BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesultanan Mataram adalah kesultanan yang didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1582. Dalam perkembangannya, kesultanan ini kemudian runtuh lewat perjanjian Giyanti pada tahun 1755
Suratmin dkk . Sejarah Perlawanan terhadap imperialism adan kolonilaisme di daerah istimewa Yogyakarta. Th 1990 hlm.87. Isi perjanjian Giyanti adalah Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Pangeran Aria Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III.
Pada saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono III penerus kekuasaan saat itu masih berumur 14 tahun sehingga sesuai dengan keinginan Raffles maka Paku Alam I duduk menempati posisi yang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono III. Sifat Paku Alam yang kooperatif kepada Inggris dan Belanda, sedangakan ada golongan warga Ngayogyakarta hadiningrat tidak menyukai orang Eropa. Yang paling terlihat di golongan ini adalah Pangeran Dipanegara.
Pangeran Dipanegara yang memiliki nama asli pangeran Antawirya itu adalah putra Sultan yang paling tua akan tetapi dari Selir sehingga tidak dapat hak untuk menjadi sultan. Pangeran Dipangera tidak menerima karena tidak memiliki kuasa apapun dalam pemerintahan. Terlebih lagi ketika Sultan IV naik tahta, sultan tunduk pada penguasa eropa.Karena Sultan Sepuh (Hamengkubowono II) dulu juga tidak suka kepada bangsa Eropa,maka golongan Dipanegara ini disebut juga Golongan kasepuhan
L. Van Rijkevorsel . Babad tanah Jawi. Th 1925 hlm.73
Sultan Hamengku Buwono IV naik tahta tidak lama,hanya dua tahun kemudian dia meninggal. Saat itu ahli warisnya masih berusia dua tahun. Para petinggi keraton meminta pemerintah tinggi di Batavia supaya Pangreh Praja jangan diberikan Paku Alam I. Permintaan itu dituruti oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia, masalah Pangreh Praja dan Pepatih dalem diangkat Rijksbestuurder dan segala tindakanya diawasi oleh Residen.
Sedangkan saat Prabu Timur naik tahta pada saat usianya baru berumur 3 tahun sehingga dibentuk dewan perwalian yang terdiri dari Kanjeng Ratu Ageng, Kanjeng Ratu Kencana, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara yang notabene adalah bagian dari dewan perwalian sering tidak diajak berdiskusi dalam rapat dewan perwalian. Terlebih lagi sikap pepatih dalem yang sangat tunduk kepada belanda membuat Pangeran Dipanegara semakin tidak nyaman berada di keraton.
Selain itu peraturan Belanda yang menyewa tanah yang ada di Ngayogyakarta saat itu memang tidak baik. Pada tahun 1774 kekuasaan ada 677.000 cacah dan opada tahun 1820 hanya disisakan 52.300 cacah
L. Van Rijkevorsel . Babad tanah Jawi. Th 1925 hlm.73. Sejak tanah kesultanan di tahun 1812 setelah wilayah kedu terpisah dari kekuasaan Ngayogyakarta.
Peraturan ini ditentang oleh golongan Kasepuhan yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara,karena tidak tahan dengan perlakuan para pemegang kekuasaan maka Pangeran Dipanegara meninggalkan Keraton dan berpindah ke desa Tegalrejo.
Bagaimana Proses perlawanan Pangeran Dipanegara bersama golongan kasepuhan menghadapi kekuatan Belanda ,Kraton Ngayogyakarta dan Mangkunegran? Akan dibahas dalam makalah ini
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana jalannya pertempuran antara Pangeran Dipanegara dengan Belanda?
Bagaimana akhir perlawanan Pangeran Dipanegara?
Apa akibat dari perang Dipanegara terhadap kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat?
1.3 Ruang Lingkup
Makalah ini membahas tentang Perang Jawa beserta keadaan di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan wilayah wilayah lain di Kedu,Bagelen dan Klaten,
Ruang lingkup spasial makalah ini adalah wilayah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa kepimpinan Sultan Hamengku Buwono V yang meliputi Yogyakarta, Kedu dan Bagelen.
