Academia.eduAcademia.edu

ETS HUKUM INTERNASIONAL KELOMPOK 5

2022, Anisah

Disusun Oleh: 1. Anisah Azzah Zhafirah Rukhus (1312100178) 2. Prilly Rambu Puteri Nenabu (1312100171) 3. Zidny Alfian Barik (1312100214) 4. Umbu nengi (1312100162) 5. Romy Rizqulah Ramadhani ( 1312100139 )

PENGURAIAN PASAL PASAL KRUSIAL DALAM UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Dosen Pengampu: Dr. Tomy Michael, S.H., M.H. Disusun Oleh: 1. Anisah Azzah Zhafirah Rukhus (1312100178) 2. Prilly Rambu Puteri Nenabu (1312100171) 3. Zidny Alfian Barik (1312100214) 4. Umbu nengi (1312100162) 5. Romy Rizqulah Ramadhani ( 1312100139 ) PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA SURABAYA 2022 Pasal 2 Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembautan dan pengesahan perjanjianinternasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyakut kepentingan publik. Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah Republik Indonesia melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional dengan Negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subjek hukum internasional lain. Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional. Menteri tersebut memberikan pertimbangan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dimana harus berkonsultasi dengan DPR (Dewan perwakilan rakyat) dalam hal yang menyangkut kepentingan publik, Undang-Undang perjanjian internasional ini merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 dimana yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang secara sangat tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga tersebut Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional ini harus melibatkan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah berikut dengan perangkatnya. Agar mencapai hasil yang sangat maksimal, serta diperlukan adanya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bersangkutan. Maka dari itu dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional harus berkonsultasi dengan DPR (dewan perwakilan rakyat) karena menyangkut kepentingan publik. Pasal 9 (1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan tersebut dibutuhkan jika indonesia turut serta merativikasi perjanjian internasional tersebut. Maksud dari merativikasi tersebut adalah indonesia ikut bergabung dalam perjanjian internasional itu. Akibatnya indonesia terkena dampaknya yaitu aturan yang terdapat dalam perjanjian tersebut akan berlaku di indonesia. Jadi aturan tersebut harus di sahkan lewat undang-undang. Akan tetapi pengesahan perjanjian internasional yang di sah kan lewat UU tersebut hanya berkaitan dengan ketentuan yang terdapat di pasal 10, seperti masalah politik serta kedaulatan yang perlu diundangkan. Mengapa hal tersebut krusial? Karena hal-hal tersebut masuk ke dalam hal hal penting yang akan mempengaruhi berbagai sektor. Jadi setiap keputusan harus disesuaikan dengan perjanjian internasional yang telah diundangkan atau yang sudah dibentuk oleh undang undang, atau telah di sah kan menjadi UU. Pasal 11 (1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. Keputusan pemerintah itu harus berdasarkan kepentingan publik/rakyat karena untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki legitimasi atau akar sosial yang kuat guna meminimalisir adanya penolakan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan maka dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan serta memberikan akses kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas tersebut. Hak masyarakat ini telah diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Karna rakyat adalah penyusun undang-undang dan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya Pasal 10 Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Seharusnya pengesahan perjanjian internasional tidak hanya terbatas dengan hal hal yang disebutkan diatas saja. Menurut saya asas kebebasan berkontrak yang ada dalam hokum perdata juga perlu diterapkan dalam perjanjian internasional maksudnya. Sudah seharusnya setiap negara bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat perjanjian macam apapun, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beritikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Negara harusnya berhak untuk memilih dan membuat kontrak, kebebasan untuk membuat dan tidak membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk menentukan isi dan janji mereka, dan kebebasan untuk memilih subjek perjanjian. Jika kita melihat ajaran laissez fairenya Adam Smith yang menekankan prinsip non intervensi oleh negara terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Smith menginginkan suatu political economy, agar perundangundangan tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak, karena kebebasan ini sangat penting bagi kelanjutan perdagangan dan industri. Ajaran para filosof ekonom pada abad XIX seperti dinyatakan oleh Adam Smith dan Jeremy Bentham tersebut, berpandangan bahwa tujuan utama legislasi dan pemikiran sosial harus mampu menciptakan the greatest happiness for the greatest number. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa sumber dari pembuatan perjanjian internasional ini adalah kebebasan negara yang titik tolaknya adalah kepentingan Negara lainnya juga, dengan demikian Negara yang mempunyai kepentingan dengan Negara yang lain diluar hal hal yang telah disebutkan oleh Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut, contohnya seperti pada saat musim corona seluruh Negara diwajibkan memakai masker meskipun hal seperti ini idak pernah ada diperaturan hokum internasional sebelumnya, tetapi seluruh Negara menyepakati aturan ini karena bersifat positif. Oleh karena itu ditakutkan ada hal hal yang tidak bias kita prediksi asal mulanya seperti itu mestinya undang undang memberikan kebebasan membuat perjanjian dengan Negara lain selama Negara yang terikat dalam perjanjian tersebut merasakan win to win (tidak ada yang dirugikan). Tetapi tidak serta merta perjanjian internasional ini dibuat sebebas bebasnya, memang perlu pembatasan karena ditakutkan terjadi kedudukan para negara dalam suatu perjanjian internasional tidak seimbang, sehingga dimungkinkan sekali negara yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar yang lemah dalam suatu perjanjian akan banyak dirugikan. Lebihlebih jika negara yang mempunyai kedudukan atau posisi yang kuat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah untuk keuntungan bagi pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi kuat tersebut. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan peraturan internasional yang seharusnya adil. Pasal 15 (1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut. Negara penandatangan Perjanjian Internasional atau yang menerima dan menikmati hak dan memikul kewajiban yang bersumber dari perjanjian internasional itu. Karena itu, sudah sewajarnya rakyat tahu substansi pengaturan perjanjian internasional dan bagaimana pemerintah memberlakukan ke dalam dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional (Indonesia). Setelah menjadi bagian dari hukum nasional, rakyat dapat mencari dan menemukannya, misalnya, di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) sebagai tempat pengundangannya. Dengan demikian, rakyat dapat mencari tahu dan mendapatkan informasi tentang substansi perjanjian internasional tertentu yang sudah diratifikasi atau dengan cara lain disetujui pemerintah untuk menjadi bagian dari kewajiban negara ditataran internasional. Ini sesuai dengan adagium, bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum.