3816-5485-1-SM (Ka Fitri)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

79

Tinjauan pustaka
KOMPLIKASI PASKA TRANSPLANTASI GINJAL
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RS Sanglah, Denpasar
SUMMARY
COMPLICATIONS AFTER RENAL TRANSPLANTATION
Renal transplantation is the take over of kidney from healthy person and then be transplanted to the other person who has
severe and permanent kidney function disorder. Renal transplantation is the most effective treatment for terminal stage of chronic
kidney disease. The survival of patients who underwent renal transplantation depend on some factors including screening of
patients, pretransplantation management, surgery technic and management of patients after renal transplantation. Complications
after renal transplantation devide to surgery complications and non surgery (medical) complications. Surgery complications are
mayor complication such as bleeding and anaestesion drug effect and the other complications due to transplantation process.
Medical complications are rejection (hyperacute, acute and chronic rejection), infection, cardiovascular disease, anemia,
hypertension, diabetes mellitus, dislipidemia, hyperhomocysteinemia, malignancy, lymphoproliferative disease and psychological
effect. Rejection is the most important complication. If hyperacute rejection ocured, kidney transplant must be take over to avoid
more severe systemic inflammation respon. New generation of humanized IL-2 receptor antibody, daclizumab (zenapax) can
decrease the incident of hyperacute rejection. Acute rejection can be treated with steroid, polyclonal antilymphocyte globulin,
monoclonal antibody OKT3 and plasma exchange. Chronic rejection was difficult to treat. Immunosupresion agen have no much
role because destroyed were occured. Prevention just to manage risk factors and then wait the other transplantation. For the other
complications, the management based on etiology and the type of complication.
PENDAHULUAN
Transplantasi ginjal adalah pengambilan ginjal
dari tubuh seseorang kemudian dicangkokkan ke dalam
tubuh orang lain yang mengalami gangguan fungsi ginjal
yang berat dan permanen.

Saat ini, transplantasi ginjal
merupakan terapi pilihan pada gagal ginjal kronik
stadium akhir yang mampu memberikan kualitas hidup
menjadi normal kembali.
1
Transplanlatasi ginjal telah banyak dilaksanakan
di seluruh dunia, sejumlah lebih dari 20.000 orang tiap
tahun.
2
Di Singapura telah dilakukan lebih dari 842
transplantasi ginjal dengan total donor cadaver 588 dan
282 donor hidup.
3
Di Indonesia sejak tahun 1977 hingga
sekarang baru mampu mengerjakan sekitar 300 lebih
transplantasi. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih
menerapkan sistem donor hidup.
4
Di Bali, selama
enambelas tahun terakhir 46 pasien ( 35 orang laki-laki
dan 11 orang perempuan ) penyakit ginjal stadium akhir
menjalani transplantasi ginjal, sebagian besar
diantaranya dikerjakan di luar negeri dengan
menggunakan donor cadaver.
5
Pada dasarnya tujuan utama transplantasi ginjal
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan harapan
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
80
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007
hidup bagi penderita gagal ginjal.

Kelangsungan hidup
pasien-pasien transplantasi ginjal ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah skrining penderita,
persiapan pratransplantasi, pendekatan bedah yang
diambil pada waktu transplantasi dan penatalaksanaan
penderita paska transplantasi termasuk penggunaan obat-
obat imunosupresif. Pada makalah ini hanya diuraikan
mengenai perawatan dan komplikasi yang sering terjadi
paska transplantasi ginjal.
PERAWATAN PASKA TRANSPLANTASI GINJAL
Pasien dengan transplantasi ginjal dirawat di
tempat terpisah dari pasien lain karena rentan terhadap
infeksi. Jumlah pengunjung harus dibatasi, di beberapa
pusat transplantasi ginjal, bunga dan buah tidak diijinkan
karena bisa menjadi tempat bersarangnya bakteri.
2
Masa rawat inap di rumah sakit tergantung pada
seberapa baik ginjal telah bekerja dan terjadinya
komplikasi. Dialisis mungkin diperlukan untuk beberapa
hari atau minggu sampai ginjal berfungsi cukup untuk
menjaga tubuh dalam keseimbangan kimia yang baik.
Rata-rata tinggal adalah 2-4 minggu tetapi dapat 2-3
bulan. Beberapa pasien dipulangkan lebih awal karena
risiko infeksi di rumah sakit. Mereka perlu kembali tiap
hari sebagai pasien rawat jalan selama 2-3 bulan.
2
KOMPLIKASI PASKA TRANSPLANTASI GINJAL
Komplikasi yang mungkin terjadi paska
transplantasi ginjal dapat digolongkan menjadi dua
golongan yaitu komplikasi bedah dan medik.
1. Komplikasi bedah
Selain komplikasi bedah besar (perdarahan, efek
pembiusan), dapat timbul masalah khusus sehubungan
dengan proses transplantasi ginjal. Komplikasi post
operatif tergantung pada prosedur bedah yang
digunakan. Komplikasi urologi dan vaskular mempunyai
pengaruh substansial terhadap morbiditas dan mortalitas.
Komplikasi urologi muncul pada 4% - 8% pasien dan
komplikasi vaskular 1% - 2 %.
6
Komplikasi vaskular
meliputi stenosis arteri renalis, infark, fistula
arteriovenus, pseudoaneurisma, dan trombosis vena
renalis. Komplikasi nonvaskular meliputi obstruksi
uretra, kebocoran urin, penimbunan cairan peritransplan
(hematom, limfokel, abses, infeksi), komplikasi
gastrointestinal dan herniasi.
