2 sindromaSTK
2 sindromaSTK
2 sindromaSTK
Karakteristik Penderita Sindroma Terowongan Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi Semarang 2006
Lusan Maria T. Tamba*, Handojo Pudjowidyanto*
ABSTRACT
The characteristics of carpal tunnel syndrome of patients in the medical rehabilitation (PMR) outpatient clinic Dr. Kariadi Hospital Semarang 2006 Background: Carpal tunnel syndrome (CTS) is a common clinical disorder in daily practice, especially in the PMR outpatient clinic Dr. Kariadi Hospital Semarang. However it seems there is no pattern of patient characteristic and medical rehabilitation programs applied for the CTS patients. The objective of this study was to explore patient characteristics and the medical rehabilitation programs. Methods: The study was an observational descriptive study. Data were collected from medical records of new patients diagnosed with CTS in PMR Department Dr. Kariadi Hospital Semarang in 2006. Results: There were 34 patients (4% of 838 new patients) diagnosed with CTS, 32 (94,1%) were female and 2 (5,9%) were male, 18 (53%) with unilateral CTS and 16 (47%) with bilateral CTS. Most of them were 41-50 (38,2%) and 51-60 years old (35,3%) and dominantly were house wife (61,8%). The most frequent clinical manifestations were numbness (97%), with positive Tinels sign (88,2%). Electrodiagnostic examination was done in 17 subjects (50%). The most frequent medical rehabilitation program is ultrasound therapy (76,5%), six times a week. Conclusion: CTS patients are predominantly women with positive Tinel sign, and therapy given is mostly ultrasound and ortotic prosthetic with splint. Key Words: carpal tunnel syndrome, clinical manifestation, medical rehabilitation program
ABSTRAK
Latar belakang: Sindroma Terowongan Karpal (STK) merupakan gangguan yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, khususnya di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM) RS Dr. Kariadi Semarang. Namun hingga saat ini belum diketahui karakteristik penderita dan program rehabilitasi yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penderita STK dan program rehabilitasi medik yang diberikan. Metode: Penelitian bersifat observasional deskriptif. Data diperoleh dari rekam medis pasien dengan diagnosis STK yang berobat pertama kali ke Poliklinik IRM RS Dr. Kariadi Semarang tahun 2006, meliputi karakteristik penderita dan program rehabilitasi medik. Hasil: Selama 1 tahun (2006) didapatkan 34 penderita STK baru, yaitu 4% dari seluruh pasien baru (838 orang). Sebanyak 32 orang (94,1%) adalah perempuan dan 2 orang (5,9%) laki-laki, 18 (53%) unilateral dan 16 (47%) bilateral. Kelompok usia terbanyak adalah 41-50 tahun (38,2%) dan 51-60 tahun (35,3%). Pekerjaan terbanyak adalah ibu rumah tangga (61,8%). Keluhan/gejala terbanyak adalah parestesi (97%) dengan Tanda Tinel positif didapatkan pada 88,2% penderita. Pemeriksaan elektrodiagnostik dilakukan pada 17 orang (50%). Program rehabilitasi terbanyak diberikan adalah terapi ultrasound pada 26 orang (76,5%) dengan frekuensi setiap hari selama satu minggu. Simpulan: Penderita STK predominan perempuan dengan Tanda Tinel positif dan terapi yang diberikan adalah ultrasound dan splint ortotik prostetik.
