Academia.eduAcademia.edu

KELOMPOK 4 (BAB 9 UTANG ATAU PINJAMAN NEGARA)

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kami berterima kasih kepada Bapak Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS selaku dosen pengampu mata kuliah Keuangan Negara yang sudah membimbing kami untuk lebih memahami materi pembelajaran yang diberikan dengan memberikan tugas kepada kami. Kami berharap tugas kami kerjakan ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi kami dan orang-orang yang membacanya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

MAKALAH KEUANGAN NEGARA KELOMPOK 4 UTANG ATAU PINJAMAN NEGARA Dosen Pengampu Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS Disusun oleh: 1. Gesang Anggoro 2. Beby Dwi Safitri 3. Wahyu Nugroho Rahman B1B121056 B1B121075 B1B121096 PRODI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI 2021 KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kami berterima kasih kepada Bapak Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS selaku dosen pengampu mata kuliah Keuangan Negara yang sudah membimbing kami untuk lebih memahami materi pembelajaran yang diberikan dengan memberikan tugas kepada kami. Kami berharap tugas kami kerjakan ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi kami dan orang-orang yang membacanya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Terima kasih. Jambi, 23 November 2022 Penyusun Anggota Kelompok 4 ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii-iv BAB I ......................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1 1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2 BAB II ....................................................................................................................................... 3 PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3 2.1 Macam dan Ciri Utang Negara.................................................................................... 3 2.1.1 Utang dengan Jaminan dan Tanpa Jaminan .................................................. 3 2.1.2 Utang Sukarela dan Utang Paksa ..................................................................... 3 2.1.3 Utang Dalam Negeri dan Utang Luar Negeri.................................................. 3 2.1.4 Suku Bunga Utang ............................................................................................. 4 2.2 Sumber Utang Negara ................................................................................................. 4 2.2.1 Individu sebagai Kreditur ................................................................................. 4 2.2.2 Lembaga Keuangan Bukan Bank sebagai Kreditur....................................... 5 2.2.3 Bank – Bank Umum sebagai Kreditur ............................................................ 5 2.2.4 Bank Sentral sebagai Kreditur ......................................................................... 5 2.3 Beban dari Utang Negara ............................................................................................ 5 2.3.1 Utang Luar Negeri ............................................................................................. 5 2.3.2 Utang dalam Negeri ........................................................................................... 6 2.4 Masalah Pengelolaan Utang Negara ........................................................................... 6 2.4.1 2.5 Kemampuan Membayar Utang (Debt Service Capacity) .............................. 6 Utang Luar Negeri untuk Pembangunan Ekonomi ..................................................... 7 2.5.1 Utang Luar Negeri sebagai Sumber Kapital ................................................... 7 2.5.2 Pemilihan Antara Utang Dalam Negeri dan Utang Luar Negeri .................. 9 2.5.3 Utang Luar Negeri dan Inflasi ........................................................................ 10 2.5.4 Kapasitas Untuk Membiayai Utang Luar Negeri Indonesia ....................... 11 2.6 Meringankan Beban Utang........................................................................................ 12 2.7 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia.......................................................................... 13 2.7.1 Perkembangan Utang Negara Indonesia ....................................................... 13 iii 2.7.2 2.8 Utang Luar Negeri Negara Anggota ASEAN ................................................ 13 Pembayaran Utang Luar Negeri Dalam Hubungannya Dengan APBN .................... 14 BAB III.................................................................................................................................... 17 PENUTUP............................................................................................................................... 17 3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 17 3.2 Saran .......................................