6-8
Hampir dua pertiga komplikasi urologi dini
(kebocoran urin atau obstruksi) terjadi pada bulan
pertama setelah transplantasi. Ekstravasasi urin bisa
terjadi pada pelvis renalis, ureter, atau dari
ureteroneocystostomy site yang berhubungan dengan
nekrosis ureter akibat insufisiensi vaskular atau
peningkatan tekanan urin karena obstruksi. Obstruksi
urin terjadi hampir pada 2 % pasien dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama paska transplantasi, lokasi yang
paling sering adalah di tempat implantasi ureter ke dalam
kandung kencing. Lebih dari 90 % stenosis ureter terjadi
pada ureter 1/3 distal. Penyempitan pada ureterovesical
junction dapat disebabkan oleh jaringan parut akibat
iskemia atau rejeksi, kesalahan teknik dalam
ureteroneocystostomy atau akibat kingking.
8
Stenosis arteri renalis biasanya muncul dalam
tahun pertama setelah transplantasi, bisa berlokasi di
daerah sebelum anastomosis, di tempat anastomosis dan
setelah anastomosis. Infark ( trombosis arteri renalis
dapat diakibatkan oleh rejeksi hiperakut, oklusi
anastomosis, kingking arteri atau adanya flap intimal.
Penderita menjadi anuri dan terjadi pembengkakan serta
ketegangan di atas graft.
6
Komplikasi gastrointestinal yang paling sering
adalah perdarahan saluran cerna akibat ulkus peptikum.
Disamping itu dapat juga terjadi esofagitis, gastritis
hemoragik, obstruksi dan perforasi usus, serta herniasi.
Prevalensi komplikasi ini bervariasi tergantung dari
pendekatan yang diambil saat penempatan graft apakah
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Perlengketan
81
postoperatif dapat mengakibatkan obstruksi saluran
cerna. Herniasi bisa terjadi melalui defek peritoneal
transplan.
8,9
Imaging ( USG, retrograded pyelografi,
arteriografi, Doppler US, CT scan) memiliki peranan
yang sangat penting untuk mengevaluasi komplikasi ini
dan merupakan tuntunan dalam pemberian terapi.
10,11
2. Komplikasi medik
Komplikasi medik yang paling penting adalah
reaksi penolakan atau rejeksi. Disamping itu, terdapat
pula sejumlah komplikasi lain yang perlu mendapat
perhatian pada pasien-pasien paska transplantasi ginjal.
PENOLAKAN ATAU REJEKSI
Sistem imun berperan pada proses penolakan.
Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th (T helper)
resipien yang mengenal antigen MHC allogenic dan
imunitas humoral (antibodi). Sel tersebut akan
merangsang sel Tc (T citotoxic) yang juga mengenal
antigen MHC allogenic dan membunuh sel sasaran.
Kemungkinan lain adalah bahwa makrofag dikerahkan
ke tempat transplan atas pengaruh limfokin dari sel Th
sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut
serupa dengan yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas
tipe IV dari Gell dan Coombs. Reaksi rejeksi dapat
terjadi segera (hiperakut), akut dan kronik.
12,13
1. Rejeksi hiperakut
Rejeksi hiperakut adalah destruksi imunologik
ginjal transplan yang terjadi dalam waktu 24 jam paska
transplantasi dan sering terjadi intraoperatif. Rejeksi ini
jarang terjadi.
14
Rejeksi hiperakut disebabkan oleh reaksi antibodi
resipien yang terbentuk pratransplantasi akibat
transplantasi/tranfusi darah sebelumnya dengan antigen
sel endotel pembuluh darah ginjal transplan. Antibodi
tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan
edema dan perdarahan interstisial dalam jaringan
transplan sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh
jaringan.

Pasien menderita panas, lekositosis dan
memproduksi sedikit urin atau tidak sama sekali. Urin
mengandung berbagai elemen seluler termasuk eritrosit.
Trombosis dengan kerusakan endotel dan nekrosis sering
terlihat pada penolakan hiperakut. Resipien
menunjukkan gangguan imunologik berat dengan
koagulasi intravaskular diseminata. Ginjal transplan
edema dan hemoragik, pemeriksaan histopatologik
menunjukkan adanya endapan IgG dan C3 di dalam
dinding kapiler glomerulus dan peritubulus serta agregasi
trombosit yang menyumbat lumen kapiler.
14
Bila timbul rejeksi hiperakut, maka ginjal
transplan harus diambil segera untuk mencegah tejadinya
respon inflamasi sistemik yang lebih berat.
17
Akhir-akhir
ini diperkenalkan humanized IL-2 receptor antibody
generasi baru, daclizumab (Zenapax), dapat mengurangi
secara signifikan insiden rejeksi hiperakut.
15-16
Tran HTB
et al.
15
melaporkan penambahan daclizumab pada
regimen cyclosporine, prednisone dan/atau azathioprine
yang merupakan standar imunosupresif telah berhasil
mencegah rejeksi akut. Daclizumab diberikan 2 mg/kg
berat badan secara intravena dalam 12 jam transplantasi
diikuti 1 mg/kg per hari tiap malam keempat.

Antibodi
lain yang juga dipergunakan sebagai profilaksis adalah
basiliximab (Simulect), a chimeric (human and mouse)
monoclonal antibody. Basiliximab yang diberikan pada
hari 1 dan 4 (20 mg) dapat mengurangi rejeksi rate secara
signifikan dibandingkan dengan placebo.
