CITIZEN INCLUSION DALAM PRAKTIK GOVERNANCE:
Penelusuran Dalam Kebijakan Pendidikan Kota Surakarta
Priyatno Harsasto dan Laila Khalid Alfirdaus
Abstract
Inclusion is a requirement for governance to work in the name of policy and public service.
Inclusion makes citizen’s voice and aspiration to be included and calculated in public policy. In this
way, inclusion requires the people to be active and the government to be innovative as well as citizen
need-base.
This research was conducted in this context. This research tried to elaborate deeper the
involvement of the citizen in various innovative policies in Surakarta City. The case in point was
education policy in Surakarta City, especially Bantuan Pendidikan untuk Masyarakat Kota
Surakarta/BPMKS (education aid for the people of Surakarta)to find out how far citizen’s inclusion
have been included in the formation of public policy, and what was the stumbling blocs of this
program.
Using in-depth interview and documentation study, this research found that many sectoral
policy was still in the hand of technocrats, and citizens’s inclusion was still in the dormant. However,
in Surakarta sector policy as well as proggrams, could not be separated from the role of citizen,
through Musrenbang, public hearing as well as NGO’s advocacy for the government. In short, the
citizen has indeed owned their inclusion space, but in some cases they have to contend with elite
biases. Moreover, citizen’s inclusion has not been supported by good political communication.
Technical and cultural blocks could be said to be the main reasons why inclusion has still been weak
in nature.
Key words: inclusion, elite-bias, technical and cultural blocks
A. PENDAHULUAN
Desentralisasi dan otonomi daerah menekankan perlunya penguatan
kerjasama antara aktor publik dan aktor privat maupun aktor publik bersama aktor
masyarakat(CSO). Pembangunan daerah yang mengikutsertakan masyarakat
dilaksanakan berdasar pada inisiatif lokal yang membuat pemerintah daerah
memiliki
legitimasi
yang
kuat
dalam
menjalankan
program-program
pembangunannya. Citizen inclusion memiliki keunggulan karena aktor yang terlibat
dalan tidak perlu lagi membuat semua kegiatan dari tahap awal. Melalui hubungan
yang terjalin, variasi sumber daya aktor yang terlibat dapat dikombinasikan untuk
menciptakan solusi atas isu atau masalah yang dihadapi bersama di tingkat
perencanaan maupun pelaksanaan program. Proses pengambilan keputusan yang
dilakukan secara tradisional (dari sisi partisipasi dan kualitas hasil keputusan)
kurang dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitas dan realibilitasnya.
B. PEMBAHASAN
B.1. Pelibatan Warga dalam Pemerintahan: Upaya Mewujudkan Harapan
Masyarakat dan Demokratisasi Pengambilan Keputusan
B.1.a. Demokratisasi Sistem Perwakilan Masyarakat
Pemilihan umum 1999 menghasilkan lembaga perwakilan daerah yang
memiliki legitimasi politik yang kuat. Namun demikian kinerja badan perwakilan
daerah jauh dari memuaskan. Melalui pemilihan DPRD dipilih walikota sipil pertama
sejak Orde Baru, Slamet Suryanto. Walikota Slamet Suryanto merupakan tokoh
PDIP lokal. Sayangnya kinerja Slamet juga tidak menggembirakan. DPRD maupun
walikota tidak luput dari tindak pidana korupsi. Beberapa anggota DPRD terkena
jerat hukum demikian juga dengan Slamet Suryanto. Slamet Suryanto dikalahkan Joko
Widodo dalam pemilihan internal PDIP untuk pemilihan kandidat calon walikota pada pemilu kada
2004. Ia nekad maju dengan dukungan partai-partai kecil, dan kembali menderita kekalahan, dengan
menempati urutan ke 4 (terakhir). Pemilu kada 2004 sendiri dimenangkan oleh Joko widodo.
Sejalan dengan keterbukaan politik yang ada, perencanaan pembangunan
diamanatkan oleh undang-undang (yang baru) untuk dijalankan melalui mekanisme
dari bawah (bottom-up). Proses perencanaan dimulai dari kalurahan naik ke tingkat
kecamatan, dan baru naik lagi pada level kota. Sebelumnya perencanaan
pembangunan dilaksanakan sesuai dengan perintah Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.9/1983 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian
Pembangunan di Daerah (P5D). Nama dari pertemuan perencanaan pembangunan memiliki
perbedaan tergantung dari level administrasinya: untuk level kelurahan/desa disebut Musbang
(Musyawarah Pembangunan), UDKP(Unit Daerah Kerja Pembangunan) untuk level kecamatan, dan
Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) untuk tingkat kota/kabupaten. Model ini
mengkombinasikan perencanaan dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up).
Perencanaan dari atas melalui Repelita yang diterjemahkan ke bawah melalui hirarki
administratif, pada saat yang sama menyediakan saluran bagi aspirasi masyarakat
dari kelurahan melalui kecamatan sampat pemerintah pusat melalui jaringan
birokrasi pertemuan perencanaan pembangunan. Namun mekanisme bottom-up
memiliki kesalahan yang menghalangi realisasi dari perencanaan partisipatoris.
