33
JURNAL RESPIRASI
JR
Vol. 4 No. 2 Mei 2018
Hubungan Kadar Periostin Serum dan Nilai Asthma Control
Test pada Pasien Asma di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Ni Made Dwita Yaniswari*, Muhammad Amin
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
ABSTRACT
Background: Asthma is a heterogenous disease composed of various phenotype. Chronic airway inflammation are
fundamental features of asthma. The main treatment of asthma is corticosteroid. The administration of inhaled corticosteroids will
reduce the inflammatory process in asthma. Even with adequate inhaled corticosteroid treatment, there are still patients who
develop symptoms with lower asthma control test score. Periostin is an extracellular matrix protein as the best single systemic
biomarker for assessing tissue eosinophilia, airway remodeling in uncontrolled asthma. The objective of this study was to examine
whether serum periostin is correlated with ACT in asthmatic patients. Methods: This research was an observational analytical with
cross sectional design conducted in outpatient clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya for 3 months. In total, we found 40
asthmatic patients who were qualified to the inclusion and exclusion criteria as the research samples. The questionnaire was filled
in to assess the Asthma Control Test and venous blood tests to measure serum periostin levels using Sandwich Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) method. Results: The mean periostin level profile of the sample was 94.82 ± 19.21 ng/ml and the
median was 94.7 ng/ml. The average ACT score was 16.55 ± 2.93 with 85% were uncontrolled asthma. The results of the
independent t-test showed serum periostin levels and the level of asthma control based on ACT score in asthmatics patients had a
significant correlation (p = 0.024). Conclusion: There is a significant correlation between serum periostin levels and ACT score in
asthmatic patients.
Keywords: asthma, periostin, ACT score
Correspondence: Ni Made Dwita Yaniswari, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60286. E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang
melibatkan berbagai sel dan elemen, menyebabkan
respons berlebih saluran napas yang ditandai dengan
gejala episodik dan berulang dari mengi, sesak napas,
dada terasa berat, dan batuk yang terutama terjadi pada
malam atau dini hari. Obstruksi saluran napas bersifat
bervariasi dan reversible, baik secara spontan maupun
dengan pengobatan.1, 2
Berdasarkan Global Initiative for Asthma
(GINA) 2017, jumlah penderita asma di dunia mencapai
300 juta dengan rentang 1-16% populasi di setiap negara
yang berbeda.1 Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2004 menunjukkan bahwa asma
menempati urutan ketiga dari 10 penyebab morbiditas di
Indonesia.3
Tata laksana asma yang utama adalah pemberian
anti-inflamasi. Pemberian kortikosteroid inhalasi akan
menurunkan proses inflamasi pada asma. Namun, 5-10
% penderita asma tidak berespons pada terapi, obstruksi
saluran napas tetap irreversible dengan tingkat kontrol
asma yang dinilai dengan Asthma
Control Test (ACT) yang rendah.4 Pada kondisi
ini, biasanya sudah terjadi proses remodeling saluran
napas dan fibrosis subepitelial.5 Fibrosis subepitelial
disebabkan oleh penebalan lamina retikularis, terdapat
matriks ekstraselular yang terdeposisi di bagian bawah
basal lamina. Studi menunjukkan bahwa IL-4 dan IL-13
berperan penting pada fibrosis subepitelial.6, 7
Masih
sedikit
biomarker
yang
dapat
menunjukkan inflamasi eosinofil/th2 dan adanya
remodeling saluran napas. Studi The Bronchoscopic
Exploratory Research Study of Biomarkers in
Corticosteroid Refractory Asthma (BOBCAT) oleh Jia
dkk mengidentifikasi bahwa periostin dalam serum
merupakan biomarker tunggal sistemik yang terbaik
untuk menilai eosinofilia jaringan, remodeling saluran
napas pada asma tidak terkontrol.8 Kegagalan untuk
mendeteksi insensitivitas terhadap steroid dapat
mempengaruhi strategi terapi dan hasil pengobatan.9
Periostin merupakan protein matriks ekstraseluler
yang memediasi aktivasi sel dengan cara berikatan pada
reseptor di permukaan sel. Periostin diregulasi oleh IL-4,
IL-13 dan TGF-β serta diproduksi oleh sel struktural
34
seperti sel epitel dan fibroblas serta sel inflamasi
seperti eosinofil dan makrofag. Periostin berhubungan
dengan remodeling saluran napas, produksi mukus,
dan fibrosis subepitelial. Terdapat beberapa kelebihan
periostin sebagai biomarker. Salah satunya adalah
periostin memiliki kecendrungan untuk mudah
berpindah dari lesi ke pembuluh darah.9, 10
Berdasarkan data-data di atas, maka pada
penelitian ini peneliti akan menilai hubungan antara
kadar periostin serum dan tingkat kontrol asma yang
diukur dengan nilai ACT. Hasil penelitian ini
diharapkan mampu memberi gambaran tentang fungsi
periostin sebagai biomarker untuk memprediksi
keberhasilan terapi pada asma.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian analitik
observasional dengan rancangan cross sectional di
Poli Asma/PPOK RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang
dimulai pada bulan Maret hingga Mei 2018. Sampel
penelitian sejumlah 40 orang adalah penderita asma
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
inklusi penelitian ini adalah penderita yang telah
didiagnosis asma dan kontrol di poli Asma/PPOK
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, usia 18-55 tahun, telah
mendapat kortikosteroid inhalasi selama minimal 3
bulan dan bersedia menandatangani informed consent.