Instalasi Rehabilitasi Medik, Rumah Sakit Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo No. 16, Semarang
10
Artikel Asli
PENDAHULUAN Sindroma Terowongan Karpal (STK) adalah neuropati akibat jebakan saraf medianus yang disebabkan oleh penekanan saraf medianus saat melalui terowongan karpal dengan gejala berupa parestesia, rasa tebal serta nyeri pada daerah yang dipersarafi saraf medianus dan pada tahap lanjut akan mengakibatkan kelemahan otot thenar.1 Prevalens STK pada populasi umum adalah sekitar 1%. Predominan pada wanita, dengan rasio pria berbanding wanita sebesar 1:3-5. Rentang usia tertinggi antara 40-60 tahun, puncak prevalens pada usia 55 tahun, jarang terjadi sebelum usia 20 tahun dan di atas usia 80 tahun. Sekitar 50% biasanya bilateral, bila unilateral maka yang sering terkena adalah sisi yang dominan.1,2 STK merupakan salah satu penyakit yang dikategorikan sebagai repetitive stress injuries, cumulative trauma disorder, overuse syndromes, atau repetitive motion disorders. Penelitian mendapatkan bahwa gangguan yang timbul pada STK disebabkan oleh penggunaan tangan berlebihan, dengan tekanan berulang, gerakan memutar dari pergelangan tangan, dan penggunaan alat-alat yang bergetar.3-5 Pekerjaan yang sering dihubungkan dengan tingginya insidens STK adalah proses memasak makanan, pekerjaan pabrik, pemuatan barang dan pekerja bangunan. Kondisi yang sering berhubungan dengan STK adalah kehamilan, artritis inflamasi, fraktur Colles, amyloidosis, hipotiroid, dan diabetes melitus.6 Kriteria diagnosis untuk STK menurut The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), yaitu (1) Gejala sugestif: parestesia, hipoestesia, nyeri atau rasa tebal yang mengenai paling tidak sebagian dari distribusi saraf medianus pada tangan; (2) Ditemukan satu/lebih hasil pemeriksaan tanda Tinel, tanda Phalen atau penurunan/hilangnya sensasi terhadap pin prick pada distribusi saraf medianus di tangan, atau pada hasil elektrodiagnostik didapatkan disfungsi saraf medianus saat melalui terowongan karpal; dan (3) Adanya bukti hubungan akibat kerja. Elektrodiagnostik berguna untuk konfirmasi diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita STK dan untuk menyingkirkan neuropati lainnya.6 Penatalaksanaan STK dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu terapi operatif dan non-operatif. Terapi operatif biasanya diberikan pada penderita STK berat dengan gejala yang terus menerus, gangguan sensorik berat, dan/atau kelemahan motorik thenar. Terapi nonoperatif diberikan pada penderita STK ringan sampai sedang dengan gejala yang intermiten. Terapi nonoperatif dapat berupa penggunaan splint, terapi latihan (exercises), terapi ultrasound, modifikasi aktivitas, obat-obatan oral dan vitamin.1,2 Penelitian dilakukan untuk mengetahui karakteristik penderita, manifestasi klinis dan program rehabilitasi medik yang diberikan pada kasus STK baru di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi Semarang. METODE Sebagai sumber data pasien dipakai catatan medis penderita STK yang berobat pertama kali (baru) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi Semarang pada kurun waktu 1 Januari31 Desember 2006. Secara deskriptif retrospektif dievaluasi berbagai data klinis pasien yang terkait dengan STK. Karakteristik penderita yang dievaluasi mencakup umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, lamanya keluhan. Dicatat semua manifestasi klinis baik gejala dan tanda, penyakit penyerta, pemeriksaan penunjang dan pola program rehabilitasi medik. HASIL Karakteristik subyek penelitian Selama tahun 2006 di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi Semarang ditemukan 34 kasus STK baru, yaitu 4% dari seluruh pasien baru (838 orang). Sebagian besar (76,5%) merupakan rujukan dari Poliklinik Saraf RS Dr. Kariadi Semarang, 17,6% dari Poliklinik Penyakit Dalam RS Dr. Kariadi Semarang dan hanya 2,9% yang datang tanpa rujukan. Didapatkan 32 perempuan dan 2 lelaki. Usia termuda 32 tahun (1 orang) dan tertua 75 tahun (1 orang). Sebaran umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran umur dan jenis kelamin Umur (tahun) 31 40 41 50 51 60 61 70 >70 Jumlah Perempuan (%) 3 (8,9) 12 (35,3) 12 (35,3) 4 (11,8) 1 (2,9) 32 (94,2) Lelaki (%) 1 (2,9) 1 (2,9) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 2 (5,8) Jumlah (%) 4 (11,8) 13 (38,2) 12 (35,3) 4 (11,8) 1 (2,9) 34 (100,0)
