnya.
Zach mengangguk. “Katanya namanya... Kai siapa, gitu,” ucapnya.
Maghali terbelalak, mulutnya terbuka lebar, tak percaya men-
dengar ucapan Zach. Tapi, Zach tak mungkin mengerjainya. Dia
tidak menceritakan kepada siapa pun tentang Kai, bahkan pada
Maura sekalipun.
“Lili, ternyata kamu… ketemu jodoh di sana,” ucap Maura
sambil melirik Maghali. Maghali belum sempat membantah, Mau-
ra sudah berbicara lagi, kali ini kepada Zach.
“Is he handsome?”
“Ra, itu pertanyaan macam apa sih? Nggak relevan! Lagi pula,
calon pengantin tidak boleh ketemu sebelum ijab kabul!” sergah
Maghali sambil menarik lengan Maura, menyeret saudari kembar-
nya itu ke belakangnya. Untung tadi mereka belum memasangkan
hijab yang bagi Maura akan jadi unsur kejutan untuk suaminya.
“Ya, dia ganteng dan tinggi. Menurutku dia pantas menja-
di model,” Zach masih menjawab pertanyaan Maura, membuat
Maghali mendelik padanya, sementara Maura semakin penasaran
dan kembali merangsek maju.
“Model? Wow! Ada model ganteng jauh-jauh dari Montreal
nyari Lili? Ini luar biasa!”
Maghali meringis, menahan kesal dengan sikap ingin tahu
Maura.
204
pustaka-indo.blogspot.com
“Dia pasti suka banget sama kamu, sampai-sampai ngejar kamu
ke sini,” lanjut Maura. Dia tersenyum menggoda.
“Dia nggak ngejar aku. Dia itu keturunan Indonesia. Mungkin
kebetulan lagi mudik lalu mampir ke sini.”
“Oooh, keturunan Indonesia, tapi warga negara Kanada?”
Maghali mengembuskan napas agak keras.
“Ceritanya panjang. Sudah ya, aku temui dia dulu. Terima ka-
sih, Zach,” kata Maghali, lalu bergegas keluar kamar.
Maura ikut berjalan mengejar Maghali, tapi Zach dengan cepat
menarik lengannya. “Kamu mau ke mana, Maura?”
“Aku mau melihat seperti apa calon suami Lili.”
“Nggak perlu. Sebentar lagi kita kan akan menikah. Fokus pada
urusan kita. Soal calon Lili, nanti kalau mereka menikah, kita bisa
melihatnya.”
“Tapi aku pingin tahu seperti apa.”
“Sudahlah, setampan-tampannya dia, masih lebih tampan ca-
lon suamimu ini.”
Maura terdiam, lalu tertawa. “Oke, sekarang pergi kamu dari
sini. Kita bertemu nanti saat ijab kabul.”
“Aduh, lagi-lagi peraturan itu!”
“Sudah, patuhi saja. See you soon, Zach,” sahut Maura. Dia me-
ngedipkan mata sebelum menutup pintu.
Maghali sudah sampai di luar rumah, disambut Kai yang lang-
sung berdiri saat melihatnya muncul. Maghali benar-benar ter-
kejut. Bermimpi pun dia tidak pernah. Kai benar-benar datang
menemuinya. Ini tidak masuk akal, tapi kenyataannya sungguh
terjadi. Kai Sangatta Reeves. Beberapa bulan lalu laki-laki itu ma-
sih keliling Eropa bersama Isabelle. Detik ini, sudah berdiri di sini.
Di kota kecil pulau Jawa, yang jaraknya bermil-mil dari Montreal.
“Kai? How can you get here?”
“Hello, Lili. How are you?”
205
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali menggeleng-geleng. “Ini bagai mimpi. Bagaimana
kamu bisa ada di sini? Ini benar kamu? Kai Sangatta Reeves? Bu-
kan hologram? Atau mimpi?”
Kai menyentil ujung hidung Maghali.
“Aww!” pekik Maghali, sakit bercampur terkejut, tak menduga
Kai akan melakukannya.
“Sakit?”
“Tentu saja!”
“Itu artinya, kamu nggak mimpi.”
Maghali mengelus-elus ujung hidungnya. Rasa sakitnya sudah
hilang. “Bagaimana kamu bisa ada di sini, tepat di saat ini?” Lagi,
Maghali bertanya penuh rasa ingin tahu.
“Apa yang aku tidak bisa?”
Maghali mendelik. “Ada perlu apa kamu ke Indonesia? Kupikir
kamu sedang sibuk mengembangkan karier modelmu. Setelah ke-
liling Eropa, lalu keliling Amerika.”
“Aku datang ke sini khusus untuk menemuimu,” jawab Kai de-
ngan suara tenang.
Maghali terpaku untuk sesaat.
“Kamu pergi tanpa memberitahuku. Sama sekali. Walau seka-
dar pesan. Itu membuatku kecewa,” lanjut Kai, kali ini suaranya
bernada menyindir.
“Kamu kan sedang di Eropa.”
“Tapi, kamu bisa menghubungiku. Aku tidak bisa menghu-
bungimu karena nomormu sudah kamu ganti dengan nomor In-
donesia.”
“Karena kecewa, sekarang kamu ke sini menemuiku?”
“Aku menyusulmu ke sini karena aku nggak mau kehilangan
kamu lagi,” katanya dengan raut wajah serius. Maghali terpana.
Perasaannya semakin tidak keruan. Sesaat mulutnya terkunci,
ujung bibirnya bergetar.
206
pustaka-indo.blogspot.com
“Mbak, nuwun sewu11, acaranya sudah mau dimulai.” Seorang
sepupu Maghali mengingatkannya. Dia menoleh, mengembuskan
napas lega terbebas dari keadaan canggung. Dia mengangguk pada
sepupunya itu, menjawab akan segera masuk. Lalu, dia kembali
memandang Kai yang masih belum berpaling darinya.