Kriteria ekslusi adalah penderita asma dalam
serangan, wanita hamil dan menyusui, penderita asma
dengan penyakit paru lainnya yang juga dapat
menurunkan faal paru seperti tuberkulosis, kanker
paru,
pneumonia,
interstitial
lung
disease,
pneumotoraks, bronkiektasis, batuk darah, atau
penyakit kronik lain yang dapat mempengaruhi nilai
periostin, seperti penyakit jantung, hati, ginjal,
diabetes mellitus, kanker yang dilihat dari dokumen
rekam medis, perokok aktif, dan penderita yang sulit
bekerja
sama
dalam
penelitian.
Dilakukan
pemeriksaan spirometri untuk menilai faal paru.
Tingkat kontrol asma ditentukan berdasarkan skor
ACT dengan asma terkontrol penuh apabila nilai ACT
25, asma terkontrol sebagian dengan nilai ACT 20-24,
dan asma tidak terkontrol apabila nilai ACT ≤19.11
Pemeriksaan darah vena untuk kadar periostin serum
dilakukan dengan metode Sandwich ELISA dengan
reagen periostin Elisa kit RayBiotech yang dinyatakan
dalam satuan ng/ml. Kadar periostin dikelompokkan
menjadi tertil I (periostin rendah) dengan kadar < 89,0
ng/ml, tertil II (periostin sedang) dengan kadar 89,0 101,0 ng/ml, serta tertil III (periostin tinggi) dengan
kadar >101,0 ng/ml.
HASIL
Selama periode penelitian pada bulan Maret –
Mei 2018, didapatkan 40 penderita asma dengan
karakteristik dasar subjek dapat dilihat pada tabel 1.
Jenis kelamin subjek terbanyak adalah perempuan
yaitu 26 orang (65%) dengan rerata umur 42,25 ± 9,9
tahun. Rerata indeks massa tubuh (IMT) 25,68 ± 4,91
Jurnal Respirasi (JR), Vol. 4. No. 2 Mei 2018: 33-37
kg/m2. Profil faal paru didapatkan rerata FEV1 sebesar
61,93 ± 20,81% prediksi. Sebanyak 29 subjek dari 40
subjek didapatkan mengalami obstruksi dengan
mayoritas masuk dalam derajat obstruksi sedang yaitu
16 orang (40%). Pada tingkat kontrol asma didapatkan
rerata ACT skor 16,55 ± 2,93 dengan sebagian besar
subyek masuk dalam kelompok asma tidak terkontrol
sebanyak 34 orang (85%) (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian
Karaketristik
Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
14 (35%)
26 (65%)
Umur (tahun)
Rerata ± Simpangan Baku
Min – Maks
Indeks Massa Tubuh (kg/m2)
Rerata ± Simpangan Baku
Min – Maks
Tingkat Kontrol Asma
Rerata ± Simpangan Baku
Terkontrol Sebagian (20-24)
Tidak Terkontrol (≤19)
FEV1 (% prediksi)
Rerata ± Simpangan Baku
Min – Maks
Kelompok obstruksi (FEV1/FVC <75%)
Obstruksi Ringan (FEV1 > 80%)
Obstruksi Sedang (FEV1 50%-80%)
Obstruksi Berat (FEV1 <50%)
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga
Karyawan Swasta
Wiraswasta
Lain-lain
42,25 ± 9,95
18 – 55
25,68 ± 4,91
16,87 - 40,44
16,55 ± 2,935
6 (15%)
34 (85%)
61,93 20,81
18 – 108
2 (5%)
16 (40%)
11 (27,5%)
19 (47,5%)
10 (25%)
4 (10%)
7 (17,5%)
Kadar periostin serum bervariasi, dengan nilai
terendah 50,9 ng/ml dan nilai tertinggi 138,2 ng/ml.
