View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
brought to you by
CORE
provided by Portal Jurnal Online Institut Agama Islam Ma'arif Nahdlatul Ulama (IAIMNU)
E-ISSN: 2548-7892 & P-ISSN: 2527-4449
Volume 4, Issue 1, June 2019
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
Aslan1, Suhari2
1,2, Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas, Indonesia
Corresponding Author: Aslan, E-mail:
[email protected]
ARTICLE INFO
Article history:
Received
8 April 2019
Revised
25 May 2019
Accepted
1 June 2019
ABSTRACT
This artilce aimed to analyze of hisotorical Islamic education
curriculum in Brunei. This method used field of study or literature.
The result showed that Firstly, after Islam came to Brunei, the
education system was more in the direction of printing scholars.
Secondly, after the arrival of invaders in Brunei, Islamic religious
education has experienced dualism, but the curriculum from the
Britain has not received a warm welcome. Thirdly, Brunei's
independence was inseparable from the role of Britain, so education in
Brunei was inseparable from the influence of the educational
curriculum of the British nation.
Keywords: Islaimic Education Curriculum, Historical Education of Brunnei
Darussalam
DOI
: https://doi.org/10.25217/ji.v4i1.448
Journal Homepage
: http://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/ji/
This is an open access article under the CC BY SA license
: https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/
PENDAHULUAN
Kurikulum pendidikan dalam sebuah negara dianggap penting, karena
kurikulum merupakan salah satu visi dan misi negara untuk memajukan
negaranya, karena tanpa kurikulum maka negara seperti halnya tidak memiliki
kompas sebagai penunjuk arah tujuan yang diinginkan. Namun, dalam
kenyataannya bahwa setiap kurikulum yang dijadikan acuan dalam sebuah
pendidikan tidak terlepas dari sejarah yang menaunginya di setiap negara,
seperti halnya dengan negara Brunei Darussalam.
Brunei berasal dari bahasa sansekerta “Varunai”, diambil dari kata
“Varunadvipa” yang artinya Pulau Kalimantan, sekaligus daerah Brunei berada
dikawasan Pulau Kalimantan. Brunei terletak di Barat Daya Pulau Borneo atau
Sabah. Pada awalnya Brunei adalah wilayah yang amat besar, tetapi sejak
adanya kedatangan penjajah sehingga Brunei menjadi negara yang begitu kecil.
Brunei berhadapan dengan Laut Cina Selatan yang berada di Serawak,
Malaysia distrik yaitu “Tutung, Belait, Temburong, dan distrik Brunei atau
Muara”. Jumlah jiwa yang ada di Brunei sekitar 66.000 jiwa dan 59% adalah
Jurnal Iqra’ : Kajian Ilmu Pendidikan 4 (1): 113 - 127
Copyright © 2019 Jurnal Iqra’ : Kajian Ilmu Pendidikan
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
penduduk campuran. Suku yang paling terbesar di Brunei adalah Melayu
muslim sejumlah 90%, 1/5 etnis Cina dan sisanya adalah etnis India. Bahasa
yang utama digunakan di Brunei adalah bahasa Melayu, sementara bahasa
lainnya seperti Inggris, Cina Iban yang secara keseluruhan Brunei mempunyai
17 bahasa. Brunei juga dikenal sebagai negara yang kaya raya di salah satu
negara Asia Tenggara, yang kekayaan yang paling terbesar adalah minyak
bumi (Ghofur, 2015 ; Cahyani, 2015). Dilihat dari jumlah etnis yang ada di
Brunei terdapat etnis yang paling terbesar adalah Suku Melayu yang mayoritas
beragama Islam. Oleh karena itu, agama Islam yang dimiliki oleh negara Brunei
tidak terlepas sejarah agama Islam yang masuk di negara Brunei tersebut.
Berdasarkan “catatan Fa-Hsien tahun 413-144 M”, Brunei dikenal dengan
sebutan Ye-po-ti, yang mana sebutan itu tidak secara langsung disebutkan
kepada negara Brunei tetapi lebih ditujukan kepada negara Borneo. Brunei
pada waktu itu dijadikan sebagai tempat persinggahan pelayaran dari berbagai
macam agama, seperti India ke Cina ataupun sebaliknya, sehingga membawa
pengaruh bagi agama Islam di Brunei (Utomo, 2011 ; Putra & Pasa, 2016). Hal
yang begitu jelas, masuknya agama Islam di Brunei terdapat adanya Batu nisan
yang bertuliskan arab, dengan tulisan “batu nisan al-Mukhdarah” pada tahun
440 H/1028 M (Musa, 2005). Adanya batu nisan yang bertulisan arab tersebut,
memberikan gambaran yang begitu jelas terhadap masuknya agama Islam di
Brunei, karena mana mungkin agama yang lain bisa menulis arab. Apalagi,
bahasa pada waktu itu tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas di seluruh
dunia, seperti halnya pada zaman sekarang.
Kemudian, masuknya agama Islam di Brunei, terdapat adanya catatan
sejarah Cina pada tahun 1370 M, yang rajanya bernama Ma-ha-mo-sya atau
dikenal sebagai Sultan Mohammad Syah. Ia telah membawa sepucuk surat
yang menggunakan tulisan khat yang persis dari tulisan agama Islam dari
keturunan Turki di daerah Uigur, sehingga dapat juga dipastikan bahwa agama
Islam telah masuk ke Brunei sebelum tahun 1368 M. Selanjutnya, berdasarkan
riwayat Cina lainnya, bahwa utusan Cina yang diketuai oleh seorang Islam
yang bernama Cheng Ho, pernah datang ke Brunei pada tahun 1405. Pada saat
Cheng Ho datang ke Brunei, maka Brunei terlebih dahulu telah ada kerajaan
Islam dan keluarga raja dengan gelar Pangeran (Putra Daulay & Pasa, 2016).