“Kai, sebentar lagi acara akan dimulai. Kita lanjutkan pembi-
caraan kita nanti. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Setelah pengantin
mengucapkan janji pernikahan, akan ada resepsi sederhana di sini.
Kamu bisa melihat upacara pernikahan adat Jawa.”
“Baiklah. Sepertinya menarik. Aku ingin tahu seperti apa upa-
cara pernikahan di sini. Mungkin aku akan menikah dengan cara
seperti ini juga.”
Maghali membelalak. “What did you say?” tanyanya.
“I said maybe. Just maybe,” jawab Kai.
Maghali mulai sebal dengan celetukan Kai yang bisa membuat-
nya salah paham. Dia segera permisi masuk ke rumah. Semua pihak
sudah bersiap. Duduk di kursi yang disediakan di ruang tamu ru-
mah Pak Safri yang luas. Zach duduk didampingi sepupu Maghali
yang akan menjadi penerjemah. Ijab kabul akan diucapkan dalam
bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indone-
sia. Penghulu sudah siap. Pak Safri juga sudah siap menjadi wali
bagi anak perempuan pertama yang akan dilepaskannya. Para tamu
undangan duduk di kursi yang ditata mengelilingi meja kursi tem-
pat ijab kabul akan dilakukan.
Mata Zach membulat ketika Maura dituntun keluar dari kamar
dengan dandanan pengantin lengkap dengan hijab putihnya yang
menjuntai anggun. Maura memang cantik sekali, benar-benar
manglingi, kalau kata orang Jawa. Sepertinya kejutan yang direnca-
nakannya bagi Zach berhasil.
11
Permisi (bahasa Jawa).
207
pustaka-indo.blogspot.com
Tanpa sadar, air mata Maghali menitik setelah Maura dan Zach
resmi menjadi suami-istri. Bu Haning sudah menangis haru ber-
campur bahagia sejak Zach mengucapkan janjinya. Pernikahan
yang indah, yang mungkin diidamkan banyak orang yang belum
menikah. Maghali salah satunya, yang mendambakan pernikahan
seindah ini.
Setelah shalat zuhur, acara dilanjutkan dengan upacara adat
Jawa. Setelah shalat ashar barulah resepsi. Tamu-tamu adalah te-
tangga keluarga ini, juga beberapa teman dan kolega Maura.
Ada juga beberapa media yang meliput. Maura tidak mengun-
dang mereka. Tapi, para pewarta infotainment itu dengan mudah
mengendus rencana Maura ini. Resepsi pernikahan sederhana
yang diselenggarakan di halaman rumah Pak Safri yang luas. Wa-
lau bukan pesta mewah, makanan yang disediakan cukup untuk se-
mua tamu yang datang. Menu yang disajikan bukan hanya masakan
khas Jawa, tapi juga masakan Eropa-Australia.
Maghali ikut sibuk mengawasi semuanya dan memantau keter-
sediaan makanan. Di sela kesibukannya, dia menyempatkan diri
berbincang dengan Kai. Laki-laki itu sangat menikmati pesta per-
nikahan ini. Apalagi saat disajikan tarian Solo, kemudian tembang
dalam bahasa Jawa. Kai merasa antusias, bahagia mengenal salah
satu dari sekian banyak budaya Indonesia.
Dia sudah mengunjungi Sangatta dan tinggal dua minggu di
sana. Melihat budaya setempat yang berbeda dengan tempat ke-
lahiran Maghali ini. Dia takjub segala perbedaan ini bisa menjadi
satu sebagai Indonesia.
Menjelang magrib pesta berakhir. Maura memang tidak ingin
pesta terlalu lama. Baginya sudah cukup semua tetangga terdekat-
nya datang. Cukup membludak. Bahkan yang tidak diundang pun
datang. Dua jam menerima tamu baginya sudah cukup. Sejak awal
dia memang tidak ingin pesta mewah berhari-hari. Dia tak ingin
mubazir. Selain diundang ke pesta, tetangga-tetangganya sudah
208
pustaka-indo.blogspot.com
mendapat bingkisan yang dibagikan ke rumah masing-masing.
Yang terpenting bagi Maura, kini dia dan Zach sudah sah menjadi
suami-istri.
Maghali ikut sibuk membereskan sisa-sisa pesta. Kai masih se-
tia menunggu. Setelah selesai shalat magrib, Maghali baru mene-
mui Kai lagi. Maura dan Zach yang sudah berganti pakaian biasa
ikut bergabung.
Maura sudah melihat Kai sekilas sepanjang acara. Tapi, baru
kali ini dia benar-benar bisa melihat laki-laki Montreal itu lebih
jelas. Maura hampir tak berkedip saat Maghali memperkenalkan
Kai padanya. Bukan berarti dia tertarik pada Kai. Tentu saja bagi-
nya Zach laki-laki tertampan di dunia dan yang paling peduli pa-
danya. Maura takjub karena laki-laki yang mengejar Maghali dari
Montreal hingga ke kota Solo ini semenarik Kai. Pantas saja.
Maura menyikut Maghali yang berdiri di sebelahnya.
“Jangan lepaskan dia, Li. Dari cara memandangmu, aku bisa
menilai dia laki-laki baik,” bisik Maura.
Pipi Maghali bersemu merah, namun dia lega saat sadar Zach
dan Kai tidak paham bahasa Indonesia.
“Sejak kapan kamu bisa menilai karakter orang dengan benar?”
“Jangan nyindir. Buktinya aku menerima lamaran Zach. Berarti
penilaianku tepat, kan.”
“Kai hanya teman. Aku nggak mau ge-er mengira dia menyu-
kaiku.”