Pertama, pedoman P5D tidak menerangkan bagaimana masyarakat terlibat
dalam pertemuan perencanaan pembangunan atau bahkan tidak menyebut
”masyarakat” sama sekali. Sebagai konsekuensinya pertemuan perencanaan
pembangunan dikuasai oleh elit kelurahan yang memiliki akses kepada lembagalembaga penting tingkat lokal. Kedua, aktivitas pembangunan disetujui oleh lembaga
yang lebih tinggi tidak dapat memenuhi kebutuhan dari masyarakat luas. Lembaga
yang lebih rendah tidak memiliki kekuatan bargaining terhadap lembaga atasannya
dalam pengambilan proses pengambilan keputusan pembangunan, proposal dari
lembaga bawahan seringkali diabaikan begitu saja. Ketiga, mekanisme P5D tidak
saja tidak transparan tapi juga tidak akuntabel, Setelah menyerahkan proposal
masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan nasib proposal mereka
tersebut. Praktek korupsi sering terjadi dalam proses untuk mengubah proposal
menjadi aktivitas. Di samping itu, karena prioritas diberikan kepada lembaga yang
memiliki tingkatan yang lebih tinggi, seringkali proposal dari bawah digantikan oleh
vested interest dari atas.
Setelah tahun 1999 mekanisme baru dalam perencanaan pembangunan
dilaksanakan. Ada dua hal utama yang membedakannya dengan P5D. Pertama
adalah tingkat keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan, dan kedua,
komitmen dari pemerintah kota dalam melaksanakan perencanaan pembangunan.
Kalau dalam P5D warga kalurahan hanya diberi kesempatan untuk membuat daftar
keinginan, tapi tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan level kecamatan dan
kota. Kebanyakan daftar kebutuhan yang mereka tulis tidak dilaksanakan, ini
menyebabkan munculnya sikap apatis dari warga masyarakat. Staf di Bappeda
(bagian infrastruktur) bertugas untuk mencoret daftar yang berasal dari masyarakat.
Gagasan untuk memperbaiki mekanisme perencanaan pembangunan ini
berangkat dari beberapa asumsi sebagai berikut: (1) mandat partisipasi warga dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1999; (2) fakta bahwa model perencanaan dengan
pendekatan teknokratis yang bersifat top-down menjadi penyebab dari tidak
tepatnya sasaran pembangunan; (3) kebutuhan akan partisipasi dari masyarakat
semakin meningkat seiring dengan proses demokratisasi yang dikembangkan
memerlukan kepastian mekanisme untuk menjamin partisipasi masyarakat ke dalam
tata kepemerintahan.
Dalam Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) ada delegasi
dari kecamatan yang diikutsertakan dalam pertemuan level kota/kabupaten sehingga
ada bagian dari proposal dari bawah yang diakomodasikan pada daftar aktivitas
pembangunan. Kedua, dalam Musrenbang, sebagian kewenangan untuk
menciptakan kegiatan pembangunan diserahkan kepada masyarakat. Kegiatan
pembangunan dapat dipisahkan menjadi dua jenis, berbasis sektor dan berbasis
daerah. Masyarakat dapat membuat kegiatan berbasis daerah yang langsung
berhubungan dengan persoalan masyarakat setempat. Jika menurut mereka
membangun jalan ligkungan bermanfaat bagi kelurahan mereka, maka mereka
dapat mengajukan kegiatan tersebut kepada pemerintah kota melalui pemerintah
kecamatan. Sedangkan pemerintah kota memiliki kewenangan untuk merumuskan
kegiatan berbasis sektor yang tidak disentuh oleh kegiatan berbasis daerah.
Dalam proses ini pemerintah kota diharapkan untuk memberikan prioritas
kepada kegiatan yang berbasis daerah yang diusulkan masyarakat dengan jalan
mensitesakan dua kegiatan pembangunan tersebut. Namun kelemahan dari model
baru ini terutama adalah kewenangan untuk menentukan anggaran masih ditangan
pemerintah kota dan DPRD. Partisipasi masyarakat hanya dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan pada level pembuatan kegiatan. Dengan demikian akses
masyarakat kepada pengambilan keputusan masih terkendala oleh peraturan dan
mekanisme pengambilan keputusan yang dikeluarkan pemerintah pusat.
B.1.b. Pengembangan Jaringan dan Penciptaan Saling Ketergantungan
Sejak tahun 2004 organisasi non pemerintah yang terdaftar di kota
Surakarta lebih dari 100 buah. Menurut catatan kantor Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) perkembangan LSM meningkat tajam
setelah tahun 1999 ketika keterbukaan politik membuat lingkungan sosial dan politik
kondusif bagi aktivitas LSM. Tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah LSM di
kota Surakarta, tetapi menurut staf Kesbanglinmas Surakarta, pendaftaran
kelompok-kelompok Asosiasional ini mencapai tingkat tertingginya pada era 19992000.
Organisasi advokasi masyarakat sendiri dapat dibagi menjadi dua:
berbasis massa dan yayasan (Ottoway,2000:83-85; Blair,2004:6). Perubahan yang
mencolok pada perkembangan kelompok advokasi setelah 1988 adalah munculnya
organisasi advokasi yang tidak memiliki basis massa. Organisasi ini bekerjasama
dengan pemerintah kota dalam menjalankan program-pergram pemerintah.
