BAB 2 OK BGTT
BAB 2 OK BGTT
BAB 2 OK BGTT
TINJAUAN PUSTAKA
A. DefinisI
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural
(di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena- vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging
veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya berat.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
a. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea
terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosa temporalis (fosa media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus
sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
C. Epidemiologi
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
trauma kepala berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural
hematoma terjadi 1-3 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan
nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas
perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umur yang merupakan faktor
resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan subdural biasanya lebih
sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada
orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah
pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak
ada adhesi, sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada
bayi-bayi.
D. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma.
Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm
tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi
hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari sesudah
trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien
menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau
verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan
batang otak. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens
atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita
harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau
tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila
terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis
ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume
dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan
baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Jamieson dan Yelland mengklasifikasikan SDH berdasarkan keterlibatan
jaringan otak karena trauma. Dikatakan SDH sederhana (simple SDH) bila
hematoma ekstra aksial tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim
otak, sedangkan SDH kompleks (complicated SDH) adalah bila hematoma
ekstra axial disertai dengan laserasi parenkim otak, perdarahan intraserebral
(PIS) dan apa yang disebut sebagai ’exploded temporal lobe’. Lebih dari 70%
perdarahan intraserebral, laserasi dan kontusio parenkim otak yang
berhubungan dengan SDH akut disebabkan oleh kontra kup (contrecoup)
trauma, kebanyakan dari lesi parenkim ini terletak di lobus temporal dan
lobus frontal. Lebih dari dua pertiga fraktur pada penderita SDH akut terletak di
posterior dan ini konsisten dengan lesi kontra cop.
E. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
1. Trauma
a. Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran
atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih
mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya
pada orangtua dan juga pada anak – anak.
b. Non trauma
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdural. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan
dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun
perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan
hati, penggunaan antikoagulan.
F. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena
di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya
araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak
yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah
parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar
tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah
dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara hemisfer
bagian medial dan falks ; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik
dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural
interhemisferik akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah.
Pada anak – anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior
dan tentorium sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak
(shaken baby syndrome). Walaupun perdarahan subdural jenis ini tidak
patognomonis akibat penyiksaan kejam (child abused) terhadap anak,
kemungkinannya tetap harus dicurigai.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan
gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat
G. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH.
Penderita-penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkim otak difus yang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda
gangguan batang otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar
kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma
pada saat terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan
oleh kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu
terjadinya trauma. SDH dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat
membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah
kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita
tidak sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan beberapa lucid
interval.
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa
hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang
paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim
otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral
terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik tidak
merupakan indikator yang mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala
motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral
terhadap SDH atau karena terjadi kompresi pedunkulus serebral yang
kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor
atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil
kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil lebih dipercaya
sebagai indikator letak SDH.
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti
pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan
riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda- tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan- lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan, sehingga selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
a. sakit kepala yang menetap
b. rasa mengantuk yang hilang-timbul
c. linglung
d. perubahan ingatan
e. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
H. Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan
jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya
kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali
pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti
semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar
atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai
muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui
muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar
apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial
yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit
kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah
yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita,
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh
alkohol.
I. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus
dibersihka
apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube
atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan
untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse
oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan
juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi hipotensi, syok
atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok
harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks
Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan
tanda- tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma
Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon
motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua
pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju
medula spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini
adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya
trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
2. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya
SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan
adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten
antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan
kontralateral terhadap SDH.
3. CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat
suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh
jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-
aksial dan ekstra-aksial.
a. Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam
jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli.
Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura.
Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural
hematom dan biasanya unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift)
akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging
veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara
kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak
beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.
b. Perdarahan Subdural Subakut
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena
itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada
kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma
kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak
hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan
tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan
jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa
(bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan
epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit
melihat lesi subdural subakut tanpa kontras.
c. Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah
dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom
kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis
tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi
heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang
dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis
(hipodense).
d. MRI (Magnetic resonance imaging
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang
lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis
menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru
dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan
parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat
dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk
mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus.
MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik
karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
K. Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita
harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa
mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada
pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan
intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid
10 mg intravena, dihiperventila
L. Tindakan Tanpa Operasi
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan
terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian
dapat mengalami pengapuran.
Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut
dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari
penderita ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi.
Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional.
Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan
intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang
membutuhkan operasi untuk SDH.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan
menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan
memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan
operasi.
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak
dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita
ini, tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan
merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral.
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan
depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan
bukan calon untuk operasi.
M. Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala
yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan
tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing
dan circulation (ABC). Tindakan operasi ditujukan kepada:
1. Evakuasi seluruh SDH
2. Merawat sumber perdarahan
3. Reseksi parenkim otak yang nonviable
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah
1. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan
2. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
3. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
4. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi
asimetris/fixed
5. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
N. Perawatan Pascabedah
`Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang
atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian
pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang
tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk
mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka
dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus
ditiadakan. Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
O. Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
P. Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak
biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat
sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak
sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat.
Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau
abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial.
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi
drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi.
Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi
pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom
intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT
scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi
hematom dilapaorkan sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi
pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah
dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari
hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait
dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan.