Dunia Cyberspace Baudrillardian "The Matrix": Wolly Baktiono

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

DUNIA CYBERSPACE BAUDRILLARDIAN

“THE MATRIX”

Wolly Baktiono
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Kristen Petra
Jalan Siwalankerto 121-131 Surabaya 60236
email:[email protected]

ABSTRACT

Baudrillard, following Barthes, noted the movements which easily altered to


visual experience where driver or viewer interacted with image, than with physical
world (Ecstasy 13). Other than metaphorical transformation from physical world
to image “on” a windshield, “cyberspace” provides simulations behind monitor
screen. What’s real will no longer as a reference for postmodern version of Window
Alberti. Scene or simulation screen is a shallow surface that no longer conforms to
image games between metaphor and the represented world. For Baudrillard,
screen provides the example of “reality satelitation” reaching speeds detachment
and hyperreality. “It once to be previously mentally projected that lives as a
metaphor in terrestrial habitat which from now on projected entirely without
metaphor, into definite space of simulation” (Ecstasy 16). Not for long now the
metaphor to change, simulated highway of Internet as a form of virtual reality.
Virtual reality doesn’t mean “representation of reality” but a “simulation of
reality”. Baudrillard explained that simulation is the creation of reality models
which without origin or without reality, but hyperreal! People believed the already
constructed reality, as social construction of reality (adopted from the concept of
Peter L. Berger and Thomas Luckman), like drama scenario, which define
individual roles, change the narration, build its self image and collectively and
oddly includes exploring the cyberspace. Computer technology, internet, virtual
reality, artificial intelligence and cyberspace, has loaded with pseudo-event, which
eventually offers virtual community.

Keywords: virtual community, simulation

PENDAHULUAN
“Manifesto for Cyborgs” - sebuah artikel tulisan Haraway, yang dicermati
sebagai karya klasik dalam teori sosial kaum feminis. Tak ayal lagi ini merefleksikan
semakin mengkhawatirkannya kaitan antara teknologi dan badan manusia. Tidak
seperti William Gibson, karyanya yang menggambarkan sekumpulan karakter-
karakter tertangkap dalam liku-liku dan ulah artificial intelligence mencoba
menggabungkan dengan separo terpisah. Haraway mencoba mendefinisikan
hubungan manusia/mesin (human/machine relationship). Organisme Cyborg-
cybernetic dalam cara lain dari pada mengkonfigurasikannya dengan “menekankan
militerisasi, berlandaskan pada technoscience sistem komunikasi pada bentuk tahap
kapitalisme lanjut (late capitalism imperialist). Dengan cerita seperti Robocop atau

8
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Baktiono, Dunia Cyberspace Baudrillardian “The Matrix” 9

“Borg” yang terlibat dalam Star Trek, boleh jadi akan merupakan surprise bahwa
“penyusupan” mesin ke dalam tubuh manusia menjadi preoccupation yang umum
dari imaginasi populer. Memasuki dunia cybernetics, cyberspace dan cyber
fiction model The Matrix secara baudrilladian, akan berjumpa dengan kata-kata
kunci Hyperreality, yang diharapkan dapat membantu kita menyaksikan “ruang dan
waktu” (spatio-tempora) secara baru. Hyperreality dalam konteks “organizational
hyperreality,” pada proses tekstualisasi di dalam ruang kerja dan implikasinya ter-
hadap masa depan pekerja.
Baudrillard yang lahir di Reims pada 1929, memang bukan dari keluarga
kalangan intelektual. Kakek-neneknya petani dan orang tuanya pegawai negeri.
Jadi Baudrillard sejak muda harus bekerja keras untuk mengatasi pelbagai masalah
yang dihadapinya. Pekerjaannya di lycée merupakan pilihan untuk
mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang intelektual yang serius. Baudrillard
tidak ragu-ragu mengatakan bahwa dirinya hidup dalam kondisi rentan dan retak-
retak. Pada 1966, Baudrillard di Universitas Nanterre, berbarengan dengan Henri
Levebre, menyelesaikan tesisnya dalam bidang sosiologi. Sedikit banyak, pengaruh
dari hubungannya dengan Levebre yang antisosialis dan Roland Barthes yang
menulis Le système modes, merasuk dalam karya-karya Baudrillard berikutnya.
Misalnya Le système des objets (1968) yang merefleksikan karya Barthes. Sedangkan
dengan Levebre yang menolak strukturalisme, Baudrillard bersikap sebaliknya:
menerima. Pemikiran dialektis yang diperoleh dari Hegel dan Marx, justru
dipergunakan untuk memahami dan menggarap pokok-pokok pemikirannya dari
arah berseberangan. Masalah-masalah seperti “sistem”, “tanda”, “perbedaan” akan
dipahami dengan cara pandang yang lebih komprehensif. Perhatiannya yang luas,
meliputi media massa dan juga new media, baik yang bersifat real maupun imajiner
dengan analisisnya yang tajam dan menarik.