16
2. Rejeksi akut
Rejeksi akut terlihat pada resipien yang
sebelumnya tidak tersensitisasi terhadap transplan. Hal
ini merupakan penolakan umum yang sering dialami
resipien yang menerima transplan yang mismatch atau
yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif
yang kurang dalam usaha mencegah penolakan. Insiden
penolakan akut berkisar 60 - 75 % dari transplantasi
ginjal pertama kali.
17
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
82
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007
Penolakan akut dapat terjadi sesudah beberapa
hari dan tersering pada 3 bulan pertama paska
transplantasi. Resipien mendadak demam, badan lemah,
hipertensi dan oligouria disertai peninggian kadar
kreatinin darah, dan penurunan nilai test kliren kreatinin.
Ginjal transplan menjadi edema yang mengiritasi selaput
peritoneum sehingga menimbulkan rasa nyeri di daerah
pelvis. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan
infiltrasi difus sel mononukleus yang disertai edema dan
perdarahan di dalam jaringan interstisial. Kadang-
kadang disertai infiltrasi sel polimorfonukleus, destruksi
pembuluh darah, dan proliferasi sel endotel dengan
trombosis mikrovaskular. Kadar interleukin-2 plasma
pratransplantasi berkorelasi positif dengan insiden
rejeksi akut, dan peninggian kadar interleukin-2 paska
transplantasi yang bermakna merupakan prediktor
terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan
14
membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2
pada jaringan ginjal dapat digunakan sebagai petanda
rejeksi akut.
Penolakan akut dapat dihambat dengan steroid,
antilimfosit globulin poliklonal, dan antibodi
monoklonal OKT3. Rejeksi akut yang refrakter terhadap
obat-obat ini mungkin memerlukan plasma exchange
untuk membersihkan antibodi dari transplan.
17
3. Rejeksi kronik
Rejeksi kronik adalah hilangnya fungsi organ
yang dicangkokkan yang terjadi secara perlahan
beberapa bulan-tahun sesudah organ berfungsi normal
dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap
antigen transplan atau oleh karena timbulnya intoleransi
terhadap sel T. Dalam hubungan ini, yang berperan
adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik pada
saat transplantasi, histokompatibilitas, umur donor,
keseringan dan derajat episode rejeksi akut, hipertensi,
hiperlipidemia dan penyakit ginjal rekuren. Pemeriksaan
histopatologik menunjukkan proliferasi sejumlah besar
sel mononuclear, terutama sel T. Terjadi nefroskelrosis,
dengan proliferasi dan fibrosis intima pembuluh darah
ginjal sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh
darah. Hasilnya adalah iskemia renal, hipertensi, atrofi
tubuler, fibrosis interstisial dan atrofi glomeruler. Namun
belum ada bukti apakah penurunan fungsi graft dalam
beberapa tahun berdasarkan mekanisme yang sama pada
semua kasus.
12
Penolakan kronik terjadi perlahan setelah periode
waktu yang lama dan mungkin tidak ada simtom yang
tampak. Gejala gagal ginjal terjadi perlahan-lahan dan
progresif. Hal ini kadang-kadang timbul sesudah
pemberian imunosupresan dihentikan. Infeksi yang ada
akan mempermudah timbulnya penolakan kronik.
Penolakan kronik juga sulit diobati, imunosupresi saat
ini tidak banyak berguna oleh karena kerusakan sudah
terjadi, dan pencegahan ditujukan terutama untuk
mengatasi faktor risiko yang ada. Jika ginjal berhenti
berfungsi, pasien dapat kembali didialisis dan menunggu
transplantasi lain.
12-16
Dengan semakin bertambahnya pengetahuan dan
pengalaman di bidang transplantasi ginjal maka outcome
jangka pendek seperti kelangsungan hidup(survival)
allograft dan pasien dalam 12 bulan pertama dari tahun
ke tahun terus membaik, serta kejadian rejeksi paska
transplantasi semakin dapat ditekan (Gambar 1 dan 2).
1
Gambar 1. One-year survival probabilities for first cadaveric and
living donor allografts and their recipients, adjusted for age, sex,
race, and primary diagnosis. Despite impressive increases in
cadaveric allograft survival, living donor allograft survival is
consistently superior
1
83
Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup
graft dan pasien penerima transplantasi ginjal baik dari
donor cadaver maupun donor hidup dalam 12 bulan
pertama terus membaik dari tahun ke tahun, namun
donor hidup tetap lebih superior.
Gambar 2. Annual incidences of early acute rejection, late acute
rejection, and delayed graft function. Note that although rejection
rates have fallen dramatically, rates of delayed graft function remain
unchanged. The latter reflects nonimmunological variables such as
ischemia times and use of suboptimal cadaveric donors. Adapted
with permission from Gjertson
1
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa rejeksi hiperakut dan
akut semakin menurun sampai di bawah 20 % tetapi
delayed graft function masih belum ada perubahan.
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk
menekan respon imun paska transplantasi ginjal antara
lain: azathioprin, mycophenolat mofetil, glukokortikoid,
cyclosporine, tacrolimus dan sirolimus. Karena rejeksi
akut paling besar terjadi pada periode awal paska
transplantasi, perlu pemberian imunosuporesan yang
lebih intensif pada waktu itu dan diturunkan progresif
pada minggu dan bulan berikutnya. Selama allograft
masih viable, beberapa imunosupresif diperlukan.