Ruang lingkup temporal makalah ini adalah selama berlangsungnya Perang Jawa. yaitu pada kurun waktu 1825 hingga 1830
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui tentang perjuangan Pangeran Dipanegara dan golongan Kasepuhan dalam melawan Belanda beserta dinamika yang ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Juga adalah untuk menambah pengetahuan kami atas sejarah.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka. Saya mengumpulkan sumber di perpustakaan pusat Universitas Indonesia dan menggunakan buku buku koleksi pribadi yang berkaitan dengan tema makalah ini.
Setelah menemukan sumber saya mengolah sumber tersebut dengan cara memverifikasi sumber sumber yang telah ditemukan. Dari sember tersebut saya menyusun makalah ini sesuai tema yang saya angkat.
1.6 Tinjauan Pustaka
L Van Rijckevorsel dan R.D.S Hadiwidjana . Babad tanah djawi. 1925
Babad ini menceritakan tentang raja raja di jawa sejak zaman Tarumanegara hingga perang Dipanegara
Muhammad Yamin . Sejarah Peperangan Dipanegara. 1998.
Buku ini bercerita tentang sejarah perang Dipanegara yang terjadi sejak 1825 hingga 1830
Suratmin dkk. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. 1999.
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia IV .Jakarta. Buku ini berisi tantang sejarah di Indonesia pada masa kolonial
Buku Ini menjelaskan tentang sejarah perseteruan antara Tokoh tokoh di wilayah kesultanan Mataram dan Ngayogyakarta hadiningrat sejak 1628 ketika Sultan Agung menyerang Batavia hingga Pertempuran Kotabaru
BAB II
2.1 Keadaan Ngayogyakarta sebelum Perang Jawa
Kesultanan Ngayogyakarta dulunya adalah Kesultanan Mataram yang kemudian dibagi menjadi dua pada perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1822 dipimpin oleh Sultan Hamengku buwono V atau Sultan Menol. Karena usianya yang masih sangat muda maka dibentuk dewan perwalian yaitu Kanjeng Ratu Agung yang merupakan permaisuri dari Sultan Hamengku buwono III , Kanjeng Ratu Kencana yang merupakan Permaisuri Sultan Hamengku buwono IV , Pangeran Mangkubumi yang adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dan Pangeran Dipanegara.
Akan tetapi kemudian Pangeran Dipanegara mengundurkan diri karena sering tidak diajak bermusyawarah dan masalah internal dalam Kraton yang terlalu dipengaruhi oleh Belanda yang menurut pangeran Dipanegara sangat bertentangan dengan ajaran islam.
Karena Sultan yang masih muda maka urusan kerajaan banyak yang dilakukan oleh Patih Danurejo IV yang berhubungan dekat dengan Belanda. Adat istiadat ala barat telah masuk kedalam keraton . Para pembesar dan petinggi Belanda sering mengadakan pesta hingga tengah malam dan minum minuman keras yang menurut Pangeran Dipanegara bertentangan dengan Islam dan juga merupakan pemborosan.
2.2 Awal Perang Jawa
Residen Belanda di Yogyakarta waktu itu , A.H Smissaert bersama Patih Danurejo IV berencana membangun Jalan raya yang kebetulan melintasi tanah milik Pangeran Dipanegara di Tegalrejo. Kemudian Patih Danurejo dan anak buahnya memasang patok patok di tanah Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara kemudian tidak terima mengutus anak buahnya untuk mencopot patok patok yang dipasang oleh Danurejo. Kemudian setiap Patih Danurejo memancangkan patok patok itu maka setiap itu pulalah Pangeran Dipanegara mencabutnya. Inilah awal pertentangan antara Pangeran Dipanegara dengan Patih Danurejo IV dan Belanda.