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 18 iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara harus melakukan berbagai kegiatan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya maupun politik negaranya. Tentunya, Kegiatan - kegiatan ini memerlukan banyak pengeluaran yang harus dibiayai dengan penerimaan negara. Telah diketahui pula banyak sumber penerimaan negara, dan sumber penerimaan yang utama adalah dari pajak, utang negara dan pencetakan uang. Analisis mengenai perpajakan telah dibicarakan pada makalah – makalah sebelumnya dan pada makalah ini akan dibahas mengenai ekonomi utang negara. Terkait dengan permasalahan sumber – sumber pembiayaan pembangunan negara, di samping sisa penerimaan dalam negeri setelah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin (yang disebut dengan tabungan negara), besarnya penerimaan hasil ekspor yang berupa devisa, hasil penghematan penggunaan devisa melalui usaha-usaha impor substitusi dan juga tidak kalah penting adalah masalah utang negara (pinjaman negara) baik dari dalam maupun dari luar negeri. Istilah utang akan dipakai bergantian dengan istilah pinjaman yang keduanya memiliki arti yang sama yaitu sebagai uang yang dipinjam dari orang lain (W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2006. Utang negara memainkan peranan yang sangat penting sejak era Orde Lama (1945 1965), Orde Baru (1967 - 1998), bahkan sampai dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2011), terutama untuk mendukung pembiayaan pembangunan Indonesia. Peran penting utang negara ini akan dianalisis manfaat dan akibatnya baik pada saat terjadinya utang maupun pada saat kita harus melunasi utang tersebut. Utang negara ini dialami juga oleh negara-negara lain baik negara yang sudah maju maupun negara yang sedang dalam masa awal perkembangannya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa macam dan ciri utang negara? 2. Apa saja sumber utang negara? 3. Bagaimana beban utang luar negeri? 4. Bagaimana cara mengelola permasalahan utang negara? 5. Mengapa utang luar negeri digunakan untuk pembangunan ekonomi? 6. Apa saja yang dapat meringankan beban utang negara? 7. Bagaimana posisi utang luar negeri di Indonesia? 8. Bagaimana hubungan pembayaran utang luar negeri dengan APBN? 1 1.3 Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami apa saja utang negara dan bagaimana ciri utang negara, lalu mengetahui darimana saja sumber utang negara, mengetahui bagaimana beban dari utang luar negeri, mengetahui cara mengelola utang negara, mengetahui penyebab dari utang yang digunakan untuk pembangunan perekonomian, mengetahui apa saja yang dapat meringankan utang negara, mengetahui bagaimana posisi utang luar negeri di Indonesia dan mengetahui bagaimana hubungan antara pembayaran utang negara dengan APBN. 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Macam dan Ciri Utang Negara 2.1.1 Utang dengan Jaminan dan Tanpa Jaminan Utang negara seringkali dibedakan menjadi, Utang dengan Jaminan "Reproductive Debt" dan Utang Tanpa Jaminan "Dead Weight Debt”. "Reproductive debt" merupakan utang yang dijamin atau dideking seluruhnya dengan kekayaan negara yang berutang atas dasar nilai yang sama besarnya. Sedangkan. "Dead Weight Debt” merupakan utang tanpa disertai dengan jaminan kekayaan. Pembayaran bunga (interest) dan cicilan pokok utang (amortisation + sinking fund) bagi “Reproductive Debt” biasanya diambil dari pendapatan yang berasal dari kekayaan negara atau hasil usaha negara peminjam dan biasanya utang tadi harus dibayar paling lama sepanjang umur dari barang – barang atau kekayaan yang dipakai sebagai jaminan. 2.1.2 Utang Sukarela dan Utang Paksa Dari sudut asal utang, utang negara dapat dibedakan dalam berbagai golongan yaitu sebagai utang paksa dan utang sukarela. Sebenarnya utang paksa sudah jarang sekali terjadi dalam dunia modern sekarang ini. Di sini ada segi negatif dan segi positifnya. Untuk utang paksa, karena pengumpulannya dapat dipaksakan, maka jumlah yang dikumpulkan dapat lebih memuaskan. Sedangkan keuntungan utama dari utang sukarela bila dibandingkan dengan utang paksa adalah bahwa para pemberi utang bebas menyerahkan dananya tergantung pada kemauan mereka sendiri, namun jumlah yang dapat dikumpulkan oleh negara biasanya akan tidak begitu besar. Selanjutnya untuk utang atau utang paksa walaupun nantinya ada pembayaran bunga dan pengembalian pokok utang, bunga tersebut biasanya akan lebih rendah daripada apabila utang itu berujud utang sukarela. 2.1.3 Utang Dalam Negeri dan Utang Luar Negeri Pembedaan jenis utang yang lain adalah antara utang dalam negeri dan utang luar negeri (internal debt dan external debt). Utang dalam negeri merupakan utang yang berasal dari orang – orang atau lembaga – lembaga sebagai penduduk negara itu sendiri atau dalam lingkungan negara itu sendiri. Sedangkan utang luar negeri merupakan utang yang berasal dari orang – orang atau lembaga – lembaga dari negara lain. Adapun utang dalam negeri itu dapat bersifat paksa maupun bersifat sukarela, sedangkan utang luar negeri biasanya 3 bersifat Sukarela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara lain. Utang dalam negeri hanya mencakup pemindahan kekayaan di dalam masyarakat negara itu sendiri, baik pada saat terjadinya utang maupun terjadinya pembayaran bunga dan pengembalian cicilan utang, sedangkan utang luar negeri mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari negara yang meminjamkan (kreditur) ke negara peminjam (debitur) pada saat terjadinya utang. Aliran kekayaan yang sebaliknya akan terjadi bila terdapat pembayaran bunga dan cicilan pokok utang yang bersangkutan. Utang dalam negeri dapat berubah menjadi utang luar negeri melalui pembelian surat-surat obligasi oleh para kreditur dari negara lain. Demikian pula sebaliknya utang luar negeri dapat menjadi utang dalam negeri bila terjadi pembelian surat-surat obligasi atau surat berharga oleh penduduk negara debitur dari negara kreditur. 2.1.4 Suku Bunga Utang Ada ketentuan bahwa utang negara dikenai tingkat bunga yang tetap, artinya jika tingkat bunga ataupun harga – harga umum naik atau turun, tidak akan ada perubahan dalam suku bunga yang dikenakan. Sehingga dalam masamasa ada inflasi akan lebih menguntungkan untuk bertindak sebagai debitur daripada sebagai kreditur, dan sebaliknya dalam masa deflasi lebih menguntungkan untuk bertindak sebagai creditur daripada sebagai debitur. 