Agama Islam yang berperan penting sejak masuknya agama Islam di negara
Brunei, maka memberikan sejarah yang penting juga bagi lembaga pendidikan
Islam di Brunei pada waktu itu, tetapi pendidikan Islam tersebut tidaklah lama
bertahan, karena Brunei juga telah kedatangan kaum penjajah seperti halnya
dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, sehingga tidak dipungkiri juga
114
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
tentang corak yang beragam dari sejarah perjalanan pendidikan agama Islam di
Brunei.
Kajian mengenai kurikulum pendidikan ditinjau dari history sudah
banyak di kaji oleh para penelitian terdahulu. Seperti yang telah dilakukan oleh
Aslan (2019) yang memaparkan bahwa sejak kaum penjajah datang ke
Malaysia, maka Malaysia menganut sistem kerajaan, sehingga sistem
pendidikannya pun sesuai keinginan raja. Raja Malaysia yang menganut agama
Islam, maka orientasi pendidikannya tidak terlepas ke Islam. Setelah penjajah
datang ke Malaysia, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang maka sistem
pendidikan sudah mengalami dualisme antara keinginan raja Malaysia dan
kaum penjajah. Kedatangan penjajah yang paling semena-mena di Malaysia
adalah Jepang, sehingga untuk mengusir Jepang maka meminta bantuan
kepada Inggris. Dari bantuan kemerdekaan Inggris tersebut maka sistem
pendidikan di Malaysia lebih orientasinya ke Inggris, yakni harus bisa
berbahasa Inggris, walaupun bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di Malaysia.
Yang kedua Fitrianah (2018) yang telah melakukan penelitian di Asia Tenggara
di Malaysia, Filipina, Singapura dan Brunei Darussalam. Dari penelitian yang
telah dilakukan tentang Negara Brunei hanya sepintas tanpa memberikan
sejarah awal negara Brunei terbentuk. Hal ini memberikan gambaran bahwa
sejak Brunei dijajah dan kemerdekaannya diberikan oleh Inggris pada tahun 1
Januari 1984, maka sistem pendidikan yang digunakan terdiri dari dwi bahasa,
yakni bahasa Melayu dan Inggris yang wajib untuk dikuasi oleh orang Brunei.
Selanjutnya Najtama (2018) yang telah melakukan penelitian tentang
perkembangan Islam di Brunei. Hasil penelitian yang dilakukan tentang Brunei
lebih menitik beratkan kepada sejarah Brunei tetapi dari segi pendidikan hanya
dibahas secara singkat, yang hanya tergambar ketika Inggris datang tanpa
diberi gambaran sama sekali ketika Islam masuk di Brunei.
Perbedaan peneliti yang telah dilakukan dengan penelitian terdahulu
adalah bahwa penelitian ini menceritakan tentang sejarah kerajaan Brunei, baik
ketika Islam belum datang maupun sesudahnya. Perkembangan Islam semakin
meluas ketika Brunei dipimpin oleh seorang raja sekaligus raja pertama Brunei
adalah Islam. Ketika Islam masuk, maka sistem pendidikan lebih berkibatkan
kepada raja yang berorientasi pendidikan agama Islam. Ketika penjajah datang
maka sistem pendidikan Brunei mengalami dualisme perubahan antara Inggris
dan Brunei, tetapi eksistensi keislaman di Brunei sama sekali tidak hilang,
sehingga walaupun penjajah datang ke Brunei tidak merubah sama sekali
keyakinan agama dan sistem pendidikan agama Islamnya.
115
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
Kajian tentang kurikulum pendidikan islam di Brunei Darussalam
sangat penting untuk dihadirkan sebagai upaya lebih lanjut tentang kurikulum
pendidikan Islam di Brunei Darussalam yang mencakup beberapa
pembahasan, yakni sejarah kerajaan Brunei Darussalam dan sejarah pendidikan
Islam di Brunei Darussalam. Tujuan dari penelitian ini, penulis tidak
menceritakan lebih luas tentang kurikulum, karena secara garis besar
pengertian kurikulum sama halnya dengan penelitian-penelitian lainnya, tetapi
lebih memfokuskan pada histroy kurikulum pendidikan islam di Brunei
Darussalam yang membahas perjalanan sejarah pendidikan di Brunei
Darussalam.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan kajian dokumen. Dalam istilah Creswell (1994) penelitian ini disebut
sebagai penelitian study literature, dengan cara menelaah jurnal, buku, laporan
penelitan, majalah dan literatur lainnya yang sesuai dengan pembahasan yang
dikaji dalam penelitian ini. Dalam pengumpulan data kajian study literature,
penulis melakukan; Pertama, melalui kajian kepustakaan yang sesuai dengan
bahan yang diteliti. Kedua, setelah data diperoleh, maka penulis menganalisis
data-data tersebut sesuai dengan pemahaman penulis dalam melakukan kajian
ini.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Beberapa kajian penelitian yang dilakukan oleh Aslan (2018) yang lebih
banyak bercerita tentang sejarah perjalanan kurikulum di Malaysia, kemudian
Rossi Delta Fitrianah (2018), yang hanya secara singkat membahas pendidikan
Islam di Negara Brunei Darussalam yang lebih membicarakan tetang
pendidikan pendidikan ketika Brunei Darussalam dijajah oleh Inggris dan
Fikria Natjama (2018) hanya menceritakan sejarah Brunei tanpa membahas
sedikitpun tentang pendidikannya. Oleh karena itu, hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode kualitatif dengan kajian
dokumen, dengan mencakup dua pembahasan, yakni; Pertama, Sejarah
Kerajaan Brunei Darussalam. Kedua, sejarah pendidikan Islam di Brunei
Darussalam.
