Dunia Cyberspace Baudrillardian "The Matrix": Wolly Baktiono
Dunia Cyberspace Baudrillardian "The Matrix": Wolly Baktiono
Dunia Cyberspace Baudrillardian "The Matrix": Wolly Baktiono
“THE MATRIX”
Wolly Baktiono
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Kristen Petra
Jalan Siwalankerto 121-131 Surabaya 60236
email:[email protected]
ABSTRACT
PENDAHULUAN
“Manifesto for Cyborgs” - sebuah artikel tulisan Haraway, yang dicermati
sebagai karya klasik dalam teori sosial kaum feminis. Tak ayal lagi ini merefleksikan
semakin mengkhawatirkannya kaitan antara teknologi dan badan manusia. Tidak
seperti William Gibson, karyanya yang menggambarkan sekumpulan karakter-
karakter tertangkap dalam liku-liku dan ulah artificial intelligence mencoba
menggabungkan dengan separo terpisah. Haraway mencoba mendefinisikan
hubungan manusia/mesin (human/machine relationship). Organisme Cyborg-
cybernetic dalam cara lain dari pada mengkonfigurasikannya dengan “menekankan
militerisasi, berlandaskan pada technoscience sistem komunikasi pada bentuk tahap
kapitalisme lanjut (late capitalism imperialist). Dengan cerita seperti Robocop atau
8
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Baktiono, Dunia Cyberspace Baudrillardian “The Matrix” 9
“Borg” yang terlibat dalam Star Trek, boleh jadi akan merupakan surprise bahwa
“penyusupan” mesin ke dalam tubuh manusia menjadi preoccupation yang umum
dari imaginasi populer. Memasuki dunia cybernetics, cyberspace dan cyber
fiction model The Matrix secara baudrilladian, akan berjumpa dengan kata-kata
kunci Hyperreality, yang diharapkan dapat membantu kita menyaksikan “ruang dan
waktu” (spatio-tempora) secara baru. Hyperreality dalam konteks “organizational
hyperreality,” pada proses tekstualisasi di dalam ruang kerja dan implikasinya ter-
hadap masa depan pekerja.
Baudrillard yang lahir di Reims pada 1929, memang bukan dari keluarga
kalangan intelektual. Kakek-neneknya petani dan orang tuanya pegawai negeri.
Jadi Baudrillard sejak muda harus bekerja keras untuk mengatasi pelbagai masalah
yang dihadapinya. Pekerjaannya di lycée merupakan pilihan untuk
mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang intelektual yang serius. Baudrillard
tidak ragu-ragu mengatakan bahwa dirinya hidup dalam kondisi rentan dan retak-
retak. Pada 1966, Baudrillard di Universitas Nanterre, berbarengan dengan Henri
Levebre, menyelesaikan tesisnya dalam bidang sosiologi. Sedikit banyak, pengaruh
dari hubungannya dengan Levebre yang antisosialis dan Roland Barthes yang
menulis Le système modes, merasuk dalam karya-karya Baudrillard berikutnya.
Misalnya Le système des objets (1968) yang merefleksikan karya Barthes. Sedangkan
dengan Levebre yang menolak strukturalisme, Baudrillard bersikap sebaliknya:
menerima. Pemikiran dialektis yang diperoleh dari Hegel dan Marx, justru
dipergunakan untuk memahami dan menggarap pokok-pokok pemikirannya dari
arah berseberangan. Masalah-masalah seperti “sistem”, “tanda”, “perbedaan” akan
dipahami dengan cara pandang yang lebih komprehensif. Perhatiannya yang luas,
meliputi media massa dan juga new media, baik yang bersifat real maupun imajiner
dengan analisisnya yang tajam dan menarik.
PEMBAHASAN
pandang kristiani yang selama ini memenuhi kepala kita. Plot mulai dari dalam the
Matrix, semacam dunia impian. Di mana orang kurang lebih hidup “bahagia”. Mulai
dan sudut pandang dewasa ini, yang kiranya dapat mewakili era sebelum penemuan
akbar dari Newton dengan ajaran-ajarannya. Dunia digunakan menurut dan
sepenuhnya dengan kehadiran Tuhan. Kebanyakan orang tidak mempersoalkan
eksistensi dunia dan memperlakukannya dengan rasa bahagia. Sampai kemudian
bermunculan orang-orang yang disebut para ilmuwan (scientists), memandang dunia
dengan cara berbeda dari kebanyakan orang. Mereka melihatnya dengan landasan
berpikir, setidak-tidaknya menurut konsekuensi dari penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan yang mereka pelajari, yang memang kemudian mempengaruhi seluruh
dunia.