11
Sebagian besar penderita adalah ibu rumah tangga (61,8%) dengan deskripsi kegiatan mencuci, memasak dan mengulek. Pada penderita dengan dua jenis pekerjaan, misalnya seorang petugas administrasi yang
juga ibu rumah tangga, dimasukkan dalam kelompok pekerjaan yang dominan menimbulkan keluhan. Karakteristik pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik pekerjaan pada penderita STK berdasarkan jenis kelamin Perempuan Lelaki Pekerjaan Deskripsi kegiatan (%) (%) IRT Mencuci, memasak, mengulek Mengetik 21 (61,8) 0 (0,0) Adm/guru Angkat berat, menekan 8 (23,5) 1 (2,9) Petani/kuli bangunan 3 (8,9) 1 (2,9) Jumlah 32 (94,2) 2 (5,8) IRT = Ibu Rumah Tangga, Adm = Administrasi
Manifestasi klinis Keluhan klinis yang terbanyak ditemukan adalah parestesi yaitu rasa kesemutan/gringgingan di tangan
pada 33 orang (97%). Hanya 1 orang (2,9%) yang menderita nyeri pergelangan tangan yang meningkat pada malam hari. (Tabel 3)
Tabel 3. Jenis keluhan/gejala Keluhan / gejala * Parestesi pada tangan Nyeri pada pergelangan tangan Nyeri menjalar ke lengan dan bahu Rasa tebal pada tangan Barang mudah jatuh saat dipegang Nyeri meningkat malam hari pada tangan * Satu subyek dapat memiliki lebih dari satu jenis keluhan
n 33 19 3 2 1 1
Pemeriksaan Tanda Tinel (88,2%) dan Flick sign (85,3%) merupakan tanda positif yang terbanyak ditemukan dan yang tersedikit adalah atrofi thenar
Tabel 4. Manifestasi klinis Manifestasi klinis * n Tanda Tinel 30 Flick Sign 29 Tes Phalen 22 Tes Prayer 22 Gangguan sensibilitas tangan 15 Atrofi thenar 7 Kelemahan otot (abduksi jari I) 5 * Satu subyek dapat memiliki lebih dari satu jenis manifestasi klinis
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan elektrodiagnostik dilakukan pada 17 orang penderita (50%) dengan semuanya mendapat hasil sesuai/mendukung STK Pemeriksaan labora-
torium gula darah, kholesterol dan rontgent servikal dilakukan pada penderita yang telah memiliki riwayat penyakit lain/penyerta sebelumnya. (Tabel 5)
Tabel 5. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang * n Elektrodiagnostik (sesuai STK) 17 GD I dan II (Hiperglikemia) 3 Kholesterol (Hiperlipidemia) 3 Rontgent Servikal (spondilosis servikalis) 2 * Satu subyek dapat menjalani lebih dari satu jenis pemeriksaan penunjang
Penyakit Penyerta Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi, diabetes melitus dan hiperlipidemia. Tidak semua penyakit 12
Volume 43, Nomor 1, Tahun 2008
penyerta berdiri sendiri. Sebagian penderita hipertensi juga menderita diabetes melitus (2 orang),
Artikel Asli
orang). (Tabel 6)
Tabel 6. Penyakit penyerta Penyakit penyerta * n Hipertensi 10 Diabetes Melitus 5 Hiperlipidemia 5 Sindroma Servikal 3 OA Genu 3 Artritis manus 1 Frozen shoulder 1 Ischialgia 1 Fascitis plantaris 1 * Satu subyek dapat menjalani lebih dari satu jenis penyakit penyerta
Diagnosis dan program rehabilitasi medik Dari 34 penderita didapatkan 18 orang (53%) menderita STK unilateral dan sisanya 16 orang (47%) bilateral, dengan rasio unilateral:bilateral 1:1. Pada penderita STK unilateral didapatkan 17 orang menderita STK kanan (sisi dominan). Program
rehabilitasi medik yang diberikan meliputi fisioterapi, okupasi terapi dan ortotik prostetik. Program fisioterapi diberikan pada semua penderita (100%), okupasi terapi pada 10 orang (29,4%), dan ortotik prostetik 21 orang (61,8%). Pola program rehabilitasi medik yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 7.