2.2 Sumber Utang Negara 2.2.1 Individu sebagai Kreditur Pemberian utang oleh para individu di antaranya dengan cara pembelian obligasi negara. Ini dapat mempengaruhi pola konsumsi dan pola tabungan para individu yang bersangkutan. Pada umumnya orang tidak akan mengurangi konsumsi sekedar untuk membeli obligasi negara, tetapi mereka akan mengurangi tabungan mereka untuk membeli obligasi. Sesungguhnya ada beberapa alternatif penggunaan dana tabungan di antaranya dapat dipakai untuk perluasan usaha, atau disimpan dalam bentuk uang kas yang menganggur untuk keperluan spekulasi. Alternatif ini tidak dipilih karena obligasi memberikan hasil atau pendapatan lebih tinggi dalam bentuk bunga daripada alternatif lain. Pembelian obligasi negara akan menekan harga surat berharga yang lain seperti surat- 5 surat saham dan ini akan meningkatkan suku bank bunga sehingga menekan keinginan berinvestasi dan menghambat ekspansi perusahaan. Jadi pembelian surat obligasi oleh para individu tidak banyak mempengaruhi konsumsi dan investasi melainkan lebih berpengaruh pada penggunaan dana yang semula untuk membeli surat-surat berharga lain. 4 2.2.2 Lembaga Keuangan Bukan Bank sebagai Kreditur Negara dapat pula menjual surat obligasi negara kepada perusahaan asuransi dan sebagainya yang bukan bank. Pembelian obligasi oleh perusahaan jenis ini dilakukan dengan menggunakan dana yang mengganggur yang seharusnya dapat pula dipakai untuk membeli surat-surat scham dan lain sebagainya. Sebagai akibat dari pembelian obligasi itu, maka kemungkinan perluasan usaha perusahaan yang ingin menjual saham jadi terhambat karena kekurangan dana. Hal ini hanya dapat terjadi bila obligasi negara itu benar-benar lebih menarik dengan memberikan hasil yang tinggi dibanding dergan pembayaran dividen yang diperoleh sebagai hasil memegang saham. 2.2.3 Bank – Bank Umum sebagai Kreditur Bank umum karena kemampuannya memberikan kredit berbeda dengan lembaga keuangan lain, maka perkreditan dari bank umum dapat masa tenaga beli baru dengan mendasarkan pada deking (reserved atau deking) dana utang yang dipunyai Bank. Bank Sentral memberikan pedoman bahwa untuk memberikan kredit, bank umum harus punya deking misalnya setinggi 54 (reserve reguirement 5 persen). 2.2.4 Bank Sentral sebagai Kreditur Negara dapat menjual obligasi kepada bank sentral. Tindakan ini juga menciptakan tenaga beli seperti halnya bila negara menjual obligasi kepada Bank umum. Bank Sentral membuka rekening negara dan seolah-olah negara mempunyai simpanan di Bank Sentral. Kalau kemudian negara mengambil uang dari Bank dan melakukan pembayaran kepada individu dalam masyarakat dan bila para individu menyimpan dana itu di Bank umum, maka ini akan merupakan deking bagi Bank umum sehingga Bank umum dapat menciptakan kredit yang akhimya berbentuk uang giral. Jadi, utang negara dari Bank Sentral tidak akan bersifat menekan tingkat pendapatan nasional. 2.3 Beban dari Utang Negara Mengenai beban dari utang negara ini pembicaraan hanya akan dihubungkan terhadap utang dari dalam negeri dan utang dari luar negeri (internal debt dan external debt). 2.3.1 Utang Luar Negeri Beban utang dibedakan menjadi beban dalam arti uang (in money term) dan beban dalam arti riil (in real term). Selama jangka waktu tertentu, beban uang langsung dapat diukur dengan suatu jumlah pembayaran tertentu dalam bentuk uang baik dalam hal pembayaran bunga maupun cicilan utang kepada negara 5 kreditur. Sedangkan beban riil langsung yang diderita negara peminjam berupa kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi yang hilang karena adanya pembayaran-pembayaran cicilan utang dan bunga dalam bentuk uang tadi. Beban tidak langsung dari utang luar negeri apakah itu dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk riil timbul karena adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi dalam bidang produksi dan konsumsi melalui pemungutan pajak yang diperlukan untuk melakukan pembayaran-pembayaran bunga dan cicilan utang serta melalui kegiatan – kegiatan pengeluaran negara untuk meningkatkan produksi dengan dana hasil utang tersebut. 2.3.2 Utang dalam Negeri Masalah utang dalam negeri ini tidak menyangkut hubungan antara masyarakat debitur di suatu negara dengan para kreditur di negara lain, melainkan hanya antara debitur dan kreditur didalam suatu negara yang sama. Pada umumnya, utang dalam negeri ini bila harga stabil akan bersifat memperbesar perbedaan pendapatan, karena pada umumnya surat obligasi negara itu dibeli atau dimiliki oleh orang kaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan di lain pihak, walaupun pajak itu bersifat progresif tetapi tidak mungkin semua pembayaran utang negara itu dibebankan pada golongan kaya. Dalam banyak hal, utang dalam negeri seringkali merupakan pemindahan kekayaan dari orang- orang kaya kepada orang – orang lebih kaya dan ini sebenarnya adalah suatu beban riil walaupun pada saat terjadinya utang memang konsumsi dan investasi kelompok kaya terkekang. Utang dalam negeri juga menimbulkan beban-beban tidak langsung kepada masyarakat melalui pekerjaan yang selanjutnya mempengaruhi produksi dan konsumsi masyarakat lewat kemampuan dan kemauan untuk bekerja, menabung dan berinvestasi. 2.4 Masalah Pengelolaan Utang Negara Apabila kita berbicara mengenai kebijakan fiskal negara maka biasanya berhubungan dengan masalah penerimaan negara, pengeluaran negara, utang negara beserta pengelolaannya. 