Derajat imunosupresi yang diperlukan untuk
maintenance masih menjadi perdebatan; standar
imunosupresi dihubungkan dengan beberapa efek
samping antara lain nefrotoksik, peningkatan risiko
infeksi, dan keganasan.
1,18-20
Sebagian besar regimen imunosupresif
menggabungkan glukokortikoid, calcineurin inhibitor
(CNI) dan antiproliferatif agent karena triple therapy
ini memberikan efek imunosupresif yang lebih adekuat.
Beberapa obat immunosupresif ditunjukkan pada tabel1.
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
84
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007
Tabel 1. Drugs used in maintenance immunosuppression of kidney transplant recipient
1
85
INFEKSI
Infeksi pada pasien paska transplantasi ginjal baik
yang berhubungan dengan prosedur transplantasi
maupun yang disebabkan oleh pathogen oportunis dapat
mempengaruhi fungsi ginjal dan hasil transplantasi
ginjal. Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada
keseimbangan antara immunosupresi yang memadai
untuk mencegah terjadinya rejeksi ginjal transplan dan
pemeliharaan kompetensi imune pada taraf yang
memadai untuk melindungi resipien terhadap infeksi.
Sebagai akibat pemakaian obat yang menekan fungsi
sel T, resipien transplantasi ginjal menunjukkan
peninggian risiko terhadap infeksi oleh berbagai
pathogen intraseluler seperti virus, protozoa, bakteri dan
jamur.
21
Insiden infeksi yang letal dan nonletal menurun
terutama disebabkan oleh peningkatan pengalaman,
perbaikan dalam metode organ procurement dan seleksi
resipien, peningkatan teknik bedah, serta pengetahuan
yang lebih baik tentang jenis dan saat terjadinya infeksi.
Pemakaian antibiotik profilaktik untuk mengurangi
insiden infeksi luka, pelaksanaan biopsi ginjal secara
tertutup, pemeriksaan ultrasonografi di daerah ginjal
transplan yang lebih sering, dan pemberian bolus
prednisolon dosis tinggi untuk terapi rejeksi yang lebih
jarang, serta kebijakan dalam hal tidak terlalu berlebihan
dalam mempertahankan ginjal transplan yang tak
berfungsi lagi merupakan faktor-faktor yang ikut
berperan pada perbaikan hal tersebut di atas. Walaupun
demikian, infeksi tetap merupakan penyebab penting
baik bagi mortalitas maupun bagi penurunan ketahanan
hidup ginjal transplan. Pada resipien yang mengalami
infeksi paska transplantasi ketahanan hidup 3 tahun
ginjal transplan menurun dari 81 % menjadi 76 %.
21
Infeksi bakteri yang terjadi dalam satu bulan
pertama paska transplantasi dapat terjadi pada saluran
kemih, saluran nafas, tempat luka operasi, dan akses
vaskular yang dapat menyebabkan septisemia. Infeksi
herpes simplek dapat terjadi setelah minggu pertama
paska transplantasi, sedangkan infeksi virus citomegalo
(CMV) jarang terjadi dalam satu bulan pertama paska
transplantasi. Secara keseluruhan infeksi yang
disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur secara berturut-
turut sekitar 50%, 30%, 5% kasus. Pada 15 % kasus,
infeksi tersebut disebabkan oleh polimikroba.
21
Virus sitomegalo adalah penyebab utama infeksi
virus pada resipien transplantasi ginjal.

Infeksi CMV
pada resipien transplantasi ginjal lebih sering
menimbulkan gejala yang tidak jarang cukup berat,
bahkan dapat menjadi fatal. Infeksi disebut primer jika
terjadi pada resipien yang sebelum transplantasi adalah
seronegatif, dan disebut sekunder jika sebelum
transplantasi adalah seropositif, yang dapat terjadi karena
reakivasi virus yang laten atau sebagai akibat terjadinya
reinfeksi. Sumber utama infeksi CMV primer adalah
ginjal transplan yang menyebabkan insiden infeksi virus
CMV pada 63 % resipien yang sebelumnya adalah
seronegatif.
21
Pada penyakit CMV yang berat, harus segera
dilakukan investigasi dan pengobatan empiris. Virus
bisa dideteksi di darah, cairan jaringan dengan rapid
shell-vial culture, antigen assay, atau PCR. Virus dapat
juga dideteksi pada jaringan dengan pemeriksaan teknik
imunohistokemistri. Konsentrasi CMV yang rendah atau
bahkan negatif pada darah tepi tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya keterlibatan organ (terutama GIT);
oleh karena itu endoskopi, bronkoskopi atau
pemeriksaan yang lain mesti dilakukan sesuai dengan
simtom dan sign yang muncul. Pada infeksi CMV, selain
jenis dan dosis obat imunosupresif dikurangi juga
diberikan obat antivirus spesifik biasanya gansiklovir
atau valgansiklovir secara parenteral, dan jika perlu,
ditambah immunoglobulin secara intravena.
1,21
Jenis infeksi yang lain adalah pneumocystosis,
umumnya muncul pada tahun pertama setelah
transplantasi (meskipun bukan pada bulan pertama)
tetapi bisa juga muncul terlambat, terutama jika
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
86
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007
pemberian imonosupresan dengan dosis tinggi. Gejala
pneumonia yang muncul akibat infeksi P carinii adalah
demam, sesak nafas dan batuk yang tidak produktif. Pada
thorak foto dijumpai interstitial-alveolar infiltrate pada
kedua lapangan paru. Deteksi kuman dilakukan dengan
pengecatan colorimetrik atau immunofluorescent.