116
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
Sejarah Kerajaan Brunei Darussalam
Kerajaan Brunei dilihat dari sejarahnya tidak terdapat bukti yang begitu
otentik tentang kehadirannya, tetapi jika ditelusuri lebih jauh dari kajian-kajian
sejarah, maka adanya kehadiran negara Brunei terlihat dengan jelas dari sistem
pemerintahannya dari dahulu dan berimbas di masa sekarang, yang berawal
dari; Pertama, pada masa era Pra-Kesultanan dari negara Brunei yang terlihat
dari kerajaan Vijayapura dan kerajaan Po-ni. Hadirnya kerajaan Vijayapura
berdasarkan dari sumber kerajaan Cina dan Nusantara yang mengelola negara
Brunei. Namun, kerajaan ini tidak bertahan begitu lama, karena telah
ditaklukkan oleh Sriwijaya, sementara kerajaan Po-ni menguasai Brunei pada
abad ke-10. Kedua, era kesultanan. Menjelang kehancuran Dinasti Yuan, Cina
mengalami kekacauan yang begitu parah sehingga mengakibatkan Cina lari
dari Brunei. Mereka melarikan diri ke arah Timur Kalimantan dan masuk ke
daerah sungai, tetapi sungai tersebut membawa mala petaka dari salah satu
Suku Cina, yakni kehilangan anggota lengannya, sehingga sungai tersebut
diberi nama dengan “Kinabatangan” yang artinya hilangnya lengan tangan
seseorang. Namun, inisiatif meninggalkan daerah Brunei, ternyata membawa
dampak positif bagi Cina, karena tempat yang dijadikan pelarian tersebut
dapat memakmurkan bagi Suku Cina yang melakukan pelarian sehingga
inisiatif dari salah satu Suku Cina tersebut dijadikan sebagai pemimpin atau
dalam istilah sosial disebut sebagai agent of change. Pemimpin tersebut bernama
Ong Sum Ping. Bagi orang Melayu Ong Sum Ping dikenal dengan Chung Ping
yang artinya Jenderal. Ketiga, era penjajahan Inggris. Brunei mengalami
kekalahan terhadap Spanyol sehingga membawa petaka bagi negaranya. Atas
kejadian ini, wilayah yang begitu besar di Brunei sehingga rakyat yang tinggal
diberbagai daerah masing-masing menuntut kemerdekaannya tetapi masih bisa
diredam, tetapi hanya beberapa abad saja. Kemudian tiga abad kemudian,
Brunei mengalami perpecahan dan pemberontakan di Sarawak pada masa
Sultan Omar Ali Saifuddin II pada tahun 1839, tetapi kesultanan Brunei
mendapatkan bantuan dari James Brooke, sehingga konflik tersebut bisa
dipadamkan. Atas bantuan Brooke bagi negara Brunei sehingga ia diangkat
menjadi gubernur Sarawak dan diberi gelar sebagai Raja Putih. Akan tetapi,
bantuan tersebut, Brooke mempunyai niat yang lain, yang mana Brooke ingin
menguasai negara Brunei seluruhnya tetapi tujuan tersebut terlebih dahulu
diketahui oleh Kesultanan Brunei pada tahun 1843, sehingga keinginan tersebut
tidak berhasil sebagaimana yang direncanakan sebelumnya. Akhirnya, niat
yang tidak baik tersebut menyebabkan kesultanan Brunei dan Brooke konflik
secara terbuka tetapi konflik tersebut dimenangkan Brooke dan akhirnya
Sarawak berdiri sendiri. Namun, disisi lain, membuat Inggris lebih mudah
117
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
untuk menguasai Sarawak, yang mana Inggris melakukan serangan kepada
Brunei dan akhirnya dimenangkan oleh Inggris dan akhirnya Brunei dikuasai
oleh Inggris. Sultan Saifuddin II dipaksa oleh Inggris untuk menandatangani
perjanjian Labuan yang isinya “perdagangan dan persahabatan dengan
Inggris” dan pada tahun 1850 melakukan perjanjian kepada Amerika Serikat
sehingga mengakibatkan wilayah Brunei semakin mengecil (Chomsky, 2014)
Kekalahan demi kekalahan dalam konflik tersebut, yang pada awalnya Brunei
adalah sebuah negara yang begitu besar, tetapi karena adanya niat politik yang
negatif, mengakibatkan wilayah Brunei yang begitu besar menjadi semakin
mengecil. Brooke yang pada awalnya dianggap sebagai pahlawan tanpa jasa
untuk membantu di wilayah sebagian Brunei yakni Sarawak menjadi pahlawan
yang berambisi besar untuk menguasai Brunei seluruhnya. Namun, niat
tersebut tidak tercapai sebagaimana apa yang diinginkan, tetapi setidaknya
kekuasaan Brooke di Sarawak pada waktu itu bisa mengalahkan kesultanan
Brunei. Hal yang begitu menarik dari Brooke adalah tujuan untuk membantu
Brunei maka terlebih dahulu disiapkan segala-galanya dari segi politik
sehingga bisa mengalahkan kesultanan Brunei yang mempunyai kekuasaan
yang begitu besar di Brunei, tetapi tidak mempunyai kesiapan dari segi politik
sehingga untuk mengambil alih negara Sarawak tidak bisa dimenangkan.