2.4.1 Kemampuan Membayar Utang (Debt Service Capacity) Kemampuan membayar utang oleh negara perlu dipikirkan secara matang. Meskipun secara teknis pengendalian utang negara telah sempurna, tetapi pencapaian tujuan pembangunan akan sia – sia kecuali jika negara itu secara finansial benar – benar kuat, yaitu dengan pendapatan nasionalnya mampu memikul beban yang berupa pembayaran bunga utang dan cicilan utang (debt service), karena utang luar negeri selalu disertai dengan kebutuhan devisa untuk melakukan pembayaran. Sebenarnya ada dua indikator utama mengenai utang, Apabila kita mengukur kapasitas suatu negara guna melakukan pembayaran dalam valuta 6 asing, alat pengukur yang dipakai adalah apa yang disebut dengan "debt-service ratid” yaitu jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang jangka panjang dibagi dengan hasil ekspor barang dan jasa. 2.5 Utang Luar Negeri untuk Pembangunan Ekonomi Utang luar negeri biasanya timbul karena suatu negara mengalami kekurangan dana berhubung terbatasnya sumber dana didalam negeri. Bagi negara yang sedang berkembang dan ingin mempercepat laju pertumbuhan ekonominya dan kemudian dapat menyamai taraf hidup dinegara maju, investasi dalam jumlah yang besar perlu dijalankan, sehingga hasilnya tidak akan hanya diserap oleh pertambahan penduduk. Di banyak negara sedang berkembang, umumnya tingkat investasi rendah, yaitu: 4% hingga 5% dari pendapatan nasional, sehingga negara – negara tersebut seringkali berada pada perangkap pendapatan keseimbangan yang rendah (low level eguilibrium trap). Adapun peranan utang negara dalam pembangunan ekonomi semakin meningkat apabila penerimaan negara yang berasal dari sumber-sumber lain terlalu kecil untuk menutup pengeluaran negara atau karena terlalu kecilnya dana tabungan yang tersedia untuk investasi. Tabungan dinegara yang sedang berkembang umumnya rendah karena adanya lingkaran setan yang tak berujung pangkal (vicious circle) di negara – negara tersebut yaitu bahwa negara itu miskin karena miskin. Dengan rendahnya dana tabungan yang ada dalam masyarakat maka pembangunan tak dapat dipercayakan kepada kemampuan swasta sehingga negara terpaksa lebih aktif dalam mengusahakan berhasilnya pembangunan ekonomi di negara tersebut. Oleh karena itu, kegiatan negara semakin meningkat dengan berbagai program dan proyek pembangunan sehingga jelas bahwa pengeluarannya juga meningkat. 2.5.1 Utang Luar Negeri sebagai Sumber Kapital Di sebagian besar negara yang sedang berkembang, terbentuknya akumulasi kapital sangat terbatas karena di samping rendahnya produktivitas juga karena tingginya tingkat konsumsi baik untuk sektor swasta maupun sektor negara yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan adanya efek primer (inter national demonstration effects). Agar supaya dapat mengimpor barang- barang tersebut negara – negara yang sedang berkembang harus memiliki devisa yang cukup banyak dan untuk mendapatkan devisa itu, langkah pertama yang harus ditempuh ialah meningkatkan kemampuan ekspor, dan cara yang lain ialah mendapatkan bantuan luar negeri. Akan tetapi, ekspor dinegara yang sedang berkembang sebagian besar berupa produksi primer, sehingga penerimaan devisa dari hasil ekspor terlalu rendah dibanding dengan kebutuhan impornya. Alasan mengapa barang-barang primer memberikan penerimaan devisa yang rendah adalah karena: 7 1. Rendahnya elastisitas permintaan Untuk hampir semua barang primer yang diekspor oleh negaranegara sedang berkembang, baik elastisitas permintaan dalam hubungannya dengan harga (price elasticity of demand) maupun elastisitas permintaan dalam hubungannya dengan pendapatan (incore elasticity of demand) terhadap barang-barang tersebut dalah rendah. Sehingga baik perubahan dalam harga maupun perubahan dalam pendapatan tidak akan banyak mempengaruhi jumlah barang-barang yang diminta. 2. Ketidakstabilan Harga Banyak dari barang-barang primer yang benar-benar hanya dihasilkan oleh negara-negara yang sedang berkembang, sehingga bila ada kenaikan harga dari barang-barang tersebut di pasaran luar negeri, penerimaan devisa dan pendapatan nasional negara-negara tersebut meningkat dan akan mendorong bertambahnya produksi barang-barang tersebut walaupun tidak dalam waktu yang begitu pendek sehingga harga-harga akan turun kembali yang selanjutnya negara-negara tersebut akan kembali mengalami penurunan baik dalam hasil ekspor maupun pendapatan nasionalnya. Dengan demikian, penerimaan devisa tidak dapat ciharapkan tetap tinggi. 3. Memburuknya Nilai Tukar (Terms of Trade) Seperti diketahui barang-barang ekspor negara sedang berkembang terdiri dari barang-barang primer, dimana harga-harganya cenderung untuk tetap, kalau tidak turun, dan sebaliknya impor negara tersebut berupa barang-barang hasil industri pabrik yang harganya tidak cenderung turun. Bila dilihat dari sudut produksi sektoral, meningkatrya hasil produksi dari sektor pertanian akan dicerminkan dengan menurunnya harga dari barang-barang tersebut, sedangkan untuk sektor industri, diharapkan bahwa dengan meningkatnya produksi barang-barang hasil pabrik akan diikuti oleh meningkatnya upah buruh, karena buruh menuntut kenaikan upah dan biasanya diikuti pula oleh naiknya harga barang-barang pabrik tersebut. Permintaan terhadap barang-barang produksi primer menurun karena adanya penggunaan barang-barang substitusi sedangkan permintaan barangbarang hasil pabrik selalu meningkat karena adanya proses pembangunan ekonomi dan kenaikan pendapatan nasional. 