Spesimen bisa dari sputum, bronchoalveolar lavage atau
biopsi. Pilihan terapinya adalah sulfamethoxazole-
thrimetoprim (SMX-TMP); selain murah umumnya
ditoleransi dengan baik juga mencegah infeksi saluran
kemih dan infeksi oportunistik yang lain seperti
nocardiosis, toxoplasmosis dan listeriosis. Obat lainnya
adalah dapson dengan atau tanpa pyrimethamine,
atovaquone dan pentamidine.
1
Di negara berkembang, infeksi yang disebabkan
oleh kuman micobakterium tuberculosis pada resipien
transplantasi ginjal harus diwaspadai. Suk Young Kim
et al. pada penelitiannya di Korea Selatan mendapatkan
insiden tuberculosis paska transplantasi ginjal adalah 6,4
%.
22
Di Indonesia belum ada data berapa angka kejadian
tuberculosis paska transplantasi ginjal.
PENYAKIT KARDIOVASKULER PADE RESIPIEN
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab
utama kematian setelah transplantasi ginjal. Fazelzadeh
et al.
23
pada sebuah studi observasional yang melibatkan
1200 pasien transplantasi antara tahun 1988 -2003 di
Southern Iran Transplant Center mendapatkan 215
kematian dimana 28,3 % penyebabnya adalah
komplikasi penyakit jantung koroner. Skrining penyakit
jantung koroner diindikasikan pada semua penderita.
Tingginya insiden penyakit kardiovaskuler paska
transplantasi ginjal berhubungan dengan tingginya
prevalensi dan akumulasi dari beberapa faktor risiko
sebelum dan setelah transplantasi. Strategi untuk deteksi
dini dan pengobatannya dapat mengurangi mobiditas dan
mortalitas pada populasi dengan risiko tinggi.
Insiden kumulatif penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler dan penyakit vaskuler perifer
15 tahun setelah transplantasi ginjal diduga 23%, 15 %
dan 15 %.
1
Faktor-faktor risiko untuk kondisi ini
merupakan komponen penting dalam penatalaksanaan
paska-transplantasi (tabel 2).
Tabel 2. Putative risk factors for cardiovascular disease
after renal transplantation
Penghentian rokok adalah penting, tidak hanya untuk
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular tetapi dengan
tetap merokok setelah transplantasi ginjal juga
mengakibatkan survival allograt yang buruk. Prevalensi
kardiomiopati yang tinggi (klinis sebagai penyakit
jantung kongestif atau sebagai pembesaran ventrikel kiri
pada erkokardiografi) juga didapatkan pada resipien
transplan. Sebuah retrospektif analisis menemukan
bahwa perkembangan penyakit jantung kongestif setelah
transplantasi adalah sama banyak dengan penyakit
jantung koroner dengan risiko kematian yang sama.
1
Anemia
Idealnya, transplantasi ginjal mengembalikan
fungsi ginjal sehingga meningkatkan produksi
eritropoitin dan mengurangi anemia. Namun anemia
paska transplantasi justru merupakan masalah yang
sering terjadi. Sebuah analisis cross-sectional dari
resipien transplan mendapatkan prevalensi anemia 40
%.
1
Prevalensi yang tinggi ini terutama mencerminkan
fungsi graft yang suboptimal dan efek dari obat-obatan
yang mengganggu proses erithropoisis (MMF,SMX-
TMP, dan ACE inhibitor). Studi-studi observasional
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara anemia
87
dengan terjadinya gagal jantung kongestif setelah
transplantasi. Pengelolaan anemia paska transplantasi
sesuai dengan panduan untuk pasien dengan PGK;
difokuskan pada kekurangan besi dan penggunaan
eritropoitin.
1
Hipertensi
Prevalensi hipertensi setelah transplantasi ginjal
adalah 60 sampai 80 %.
1
Penyebabnya meliputi
penggunaan steroid, CNI, penambahan berat badan,
disfungsi allograft, penyakit native kidney dan yang
kurang umum adalah transplant renal artery stenosis.
Komplikasi hipertensi paska-transplantasi adalah
peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler,
dan kegagalan allograft.
1,24
Hipertensi harus ditatalaksana secara agresif pada
semua resipien. Adapun target tekanan darah adalah
sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII yaitu 130/80
mmHg.
1
Sedapat mungkin terapi ditujukan langsung
terhadap faktor penyebab terjadinya hipertensi. Pada
pasien muda dengan native kidney induced hypertension
terutama dengan kerusakan target organ (retinopati atau
hipertrofi jantung) nefrektomi merupakan pilihan. Pada
ateri stenosis, transluminal balloon angioplasty dan
operasi bypass dapat dikerjakan dengan hasil baik. Dosis
steroid dan CNI dikurangi bila memungkinkan.
24
Terapi farmakologis tergantung pada efek spesifik
yang diinginkan sesuai keadaan klinis penderita dan
beratnya derajat hipertensi. Obat bisa diberikan dalam
bentuk tunggal atau kombinasi dengan obat lainnya. Jika
terdapat bukti adanya kelebihan volume vaskuler maka
diuretik merupakan pilihan. Beta blocker digunakan bila
dijumpai hipertensi dengan penyakit jantung iskemik,
alpha blocker ideal untuk pasien tua dengan hipertrofi
prostat. Obat-obat yang bekerja sentral seperti Clonidine
cocok untuk pasien diabetes dengan hipotensi postural
akibat neuropati otonom. ACE inhibitor dan angiotensin
II receptor blocker mempunyai keunggulan dalam
mengurangi tekanan intraglomerular dan proteinuria.
