Academia.eduAcademia.edu

Analisa Kasus Permasalahan Otonomi Daerah di Indonesia

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA ANALISA ARTIKEL OTONOMI DAERAH Oleh : Nama : Danang Kusuma NIM : 1431140042 Kelas : MI-1D PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMATIKA POLITEKNIK NEGERI MALANG TAHUN 2014 Artikel Asli PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN HUTAN DI BALI Seiring dengan perkembangan reformasi di Indonesia, Pembangunan Nasional di Indonesia lebih menekankan pada prinsip-prinsip Demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Pada era reformasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke sistem desentralisasi/ otonomi.  Perubahan paradigma ini sudah tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini, yaitu yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat, dan juga produk-produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah. Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.  UU No.32 tahun 2004, pasal 10 mengatur bahwa : Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah (yang dimaksud Pemerintah Pusat) meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dalam urusan pemerintahan di bidang Kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan diganti dengan  UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Kehutanan ini senapas dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali. Ringkasan Artikel Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Dalam urusan pemerintahan di bidang Kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan diganti dengan  UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Kehutanan ini senapas dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali. Rumusan Masalah Jelaskan apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah! Apa saja tujuan Otonomi Daerah? Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia? Bagaimanakah Pengaruh Sistem Otonomi Daerah terhadap Kewenangan Pengelolaan Hutan di Bali ? Pembahasan Penjelasan Tentang Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Tujuan otonomi daerah Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut: Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik. Pengembangan kehidupan demokrasi. Keadilan nasional. Pemerataan wilayah daerah. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Secara konseptual, di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan. Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut. Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah: Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Rusaknya Sumber Daya Alam Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka. Pengaruh Sistem Otonomi Daerah terhadap Kewenangan Pengelolaan Hutan di Bali. Apabila dicermati secara teliti, maka sesungguhnya urusan bidang Kehutanan pada awalnya bersifat sentralistik. Dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan,  pasal 4 ayat (2) huruf a disebutkan bahwa :  Penguasaan hutan oleh Negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pemerintah di sini maksudnya adalah Pemerintah Pusat (Pasal 1, ayat 14). Disini jelas amanat undang-undang bahwa kewenangan asli (atribusi) untuk  mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan diberikan kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Menurut Teori Kewenangan, cara memperoleh kewenangan dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan yang langsung bersumber kepada undang-undang.  Kewenangan yang di dapat melalui atribusi oleh organisasi pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yang melibatkan peran serta rakyat sebagai pemegang asli kewenangan.  Delegasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Dalam penyerahan kewenangan ini terjadi  perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang menerima delegasi. Pengertian mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Dalam mandat, tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat. Selanjutnya Pasal 66 ayat (1) UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan: “Dalam rangka penyelenggaraan Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah”. Pada ayat (2) disebutkan “ Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Dari pasal 4 dan 66 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disimpulkan bahwa Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan bersifat “Concurrent” artinya urusan pemerintah yang dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kemudian dalam ketentuan pelaksanaannya yaitu dalam PP No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan  diatur bahwa : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan serta pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan (pasal 3) dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (pasal 4). Untuk mengelola serta memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari perlu dibentuk suatu lembaga atau organisasi pemerintahan yang memiliki tugas dan kewenangan mengelola kawasan hutan, yaitu satuan kerja yang bernama Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Menurut PP No.6 tahun 2007, pasal 9, Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi: Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Menjabarkan kebijakan Kehutanan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota bidang Kehutanan untuk diimplementasikan; Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Organisasi KPH ini bisa dibentuk oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Depatemen Kehutanan maupun Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Provinsi. Provinsi Bali merupakan satu kesatuan ekosistem pulau yang merupakan satu kesatuan wilayah, ekologi, sosial budaya, sehingga kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang diperlukan mengacu pada kelestarian ekosistem. Pembentukan KPH di Provinsi Bali merupakan kebutuhan nyata dalam rangka pengelolaan hutan di Provinsi Bali agar hutan Bali dapat memberikan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Pemerintah Provinsi kemudian membentuk 4 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali dengan Peraturan Daerah (Perda) No.2 Tahun 2008, tanggal 8 Juli 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No.48 tahun 2008, tanggal 22 Juli 2008 tentang Rincian Tugas Pokok Dinas Kehutanan Provinsi Bali, dan kemudian dikukuhkan/ ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No. 800/Menhut-II/2009, tanggal 7 desember 2009tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Bali. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dibentuk adalah : UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat. UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Tengah UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur UPT Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai, yang khusus mengelola kawasan hutan bakau (mangrove) di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Pembentukan KPH di Provinsi Bali diharapkan agar hutan Bali dapat memberikan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Daftar Pustaka http://lawyersinbali.wordpress.com/2012/10/23/pengaruh-otonomi-daerah-terhadap-kewenangan-pengelolaan-hutan-di-bali/ http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html