SEJARAH PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR
Muhammad Abdul Ghaniy Morie
Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta
Abstrak
Tulisan ini akan menguraikan tentang metodologi tafsir ditinjau dari definisi dan sejarah
perkembangannya serta ragam jenisnya yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Tulisan ini merupakan tulisan kepustakaan (library research) dengan penyajian
pembahasan menggunakan teknik analisis deskriptif. Temuan dari tulisan ini adalah
metodologi tafsir sangat dibutuhkan oleh para mufasir untuk memahami secara
mendalam terkait isi Al-Qur’an sesuai dengan kaidah penafsiran. Persoalan dari zaman ke
zaman menuntut para mufasir untuk mengembangkan metodologi penafsiran Al-Qur’an
untuk menjawabnya. Metodologi penafsiran yang akomodatif dewasa ini sangat
diperlukan untuk menjawab problematika manusia yang berkembang pesat dan
beranekaragam. Terdapat empat rumusan metode yang digunakan dalam penafsiran AlQur’an, yaitu ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i.
Kata Kunci: Metodologi, Tafsir, Ijmali, Tahlili, Muqarin, Maudhu’i
1
Pendahuluan
Khazanah tafsir dalam dunia Islam memiliki sejarah yang panjang seiring dengan
sejarah Al-Qur’an sendiri. Al-Qur‘an telah melahirkan banyak pemahaman yang
terbentuk dalam tafsir Al-Qur’an yang beragam. Sebagaimana diketahui bersama,
terdapat karya tafsir Al-Qur’an yang begitu banyak dan beragam. Karya-karya tafsir ini
memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, baik
sumber, metode maupun coraknya.
Untuk memahami Al-Qur’an membutuhkan sebuah perangkat dan langkahlangkah keilmuan yang mumpuni seperti pengetahuan ulumul Qur’an, nahwu, sharaf,
fiqh dan banyak lagi.1 Selain itu juga dibutuhkan suatu metode dalam menafsirkan AlQur’an agar dapat membantu pemahaman pembaca dan dapat menjawab tantangan
zaman. Tafsir sendiri sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan
kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi.
Quraish Shihab dalam buku Kaidah Tafsir menyajikan salah satu definisi Tafsir
yaitu penjelasan tentang maksud-maksud Allah dalam firman-Nya sesuai dengan
kemampuan manusia. Karena itu dapat dipahami bahwa dalam rangka menghidangkan
penjelasan terdapat cara bagaimana penjelasan itu dihidangkan. Itulah mengapa terdapat
keanekaragaman penjelasan dan caranya, juga mengandung isyarat tentang kedalaman
dan keluasan atau kedangkalan dan keterbatasannya.2
Harus dikaui bahwa metode-metode tafsir yang ada atau dikembangkan selama ini
memiliki kelemahan dan keistimewaannya. Masing-masing dapat digunakan sesuai
tujuan yang dicapai.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data yang bersumber
dari kitab, buku-buku, jurnah ilmiah serta literatur lainnya yang berkaitan dengan objek
penelitian, dalam hal ini mengenai sejarah perkembangan metodologi tafsir. Berdasarkan
sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik
analisis deskriptif, yaitu dengan memberikan gambaran sejelas mungkin objek penelitian
berkenaan dengan pembahasan.
Pembahasan
Umi Wailatul Firdausiyah, “Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer di Indonesia”, Islamika
Inside: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, Desember 2019, h. 265.
2
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015, h. 377.
1
2
Pengertian Metode Tafsir
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.
Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: “cara yang teratur dan sistematis untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.3
Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu
pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal,
atau pekerjaan fisik pun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode
merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan.
“Dalam kaitan ini, studi tafsir Al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Metode tafsir Al-Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang
harus perhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Maka, apabila seseorang
menafsirkan ayat Al-Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan
keliru dalam penafsirannya.
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir.
Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir”, yaitu cara-cara
yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan “metodologi tafsir” yaitu ilmu
tentang cara tersebut. Katakan saja, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode
muqarin (perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika
pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,
disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir
tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran. Maka metode tafsir merupakan kerangka
atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan seni atau teknik
ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode,
sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran
Al-Qur’an.4
Di dalam penafsiran Al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan
metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab dan allaun. Dalam kamus
Al-Munawwir, kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode,
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin)”, Jurnal Al-Mawarid, Edisi 18 Tahun 2008, h. 266.
4
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 2.
3
3
sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi, kemudian kata mazhab
bermakna aliran1, sedangkan kata laun bermakna corak atau warna dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir.