Calcium channel antagonist merupakan drug of choice
pada pasien hipertensi paska- transplantasi akibat
pemberian calcineurin inhibitor.

Pendekatan non-
farmakologik seperti menurunkan berat badan,
mengurangi intake sodium dan alkohol serta olah raga
sangat dianjurkan dalam pengelolaan hipertensi paska-
transplantasi.
24
Diabetes melitus
Diabetes melitus masih merupakan penyebab
terbanyak penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat dan
di seluruh dunia.

Epidemi diabetes tipe 2 nampaknya
akan lebih meningkatkan insiden dan prevalensi penyakit
ginjal stadium akhir. Walaupun kelangsungan hidup
(survival) resipien diabetes lebih pendek dibandingkan
resipien non-diabetes, tetapi transplantasi masih
memberikan survival yang lebih baik/menguntungkan
dibandingkan pasien diabetes yang menjalani dialisis dan
masih berada dalam daftar tunggu (waiting list).
1
Pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronis
stadium akhir merupakan kandidat untuk kidney-
pancreas transplantation. Kedua organ ini bisa
dicangkokkan secara simultan atau bertahap (pancreas
after kidney [PAK]). Survival allograft pankreas pada
cara terakhir lebih buruk dibandingkan transplantasi
simultan tetapi perbedaan ini tidak menyolok. Lebih jauh
PAK menghasilkan outcome ginjal transplan yang lebih
baik dan komplikasi bedah lebih kecil. Sekarang
presentasi transplantasi pankreas dengan prosedur PAK
makin meningkat. Perbaikan teknik bedah dan
penggunaan imunosupresan meningkatkan survival
allograft pankreas. Terdapat bukti-bukti bahwa pada
pasien tertentu mortalitas umum dan kardiovaskuler
berkurang dengan transplantsi ginjal-pankreas
dibandingkan hanya transplantasi ginjal.
1
Transplantasi ginjal merupakan faktor risiko
diabetes. Sekitar 15 20 % resipien transplantasi
berkembang menjadi DM. Sesudah transplantasi ginjal
yang sukses, banyak pasien tanpa riwayat masalah gula
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
88
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007
darah berkembang menjadi new-onset diabetes. Kontrol
gula darah setelah transplantasi memburuk akibat
penggunaan glukokortikoid dan CNI, meningkatnya
intake makanan, dan penambahan berat badan. Faktor
risiko terjadinya diabetes paska transplantasi adalah
umur tua, etnik nonwhite, penggunaan steroid dan CNI
dosis tinggi.
1,18,19
Sampai saat ini belum ada konsensus
tentang diagnosis dan terapi DMPT (Diabetes Melitus
Paska Transplantasi) yang optimal dan masih memakai
kriteria WHO, ADA dan IDF. DMPT dapat
mengakibatkan komplikasi serius baik terhadap organ
yang dicangkokkan maupun terhadap harapan hidup
pasien hingga memerlukan transplntasi ulang.
Dislipidemia
Prevalensi hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseridemia setelah transplantasi diestimasikan
60 % dan 35 %. Sebagian besar disebabkan oleh steroid,
CNI (cyclosporine lebih sering daripada tacrolimus), dan
sirolimus.
1
Target LDL plasma adalah < 100mg/dL (5,6
mmol/L) dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan
terapi dengan obat, mengurangi dosis steroid dan
mengganti cyclosporine dengan tacrolimus. Statin
merupakan drug of choice pada resipien transplantasi
karena aman dan efektif untuk menurunkan kadar LDL
kolesterol . Karena metabolisme sebagian besar statin
dihambat oleh CNI maka konsentrasi statin di darah
dapat meningkat sehingga meningkatkan efek
sampingnya seperti rabdomiolisis. Interaksi ini akan
lebih meningkat lagi bila dikombinasi dengan
penghambat sitokrom P450 seperti diltiazem. Untuk
mengurangi toksisitas statin; mulai dengan dosis kecil,
gunakan fluvastatin atau pravastatin (kurang berinteraksi
dengan CNI); hindari penggunaan penghambat sitokrom
P450, hindari fibrat; periksa secara periodik serum
creatinin dan test fungsi hati. Fibrat diberikan dengan
ekstra hati-hati untuk pasien-pasien yang mendapat statin
dan CNI.
1
Hiperhomosisteinemia
Konsentrasi homosistein dalam darah yang
meningkat pada pasien-pasien yang mendapat dialisis,
akan menurun setelah transplantasi tetapi tidak sampai
normal. Sebuah studi prospektif menemukan
hiperhomosisteinemia pada 70 % pasien transplantasi
ginjal, dan hiperhomosisteinemia merupakan faktor
risiko independen untuk kejadian kardiovaskular.

Tidak
ada rekomendasi mengenai pemberian terapi vitamin B
untuk menurunkan hiperhomosisteinemia pada resipien
transplantasi. Efek dari obat immunosupresif terhadap
konsenstrasi homosistein plasma, masih belum jelas.
