Academia.eduAcademia.edu

CARA BERPIKIR ORANG JEPANG: SEBUAH PERSPEKTIF BUDHISME

Budhisme mempunyai prinsip samsara yang berarti menjalani kehidupan dengan mengontrol harapan dan keinginan dengan tujuan dapat mencapai satori. Dalam tradisi pemikiran orang Jepang yang natural, pragmatik dan realistis, telah diaplikasikan dan direkonstruksi dari bonno o tatsu (untuk mengontrol harapan dan keinginan) menjadi bonno o ikasu (membangunkan/ menggerakkan harapan dan keinginan).

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125 CARA BERPIKIR ORANG JEPANG: SEBUAH PERSPEKTIF BUDHISME Siti Dahsiar Anwar Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Budhisme mempunyai prinsip samsara yang berarti menjalani kehidupan dengan mengontrol harapan dan keinginan dengan tujuan dapat mencapai satori. Dalam tradisi pemikiran orang Jepang yang natural, pragmatik dan realistis, telah diaplikasikan dan direkonstruksi dari bonno o tatsu (untuk mengontrol harapan dan keinginan) menjadi bonno o ikasu (membangunkan/ menggerakkan harapan dan keinginan). Abstract Buddhism has samsara principle, which means to undergo the life by restraining the hope and desire with the purpose of achieving satori. However, in the Japanese thought tradition, which is natural, pragmatic and realistic, it has been applied and reconstructed from bonno o tatsu (to control the hope and desire) to be bonno o ikasu (to arouse the hope and desire). Keywords: pragmatic, realistic, naturalistic, Buddhism Nakamura Hajime, adalah seorang guru besar emeritus dari Universitas Tokyo yang memiliki otoritas dalam bidang studi India. Dalam karyanya di atas, Nakamura menoba mengangkat beberapa ciri dari cara berpikir orang Jepang dalam perspektif Budhisme berdasarkan sejumlah data kuno. Misalnya data yang terkandung dalam berbagai Babad Jepang, antologi puisi kuno, serta karya-karya tertulis yang berafiliasi pada ajaran Budha dan Konfusianisme. Pengantar Sejak agama Budha masuk dan menyebar di Jepang yang dimulai sekitar pertengahan abad ke-6 masehi, agama ini telah memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap berbagai aspek kehidupan orang Jepang, terutama dalam cara berpikir mereka (Maeda Egaku, 1986). Agama Budha yang memiliki kaidah-kaidah samsara, yaitu menjalani kehidupan dengan menahan segala nafsu dan penderitaan duniawi guna mencapai satori (pencerahan), setelah masuk ke Jepang diserap dan dilahirkan kembali dalam tradisi berpikir yang naturalistis, pragmatis, dan realistis yang direkonstruksikan dari pola berpikir bonno o tatsu (menahan/menolak nafsu) menjadi pola berpikir bonno o ikasu (menghidupkan nafsu). Sebagai seorang ahli dalam studi India, Nakamura memulai argumennya dengan pembahasan mengenai perkembangan agama dan kebudayaan Budha di India, kemudian ia membandingkannya dengan perkembangan Budha di Cina dan di Jepang sendiri. Bertolak dari situ, secara kronologis berdasarkan data yang ada, Nakamura mencoba mengungkapkan ciri-ciri yang mencerminkan cara-cara atau pola berpikir bangsanya sebagai permasalahan masa kini. Dalam artikel singkat ini, saya mencoba mengungkapkan beberapa aspek yang menjadi ciri khas dalam cara berpikir orang Jepang, berdasarkan perspektif agama Budha Jepang. Untuk itu, karya Nakamura Hajime (1991) yang berjudul Nihonjin no Shii Hoho (Cara Berpikir Orang Jepang) dijadikan sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan beberapa sumber lainnya yang saya anggap relevan. Selain itu, di dalam karyanya tersebut Nakamura – secara langsung maupun tidak langsung– menyanggah pandangan yang menganggap bahwa orang Jepang hanyalah menyerap atau mengadopsi intisari kebudayaan Timur (India dan Cina) semata-mata. 120 121 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125 Menurut Nakamura, orang Jepang justeru secara tegas menerima cara-cara