4. Penggunaan Barang-Barang Sintetis dan Barang-Barang Substitusi Tidaklah lengkap bila menganalisis kesulitan-kesulitan dalam ekspor barang-barang primer tanpa membicarakan mengenai kemajuan teknologi. Salah satu dari bahaya yang mengancam penerimaan devisa 8 dari ekspor negara-negara sedang berkembang adalah adanya persaingan dari barang-barang sintetis sehingga membatasi permintaan ekspor akan barang barang primer tersebut. 5. Tarif dan Kuota Rintangan-rintangan yang lain bagi ekspor produksi primer adalah karena adanya peraturan-peraturan tarif dan kuota bagi barang-barang yang identik atau sejenis dengan barang-barang yang dihasilkan di negara-negara yang telah maju. 2.5.2 Pemilihan Antara Utang Dalam Negeri dan Utang Luar Negeri Kegagalan dari tabungan dalam negeri guna menghadapi kebutuhan investasi, serta kegagalan penerimaan negara dari sumber di dalam negeri dalam melayani pengeluaran negara, menyebabkan peranan utang negara menjadi sangat penting. Utang negara ini seperti telah dikatakan dapat berupa utang dalam negeri dan utang luar negeri. Apabila perbedaannya hanya karena perbedaan sumber atau asal bantuan, maka tidak akan sulit untuk melakukan pemilihan di antara keduanya. Bagi negara-negara kaya tingkat tabungan di negara tersebut relatif sudah tinggi, tetapi mungkin penerimaan negara relatif rendah dan tidak cukup untuk menutup pengeluarannya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada masalah pemilihan mana yang lebih baik untuk ditempuh guna membiayai pengeluarannya apakah pinjam dari luar negeri ataukah pinjam dari dalam negeri. Pemilihan tersebut memerlukan beberapa pertimbangan berhubung dengan sifat-sifat utang itu seperti yang pernah disebutkan di depan. 1. Pada Masa Penerimaan Utang Apabila utang itu diterima dari luar negeri, maka berarti bahwa pengeluaran-pengeluaran negara itu dibelanjai dengan tabungan negara lain dan ini merupakan tambahan dana kapital yang tersedia. Apabila dana itu berupa utang dalam negeri, maka jumlah dana yang tersedia pada tangan swasta akan berkurang sebesar jumlah pinjaman kepada pemerintah itu. 2. Pada Masa Pembayaran Kembali Utang Sedangkan pembayaran bunga dan cicilan utang untuk utang dari dalam negeri sendiri hanya berupa pemindahan dana dari satu kelompok orang kepada kelompok orang yang lain di negara yang sama. Atas dasar berbagai pertimbangan di atas maka timbullah masalah pemilihan antara utang dalam negeri dan utang luar negeri. Dengan demikian maka di dalam melakukan pilihan di antara alternatif itu, masyarakat atau pemerintah suatu negara harus membandingkan antara bentuk utang yang memungkinkan adanya 9 pendapatan nasional yang semakin tinggi pada masa yang akan datang tetapi disertai dengan adanya aliran dana ke luar negeri yang harus diambilkan dari pendapatan yang meningkat itu, dan bentuk utang yang lain yang mungkin juga meningkatkan pendapatan pada masa yang akan datang tetapi tidak disertai dengan tagihan dari luar negeri atau mengalirnya dana ke luar negeri. 3. Kapasitas Meningkatnya Pendapatan Nasional Selanjutnya pemilihan antara utang dalam negeri dan utang luar negeri tergantung pada bagaimana kapasitas negara itu untuk meningkatkan pendapatan nasionalnya. Pengeluaran negara hendaknya dapat menghasilkan barang dan jasa yarg maksimum tanpa memperhatikan asal dari utang itu. Tetapi apabila kapasitas sektor negara untuk menghasilkan barang dan jasa itu lebih tinggi daripada kapasitas sektor swasta, maka lebih baik untuk mengajunakan utang dalam negeri karena bagaimanapun juga pendapatan nasional akan meningkat pada saat setelah terjadinya utang dan hanya ada sedikt penurunan pendapatan pada saat terjadinya pembayaran kembali utang. 4. Tersedianya Dana dari Utang dalam Negeri Sebagian besar dari negara sedang berkembang tetap meminjam dari luar negeri karena memang di negara-negara tersebut dana kapital tidak ada dan kalau ada hanya sedikit jumlahnya. Di samping itu memang utang luar negeri telah terbukti selalu lebih menguntungkan daripada utang dalam negeri. Hanya sedikit bukti yang menyarankan bahwa utang luar negeri kurang menguntungkan dibanding dengan utang dalam negeri. 2.5.3 Utang Luar Negeri dan Inflasi Indonesia termasuk kedalam negara-negara yang sedang berkembang dan rencana pembanguran ekonomi Indonesia selalu didukung oleh utang-utang luar negeri. Meskipun sifat utang luar negeri di setiap negara adalah sama, tetapi ciriciri dari perekonomian Indonesia pada masa-masa sebelum tahun 1968 adalah inflasi yang cepat yaitu "hyper inflation" dan bahkan "sky-rocket- ing inflation", sehingga akibat dari utang-utang luar negeri itu berbeda dengan di negaranegara lain. Menurut beberapa teori, utang dalam negeri merupakan salah satu alat untuk menanggulangi inflasi karena menyerap uang yang beredar dalam masyarakat. Utang luar negeri berdasarkan pengalaman Indonesia dapat digunakan untuk membendung inflasi melalui penggunaannya untuk mengimpor barang-barang baik barang konsumsi maupun alat-alat kapital, sehingga harga-harga akan tetap kalau tidak bahkan menurun. 