1
Keganasan
Kejadian keganasan pada pasien paska
trasplantasi ginjal lebih tinggi diabandingkan dengan
pasien-pasien dialisis dan populasi umum.
1
Relative risk
kejadian kanker paska transplantasi ginjal ditunjukkan
pada table 3.
Tabel 3. Relative risk of cancer following primary
cadaveric kidney transplantation (N = 8881) compared
with an age-matched australian population, 1963-2002*
*Adapted from Chapman and Webster
Nonmelanotic skin cancers are not included but the cumulative
risk of skin cancer 20 years aftertransplantation in Australia is
greater than 50%.
89
Ada beberapa alasan mengapa kejadian kanker
meningkat pada resipien transplantasi ginjal. Pertama,
imunospresi mengakibatkan terjadinya proliferasi yang
tidak terkontrol dari virus-virus onkogenik dan
menghambat mekanisme tumor surveillance yang
normal. Kedua, ada bukti eksperimental bahwa CNI
mempunyai efek tumor-promoting melalui efeknya
terhadap produksi growth factor . Ketiga, faktor dari
resipien sendiri yang berhubungan dengan penyakit
ginjal primer (penyalahgunaan analgetik, infeksi
Hepatitis B dan C) mungkin juga mencetuskan
neoplasia.
1
Jumlah kumulatif dari imunosupresi merupakan
faktor yang paling penting meningkatkan kejadian
keganasan sehingga untuk mencegah kanker adalah
dengan mengurangi pemakaian imunosupresan.
1,14-16
Pencegahan primer dan sekunder terhadap keganasan
payudara, paru dan saluran cerna dan urogenital
(mammography, penghentian rokok, endoskopi dan
pemeriksaan servix pada pasien wanita)
direkomendasikan. Sedangkan untuk kanker kulit
resipien disarankan untuk mengurangi paparan sinar
matahari dengan menggunakan pakaian pelindung,
pemakaian sunscreen pada bagian tubuh yang
terekspose. Lesi kulit premaligna harus diterapi dengan
cryotherapy atau eksisi bedah.
1
Secara umum, bila terjadi kanker maka
imunosupresi harus dikurangi. Pada beberapa kasus,
akan terjadi rejeksi terhadap graft tetapi risk dan benefit
untuk melajutkan imunosupresan harus dipertimbangkan
kasus per kasus.
Penyakit lymphoproliferatif
Insiden kumulatif penyakit lymphoproliferatif
pada resipien paska- transplantasi ginjal antara 1 % - 5
%. Lebih dari 90 % kasus adalah berupa LNH dan
sebagian besar merupakan B-cell origin. Sebagian besar
kasus muncul 24 bulan pertama setelah transplantasi.
Faktor risikonya antara lain: 1) Donor dengan positif
Epstein-Barr virus, 2) Donor dengan CMV positif, 3)
Resipien pediatrik 4) Peggunaan intensif
imunosupresan.
1,16
Terapi meliputi pengurangan atau penghentian
imunosupresif dikombinasi dengan terapi antiviral,
radioterapi, kemoterapi dan pembedahan. Belakangan
telah dikembangkan biological immune modifiers seperti
interferon dan IL-6, immunotherapy dengan virus-
specific T cells, dan eliminasi B cells menggunakan
rituximab suatu anti-CD 20 monoclonal antibody.
1
Dampak psikologis kegagalan graft
Hampir 30 % resipien transplantasi ginjal
mengalami kegagalan transplan dalam 5 tahun pertama.
Late graft failure sebagian besar terjadi akibat nefropati
kronik, dan pada porsi yang lebih kecil bisa akibat late
acute rejection, terutama di-induce oleh compliance yang
buruk terhadap obat-obat imunosupresif.
25
Dew et al. melaporkan bahwa 60 % dari review
studi menemukan peningkatan fungsi fisik, sosial, dan
psikologis setelah transplantasi ginjal, dan 100%
menemukan peningkatan kualitas hidup. Sejalan dengan
itu, Bremer et al. dalam observasinya terhadap 489
penderita mendapatkan bahwa mereka yang kembali
menjalani dialisis setelah mengalami kegagalan graft
memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan
pasien-pasien dialisis yang tidak pernah mengalami
kegagalan seperti tersebut di atas.
25
Kegagalan graft dapat memprovokasi reaksi
negative dari penderita. Reaksi terhadap kegagalan graft
dan pengaruhnya pada kualitas hidup bervariasi di antara
individu, namun dua pola yang khas adalah grief dan
denial. Kegagalan graft juga dapat mencetuskan
keadaan depresi, kemarahan dan kebencian terhadap
team transplantasi, bahkan pada beberapa individu ada
usaha-usaha bunuh diri. Walaupun demikian, lebih dari
dua pertiga penderita menginginkan untuk
retransplantasi.
25
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman
90
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007
RINGKASAN
Transplantasi ginjal merupakan modalitas terapi
paling efektif pada gagal ginjal kronik stadium akhir.
Kelangsungan hidup pasien-pasien transplantasi ginjal
ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
skrining penderita, persiapan pre-transplantasi,
pendekatan bedah yang diambil pada waktu transplantasi
dan penatalaksanaan penderita paska transplantasi
termasuk penggunaan obat-obat imunosupresif.
Komplikasi yang mungkin terjadi paska transplantasi
ginjal dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu
komplikasi bedah dan medik. Komplikasi bedah meliputi
komplikasi bedah besar seperti perdarahan dan efek obat-
obat anastesi dan komplikasi lain yang berhubungan
dengan proses transplantasi. Terdapat sejumlah
komplikasi medik yang perlu medapat perhatian, namun
yang terpenting adalah reaksi penolakan/rejeksi.