Akhirnya terdengar kabar bahwa Belanda akan menyerang Tegalrejo dan menangkap Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara kemudian mengadakan rapat dengan para keluarga dan pengikutnya seperti Kyai Maja dan Sentot Ali Basha untuk mengambil tindakan tindakan yang perlu diambil jika Belanda benar benar menyerang Tegalrejo.
Kemudian Sultan Hamengku buwono V mengutus Pangeran Mangkubumi untuk datang ke Tegalrejo dan menanyakan mengapa pangeran Dipanegara mengumpulkan rakyat di desanya. Pangeran Dipanegara kemudian menjawab bahwa mereka berkumpul untuk mengahadapi serangan Belanda. Kemudian dari kraton mengutus Patih Danurejo IV untuk mengundang Pangeran Dipanegara menghadap Sultan di kraton tapi Pangeran Dipanegara menolak. Datang lagi Pangeran Mangkubumi sebagai utusan dari residen Yogyakarta untuk mengundang Pangeran Dipanegara untuk datang ke Loji residen. Atas keinginan dari rakyat maka pangeran Dipanegara kembali menolak ajakan itu dan rakyat bersedia menanggung akibatnya. Pangeran Dipanegara bahkan berbalik mendukung Pangeran Dipanegara dan tidak bersedia kembali ke kraton maupun ke residen.
Pangeran Mangkubumi kemudian menyarakan agar wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Selarong daerah Bantul. Datanglah utusan dari residen untuk menjemput Pangeran Mangkubumi kembali ke kraton. Utusan itu juga membawa surat bagi pangeran Dipanegara yang isinya menanyakan kehendak pangeran Dipanegara mengumpulkan rakyat. Ketika Pangeran Mangkubumi sedang menulis surat balasan tiba tiba terdengar letusan senjata tentara Belanda yang menyerang Tegalrejo. Mulailah perlawanan Pangeran Dipanegara pada tanggal 20 Juli 1825.
Ketika dea Tegalrejo dibakar oleh tentara Belanda, Pangeran Dipanegara bersama pengikutnya menyingkir ke Bantul di daerah Kalisoka. Di desa Kalisoka Pangeran Dipanegara disambut oleh pasukan rakyat yang telah menunggu kedatangan Pangeran Dipanegara.
Anak anak, Wanita dan Orang tua tetap tinggal di Kalisoka dan Pangeran Mangkubumi ditunjuk sebagai pelindungnya. Pangeran Dipanegara bermarkas di Selarong. Di markas besar Selarong ini berkumpul para Pangeran dan Pangeran Dipanegara menyusun strategi di markas Selarong.
Di Selarong Pangeran Dipanegara mambagi tugas untuk melakukan perlawanan. Pangeran Dipanegara Anom ,putra pangeran Dipanegara, dan Tumenggung Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo ( Pangeran Bei ) memimpin pasukan di utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalrejo dengan cepat terdengar oleh Van der Capellen mengirim Jenderal De Kock untuk mengambil tindakan dan memulikan kemanan, Jenderal de Kock sampai di Semarang tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di Surakarta pada tanggal 30 Juli 1825 . Susuhan Pakubuwana VI menyatakan kesediaanya untuk membantu Jendral de Kock memadamkan perlawanan Pangeran Dipanegara.
2.3 Jalannya Perang Jawa
Untuk memadamkan perlawanan rakyat di Yogyakarta Belanda mengirim pasukan bantuan dari Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) bala bantuan yang dipimpin kapten Keemsius tadi disergap oleh pasukan Dipanegara dibawah pimpinan Musyosentika. Sebagian besar pasukan itu yang berjumlah 200 orang tewas,senjata senjata mereka dirampas beserta uang 50.000 gulden yang akan disampaikan kepada residen Yogyakarta. Barang rampasan ini kemudian dibawa ke Selarong kemenangan pertama ini terjadi pada akhir Juli 1825.