PEMBAHASAN

Konsep-konsep (text) Baudrillard, tersebar dengan kata-kata kunci yang me-


rangsang otak pada pembacanya. Misalnya simulation, simulacrum, semiurgi,
implosion, libidinal economic, hyper reality. Perhatiannya kepada teknologi komuni-
kasi dan dampak-dampak sosialnya, tampak dalam karya mutakhirnya. Apa yang
dibutuhkan orang, melalui teknologi komunikasi yang canggih ini, adalah berita
media yang diharapkan melangkah keluar dari le systéme dan mengatakan kebe-
naran kepada publik yang lapar dan dahaga untuk itu (the truth). Kebenaran dan
cerita adalah apa yang ada di Amerika dewasa ini, adalah sebagian demokrasi dan
sebagian lagi “oligarki”, yang tengah memerintah kelas-kelas dengan keadaan
kedua-duanya sedang konflik. Konflik itu untuk tujuan yang serupa, baik dengan
bersaing maupun bekerjasama, saling berbagi kekuasaan, manipulasikan media
untuk memacu tujuan akhir mereka masing-masing. Cerita itu tentang perusahaan-
perusahaan, organisasi politik, birokrat, berita dan media hiburan, para lobbyists
dan spesialis periklanan dan marketing dari pelbagai macam, dan bagaimana
kesemuanya itu membuat sistem berjalan untuk kemanfaat sendiri dan masing-
masing, Public relations bekerja keras dan saling bertempur untuk mengendalikan
kata-kata yang tajam dan citra yang jelas, demi memenangkan persaingan.

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
10 Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 2, No. 1, Januari 2008: 8 - 17

Baudrillard juga melihat internet, baik sebagai artifak teknologis, maupun


sebagai popular image, menyediakan situs untuk mengeksplorasi “dunia”, dan
memiliki posisi sebagai suatu sistem totalitas dalam postmodernitas. Dan lagi
mungkin para teoritisi kontemporer yang lain menyepakatinya, sementara
Baudrillard menyajikan tuntunan provokatif untuk “menavigasi” di kawasan
hiperrealitas (hyper real terrain). Walaupun dia tidak bermaksud mengarah pada
jaringan dunia Internet dalam tulisan yang spesifik. Sangat sering komentar-
komentarnya tentang telematique, berbarengan dengan general critiques-nya
terhadap modernitas, memaparkan konstruk pemikirannya yang menarik untuk
mengeksplorasi apa yang disebutnya sebagai “the metaphoricity of Internet.” Secara
khusus yang menarik pada “bacaan” baudrillardian, adalah metafora geografisnya
untuk internet–kerangka-kerja topologis di bawah permukaan “Information
Superhighway” yang mempertimbangkan perjalanan, jarak dan kecepatan dalam
dunia metaforikal. “Cyberspace” tak lama lagi pasti menjadi acuan pemikiran ke
depan, yang bermula dari karya fiktif “matrix” dalam novel tulisan William Gibson,
Neuromancer. Sekarang telah masuk menjadi pembicaraan umum, kalau orang
membahas hal yang menyangkut tentang konsep jaringan kerja komputer sebagai
cybernetic space. Cybernetics merasuk ke dalam bentuk erotisasi pada tahun 80-an,
sebagai pengembangan dari tulisan William Gibson dan Donna Haraway, seorang
sejarawan ilmu pengetahuan. Sebutan “cyberspace” oleh Gibson dalam Neuromancer
membawa kita ke seluruh subgenre prosa baru yang disebut “cyberpunk”.
Dari perspektif baudrillardian, figurasi internet sebagai jenis kawasan kerja
cybernetic memintasi jarak simbolik metafonik dan kenyataan. Hal ini
meninggalkan (abandon). ”kenyataan” demi hiperrealitas, dengan cara menyajikan
dan menambahkan simulasi nyata secara komprehensif dan comprehendible world.
Inilah yang dituding oleh Baudrillard sebagai “hypertelia,” yang ditakdirkan menjadi
malapetaka (catastrophe,) ketika kecanggihan suatu model yang mengungguli
realitas dengan upaya untuk menghayati kesempurnaan manusia (Robocop, Cyborg
dll). Hal ini jadi menarik setelah kita menyimak tulisan Baudrillard, “Fatal
Strategies” – yang mengingatkan bahwa manusia memacu dirinya didalam dunia
virtual, yang menuju self-destruction sebagai titik Omega-nya (meminjam istilahnya
Pierre Teilard de Cardin). Internet yang agaknya menyediakan konteks untuk
pengertian dalam imaji Baudrillard, justru merupakan teknologi fatal. Imaji ini
dalam pandangan Baudrillard, terutama yang berkaitan dengan teknologi informasi,
tampil sebagai tantangan kontemporer menghadapi yang “nyata” (“the real”) dalam
wacana budaya postmodern. Terlintas dalam pemikiran orang, untuk menggantikan
dunia dengan dunia yang memungkinkan, internet menawarkan baik rangsangan
(seductions) maupun yang apa saja yang ada hubungan dengan rangsangan
(subductions) dari dunia postmodern.
Sebagai fiksi ilmiah yang menarik untuk dibahas, dipikirkan dan ditafsirkan
dengan kreatif, kita dapat mengeksplorasi dengan meninjaunya dari filsafat David
Hume dan sangat relevan dengan gagasan Rene Descartes, misalnya “The
Meditation.” Atau kita mulai dengan dunia Isaac Newton. Kita lihat trilogy Matrix
sebagai metafora dari perkembangan sejarah fisika dan berubah secara sub-
sekuensial dalam pandangan akal sehat dunia. Bila kemudian terlalu menyeder-
hanakan, harap dimaklumi. Juga ketika penulis berbicara tentang dunia atau
pandangan dunia (Weltanschauung), kurang lebih mengikuti tradisi Eropa dan sudut

