Metil Prednisolon Pada Epilepsi Refrakter
Metil Prednisolon Pada Epilepsi Refrakter
Metil Prednisolon Pada Epilepsi Refrakter
Journal Reading
Subdivisi : Neuropediatri
Pembimbing : Dr. dr. Nelly Amalia Risan, Sp.A(K)
dr. Purboyo Solek, Sp.A(K)
dr. Dewi Hawani, Sp.A(K)
dr. Mia Milanti Dewi, Sp.A,M.Kes
Oleh : Zaki Akbar
Tanggal : 20 Juni 2017
Intravenous Methylprednisolone for Intractable Childhood Epilepsy
Kholoud H. Almaabdi MBBS, Rawan O. Alshehri MBBS, Areej A. Althubiti MBBS, Zainab H. Alsharef MBBS,
Sara N. Mulla MBBS, Dareen S. Alshaer MBBS, Nouf S. Alfaidi MBBS, Mohammed M. Jan MBChB FRCPC *
Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia
BACKGROUND: Steroids have been used for the treatment of certain epilepsy types, such as infantile spasms;
however, the use in the treatment of other intractable epilepsies has received limited study. We report our experience
with intravenous methylprednisolone in children with epilepsy refractory to multiple antiepileptic drugs.
METHODS: A series of consecutive children were analyzed retrospectively. Patients with infantile spasms,
progressive degenerative, or metabolic disorders were excluded.
RESULTS: Seventeen children aged 2-14 (mean 5.3) years were included. Associated cognitive and motor deficits
were recognized in 82%. Most children (88%) had daily seizures and 13 (76%) were admitted previously with status
epilepticus. The epilepsy was cryptogenic (unknown etiology) in 47% and the seizures were mixed in 41%.
Intravenous methylprednisolone was given at 15 mg/kg per day followed by a weaning dose of oral prednisolone for
2-8 weeks (mean 3 weeks). Children were followed for 6-24 months (mean 18). Six (35%) children became
completely seizure free; however, three of them later developed recurrent seizures. At 6 months posttreatment,
improved seizure control was noted in 10 (59%) children. Children with mixed seizures were more likely to have a
favorable response than those with one seizure type (49% vs 31%, P 0.02). No major side effects were noted, and
35% of the parents reported improvements in their childs alertness and appetite.
CONCLUSION: Add-on steroid treatment for children with intractable epilepsy is safe and may be effective in
some children when used in a short course.
Pendahuluan
Pilihan terapi antiepilepsi pada anak dengan epilepsi refrakter sangat terbatas. Efek samping yang
timbul dapat berupa gangguan kognitif dan perilaku. Intraktabilitas juga dapat meningkatkan risiko
cedera fisik dan kematian mendadak. Pilihan terapi yang ada diantaranya diet ketogenik, stimulasi nervus
vagus, dan pembedahan. Pilihan terapi ini tidak dapat diterapkan kepada seluruh pasien terutama bayi dan
anak dengan kejang tipe campuran. Keadaan ini membutuhkan penilaian yang teliti, persiapan dan biaya
perawatan yang mahal. Steroid dapat menjadi alternatif ketika pilihan terapi lain gagal atau saat
menunggu persiapan pasien untuk dilakukan terapi definitif. Steroid terutama adrenocorticotropic hormon
(ACTH) sering digunakan pada anak dengan spasme infantil. Prednisolon dilaporkan mempunyai
efektivitas yang sama.
Bagaimanapun, efektivitas, toleransi dan mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas.
Metylprednisolon puls jangka pendek dapat menjadi pilihan terapi yang lebih praktis dan ekonomis.
Selain pada kondisi spasme infantil, penelitian menggenai pengguaan steroid pada intractable epilepsy
masih sangat terbatas. Steroid telah digunakan pada anak dengan epilepsi ensefalopati dengan tingkat
keberhasilan yang bervariasi. Pada penelitian ini kami melaporkan hasil penggunaan metylprednisolon
puls intravena sebagai terapi pada anak dengan epilepsi yang resisten terhadap obat.
Metode
Serangkaian kasus anak dengan epilpsi refrakter yang diterapi denga steroid antar tahun 2007-2011
dianalisa secara retrospektif. Pasien dikumpulkan melalui data rujukan dan konsultasi pada dokter
spesialis neurologi anak di Rumah Sakit King Abdulaziz Jedah Arab Saudi. Epilepsi intraktebel
didefinisikan sebagai kejang berulang yang gagal atau tidak berespon terhadap tiga jenis obat antiepilepsi
yang diberikan baik tunggal maupun kombinasi yang telah mencapai dosis maksimal atau dosis
terapeutik. Data pasien dan penyakit dikumpulkan dalam bentuk chart review. Follow up juga dilakukan
terhadap orang tua pasien. Pasien dengan spasme infantil, kelainan autoimun, gangguan degeneratif
progresif, dan kelainan metabolik dieksklusikan dari penelitian. Metylprednisolon intravena digunakan
sebagai terapi tambahan terhadap obat antiepilepsi yang digunakan selama perawatan di Rumah Sakit.
Dosis selama tiga hari diberikan dan selanjutnya diturunkan menggunakan prednisolon oral berdasarkan
protokol terapi multipel sklerosis akut. Follow up dilakukan oleh dokter spesialis anak ahli neurologi
untuk mengetahui respon terapi dan efek samping yang timbul. Respon terapeutik dikelompokkaan
menjadi komplit (tanpa kejang), baik (>50% reduksi kejang), lumayan (<50% reduksi kejang) atau buruk
(tidak berespon). Luaran kejang dinilai berdasarkan laporan orang tua pada follow up di klinik epilepsi.