Penatalaksanaannya disesuaikan dengan penyebab dan
jenis komplikasi yang terjadi.
DAFTAR RUJUKAN
1. Magee CC, Pascual M. Update in renal
transplantation. Arch Intern Med 2004;164:1373-
88.
2. Sjabani HM, Asdie HAH, Bayupurnama P.
Selintas tentang transplantasi ginjal. Yogyakarta:
Yayasan transplantasi Organ Yogyakarta, 1996;1-
27.
3. Thye WK. Renal transplantation. clinical
nephrology. Singapore: Singapore University
Press; 1998;316-37.
4. Markum HMS. Perkembangan transplantasi ginjal
di indonesia. Majalah PAPDI 2006;6:25-30.
5. Loekman JS, Widiana R, Switra K. Survival and
early death of kidney transplant patients in Bali;
a four years cohort study. PIT Yogyakarta, 2004.
6. Ojo AO, Held PJ, Port FK, et al. Renal
transplantation in ESRD. NEJM 2003;349:931-
40.
7. Koene RAP, Hoitsma A. Evaluation of renal
transplant donor and recipient. In: Johnson RJ,
Feenally J, editorss. Comprehensive clinical
nephrology. London: Harcout Publisher Limited;
2000.p.86.1-.9.
8. Ramanathan R, Srinadh ES, Ramanan V, Basarge
N, Kumar A. Surgical complication of renal
transplantation. Indian Journal of Urology
1996;12:60-4.
9. Archibald SD, Jirsch DW, Bear RA.
Gastrointestinal complications of renal
transplantation. Canadian Medical Association
Journal 1999;119:1291-6.
10. Brown ED, Chen MYm, Wolfman NT, Ott DJ,
Watson Jr NE. Complication of renal
transplantation: Evaluation with US and
radionuclide imaging. RadioGraphics
2000;20:607-22.
11. Akbar SA, Jafri SZA, Amendola MA, Madrazo
BL, Salem R, Bis KG. Complications of renal
transplantation. RadioGraphics 2005;25:1335-56.
12. Baratawidjaja KG. Penolakan hiperakut, akut dan
kronik. Dalam: Baratawidjaja KG, editor.
Imunologi dasar. Edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2002.p.249-50.
13. Carpenter CB, Milford EL, Sayegh MH.
Transplantation in the treatment of renal failure.
In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
principles of internal medicine. 15
th
ed.
Philadelphia: McGraw-Hill; 2002.p.1567-72.
14. Susalit E. Transplantasi ginjal. Dalam: Sudoyo
AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata K.M, Setiati
91
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
IV. Jakarta: EGC; 2006.p.601-9.
15. Tran HTB, Acharya MK, Mckay DB, Sayegh MH,
Carpenter CB,Auchincloss H, Kirkman RL,
Milford EL. Avoidance of cyclosporine in renal
transplantation: effects of daclizumab,
mycofenolat mofetil, and steroids. J Am Nephrol
200;11:1903-9.
16. Gummert JF, Ikonen T, Morris RE. Newer
immunosuppressive drug: a review. J Am Soc
Nephrol 1999;10:1366-80.
17. Transplant rejection. Available from: file://G:/
Transplant rejection - Wikipedia, the free
encyclopedia.htm. Page 1-3
18. Russ GR. Long term immunosuppresive therapy
in renal transplantation. The Queen Elizabeth
Hospital, Adelaide, Australia. 13
th
Asian
Colloquium in Nephrology, Bali; 2000.p.19-21.
19. Halloran P, Melk A. Immunosupressive agents used
in transplantation. In: Johnson RJ, Feenally J,
editors. Comprehensive clinical nephrology. Mosby
London: Harcout Publisher Limited; 2000.p.85.1-
12.
20. Knoll GA, MacDonald I, Khan A, Walraven C.
mycophenolate mofetil dose reduction and the risk
of acute rejection after renal transplantation. J Am
Soc Nephrol 2003;14:2381-6.
21. Susalit E. Pola infeksi pasien paska transplantasi.
The 4
th
Jakarta nephrology and hypertensio course;
2004.p.90-3.
22. Kim SY, Lee SJ, Chang YK, Choi BS, Yang CW,
Kim YS et al. Tuberculosis in renal transplant
recipients: can fluoroquinolone replace rifampin?
XLIII Congress of the European Renal Association
European Dialysis and Transplant Association
(ERA-EDTA), Glasgow, United Kingdom
2006;21:531.
23. Fazelzadeh A, Mehdizadeh A, Rais-Jalali GA,
Ostovan MA. Pretransplant cardiac investigation in
the iranian renal transplant population; finding
effective screening techniques in predicting cardiac
events. XLIII Congress of the European Renal
Association European Dialysis and Transplant
Association (ERA-EDTA), Glasgow, United
Kingdom 2006;21:507.
24. Rao VK. Managemet of hypertension following
renal transplantation. Indian J Nephrol 2001;11:1-5
25. Ouellette A, Achille MA, Vachon M. Psychological
Impact of kydney graft failure and implications for
the pssychological evaluation of re-transplant
candidates.Dialysis and Transplantation
2006;35;354-61.
Komplikasi Paska Transplantasi Ginjal
I Made Juliana, Jodi Sidharta Loekman

You might also like