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Baktiono, Dunia Cyberspace Baudrillardian “The Matrix” 11

pandang kristiani yang selama ini memenuhi kepala kita. Plot mulai dari dalam the
Matrix, semacam dunia impian. Di mana orang kurang lebih hidup “bahagia”. Mulai
dan sudut pandang dewasa ini, yang kiranya dapat mewakili era sebelum penemuan
akbar dari Newton dengan ajaran-ajarannya. Dunia digunakan menurut dan
sepenuhnya dengan kehadiran Tuhan. Kebanyakan orang tidak mempersoalkan
eksistensi dunia dan memperlakukannya dengan rasa bahagia. Sampai kemudian
bermunculan orang-orang yang disebut para ilmuwan (scientists), memandang dunia
dengan cara berbeda dari kebanyakan orang. Mereka melihatnya dengan landasan
berpikir, setidak-tidaknya menurut konsekuensi dari penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan yang mereka pelajari, yang memang kemudian mempengaruhi seluruh
dunia.
Mulai dari Newton, yang mempresentasikan prinsip-prinsip kerja alam
semesta! Mekanika Newton melukiskan bahwa dunia sebagai objek yang konsisting
dan objek-objek itu membuat titik-titik massa atom. Maka Newton menghasilkan
dalil-dalil gerakan, kelembaman (the law of inertia), hukum aksi dan reaksi, dan
gravitasi, Dalil-dalil itu diperlakukan mirip dengan hukum alam yang di berikan
oleh Tuhan. Pada masa Newton, fisika menjadi ilmu pengetahuan yang ingin
menjelaskan hukum-hukum Tuhan (deciphering). Apa yang mengagumkan adalah
penyederhanaan dari temuan -temuan dalil itu, dipandang semacam dekalog Tuhan
di hadapan Musa. (The Ten Commandment).
Sikap semacam ini berakibat segala sesuatu fenomena alam akan direduksi
pemahamannya, sama dengan penyederhanaan Newton tentang dalil gerakan
(motion). Hukum Newton sudah cukup lama dikoreksi oleh para fisikawan termasuk
Albert Einstein, Stephen Hawking, Fritjof Kapra. Einstein yang brilliant beserta
pemikirannya melesat dengan cara pandang yang sama sekali baru tentang dunia
fisika. Dia memperkenalkan teori relativitasnya dan membawa dasar mekanika
kuantum, yang kemudian berkembang sebagai cabang lain para ahli ilmu fisika. Ada
dua disiplin yang memiliki pandangan dunia keilmuan, yang pertama tetap
menekuni ilmu pengetahuan klasik, melakukan penelitian sesuai pakem positivistik
yang ada (just to keep it on track) dan lamban menerima perubahan dan pemikiran-
pemikiran baru. Yang satu lagi adalah ilmuwan seperti ‘Neo’ (seri “Reloaded and
Revolutions”) representasi dari ilmuwan yang curious, simbolisasi dari revolusi tanpa
henti (ongoing revolution), Revolusi yang melanda ilmu pengetahuan modem yang
hanya berhenti dan benar-benar berakhir kalau justru menjadi titik balik dari
“penyelamatan umat manusia.” Dengan cara yang kurang-lebih mirip, Prof. Fritjof
Capra telah memaparkan dalam bukunya “Tue Turning Point”
Jikalau Baudrillard yang berstatus guru besar dan mengajar di pelbagai
universitas di beberapa penjuru dunia itu, mengkritik modernitas dalam hal
penerapan pada akselerasi dalam informasi dan teknologi komunikasi, begitu pula
media euphoria yang merebak mengitarinya. Anehnya, mengapa pemikiran-
pemikiran Baudrillard yang begitu berpengaruh itu tidak tersimak oleh Fred Inglis,
misalnya. Buku yang disunting oleh Felipe Korzenny dan kolega-koleganya, “Mass
Media Effects Across Cultures, juga mengabaikan perspektif kritis Baudrillard.
Mestinya Inglis menyinggung apa yang dikerjakan oleh Baudrillard. Tetapi hal itu
dapat dimaklumi, bahwa seringkali memang arogansi intelektual, memperlakukan
pemikiran-pemikiran Baudrillard dan para pemikir Prancis Baru (meminjam istilah
Douglas Kellner), masih belum masuk dalam khasanah keilmuan komunitas yang