Kekuasaan Kesultanan Brunei tahun demi tahun bukan saja mengalami
kemundurun tetapi ikut juga mengalami kekuasaan lainnya sejak kedatangan
kaum penjajah Inggris untuk menguasai Brunei.
Pada tahun 1856, Kesultanan Brunei telah memberikan kuasa penuh
kepada Inggris untuk mengendalikan kasus yang timbul dari pertikaian antara
rakyat Inggris dengan rakyat asing di negara Kesultanan Brunei. Kemudian
pada tahun 1888, Kesultanan Brunei memberikan kuasa yang semakin penuh
terhadap kuasa hukum Inggris (Cahyani, 2015). Brunei yang tidak mampu
untuk mengendalikan kasus yang ada di Negaranya sehingga memberikan
kekuasaan penuh terhadap Inggris karena Inggris dianggap mampu untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi dan meredam konflik tersebut.
Pada tahun 1888 juga, bukan hanya negara Brunei yang dikuasai oleh
Inggris, tetapi negara Malaysia ikut juga dikuasai. Oleh karena itu, untuk
mengusir bangsa penjajah dari Inggris ini, maka kedua negara ini bersatu
untuk merebut kembali negaranya dari bangsa penjajah. Namun, kemerdekaan
memang bisa direbut tetapi tidak terlepas juga dari bangsa Inggris yang
memberikan kemerdekaan tersebut. Pertikaian demi pertikaian terus berlanjut
yang bukan hanya dengan bangsa Inggris tetapi terjadi juga dengan bangsa
Cina dan Melayu dari masyarakat pribumi Brunei pada tahun 1960. Masing-
118
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
masing kedua negara mengamankan negaranya, kemudian setelah aman baru
Brunei memisahkan diri dari negara Malaysia (Bani, 2008).
Dari beberapa pengertian tentang terbentuknya sejarah kerajaan negara
Brunei sejak kedatangan agama Islam dan bangsa penjajah tetapi disisi yang
begitu menarik kerajaan Brunei ini adalah tidak terlepas dari peran Kesultanan
sehingga sampai saat ini Brunei dianggap sebagai negara yang memiliki corak
pemerintahan monarki absolut berdasarkan hukum Islam yang mana Sultan
menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, sekaligus
merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dan juga dibantu
oleh Dewan Penasehat Kesultanan dan beberapa Menteri. Kesultanan Brunei
telah berdiri sejak abad ke 15 M (Ghofur, 2015). Hukum-hukum Islam masih
tetap berjalan sebagaimana mestinya, walaupun adanya kehadiran Suku yang
lain di Brunei, tetapi hukum Islam menjadi hukum yang nomor satu di Brunei.
Sejarah Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
Sebuah negara dilihat dari sisi sejarahnya, maka tidak terlepas dari
kedatangan agama di negara tersebut, seperti halnya dengan negara Brunei
Darussalam. Sebelum kedatangan agama Islam, dalam sejarahnya manusia
dalam beragama tidak terlepas dari agama animisme dan dinamisme, tetapi
sejak adanya kedatangan agama Islam, maka agama tersebut mengalami
perpaduan antara Islam dan agama lama atau disebut agama sinkretik. Disatu
sisi masyarakat sudah beralih kepada ajaran agama Islam tetapi disisi lain,
masih tetap menjalankan agama ajaran nenek moyang tersebut. Diantara
perpaduan ajaran agama ini memberikan warna bagi pendidikan di setiap
negara termasuk negara Brunei Darussalam.
Sejak agama Islam datang ke Brunei, apalagi peran dari Kesultanan raja
Brunei yang beragama Islam sehingga pendidikan agama Islam sangat
menonjol dari negara ini. Pendidikan agama Islam pertama kali dilakukan
seperti di rumah, masjid, surau, istana kerajaan dan tempat-tempat lainnya
yang masih dianggap tradisional. Tenaga pengajarnya terdiri dari mubaligh,
pedagang Islam, Imam, pembesar-pembesar negara dan orang alim di daerah
yang bersangkutan. Sekitar abad ke 17-20 M, ulama Brunei dikenal dengan
Catip atau khatib yang pengajiannya dilakukan di balai. Tujuan dari Balai ini
adalah untuk menggantikan ulama-ulama nantinya sehingga sistem
pengajiannya mempunyai dua kategori; Pertama, pengajian umum yang tidak
mementingkan masalah menulis dan membaca jawi tetapi pengajiannya hanya
berbentuk dzikir Brunei, Ratib Saman, mengaji al-Qur’an dan hadrah sekaligus
belajar mengena ibadah sembahyang dan perkara lainnya. Kedua, pengajian
yang menerapkan kepandaian dalam membaca dan menulis huruf jawi yang
119
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
terdiri dari ilmu Fiqh, Faraidh, Babun Nikah, Nahu dan Qawaid, Tasawuf dan
Akhlak. Sistem kurikulum pendidikan Islam tidak tidak bertahan dengan lama
ketika Inggris datang ke Brunei. Pendidikan ala barat dari kedatangan Inggris
di Brunei tersebut sudah mulai dilaksanakan pada tahun 1911. Pada awalnya,
tulisan yang diperkenalkan oleh tokoh pendidik Islam di Brunei adalah huruf
jawi, tetapi kedatangan Inggris tulisan tersebut digantikan dengan huruf rumi,
sehingga kehadiran tulisan ini dari pendidikan yang diberikan oleh Inggris
membuat bangsa Brunei tidak bisa menulis dan membaca dari huruf rumi ini
(Nurudin, 2012).