Bala bantuan dari timur terdiri dari legiun Mangkunegaran yang dipimpin Raden mas Suwongso, menantu Mangkunegoro disergap di desa Randugunting (Kalasan) . Hampir seluruh prajurit Mangkunegaran tewas. Pemimpinnya Raden Mas Suwongso tertawan dan dibawa ke Selarong,tetapi kemudian dibebaskan kembali oleh Pangeran Dipanegara.
Mendengar berita kemenangan pasukan Dipanegara di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat, rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan Dipanegara.
Pertempuran di daerah kedu berlangsung sengit. Pasukan Belanda dibantu Bupati Magelang Tumenggung Dnuningrat. Pasukan rakyat yang disebut “Bulkiya” menyerang pasukan Belanda dan Danuningrat. Pasukan Bulkiya yang terkenal sebagai pasukan berani mati ini dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji Abdulkabir. Bersama pasukan yang dipimpin Tumenggung Seconegara, pasukan Dipanegara dapat memukul mundur pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat.
Didaerah Menoreh Pasukan Dipanegara juga mendapat kemenangan. Pasukan Belanda mendapat pukulan hebat. Bupati Menoreh Ario Sumodilogo tewas dalam pertempuran melawan tentara Dipanegara.
Pertempuran terus berkobar dimana mana dan kemenangan demi kemenangan diadapat oleh Pasukan Dipanegara. Jenderal de Kock dan pihak kraton ingin berunding dengan Pangeran Dipanegara. Pada Tanggal 7 Agustus 1825 jenderal de Kock mengirim surat sampai dua kali dari Surakarta. De Kock juga berjanji akan memeberi jaminan mau mengadakan perundingan dengan pihak Belanda dan kraton.
Agar kedudukanya sejajar dengan pihak lawan dalam perundingan itu maka Pangeran Dipanegara mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Sultan Ngbdulhamid Amirul Mukminin Khalifatullah Jawa. Kenyataanya jenderal de Kock tidak datang ke Selarong.
Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk menghadapi Dipanegara. Jenderal Van Geen yang bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja. Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang. Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya bergabung dengan Pangeran Dipanegara di Yogyakarta.
Jenderal de Kock berusaha mengepung markas pangeran Dipanegara di Selarong akan tetapi untuk mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens. Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.
Pasukan Belanda mengadakan serangan besar besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun Selarong sudah kosong karena Pangeran Dipanegara memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran Dipanegara memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan berpengalaman.
Pada akhir tahun 1825 Pasukan Dipanegara berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari Belanda.
Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu mengepung Dekso,markas pangeran Dipanegara. Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan Dipanegara. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan Belanda dan Mangkunegaran.
Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran dipanegara telah berpindah ke desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap oleh Pasukan Dipanegara Van Geen kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.
Selama tahun 1826 Pangeran Dipanegara selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu pasukan Dipanegara berhasil memenangkan pertempuran sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Dipanegara.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel, yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Dipanegara yang selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock tidak perlu mencari Dipanegara. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran Dipanegara.
Strategi benteng stelsel ini tidak langsng behasil karena pasukan Dipanegara masih memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan Dipanegara.
Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang Karena dinilai leih strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan Dipanegara. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping persenjataan yang lengkap dan modern. Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi para pemimpin pasukan Dipanegara untuk menyerahkan diri denagn iming iming posisi di kraton.
Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda maupun dari pasukan pangeran Dipanegara. Kapten Van Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak Dipanegara komandan pasukan Mantirejon meninggal. Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran ini.
BAB III
3.1 Akhir perang Jawa
Pada awal tahun 1829 terjadi pergantian pimpinan dalam pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Komiaris Dus Bus akan diganti oleh Johannes van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Jenderal Marcus de Kock diganti oleh Mayor Jendral Benyamin Bisschof.
Mayor Bisshof tiba di Jakarta tanggal 13 Mei 1939. Jenderal ini kondisinya lemah dan ia meninggal di Cianjur Jawa barat pada 7 Juni 1939. Sehingga Jendeeral de Kock minta memimpin pasukan Belanda melawan Dipanegara.