Program rehabilitasi medik * Fisioterapi (34 orang ; 100%) * - Terapi Ultrasound (US) - Parafin bath - Strengthening Exercise - Micro Wave Diathermi (MWD) Ortotik Prostetik (21 orang ; 61,8%) - Resting Splint Okupasi Terapi (10 orang ; 29,4%) * - Latihan peningkatan sensibilitas - Proper Body Mechanic (PBM) untuk pergelangan tangan - Latihan penguatan jari-jari dengan aktifitas - Latihan peningkatan kemampuan AKS tangan - Latihan pemeliharaan LGS jari-jari
Tabel 7. Program Rehabilitasi Medik Frekuensi 6x/mg (%) 3x/mg (%) 2x/mg (%)
1x/mg (%)
Jumlah n (%)
1 (2,9) -
21 (61,8)
21 (61,8)
3 (8,8)
1 (2,9)
4 (11,8)
4 (11,8) -
* Satu subyek dapat menjalani lebih dari satu jenis program AKS, Aktivitas Kegiatan Sehari-hari LGS, Lingkup Gerak Sendi
PEMBAHASAN Penelitian retrospektif dengan mencatat data dari rekam medis yang ada didapatkan kelemahan yaitu tidak lengkapnya data yang dapat dinilai pada penderita. Data lain yang mendukung kelengkapan anamnesis, penyakit penyerta maupun pemeriksaan penunjang mungkin ada yang tidak muncul karena
tidak ditanyakan secara khusus pada pasien maupun karena ketidaklengkapan pencatatan data pada rekam medis. Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar penderita adalah wanita (94,1%). Kepustakaan menyatakan bahwa wanita memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita STK dibandingkan laki-laki. Diduga
Volume 43, Nomor 1, Tahun 2008
13
kemungkinan karena adanya perubahan hormonal antara lain pemakaian obat keluarga berencana dan menopause.4 Beberapa penelitian mendapatkan meningkatnya insidens STK pada usia perimenopause dan berkurangnya gejala STK setelah pemberian hormone replacement therapy.7 Rentang usia tertinggi dalam penelitian didapatkan antara 41-50 tahun (38,2%) dan 51-60 tahun (35,3%). Efek dari usia ini sukar untuk dipastikan penyebabnya. Diduga berhubungan dengan efek biologis proses penuaan atau lamanya pajanan. Dengan meningkatnya usia, terjadi penebalan sinovial akibat regangan dan tarikan karena gerakan pergelangan tangan berulang yang dapat meningkatkan tekanan dalam terowongan karpal.1,4,7,8 Karakteristik pekerjaan yang didapatkan dari 34 orang penderita STK terdiri dari 3 golongan, yaitu pekerja berat (petani dan kuli bangunan), Ibu Rumah Tangga (IRT) dan petugas administrasi (termasuk guru dan dosen). Deskripsi kegiatan petani maupun kuli bangunan adalah banyak mengangkat beban (gerakan menekukkan pergelangan tangan berulang) dan posisi tangan menekan dengan kuat. IRT banyak melakukan gerakan memutar dan menekukkan pergelangan tangan berulang saat mencuci, memasak dan mengulek. Petugas administrasi, guru maupun dosen banyak melakukan gerakan menekukkan pergelangan tangan berulang saat mengetik dan menulis di papan tulis. Gerakan menekukkan atau memutar pergelangan tangan berulang kali dan penggunaan alat-alat yang bergetar merupakan faktor resiko terjadinya STK.4 Hal ini didukung oleh beberapa penelitian lain yang mendapatkan hubungan yang signifikan antara gerakan berulang pergelangan tangan dan gerakan menggenggam dengan tenaga yang kuat dengan prevalensi STK. Prevalensi tertinggi penderita STK adalah pekerjaan menggiling (grinders), memotong (butchers), buruh pabrik makanan, dan pekerjaan dengan gerakan berulang dengan tekanan yang kuat.3,5 Berdasarkan kepustakaan gejala klasik STK adalah nyeri, kesemutan, rasa menggelanyar pada jari-jari I, II, III dan IV, sesuai dengan distribusi saraf medianus. Rasa nyeri biasanya memburuk pada malam hari. Pasien merasakan kesemutan semakin nyata