Sejak kehadiran bangsa Inggris di Brunei yang bukan hanya mengambil
kekayaan di Brunei tetapi membawa pengaruh bagi pendidikan agama Islam di
Brunei. Pepaduan antara pola pendidikan Inggris dengan Brunei membawa
dualisme pendidikan, yang mana pendidikan antara Brunei dengan Inggris,
masih tetap saja berjalan. Akan tetapi, agama Islam yang menjadi agama bagi
mayoritas terbesar Suku Melayu sehingga peran agama Islam tidak dengan
mudah terpengaruh dari bangsa Inggris sejak kedatangan Inggris maupun
setelah Brunei mendapatkan kemerdekaannya.
Apalagi, Inggris memberikan kekuasaan yang penuh dalam hal
pendidikan yang terlihat dari kepedulian Inggris untuk meningkatkan
pendidikannya yang nantinya akan dibiayai oleh Inggris jika pendidikan
tersebut berhasil, karena pada sebelumnya dari tahun 1906-1924 dibawah
kerajaan Sultan Muhammad Jamalul Alam tidak dapat meningkatkan
pendidikan secara besar-besaran di Brunei. Bahkan pada saat pemerintahan
Sultan Ahmad Tajuddin (1924-1950) kurang juga berhasil dalam hal
pendidikan, karena sikap kehati-hatian pihak British terhadap kemauan
kerajaan Brunei. British lebih memperhatikan kekayaan alam minyak bumi di
Brunei dibandingkan pendidikannya (Suryani, 2014).
Negara Brunei Darussalam yang telah memperoleh kemerdekaan dari
Inggris, maka pendidikan masih mengalami dualisme tetapi hukum Islam
masih tetap saja berjalan sebagaimana mestinya. Dalam hal agama Islam,
Brunei mengamalkan falsafah Melayu Islam Beraja (MIB) dengan menekankan
pendidikan ajaran-ajaran Islam yang tujuan dari pendidikan tersebut adalah
untuk melahirkan anak didik yang seimbang dari intelektual, rohani, emosi dan
jasmani.(Lubis & Aspar, 2005, hlm. 142) Filsafah ini secara resmi telah
diberlakukan sejak pada tanggal 27 Rabiulawal 1404 Hijriah yang bertepatan
dengan tanggal 1 Januari 1984 M. Isi dari kandungan falsafah Melayu Islam
Beraja adalah “... Negara Brunei Darussalam adalah dan dengan izin serta
limpah kurnia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan untuk selama-lamanya kekal
menjadi sebuah Negara Melayu Islam Beraja yang merdeka, berdaulat dan
120
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
demokratik, bersendikan kepada ajaran-ajaran agama Islam menurut Ahli
Sunnah wal Jama’ah....”.(Klasik, t.t., hlm. 1) Ketetapan ini telah diberlakukan
sejak raja ke 24, Sultan Abdul Momin (1852-1885). Apalagi, kekuasaan yang
penuh dimiliki oleh raja, sehingga masyarkakat Brunei sangat hati-hati
terhadap pengaruh dari luar. Bahkan, pada tahun 1991 disaat perayaan Isra’
Mi’raj, Sultan telah mengeluarkan dekrit yang isinya melarang pergerakan AlArqam yang larangan itu sangat dihormati oleh masyarakat Brunei (Bani, 2008).
Selain itu juga, raja Brunei melarang menjual minuman keras, berkhalwat
(hubungan intim yang tidak sampai melakukan perbuatan zina), melakukan
razia makanan yang tidak halal disetiap restoran dan juga memberikan batasan
terhadap agama lain, seperti kristen, Budha, Hindu untuk menyebarkan
agamanya secara bebas (Natalia, 2015). Ajaran agama Islam di Brunei semakin
menyebar di berbagai daerah wilayah Brunei, tetapi ajaran agama selain Islam
tidak diberikan pergerakan yang seluas-luasnya atas perintah kesultanan
Brunei. Masyarakat Brunei juga taat terhadap ajaran agama Islam yang terlihat
dari ketaatannya terhadap pemimpinnya.
Falsafah dari Melayu Islam Beraja (MIB) di Brunei lebih cenderung
menganut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Ahl Sunnah wal Jamaah, walaupun raja
Brunei membebaskan rakyatnya untuk menganut mazhab lain selain syafi’i.