Organisasi ini tidak secara langsung menjalankan fungsi seperti yang dijalankan
LSM pada masa sebelumnya yaitu melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Dalam mempromosikan reformasi pemerintahan lokal kelompok-kelompok ini
mengkampanyekan nilai-nilai demokrasi seperti akuntabilitas dan transparansi, dan
tertarik untuk berperan lebih dalam pelaksanaan pemerintahan lokal sebagai wakil
dari masyarakat. Tidak seperti kelompok yang berbasis massa yang kapasitas
organisasionalnya dapat diukur dari kemampuan mereka dalam melakukan
mobilisasi anggota dan konstituen mereka, kekuatan kelompok yang tidak berbasis
massa ini berasal dari sumberdaya manusia yang mereka miliki. Oleh karena itu
beberapa kelompok ini memiliki minat pada isu-isu spesifik seperti LPTP (Lembaga
Pengembangan Teknologi Pedesaan) yang memiliki minat mengembangkan
teknologi tepat guna, dan Gita Pertiwi yang bergerak pada isu-isu lingkungan, Mitra
Wacana bekerja pada isu kesetaraan gender serta PMS (Paguyuban Masyarakat
Surakarta) yang memiliki minat hubungan serasi antar etnis (Keturunan Cina dan
pribumi). Beberapa kelompok masyarakat bekerja untuk secara langsung membantu
masyarakat pinggiran. KOMPIP (Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan
Institusi Publik) merupakan salah satu kelompok advokasi yang penting dalam
mengorganisasikan kelompok-kelompok pinggiran. Konsorsium Monitoring dan
Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP) didirikan oleh tiga NGO, Gita Pertiwi,
Leskap dan Inres dalam rangka merespon peluang dan tantangan yang ada melalui
skema yang disediakan oleh The Ford Foundation. Konsorsium ini memfokuskan diri
pada pengorganisasian kelompok sektoral dan pengembangan forum warga. Di sini
dikembangkan keterlibatan forum multistakeholder yang terorganisir sebagai bentuk
inklusi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan tata kepermintahan daerah sesuai
mandat UU No 22 tahun 1999. SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran
Surakarta) dan P3S (Paguyuban Penata Parkir Surakarta) merupakan kelompok
asosiasional yang memperjuangkan kepentingan spesifik mereka sendiri.
Pada tahun tahun 2000 didirikan Indonesian Partnership for Local
Government Initiatives (IPGI) yang merupakan lembaga pertama yang memiliki
minat dan mampu mengembangkan kemitraan dengan pemerintah Surakarta. IPGI
bekerja dengan jalan memperkuat kapasitas masyarakat sekaligus memperkuat
kemampuan pemerintah Lokal. Salah satu program penting yang dilaksanakan
adalah mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan. IPGI
Solo merupakan bagian dari jaringan IPGI yang ada di tiga kota: Bandung, Dumai,
dan Solo. IPGI memnberikan perhatian khususnya
pada pengembangan
mekanisme perencanaan pembangunan partisipatif yang mulai di uji cobakan pada
tahun 2001, dan kemudian menghasilkan proses Musrenbang yang sekarang kita
kenal luas sebagai ajang keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan. Disamping itu dilakukan juga uji coba fiscal devolution dalam bentuk
blockgrant bagi kelurahan, dan sekarang terus diselenggarakan dengan
peningkatan kuantitas secara bertahap dengan nomenklasi anggaran Dana
Pembangunan Kelurahan yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat kelurahan melalui musyawarah warga.
Pada tahun yang sama penguatan partisipasi masyarakat di Surakarta makin
diperkuat dengan adanya program kerjasama UNDP-Depdagri dalam wujud program
Breakthrough Urban Initiative Local Development (BUILD). Program ini lebih
memberikan perhatian khusus kepada isu efisisensi pelayanan public dan partisipasi
masyarakat. Dalam proses fasilitasi inklusi masyarakat dalam pembangunan, BUILD
memperkuat proses pengembangan mekanisme perencanaan partisipatif melalui
fasilitasi pelatihan fasilitator kelurahan.
Aktivitas IPGI Solo dan BUILD membuahkan hasil model penyelenggaraan
musyawarah perencanaan yang lebih baik. Peningkatan inklusi masyarakat ini dapat
diketahui dari kuantitas keterlibatan warga, antusiasme menyampaikan aspirasi,
serta hasil-hasil yang dikemukakan. Pada tahun anggaran 2001, Bapeda bersama
bagian pemerintah daerah mengembangkan formula pendistribusian dana
Blockgrant menggunakan parameter, luas wilayah, jumlah penduduk,
jumlahpenduduk miskin, pengumpulan PBB, agar distribusi dana tersebut dapat
secara proporsional mendekati kebutuhan masing-masing kelurahan. Pada tahap
pertama diberlakukan quota batas bawah di mana seluruh dana dibagi rata, dan
sisanya dibagi berdasar formula menggunakan parameter-parameter di atas. Oleh
pertimbangan tertentu, mulai tahun 2006 quota batas bawah ditiadakan dan
pengembangan skema pada tahun anggaran 2006 total mencapai Rp 10 Milyar.
Alokasi dana blockgrant ini diperuntukan untuk membiayai usulan-usulan warga
yang bersifat mikro, dan pelaksanaannya dikembangkan dengan swadaya gotongroyong masyarakat. Kemajuan ini masih terkendala oleh keterbatasan sumberdaya
dan kemampuan pemerintah kota dalam mengakomodasikan usulan-usulan warga.
Sebagai akibatnya banyak usulan yang tidak terealisasi pada tahun anggaran
berjalan.
Pada tahun 2003 UNDP membuat program yang secara khusus dirancang
untuk penguatan kelibatan kelompok sektoral dalam proses perencanaan partisipatif
yang dikenal dengan nama City Development Strategy (CDS). Tim Kerja Sukarela
(TKS) yang difasilitasi CDS mengembangkan skema partisipatory assessment
bersama kelompok komunitas basis. Untuk itu dilakukan berbagai pelatihan dan
focused group discussion (FGD) menggunakan metode Participaroy Rural Apraisal
dan Participatory Poverty Assessment (PPA). Aktivitas-aktivitas ini menghasilkan
gambaran lebih menyeluruh mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi
masyarakat Kota Surakarta.
Apa yang didapatkan dari berbagai aktivitas assesment ini kemudian
dijadikan referensi pemerintah dan diwujudkan dalam berbagai kebijakan program
yang pro-poor. Barangkali program-program yang menonjol adalah, Taman Anak
Cerdas, Sekolah Plus yang semuanya gratis, dan didirikan di lokasi dengan tingkat
kemiskinan yang menonjol, Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Surakarta, asuransi kesehatan dengan premi Rp. 1000,- per tahun. Penggantian
biaya rumahsakit total untuk warga yang membawa keterangan tidak mampu dari
kelurahan, dan penggantian klaim biaya kesehatan 50 persen untuk warga yang
dinyatakan mampu. Juga program renovasi rumah tidak layak huni dan penataan
kampung kumuh bersubsidi. Seperti yang dikemukakan walikota Joko Widodo
pemerintah kota bekerja bersama masyarakat dalam menyiapakan dan
melaksanakan program-program:
”..kita nyiapin sistemnya dulu..bersama temen-temen NGO.. nyiapin datanya..baru
nyiapin uangnya.. kita selalu bekerja seperti itu..”
”...semua kegiatan kita pendampingannya itu NGO. Mereka lebih menguasai lapangan
dibandingakan dengan kita. (Wawancara, 7 Agustus 2010).
B.1.c. Posisi Kelompok Sektoral dalam Proses Inklusi
Komunitas sektoral dalam kaitannya dengan Perencanaan pembangunan
seperti sudah menjadi diskurus tersendiri yang menyita perhatian banyak kalangan
di Kota Surakarta. Kota Surakarta menempatkan peran serta kelompok sektoral
dalam proses perencanaan pembangunan dalam cara pandang atau paradigma
bahwa seluruh unsur dalam masyarakat berhak berpartisipasi dalam pembangunan
dari perencanaan hingga pengawasan. Dalam kontek otonomi daerah sebelum
diskursus Perencanaan Pembangunan Partisipatif di dengungkan, Kota Solo telah
mengakomodir partisipasi kelompok sektoral perkotaan seperti PKL, Pengemudi
becak, Pasar Tradisional, Pedagang Asongan, Pengamen, dan juga Pekerja Seks
Komersial, dalam proses proses musyawarah perencanaan pembangunan. Bisa di
katakan bahwa Kota Surakarta adalah ikon nya pelibatan kelompok sektoral dalam
perencanaan pembangunan. Periode tahun 2002 melalui SK Walikota 410/45A/I/2002 juga menjadi sebuah catatan menarik tentang pelibatan kelompok sektoral
dalam proses perencanaan. Walaupun pada prakteknya, saluran pratisipasi mereka
masih melalui TKS CDS ( Tim Kerja Stakeholders City Development Strategy) yang
belum bisa merepresentasikan aspirasi semua komunitas sektoral.
Periode tahun 2003 proses Perencanaan Partisipatif tentunya mengalami
beberapa pembenahan belajar dari proses tahun sebelumnya. Pada aras ini sangat
menarik melihat proses pergeseran arah kebijakan terhadap keterlibatan kelompok
sektoral. Setelah proses yang dilakukan TKS CDS pada tahun 2002 yang
menghasilkan tiga konsern isu yaitu persoalan masyarakat marginal, isu konflik
sosial dan juga isu tata ruang kota, pemerintah berupaya melibatkan kelompok
sektoral dalam proses di muskelbang, muscambang dan muskotbang. Melalui SK
Walikota Nomor 8 tahun 2003 tertnaggal 26 Juni 2003. Namun proses partsispasi
kelompok sektoral ini menemui kendala karena pelibatan mereka yang hanya di
muskelbang dan tidak melalui pra muskel cukup membatasi ruang aspirasi mereka,
sedang di tingkat muskotbang, kelompok sektoral juga belum mengikuti proses
secara maksimal karena terbataskan kemampuan meyesuaikan dengan mekanisme
di muskotbang.
Perubahan signifikan justru terjadi pada periode tahun 2004 dengan SK
Walikota Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaran dan Petunjuk
Teknis Muskelbang, Muscambang dan Muskotbang. Keterlibatan kelompok sektoral
dimulai lebih dini dengan mengadakan Focused Group Discussion di tingkat
Komunitas atau FGD Komunitas. Pada aras ini hasil yang diperoleh melalui FGD
bisa langsung disingkronkan dengan SKPD terkait tanpa melalui proses di territorial.
FGD – FGD yang pelaksanaannya kemudian difasilitasi oleh LSM pendamping
komunitas ini berhasil mendorong terciptanya semangat berpartisipasi di level
komunitas sektoral perkotaan semisal PKL, pengemudi becak, asongan, diffabel,
juru parkir, pedagang pasar tradisional, pengamen, dan Pekerja seks Komersial
(PSK).
Pada proses perencanaan untuk anggaran tahun 2009, putaran keterlibatan
kelompok sektoral dimulai dari memfasilitasi diskusi kelompok terbatas di tingkat
komunitas oleh pelbagai LSM pendamping di bawah koordinasi Bapeda dan Tim SC
pelaksana Musrenbang. Antara lain diselenggarakan diskusi kelompok. Dan
selanjutnya dari diskusi assessment komunitas tersebut oleh Bapeda di
kembangkan diskusi sinkronisasi, dan kemudian dilanjutkan Diskusi Kelompok
Terbatas (DKT). Hasil – hasil DKT merupakan input dasar untuk penyusunan
program sektoral yang diolah melalui forum SKPD, yang kemudian hasilnya
diintegrasikan ke dalam forum Musrenbang Kota.
Berikut ini skema utuh keterlibatan kelompok sektoral di Kota Surakarta :
Nampak perkembangan masyarakat sipil merupakan bagian dari proses
demokratisasi pengambilan keputusan. Keterbukaan pemerintah kota Surakarta
terhadap keberadaan lembaga-lembaga advokasi membuat proses perumusan
program dan pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar dan lebih tepat sasaran.