Perkembangan Metode Tafsir
Secara garis besar penafsiran Al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau
metode, yaitu: metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode muqarin
(perbandingan) dan metode maudhu’i (tematik).5
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang
memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail,
karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir
Al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Al-Qur’an.6 Metode ini,
kemudian diterapkan oleh Al-Suyuthi di dalam kitabnya Al-Jalalain, dan oleh AlMirghami di dalam kitabnya Taj Al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan
mengambil bentuk al-ma’tsur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk
al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga
mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa
dan sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang
mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i, atau disebut juga dengan metode tematik. Lahir
pula metode muqarin (metode perbandingan), hal ini ditandai dengan ditulisnya kitabkitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrah al-Tanzil wa
Ghurrah al-Ta’wil oleh Al-Khathib Al-Iskafi dan Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah AlQur’an oleh Taj Al-Qurra’ Al-Karmani, dan terakhir lahirlah metode tematik (maudhu’i).
Meskipun pola penafsiran tematik telah lama dikenal dalam sejarah tafsir Al-Qur’an,
namun menurut Quraish Shihab, istilah metode maudhu’i yang dikenal sekarang ini,
pertama kali dicetuskan oleh Ahmad Al-Kuumy.7
Lahirnya metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan perkembangan
masyarakat yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada
umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang
turunnya ayat (asbab al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi
ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat5
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015, h. 378.
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin”, Jurnal Al-Mawarid, Edisi 18 Tahun 2008, h. 268.
7
M. Quraish Shihab. “Tafsir Al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i” dalam Bustami A. Gani, Beberapa
Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an, 1994, h. 34.
6
4
ayat Al-Qur’an secara benar, tepat dan akurat. Maka pada kenyataannya umat pada saat
itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan
secara global (ijmal). Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika
mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam Al-Qur’an seperti lafal
( )ظلمdalam ayat 82 surah Al-An’am:
َ ْ ُ َ ْ ُّ ْ ُ َ ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َ ٰۤ ُ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ ََّ
َ ٨٢ََࣖن
َ نَوه َمَمهتدو
َ كَله َمَالام
َ نَامنواَول َمَيل ِبسوْٓاَ ِايمانه َمَ ِبظلمََاول ِٕى
َ ال ِذي
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan
mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am/6: 82).
Ayat ini cukup mengganggu pikiran umat pada saat itu, karena mengandung
makna bahwa mereka yang mencampuradukkan iman dengan aniaya tidak akan
memperoleh keamanan dan petunjuk. Ini berarti, seakan-akan percuma mereka beriman
karena tak akan bebas dari azab, sebab mereka percaya bahwa tak ada di antara mereka
yang tidak pernah melakukan aniaya. Tetapi, mereka merasa tenang dan puas setelah
Nabi saw menafsirkan ( )ظلمdi dalam ayat itu dengan ( )شركdengan mengutip ayat 13 surah
Luqman, sebagai berikut:
َّ
َ ْ َُ َ ْ
َ ِ َن
َ ِا
َ ١٣ََكَلظلمََع ِظ ْيم
َ الشر
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.”
(QS. Luqman/31: 13).
Berdasarkan kenyataan historis di atas, dapat dikatakan bahwa kebutuhan umat
Islam saat itu terpenuhi olah penaafsiran yang singkat , karena mereka tidak memerlukan
penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa memang pada
abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an,
bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global (ijmali) terasa
lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan. Tetapi pada
periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar
Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis
terhadap perkembangan pemikiran Islam. Maka, konsekuensi dari perkembangan ini
membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin kompleks dan
beragam.
5
Kondisi sebagaimana tersebut di atas menjadi pendorong lahirnya tafsir dengan
metode analitis (tahlili), sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti
tafsir Al-Thabari dan lain-lain. Metode penafsiran yang demikian itu terasa lebih cocok
di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap
pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Umat merasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan
berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Maka pada
perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama
tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk
penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti
fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.8
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak
tersebut, umat Islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan
kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu, umat juga ingin
mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa
pengertiannya berbeda. Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk
melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah diberikan oleh
mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian lahirlah
tafsir dengan metode perbandingan (muqarin).
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi
permasalahan yang dihadapi umat pada abad modern yang jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir Al-Qur’an yang
disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, ulama tafsir pada abad
modern menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode
tematik (maudhu’i).
Ragam Metode Tafsir
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam perkembangan ilmu
tafsir secara umum terdapat empat macam metode tafsir yang digunakan, yaitu metode
ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.