Mulai dari Newton, yang mempresentasikan prinsip-prinsip kerja alam
semesta! Mekanika Newton melukiskan bahwa dunia sebagai objek yang konsisting
dan objek-objek itu membuat titik-titik massa atom. Maka Newton menghasilkan
dalil-dalil gerakan, kelembaman (the law of inertia), hukum aksi dan reaksi, dan
gravitasi, Dalil-dalil itu diperlakukan mirip dengan hukum alam yang di berikan
oleh Tuhan. Pada masa Newton, fisika menjadi ilmu pengetahuan yang ingin
menjelaskan hukum-hukum Tuhan (deciphering). Apa yang mengagumkan adalah
penyederhanaan dari temuan -temuan dalil itu, dipandang semacam dekalog Tuhan
di hadapan Musa. (The Ten Commandment).
Sikap semacam ini berakibat segala sesuatu fenomena alam akan direduksi
pemahamannya, sama dengan penyederhanaan Newton tentang dalil gerakan
(motion). Hukum Newton sudah cukup lama dikoreksi oleh para fisikawan termasuk
Albert Einstein, Stephen Hawking, Fritjof Kapra. Einstein yang brilliant beserta
pemikirannya melesat dengan cara pandang yang sama sekali baru tentang dunia
fisika. Dia memperkenalkan teori relativitasnya dan membawa dasar mekanika
kuantum, yang kemudian berkembang sebagai cabang lain para ahli ilmu fisika. Ada
dua disiplin yang memiliki pandangan dunia keilmuan, yang pertama tetap
menekuni ilmu pengetahuan klasik, melakukan penelitian sesuai pakem positivistik
yang ada (just to keep it on track) dan lamban menerima perubahan dan pemikiran-
pemikiran baru. Yang satu lagi adalah ilmuwan seperti ‘Neo’ (seri “Reloaded and
Revolutions”) representasi dari ilmuwan yang curious, simbolisasi dari revolusi tanpa
henti (ongoing revolution), Revolusi yang melanda ilmu pengetahuan modem yang
hanya berhenti dan benar-benar berakhir kalau justru menjadi titik balik dari
“penyelamatan umat manusia.” Dengan cara yang kurang-lebih mirip, Prof. Fritjof
Capra telah memaparkan dalam bukunya “Tue Turning Point”
Jikalau Baudrillard yang berstatus guru besar dan mengajar di pelbagai
universitas di beberapa penjuru dunia itu, mengkritik modernitas dalam hal
penerapan pada akselerasi dalam informasi dan teknologi komunikasi, begitu pula
media euphoria yang merebak mengitarinya. Anehnya, mengapa pemikiran-
pemikiran Baudrillard yang begitu berpengaruh itu tidak tersimak oleh Fred Inglis,
misalnya. Buku yang disunting oleh Felipe Korzenny dan kolega-koleganya, “Mass
Media Effects Across Cultures, juga mengabaikan perspektif kritis Baudrillard.
Mestinya Inglis menyinggung apa yang dikerjakan oleh Baudrillard. Tetapi hal itu
dapat dimaklumi, bahwa seringkali memang arogansi intelektual, memperlakukan
pemikiran-pemikiran Baudrillard dan para pemikir Prancis Baru (meminjam istilah
Douglas Kellner), masih belum masuk dalam khasanah keilmuan komunitas yang
The computer then started to breed humans for use as a power source. They
were born, grew, and died within gel filled pods, fed nutrients intravenously
while their body heat and electro-chemical impulses were tapped to power
the P computer. To keep people alive as long as possible, the computer
created a program called “the matrix,” a VR world serving as an exact
sensory duplicate of late 20th century earth. Humans in the pods were
plugged directly into the computer network through implants at the base of
their skulls. Each individual within the matrix perceived themselves as
living out a normal life somewhere on 20th century earth, while in reality
their lives were spent within a pod.
berupa social construction of reality (diadopsi dari konsep Peter L. Berger dan
Thomas Luckman), seperti skenario drama yang menetapkan peran perorangan,
menggubah narasinya, membangun citra dirinya dan secara kolektif dan anehnya
termasuk menjelajahi mayantara (cyberspace). Teknologi komputer, internet, realitas
virtual, kecerdasan artifisial dan cyberspace, telah sarat dengan pseudo-event, yang
pada gilirannya menawarkan komunitas virtual. Di sinilah kita banyak bertemu
dengan terminologi dan gagasan intelektual Baudrillard. Mungkin saja kita keliru
menilai dia, tetapi masalahnya apakah benar bahwa memang tidak ada pengaruh
Baudrillard terhadap pemikiran para sosiolog Amerika, yang kemudian juga ter-
hadap ilmu sosiologi itu sendiri. Pengaruhnya terhadap para pengajar, para teoretisi
sosial di perguruan tinggi se dunia, para kreator pemikir, juga para pembuat film
sesungguhnya cukup luas, setelah karya-karyanya semakin banyak diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain di dunia, seperti Italia, Spanyol,
Jerman dan Belanda. Oleh kaum sosiolog mazhab aliran utama (main stream) yang
puluhan tahun telah merajai dunia sosiologi, memang Baudrillard kurang begitu
difahami. Ide-idenya tidak menarik minat mereka. Hal tersebut mudah dimengerti
karena buku-bukunya relatif baru dikenal di negara-negara berbahasa non-Prancis.