setelah melakukan gerakan pergelangan tangan yang berulang atau setelah menggenggam sesuatu cukup lama. Kekuatan menggenggam juga dapat berkurang, kemampuan melakukan gerakan terampil dengan tangan menurun, dan penderita mengeluh otot telapak Dalam tangannya mengecil (atrofi thenar).1,9,10 penelitian ini didapatkan keluhan terbanyak adalah rasa kesemutan/parestesi (97%) dan nyeri pada pergelangan tangan (55,9%). Keluhan seperti barang mudah jatuh saat dipegang (kekuatan genggam menurun) didapat hanya pada satu orang dan otot tangan (thenar) mengecil tidak dikeluhkan. Hal ini mungkin karena kebanyakan penderita yang berobat datang pada tahap 14
Volume 43, Nomor 1, Tahun 2008
awal. Pada tahap awal, gerakan fleksi-ekstensi berulang dan terus menerus pada pergelangan tangan dan jari-jari akan meningkatkan tekanan pada tendon yang mengakibatkan terjadinya tenosinovitis dan selanjutnya menyebabkan kompresi pada saraf medianus. Kompresi ringan pada saraf tepi akan menurunkan aliran darah epineural. Transport aksonal akan terganggu, akibat kompresi aksonal tekanan dalam endoneural akan meningkat dan menyebabkan parestesia. Kompresi kapiler lanjut menyebabkan anoksia dan berakibat kerusakan endotel kapiler. Protein masuk ke dalam jaringan dan menyebabkan terjadi edema lebih lanjut. Protein tidak dapat keluar melalui perineurium sehingga terjadi akumulasi cairan dalam endoneurial yang akan menghambat metabolisme dan nutrisi aksonal. Proliferasi fibroblas terjadi akibat iskemia ini, dan terbentuk jaringan parut yang akan menyebabkan konstriksi jaringan lunak sekitarnya. Pada stadium akhir ini, lesi saraf dapat menjadi ireversibel dan menyebabkan gangguan sensorik dan motorik permanen dengan gejala kelemahan dan atrofi otot thenar. Pasien jarang memperhatikan adanya atrofi, hanya kadang-kadang merasakan bahwa barang yang mereka genggam mudah jatuh. Dan mereka terkejut saat pemeriksa menunjukkan bahwa telah terjadi atrofi pada otot di tangan mereka.7,9,10 Menurut Phalen (1966), pasien dinyatakan menderita STK bila memiliki satu atau lebih dari 3 pemeriksaan fisik yaitu: gangguan sensibilitas (parestesi, hipestesi) sesuai distribusi saraf medianus, tanda Tinel positif dan tes Phalen positif.11 Gejala lainnya seperti atrofi thenar dan kelemahan muncul sebagai keluhan terakhir dalam perjalanan penyakit STK.6,12 Pada penelitian ini didapatkan manifestasi klinis tertinggi adalah Tanda Tinel (88,2%), tes Phalen (64,7%), tes Prayer (64,7%) dan selanjutnya gangguan sensibilitas (hipestesi) 44,1%. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam kepustakaan. Namun dalam kepustakaan tidak dibahas mengenai kemaknaan tes Prayer dan tidak termasuk dalam kriteria diagnostik STK. Tes Prayer sering disebut sebagai tes kebalikan dari Phalen. Tes Phalen dilakukan dengan melakukan fleksi penuh pergelangan tangan, sedangkan tes Prayer dialakukan dengan ekstensi penuh pergelangan tangan. Diduga efek yang ditimbulkan oleh tes Prayer sama dengan tes Phalen yaitu meningkatkan tekanan dalam terowongan karpal.7 Manifestasi lainnya yaitu atrofi thenar didapati pada 7 orang dan kelemahan otot abduksi jari I didapati pada 5 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita datang berobat pada tahap awal dan belum menderita atrofi thenar dan kelemahan otot abduksi jari I. Konsensus dari American Association of Elektrodiagnostic Medicine, American Academy of Neurology dan American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation yang beranggotakan para
Artikel Asli