Metode Ijmali
Ijmali berarti global. Tafsir ijmali berarti tafsir yang menjelaskan maknamakna
ayat secara global atau secara garis besar saja. Sistematika penyusunannya mengikuti
surat yang ada dalam Al-Qur’an. Ungkapan-ungkapan untuk menjelaskan ayat-ayat AlQur‘an juga diambil dari ungkapan-ungkapan Al-Qur‘an sendiri dengan menambahkan
8
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 6.
6
kata-kata penghubung. Dengan demikian, pembaca memiliki kemudahan dalam
memahaminya.
Dalam menafsirkan dengan metode ijmali, mufassir juga meneliti, mengkaji dan
menyajikan keterangan sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) dengan penelusuran
terhadap hadis-hadis. Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah Tafsir
Jalalain karya Al-Suyuthi dan Al-Mahalli, Shafwah Al-Bayan li Ma’ani Al-Qur’an Karya
Muhammad Makhmut, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Farid Wajdi.9
Metode ijmali memiliki kelebihan dan kelemehan, di antara kelebihannya adalah
praktis dan mudah dipahami juga kerena menggunakan bahasa Al-Qur’an untuk
menjelaskan ayat sehingga membuat pembaca akrab dengan Al-Qur’an. Sedangkan
kelemahannya adalah tidak ada ruang untuk menemukan penjelasan yang memadai dan
lebih rinci karena relatif singkat dan padat.
Metode Tahlili
Secara etimologis, lafadz tahlili berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang
berarti mengurai atau menganalisis. Secara terminologisnya, tafsir metode tahlili dapat
diartikan sebagai tafsir ayat-ayat Al-Qur‘an dengan membahas segala aspek yang
terkandung di dalamnnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam Al-Qur‘an Mushaf
Ustmani.10 Bentuk awal tafsir ini adalah penafsiran terhadap beberapa ayat saja, seiring
perjalanan waktu dirasakan perlu untuk menafsirkan ayat secara keseluruhan sehingga
para ulama pun melakukan tafsir tahlili ini yaitu sekitar akhir abad ke-3 atau awal ke-4
Hijiriyah seperti yang dilakukan oleh Ibnu Majjah dan Al-Thabari.
Di antara karakteristik metode tahlili adalah pembahasannya tentang semua aspek
yang terkandung dalam ayat. Langkah-langkah yang dilakukan mufassir dalam metode
ini adalah:
1. Menerangkan munasabah atau hubungan, baik antara satu ayat dengan ayat lain
atau suatu ayat dengan surat lain.
2. Menjelaskan asbab al-nuzul.
3. Membahas mufradat dan lafadz-lafaz dari perspektif bahasa Arab. Tidak jarang
pula mufassir mengutip syair Arab, baik yang ada pada masa mufassir maupun
masa sebelumnya.
4. Menjelaskan kandungan ayat dan maksudnya secara umum.
Niila Khoiru Amaliya, “Arah Metodologi Tafsir Kontemporer”, Jurnal Qalamuna, Vol. 10, No. 1,
Januari-Juni 2018, h. 84.
10
M. Quraish Shihab, dkk., Al-Qur’an dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h. 172.
9
7
5. Menjelaskan unsur-unsur fashohah, bayan serta i’jaz-nya. Terutama jika ayat yang
ditafsirkan mengandung keindahan balaghah.
6. Menjelaskan hukum yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut, teruama jika yang
dibahas merupakan ayat hukum.
7. Menjelaskan makna dan maksud syara‘ yang terkandung dalam ayat.
Contoh-contoh tafsir yang meggunanakan metode ini dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu yang ditulis secara panjang, sedang dan ditulis secara ringkas. Yang ditulis
secara panjang lebar, seperti tafsir:
1. Ruh Al Ma’ani karya Al-Alusi.
2. Mafatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Razi
3. Tafsir Jami Al-Bayan karya Ibn Jarir Al-Thabari.
Metode tahlili ini walau banyak dari para mufassir yang menggunakannya, tetap
saja memiliki sisi kelemahan dan tentu saja kelebihan. Di antara kelemahannya adalah
kurangnya rambu-rambu metodologis yang mesti diindahkan oleh mufasir sehingga
mengakibatkan kejenuhan pembaca, serta penyajiannya terlampau meluas yang
membuat pembahasan terkadang keluar dari fokus.11 Tetapi kelebihannya adalah karena
cakupannya luas, mampu menghadirkan banyak ide dari mufasir yang kemudian
dituangkan dalam penafsirannya.
