Academia.eduAcademia.edu

Pengadaan Tanah bagi kepentingan Umum

Pengadaan tanah dalam setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. 1 Menurut hemat penulis ada beberapa point yang penting antara lain:

PENGGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Pengertian pengadaan tanah Pengadaan tanah dalam setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. KepRes No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pasal 1 ayat 10. Menurut hemat penulis ada beberapa point yang penting antara lain: yakni dimana pengadaan tanah merupakan pengalihan hak atas tanah dari pihak-pihak bersangkutan kepada pihak pemerintah yang dengan tujuan untuk kepentingan-kepentingan sosial. adapun cara yang dilakukan bagi pengalihan hak tersebut dengan cara ganti rugi, namun begitu tidak menutup kemungkinan ada cara-cara lain yang digunakan dalam peralihan hak tersebut. hal-hal yang dapat beralih tidak hanya terbatas pada milik tanah saja, melainkan juga hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak tanggungan, dan juga hak-hak yang diatur dalam perundang-undangan. Pengadaan tanah dalam Undang-Undang Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa pengadaan tanah merupakan peralihan ha dari satu pihak ke pihak pemerintah yang mana tujuan dari penyerahan hak tanah tersebut demi pembangunan dan kepentingan umum. Hal ini tercantum dalam kepres No. 55 1993 pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “ketentuan tentang pengadaan tanah dalam keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Ibid, pasal 2 ayat (1) lihat juga http:?/www. Walhi. Or.od?kampanye.psda/050516-tlk-perpres-pls/ Artinya secara sederhana pemindahan ha tersebut tidak dapat dilakukan apabila tujuan dari pemindahan hak ini, yaitu untuk kepentingan umum dan pembangunan maka tidak boleh dilakukan. Pemerintah telah mengatur cara-cara pemindahan hak-hak tersebut dimana antara lain: dengan cara jual beli. tukar-menukar. penyerahan secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan seperti yang tercantum pada pasal 2 ayat (3) yang berbunyi: “pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan jalan jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Boedi Harsono, seluk beluk hukum Agraria, bandung: mandar Maju Bandung, 1991, h. 105. Adapun kategori-kategori yang dimaksukan dalam aspek kepentingan umum seperti yang tercantum dalam pasal 5 antara lain: “pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan keputusan presiden ini dibatasi untuk: kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: jalan umum, saluran pembuangan air. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran isrigasi. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal. Peribadatan. Pendidikan atau sekolahan. Pasar umum atau pasar inpres Fasilitas pemakaman umum. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir lahar dan lain-lain. Pos dan telekomunikasi. Sarana olah raga. Stasiun penyiaran radio, televisi, beserta sarana pendukungnya. Kantor pemerintahan. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Selain hal-hal diatas, pembangunan keputusan umum juga (kategori Kep. Umum) diatur juga dalam instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 dan UU No. 20 tahun 1961. Menurut penulis, penulis setuju dengan UU ini yang mengatakan bahwa baik itu penyerahan hak atas tanah, kategori-kategori kepentingan umum dan bagaimana cara pemindahan hak. Namun akan ada baiknya antara kedua belah pihak yang bersangkutan saling terbuka dalam penggunaan atas tanah tersebut. Biasanya pengadaan tanah dalam suatu pemerintahan haruslah sesuatu dengan rencana umum tata ruang daerah yang telah ditetapkan oleh daerah tersebut dan ini penting. Sebagaimana efektifitas dari fungsi bangunan atau apapun untuk kepentingan umum tersebut. Efektifitas untuk sosial, hal ini diatur dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: ‘1) pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan tersebut sesuai dengan dan berdasarkan pada rencana pembangunan tata ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu. 2) bagi daerah yang belum menciptakan rencana umum tata ruang, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota terlebih dahulu. Boedi Harsosno, hukum agraria Indonesia, himpunan peraturan-peraturan hukum tanah, Jakarta: Djanbata, 2006, h. 409 Kontroversi pengadaan tanah dalam Perpres No. 36/2005 Pepres ini jauh lebih represif dan kejam di bandingkan kepres No 55/1993 yang merupakan produk Orde baru, kata ketua yayasan lembaga Bantuan Hukum Indoneisa(YLBHI). Menurutnya dalam kepres No 55/1993 tidak ada klausal tentang pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah, menurut kepres tersebut, hanya bisa dilakukan dengan dua cara yaitu pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah. Dalam kepres No 55/1993 apa yang dimaksud dengan kepentingan umum diurai dalam 14 item, sementara dalam Perpres No 55/ 2005 menjadi 21 item. Menurutnya target perpre No 36/2005 adalah menjamin kepastian investor asing untuk mendapatkan tanah di Indonesia. Perpres ini akan memfasilitasi hasil pertemuan infrastructure Summit beberapa waktu lalu, ujarnya. Secara terpisah, wakil sekretaris jenderal konsorsium pembaharuan agraria (KPA) bidang advokasi, Usep Setiawan mengatakan kelahiran Perpres ini berpotensi memunculkan penggusuran besar-besaran atas nama kepentingan umum. Tidak mustahil penggusuran akan lebih sering terjadi karena pemerintah mempunyai dasar hukum untuk melakukan itu. Rakyat semakin tidak mempunyai posisi tawar terhadap tanah miliknya, katanya. Seperti Munarman, Usep juga mencermati, munculnya perpres tersebut memang terjadi setelah adanya pembicaraan antara pemerintah dengan investor dan pemodal yang intinya meminta kemudahan pemerintah untuk memberikan akses mendapatkan tanah bagi kepentingan usaha mereka. Kecenderungan kedua sangat kuat untuk memperkuat kapitalisme agraria dan memperparah tingkat kesejahteraan masyarakat. Kepentingan ini terjadi karena mudahnya pemodal untuk mendapatkan tanah-tanah takyat, jelasnya. Latar belakang munculnya Perpres ini didasari dari banyaknya kasus terlantarnya proyek pemerintahan, terutama pembangunan infrastruktur karena terganjal pembebasan tanah. Dalam keputusan ini yang termasuk kepentingan umum meliputi sarana dan olah raga, pembuangan sampah, pengairan, pasar, rumah susu, cagar alam, listrik, infrastruktur transportasi darat, laut dan udara. Serta kantor milik lembaga pemerintahan atau organisasi yang bernaung di bawah PBB. Perpres no 36 tahun 2005 ini mengharuskan agar pihak-pihak yang ingin membeli tanah ditempat tersebut harus mendapatkan izin tertulis dari pemerintah terkait. ganti rugi dimungkinkan dalam bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, ataupun kompensasi berupa penyertaan modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu, usep waktu 90 hari untuk menyelesaikan masalah tanah sama sekali tidak realistis, karena pemerintahan mempunyai legalitas sekarang untuk menyelesaikan masalah tanah sesuai dengan kewenangannya sendiri. Sementara Munarman menekankan, hampir seluruh item yang dimaksud sebagai kepentingan umum tersebut perlu dipertanyakan karena kini hampir tak ada proyek yang dikerjakan tanpa melibatkan pihak swasta. Dikhawatirkan, Perpres itu akan dimanipulai oleh kelompok swasta untuk kepentingannya tapi atas nama kepentingan umum. BAB III PENUTUP