Hipertensi JNC 7

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

MARIA LEONY RAHAJENG FIRSTYANI/ HUBUNGAN ANTARA DERAJAT HIPERTENSI DAN ELONGASI AORTA

Hubungan antara Derajat Hipertensi dan Elongasi Aorta


pada Pemeriksaan Foto Toraks
The Relationship between Grade of Hypertension
and Aortic Elongation on Chest X-Ray Examination
Maria Leony Rahajeng Firstyani
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT
Background. Despite it is general thought that the aorta lengthens with hypertension, its empirical
evidence from Indonesian population is lacking. This study aimed to examine the relationship between
grade of hypertension and aortic elongation on the chest X-ray examination.
Methods. A cross-sectional study has been carried out at the Radiology Department, Dr. Moewardi
Hospital, from May 23rd to June 23rd 2011. A sample of 60 subjects aged from 20 to 80 years old were
selected by purposive sampling. Postero-anterior chest X-ray photograph including six pairs of anterior
ribs and ten pairs of posterior ribs was taken with sufficient inspiration. Subjects with other abnormal
cardiac and aortic valve were excluded. Study subjects filled-in informed consent form and were
measured for aortic elongation, i.e. the length between the top of aortic arch and incisura jugularis
sterni. The blood pressure was checked. The researcher also searched the subjects medical record for
secondary data. Odds Ratio (OR) was used to measure the strength of association, and chi-square to
test its statistical significance, on SPSS 17.0 for Windows.
Results: Individuals with prehypertension had 5 times higher risk of aortic elongation than normal
individuals (OR= 5.09; 95%CI 1.14 to 22.62; p=0.013). Individuals with grade 1 hypertension had 8 times
higher risk of aortic elongation than normal individuals (OR= 8.00; 95%CI 1.39 to 45.75; p=0.007).
Individuals with grade 2 hypertension had 61 times higher risk of aortic elongation than normal
individuals (OR=60.71; 95%CI 2.76 to 1332; p<0.001).
Conclusion: There is a strong and statistically significant dose-response relationship between grade
of hypertension and aortic elongation. Aortic elongation can be used as a sensitive and reliable marker
for diagnosing pre-hypertension and hypertension..
Keyword: grade of hypertension, aortic elongation

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang serius di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi
semakin meningkat, sedikit penderita yang
mendapatkan terapi adekuat, masih banyak penderita
yang tidak terdeteksi, serta morbiditas dan mortalitas
yang tinggi akibat komplikasi hipertensi (Yogiantoro,
2006). Data WHO tahun 2000 menunjukkan bahwa
sekitar 972 juta (26.4%) penduduk dunia menderita
hipertensi dan angka tersebut kemungkinan
meningkat menjadi 29.2% pada tahun 2025. Dari
972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di
negara maju sedangkan 639 juta sisanya berada di
negara berkembang. Di Indonesia, pada tahun 2007,

prevalensi hipertensi di daerah urban dan rural


berkisar antara 17-21%, tetapi data secara nasional
belum lengkap (Yogiantoro, 2006; Misbach, 2007).
Kejadian hipertensi sering dikaitkan dengan
penambahan usia. Hal tersebut ditunjukkan dengan
makin meningkatnya jumlah penderita hipertensi
seiring dengan peningkatan populasi usia lanjut
(Siregar, 2003; Yogiantoro, 2006; Sugawara et al.,
2008).

Etiologi. Berdasarkan penyebabnya dikenal dua jenis


hipertensi: (1) Hipertensi primer atau esensial; dan
(2) Hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi primer
tidak diketahui dan mencakup 95% kasus hipertensi
(Siregar, 2003). Menurut Yogiantoro (2006),
17

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

hipertensi esensial merupakan penyakit multifaktorial


yang timbul akibat interaksi beberapa faktor risiko,
meliputi:
-

Pola hidup seperti merokok, asupan garam


berlebih, obesitas, aktivitas fisik, dan stres.
Faktor genetis dan usia.
Sistem saraf simpatis: tonus simpatis dan variasi
diurnal.
Ketidakseimbangan
antara
modulator
vasokontriksi dan vasodilatasi.
Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan
dalam sistem renin, angiotensin, dan aldosteron.