Rerata kadar periostin serum sebesar 94,82 ± 19,21
ng/ml dan nilai median 94,7 ng/ml. Pengelompokkan
periostin menggunakan tertil berdasarkan kadar
periostin dengan membagi menjadi periostin rendah,
sedang, dan tinggi
Tabel 2. Kadar periostin serum
Periostin (ng/ml)
Rerata ± Simpangan Baku
Median
Min – Maks
Jumlah
94,82 ± 19,21
94,7
50,9 – 138,2
Kelompok Periostin
Rendah (<89,0 ng/ml)
Sedang (89,0 – 101,0 ng/ml)
Tinggi ( >101,0 ng/ml)
13 (32,5%)
14 (35%)
13 (32,5%)
Perbandingan nilai ACT pada kelompok
obstruksi didapatkan bahwa nilai rerata ACT tertinggi
didapatkan pada kelompok obstruksi ringan, dan
terendah pada kelompok obstruksi berat. Hasil analisis
varian menunjukkan perbedaan bermakna nilai ACT
antar kelompok (p < 0,05), selanjutnya dilakukan uji
Ni Made Dwita Yaniswari, Muhammad Amin : Hubungan Kadar Periostin Serum
lanjut LSD untuk mengetahui kelompok mana yang
berbeda. Hasil uji LSD menunjukkan skor ACT ketiga
kelompok berbeda.
Tabel 3. Perbandingan nilai ACT menurut kelompok FEV1
Kelompok
Obstruksi
Nilai ACT
(rerata ± SD)
Ringan
Sedang
21,50 ± 0,70
17,06 ± 2,54
Berat
14,45 ± 2,84
Nilai p
0,003
Perbandingan kadar periostin serum menurut
derajat kontrol asma dapat dilihat pada tabel 4 dan
gambar 1, rerata kadar periostin serum pada kelompok
tidak terkontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok
terkontrol sebagian. Uji perbandingan kadar periostin
serum menggunakan uji independent t-test disebabkan
oleh karena sebaran data untuk variabel periostin
serum pada tiap kelompok ACT sesuai dengan sebaran
normal. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar
periostin serum penderita dengan asma terkontrol
sebagian dibandingkan kadar periostin serum
penderita dengan asma tidak terkontrol (p < 0,05).
Tabel 4. Perbandingan kadar periostin serum dan tingkat
kontrol asma
Kelompok ACT
Kadar Periostin serum
(rerata ± SD)
Nilai
p
Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol
73,75 ± 19,5
98,54 ± 16,9
0,024
Tingkat Kontrol Asma
Gambar 1. Grafik perbandingan kadar periostin serum
menurut tingkat kontrol asma
PEMBAHASAN
Karakteristik subjek penelitian
Selama periode penelitian mulai bulan Maret
hingga Mei 2018 di Poli Asma/PPOK Dr. Soetomo
Surabaya, didapatkan 40 subjek dengan karakteristik
seperti terlihat pada tabel 1. Sebagian besar sampel
berjenis kelamin perempuan (65%) dengan mayoritas
pekerjaan adalah ibu rumah tangga (47,5%), hal ini
35
dapat dikaitkan dengan ibu rumah tangga yang memiliki
waktu bebas pada pagi dan siang hari sehingga
memungkinkan untuk kontrol berobat di poli pada jam
kerja. Menurut Riskesdas 2013, prevalensi asma
cenderung lebih tinggi pada perempuan dibandingkan
laki-laki.3 Weiss dan Apter mengungkapkan bahwa
prevalensi asma didominasi oleh laki-laki pada usia
anak-anak, prevalensi laki-laki dan wanita menjadi
seimbang setelah pubertas, sedangkan pada usia tua
terjadi pergeseran prevalensi di mana asma didominasi
oleh wanita terutama setelah maenopause.12 Hal ini
dapat disebabkan oleh adanya perubahan hormon
estrogen yang mempengaruhi respons inflamasi jalan
napas. Reseptor estrogen seperti ERα, ERβ, dan Gprotein couple receptor (GPR) memberikan signal Th2
dalam mensekresi IL-4, IL-5 dan IL-13.13
Profil umur penderita yang menjadi subjek
penelitian adalah sekitar 18-55 tahun dengan rerata umur