“Dia jauh-jauh datang dari Montreal ke sini untuk menemui-
mu, pasti karena dia menyukaimu. Eh, atau kamu memang meng-
undangnya datang ke pernikahanku?”
“Aku nggak ngundang dia.”
“Sudah, kamu ngobrol sana sama dia. Urus tamumu itu. Biar
aku dan Zach mengurus tamu-tamu kami,” kata Maura, mendo-
rong pelan Maghali dengan bahunya.
209
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali tersenyum canggung saat secara berbarengan Kai dan
Zach melihat ke arahnya.
“Kai, let's have a talk now,” ajak Maghali.
Kai mengangguk, lalu berjalan di sisi Maghali mengiringi lang-
kahnya. Maghali mengajak ke halaman samping rumah. Ada bu-
ngalow dengan meja bundar dan tiga kursi mengelilinginya. Di
sampingnya terdapat kolam penuh berisi ikan koi, gemerecik air
meneduhkan suasana. Kai terkesima melihatnya. Taman yang asri
dan teduh. Tepat untuk cuaca tropis. Di Montreal, dia tak mung-
kin memiliki taman seperti ini di luar rumah. Ikan-ikan itu akan
merana saat musim dingin.
Maghali duduk di salah satu kursi, Kai mengambil tempat di
seberangnya. Kini mereka berhadapan, saling pandang. Lampu-
lampu taman sudah dinyalakan, membuat tempat ini terang ben-
derang. Di sekeliling mereka masih banyak orang berlalu lalang.
Tetangga yang terlambat datang masih memaksa berkunjung
mengucapkan selamat kepada pasangan pengantin baru. Bebera-
pa orang masih sibuk membereskan sisa-sisa pesta. Secara teknis,
Maghali dan Kai tidak hanya berduaan di tempat ini.
“Jadi, tolong ceritakan apa yang kamu lakukan di sini? Aku ya-
kin kamu ke sini bukan cuma untuk menemuiku,” tanya Maghali.
“Aku ke sini karena sekarang aku bekerja di Indonesia,” jawab
Kai. Dia menopang lengannya di meja, memajukan tubuhnya
hingga semakin dekat dengan Maghali.
Maghali tersentak, matanya mencelang.
“Kamu bekerja di Indonesia? Di kota apa? Sebagai apa?” tanya-
nya beruntun. Ini adalah informasi yang tak terduga.
“Aku jawab satu per satu. Aku bekerja di Sangatta, menjadi
dokter relawan di pedalaman.”
Maghali mengerjap, hampir tidak memercayai pendengaran-
nya. “Kamu bekerja di pedalaman Kalimantan tidak dibayar? Su-
karela?” tanyanya.
210
pustaka-indo.blogspot.com
“Aku bekerja di bawah lembaga yang menyalurkan dokter ke
berbagai tempat di dunia. Ya, sebagai relawan, kami tidak digaji,
tapi kami diberi uang untuk biaya hidup selama sebulan dengan
standar hidup di tempat kami bertugas. Aku mendaftar sejak dua
bulan lalu. Sengaja aku memilih Sangatta sebagai tempat penugas-
an. Seminggu kemudian permohonanku dikabulkan. Persiapanku
singkat, mengurus berkas-berkas, menitipkan rumah Granny pada
Selena.”
Maghali tak bersuara, menunggu Kai melanjutkan ceritanya.
“Di Sangatta aku sudah punya beberapa teman. Aku ceritakan
ingin ke Solo mencari seseorang. Saat kusebutkan namamu, dia
langsung mengenalmu. Katanya, kamu adalah saudari kembar artis
top Indonesia. Dia menanyakan ke temannya yang tinggal di Solo
apakah tahu di mana rumahmu. Voila! Dia tahu! Keluargamu be-
nar-benar terkenal di kota ini.”
Mulut Maghali masih ternganga. Tidak menduga Kai akan se-
nekat ini. Meninggalkan karier modelnya yang mapan dan mulai
menanjak untuk menjadi dokter sukarelawan di pedalaman Kali-
mantan. Apakah ada laki-laki lain yang seperti Kai?
“Lalu di sini kamu menginap di mana?”
“Di salah satu hotel di kota ini.”
“Sampai kapan rencanamu di sini?”
“Sampai aku selesai bicara denganmu. Ada hal penting yang
ingin kutanyakan.”
Kening Maghali mengernyit. Dengan polosnya dia bertanya,
“Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Aku menyukaimu,” ucap Kai tanpa basa-basi.
Maghali terenyak, matanya membulat. Tiba-tiba dia sesak na-
pas. Perlahan dia menarik napas lalu mengembuskannya. “Itu bu-
kan pertanyaan,” ralatnya.
“Apakah kamu bisa membalas perasaan sukaku?” tanya Kai.
211
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali menelan ludah.
“Itu pertanyaanku,” lanjut Kai.
Lidah Maghali terasa kaku. Dia tidak bisa berkata-kata. Dia ha-
rus menjawab apa? Ini benar-benar mengejutkannya. Jantungnya
rasanya tidak sanggup dibuat terkejut berkali-kali.
“Bagaimana kamu bisa menyukaiku? Menyukai seperti apa
maksudmu?”
Kai menghela napas. Dia menoleh, mengalihkan pandangan-
nya pada ikan yang hilir-mudik di dalam kolam. Cahaya dari lampu
taman di empat sudut kolam memantul di permukaan air kolam.