Hipertensi sekunder merupakan suatu keadaan


dimana peningkatan tekanan darah yang terjadi
disebabkan oleh penyakit tertentu, seperti
glomerulonefritis akut, feokromasitoma, dan lain-lain.
Hipertensi jenis ini mencakup 5% kasus hipertensi
(Joesoef dan Setianto, 2003).
Baik tekanan darah sistolik maupun tekanan
darah diastolik meningkat sesuai dengan
meningkatnya umur (Sugawara et al., 2008). Tekanan
darah sistolik meningkat secara progresif sampai umur
70-80 tahun, sedangkan tekanan darah diastolik
meningkat sampai umur 50-60 tahun dan kemudian
cenderung menetap atau sedikit menurun. Kombinasi
perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya
pengakuan pembuluh darahdan penurunan kelenturan
arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi
sesuai dengan umur. Penurunan elastisitas pembuluh
darah tersebut menyebabkan peningkatan resistensi
vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah
dengan umur (Rigaud, 2001).
Gambaran anatomis dan hemodinamika. Aorta
adalah trunkus utama pangkal bermulanya sistem
arteri sistemik. Pembuluh darah ini keluar dari
ventrikel kiri jantung berjalan ke atas (aorta asenden),
melengkung (arkus aorta), dan kebawah (aorta
descenden) (Dorland, 2001). Hal-hal yang dapat
mengubah bentuk aorta ialah: usia, hipertensi,
kelainan katup (insufisiensi aorta), dan kelainan
dinding aorta karena radang (tuberkulosis, lues)
(Purwohudoyono, 2010).
Pada penderita hipertensi usia lanjut terjadi
paparan kronis intraarteri. Hal ini terkait dengan

18

peningkatan tekanan sistolik melalui efek langsung


yaitu dengan meningkatkan besarnya gelombang
tekanan pembuluh darah perifer yang dihasilkan oleh
ejeksi ventrikel, serta efek tidak langsung yaitu dengan
meningkatkan kecepatan dan besarnya pantulan
gelombang tekanan pembuluh darah perifer
(Chobanian, 2007). Peningkatan kecepatan dan
besarnya pantulan gelombang perifer tersebut terjadi
akibat kemampuan aorta proksimal untuk mengubah
aliran pulsatil yang dihasilkan oleh ejeksi ventrikel
kiri menjadi aliran yang relatif stabil untuk dialirkan
ke mikrosirkulasi terganggu, hal ini terkait dengan
kondisi aorta yang kaku pada lanjut usia. Oleh karena
itu, menyebabkan tekanan pulsasi yang lebih tinggi.
Setelah dipompa keluar jantung, laju aliran (flow
rate) bergantung pada gradien tekanan dan resistensi
vaskuler sesuai persamaan berikut: F = P/R, dengan
F adalah laju aliran darah, P adalah gradien tekanan,
dan R adalah resistensi pembuluh darah. Resistensi
terhadap aliran darah bergantung pada tiga faktor:
(1) viskositas darah, (2) panjang pembuluh, (3) jarijari pembuluh (Sherwood, 2001). Saat melewati arkus
aorta, kecepatan aliran darah menjadi terlalu besar,
sehingga aliran darah menjadi turbulen. Jika darah
mengalir dengan resistensi yang lebih besar maka akan
timbul aliran eddy yang sangat memperbesar seluruh
gesekan aliran dalam aorta ascenden (Guyton dan
Hall, 2007). Hal tersebut kemudian mencetuskan
terjadinya elongasi aorta.
Hal-hal yang dapat mengubah bentuk aorta
antara lain adalah hipertensi, usia, kelainan katup,
dan kelainan dinding aorta karena radang
(Purwohudoyo, 2010). Ada banyak penyebab
elongasi aorta, diantaranya adalah aterosklerosis,
hipertensi, regurgitasi aorta, dan lain-lain (Savas,
2000). Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah
aorta seperti pemanjangan dan berkelok-kelok serta
bertambahnya diameter dan volume dimulai pada
usia 20 tahun (Rustam, 1996).
Gambaran kardiografi. Pada foto dada posisi posteroanterior terlihat perbesaran jantung ke kiri, elongasi
aorta pada hipertensi yang kronis, dan tanda
bendungan pembuluh paru pada stadium payah
jantung (Basha, 2003). Elongasi (elongation) adalah
tindakan, proses, atau kondisi bertambah panjang
(Dorland, 2001).