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
12 Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 2, No. 1, Januari 2008: 8 - 17

mencakup dalam Speech Communication Association yang bermarkas di Amerika


itu. Namun demikian untuk kajian teoritik awal oleh John Storey, posisi Baudrillard
sudah digolongkan pada para pemikir posmodernis. Ada kesan kebingungan untuk
mengelompokkan Baudrillard dalam disiplin akademis tertentu. Kalau mencermati
bibliografi Baudrillard, semua orang akan terperangah. Wawasan kajiannya
sungguh-sungguh “borderless”.
Beberapa analisis sosial yang cerdas (shrewd social analysis) dalam bentuk
pengamatan yang cermat, sering menyajikannya secara analitis ilmiah. Tetapi
kadang-kadang ada yang sederhana, seperti Baudrillard yang Profesor sosiologi di
Universitas Nanterre (1960-1987), ini pernah mengatakan kepada seorang koleganya
(Jim Rovira), betapa bergantung setiap orang pada “le système“. Dengan demikian
Baudrillard mengartikan bahwa kita melakukan apa saja dan begitu saja (take for
granted) sebagai basis tindakan sehari-hari, yakni: penggunaan listrik, mobil, BBM,
melintasi jalan, menyimpan barang di gudang, menuruti polisi, telepon, komputer
dan daftar ini tidak akan pernah putus sampai seberapa panjang pun. Dia maksud-
kan bahwa kita menjadi begitu tergantung terhadap apa saja, sekedar kita dapat
berlangsung hidup (survival). Begitu BBM di Jawa Tengah langka, langsung be-
berapa kilometer kendaraan roda dua dan empat rela mengantri supaya kebagian
premium. Demikian juga kalau susu bubuk untuk bayi tiba-tiba langka di pasaran.
Memang kita semua, kata Baudrillard, ada hasil dari dan budak dari sistem. Kita
adalah domba yang siap disembelih atau sapi yang harus kerja keras. Tapi bilamana
tiba waktunya, kita tidak bakal sudi menjadi mukluk demikian itu. Tetapi kapan. itu
hanya angan-angan! Kita bekerja mencari uang, membelanjakannya di department
store dan super market, hidup sebagai model warga negara, dan melakukan apa saja
demi kelangsungan hidup. Baudrillard dalam Le système des objets (1968) mengung-
kapkan perspektif neo-Marxisnya, posibilitas bahwa konsumsi telah menjadi basis
utama dari sistem sosial. Dia berargumentasi objek konsumen & melembaga
menjadi sistem klasifikasi dan yang berdampak pada perilaku yang terstruktur.
Kode etik periklanan melalui simbol-simbol yang membedakan produk yang satu
dengan produk-produk yang lain. Dengan demikian menyesuaikan objek ke dalam
rangkaian. Objek memiliki efeknya sendiri ketika dikonsumsi dengan pemindahan
makna kepada konsumen individual. Dan itu berpotensi secara tiada terhingga
untuk memainkan tanda-tanda sedemikian rupa dan kemudian melembaga.
Berkenaan dengan masyarakat yang seraya menyediakan bagi individu-individu
dengan perasaan ilusif dari kebebasan. Berbeda dengan dalam dunia Matrix,
perasaan-perasaan itu ada dan nyata. Di dalam Consumer Society (1970),
Baudrillard sudah terlatih berpikir dan menganalisis sebagai seorang Marxis
melanjutkan pengembangan argumentasinya, bahwa objek-objek konsumsi
mengikuti sebuah sistem tanda yang memilah populasi.
Kemungkinan ada koneksitas (the central concern) antara film blockbuster
terakhir dari Wachowski bersaudara, The Matrix. Karya-karya seorang sosiolog
Prancis, Jean Baudrillard, diduga berpengaruh kuat serta mengilhami film The
Matrix yang menjadi box office itu. Sebagai tokoh yang disebut seseorang posmo-
dernisme sejati dan radikal, pikiran-pikirannya mempengaruhi dunia bukan hanya
di kontinental Eropa. Kecenderung menyebut nama Jean Baudrillard dan
mengelompokkannya sebagai seorang sosiolog, karena memang karya-karyanya
menyentuh ranah itu, tetapi juga menunjukkan bahwa minatnya jauh lebih luas dari