10 Hal ini disebabkan oleh sifat inflasi di satu pihak adalah adanya kebanjiran tenaga beli sebagai akibat dari besarnya pengeluaran negara yang dicerminkan dalam defisit anggaran belanja dan di lain pihak adanya kekurangan barang dan jasa dakm perekonomian. Kalau sebagian dari utang luar negeri itu dipergunakan untuk mengimpor barang-barang moda, ini akan meningkatkan pendapatan nasional, melalui akibat pengganda (multiplier effect) dari pengeluaran negara maupun investasi nasional. Tetapi sayangnya peningkatan dalam pendapatan nasional itu tidak bersifat permanen dan segera akan berakhir, sedangkan utang beserta dengan akibat-akibatnya akan tetap ada untuk jangka yang lama. Hal itulah yang merupakan sumber dari timbulnya masalah utang. Terutama dalam masa inflasi, meskipun terdapat keuntungan yang besar dalam masa inflasi itu, tetapi akan ada suatu perbedaan harga antara harga barang-barang dalam negeri dan harga barang-barang impor, dan biasanya barang-barang impor memiliki kualitas yang lebih baik dan harga-harga yang relatif lebih murah dibanding barang-barang hasil produksi dalam negeri. Akibatnya ialah kenaikan-knaikan dalam pendapatan nasional akan digunakan untuk mengimpor barang-barang tersebut (ter- utama barang-barang konsumsi) dan tidak akan ada yang dita- bung, karena nilai mata uang itu selalu menurun. Dengan demikian utang luar negeri hanya sekedar menciptakan beban baru, bagi negara yang mengalami inflasi tersebut, setelah menolong untuk sementara. 2.5.4 Kapasitas Untuk Membiayai Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri memiliki atau menghadapi beberapa rintangan atau pembatasan. Batasan umum adalah mengenai kapasitas negara peminjam tersebut untuk membayar kembali utang dan bunganya di masa yang akan datang. Di negara-negara sedang berkembang, oleh karena lambannya pertumbuhan ekspor hasil-hasil produksi primer, penerimaani devisa dari hasil ekspor itu dipergunakan untuk mengimpor barang-barang yang perlu bagi pembangunan ekonominya dan hanya jumlah tertentu yang dipakai untuk membayar kembali utang dan bunganya. Selama masa inflasi tahun 1960-an penerimaan devisa dari hasil ekspor Indonesia selalu menurun karena adanya disparitas harga dan impor justru semakin meningkat dan lebih besar dari pada ekspor, sehingga utang terhadap luar negeri justru selalu meningkat. Untuk tahun 1968 utang sebesar US$ 400 juta diterima dan pada tahun 1969 US$ 500 juta, sedangkan pada tahun 1972 jumlah ini mencapai US$ 670 juta. Dilain pihak pembayaran utang pada masa-masa lampau yang seharusnya sudah mulai dibayar paca tahun 1969 ditunda pembayarannya (rescheduled) dan usaha-usaha untuk meningkatkan ekspor, menghasilkan kenaikan peneriman devisa sebesar 14,9% pada akhir tahun 1968 dibanding dengen tahun 1967. 11 Pada tahun 1966 penerimaan Indonesia dari hasil ekspor adalah US$450 juta dan Indonesia harus membayar utang sebe- sar US$470 juta. Sedangkan pada tahun itu hasil ekspor tersebut masih belum cukup untuk membayar impor barang-barang esensial untuk rehabilitasi ekonomi Indonesia, sehingga akibatnya utang luar negeri tak dapat dibayar. Oleh sebab itu maka Indonesia mengundur pembayaran utangnya. Pertemuan-pertemuan Tokyo, Paris dan Amsterdam pada tahun 1968 menghasilkan persetujuan bahwa Indonesia harus membayar utang sebesar US$200 juta/tahun. Sedangkan ekspor Indonesia tidak akan lebih dari US$500 juta/tahun, yang berarti 40% daripadanya harus disisihkan untuk membayar utang. Tetapi kalau itu dijalankan maka Indonesia tentu tidak akan dapat mengadakan rehabilitasi ekonominya sama sekali, karena perekonomian Indonesia dalam keadaan sakit parah, sedangkan debit service ratio sudah mencapa sekitar 40%; padahal ambang batas utang luar negeri itu seharusnya debt service ratio sekitar 2025%, Perekonomian Indonesia pada waktu itu sangat memerlukan dana untuk investasi dan impor barang maupun jasa guna rehabilisasi semua prasarana ekonomi seperti jalan, jembatan, dan irigasi, listrik, air minum dan sebagainya. 2.6 Meringankan Beban Utang Beberapa negara pada tahun 1970-an memerlukan bantuan untuk meringankan beban utang masing-masing. Beberapa negara terpaksa merundingkan kembali mengenai utang mereka sebab negara-negara ini umumnya mengalami neraca pembayaran internasional yang semakin jelek karena terlalu banyaknya kebijakan fiskal dan moneter yang bersifat ekspansi selama beberapa tahun ditambah dengan masalahmasalah khusus seperti kekacauan-kekacauan dalam negeri, penurunan ekspor dan lain sebagainya. Biasanya peringanan beban utang ini diperpanjang untuk periode 12 sampai 18 bulan dengan syarat negara debitur harus menterapkin program stabilisasi yang disetujui oleh dana moneter internasional IMF (International Monetary Fund). Pembayaran kembali utang yang ditentukan kembali periodenya biasanya antara 7 sampai 10 tahun termasuk periode tenggang (grace periode) 3 sampai 4 tahun. peringanan beban utang bagi utang yang berbunga rendah dan jangka pengembalian yang lama telah diberikan kepada India, Indonesia (1971), Ghana (1974) dan Pakistan (1974 dan 1978). Tahun 1998 terjadi krisis moneter di Indonesia karena banyak utang yang sudah jatuh tempo ntuk dibayar. Pemecahan masalah dengan mengikuti saran IMF untik penjadwalan kembali pembayaran utang dan liberalisasi ekonomii. Subsidi dikurangi diikuti penjualan BUMN. 12 2.7 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia 2.7.1 Perkembangan Utang Negara Indonesia Sampai dengan tahun 2010 jumlah seluruh utang negara atau utang pemerintah mencapai US$ 185,3 miliar atau dengan kurs Rp9.000 per US dollar sama dengan Rp1.667,70 triliun. Dengan. jumlah penduduk Indonesia 237,556 juta jiwa pada tahun 2010, maka setiap penduduk Indonesia memikul utang negara sebesar Rp7 Juta. (Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi Oktober 2010). Jika dihitung sejak tahun 1970 dengan jumlah utang negara pada saat itu mencapai US$2,77 miliar, maka utang negara selama 40 tahun terakhir bertambah sebesar 6.589,53%. Utang negara tersebut terdiri atas utang luar negeri dan utang dalam negeri. Utang dalam negeri merupakan pinjaman negara dalam bentuk surat utang atau obligasi. Perkembangan utang negara terutama didorong oleh biaya bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan paket rekapitalisasi perbankan yang menelan biaya pokok Rp650 triliun yarg diaktualisasikan oleh negara dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN). Kemudian surat utang dijadikan sebagai instrumen untik mendanai APBN, sehingga sekarang ini sumber pembiayaan defisit APBN berasal dari utang luar negeri dan hasil penjualan survit utang negara. 