“Aku menyadarinya saat aku tahu kamu sudah tidak di Montreal
lagi. Aku merasa sangat kesepian. Sejak lama aku tidak punya teman
dekat. Tapi, dulu aku baik-baik saja. Kehilangan dua orang seka-
ligus sungguh sangat menyakitkan. Granny meninggalkanku, lalu
kamu pergi juga. Aku kehilangan gairah hidup. Sampai kemudian
kolegaku di rumah sakit mengabarkan tentang program dokter su-
karela untuk ditempatkan di berbagai lokasi di dunia. Pedalaman
Kalimantan salah satu lokasi tujuannya. Aku langsung merasa itu
adalah petunjuk dan jalan bagiku untuk bertemu denganmu lagi.”
“Kai,” ucap Maghali.
“Apakah kamu tidak menyukaiku, Li?” Kai bertanya tergesa.
“Aku… juga suka padamu. Tapi, kamu tahu, kan? Kita punya
banyak perbedaan.”
“Perbedaan apa? Aku separuh Indonesia.”
Alis Kai terangkat, menyadari satu hal yang menghalangi
Maghali jujur pada perasaannya. “Aku tidak beragama? Itu yang
menahanmu?”
Lidah Maghali masih kelu. Tapi, perlahan dia mengangguk.
Dia tidak ingin memberi harapan pada Kai. Kenyataannya, dia ti-
dak bisa menerima Kai.
Dia kagum pada prinsip Kai yang sangat peduli pada sesama.
Dia tahu pemuda itu berpendapat agama hanya membuat manu-
212
pustaka-indo.blogspot.com
sia berdebat tanpa akhir, saling merasa sebagai umat yang paling
benar. Maghali tahu, Kai percaya ada kekuatan mahadahsyat yang
mengatur jalannya alam semesta. Tapi, pemuda itu tidak peduli
dengan segala macam aturan yang mengikat pemeluk agama apa
pun. Maghali tidak bisa menerima perbedaan pemikiran ini.
“Benar, Kai. Itulah sebabnya. Maafkan aku. Tapi, aku senang
mengetahui kamu ada di sini, di Indonesia. Sewaktu-waktu saat
aku ada tugas ke Balikpapan, aku bisa mampir ke tempatmu.”
“Aku benar-benar tidak punya kesempatan sedikit pun?” tanya
Kai, masih pantang menyerah.
“Kita masih bisa berteman baik,” jawab Maghali tak ingin ber-
panjang kata.
Kai menatap mata Maghali lama. “Aku ingin lebih dari teman,”
katanya tegas.
Maghali menggeleng. “Tidak bisa untuk sekarang ini.”
Kai tersenyum lebar. “Tidak bisa sekarang itu artinya suatu saat
mungkin bisa,” katanya.
“Tergantung kamu.”
Sahutan Maghali itu ditangkap Kai sebagai kode memberi ha-
rapan. “Baiklah, kamu boleh menolakku sekarang. Tapi, lain kali,
aku akan membuatmu menerimaku.”
Maghali tersenyum gugup, ujung bibirnya bergetar. Tapi, dia
berusaha bersikap tegar.
“Aku masih dua hari lagi di Solo. Bisa kan menemaniku berke-
liling Solo?” pinta Kai.
Untuk permintaan ini, Maghali sanggup memenuhinya. Dia
mengangguk. Dia pasti bisa bersikap hanya sebagai teman dalam
dua hari ini.
Setelah itu, semoga kehidupannya bisa kembali normal.
213
pustaka-indo.blogspot.com
24
Sangatta
pustaka-indo.blogspot.com
aku baru selesai mengikuti acara fashion show di Balikpapan. Kena-
pa? Apa kamu sedang tidak berada di Sangatta?”
“Aku masih di sini. Cukup betah tinggal di sini. Hanya saja,
kalau kamu memberitahuku lebih dulu, aku bisa menjemputmu ke
Balikpapan.”
“Tidak perlu. Aku sudah membeli tiket pesawat ke sana. Satu
jam lagi pesawatnya berangkat.”
“Satu jam lagi? Kamu tahu, berapa lama waktu yang aku butuh-
kan dari pedalaman tempat aku bertugas menuju Sangatta?”
“Aku nggak tahu. Berapa lama?”
“Empat jam.”
“Lama banget.”
“Setelah kamu sampai di Sangatta, tunggulah sampai aku da-
tang. Ada banyak restoran di Sangatta. Kamu bisa menunggu di
sana. Sudah ya, aku berangkat sekarang juga.”
Telepon berakhir. Maghali menunggu pesawat membawa-
nya ke Sangatta. Dua jam kemudian dia sudah berada di kota itu.
Ternyata Sangatta kota yang cukup ramai. Banyak restoran cepat
saji. Maghali memilih masuk ke sebuah kafe. Memesan secangkir
cokelat panas dan pisang panggang. Dua jam kemudian Kai baru
mengabarkan dia sudah sampai. Maghali bergegas keluar kafe dan
menemui Kai yang baru saja memarkir motor di halaman kafe itu.
“Lili! Kamu ada di sini. Di pedalaman pulau ini, di Sangatta,”
sambut Kai tersenyum lebar. Wajah Kai tampak begitu bahagia
melihat kehadiran Maghali.
“Aku tinggal di Indonesia lebih lama darimu. Aku nggak mau
kalah sama kamu. Aku juga ingin tahu, Sangatta itu seperti apa.”
Kai masih tersenyum, memandangi Maghali penuh arti.
Maghali salah tingkah, lalu mengalihkan pandangan ke sekeliling-
nya.
“Jadi, di mana kamu tinggal?”
215
pustaka-indo.blogspot.com
“Cukup jauh dari sini, di sebuah desa.”
“Aku kira kamu tinggal di kota ini. Di sini cukup ramai. Kenapa
kamu nggak tinggal di sini saja?”
“Di sini sudah banyak dokter. Di pedalaman kan jarang ada
dokter.”
“Aku benar-benar nggak menyangka kamu mau menyusahkan
diri.”