MARIA LEONY RAHAJENG FIRSTYANI/ HUBUNGAN ANTARA DERAJAT HIPERTENSI DAN ELONGASI AORTA

Secara teoretis disebutkan bahwa hipertensi


memperpanjang aorta, tetapi sejauh ini belum
terdapat bukti empiris dari populasi di Indonesia
yang menunjukkan hubungan tersebut. Dengan latar
belakang itu penulis terdorong untuk meneliti
hubungan antara derajat hipertensi dan elongasi aorta
pada pemeriksaan foto toraks.

Data kategorikal dari sampel dideskripsikan


dalam n dan persen. Hubungan antara elongasi aorta
dan derajat hipertensi dianalisis dengan
menggunakan tabel 2x2. Kekuatan hubungan diukur
dalam Odds Ratio (OR), dan signifikansi statistik
hubungan itu diuji dengan chi kuadrat.
HASIL-HASIL

SUBJEK DAN METODE


Penelitian ini merupakan studi analitik-observasional
dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan
pada bulan Mei Juni 2011 dengan populasi sumber
(populasi terjangkau) semua pasien yang melakukan
pemeriksaan foto toraks di Instalasi Radiologi RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Sampel sebanyak 60 subjek
dipilih secara purposive sampling berdasarkan kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi: lakilaki dan perempuan usia 20 sampai 80 tahun, foto
toraks posisi postero-anterior, dan pada foto toraks
inspirasi cukup, dalam arti tampak kosta anterior
enam pasang dan kosta posterior sepuluh pasang.
Kriteria eksklusi: kelainan katup jantung dan kelainan
katup aorta. Setelah itu, dilakukan pengukuran jarak
antara tepi atas arkus aorta dengan incisura jugularis
sterni dan pengukuran tekanan darah pada sampel.
Variabel dependen yang diteliti adalah
pemanjangan (elongasi) aorta. Variabel independen
adalah derajat hipertensi. Derajat (klasifikasi)
hipertensi merujuk kepada JNC 7 (The Seventh
Report of The Joint Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC 7). Klasifikasi hipertensi menurut JNC
7 disajikan pada Tabel 1(Siregar, 2003; Yogiantoro,
2006).
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7
Tekanan
Darah
Diastolik
(mmHg)
dan
< 80
Normal
< 120
atau
Prehipertensi
80 89
120 139
atau
Hipertensi derajat 1
140 159
90 99
atau
Hipertensi derajat 2
160
100
(Sumber: JNC 7 dikutip Yogiantoro, 2006)
Tekanan
Klasifikasi Tekanan
Darah Sistolik
Darah
(mmHg)

Dengan metode purposive sampling diperoleh 60


subjek penelitian. Tabel 2 menunjukkan, 15 (25%)
subjek memiliki tekanan darah normal, 25 (42%)
subjek prehipertensi, 12 (26%) subjek hipertensi
derajat 1, dan 8 (13%) subjek hipertensi derajat 2.
Kasus pre-hipertensi dan hipertensi lebih banyak
terjadi pada usia lebih tua. Kasus pre-hipertensi,
hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2, lebih
banyak terjadi pada usia >40 tahun. Demikian pula
kejadian hipertensi terbanyak pada usia 70-80 tahun.
Tabel 2 Distribusi sampel berdasarkan usia dan derafat
hipertensi
Usia
20-29
30-39
40-49
50-59
60-69
70-80
Total

Derajat hipertensi
PreHipertensi Hipertensi Total
Normal
hipertensi
1
2
n (%)
n (%)
n (%)
n (%)
n (%)
2 (67)
0 (0)
1 (33)
0 (0)
3 (100)
2 (67)
1 (33)
0 (0)
0 (0)
3 (100)
6 (40)
8 (53)
1 (7)
0 (0)
15 (100)
3 (18)
8 (46)
3 (18)
3 (18)
17 (100)
1 (14)
3 (43)
2 (29)
1 (14)
7 (100)
1 (7)
5 (33)
5 (33)
4 (27)
15 (100)
15 (25) 25 (42)
12 (20)
8 (13)
60 (100)

Tabel 3 menunjukkan, pada semua klasifikasi


hipertensi, laki-laki memiliki kecenderungan lebih
besar untuk mengalami elongasi aorta (OR>1.00),
tetapi tidak satupun menunjukkan signifikansi
statistik (p>0.05). Artinya, kecenderungan tersebut
tidak bisa diandalkan (tidak konsisten). Lebih penting
lagi, hasil analisis bivariat tersebut tidak bisa
digunakan untuk menarik kesimpulan yang valid
bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dan
risiko untuk mengalami elongasi aorta, karena tidak
mengontrol pengaruh berbagai faktor perancu, seperti
umur, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok,
asupan makanan berkolesterol.