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Baktiono, Dunia Cyberspace Baudrillardian “The Matrix” 13

itu. Keengganannya mengidentikkan dirinya dengan sosiologi, karena dia mengang-


gapnya sebagai disiplin ilmu yang reduktif. Data sosiologis tidak begitu menarik
baginya, sebab perhatiannya lebih tertuju kepada efek-efek simbolik dalam proses
transformasi sosial. Termasuk konsep universum simbolik (Peter L. Berger), ideologi
(Karl Marx) dan derivasi (Vilfredo Pareto), Rentetan analisis yang kritis dan
provokatif tentang objek, tanda, kode dalam masyarakat produksi dalam
penelitian awalnya, sangatlah memikat readers-nya. Kajian mendalam tentang
sosiologi tatkala di universitas, tentu saja harus dilampaui, tetapi sudut pandang
yang tidak mau terbelenggu dalam disiplin ilmu itu menghantarkan pikiran-
pikirannya menuju ke semiologi, psikoanalisis, Marxisme dan kemudian masalah
moral dan metafisika serta fenomena dunia maya. Yang diamati akhir-akhir ini
adalah masyarakat telematique. Kita kaji karya Baudrillard’s Simulacra and
Simulation. Kemudian kita saksikan “The Matrix.” Dalam suatu adegan, Thomas
‘Neo’ Anderson – seorang hacker komputer (yang diperankan oleh Keanu Reeves)
seolah menatap bab yang berjudul “On Nihilism. Buku itu ada hollow, menyajikan
dengan cara seperti halnya Neo di tempat yang tersembunyi, menjalankan program
komputernya yang dia beli di pasar gelap. Memikat sekali, “On Nihilism”
sesungguhnya buku yang berbicara tentang petualangan aneh cyberspace. Itu bukan
bab pertengahan seperti yang diceritakan dalam film. Saya percaya penempatan bab
yang keliru di dalam film ini, disajikan atas kemauan pekerja pada pembuat film
tersebut, demi pertimbangan estetika menghindari kerumitan (to provide specific
philosophical context) dan menciptakan daya pikat (intriguing film).
Neo,” orang baru sosok “Kristus” yang meninggal dan kembali hidup, memiliki
kekuatan adikodrati (mujizat) dalam matrix dan dikhianati oleh sosok “Yudas,”
direpresentasikan oleh tokoh Cipher yang adalah “the One”, dan ditakdirkan untuk
mengambil bagian dalam mengontrol the matrix dan menyudahinya. Pembebasan
kemanusiaan dari kondisi perbudakannya. Morpheus (Dewa dari dunia impian
mitologi Yunani) yang representasikan sosok Yohanes Pembaptis, melayani sebagai
pewarta yang menyatakan kedatangan Neo, yang justru paling penting bagi Neo
sendiri. Dalam film itu letak oposisi sentralnya adalah antara kebenaran dan
kenyamanan. Cipher memilih untuk mengkhianati teman-temannya dalam hal
menyusup ke dalam matrix dan tinggal dalam kenikmatan hidup dengan kenangan
pengkhianatannya yang lalu. Betapa pun palsunya kenyataannya, dia lebih suka itu
untuk bersikap keras dan kasar terhadap “dunia nyata” di luar matrix.
Sebenarnya ketimbang film “the Matrix” ini mengasosiasikannya dengan hal-
hal yang cenderung menyimpang, seperti imaji Kristus, filsafat timur, dan mitologi
Yunani kuno, yang dinarasikan dan dikarakterkan dalam The Matrix, barangkali
Simulacra and Simulation tulisan Baudrillard-lah yang paling pas sebagai dasar
berpijak dan titik tolak untuk landasan pendekatan filosofi dan sosiologi bagi isi text
film. Dalam The Matrix, teknologi komputer pada perkembangan mutakhir
mengarah pada memproduksi artificial intelligence; pikiran dan kemauan, komputer
mandiri (self-determined computer. Dan itu berlanjut pada belajar dan bertumbuh,
memiliki kewenangan mengendalikan masyarakat manusia dan berangsur-angsur
hampir mengontrol secara total. Pemberontakan manusia mengambil bentuk mass
cataclysm, memprakarsai penggunaan nuclear dalam alam, mengkapling sinar
matahari dipermukaan bumi, dan meng-shut down komputer yang bertenaga solar.