“Kalau nggak ada dokter yang mau dengan sukarela ditugaskan
di pedalaman, siapa yang akan mengobati mereka saat mereka sa-
kit?”
Maghali mengakui, apa yang diucapkan Kai itu benar. Dia be-
lum pernah tinggal di pedalaman, tidak tahu seperti apa susahnya
hidup di sana. Dia tinggal di kota yang fasilitas umumnya lengkap.
Beruntung ada orang-orang seperti Kai yang punya pemikiran se-
perti ini, ingin menolong tanpa pamrih.
Maghali melirik motor yang terparkir di sebelah Kai. Motor
manual yang tampak masih baru. Selama di Montreal dulu, dia
tidak pernah melihat Kai naik motor. Kai menyerahkan sebuah
helm pada Maghali. Maghali bersyukur kali ini dia mengenakan
kulot sehingga bisa membonceng lebih mudah.
“Serius nih? Kamu betul bisa mengendarai motor?” Maghali
bertanya sangsi.
“Hei, apa sih yang aku nggak bisa,” Kai tersenyum menggoda.
“Ngomong-ngomong kamu berencana tinggal berapa hari di tem-
patku nanti?”
“Aku nggak akan tinggal di tempatmu.”
“Tapi, melelahkan kalau kamu kembali ke kota hari ini juga.”
“Nggak apa-apa,” sahut Maghali keras kepala.
Kai tidak bicara lagi. Dia menunggu Maghali duduk nyaman di
boncengan. Menahan geli menyadari gadis itu kerepotan menahan
tubuhnya agar tidak menempel dengan tubuh Kai. Maghali mele-
216
pustaka-indo.blogspot.com
takkan tasnya di antara tubuhnya dan tubuh Kai sebagai pembatas.
“Siap?” tanya Kai.
Maghali menyahut, ”Siap!”
Tapi, begitu motor mulai melaju, refleks Maghali memegangi
erat kanan-kiri jaket Kai. Jalan yang mereka lalui bentuknya ber-
macam-macam, beberapa meter lumayan mulus, lalu berbatu-
batu, berikutnya tanah liat. Saat melewati jalan yang tidak mulus,
tubuh Maghali ikut terguncang-guncang, pegangannya pada jaket
Kai semakin erat. Sepanjang perjalanan dia tak bicara. Dia sudah
mencoba sekali, tapi suaranya tenggelam di antara deru suara mo-
tor. Akhirnya Maghali memilih pasrah, berharap perjalanan ini
segera berakhir.
Empat jam kemudian Kai mulai membelokkan motornya me-
nuju jalan setapak. Keadaan jalan lebih parah lagi, naik-turun dan
berbatu-batu. Tampak sebuah rumah sederhana. Motor terus me-
laju, sekitar lima puluh meter kemudian baru ada rumah lainnya.
Setelah melewati lima rumah dengan jarak satu sama lain berjauh-
an, sampailah mereka di depan rumah kecil berdinding bata hanya
satu meter, sisanya papan, bercat biru-putih. Di atas pintu masuk
terpasang papan bertuliskan: Klinik Dokter Kai Sangatta.
Kai menghentikan motornya. “Sudah sampai. Di sinilah klinik
sekaligus tempat tinggalku.”
“Sepi banget.”
“Ini masih bagian Indonesia yang baru kamu tahu sekarang,
kan?”
“Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya jauh, ya.”
“Yang datang ke klinik ini ada juga dari desa-desa sebelah. Le-
bih dekat ke sini daripada ke rumah sakit di kota.”
“Bagaimana kalau ada yang akan melahirkan? Harus ke kota?
Naik motor dengan jalur seperti tadi? Aduh, bisa melahirkan di
jalan.”
217
pustaka-indo.blogspot.com
Kai tersenyum. “Jangan cemas, ada bidan yang bekerja di klinik
ini juga.”
Maghali terbeliak. “Bidan? Bekerja denganmu di sini?”
Kai tersenyum dan mengangguk.
“Perempuan?”
“Tentu.”
“Mm… masih muda?” tanya Maghali lalu menggigit bibirnya.
“Young and pretty,” jawab Kai.
Maghali menelan ludah.
“And… smart,” lanjut Kai.
“Dia tinggal di sini juga?”
Belum sempat Kai menjawab, muncul seorang perempuan
muda mengenakan gaun terusan berbunga-bunga kecil dengan jas
panjang berwarna putih. Tanpa sadar mata Maghali sedikit mem-
besar. Perempuan itu cantik. Dengan rambut hitam lebat dibiar-
kan terurai melebihi bahu. Alis yang sangat tebal hampir bertaut.
Mata yang bening dan senyum yang teduh. Maghali benar-benar
tak bisa membayangkan Kai tinggal dengan perempuan seperti ini
hanya berdua.
“Halo, selamat datang. Ini Mbak Lili, ya?” sapa gadis itu.
Maghali mengangguk dan tersenyum canggung.
“Saya Adelia. Dokter Kai bercerita banyak tentang Mbak Lili,”
ucap gadis itu seraya mengulurkan tangan pada Maghali. Maghali
menerimanya sambil melirik Kai.
“Oya? Kai cerita banyak tentang aku? Apa yang diceritakan
Kai? Semoga yang baik-baik, ya.”
“Oh, tentu. Dari ceritanya, saya bisa menebak, Dokter Kai sa-
ngat mengagumi Mbak Lili. Mari masuk, Mbak.”
Maghali membuka sepatunya dan melangkah masuk. Walau
rumah itu sederhana, lantainya dari keramik berwarna putih. Tan-
da terawat dengan baik kebersihannya.
218
pustaka-indo.blogspot.com
“Jadi, klinik ini dibagi dua, untuk dokter umum dan bidan?”