19

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Tabel 3 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan


elongasi aorta, pada berbagaai derajat hipertensi
Derajat hipertensi
PreHipertensi Hipertensi Total
Usia Normal
hipertensi
1
2
n (%)
n (%)
n (%)
n (%)
n (%)
20-29 2 (67)
0 (0)
1 (33)
0 (0)
3 (100)
30-39 2 (67)
1 (33)
0 (0)
0 (0)
3 (100)
40-49 6 (40)
8 (53)
1 (7)
0 (0)
15 (100)
50-59 3 (18)
8 (46)
3 (18)
3 (18)
17 (100)
60-69 1 (14)
3 (43)
2 (29)
1 (14)
7 (100)
70-80 1 (7)
5 (33)
5 (33)
4 (27)
15 (100)
Total
15 (25) 25 (42)
12 (20)
8 (13)
60 (100)

Tabel 4 menunjukkan "hubungan dosis-respons"


yang jelas dan secara statistik signifikan antara
elongasi derajat hipertensi. Subjek dengan
prehipertensi memiliki risiko untuk mengalami
elongasi aorta 5 kali lebih besar daripada subjek normal, dan peningkatan risiko tersebut secara statistik
signfikan (OR= 5.09; p=0.013). Subjek dengan
hipertensi derajat 1 memiliki risiko untuk mengalami
elongasi aorta 8 kali lebih besar daripada subjek normal, dan peningkatan risiko tersebut secara statistik
signfikan (OR= 8.00; p=0.007). Subjek dengan
hipertensi derajat 2 memiliki risiko untuk mengalami
elongasi aorta 60 kali lebih besar daripada subjek
normal, dan peningkatan risiko tersebut secara
statistik signfikan (OR=60.71; p<0.001).

pembuluh darah aorta dimulai pada usia 20 tahun


(Rustam, 1996). Foto toraks yang dipilih adalah
posisi postero-anterior karena pada posisi tersebut
secara anatomis jantung akan lebih dekat dengan film
Roentgen. Pada penelitian ini dipilih foto toraks yang
tampak kosta anterior enam pasang dan costa posterior sepuluh pasang untuk mencegah terjadinya
kesalahan pengukuran jarak antara tepi atas arkus aorta
dengan batas superior manubrium sterni (incisura
jugularis sterni).
Distribusi subjek berdasarkan usia menunjukkan
usia lebih tua memiliki kecenderungan untuk
mengalami pre-hipertensi dan hipertensi (Tabel 2).
Sebanyak 67% subjek berusia <40 tahun memiliki
tekanan darah normal. Sebaliknya hanya sebesar 7%
hingga 40% subjek berusia >40 tahun yang memiliki
tekanan darah normal. Kurang dari 33% subjek
berusia <40 tahun mengalami pre-hipertensi. Tetapi
sebesar 33% hingga 53% subjek berusia >40 tahun
mengalami pre-hipertensi. Tidak terdapat subjek <40
tahun yang mengalami hipertensi derajat 2. Tetapi
sebanyak 13% hingga 27% subjek berusia >40 tahun
yang memiliki hipertensi derajat 2.

Hubungan antara umur dan hipertensi yang


ditemukan dalam penelitian ini sesuai dengan
pernyataan Siregar (2003), Yogiantoro (2006),
maupun Sugawara et al. (2008), bahwa makin
meningkatnya jumlah penderita hipertensi seiring
Tabel 4 Hubungan antara elongasi aorta dan derajat
hipertensi
dengan peningkatan populasi usia lanjut. Pada
Confidence penderita hipertensi, baroreseptor tidak berespon
Elongasi aorta
Klasifikasi
Interval 95% mengembalikan tekanan darah ke tingkat normal
OR
p
hipertensi Ya Tidak Total
Batas Batas
karena mereka telah beradaptasi untuk bekerja pada
n (%) n (%) n (%)
bawah atas
Normal
3 (20) 12 (80) 15 (100)
tingkat yang lebih tinggi (Sherwood, 2001).
Prehipertensi 14 (56) 11 (44) 25 (100) 5.09 0.013 1.14 22.62
Hipertensi
derajat 1
8 (67) 4 (33) 12 (100) 8.00 0.007 1.39 45.75
Hipertensi
derajat 2 8 (100) 0 (0) 8 (100) 60.71 <0.001 2.76 1332