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
14 Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 2, No. 1, Januari 2008: 8 - 17

The computer then started to breed humans for use as a power source. They
were born, grew, and died within gel filled pods, fed nutrients intravenously
while their body heat and electro-chemical impulses were tapped to power
the P computer. To keep people alive as long as possible, the computer
created a program called “the matrix,” a VR world serving as an exact
sensory duplicate of late 20th century earth. Humans in the pods were
plugged directly into the computer network through implants at the base of
their skulls. Each individual within the matrix perceived themselves as
living out a normal life somewhere on 20th century earth, while in reality
their lives were spent within a pod.

Baudrillard, yang tentang dirinya sendiri mengandung ambiguitas. antara


status sebagai seorang sosiolog dan seorang tokoh posmodernis, sebenarnya tidak
peduli apa kata orang. Memang teori sosial pos-modernisme itu sedemikian
kompleks Dan Baudrillard tidak ingin terbelenggu dalam batasan-batasan disiplin
ilmu tertentu. Walaupun dia sendiri memandang posmodernisme secara sangat
kritis dan agak mencemooh, sebagai sesuatu yang tiada taranya dan mengesankan
suatu citra kehampaan. Pembacanya sebaiknya melepaskan beban pengaruh dan
prejudice terhadap setiap karyanya. Seperti halnya tatkala dia mengatakan “a
simulacra is a copy without an original” Inilah “kebenaran alamiah” (the exact
nature) dari the matrix. Dalam film, bumi abad ke 21 telah tiada. Dunia nyata
adalah bumi limbah nuklir (nuclear wasteland); kota-kota hangus (charred) dan
kosong, kehidupan di bumi hanya mungkin di bawah permukaan. Tetapi sebuah
copy yang sesungguhnya ada (exist) dalam bentuk program komputer. Orang-orang
hidup dalam suatu simulacra, sebuah copy yang itu sendiri adalah realitasnya
sendiri. Menurut Baudrillard, mengeksplorasikan jenis ini dari realitas palsu
(pseudo-reality) adalah langkah berikutnya bagi fiksi ilmiah modern. Baudrillard
sendiri memang terhadap menolak dirinya dikaitkan dengan posmodernisme.
Bahkan berpendapat bahwa posmodemisme dipandang sebagai sebuah episode
dalam sejarah yang sangat memalukan (Baudrillard, “Cool Memories”).
Baudrillard, mengikuti Barthes, mencatat betapa mudahnya gerakan dapat
berubah ke dalam pengalaman visual di mana driver/viewer berinteraksi dengan
imaji, ketimbang dengan dunia fisik (Ecstasy 13). Tidak seperti transformasi
metaforikal dari dunia fisik ke dalam imaji “on” a windshield, “cyberspace” menyaji-
kan simulasi dibalik layar monitor. Yang nyata (real) tak lama lagi menyajikan
sebagai acuan untuk versi postmodern dari Window Alberti. Adegan/atau layar
simulasi adalah permukaan yang dangkal yang tidak menuruti permainan imaji
antara metafora dan dunia yang diwakili, Bagi Baudrillard, layar menyajikan contoh
dari “satelisasi kenyataan” mencapai kelepasan kecepatan dan hiperrealitas. “Itu
yang diduga previously mentally projected, yang tinggal sebagai suatu metafora
didalam habitat terrestrial adalah dari sejak sekarang on projected entirely tanpa
metafora, ke dalam ruang mutlak dari simulasi” (Ecstasy 16). Tidak lama lagi
metafora untuk berubah, disimulasikan highway of Internet menjadi bentuk realitas
virtual. Realitas virtual itu bukan berarti “representasi realitas” melainkan sebuah
“simulasi realitas”. Baudrillard menjelaskan, bahwa simulasi itu penciptaan model-
model realitas yang tanpa asal-muasal atau tanpa realitas, melainkan hyperreal!
Dan orangpun mempercayai realitas yang sudah dikonstruksikan sedemikian rupa,

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Baktiono, Dunia Cyberspace Baudrillardian “The Matrix” 15