subjek penelitian 42,25 tahun, hampir mirip dengan studi
oleh Emprm dkk dengan rerata umur sebesar 44,31
tahun.7 Tingkat kontrol asma menunjukkan bahwa
subjek lebih banyak pada asma tidak terkontrol, sebesar
34 (85%). Hal ini sesuai dengan studi oleh Atmoko dkk
yang menyatakan prevalensi asma tidak terkontrol
sebanyak 81 orang (75,7%) dari 107 sampel. 14 Beberapa
survei di negara berkembang menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita asma tidak mencapai kontrol
asma yang adekuat, disebabkan oleh berbagai faktor
seperti terdapat komorbiditas, resisten terhadap terapi,
tidak adekuatnya pengobatan, terpajan faktor pencetus
terus menerus, rendahnya kepatuhan terhadap terapi,
dll.15
Kadar periostin serum menunjukkan bahwa rerata
kadar periostin sebanyak 94,82 ± 19,21 ng/ml, nilai
median 94,7 ng/ml. Hasil ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan studi oleh Matsusaka dkk dengan
nilai median 70,00 ng/ml, tetapi lebih rendah jika
dibandingkan median pada studi Amin dkk sebesar 140
ng/ml.16, 17 Studi Amin dkk juga memeriksa kadar
periostin orang normal, didapatkan median 35 ng/ml
dengan rentan 30-49 ng/ml.17 Pada studi didapatkan
kadar periostin serum memiliki rentang yang luas
bergantung pada karakteristik penderita dan reagen
periostin yang dipergunakan. Belum ditentukan nilai
batas untuk pengelompokkan periostin serum.17, 18
Peneliti mengelompokkan kadar periostin serum
berdasarkan metode tertil sesuai dengan kadar nilai
periostin serum, sehingga didapatkan kelompok kadar
periostin serum rendah, sedang, dan tinggi.
Hubungan nilai ACT berdasarkan kelompok FEV1
Berdasarkan analisis statistik, didapatkan
hubungan bermakna antara FEV1 dengan tingkat kontrol
asma. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa FEV1 yang rendah berkaitan dengan peningkatan
risiko penurunan fungsi paru, sehingga mempengaruhi
tingkat kontrol asma. Beberapa studi yang mengaitkan
FEV1 dengan asma dapat dilihat pada penelitian Alvarez
36
Gutierrez dkk. tahun 2010 yang menunjukkan adanya
korelasi signifikan antara nilai FEV1 dengan tes kontrol
asma. Penelitian Alvarez-Gutierrez dkk tahun 2010
diikuti oleh 441 pasien, didapatkan adanya hubungan
yang signifikann antara FEV1 dan tingkat kontrol asma
(r = 0,19 ; p < 0,01).19
Penelitian oleh Ilyas dkk di RS Persahabatan
tahun 2010, didapatkan hubungan antara ACT dan nilai
spirometri secara statistik signifikan namun lemah (r =
0,382; p < 0,01). ACT dikatakan bermanfaat untuk
melengkapi spirometri untuk menilai kontrol asma dan
prognosis terapi.20 Hasil penelitian Vinh Nhu Nguyen
dkk terhadap 323 pasien asma, didapatkan korelasi
antara nilai ACT dan FEV1 (r = 0,35; p < 0,001).
Menurut Vin Nhu Nguyen, nilai ACT berkorelasi baik
dengan FEV1 dan untuk modifikasi terapi, sehingga
dapat digunakan dalam praktek sehari-hari untuk
membantu penilaian dalam terapi pasien asma.21
Berdasarkan hasil penelitian Atmoko dkk, terdapat
hubungan bermakna antara derajat asma dengan tingkat
kontrol asma, di mana semakin tinggi derajat berat asma
maka semakin rendah tingkat kontrol asma.14
Hubungan kadar periostin serum dan skor ACT
pada penderita asma
Inflamasi saluran napas dan aktivasi imun
merupakan kunci utama etiopatogenesis asma dan
sebagian besar penderita asma berespons baik dengan
terapi asma yang berupa agonis β2 dan kortikosteroid.