Sementara terjadi pergantian kekuasaan di Belanda Pangeran Dipanegara terus melanjutkan perlawanan di Bagelen dan Banyumas. Yogyakarta selatan perlawanan rakyat dibawah Pangeran Bei mengadakan perlawanan terhadap pos pos pertahanan Belanda. Karena kewalahan Belanda mendatangakan bala bantuan dari Sulawesi, Maluku, Bali dan Eropa.
Perundingan perundingan gagal terwujud antara dua pihak. Ketika Belanda berusaha menangkap Mangkubumi yang menjaga wanita dan anak anak di Kulur,pasukajn belanda tiba tiba diserang oleh Sentot Prawiradirja. Markas pertahanan Pangeran Bei diserang oleh Belanda, Pangeran Bei terluka dalam penyerangan itu, R Joyonegara yang datang membantu tidak mampu menahan pasukan Belanda.
Pada 1829 diluar Yogyakarta banyak Tumenggung yang menyerah kepada Belanda. Istri pangeran Mangkubumi juga menyerah pada tahun yang sama. Kemudian karena usia yang tua Pangeran Mangkubumi kembali ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keadaan semakin memburuk bagi Pangeran Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke Belanda. Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan kembali ke kraton Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran Dipanegara tetap mengadakan perlawanan di daerah Kedu.
Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran Dipanegara untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Dipanegara tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Dipanegara kemudian mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830.
Sehari setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan dilaksanakan. Tuntutan pangeran Dipanegara agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam. Karena tuntutan Dipanegara dinilai berlebihan kemudian Pangeran Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado.
Dengan demikian berakhirlah Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan kraton dan Belanda.
2.3 Dampak Perang Jawa
Akibat dari perang Jawa adalah Belanda harus membayar biaya perang sebesar 20 Juta Gulden. Jumlah yang sangat banyak pada waktu itu. Sehingga untuk menutupi kerugian itu Den Bosch menciptakan Cuultur stelsel.
Sehingga bencana kelaparan melanda tanah jawa, di Demak 65% penduduknya meninggal karena kelaparan. Di Grobogan rakyatnya hanya tinggal 9000 orang saja karena penduduknya 90% menjadi korban.
Sultan Pakubuwana yang tadinya mendukung belanda kemudian berbalik menentang belanda dan kemudian memberontak,hal ini dikarenakan Belanda mencaplok wilayah milik kesultanan Surakarta. Sultan Pakubuwana yang melakukan perlawanan kemudian dibuang ke Ambon.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara dan golongan kasepuhan sebenarnya adalah perang antara Rakyat dan Punggawa Kraton Ngayogyakarta melawan Belanda dan Dalem Mangkunegaran.
Perang yang dimulai oleh pada 1825 ini melibatkan keluarga kesultanan yang loyal kepada Sultan Hamengku Buwana II atau Sultan Sepuh. Perang ini berkobar nyaris diseluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta hadiningrat dan juga sebagian Surakarta.
Pada dua tahun awal perang ini pasukan Dipanegara mendpatkan kemenangan nyaris diseluruh pertempuran. Akan tetapi strategi Benteng stelsel membuat pasukan Dipanegara kesulitan. Belanda yang mengiming imingi para pemimpin pasukan Dipanegara untuk kembali ke kraton membuat pasukan Dipanegara semakin lemah. Sehingga pada tahun 1830 pasukan Dipanegara melemah dan Pangeran Dipanegara menerima ajakan perundingan yang ditawarkan de Kock.Pada perundingan tersebut Pangeran Dipanegara ditangkap dan berakhirlah perlawanan Pangeran Dipanegara
Dampak yang ditimbulkan dari perang sendiri adalah kebijakan kebijakan pemerintah Belanda yang memeras rakyat untuk mengganti biaya perang Dipanegara yang sangat besar.
14