berupa social construction of reality (diadopsi dari konsep Peter L. Berger dan
Thomas Luckman), seperti skenario drama yang menetapkan peran perorangan,
menggubah narasinya, membangun citra dirinya dan secara kolektif dan anehnya
termasuk menjelajahi mayantara (cyberspace). Teknologi komputer, internet, realitas
virtual, kecerdasan artifisial dan cyberspace, telah sarat dengan pseudo-event, yang
pada gilirannya menawarkan komunitas virtual. Di sinilah kita banyak bertemu
dengan terminologi dan gagasan intelektual Baudrillard. Mungkin saja kita keliru
menilai dia, tetapi masalahnya apakah benar bahwa memang tidak ada pengaruh
Baudrillard terhadap pemikiran para sosiolog Amerika, yang kemudian juga ter-
hadap ilmu sosiologi itu sendiri. Pengaruhnya terhadap para pengajar, para teoretisi
sosial di perguruan tinggi se dunia, para kreator pemikir, juga para pembuat film
sesungguhnya cukup luas, setelah karya-karyanya semakin banyak diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain di dunia, seperti Italia, Spanyol,
Jerman dan Belanda. Oleh kaum sosiolog mazhab aliran utama (main stream) yang
puluhan tahun telah merajai dunia sosiologi, memang Baudrillard kurang begitu
difahami. Ide-idenya tidak menarik minat mereka. Hal tersebut mudah dimengerti
karena buku-bukunya relatif baru dikenal di negara-negara berbahasa non-Prancis.
Sama halnya dengan nasib para pemikir lainnya, seperti dulu Henry Fayol, Jean
Paul Sartre, Albert Camus, kemudian Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques
Derrida atau apa lagi Julia Kristeva. Dalam perkembangan terakhir, sekarang kita
dapat jumpai di rak-rak toko buku import, maupun yang sudah terjemahan
Indonesia. Nama Baudrillard sudah sangat banyak kita baca di indeks buku-buku
karya pengarang lain. Ini artinya pengaruh Baudrillard sudah sangat merata,
terutama bagi para intelektual dan kalangan yang curious, haus akan pengetahuan
kontemporer.
Fiksi ilmiah awal yang ditulis orang, adalah petualangan-petualangan Jules
Verne, kisah Flash Gordon, kemudian karya projek pioneer ke ruang angkasa luar,
dan Buck Rogers sampai ke Star Trek dan terakhir Star Wars. Sementara planet
kita masih membawa unsur misteri, sebegitu jauh selama ada perbatasan
(pengetahuan), imajinasi manusia dapat melakukan penjelajahan ke luar angkasa.
Perbatasan sudah lenyap, berarti fiksi ilmiah akan bergeser ke mana-mana dan
bahkan ke dunia maya. Di sini para profesional akan memanfaatkan referensi ke
karya-karya dan karya-karya intektual mutakhir. Juga Jean Baudrillard, sebagai
intelektual yang kontroversial dan provokatif dewasa ini dianggap sebagai pemikir
yang sangat bergaya (fashionable). Baudrillard selalu memperhitungkan segala
dampak komunikasi massa yang mungkin saja timbul. Baik itu yang bersifat realita
biasa maupun yang menjelma menjadi hiper-realitas. Kehidupan pasca-modern,
digambarkan sebagai hiper-realitas. Baudrillard mengungkapkan bahwa fiksi ilmiah
akan mengambil tuntunan baru.
“Prosesnya lebih akan menjadi bertentangan: akan berada dalam situasi
tidak memusat, model simulasi di suatu tempat yang dirancang untuk
memberikan perasaan riil, namun dangkal-dangkal saja dan pengalaman
hidup. Pada tataran menemukan kembali kenyataan sebagai fiksi, agar
tepat karena kenyataan itu telah melenyap dari kehidupan kita.
Halusinasi dari kenyataan, dari pengalaman hidup, dari keajegan (yang
timbul setiap hari), tetapi dengan mengubahnya, kadang-kadang merosot
ke taraf rincian aneh mencemaskan.” (Simulation and Simulacra, 124).

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
16 Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 2, No. 1, Januari 2008: 8 - 17

Dunia matrix sebagai “model of simulation” memberikan perasaan nyata.