Pemerintah kota bersama lembaga-lembaga advokasi mengambil inisiatif untuk
mengetahui kebutuhan dan harapan masyarakat, yang pada gilirannya
dimanfaatkan untuk merancang program-program pembangunan.
B.2. Inklusi dalam Kebijakan Pendidikan
B.2.a. Bentuk Kebijakan
Ada beberapa program yang dibuat oleh pemerintah Kota Surakarta di bidang
pendidikan. Tetapi, program yang saat ini krusial adalah Bantuan Pendidikan
Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS). BPMKS merupakan bantuan pendidikan yang
diperuntukan bagi:
a. Siswa Warga Kota Surakarta dari Keluarga Mampu yang bersekolah di
Kota Surakarta pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs Negeri.
b. Siswa Warga Kota Surakarta dari Keluarga Mampu yang bersekolah di
Kota Surakarta pada Jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB.
c. Siswa warga Kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah
di Kota Surakarta jenjang SD/MI/SDLB Negeri/Swasta, SMP/MTs/SMPLB
Negeri/swasta, SMA/MA/SMK/SMALB Negeri/Swasta.
d. Siswa warga Kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah
pada sekolah PLUS jenjang SD, SMP dan SMK Kota Surakarta.
e. Siswa warga Kota Surakarta yang yang tidak bersekolah, tetapi masih
dalam usia sekolah jenjang SD, SMP dan SMK.
BPMKS dibagi menjadi 3 jenis kartu kategori yaitu silver, gold dan platinum.
Masing-masing kategori itu adalah sebagai berikut:
1. Kartu BPMKS Silver
Kriteri Siswa yang dapat menerima adalah:
a. Siswa Warga Surakarta dari warga mampu yang bersekolah di kota Surakarta
pada jenjang SD/MI Negeri, SMP/MTs Negeri.
b. Siswa Warga Surakarta dari keluarga mampu yang bersekolah di kota
Surakarta jenjang SDLB, SMPLB dan SMALB Negeri/Swasta.
2. Kartu BPMKS Gold
Kriteri yang dapat menerima adalah:
a. Siswa warga kota Surakarta dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di
kota Surakarta jenjang SD/MI/SDLB Negeri/Swasta, SMP/MTs/SMPLB
Negeri/Swasta, SMA/MA/SMALB Negeri/Swasta.
3. Kartu BPMKS Platinum
Kriteri Siswa yang dapat menerima :
a. Siswa Warga kota Surakarta dari keluarga yang tidak mampu yang
bersekolah pada sekolah PLUS jenjang SD, SMP dan SMK kota Surakarta.
b. Siswa Warga kota Surakarta yang tidak bersekolah, tetapi masih dalam usia
sekolah jenjang SD, SMP dan SMK serta yang akan melanjutkan ke Sekolah
Plus.
B.2.b. Awal Mula Kebijakan
Kebijakan ini diluncurkan pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Dalam
kampanyenya, jelang Pilwako periode 2010-2015 di awal tahun, secara jelas Jokowi
menegaskan fokus pemerintah pada peningkatan pelayanan publik, utamanya
pendidikan, melengkapi program pelayanan kesehatan (PKMS, Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Surakarta). Kedua fokus ini bersinergi dengan fokus
pemerintahan Jokowi di bidang ekonomi, yang ditujukan untuk meningkatkan
investasi besar di Kota Surakata, maupun mendorong unit usaha kecil dan
menengah yang telah digalakkan sejak periode pertama pemerintahan.
Karena diluncurkan menjelang Pilwako kedua inilah, program pendidikan
murah dikritik sebagai sarana untuk menaikkan popularitas Jokowi semata.
Menelisik ke belakang, persetujuan program pendidikan murah ini memang
ditandatangani pada 3 Maret 2010, waktu yang mendekati Pilwako. Program ini
disebut Layanan Pendidikan Masyarakat Surakarta (LPMS). LPMS berisi konsep
program pendidikan yang ditargetkan untuk membantu masyarakat miskin. Konsep
yang diajukan SKPD teknis ini dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, Platinum untuk
siswa di lima SD plus, 2 SMP plus dan SMK plus. Kedua, gold bakal dimiliki siswa
SD, SMP negeri maupun swasta yang masuk kategori tidak mampu dan tidak
diwajibkan membayar beaya operasional. Selain itu siswa SD dan SMP negeri yang
mampu tetap dapat subsidi beasiswa silver. Tetapi, konsep LPMS ini kemudian
dikembangkan melalui BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta),
sebagaimana dijelaskan di atas. BPMKS secara lebih jelas mengikutsertakan semua
anak usia sekolah sebagai penerima bantuan, termasuk mereka yang tidak
mengenyam pendidikan di sekolah. Bukan saja bagi sekolah negeri, bantuan ini juga
diperuntukkan bagi anak yang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan
swasta. Kategorisasi penerima dalam program mengindikasikan rasionalisasi
pengeluaran bantuan pendidikan pemerintah, dimana warga yang paling
membutuhkan-lah yang menerima bantuan paling besar, sementara warga yang
mampu, menerima bantuan sebagian, mengingat pendidikan bagaimanapun adalah
investasi jangka panjang. Program ini tidak didesain dengan semata-mata
menggratiskan seluruh biaya pendidikan dasar bagi semua warga, sehingga bersifat
sangat populis tetapi memberatkan APBD, namun bantuan ini didesain targeted,
ditujukan untuk menyasar penerima bantuan yang tepat, dan skema pengeluaran
yang efektif dan efisien. Dana 23 Milyar yang dikeluarkan pemerintah ini disambut
baik oleh warga.