Metode Muqarin
Muqarin secara bahasa dari kata qarana yang berarti perbandingan atau
komparatif. Secara istilah, tafsir muqarin adalah tafsir yang menggunakan metode
komparatif atau perbandingan.12
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang
membahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau
antar ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat
para ulama tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari objek yang
dibandingkan.
Tafsir yang menggunakan metode ini di anataranya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah
Al-Ta’wil oleh Al-Khathib Al-Iskafi dan Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an oleh
Taj Al-Qurra’ Al-Karmani.
11
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015, h. 379.
Niila Khoiru Amaliya, “Arah Metodologi Tafsir Kontemporer”, Jurnal Qalamuna, Vol. 10, No. 1,
Januari-Juni 2018, h. 84.
12
8
Dari metode muqarin ini dapat membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi
terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan
tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada
suatu mazhab atau aliran tertentu. Walau demikian, metode ini ada sisi kekurangannya
yaitu di antaranya metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran
yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran
baru.
Metode Maudhu’i
Maudhu’i secara bahasa berarti tema. Secara istilah tafsir maudhu’i berarti tafsir
tematis, atau tafsir yang disusun berdasarkan tema tertentu. Metode tematik atau
maudhu’i ini memiliki dua bentuk:
1. Berdasarkan Surat
Tafsir tematik surat adalah penafsiran yang membahas satu surat secara
menyeluruh, menjelaskan maksud -maksud secara umum. Hal ini dilakukan dengan
menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat tersebut atau
antara satu masalah dengan masalah lain dalam satu surat. Tafsir tematis surat ini
sudah dirintis oleh Fakhruddin al-Razi, kemudian semakin disempurnakan oleh
ulama-ulama kemudian. Sebagai contoh tafsir metode tematis surat adalah Tafsir AlWadhih, karya Muhammad Mahmud AlHijazi, serta Nahw Tafsir Maudhu’i li Suwar AlQur’an Al-Karim karya Muhammad Al-Ghazali.13
2. Berdasarkan Tema yang sama
Tafsir ini adalah tafsir yang membahas ayat-ayat yang memiliki tema dan arah
yang sama. Tafsir dengan metode ini ialah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang
suatu tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang
membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara
komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi
asbab al-nuzul-nya, munasabah-nya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir
tentangr makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek lainnya yang
dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral
membicarakan suatu tema (maudhu’i) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan
data, dikaji secara ilmiah dan rasioanal.
13
M. Quraish Shihab, dkk., Al-Qur’an dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h. 192.
9
Di antara karya-karya yang menggunakan metode ini adalah, Kitab min Huda AlQur’an karya Mahmudd Syaltut, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an karya Muhammad Al-‘Aqqad,
Al-Riba fi Al-Qur’an karya Abu Al-A’la Al-Maududi.
Metode maudhu’i merupakan metode yang cukup menjawab dinamika zaman yang
mengharuskan Al-Qur’an senantiasa shalih li kulli zaman wa makan, selain
penjelasannya yang sistematis, metode ini juga dapat memberikan pemahaman yang
komprehensif kepada pembaca tafsir mengenai suatu tema tertentu dalam Al-Qur’an.
Namun tak ada gading yang tak retak, begitu pun dengan metode tafsir ini. Salah satu
kelemahannya membatasi pemahaman ayat. Dengan diterapkannya judul penafsiran,
maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas
tersebut, padahal bisa saja satu ayat dapat ditinjau dari berbagai aspek.14
Kebutuhan Metodologi Tafsir Masa Kini
Kehidupan manusia akan selalu berjalan dan berkembang. Upaya-upaya pencarian
terhadap metode tafsir menjadi suatu yang niscaya karena perkembangan problematika
kehidupan manusia yang membutuhkan jawaban dari Al-Qur’an semakin beraneka. Oleh
karena itu meniscayakan pencarian terhadap metode tafsir yang baru. Hal ini seperti yang
terlihat dalam sejarah yang telah melahirkan beberapa metode tafsir, baik ijmali, tahlili,
muqarin maupun maudhu’i karena kebutuhan zaman. Kemunculan metode-metode tafsir
ini sebagai upaya manusia untuk mencari petunjuk dari Al-Qur‘an untuk menghadapi
persoalan- persoalan kehidupan. Perkembangan persoalan dalam kehidupan manusia
memerlukan pemecahan dari Al-Qur’an. Apabila dilihat secara kronologis, kemunculan
tafsir bi al-ma’tsur disempurnakan dengan bi al-ra’y kemudian muncul tafsir dengan
metode ijmali, tahili, muqarin serta kemudian maudhu’i.