“Begitulah, Mbak. Di sini semua serba terbatas. Tapi, kami
berusaha bekerja sebaik mungkin.”
Adelia mempersilakan Maghali duduk di kursi panjang dari
kayu yang biasa digunakan warga saat menunggu giliran diperiksa.
Maghali segera duduk, Adelia duduk di sebelahnya, sementara Kai
duduk di kursi panjang lainnya.
“Kamu tinggal di mana?” Akhirnya pertanyaan yang sejak tadi
tertahan di ujung mulut Maghali terlontar juga.
“Di rumah sebelah, empat puluh meter dari sini. Ada seorang
ibu yang sudah menjanda, tinggal bersama dua anaknya. Mereka
senang sekali ada saya yang membuat rumah mereka jadi tidak ter-
lalu sepi.”
Maghali mengangguk-angguk, diam-diam mengembuskan na-
pas lega. Tapi, kemudian matanya membesar, dia menoleh pada
Kai.
“Dan kamu, Kai, tinggal di mana?”
“Di klinik ini. Ada kamar kosong di bagian belakang. Kecil tapi
lumayan.”
“Eh, sebentar, saya ambilkan minum dulu, ya. Mbak Lili pasti
capek dan haus setelah melalui perjalanan jauh.”
Adelia bangkit berdiri, bergegas masuk ke klinik.
“Bagaimana? Apakah kamu berminat tinggal di sini?” tanya Kai
pada Maghali setelah sosok Adelia sudah tak terlihat.
“Sepertinya tidak dalam jangka panjang. Terlalu terpencil.
Tapi, kalau hanya berkunjung sebentar, masih oke.”
“Setiap jengkal tanah di sini adalah negerimu, Li. Apa kamu
nggak pingin tahu?”
Maghali hanya diam, dia tak tahu harus menjawab apa, kare-
na yang diucapkan Kai itu benar. Kai yang belum lama berada di
sini sudah merasa betah. Sementara dia yang sudah puluhan tahun
219
pustaka-indo.blogspot.com
menjadi warga negara Indonesia, baru beberapa tempat saja yang
dengan sukarela dia kunjungi.
“Aku sudah bisa sedikit berbahasa Indonesia. Adelia yang
mengajariku. Di sini, cuma dia satu-satunya yang bisa bahasa Ing-
gris,” kata Kai. Penjelasan itu membuat perasaan waswas dalam
hati Maghali semakin bertambah.
“Adelia juga pandai mengaji. Aku belajar mengaji dari dia,” lan-
jut Kai.
Kali ini alis Maghali terangkat, mulutnya terbuka, tak percaya
dengan apa yang didengarnya. “Kamu belajar mengaji?” tanyanya,
intonasi suaranya meninggi.
“Ya, kenapa?”
“Buat apa?”
“Aku membeli Al-Qur'an dengan terjemahan bahasa Inggris-
nya di Montreal. Aku ingin tahu bagaimana cara membaca tulisan
Arab-nya dan ingin lebih memahami artinya.”
“Kamu ingin memahami? Kamu bilang nggak tertarik pada
agama apa pun.”
“Aku bilang begitu, tapi sebenarnya aku belum pernah mem-
baca isi ajarannya. Adelia membantu menjelaskan. Itu sebabnya
kubilang dia pintar.”
“Jadi, kamu semakin dekat dengan Adelia, ya?” Maghali terke-
jut sendiri mendengar suaranya yang mirip orang cemburu.
Kai menyipitkan mata, lalu tersenyum. “Yah, tiap hari kami ke-
temu. Lebih dari dua belas jam. Kami nggak bisa mengelak menja-
di dekat satu sama lain.”
Raut wajah Maghali berubah. Ada resah yang menelusup dalam
hatinya. “And then?” tanyanya singkat.
Kai melirik Maghali, keningnya berkerut mencoba memahami
pertanyaan gadis itu. “Then… kami masih akan terus bersama pa-
ling tidak satu tahun lagi. Dia bertugas di sini dua tahun. Dia baru
lima bulan di sini.”
220
pustaka-indo.blogspot.com
“Dari kebersamaan akan muncul rasa…”
Maghali tak melanjutkan ucapannya. Terlalu menyakitkan un-
tuk dikatakan.
“Rasa apa?”
Maghali menggeleng. “Tidak, lupakan apa yang kuucapkan
tadi.”
“Itu sebabnya aku bertanya padamu, apakah kamu bisa betah
tinggal di sini?”
Maghali menoleh, menatap dalam mata Kai yang juga mena-
tapnya. “Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Karena aku ingin kamu menemaniku tinggal di sini.”
Maghali tercekat, jantungnya berdentam-dentam.
“Seharusnya kamu sudah bisa menebak apa jawabanku. Aku su-
dah susah payah datang ke sini. Inilah jawabanku,” sahut Maghali
dengan suara pelan nyaris tak terdengar.
“Kamu mau jauh-jauh ke tempat terpencil ini, tempat yang be-
lum pernah kamu kunjungi, untuk menemuiku. Berarti jawabanmu
‘iya’. Karena kalau jawabanmu ‘tidak’, kamu nggak akan bersusah
payah ke sini menemuiku,” kata Kai, lalu tersenyum.
Maghali tidak bereaksi. Bibir Kai membuka, baru saja dia akan
mengucapkan sesuatu, tapi urung karena mendadak seseorang me-
manggil namanya dengan suara keras.
“Pak Dokter! Pak Dokter, tolong anak saya, Pak. Tolong!”
Kai bergegas berdiri, berlari mendekati bapak yang memanggil
namanya. Bapak itu sedang menggendong anaknya yang terkulai
lemas.
“Anak Bapak kenapa?” kata Kai dalam bahasa Indonesia yang
cukup lancar dia ucapkan. Bergegas dia membantu bapak itu mem-
bawa anaknya ke dalam klinik. Membaringkan ke tempat tidur.