profesional menyatakan bahwa elektrodiagnostik merupakan pilihan test diagnostik yang paling akurat untuk STK. Diagnosis yang akurat adalah kombinasi antara gejala, manifestasi klinis dan elektrodiagnostik (electromyography dan nerve conduction studies).2,6,11,13 Pemeriksaan penunjang terbanyak yang ditemukan dalam penelitian ini adalah elektrodiagnostik (50%) dengan hasil keseluruhan mendukung STK. Hal ini sesuai dengan kepustakaan, yaitu elektrodiagnostik sebagai alat untuk diagnostik pasti STK. Tidak diketahui alasan mengapa 50% penderita lainnya tidak dilakukan pemeriksaan elektrodiagnostik. Mungkin penolakan penderita karena pemeriksaan elektrodiagnostik yang nyeri atau keputusan dari pemeriksa untuk tidak melakukan elektrodiagnostik. Biaya mungkin bukan menjadi masalah karena semua penderita yang diteliti mendapat pembiayaan dari asuransi (Askes dan Jamsostek). Pemeriksaan penunjang lainnya yang dilakukan adalah rontgent servikal (5,8%) dan pemeriksaan laboratorium gula darah, kholesterol (8,8%). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyakit lain dimana terjadinya STK adalah sekunder karena penyakit yang sudah ada sebelumnya. Pada kepustakaan dikatakan beberapa kondisi yang dihubungkan dengan kejadian STK adalah kehamilan, artritis, fraktur Colles, amyloidosis, hipotiroid, diabetes melitus dan penggunaan kortikosteroid serta estrogen. Sekitar sepertiga dari penderita STK menderita kondisi-kondisi tersebut dan sekitar 6% dari penderita STK menderita diabetes.6 Pada penelitian didapat 29,4% penderita memiliki hipertensi. Tidak diketahui hubungan hipertensi dengan STK. Sebagian penderita hipertensi juga menderita diabetes melitus. Didapatkan 14,7% penderita memiliki penyakit diabetes melitus dan 2,9% menderita artritis. Diabetes melitus merupakan faktor resiko untuk terjadinya STK. Penyebab hal ini belum diketahui dengan pasti, diduga karena meningkatnya iskemia pada saraf yang sudah mengalami gangguan sebelumnya karena neuropati akibat diabetes melitusnya. Artritis juga dapat menjadi penyebab terjadinya STK. Adanya proses artritis, tenosinovitis, deformitas dan nodul dapat menyebabkan penyempitan terowongan karpal dan meningkatkan tekanan pada saraf medianus.7 Penyakit penyerta lainnya yang ditemukan dalam penelitian adalah frozen shoulder, OA genu, ischialgia dan fascitis plantaris, dengan jumlah kecil (2,9%-8,8%). Keberadaan penyakit penyerta ini mungkin tidak ada hubungan dengan STK namun berpengaruh dalam pilihan pemberian program rehabilitasi medik. Program rehabilitasi medik termasuk dalam terapi nonoperatif, mencakup fisioterapi, okupasi terapi dan ortotik prostetik. Terapi diawali dengan memperhatikan aktivitas tangan yang dapat meningkatkan kompresi saraf medianus. Gerakan pergelangan tangan dikurangi atau dimodifikasi untuk
melindungi terowongan karpal. Modifikasi aktivitas bertujuan menjaga pergelangan dalam posisi netral untuk memberikan ruang yang maksimum dalam terowongan karpal. Hal ini harus dilakukan sedini mungkin sejak gejala STK dimulai. Pasien harus menghindari aktivitas berulang dari pergelangan tangan yang dapat memperburuk gejala, baik di pekerjaannya maupun saat aktivitas di rumah.1,3 Dalam program rehabilitasi medik, modifikasi aktivitas termasuk salah satu program okupasi terapi yaitu proper body mechanic (PBM) untuk pergelangan tangan. Dalam penelitian didapatkan program okupasi terapi hanya diberikan pada 10 orang (29,4%) dan hanya 4 orang diantaranya yang mendapatkan PBM pergelangan. Program okupasi terapi lainnya