Beberapa faktor yang mnyebabkan dibutuhkannya pembaruan metode dalam
tafsir adalah : Pertama, berkaitan dengan faktor internal Al-Qu’an yang diyakini selalu
berdialog dengan setiap generasi, situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha
untuk memahami Al-Qur’an yang yang sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas suatu
masyarakat dalam setiap zamannya. Kedua, faktor eksternal terkai tusaha penafsiran AlQur’an yang sampai saat ini on being proses, dan dianggap belum mampu merealisasikan
fungsi Al-Qur’an secara ideal, sebagai petunjuk dan sumber pengetahuan bagi manusia.15
Berkaca dari kebutuhan kekinian, umat Islam nampaknya lebih membutuhkan
hal-hal yang bersifat aplikatif sesuai dengan tantangan modernitas. Umat Islam
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin)”, Jurnal Al-Mawarid, Edisi 18 Tahun 2008, h. 281.
15
Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyaarta: Teras, 2005, h. 49.
14
10
menginginkan lahirnya teori-teori ilmu sosial dan politik dari Al–Qur’an. Dasar-dasar
sosiologi, politik dan budaya sebenarnya telah ada dalam Al-Qur’an namun aspek-aspek
tersebut kurang mendapat perhatian dari para mufassir.16
Al-Qur‘an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk. Agar fungsi
tersebut teraplikasikan maka Al-Qur’an perlu dipelajari dan diupayakan penafsirannya.
Untuk kebutuhan penafsiran diperlukan adanya kerangka dasar yang relevan. Kerangka
dasar tersebut menjadi metodologi. Jadi keberadaan sebuah metodologi dalam penafsiran
Al-Qur’an mutlak diperlukan. Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta
tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks maka perkembangan metodologi
tafsir merupakan suatu keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan usang
oleh pemakainya sehingga ia akan berusaha mendapatkannya yang lebih baru. Proses
pencarian ini akan bermuara pada perumusan metodologi baru dan akhirnya pembaruan
pun tidak mungkin dihindari. Karena begitulah dinamikanya, apabila terdapat suatu
pemikiran tertentu maka akan muncul pemikiran lain bersifat menyanggah atau
menyempurnakan.
Melalui tulisan ini dapat dikatakan, metode yang cenderung digunakan dewasa ini
adalah metode maudhu’i. Metode maudhu’i lebih banyak dicenderungi karena dianggap
lebih praktis dan lebih mudah bagi umat untuk menjawab tantangan problem manusia
karena langsung membahas pada tema yang terkait.
Penutup
Kesimpulan
Persoalan dari zaman ke zaman menuntut para mufasir untuk mengembangkan
metodologi penafsiran Al-Qur’an untuk menjawabnya. Metodologi penafsiran yang
akomodatif dewasa ini sangat diperlukan untuk menjawab problematika manusia yang
berkembang pesat dan beranekaragam. Sehingga fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk bisa
semakin banyak dieksplorasi supaya manusia bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai
referensi dalam hidup. Secara umum ada empat jenis metode yaitu: metode ijmali,
metode tahlili, metode muqarin dan metode maudhu’i. Dalam menafsirkan ayat-ayat AlQur’an sesuai dengan karakteristik masing-masing metode tersebut dan latar belakang
mufassir itu sendiri, masing-masing metode tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan,
sehingga menurut beberapa pendapat tidak ada metode yang terbaik dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi untuk saat ini metode maudhu’i lebih relevan untuk
menjawab persoalan-persoalan yang berkembangan dewasa ini secara cepat dan tuntas.
Niila Khoiru Amaliya, “Arah Metodologi Tafsir Kontemporer”, Jurnal Qalamuna, Vol. 10, No. 1,
Januari-Juni 2018, h. 84.
16
11
Daftar Pustaka
Amaliya, Niila Khoiru. “Arah Metodologi Tafsir Kontemporer”. Jurnal Qalamuna, Vol. 10,
No. 1, Januari-Juni 2018.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1998.
Firdausiyah, Umi Wailatul. “Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer di Indonesia”.
Islamika Inside: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, Desember 2019.
Sanaky, Hujair A. H. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin)”. Jurnal Al-Mawarid, Edisi 18 Tahun 2008.
Shihab, M. Quraish dkk. Al-Qur’an dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al-Qur’an dengan Metode Maudhu’i” dalam Bustami A. Gani.
Beberapa Aspek Ilmiah tentang Al-Qur’an. Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu AlQur’an. 1994.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2015.
Suryadilaga, Alfatih dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyaarta: Teras. 2005.
12