Memeriksa keadaan anak itu.
“Badannya panas sekali, Dokter, tadi tau-tau jatuh. Nggak ba-
221
pustaka-indo.blogspot.com
ngun-bangun. Anak saya nggak mati kan, Pak Dokter?” tanya ba-
pak itu dengan wajah cemas.
Kai memeriksa suhu tubuh anak itu, mengecek detak jantung-
nya, memeriksa seluruh tubuh anak itu. Menemukan tanda-tanda
bercak di kulitnya.
“Your son, sakit campak. Saya suntik, ya.”
Setelah menangani anak itu dan memberinya obat, Kai permisi
keluar sebentar kepada bapak itu. Mengatakan mereka harus me-
nunggu reaksi obatnya.
“Lili, maaf, aku harus mengatasi anak ini dulu. Nanti kita bica-
ra lagi setelah aku berhasil membuat anak ini kembali sadar,” kata
Kai setelah berada di depan Maghali yang masih duduk menunggu.
“Apakah keadaannya gawat?” tanya Maghali.
“Aku menunggu obatnya bereaksi. Panasnya memang tinggi
sekali.”
“Utamakan pasienmu, Kai.”
“Tinggallah di sini. Kamu bisa menginap di sini, aku akan min-
ta tolong Adelia supaya kamu bisa menumpang tidur di kamarnya.
Kamu mau?”
Maghali mengangguk begitu saja, mengikuti kata hatinya. Itu-
lah yang dirasakannya saat ini. Masih ingin bersama Kai, masih
banyak yang ingin dia katakan.
Kai menghela napas lega. Dia mendekat, menjumput semut
kecil yang berjalan di atas kerudung Maghali, menjaganya tetap
hidup, lalu memindahkannya ke sandaran kursi di dekatnya.
“Banyak yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Maghali kembali mengangguk.
“Urus dulu pasienmu. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku
akan menunggumu di sini. Aku nggak akan rela kamu di sini hanya
ditemani bidan cantik.”
“Janji nggak akan pergi tanpa berpamitan lagi?”
222
pustaka-indo.blogspot.com
“Bagaimana caraku pergi tanpa bantuanmu? Aku nggak mung-
kin jalan kaki berpuluh kilometer menuju kota.”
Kai tersenyum lebar. “Good point,” ucapnya sambil mengacung-
kan ibu jarinya, lalu dia berbalik, masuk ke ruang pemeriksaan pa-
sien.
Malam itu, Maghali dan Kai melanjutkan perbincangan me-
reka di depan rumah Bu Lawai, rumah yang ditumpangi Adelia.
Bu Lawai dengan senang hati menerima Maghali menginap di ru-
mahnya.
Maghali dan Kai duduk bersebelahan di atas batang pohon
besar sisa pohon tumbang yang disulap menjadi tempat duduk.
Maghali memandangi langit, taburan bintang terlihat jelas karena
tak ada polusi cahaya di sini.
“Aku ingin menegaskan sekali lagi, apakah kedatanganmu ke
sini artinya kamu bersedia menerima perasaanku?” Ucapan Kai itu
mengalihkan pandangan Maghali dari langit.
“Tidak semudah itu kan, Kai?” tanyanya.
“Memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.”
Maghali tertawa. “Tapi kita terpisah semakin jauh.”
“Bagaimana bisa? Kita sama-sama di Indonesia.”
“Tapi kamu memilih bekerja di pedalaman, sedangkan kegiat-
anku di pusat kota.”
“Itu tidak masalah, bisa diatur.”
“Bisa diatur bagaimana?”
“Aku bersedia tinggal di kota yang sama denganmu, setelah
masa tugasku di sini selesai.”
“Lalu, kamu berhenti jadi dokter relawan?”
“Berbuat baik bisa di mana saja. Di mana pun pasti akan ada
orang-orang yang membutuhkan bantuan sukarelawan, di kota se-
kalipun. Yang penting sekarang adalah kamu, bagaimana perasaan-
mu sesungguhnya, apa yang kamu inginkan. Apakah kamu berani
memperjuangkan apa yang kamu rasakan. Kalau aku, jelas berani.”
223
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali menelan ludah, matanya tak bisa mengelak dari tatap-
an Kai yang dalam. Di bawah cahaya lampu minyak, suasana jadi
terasa semakin syahdu. Maghali masih kesulitan membiarkan nasib
membawanya entah ke mana. Apakah janji Kai bisa dia pegang?
“Beranikah kamu bilang, menyukaiku juga tanpa ada keragu-
an?” Pertanyaan Kai disertai sorot mata bersungguh-sungguh itu
bagai mantra keberanian untuk Maghali.
Maghali mengangguk.
“Ya, aku menyukaimu, Kai. Sudah lama aku menahan perasaan
ini. Sekarang akan kulepaskan, entah apa yang akan terjadi nanti,”
katanya kali ini dengan suara yakin.
Kai tersenyum. “Percayalah padaku. Perasaanmu akan lebih
lega setelah mengakui apa yang ada dalam hatimu.”
“Lalu, bagaimana sekarang?”
“Tunggu aku dua tahun lagi.”
“Membiarkanmu tinggal di sini bersama bidan cantik itu?”
Kai tertawa. “Jangan khawatir, Adelia sudah punya tunangan.”
“Itu tidak membuatku lega. Baru tunangan. Tinggalnya pun
pasti jauh dari sini.”
“Tidak jauh, tunangannya bekerja di Sangatta. Sebentar lagi
mereka akan menikah.”
Maghali terbelalak. “Oh,” hanya itu reaksinya, menahan rasa
lega yang pelan-pelan merambat memenuhi hatinya.