2.7.2 Utang Luar Negeri Negara Anggota ASEAN Tabel 9.2. menunjukkan besarnya utang luar negeri di negara-negara Asean pada tahun 1970 dan 1979. Di antara negara-negara Asean Indonesia merupakan negara yang mempunyai utang terbesar baik pada tahun 1970 maupun tahun 1979 masin - masing sebesar US$2.443 juta dan US$13.326 juta sedangkan negara yang mempunyai utang luar negeri terkecil adalah Singapore masing13 masing sebesar US$152 juta pada tahun 1970 dan US$1.323, juta pada tahun 1979. Tetapi apabila besarnya utang itu dinyatakan dalam persentase dari besarnya produk nasional bruto (GNP), Indonesia tetap menduduki tempit pertama yaitu 27,1% pada tahun 1970 dan kemudian meningk menjadi 28,3% pada tahun 1979. Sedangkan tempat terakhir diduduki oleh Thailand yaitu 4,5% pada tahun 1970 dan 9,9% pada tahun 1979. Singapore menduduki tempat kedua dari bawah masing-masing setinggi 7,9% pacla tahun 1970 dan 14,8% parla tahun 1979. Dari angka-angka di masing-masing negara anggota ASEAN tersebut tampak bahwa secara absolut jumlah utang luar negeri di masing-masing negara itu meningkat secara tajam antara 1970 dan 1979 yaitu antara 445% sampai 770%. Demikian pula dalam arti persentase terhadap GNP. masing-masing negara mengalami kenaikan dalam utang luar negeri mereka antara 1970 dan 1979. Selama 9 tahun itu untuk Indonesia persentase tersebut naik dengan 1,2%, Malaysia naik dengan 5,4%, Philipina naik dengan 8,1%, Singapore naik dengan 6,9% dan Thailand naik dengan 5%. Untuk mengetahui beban utang luar negeri pada saat itu pembayaran cicilan dan bunga utang (debt service) dibandingkan dengan besarnya pendapatan nasional (GNP) dan hasil penerimaan ekspor barang dan jasa, sehingga tampak bahwa pada tahun 1979 Indonesia memikul beban yang terberat, kemudian diikuti oleh Philipina. Besarnya proporsi debit service terhadap GNP untuk Indonesia pada tahun 1979 adalah 4,5%, dan untuk Philipina 2,7%; sedangkan bila dihiturg dari hasil ekspor, untuk Indonesia 13,4% dan untuk Philipina 12,6%. Keadaan pada tahun 1979 itu berubah bila dibanding dengan keadaan pada tahun 1970, di mana pada tahun 1970 proporsi debt service terhadap GNP hanya 0,9% untuk Indonesia, 1,4% untuk Philipina. Sedangkan bila dilihat proporsinya terhadap hasil ekspor, maka untuk Indonesia pada tahun 1970 hanya setinggi (,9% dan untuk Philipina justru lebih tinggi yaitu 7,5%. Jadi, kesimpulannya mengenai posisi utang luar negeri di negara-negara ASEAN, Indonesia merupakan negara peminjam terbesar dan harus pula me nikul beban cicilan dan bunga utang yang terbesar pula. Sebaliknya Singapore merupakan negara yang utang luar negerinya paling kecil dan harus memikul cicilan dan buriga utang yang terkecil pula. 2.8 Pembayaran Utang Luar Negeri Dalam Hubungannya Dengan APBN Pembayaran cicilan utang beserta bunga atas utang luar negeri merupakan beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang semakin memberatkan pada tahuntahun fiskal mendatang, karena semakin besarnya jumlah utang luar negeri setiap tahunnya dan makin berakumulasi. Hingga sekarang belum ada kemungkinan menghentikan utang luar negeri guna mempertahankan momentum (daya gerak) pembangunan. Bahkan bantuan luar negeri masih berperan dominan dalam beberapa hal 14 dan sepanjang tahun Neraca Pembayaran Indonesia masih tetap defisit bila tanpa adanya bantuan luar negeri. Pada awal Pelita I, neraca Pembayaran Indonesia mengalami defisit Rp99 juta dolar A5, kendati pada saat itu utang luar negeri telah diperoleh sebesar 31 juta dolar AS. Pada awal tahun Pelita II, neraca pembayaran juga mengalami defisit senilai 302 juta dolar AS, di balik utang luar negeri 660 juta dolar AS. Pembayaran utang luar negeri paling banyak terjadi pada tahun 2009, di mana negara harus menyiapkan pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo tahun 2009 senilai US$ 6,514 miliar, meningkat hampir 3 kali lipat dibanding pembayaran tahun 2008 sebesar US$ 2,894. Sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya pembayaran utang luar negeri tersebut diperkirakan terus berkurang sebagai berikut: Tahun 2010 sebesar US$ 5,215 miliar, tahun 2011 sebesar US$ 4,614 miliar, tahun 2012 sebesar US$ 4,516 miliar, tahun 2013 sebescr US$ 4,562 miliar, dan tahun 2014 sebesar US$ 4,371 miliar. Diperkirakan pula bahwa pembayaran pelunasan utang luar negeri Indonesia akan berakhir pada tahun 2040 (Saschya Chan, 2009). Indonesia hingga saat ini mempunyai utang luar negeri sebesar Rp1.600 triliun, melampaui RAPBN 2009 sebesar Rp1.100 triliun. Utang luar negeri yang sangat besar itu menjadi beban berat dalam APBN. RAPBN 2009 misalnya sebesar Rp1.100 triliun, hanya Rp950 triliun dana sendiri yang bersumber dari pajak maupun penghasilan negara lainnya, sehingga Indonesia masih mengalami kekurangan dana sekitar Rp150 triliun. "Untuk menutupi kekurangan dana APBN harus dicarikan dana pinjaman baru dari luar negeri atau lembaga keuangan internasional,". Ia menambahkan, kondisi yang demikian semakin memberatkan utang negara, padahal keinginan atau sasaran dalam penyusunan APBN harus surplus. Sementara itu, negara masih bersikeras mencari utang luar negeri baru yang digunakan sebagai pinjaman siaga atau standby loan