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara derajat hipertensi dan elongasi aorta pada
pemeriksaan foto toraks di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Usia sampel minimal 20 tahun didasarkan
pada studi pustaka sebelumnya yang menyatakan
bahwa pemanjangan dan berkelok-kelok serta
bertambahnya diameter dan volumenya pada
20

Keterkaitan antara usia dengan peningkatan


tekanan darah juga dapat dijelaskan melalui fenomena
gelombang tekanan pantul (Chobanian, 2007). Pada
usia lanjut, peningkatan tekanan sistolik dan tekanan
nadi berhubungan dengan kekakuan aorta (Safar dan
Rourke., 2006; Lakatta, 2003) dijelaskan melalui
efek langsung dan tidak langsung. Secara langsung,
aorta yang kaku meningkatkan karakteristik
impedansi, kemudian meningkatkan besarnya
gelombang tekanan pembuluh darah perifer yang
dihasilkan oleh ejeksi ventrikel. Secara tidak langsung,
peningkatan kekakuan aorta mampu mengubah
kecepatan dan besarnya pantulan gelombang tekanan
pembuluh darah perifer (Chobanian, 2007).

MARIA LEONY RAHAJENG FIRSTYANI/ HUBUNGAN ANTARA DERAJAT HIPERTENSI DAN ELONGASI AORTA

Hal tersebut juga dapat dijelaskan melalui fungsi


aorta sebagai sistem kapasitas buffering. Sistem
kapasitas buffering aorta mengubah aliran pulsatil
yang dihasilkan oleh ejeksi ventrikel kiri agar menjadi
aliran yang relatif stabil ditingkat mikrosirkulasi.
Kapasitas buffering aorta tersebut dipengaruhi oleh
ketebalan, komposisi, kekakuan, dan diameter
dinding aorta. Dengan demikian kekakuan aorta yang
terjadi pada usia lanjut akan memberikan impedansi
yang lebih tinggi untuk volume sekuncup (stroke volume), oleh karena itu menyebabkan tekanan pulsasi
yang lebih tinggi (Farasat dan Morell, 2008).
Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa
derajat hipertensi meningkatkan risiko terjadinya
elongasi aorta. Terdapat 20% subjek dengan tekanan
darah normal menunjukkan elongasi aorta. Terdapat
56% subjek prehipertensi, 67% subjek hipertensi
derajat 1, dan semua (100%) subjek hipertensi
derajat 2 mengalami elongasi aorta. Risiko untuk
mengalami elongasi aorta meningkat sebesar 5 kali
pada subjek dengan pre-hipertensi, 8 kali pada subjek
dengan hipertensi derajat 1, dan 61 kali pada subjek
dengan hipertensi 2.
Hasil analisis penelitian ini sesuai dengan
pernyataan Purwohudoyono (2010), bahwa
perubahan bentuk aorta dapat disebabkan oleh
hipertensi, usia, kelainan katup (insufisiensi aorta),
dan kelainan dinding aorta karena radang
(tuberkulosis, lues). Hal analisis penelitian juga sesuai
dengan penelitian Savas (2000) yang menyatakan
bahwa hipertensi merupakan salah satu penyebab
elongasi aorta. Menurut Savas (2000), elongasi aorta
dapat terjadi oleh banyak penyebab di antaranya
aterosklerosis, hipertensi, regurgitasi aorta, dan lainlain. Pada penderita hipertensi dimana baroreseptor
telah beradaptasi untuk bekerja pada tingkat yang
lebih tinggi (Sherwood, 2001), terjadi paparan kronis
tekanan tinggi intraarteri diperkirakan dapat
mempercepat kerusakan elastin (ORouke, 2005).
Selain itu, darah yang melalui aorta mengalir
dalam kecepatan tinggi akibat bentuk anatomis arkus
aorta yang berbelok tajam. Hal tersebut mencetuskan
perubahan aliran darah menjadi turbulen, tidak
laminer (Cameron, 2006). Selanjutnnya, aliran
turbulen biasanya membentuk pusaran dalam darah
yang disebut aliran eddy dengan resistensi yang jauh
lebih besar sehingga dapat memperbesar seluruh