“Kamu bilang tadi, akan membuka cabang baru butikmu di Ba-
likpapan, kan? Itu hanya satu jam dari Sangatta.”
Maghali menghela napas.
“Kita masih bisa bertemu tiap kali kamu datang mengunjungi
butikmu di sana.”
Maghali tersenyum. “Aku memang sengaja membuka butik
baru di sana. Supaya aku punya alasan untuk sering-sering ke sini.”
Kai mengangkat alis. “Ah, ternyata kamu nggak sepolos yang
aku kira.”
224
pustaka-indo.blogspot.com
Maghali tertawa. “Bukan hanya kamu yang punya rencana, aku
pun punya rencana.”
“Jadi, kamu bersedia menungguku?”
Maghali mengangguk. Kai menghela napas lega. Mereka ber-
dua sama-sama memandangi langit. Menikmati kerlip cahaya bin-
tang dengan wajah tersenyum. Seolah setiap cahaya bintang itu
mewakili harapan-harapan yang mereka lepaskan ke langit.
225
pustaka-indo.blogspot.com
Dua puluh lima bulan
kemudian...
pustaka-indo.blogspot.com
Lelaki itu melepaskan pelukannya, meregangkan kedua lengan-
nya, menarik napas dalam-dalam. Berpindah ke sisi Maghali, dia
menumpukan siku di atas pagar balkon. Maghali melirik lelaki di
sebelahnya itu. Kai, yang sejak dua bulan lalu resmi menjadi sua-
minya. Samar bibirnya membentuk senyum geli, teringat Maura
yang menyebutnya dan Kai pasangan aneh karena memilih hutan
Kalimantan sebagai tempat berbulan madu.
Sejak setahun lalu ketika Maghali memutuskan ingin memban-
tu kelestarian orangutan di Kalimantan, dia mengetahui tentang
penginapan nyaman di tengah hutan ini. Samboja Lodge, peng-
inapan yang berlokasi di Hutan Konservasi Samboja Lestari, ide
genius dari Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS). Kurang
lebih hanya berjarak dua jam dari Balikpapan. Tempat menarik
bagi penyuka alam dan ketenangan. Tidak tersedia televisi di sini.
Pengunjung penginapan ini bukan hanya mencari pengalaman
merasakan tinggal di hutan yang masih alami, tapi juga menambah
pengetahuan tentang orangutan dan beruang madu yang dilestari-
kan di sini.
Khusus bagi Maghali, bermalam di sini adalah kesempatan ber-
temu langsung dengan Meryl, Mozzy, dan Cinta, anak orangutan
yang dia adopsi sejak setahun lalu. Rutin dia mengalirkan sum-
bangan untuk mereka. Maghali menetapkan sepuluh persen dari
keuntungan butiknya di Balikpapan, untuk yayasan ini. Tiga ta-
hun mengenal Kai telah menularkan kepedulian sosial pada diri
Maghali. Dari butik-butiknya di kota lain, dia sisihkan sepuluh
persen untuk membantu anak-anak kurang mampu.
“Siang ini kita akan bertemu siapa?” tanya Kai, menoleh dan
tersenyum manis kepada istrinya.
“Meryl dan teman-temannya lagi tentu saja. Tingkah mereka
yang lucu bikin aku gemas.”
227
pustaka-indo.blogspot.com
“Kamu bakal lebih gemas lagi dengan anak-anak kita sendiri.
Itu kan tujuan kita ke sini?”
Maghali mengernyit. “Tujuan apa?”
Kai tertawa, merangkul gemas istrinya, mengecup lembut ke-
ningnya.
“Membuat Kai dan Maghali kecil,” bisik Kai.
Maghali tersipu, kebahagiaan meletup-letup dalam hatinya.
Dua puluh lima bulan lalu, dia tak menyangka akan bersama Kai
di sini dengan status sebagai suami-istri. Kai yang telah menjadi
mualaf setahun lalu, melamarnya enam bulan kemudian. Saat yang
sekian lama dinantikan Maghali, akhirnya dia bisa mengucapkan,
“Aku terima”.
“Aku rasa sebaiknya hari ini kita nggak usah bertemu Meryl
dan teman-temannya dulu. Kemarin kita sudah bermain bersama
mereka seharian. Hari ini aku cuma ingin bersamamu. Di kamar
King Suite yang sudah kupesan khusus buat kita ini. Bagaimana?”
tanya Kai.
Maghali mengangguk setuju dan tersenyum. Kai merangkulnya
semakin erat. Keduanya masih memandangi hamparan pepohonan
di hadapan mereka. Pagi ini mereka beruntung, melihat sepasang
orangutan bercengkerama di salah satu dahan. Kai dan Maghali
saling pandang, lalu tertawa berbarengan.
Keduanya berbalik, saling menggenggam tangan, melangkah
kembali ke kamar. Mereka tak ingin kalah dengan pasangan peng-
huni hutan itu.
~ Selesai ~
228
pustaka-indo.blogspot.com
Nantikan kisah baru dalam Love in Saigon, ya…
pustaka-indo.blogspot.com
Tentang Penulis
pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
LOVE
IN
MONTREAL
Montreal. Di sinilah Maghali Tifana Safri, perancang baju asal Solo
yang mulai bersinar namanya, mendapat kesempatan melanjutkan
studi. Ujian berupa teror dari sekelompok orang hampir merontokkan
sikap toleran Maghali, kalau saja Kai Sangatta Reeves tidak muncul
menyelamatkannya. Rupawan, cerdas, berhati emas. Model sekaligus
dokter dan relawan. Pesona Kai begitu kuat, tapi Maghali sadar dia tak
boleh terlena karena lelaki itu berada di kutub yang berbeda.
NOVEL
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29–37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com
pustaka-indo.blogspot.com