Dengan demikian, menurut Jokowi dan FX. Rudy (Antara 18 April 2010),
program ini jelas semata-mata tidak ditujukan untuk mendongkrak popularitas politik,
mengingat sekedar peluncurannya dilakukan menjelang pemilihan walikota periode
kedua. Program ini merupakan tindak lanjut dari Perda Pendidikan dan merupakan
penyempurnaan dari program-program pendidikan sebelumnya, tambah FX. Rudy.
Target utama program ini adalah rakyat kecil, dengan tidak menutup kesempatan
warga Surakarta pada umumnya untuk memperoleh bantuan serupa. Oleh karena
itu, di dalam program ini diberlakukan kategorisasi, untuk menjamin bahwa uang
dikeluarkan pemerintah kota tepat sasaran dan tepat guna.
Sebagai tindak lanjut dari upaya pengembangan pendidikan, pemerintah kota
tidak hanya meluncurkan dana bantuan operasional dan biaya sekolah. Setelah
program BPMKS berjalan, program ini dilanjutkan pada penguatan substansi
pendidikan, yaitu pada kurikulum. Pada Januari 2011, pemerintah kota siap
mengembangkan pendidikan berkarakter, yang berisi penguatan karakter siswa,
berbasis pada nilai-nilai budaya dan nasionalisme.
B.2.c. Inklusi dalam Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan di Kota Surakarta, pada dasarnya adalah kebijakan
yang bersifat sektoral. Dengan demikian, kebijakan ini secara formal merupakan
inisiasi dari SKPD teknis. Namun demikian, kebijakan ini tidak lepas dari usulan
berbagai elemen masyarakat, baik yang disampaikan secara formal melalui
Musrenbang/Muskelbang maupun secara informal melalui berbagai forum. Usulan
ini berangkat dari pandangan masyarakat bahwa BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) yang digulirkan pemerintah pusat masih jauh dari mencukupi sehingga
masyarakat miskin masih kesulitan mengakses kebutuhan pendidikan. BPKMS
adalah kebijakan pemerintah Kota untuk mendampingi kebijakan BOS.
Inklusi kebijakan ini secara kuat berakar dari komunitas. Setidaknya ada tiga
aras inklusi yang penting, yaitu Musrenbang/Muskelbang, public hearing dengan
komunitas dan media, dan inisiasi LSM.
Pertama, inklusi melalui Musrenbang/muskelbang. Akbarudin Arif, direktur
LSM Kompip menyatakan bahwa mekanisme musrenbang dan semacamnya di
Surakarta memang dapat berjalan. Fungsi musayawarah bagi perencanaan
kebijakan ini berjalan sejak level RT, desa, kecamatan sampai kabupaten. Meski
masih terdapat beberapa kelemahan, Akbarudin Arif menilai bahwa mekanisme ini
di Surakarta termasuk yang dapat berjalan dengan baik. Di daerah lain, Musrenbang
seringkali tidak jalan dan penyaluran aspirasi warga dalam perencanaan
pembangunan dan kebijakan, termasuk di sektor pendidikan tidak berfungsi.
Kedua, melalui public hearing dengan komunitas dan media. Public hearing
adalah hal yang umum dan sering di Surakarta. Public hearing ini bisa dilakukan
berdasarkan inisiatif pemerintah kota, dan dilakukan di balai kota. Bisa juga
dilakukan atas inisiatif warga. Public hearing menjadi sarana pemerintah kota
menyampaikan gagasan programnya kepada masyarakat dan sebaliknya, menjadi
sarana warga menyampaikan aspirasinya. Komunitas warga berbasis pada
peguyuban-paguyuban, yang disebut juga sebagai kelompok informal.
Sementara itu, media, menjadi salah satu pelaku yang penting dalam upaya
inklusi kebijakan, melalui pewartaan berita seputar kebijakan dan pelayanan
pemerintah, yang tidak mesti bisa dijangkau oleh semua warga. Sebaliknya,
pemerintah juga terbantukan oleh media untuk mensosialisasikan kebijakannya
kepada warga masyarakat, mengingat pemerintah seringkali tidak mampu
menjangkau seluruh lapisan masyarakat untuk menyebarluaskan kebijakannya.
Didik Ikrob, wartawan Harian Joglo Semar, menegaskan hal ini dalam wawancara
yang dilakukan Alfirdaus dan von Luebke pada Mei 2010.
Ketiga, inisiasi LSM. Tidak dapat dipungkiri, LSM merupakan bagian penting
dalam proses-proses pemerintahan di Kota Surakarta. Akbarudin Arif, misalnya,
dalam wawancara Mei 2010, menyatakan bahwa inisiatif Jokowi melalui berbagai
kebijakannya, sangat tidak bisa dilepaskan dari peran LSM. Jokowi terbantu oleh
LSM-LSM yang kritis yang secara formal maupun informal sering melakukan
pendekatan terhadap walikota dan wakil walikota supaya kebijakan pemerintah kota
tidak hanya melulu bersifat pro-investasi, tetapi juga pro-poor. Kebijakan pendidikan,
seperti BPMKS sendiri, sebagaimana Budi Santoso, kepala kantor Suara Merdeka
Cabang Surakarta, tidak lepas dari kawalan NGO dalam proses pemerintahan. Budi
Santoso mencontohkan Pattiro sebagai salah satu NGO yang aktif mengajukan dan
mengawal inisiatif kebijakan pendidikan pemerintah kota.
Namun demikian, inklusi tidak dapat berjalan jika hanya berasal dari satu sisi,
yaitu grassroot. Ia harus dua arah dan diterima dengan baik oleh pemerintah. Oleh
karena itu, inklusi mensyaratkan lembaga pe\merintahan yang terbuka. Terbuka,
dalam arti, pemerintah memiliki kemampuan mendengar, lalu menindaklanjuti ideide maupun aspirasi yang disampaikan oleh warga. Dalam pandangan Akbarudin,
Jokowi memenuhi syarat sebagai pemimpin pemerintahan yang inklusif.