Mazhab ini dilatarbelakangi sekitar abad ke 17 sampai 20 M, dengan standar
kurikulum sistem kesultanan menggunakan kajian kitab Sabilah Muhtadin
(karya Daud Fatani), al-Mukhtasar dan Siratal Mustaqim karya ar-Raniry,
Ghayatut Taqrib fil Irthi wat-Tas’shib dan lain-lain. Selain itu juga, kepedulian
raja Brunei terhadap rakyatnya terhadap agama Islam, terlihat dari keinginan
raja agar semua rakyatnya bisa membaca al-Qur’an. Atas kebijakan ini sehingga
raja Brunei menghabiskan uang yang begitu banyak untuk menerbitkan alQur’an dengan tulisan tangan yang ditulis oleh orang-orang khusus yang lebih
memahami al-Qur’an. Bahkan, perusahaan yang besar di Mesir telah
menerbitkan 150.000 exslamper ke sekolah-sekolah yang ada di Brunei. Raja
Brunei juga menekankan pengajaran bahasa Melayu dengan huruf Jawi dan
aksara rumi, sebagai tujuan untuk semakin memperkuat hubungan antara
negara Melayu dengan warisan budaya Islam (Bani, 2008). Dilihat dari sistem
pengajaran negara Brunei dari segi bahasa, maka Brunei juga sudah
menggunakan sistem pendidikan ala barat yang berarti Brunei disatu sisi
mengajarkan pendidikan Islam, tetapi disisi lain mengajarkan sistem
pendidikan ala barat dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Inggris masih
tetap saja berjalan walaupun Brunei telah memperoleh kemerdekaan.
Pada tahun 1913-1941, sekolah yang ada di Brunei berjumlah 32 buah
sekolah, yang terdiri dari 24 sekolah Melayu, 3 sekolah swasta Inggris dan 5
121
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
sekolah Cina. Sistem pendidikan khusus untuk siswa laki-laki juga didirikan
pada tahun 1918, dengan usia 7-14. Kehadiran sekolah ala barat di Brunei
kurang mendapat sambutan hangat dari rakyat Brunei. Oleh karena itu, agar
rakyat Brunei merasa perlu untuk menyekolahkan anaknya sehingga raja
Brunei mengadakan sosialisasi dan mengadakan sistem pembelajaran di mesjid
dengan tujuan memberikan pehamaman kepada masyarakat awam Brunei
bahwa sekolah ala barat tidak bertentangan dengan agama. Namun, strategi
tersebut tidak juga berhasil, sehingga raja Brunei membuat peraturan yang
disebut dengan “The School Attendance Enactment 1929 yang mewajibkan” orang
tua untuk menyekolahkan anaknya ketika sudah memasuki umur 7-14 tahun
dan denda antara 50 sen sampai seratus dolar. Strategi ini juga tidak secara
menyeluruh berhasil di wilayah-wilayah Brunei, karena sebagian orangtua
Brunei beranggapan bahwa pendidikan ala barat tersebut adalah ajaran dari
agama kristen yang nantinya akan mempengaruhi agama Islam yang dimiliki
masyarakat Brunei dari Suku Melayu.(Suryani, 2014) Selain itu juga,
pendidikan agama yang diajarkan di sekolah tidak dimasukkan dalam ujian
yang berkisar pada tahun 1930-1964 (Daulay, 2009).
Dengan demikian, pendidikan agama Islam yang tidak masuk dalam
kategori ujian, dianggap sebagai ajaran yang telah diajarkan sejak masa anakanak sampai ke jenjang pendidikan selanjutnya sehingga mata pelajaran ini
tidak dianggap begitu penting bagi pendidikan pada jenjang formal tetapi
sangat ditekankan sistem ajarannya untuk membentuk tingkah laku anak didik
di tingkat pendidikan anak-anak masing-masing.
Pendidikan di Brunei masih belum dianggap berhasil pada tahun 1958
sekaligus pada tahun itu juga, Brunei mengambil alih pentabdiran Residen
British. Ketidakberhasilan tersebut terlihat dengan jelas bahwa negara Brunei
meminta bantuan kepada warga asing untuk memegang jabatan di kerajaan.
Sebelumnya, pada saat Sultan Omar Ali Saifuddien III memerintah kerajaan
Brunei pada tahun 1950, yang mana kerajaan Brunei yang kaya raya tetapi
mengalami kemunduran di berbagai aspek, sehingga pada tahun 1953, raja
Brunei memperkenalkan rancangan kemajuan negeri (RKN) di Brunei. Pada
tahun sebelumnya juga (1945-1953) telah juga diselenggarakan program
perbaikan di Brunei setelelah Brunei dijajah oleh Jepang dan dampak
penjajahan tersebut tahun 1941-1945. Akan tetapi usaha raja Brunei yang
menjabat waktu itu adalah Sultan Ahmad Tajuddin untuk memperbaiki hal
tersebut tidak mendapatkan apresiasi oleh Residen British sehingga ia meminta
bantuan kepada London kerajaan Britain mengenai keadaan masa depan
Brunei nantinya. Namun, usahanya tidak berkesampaian karena ia telah
meninggal terlebih dahulu di Singapura dan digantikan oleh Sultan Omar Ali
122
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
Saifuddien III. Pemerintahan kesultanan yang baru ini meneruskan kembali
semangat dan cita-cita raja sebelumnya, baik dalam hal pendidikan, kesehatan,
pembekalan air, pembesaran jalan raya, pembinaan jembatan, bangunan
infrastruktur jalan, transportasi, komunikasi yang telah disetujui oleh Masjlis
Mesyuarat Negeri pada tanggal 29 Juli 1953 (Suryani, 2014). Ketercapaian
kemajuan dalam hal pendidikan maupun kemajuan lainnya dilanjutkan
kembali oleh sistem pemerintahan seterusnya, yakni Sultan Omar Ali
Saifuddien III.