Terdapat 5-10 % penderita yang tidak berespons dengan
terapi ini. Diasumsikan bahwa respons yang kurang ini
disebabkan oleh berbagai mekanisme yang mendasari,
termasuk remodeling saluran napas. Pada penderita ini
didapatkan kontrol yang buruk dengan gejala kronik,
seringnya eksaserbasi, dan obstruksi saluran napas yang
menetap walaupun sudah mendapat terapi.4, 19 Tingkat
kontrol asma dapat dinilai dengan ACT. Nilai ACT
merupakan kuesioner yang dapat dilakukan secara
singkat, sederhana, mudah dilakukan sendiri, tersedia,
serta memperlihatkan akurasi secara berkelanjutan.11
Pada beberapa studi sebelumnya, didapatkan
bahwa periostin yang tinggi dihubungkan dengan
inflamasi eosinofilik yang refrakter dan penurunan faal
paru walaupun penderita sudah mendapat terapi
kortikosteroid. Periostin dikatakan merupakan salah satu
biomarker untuk menggambarkan respons yang rendah
serta tidak sensitif terhadap kortikosteroid pada
penderita asma.9, 22 Seluruh sampel pada studi ini telah
mendapatkan terapi asma berupa agonis β2 dan
kortikosteroid dengan tingkat kontrol asma sebagian
besar didapatkan masih tidak terkontrol.
Pada penderita asma tidak terkontrol didapatkan
nilai periostin serum lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan penderita asma terkontrol sebagian
(98,54 ± 16,9 vs 73,75±19,5; p=0,024). Hal ini sesuai
dengan studi oleh Kanemitsu dkk, didapatkan perbedaan
signifikan antara nilai ACT pada penderita asma dengan
periostin serum tinggi dibandingkan rendah (p = 0,02).23
Pada studi oleh Amin dkk juga didapatkan pada
penderita asma tidak terkontrol, didapatkan nilai median
Jurnal Respirasi (JR), Vol. 4. No. 2 Mei 2018: 33-37
periostin serum lebih tinggi dibandingkan asma
terkontrol sebagian dan terkontrol (170 vs 140 vs 67,5; p
= 0,0001).17 Sebaliknya, pada studi yang dilakukan oleh
Matsusaka dkk, didapatkan bahwa nilai periostin serum
dan ACT tidak terdapat hubungan yang signifikan (p =
0,53).16
Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan
ACT. Keterbatasannya berupa beberapa penderita
mungkin tidak merasakan gejala asma. Untuk penderita
yang mungkin tidak merasakan gejala asma, maka sulit
ditentukan berdasarkan skor ACT, pada kondisi tersebut
dapat dideteksi dengan pemeriksaan faal paru. Selain itu,
teknik pemeriksaan yang berbeda, yang mungkin dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan, serta adanya faktor
kelelahan, dapat mempengaruhi proses pembacaan.11
Schazts dkk menyatakan bahwa hanya dengan penilaian
kontrol asma pada satu saat saja belum cukup untuk
memberikan informasi dalam manajemen asma yang
optimal.24
Penelitian Amin dkk menyatakan bahwa periostin
serum menunjukkan peningkatan yang signifikan secara
statistik pada kasus asma tidak terkontrol, obstruksi
berat, peningkatan eosinofil sputum dan darah, resistensi
steroid, serta adanya penyakit atopi lainnya. Peningkatan
jumlah periostin yang persisten pada saluran napas
berkontribusi pada mekanisme peningkatan remodeling
saluran napas dan penurunan faal paru yang lebih
besar.17
Ada beberapa kelemahan penelitian ini, di antaranya
nilai periostin dinilai berdasakan tertil dari literatur dan
tidak ada nilai periostin pada orang sehat, serta tidak
dapat ditentukan kadar periostin serum pada pasien asma
terkontrol penuh (tidak ada sampel pada penelitian ini).
KESIMPULAN
Didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai
ACT dan kadar periostin serum penderita asma. Kadar
periostin tertinggi didapatkan pada kelompok asma tidak
terkontrol, dengan nilai ACT yang lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asthma GIF. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Global Initiative for Asthma, 2017.
2. Shifren A, Witt C, Christie C and Castro M. Mechanisms
of Remodeling in Asthmatic Airways. Journal of Allergy.
2012; 2012: 316049.
3. Indonesia BPDPKKKR. Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas
2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013.
4. Luhadia SK. Steroid Resistant Asthma. The Journal of The
Association of Physicians of India. 2014; 62: 38-40.
5. Barnes PJ. Pathophysiology of Asthma. British Journal of
Clinical Pharmacology. 1996; 42: 3-10.