Kemampuan mendengarkan suara warga, kemudian melakukan tindak lanjut atas
ide-ide warga, menjadikan pemerintahannya terbuka. Ide-ide warga inilah,
sebagaimana Akbarudin, yang sangat membantu Jokowi dan pemerintahannya
membangun inovasi pelayanan.
B.2.d. Kritik terhadap Proses Inklusi Kebijakan
Meski berbagai lini inklusi telah tersedia, namun proses ini tidak lepas dari
berbagai kelemahan. Akbarudin Arif menilai bahwa, dalam musrenbang maupun
musyawarah warga yang lain, seringkali tidak lepas dari elite capture. Hanya figur
sentral di masyarakat yang aktif dalam musyawarah sehingga suara merekalah yang
lebih sering didengar. Mekanisme inklusi, termasuk di sektor pendidikan, belum
sepenuhnya menggambarkan aspirasi warga. Akbarudin melihat ini tidak terlepas
dari kultur Jawa ewuh pakewuh yang besar. Posisi sebagai warga yang seharusnya
setara, seirngkali terhalang oleh sekat-sekat sosial. Seorang warga yang dalam
kehidupan sehari-hari adalah pegawai/karyawan toko, tentu akan merasa sungkan
berpendapat jika di forum yang sama terdapat pemilik toko yang adalah juragannya.
Kedua, disamping bias oleh elite capture, mekanisme inklusi ini seringkali
bias partai. Akbarudin Arif menjelaskan, warga yang sekaligus pengurus partai-lah
yang umumnya menguasai akses-akses aspirasi dan informasi. Mereka mengetahui
informasi kebijakan dan pelayanan lebih cepat dibandingkan warga biasa yang tidak
aktif di partai. Mereka juga lebih paham kemana menyalurkan aspirasi mereka.
Partai, bagaimanapun adalah jalur tercepat untuk menyalurkan aspirasi dan supaya
aspirasi tersebut segera dirumuskan dalam kebijakan.
Ketiga, proses inklusi seringkali lebih efektif bagi warga yang memiliki kapital
besar dan memiliki potensi investasi signifikan di Kota Surakarta. Bramastya, Sekjen
Pergerakan Indonesia Jawa Tengah, dalam wawancara dengan Alfirdaus dan von
Luebke, pada Mei 2010, menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi adalah
pemerintahan yang pro-market. Pemerintahan ini lebih mengakomodasi pengusaha
berkapital besar, dapat dilihat dengan jelas dari kebijakan pembangunan dan
perekonomian Kota Surakarta. Ketika kepentingan pemodal dan rakyat kecil
berhimpitan, Jokowi lebih cenderung memenangkan pengusaha berkapital besar.
Hal ini membuat Jokowi terkesan tidak konsisten dengan slogan sosial demokrat
dan pro-rakyat yang didengung-dengungkan. Dalam kebijakan pendidikan, bagi
beberapa kalangan, terkesan setengah-setengah, mengingat minimnya bantuan
yang diterima warga.
Keempat, proses inklusi ini seringkali masih sebatas dalam perencanaan.
Inklusi belum secara efektif melingkupi formulasi, dan terutama implementasi.
Dengan dalih kebijakan pendidikan sebagai kebijakan sektoral, maka tidak banyak
ide warga yang terserap, dan kebijakan ini terjebak pada mekanisme teknokratis,
dengan warga sebagai penerima pasif. Partisipasi warga, di samping dalam
perencanaan, hanya terserap dalam evaluasi, dimana warga diberi ruang untuk
menyampaikan keluhan. Secara formal, penyampaikan keluhan ini diwadahi dalam
kotak saran yang disediakan di setiap instansi dan pos pelayanan. Hanya saja,
sejauh mana efektivitas dan tindak lanjut ini masih belum jelas. Mekanisme informal,
yag menurut Jokowi lebih efektif, meski cukup membantu, tidak mampu menjamin
penjaringan keluhan secara maksimal. Hambatan teknis dan kultur menjadi penjelas
mengapa mekanisme informal belum tentu dapat berjalan.
Kelima, mekanisme inklusi ini terhalang oleh kelemahan di birokrasi. Meski
merupakan figur yang penting dalam inovasi kebijakan kota, pemerintahan Jokowi
dikritik tidak didukung oleh instrumen komunikasi politik yang baik. Kebijakan yang
diterima warga hanya dapat dimengerti secara sebagian. Kendala bahasa adalah
faktor utama warga memahami isi kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Kedua,
kurang intens-nya sosialisasi dan komunikasi warga melalui berbagai sarana
menyebabkan warga tidak banyak memiliki informasi mengenai kebijakan dan
pelayanan. Minimnya acara interaktif melalui TV dan radio lokal menandakan
lemahnya komunikasi ini.
C. PENUTUP
Inklusi merupakan syarat praktik governance yang demokratis. Inklusi
merupakan mekanisme penjaringan aspirasi warga terkait dengan kebijakan dan
pelayanan publik. Inklusi memungkinkan semua warga, tidak terbatas sekat sosial,
status, pilihan partai dan sebagainya, untuk erlibat dalam proses pemerintahan,
dengan mempengaruhi perumusan, implementasi dan pelaksanaan kebijakna.