Pengaruh kemerdekaan dari Inggris memberikan nuansa bagi mata
pelajaran di Brunei yang mana bahasa Inggris merupakan bahasa yang paling
ditekankan. Pada awalnya, pendidikan Inggris belum ada sama sekali di Brunei
di tahun 1950. Setelah sekolah yang didirikan oleh Inggris dan diperkenalkan
di Brunei pada tahun 1951 baru pendidikan Inggris diperkenalkan. Pendidikan
telah diwajibkan dari tingkat TK dengan umur 5 tahun. Setelah pada tingkat
TK, maka secara otomatis sudah pada tingkat SD, tetapi untuk ke tingkat
selanjutnya hanya kepada siswa tertentu, jika masih belum mampu maka akan
tinggal di kelas satu. Tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberi
kemampuan dasar bagi siswa dalam hal menulis, membaca, berhitung
(Calistung). Sekolah yang didirikan dari tingkat dasar kemudian didirikan juga
tingkat menengah pada tahun 1966. Sekolah tidak hanya didirikan sekolah
umum tetapi didirikan juga sekolah Islam yang mempriotiaskan bahasa arab
pada tahun 1970 yang tujuannya untuk melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar
University Kairo tetapi hanya untuk siswa yang memenuhi kriteria. Sementara,
untuk mempersiapkan guru-guru agama telah didirikan sekolah guru agama
yang didirikan pada tahun 1972. Antusias pendidikan bagi rakyat Brunei sejak
tahun 1962-1967. Semenjak Brunei dijajah oleh Inggris dengan memberikan
corak kurikulum pendidikan yang berbeda dengan kurikulum pendidikan
Brunei sebelumnya sehingga antusias masyarakat Brunei untuk
menyekolahkan anaknya tidak seantusias kaum Inggris mendirikan sekolahsekolah Brunei.
Pada tahun 1984, kurikulum pendidikan di Brunei mengalami
perubahan dengan mewajibkan bagi peserta didik untuk menguasai bahasa
Melayu dan Inggris dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi di
Universiti Brunei Darussalam yang didirikan pada tahun 1985. Sistem
pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk rakyat Brunei terdiri dari
tiga bagian, yakni sistem dwi bahasa di semua sekolah, konsep Melayu Beraja
(MIB) dan pendidikan kejuruan. Bahasa Melayu digunakan untuk mengajar
mata pelajaran bahasa Melayu, agama Islam, pendidikan jasmani, lukisan dan
pertukangan tangan, sementara bahasa Inggris digunakan untuk mengajar
123
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
mata pelajaran seperti sains, matematika, geografi, sejarah dan bahasa inggris
tersebut. Pendidikan lebih ditekankan kepada keahlian teknikal, kejuruan,
perdagangan, pertukangan kayu dan mekanik. Masa pendidikan di Brunei
pada tingkat dasar selama 7 tahun, tingkat menengah pertama selama 3 tahun,
tingkat atas selama 2 dan 2 tahun pra universitas. Lamanya masa studi dikenal
dengan pola A7-3-2-2. Kerajaan Brunei juga telah menggalakkan pendidikan,
dengan menyediakan asrama dan pengangkutan bagi siswa secara gratis tanpa
dipungut biaya sedikit pun. Antusias raja Brunei untuk memberikan
pendidikan kepada rakyatnya sangat antusias sekali, yang mana pendidikan
diberikan secara gratis tanpa pandang bulu, baik mempunyai intelektual yang
tinggi maupun rendah mempunyai layanan yang sama dalam hal pendidikan.
Pendidikan di Brunei lebih banyak mengalami persamaan seperti
Indonesia, Malaysia, Singapura, tetapi juga memiliki perbedaan pada tingkat
menengah atas yang lebih menekankan pada bahasa Inggris.(Abduh, 2016, hlm.
2–3) Kemudian perbedaan lainnya adalah siswa yang lulus pada tingkat SLTP,
maka akan memiliki beberapa pilihan, diantaranya; Pertama, meneruskan ke
jenjang SLTA. Di tahun ke dua, setiap siswa akan menjalani ujian penentuan
tingkat yang dikenal dengan BCGCE (Brunei Cambridge General Certificate of
Education) yang mempunyai dua tingkatan yakni AO dan AN. Siswa yang
berprestasi baik maka akan mendapatkan ijazah AO sekaligus dapat
meneruskan pra-universitas selama dua tahun dan akan mendapatkan ijazah
Brunei Cambridge Advanced Level Certificate tingkat AA, sementara siswa yang
tidak berhasil, maka akan mendapatkan ijazah AN dan terpaksa melanjutkan
setahun lagi untuk mendapatkan ijazah AO. Kedua, melanjutkan ke sekolah
kejuruan seperti perawat kesehatan, kejuruan teknik dan seni, kursus yang bisa
langsung ke dunia kerja (Abduh, 2016).
Dengan demikian, layanan khusus untuk intelektual yang khusus maka
diberikan semacam ujian untuk melanjutkan kejenjang yang tinggi tanpa
menyelesaikan sekolah pada waktu yang telah ditentukan, tetapi diberi
keringanan berupa program khusus, sementara yang tidak memenuhi standar
yang ditentukan oleh raja Brunei maka akan melanjutkan kembali sesuai
dengan waktu jenjang sekolah yang telah ditentukan sebelumnya.