6. Izuhara K, Matsumoto H, Ohta S, Ono J, Arima K and
Ogawa M. Recent Developments Regarding Periostin in
Bronchial Asthma. Allergology International : Official
Journal of the Japanese Society of Allergology. 2015; 64
Suppl: S3-10.
7. Emprm V, Rajanandh MG and Nageswari AD. Periostin A Novel Systemic Biomarker for Eosinophilic Airway
Ni Made Dwita Yaniswari, Muhammad Amin : Hubungan Kadar Periostin Serum
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Inflammation: A Case Control Study. J Clin Diagn Res.
2016; 10: Oc01-4.
Jia G, Erickson RW, Choy DF, et al. Periostin is a
Systemic Biomarker of Eosinophilic Airway Inflammation
in Asthmatic Patients. The Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 2012; 130: 647-54.E10.
Boushey H, Corry D and Fahy J. Asthma. In: Murray J,
Nadel J and Mason R, (Eds.). Textbook of Respiratory
Medicine. 3rd Edition Ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 2004, P. 1168-216.
Fingleton J, Braithwaite I, Travers J, et al. Serum Periostin
in Obstructive Airways Disease. The European
Respiratory Journal. 2016; 47: 1383-91.
Thomas M, Kay S, Pike J, et al. The Asthma Control Test
(ACT) as a Predictor of Gina Guideline-Defined Asthma
Control: Analysis of a Multinational Cross-Sectional
Survey. Primary Care Respiratory Journal : Journal of the
General Practice Airways Group. 2009; 18: 41-9.
Weis S and Apter J. Asthma. In: Fishman A, Elias J and
Grippi M, (Eds.). Fishman's Pulmonary Disease and
Disorders. 4th Edition Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, 2008, P. 787-8.
De Nijs SB, Venekamp LN and Bel EH. Adult-Onset
Asthma: Is It Really Different? European Respiratory
Review : An Official Journal of the European Respiratory
Society. 2013; 22: 44-52.
Atmoko W, Faisal HKP, Bobian ET, Adisworo MW and
Yunus F. Prevalens Asma Tidak Terkontrol dan FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma
di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31: 53-60.
Chhabra SK. Assessment of Control in Asthma: The New
Focus in Management. The Indian Journal of Chest
Diseases & Allied Sciences. 2008; 50: 109-16.
Matsusaka M, Kabata H, Fukunaga K, et al. Phenotype of
Asthma Related with High Serum Periostin Levels.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
37
Allergology International : Official Journal of the
Japanese Society of Allergology. 2015; 64: 175-80.
Amin MM, Khattab MA, Hassan SA and Sattar HAA.
Serum Periostin as a Unique Biomarker of Bronchial
Asthma. Medical Journal of Cairo University. 2017; 85:
3285-93.
McSharry C and Johnstone S. Periostin as a Biomarker of
Airway Inflammation. Polskie Archiwum Medycyny
Wewnetrznej. 2016; 126: 118-20.
Álvarez-Gutiérrez FJ, Medina-Gallardo JF, Pérez-Navarro
P, et al. Relationship of the Asthma Control Test (ACT)
with Lung Function, Levels of Exhaled Nitric Oxide and
Control According to the Global Initiative for Asthma
(Gina). Archivos de Bronconeumología ((English
Edition)). 2010; 46: 370-7.
Ilyas M, Yunus F and Wiyono WH. Correlation between
Asthma Control Test (ACT) and Spirometry as Tool of
Assessing of Controlled Asthma. Jurnal Respirologi
Indonesia. 2010; 30: 190-6.
Nguyen VN, Chavannes N, Le LT and Price D. The
Asthma Control Test (ACT) as an Alternative Tool to
Global Initiative for Asthma (GINA) Guideline Criteria for
Assessing Asthma Control in Vietnamese Outpatients.
Primary Care Respiratory Journal : Journal of the
General Practice Airways Group. 2012; 21: 85-9.
Simpson JL, Yang IA, Upham JW, et al. Periostin Levels
and Eosinophilic Inflammation in Poorly-Controlled
Asthma. BMC Pulmonary Medicine. 2016; 16: 67.
Kanemitsu Y, Matsumoto H, Izuhara K, et al. Increased
Periostin Associates with Greater Airflow Limitation in
Patients Receiving Inhaled Corticosteroids. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 2013; 132: 305-12.E3.
Schatz M, Sorkness CA, Li JT, et al. Asthma Control Test:
Reliability, Validity, and Responsiveness in Patients Not
Previously Followed by Asthma Specialists. The Journal
of Allergy And Clinical Immunology. 2006; 117: 549-56.