Dengan demikian, inklusi tidak membatasi peran dan keterlibatan warga dalam
perencanaan semata, tetapi juga dalam penganggaran, formulasi, pelaksanaan, dan
evaluasi kebijakan. inklusi memastikan kebijakan publik berasar dari, untuk, dan oleh
warga.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang penting dalam kajian inklusi
warga di pemerintahan. Penelitian ini menemukan, mekanisme musyawarah warga
telah berjalan, berakar dari level yang paling bawah di tingkat RT, desa, kecamatan
sampai kabupaten. Inklusi juga berjalan melalui intensifnya public hearing antara
walikota dan komunitas dan media. Inklusi kebijakan juga aktif berjalan di kalangan
NGO. Berjalannya proses inklusi di Kota Surakarta ini tidak lepas dari karakter sosial
politik warga Surakarta yang sangat aktif dalam paguyuban. Di Surakarta,
paguyuban tidak hanya menjalankan fungsi sosial, seperti pemersatu antar profesi,
misal pedagang pasar, tukang becak, pedagang kaki lima, dan sebagainya, maupun
fungsi ekonomi, seperti dana bergulir dan arisan, tetapi juga berfungsi secara politik
sebagai wadah interest. Di sisi lain, terdapat tradisi NGO yang kuat dan kritis yang
intens mengawal berjalannya pemerintahan. Inovasi-inovasi kebijakan Joko Widodo
bahkan tidak lepas dari masukan kalangan NGO, termasuk berbaga kebijakan yang
pro-poor.
Kebijakan pendidikan BPMKS (Bantuan Pendidikan untuk Masyarakat Kota
Surakarta) adalah salah satu produk kebijakan yang pro-poor. Program ini meski
secara formal berasal dari usulan SKPD teknik, tidak lepas dari berbagai masukan
kalangan NGO dan komunitas warga. Target utama program ini adalah kalangan
menengah ke bawah, yaitu kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki akses
pendidikan. Namun, mengingat pendidikan adalah juga investasi jangka panjang,
program ini juga menyediakan bantuan bagi warga yang mampu, hanya saja,
besarannya berbeda dengan warga yang tidak mampu.
Namun demikian, proses inklusi di Surakarta tidak lepas dari berbagai
kelemahan. Bias elite dan partai adalah hambatan utama karena menutupi
kemungkinan warga paling lemah, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik,
untuk menyampaikan aspirasi. Bias kota dan pemodal adalah hal lain yang
menghambat inklusi warga, karena warga pengusaha dan memiliki investasi besar
akhirnya yang lebih diprioritaskan. Hambatan yang lain berasal dari lemahnya sistem
komunikasi politik pemerintah yang menyebabkan keterbatasan informasi yang
dimiliki warga terkait kebijakan dan pelayanan pemerintah.
DAFTAR RUJUKAN
Dryzek, JS. 1996. Political Inclusion and the Dynamics of Democratization. The American Political
Science Review, vol. 90, no. 3: 475-487.
Dryzek, JS. 2000a. Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, and Contestation. Oxford:
Oxford University Press.
Dyson, A, Cummings, C and Millward, A. 2003. Participation And Democracy: What’s Inclusion Got
To Do With It? dalam Allan, J (ed.). Inclusion, Participation and Democracy: What is the
Purpose? Kluwer Academic Publishers: London
Edi, AC. (Ed). 2009. Integrating MPs, Party, & Constituents, IRE-IRI, edisi April. Yogyakarta: IRE.
Eko, S. 2002. Pembangunan Politik, Pemberdayaan Politik dan Transformasi Politik. IRE:
Yogyakarta.
Gaventa, J. 2006. Finding the Spaces for Change: the Power Analysis. iDS Bulletin, vol. 37, no. 6: 2333.
Mawardi, MS., dkk. 2002. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan
Publik: Kasus Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Laporan Lapangan. SMERU:
Jakarta.
Miller, V. 2005. Pengaruh Kebijakan oleh LSM-LSM Pembangunan: Sebuah Sarana untuk
Memperkuat Masyarakat Sipil, dalam Miller, V. Dan Covey, J. Pedoman Advokasi:
Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pimbert, M dan Wakeford, T. 2001. Overview: Deliberative Democracy and Citizen Empowerment.
PLA Notes, No. 40. Februari: 23-28.
Rosser, A., Roesad, K. dan Edwin, D. 2004. Indonesia: the politics of inclusion. IDS Working Paper,
no. 229: 1-30.
Sen, A. 2000. Social Exclusion: Concepts, Application, and Scrutiny. Social Development Paper, no.
1. Asian Development Bank: 1-54.
Suharto, E. 2008. Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan
Khusus: Pengalaman Departemen Sosial. Disampaikan pada Focused Group Discussion
(FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service For Customers With Special Needs)
pada Sektor Pelayanan Publik”. Sahira Butik Hotel, 9 – 10 Oktober. Lembaga Administrasi
Negara: Bogor.
Sunaji dan Anwar, Z. 2008. Menabur Benih di Lahan Tandus: Pelajaran Berharga dari Advokasi
Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen. Yogyarakarta: IRE dan NDI.
Takeshi, I. 2006. The Dynamics of Local Governance Reform in Decentralizing Indonesia:
Participatory Planning and Village Empowerment in Bandung, West Java. Asian and African
Area Studies, vol. 5, no. 2: 137-183.
The World Bank. 2009. Mengupayakan Bekerjanya Desentralisasi. Indonesia Policy Briefs: Ide-ide
Program 100 Hari. Jakarta: The World Bank.
Toyamah, N., dkk. 2002. Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik:
Kasus Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung. Laporan Lapangan. Jakarta: SMERU.
Wakeford, T. 2001. A selection of methods used in deliberative and inclusionary processes. PLA
Notes, no. 40: 29-31.
Witcher, S. 2003. Reviewing the Terms of Inclusion: Transactional Processes, Currencies and
Context. CASE paper, no. 67. Centre for Analysis of Social Exclusion, London School of
Economics, London: 1-75.