Menjadi begitu karena bertujuan pengendalian dan melucuti hegemoni manusia
(maintaining control and reducing human beings) menjadikannya serdadu timah -
“coppertops.” Juga demi persediaan dan pemasokan sumber daya energi, sistem yang
memberikan jaminan demi kelangsungan hidup sang artificial intelligence.
Berbicara tentang Matrix dan fiksi ilmiah a’ la Baudrillard, pada umumnya,
refleksi realitas itu sudah tidak seperti kalau dia berbicara tentang komunikasi dan
media massa. Walaupun oleh media massa, realitas yang mestinya tampil secara
representatif dalam kenyataannya bergeser ke realitas yang di blow up , menjadi
hiper-realitas. Kita bandingkan dengan The Matrix. Dalam kehidupan nyata pun,
pelbagai macam distorsi informasi dan kebohongan, di tawar-tawarkan sebagai
keniscayaan hidup kepada khalayak. Hiper-realitas, seperti tragedi Mei 1998
ternyata bisa terjadi. Sesungguhnya, media massa tidak mampu menyajikan realitas
yang benar, apa yang terjadi pada waktu itu. Kemampuan dan integritas media
massa tentu berbeda dengan laporan Romo Sandyawan, yang analisisnya dipandang
cermat oleh para pengamat sosial-politik. Juga penyerbuan Irak oleh agresor Barat,
Amerika Serikat dan Inggris, merupakan contoh hiper-realitas yang
digelembungkan oleh media massa imperialis, dengan dalih bahwa Irak memiliki
senjata pemusnah, yang ternyata tidak ada realitasnya. Tetapi tindakan ganas
penyerbuan itu dipaksakan harus sudah terjadi. Fait a compli oleh hegemoni super
power itu mendapatkan “pengabsahannya” seolah-olah memang Amerika dan antek-
anteknya, memiliki raison d’etre, sebagai sheriff dunia.
Di mana letak persamaannya dengan dunia matrix. Kedua-duanya
menyandang sebutan terorisme virtual. Teror yang direkayasa oleh penguasa dan
yang memiliki hegemoni. Perbedaannya hanya pada yang satu hadir di dunia
tontonan dan satu lagi di panggung kenyataan. Realitas ini, oleh para pemikir
‘supradisipliner’ yang berlabel Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), diyakini bahwa
perkembangan teknologi pada masa apapun sulit bisa dilepaskan dari kecen-
derungan keserakahan dan kebengisan (beast hood) kaum kapitalis, yang selalu
berambisi melakukan kontrol terhadap kelas sosial dibawahnya. Teknologi memang
tidak pernah netral, cenderung bermuatan ideologis, dengan mempropagandakan
“universum simbolik” lengkap dengan “legitimasi” kognitif, seperti: pasar bebas,
globalisasi, revolusi hijau, global village, free flow information dengan lembaga-
lembaga superpower-nya. Jurgen Habermas yang juga ada pemikir jajaran akhir
Mazhab Frankfurt, sering menyoroti media effect, tekun dan rajin melontarkan
kritik keras serta telak terhadap wajah kemanusiaan yang terjebak oleh ‘industri
budaya’ kapitalistik, terutama media massa yang menjadi desire machine (Deleuze &
Guattari) mereka.

KESIMPULAN

Sejak Baudrillard menulis karya-karya seperti Symbolic Exchange and Death,


dia memahami konsekuensi radikal tentang yang dialaminya begitu merasuk
sebagai tanda kehadiran masa-masa senjakala modernisme. Bidang fisika nuklir,
biologi, teknologi komunikasi, cyberspace dan ilmu-ilmu alam lainnya, menciptakan
peluang berprosesnya reproduksi secara sempurna dari suatu objek atau situasi.
Dengan demikian kode dapat mem-by pass sesuatu yang nyata dan munculnya

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Baktiono, Dunia Cyberspace Baudrillardian “The Matrix” 17

realitas yang oleh Baudrillard disebut sebagai hyperreality itu. Inilah dunia dimana
kita berada.
Keputusan yang mesti kita hadapi dalam lingkup kehidupan nyata. seolah-olah
mensyaratkan bahwa kita diperbudak oleh sistem sebagai langkah yang pertama.
Langkah berikutnya melibatkan kemauan untuk berkorban menyelamatkan kemer-
dekaan. Kedua langkah itu diambil oleh semua film protagonis, dan masih ada lagi
di belakang semua itu. Bab dalam Simulacra and Simulation yang berjudul “On
Nihilism” menyadari bahwa terorisme sebagai alat dari mekanisme kontrol, tetapi
mengamati bahwa sistem itu sendiri bersifat nihilistik. Dapat dimengerti kalau ada
kekerasan didalam keacuh-tak acuhan nya sendiri. Demikianlah, kepada
Baudrillard, masalahnya memang kelihatannya tak terpecahkan. Sampai film
berakhir. Neo merealisasikan identitas dan kekuatannya dalam matrix dan berakhir
pula programnya.

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Jean. 1994. Simulacra and Simulation translated by Sheila Faria


Glaser,Michigan: University of Michigan

Baudrillard, Jean. 1998. The Ecstasy of Communication New York: Semiotext(e)

Baudrillard, Jean. 1988. Selected Writing Stanford, Calif.: Stanford Univ. Press.

Baudrillard, Jean. 1997. The Consumer Society: Myths and Structures. Stanford,
Calif.: Stanford Univ. Press.

Capra, Fritjof. 1983. The Turning Point London: Flamingo

Dibble, Julian. “A Rape in Cyberspace.” The Village Voice 21 Dec. 1993: 36-42.
(Internet).

Fisher, Lawrence. 1995. “The Geographic Interface Puts the World on the Desktop”
New York Times 5-2-1995: (Internet).

Gane, Mike. 1993. Baudrillard Live New York: Rout

Jameson, Fredric. 1991. Postmodernism. Durham: Duke UP.

Jalcski, Jeff. 1999. Spiritual Cyberspace, Terjm. Zulfahmi Andri Bandung: Mizan

Rheingold, Howard. 1993. The Virtual Community MA: Addison-Wesley

Sloouka, Mark. 1999. Ruang Yang Hilang, Terjm. Zulfahmi Andri (Bandung: Mizan.

Virilio, Paul. 1991. The Aesthetics of Disappearance New York: Semiotext(e),

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra


http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/

You might also like