untuk menjaga kondisi fiskal. Perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), standby loan untuk tahun anggaran 2009 mi ncapai lima miliar dolar AS. Menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, Bank Dunia berkomitmen memberikan standby loan dua miliar dolar AS. Sisa tiga miliar dollar AS akan dicari dari sumber lain. Peraturan Pemerintah No. 2/2008, merupakan bagian dari mata rantai utang luar negeri Indonesia yang tidak berkesudahan. Peraturan Pemerintah No, 2/2008 ini lahir karena desakan pihak World Bank (VIB) dan koleganya, Asian Development Bank (ADB) serta Japan Bank for International Cooperation (JBIC) serta perusahaan transnasional. Untuk menutupi defisit APBN 2008 dan 2009, negara berpikir instant dengan membuka skema utang luar negeri yang baru sebesar Rp23,8 triliun. World Bank menerima proposal utang dengan jumlah tersebut dengan syarat: o Negara Indonesia harus meliberalisasi sektor moneter dengan tidak melakukan depresiasi terhadap nilai tukar dollar. 15 o Negara Indonesia diharuskan meliberalisasi pula sektor fiskal, di antaranya berupa perubahan dan koreksi atas sejumlah besara tarif, beamasuk, serta pajak atas barang dan jasa Karena itu, dibuatlah produk kebijakan setingkat Peraturan Ne gara (PP) untuk mengakomodir perubahan pada nilai tanif, bea dan jasa. Konsekuensi dari PP ini ialah seka untuk pinjam pakai kawasa hutan sekitar Rp1,2 juta hingga Rp3 juta per hektar. Pemerintal mengizinkan sebagian kawasan hutan lindung dioperasikan untuk ke giatan pertambangan terbuka bagi 13 perusahaan yang terlanjur ditandatangani kontraknya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan semangat UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. PP No. 2/2008 bertentangan dengan semangat nasional masyarakat Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan iklim sebagai akibat deforestrasi hutan. Karena itu tentu PP ini akan berimplikasi pad konversi hutan untuk pembalakan, perkebunan, pertambangan dan usah ekonomi lainnya. PP No.2/2008 be tentangan dengan semangat perbaikan lingkungan hidup Indonesia. Di mana sekitar 70% ekosistem di Indonesia bertumpu pada hutan tropis yang sudah rusak, PP No. 2/2008 tidak pro pada penanggulanan Kemiskinan nasional, karena 60%. lebih, masyarakat Indonesia masih bergantung kepada keberadaa hutan di sekitar mereka, di antaranya untuk basis produksi hasil hutan non-kayu, dan sumber penyedia jasa ar bagi kebutuhan irigasi perto nian di wilayah hilir, maupun kebutuhan pasokan air bagi masyarake pesisir. Jika hutan rusak maka jumlah orang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia akan bertambah terus. 16 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Utang Negara terdiri dari beberapa macam, yaitu: Utang dengan jaminan dan tanpa jaminan, Utang sukarela dan utang paksa, utang dalam negeri dan utang luar negeri, suku bunga dan utang. Pada dasarnya asal atau sumber utang negara dapat dikelompokkan menjadi empat sumber yaitu para individu dalam masyarakat, dari sektor perusahaan, dari bank umum dan dari bank sentral. Mengenai beban dari utang negara ini dapat dihubungkan terhadap utang-utang dari dalam negeri dan utang-utang dari luar negeri (internal debt dan external debt). Ketika suatu negara memerlukan kapital dari luar negeri dan kemudian dapat memperolehnya melalui utang-utang luar negeri, maka masalahnya tidaklah berhenti sampai disini, tetapi harus dipikirkan lebih lanjut bagaimana mengelola utang yang telah diterima itu Utang luar negeri biasanya timbul karena suatu negara mengalami kekurangan dana berhubung terbatasnya sumber-sumber dana di dalam negeri. Bagi negara-negara sedang berkembang yang ingin mempercepat laju pertumbuhan ekonominya dan kemudian dapat menyamai taraf hidup di negara-negara maju, investasi dalam jumlah yang besar perlu dijalankan, sehingga hasilnya tidak akan hanya diserap oleh pertambahan penduduk. Beberapa Tindakan telah diambil untuk meringankan beban utang ini diantaranya melalui konsorsium bantuan. Biasanya peringanan beban utang ini diperpanjang untuk periode 12 sampai 18 bulan dengan syarat negara debitur harus menerapkan program stabilisasi yang disetujui oleh dana moneter internasional IMF. Sampai dengan tahun 2010 jumlah seluruh utang negara atau utang pemerintah mencapai US$ 185,3 miliar atau dengan kurs Rp9.000 per US dollar sama dengan Rp1.667,70 triliun. Pembayaran cicilan utang beserta bunga atas utang luar negeri merupakan beban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang semakin memberatkan pada tahun-tahun fiskal mendatang, karena semakin besarnya jumlah utang luar negeri setiap tahunnya dan makin berakumulasi. 3.2 Saran Pemerintah sebaiknya lebih berfokus pada kemandirian ekonomi dengan mengurangi penambahan utang baru. Pengelolaan utang luar negeri (foreign debt) dilaksanakan lebih transparan dan diawasi dalam penggunaan dan pengelolaan utang sehingga akan lebih efektif dan efisien dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. 17 DAFTAR PUSTAKA Atmaja, A. (2000). Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Perkembangan dan Dampaknya . Journal Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Jakarta , 50-62. Radhi, F. (2009). Beban Utang Luar Negeri Dalam Perekonomian Indonesia . Economic Review, Mubyarto Institut, Jojyakarta , 32-35. Siregar, M. (1991 ). Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan Indonesia . LPFE-UL Jakarta , 21-34. Suparmoko, M. (2011). Utang atau Pinjaman Negara . In M. Suparmoko, Keuangan Negara (pp. 251-278). Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta . 18