Sama halnya dengan nasib para pemikir lainnya, seperti dulu Henry Fayol, Jean
Paul Sartre, Albert Camus, kemudian Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques
Derrida atau apa lagi Julia Kristeva. Dalam perkembangan terakhir, sekarang kita
dapat jumpai di rak-rak toko buku import, maupun yang sudah terjemahan
Indonesia. Nama Baudrillard sudah sangat banyak kita baca di indeks buku-buku
karya pengarang lain. Ini artinya pengaruh Baudrillard sudah sangat merata,
terutama bagi para intelektual dan kalangan yang curious, haus akan pengetahuan
kontemporer.
Fiksi ilmiah awal yang ditulis orang, adalah petualangan-petualangan Jules
Verne, kisah Flash Gordon, kemudian karya projek pioneer ke ruang angkasa luar,
dan Buck Rogers sampai ke Star Trek dan terakhir Star Wars. Sementara planet
kita masih membawa unsur misteri, sebegitu jauh selama ada perbatasan
(pengetahuan), imajinasi manusia dapat melakukan penjelajahan ke luar angkasa.
Perbatasan sudah lenyap, berarti fiksi ilmiah akan bergeser ke mana-mana dan
bahkan ke dunia maya. Di sini para profesional akan memanfaatkan referensi ke
karya-karya dan karya-karya intektual mutakhir. Juga Jean Baudrillard, sebagai
intelektual yang kontroversial dan provokatif dewasa ini dianggap sebagai pemikir
yang sangat bergaya (fashionable). Baudrillard selalu memperhitungkan segala
dampak komunikasi massa yang mungkin saja timbul. Baik itu yang bersifat realita
biasa maupun yang menjelma menjadi hiper-realitas. Kehidupan pasca-modern,
digambarkan sebagai hiper-realitas. Baudrillard mengungkapkan bahwa fiksi ilmiah
akan mengambil tuntunan baru.
“Prosesnya lebih akan menjadi bertentangan: akan berada dalam situasi
tidak memusat, model simulasi di suatu tempat yang dirancang untuk
memberikan perasaan riil, namun dangkal-dangkal saja dan pengalaman
hidup. Pada tataran menemukan kembali kenyataan sebagai fiksi, agar
tepat karena kenyataan itu telah melenyap dari kehidupan kita.
Halusinasi dari kenyataan, dari pengalaman hidup, dari keajegan (yang
timbul setiap hari), tetapi dengan mengubahnya, kadang-kadang merosot
ke taraf rincian aneh mencemaskan.” (Simulation and Simulacra, 124).
KESIMPULAN
realitas yang oleh Baudrillard disebut sebagai hyperreality itu. Inilah dunia dimana
kita berada.
Keputusan yang mesti kita hadapi dalam lingkup kehidupan nyata. seolah-olah
mensyaratkan bahwa kita diperbudak oleh sistem sebagai langkah yang pertama.
Langkah berikutnya melibatkan kemauan untuk berkorban menyelamatkan kemer-
dekaan. Kedua langkah itu diambil oleh semua film protagonis, dan masih ada lagi
di belakang semua itu. Bab dalam Simulacra and Simulation yang berjudul “On
Nihilism” menyadari bahwa terorisme sebagai alat dari mekanisme kontrol, tetapi
mengamati bahwa sistem itu sendiri bersifat nihilistik. Dapat dimengerti kalau ada
kekerasan didalam keacuh-tak acuhan nya sendiri. Demikianlah, kepada
Baudrillard, masalahnya memang kelihatannya tak terpecahkan. Sampai film
berakhir. Neo merealisasikan identitas dan kekuatannya dalam matrix dan berakhir
pula programnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1988. Selected Writing Stanford, Calif.: Stanford Univ. Press.
Baudrillard, Jean. 1997. The Consumer Society: Myths and Structures. Stanford,
Calif.: Stanford Univ. Press.
Dibble, Julian. “A Rape in Cyberspace.” The Village Voice 21 Dec. 1993: 36-42.
(Internet).
Fisher, Lawrence. 1995. “The Geographic Interface Puts the World on the Desktop”
New York Times 5-2-1995: (Internet).
Jalcski, Jeff. 1999. Spiritual Cyberspace, Terjm. Zulfahmi Andri Bandung: Mizan
Sloouka, Mark. 1999. Ruang Yang Hilang, Terjm. Zulfahmi Andri (Bandung: Mizan.