seperti latihan penguatan jari-jari diberikan pada 2 orang (5,8%) dan latihan peningkatan kemampuan melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari serta latihan pemeliharaan lingkup gerak sendi masing-masing pada 1 orang (2,9%). Hal ini sesuai dengan karakteristik penderita dimana sebagian besar penderita datang pada tahap awal dan belum terdapat kelemahan otot sehingga tidak diberikan program-program tersebut. Pilihan program selanjutnya adalah pemberian splint. Splint merupakan terapi yang sederhana dan efektif. Sesuai kepustakaan lebih dari 80% penderita STK melaporkan pemakaian splint akan mengurangi gejala.1,6 Splint digunakan saat aktivitas dan saat tidur pada malam hari untuk membatasi gerakan pergelangan tangan. Suatu penelitian randomized control trial melaporkan penggunaan splint pada malam hari akan mengurangi keluhan nyeri pergelangan tangan.1,14 Dalam program rehabilitasi medik pemberian splint termasuk dalam program ortotik prostetik. Pada penelitian didapatkan pemberian resting splint pada 21 orang (61,8%). Tidak diketahui alasan mengapa penderita lainnya tidak diberikan splint. Mungkin tidak semua penderita mau memakai splint karena penggunaan splint sangat membatasi gerakan tangan saat melakukan aktivitas. Kemungkinan juga karena pertimbangan biaya dimana splint tidak termasuk dalam pembiayaan asuransi. Program fisioterapi untuk STK dapat berupa pemberian modalitas terapi dan terapi latihan. Menurut kepustakaan pilihan modalitas terapi untuk penderita STK adalah ultrasound (US).1 Terapi ultrasound adalah modalitas terapi fisik yang umumnya digunakan untuk meningkatkan temperatur jaringan dalam. Efek ultrasound pada jaringan adalah perubahan pada aliran darah, metabolisme jaringan, fungsi saraf, dan ekstensibilitas jaringan ikat. Peningkatan temperatur oleh ultrasound akan meningkatkan ambang nyeri pada manusia. Peningkatan temperatur juga mempengaruhi tingkat regenerasi saraf.15 Seluruh penderita STK dalam penelitian mendapatkan program fisioterapi (100%). Program fisioterapi yang terbanyak diberikan adalah terapi ultrasound (US) pada 26 orang (76,5%),
Volume 43, Nomor 1, Tahun 2008
15
dimana 21 orang diantaranya diberikan dengan frekuensi awal 6 kali dalam seminggu. Suatu penelitian clinical controlled trial mengevaluasi penggunaan US pada pasien dengan CTS bilateral ringan hingga sedang dengan frekuensi 10 kali dalam 2 minggu terapi. Didapatkan terapi US memberikan efek jangka pendek untuk pengurangan nyeri pada pasien dengan STK ringan hingga sedang.2,15 Namun penelitian lain mendapatkan hasil yang berbeda yaitu terapi US tidak memberikan perbaikan nyeri.2,16 Terapi latihan pada penderita STK diberikan bila terdapat kelemahan otototot tangan yaitu dengan latihan penguatan (strengthening exercises) jari-jari. Pada penelitian didapatkan 4 orang (11,8%) mendapatkan latihan penguatan, sesuai dengan karakteristik penderita yaitu 5 orang (14,7%) yang menderita kelemahan abduksi jari I. Salah seorang penderita mendapatkan terapi latihan dengan aktivitas di bagian okupasi terapi. Fisioterapi lainnya seperti parafin bath (26,5%) dan Microwave Diathermy (MWD) (5,8%) bukan meruapakan terapi pilihan untuk STK. Kedua terapi ini diberikan karena pertimbangan adanya penyakit penyerta atau sebagai kombinasi terapi dengan US. Sebagai contoh, penderita STK dengan artritis manus diberikan terapi US dengan kombinasi parafin bath. Parafin bath bertujuan untuk meningkatkan ekstensibilitas jaringan pada jari-jari tangan yang menderita artritis. Contoh lainnya, penderita STK dengan penyakit penyerta fascitis plantaris atau OA genu, terapi US telah diberikan untuk fascitis plantaris atau OA sehingga untuk STK-nya diberikan modalitas terapi lain yaitu parafin bath dan strengthening exercise. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Rosenbaum R, Ochoa JL. Carpal tunnel syndrome and other disorders of the median nerve. Boston: Butterworth Heinemann, 1993; 35-56, 127-61, 251-62, 233-50. OConnor D, Marshall S, Massy WN. Non surgical treatment (other than steroid injection) for carpal tunnel syndrome (Review). The Cochrane Collaboration. Wiley, 2007;1-85. Kao SY. Carpal tunnel syndrome as an occupational disease. The Journal of The American Board of Family Practice. 2003;16:533-42. Tanaka S, Wild DK, Cameron LL, Freund E. Association of occupational and non-occupational risk factors with the prevalence of self-reported carpal tunnel syndrome in a national survey of the working population. Am J Ind Med. 1997;32(5):550-6. Hagberg M, Morgenstern H, Keish M. Impact of occupations and job tasks on the prevalence of carpal tunnel syndrome. Scand J Work Environ Health. 1992;18(6):337-45. Katz JN, Barry P, Simmons. Carpal tunnel syndrome. N Engl J Med. 2002;346(23):1807-12. Stevens JC. Median neuropathy. In: Dyck PJ, editor. Peripheral neuropathy, 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005;1435-61. Atroshi I, Gummesson C. Prevalence of carpal tunnel syndrome in a general population. JAMA. 1999;281(2):153-8. Cailliet R. Wrist and hand pain. In: Cailliet R, ed. Soft tissue pain and disability, 3rd ed. USA: FA Davis Company, 1996;310-61. Cailliet R. Nerve control of the hand. In: Cailliet R, ed. Hand pain and impairment, 4th ed , USA: FA Davis Company, 1994; 69-131. Christopher A, McGee, Steven. Does this patient have carpal tunnel syndrome, the rational clinical examination. JAMA. 2000;283:3110-17. Urbono FL. Tinels sign and Phalens maneuver: Physical signs of carpal tunnel syndrome. Hospital Physician. 2000;39-44. Rempel D, et al. Consensus criteria for the classification of carpal tunnel syndrome in epidemiologic studies. American Journal of Public Health. 1998; 88(10):144751. Ebenbichler GR, Resch KL, Nicolakis P, Wiesinger GF. Ultrasound treatment for treating the carpal tunnel syndrome: randomized sham controlled trial. BMJ. 1998;396:731-5. Oztaz O, Turan B, Bora I, Karakaya MK. Ultrasound therapy effect in carpal tunnel syndrome. Arch Phys Med Rehabil. 1998;79:1540-4. Werner RA, Franzblau A, Gell N. Randomized controlled trial of nocturnal splinting for active workers with symptoms of carpal tunnel syndrome. Arch Phys Med Rehabil. 2005;86:1-7.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11.
12.
Karakteristik penderita STK adalah dominan wanita dengan rentang usia tertinggi antara 40-60 tahun, dan pekerjaan ibu rumah tangga dengan karakteristik pekerjaan mencuci, memasak dan mengulek. Keluhan/gejala terbanyak adalah parestesi dengan tanda Tinel positif. Sebagian besar penderita datang pada tahap awal dan belum mengalami kelemahan otot abduksi jari I dan atrofi thenar. Pemeriksaan elektrodiagnostik mendukung diagnosis pasti STK dan pemeriksaan laboratorium umumnya dilakukan untuk mengetahui penyakit penyerta atau penyakit lain dimana STK merupakan sekunder dari penyakit yang sudah ada sebelumnya. Program rehabilitasi medik terbanyak yang diberikan adalah program fisioterapi dengan modalitas terapi ultrasound dan ortotik prostetik dengan pemberian splint.
13.
14.
15.
16.
16