Data ditabulasi menggunakan SPSS 17. Analisa deskriptif dilakukan dan variabel dianalisa menggunakan
statistik chi square untuk menentukan besarnya hubungan.
Hasil
Tujuh belas anak dengan epilepsi resisten obat yang berat dimasukkan dalam penelitian dengan usia 2-
14 tahun (rata-rat 5.3 tahun) dengan 70% diantaranya adalah anak laki-laki. Epilepsi didiagnosa saat usia
3 bulan-5 tahun(rata-rata 38 bulan). Defisit motorik dan kognitif didapatkan 82% dan dalam kondisi berat
pada 47%. Seluruh anak dengan epilepsi refrakter (gagal terapi dengan beberapa obat antiepilepsi). Diet
ketogenik tidak diberikan pada pasien kami karena tidak tersedia. Sebagian besar anak (88%) didapatkan
kejang dimana 13 diantaranya (76%) dengan riwayat status epileptikus. Epilepsi dengan etiologi tidak
diketahui ditemukan pada 47% pasien. Jenis kejang berupa kejang campuran pada 7 anak (41%), kejang
umum tonik klonik pada 4 anak (23%) dan sindrom doose pada 2 anak (12%). Elektroensefalografi
sebelum diberikan terapi steroid didapatkan gelombang epileptiform fokal atau multifokal pada 7 anak
(41%) dan gelombang epileptiform umum pada 10 anak (59%).
Metylprednisolon pulse intravena diberikan selama perawatan dengan obat antikejang lainnya dimulai
2-5 hari sejak awal masuk rumah sakit. Rentang dosis inisial antara 13-16mg/kgBB/hari (rata-rata 15)
dibagi setiap 6 jam selama 5 hari. Prednisolon oral dimulai dengan dosis 1-1.2 mg/kgBB/hari satu kali
dipagi hari selama 1 minggu lalu diturunkan perlahan selama 2-8 minggu (rata-rata 3 minggu). Pasein di
followup selama 6-24 bulan (rata-rata 18 bulan) setelah terapi. Enam anak (35%) didapatkan bebas
kejang namun tiga diantaranya kembali mengalami kekambuan. Pasien dengan tipe kejang campuran
mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan satu tipe kejang (49% vs 31%,
p=0.02). Tidak ada manfaat didapatkan pada 7 anak (41%) namun kejang tidak memburuk. Follow up
EEG dilakukan 4-6 bulan setelah terapi. Hasilnya didapatkan 7 anak (41% tanpa gelombang epileptiform,
semuanya merupakan kelompok yang mempunyai respon terapi yang baik. Tidak ada efek samping yang
berat yang ditemukan terutama hipertensi dan glukosuria. Tujuh orang tua pasien (35%) melaporkan
terjadi peningkatan perhatian dan nafsu makan.
Diskusi
Hasil penelitian ini menunjukan terapi steroid puls bermanfaat dan merupakan pilihan yang aman
ketika antiepilepsi lain tidak berespon. Banyak pasien dalam penelitian ini yang mengalamai penurunan
frekuensi kejang yang sebelumnya mengalami bangkitan kejang yang cukup sering yang tidak berespon
terhadap banyak obat antiepilepsi. Peneliti lain menggunakan dosis yang lebih tinggi hingga mencapai
30mg/kgBB/hari untuk waktu yang lebih lama (hingga 5 hari) dengan hasil yang sama. Perbaikan klinis
yang diikuti dengan hilangnya gelombang epileptiform pada pemeriksaan EEG. Hal yang paling menarik
adalah pasien dengan tipe kejang campuran didapatkan luaran yang lebih baik dibandingkan dengan
pasieng dengan satu tipe kejang. Beberapa penelitian menemukan anak dengan gelombang paku ombak
amplitudo tinggi merupakan kandidat untuk mendapatkan terapi metylprednisolon puls.
Pada kondisi epilepsi ensefalopati kriptogenik metylprednisolon puls intravena dan prednisolon oral
dilaporkan efektif pada epilepsi parsial refrakter. Tidak ada efek samping berat yang ditemukan terutama
hipertensi dan glukosuria. Bahkan, pada penelitian yang menggunakan dosis yang lebih tinggi efek
samping yang timbul hanya bersifat sementara. Faktanya 35% pasien mengalami peningkatan perhatian
berdasarkan laporan dari orang tua. Hal ini lebih berhubungan dengan penurunan frekuensi kejang
dibandingkan efek langsung dari obat. Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah sampel yang kecil
sehingga gagal dalam mengidentifikasi perbedaan yang signifikan secara statistik diantara jenis kejang
atau sindrom epilepsi spesifik. Namun demikian dilakukan follow up dalam jangka waktu yang panjang
(rata-rata 18 bulan) untuk mengetahui respon terapi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
metylprednisolon puls intravena dapat berguna sebagai terapi tambahan pada anak dengan epilepsi
refrakter. Terapi metylprednisolon puls intravena dapat menjadi pilihan terapi yang aman dan efektif
untuk mengobati anak dengan frekuensi kejang yang tinggi yang tidak berespon terhadap obat
antiepilepsi standar. Penelitian selanjutnya dalam skala yang lebih besar diperlukan untuk menetukan
efektivitas dan keamanan jangka panjang.