KESIMPULAN
Kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di Brunei mengalami
perubahan dengan corak yang berbeda-beda dari perjalanan sejarah negara
Brunei yang bersangkutan, baik ketika agama Islam datang, masa penjajahan
dan masa kemerdekaan. Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka sejarah
124
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
pendidikan agama Islam di Brunei mencakup dari; Pertama, setelah agama
Islam datang ke Brunei maka pendidikannya pun tidak terlepas dari materi
agama Islam dengan metode untuk mencetak para ulama selanjutnya sebagai
pengganti ulama sebelumnya. Kedua, setelah kedatangan kaum penjajah maka
pendidikan agama Islam yang diajarkan mengalami dualisme antara
kurikulum agama dan kurikulum Inggris, tetapi kurikulum Inggris kurang
mendapat sambutan hangat dari sebagian masyarakat Brunei sehingga
dilakukan dengan berbagai macam metode seperti mengenalkan sekolah di
masjid, tempat-tempat lainnya kemudian dengan sistem denda bagi
masyarakat yang tidak menyekolahkan anaknya. Ketiga, setelah negara Brunei
merdeka dari jajahan Inggris tetapi kemerdekaan tersebut tidak terlepas juga
dari peran Inggris, maka pendidikan yang ada di Brunei tidak terlepas dari
pengaruh kurikulum pendidikan dari bangsa Inggris.
125
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, H. (2016). Perbandingan Pendidikan Di Negara Brunei Darussalam Dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam,
Vol 5, Iss 1, Pp 01-22 (2016), (1), 1–22.
Aslan. (2018a). Kajian Kurikulum Fiqih Pada Madrasah Aliyah Di Kabupaten
Sambas Kalimantan Barat Pada Masyarakat Perbatasan. Madinah: Jurnal
Studi Islam, 5(2), 115–124.
Aslan. (2019b). Sejarah Perjalanan Kurikulum Pendidikan Islam di Malaysia.
Ta’limuna, 8(1), 29–45.
Bani, S. (2008). Perkembangan Pendidikan Islam Di Brunei Darussalam. Lentera
Pendidikan, 11(2), 270–283.
Cahyani, A. I. (2015). Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam. Jurnal AlQadau, 2(2), 147–160.
Chomsky, N. (t.t.). (2014). Sejarah Brunei Darussalam. Diambil dari
https://www.academia.edu/782555/Sejarah_Brunei_Darussalam
Creswell, J. W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.
California: Sage Publications, Inc.
Daulay, H. P. (2009). Dinamika pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Rineka
Cipta.
Fitrianah, R. D. (2018). Sistem Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural di
Negara Asean (Malaysia, Filipina, Singapura dan Brunei Darussalam. AtTa’lim, 17(2), 231–240.
Ghofur, A. (2015). Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu TinjauanHistoris). Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, 7(1), 53–69.
Klasik, U. (t.t.). Melayu Islam Beraja di Negara Brunei Darussalam. Diambil dari
https://www.academia.edu/11289857/Melayu_Islam_Beraja_di_Negar
a_Brunei_Darussalam
Lubis, M. A., & Aspar, R. (2005). Kaedah pengajaran pengetahuan agama Islam
di Brunei Darussalam. Jurnal Pendidikan, 30, 141–150.
Musa, H. H. (2005). Peranan tulisan Jawi dalam perkembangan Islam di
Malaysia. Jurnal Pengajian Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Malaya, jilid,
16.
Najtama, F. (2018). Perkembangan Islam di Brunei. Tasamuh, 10(2), 407–421.
Natalia, M. (2015, Juni 11). Warta Sejarah: Pendidikan Islam Di Brunei
Darusslam. Diambil 1 Februari 2019, dari WARTA SEJARAH website:
126
Sejarah Kurikulum Pendidikan Islam di Brunei Darussalam
http://wartasejarah.blogspot.com/2015/06/pendidikan-islam-dibrunei-darusslam.html
Nurudin, M. (2012, Mei 2). PENDIDIKAN ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM.
Diambil 31 Januari 2019, dari PENDIDIKAN ISLAM DI BRUNEI
DARUSSALAM
|
Ilmugratis
website:
http://adinnurudin.blogspot.com/2012/05/pendidikan-islam-dibrunei-darussalam.html
Perkembangan Pendidikan di Brunei 1954-1984. (2011, Januari 3). Diambil 1
Februari
2019,
dari
Gerbang
ilmu
website:
https://ibnuziad.wordpress.com/2011/01/03/perkembanganpendidikan-di-brunei-1954-1984/
Putra Daulay, H., & Pasa, N. (2016). Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah
(Cetakan Ke-3). Jakarta: Kencana.
Rahman, M. bin P. H. A. (2007). Islam di Brunei Darussalam zaman British, 17741984. Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, Kementerian Kebudayaan
Belia dan Sukan.
Suryani, N. (t.t.). (2014). Pendidikan di Brunei dari tahun 1953 hingga 1959.
Diambil dari https://www.academia.edu/36644063/
Utomo, B. B. (2011). Atlas Sejaran Indonesia Masa Islam, Dirjen Sejarah dan
Purbakala, 2011: Atlas Sejaran Indonesia Masa Islam. Indonesia: Bukupedia.
127