gesekan dalam pembuluh aorta (Guyton dan Hall,


2007).
Kesimpulan. Terdapat hubungan dosis-respons yang
kuat dan secara statistik signifikan antara derajat
hipertensi dan risiko mengalami elongasi aorta.
Subjek pre-hipertensi memiliki risiko 5 kali lebih
besar untuk mengalami elongasi aorta daripada
subjek normal (OR=5.09; p= 0.013). Subjek
hipertensi derajat 1 memiliki risiko 8 kali lebih besar
untuk mengalami elongasi aorta daripada subjek
normal (OR= 8.00, p= 0.007). Subjek hipertensi
derajat 2 memiliki risiko 60 kali lebih besar untuk
mengalami elongasi aorta daripada subjek normal
(OR= 60.71, p< 0.001).
Implikasi. Elongasi aorta yang ditunjukkan melalui
pemeriksaan radiologis bisa digunakan sebagai
petanda (marker) yang kuat dan dapat diandalkan
untuk membantu menentukan diagnosis prehipertensi dan hipertensi.
Saran. Disarankan agar dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan memperhitungkan faktor perancu yang
belum dapat dikendalikan pada penelitian ini, seperti
kondisi psikologis pasien (white coat hypertension),
asupan nutrisi, dan aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Basha A. 2003. Penyakit jantung hipertensif. Dalam:
Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI. hal: 209211.
Cameron JR (2006). Fisika tubuh manusia. Edisi II.
Jakarta: EGC, hal: 166-188.
Chobanian AV (2007). Isolated systolic hypertension
in the elderly. N Engl J Med. 357:789-796.
Dorland (2002). Kamus Kedokteran Dorland edidi
XXIX. Jakarta : EGC, hal: 133-134.
Farasat (SM), Morell CH (2008). Pulse pressure is
inversely related to aortic root diameter
implication for the pathogenesis of systolic
hypertension. Hypertension, 51: 196-202.
Guyton AC, Hall JE (2007). Tinjauan Sirkulasi; Fiska
Kedokteran Mengenai Tekanan, Aliran, dan
21

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011

Resistensi. Dalam: Buku Ajar Fisiologi


Kedokteran Edisi IX. Jakarta: EGC, hal: 168,
170, 172.

Safar M.E., ORourke M.F. (2006). Arterial stiffness


in hypertension. In : Handbook of hypertension
series. Edinburgh, Scotland: Elsevier.

Joesoef AH dan Setianto B (2003). Hipertensi


sekunder. Dalam: Rilantono et al. (ed). Buku
ajar kardiologi. Jakarta: FKUI.

Savas R (2000). A new cause of aortic arch


elongation: A Prospective study in military pilots.
http://www.ecr.org. Diakses 24 Februari 2011.

Lakatta EG, Levy D (2003). Arterial and cardiac


aging: major shareholders in cardiovascular
disease enterprises: art I aging arteries: a set up
for vascular disease. Circulation, 107:139146.

Sherwood L (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke


Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC, hal: 331.

Misbach J (2007). Ancaman serius hipertensi di


Indonesia. Simposia, 34.
Purwohudoyono, S. S. 2010. Sistem kardiovaskular.
Dalam: Rasad (ed). Radiologi Diagnostik Edisi
II. Jakarta : FK UI, pp: 165, 173.
Rigaud A.S., Forette B., 2001. Hypertension in older
adults. J Gerontol 56A: M217-5.
Rustam, A. T., Santa Jota. 1996. Gagal Jantung pada
Usia Lanjut. Jurnal Medika Nusantara. Vol.
XVII, No.3, pp: 137-138.

22

Siregar TGM (2003). Hipertesi esensial. Dalam:


Rilantono et al. (ed). Buku ajar kardiologi.
Jakarta: FKUI.
Sugawara J, Hayashi K, Yokoi T, Tanaka H (2008).
Age-associated elongation of the ascending aorta
in adults. J Am Coll Cardiol Img;1:73948
Yogiantoro M (2006). Hipertensi Esensial. Dalam:
Sudoyo et al. (ed). Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid I edisi IV. Jakarta: FKUI, hal: 61014.

You might also like