berpikir Budhisme dan Konfusianisme melalui suatu proses akulturasi sesuai dengan cara berpikir dalam tradisi mereka. Dengan demikian, perubahan dalam cara berpikir yang mereka lakukan, tidak berarti menghilangkan nilai-nilai dan pranata-pranata kehidupan masyarakat Jepang yang telah ada sebelumnya, bahkan sebaliknya perubahan tersebut malah memberi peluang untuk terciptanya nilainilai dan pranata-pranata Jepang yang baru sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam uraian pada beberapa sub-bab berikut ini, saya mencoba mengungungkapkan ciri-ciri yang menonjol dalam cara berpikir orang Jepang, meliputi: dunia fenomena dan yang mutlak; paham keduniawian (genseshugi); menerima dan mengakui tabiat manusia yang alami; mengutamakan cinta kasih terhadap manusia (aijo); serta semangat toleransi (kanyou) dan memaafkan (yuwa); kemudian diakhiri dengan uraian penutup dan kepustakaan. Dunia Fenomena dan Yang Mutlak Salah satu ciri yang menonjol dalam cara berpikir orang Jepang, adalah membenarkan apa adanya dunia ini (Nakamura, 1991:13). Bagi orang Jepang dunia fenomena (dunia gejala) yang eksis dalam berbagai ragam gejala, dipandang sebagai sesuatu yang mutlak apa adanya. Bahkan mereka cenderung menolak cara berpikir yang memandang, bahwa sesuatu yang mutlak tersebut berada di tempat yang jauh atau terpisah dari dunia gejala. Cikal-bakal cara berpikir seperti ini, menurut Nakamura, dapat ditelusuri dalam sejarah kebudayaan Jepang di masa lampau. Ide atau gagasan tentang kami, yaitu dewa atau tuhan bagi orang Jepang kuno bukan saja mengandung makna bahwa mereka meyakini segala benda yang ada di dunia ini memiliki roh, tetapi mereka juga mempercayai bahwa dewa-dewa selain dewa manusia berwibawa pula sebagai dewa; serta mengakui bahwa dewa manusia merupakan salah satu perwujudan dari dewa-dewa tersebut. Menurut Nakamura, cara berpikir yang bersifat realistis semacam ini, pada dasarnya bersumber dari dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah agama Shinto, yakni agama asli orang Jepang (Nakamura, 1991:14). Agama Budha yang masuk dan menyebar ke Jepang melalui Cina dan Korea, diterima oleh orang Jepang berdasarkan cara berpikir seperti di atas. Hal ini merupakan salah satu aspek yang menimbulkan adanya perbedaan di antara agama Budha Jepang dengan agama Budha di India dan juga di Cina. Konsep satori bagi agama Budha India, misalnya, diartikan sebagai pencerahan terakhir yang eksistensinya di dunia ini melampaui dunia gejala. Sedangkan di Jepang, hongaku atau satori (pencerahan) tersebut, justru ditarik atau diturunkan ke dalam dunia fenomena itu sendiri (Nakamura, 1991:15). Dengan demikian, salah satu ciri dalam cara berpikir orang Jepang menampakkan tidak adanya sesuatu yang disembunyikan dari manusia. Dunia fenomena bagi orang Jepang, adalah mutlak dunia apa adanya, sehingga segala apa yang ada di dunia nyata, seperti: pohon, rumput, sungai, gunung, bunga, dan lain-lainnya dipandang sebagai perwujudan dari Bussho (sifat Budha). Itulah sebabnya orang Jepang sangat mencintai alam dalam banyak hal, dan juga merindukannya.. Mereka, antara lain melukiskan pohon, rumput, burung, bunga, dan sebagainya pada corak pakaian yang mereka kenakan. Begitu pula dalam hal menu dan cita rasa masakan. Mereka sangat menghargai masakan tersebut sebagaimana bentuk alaminya, sehingga bentuk, warna, dan rasa masakan dipertahankan sealami mungkin. Dalam hal rumah atau tempat tinggal pun demikian. Mereka menghias tokonoma (tempat untuk meletakkan hiasan di bagian ruang tamu pada rumah ala Jepang) dengan bonsai, yaitu pohon yang dikerdilkan dalam pot yang mencerminkan keserasian di antara langit, bumi, dan manusia. Hiasan pada tokonoma tersebut sering pula berupa ikebana, yaitu hasil seni merangkai bunga ala Jepang yang juga mencerminkan keserasian di antara langit, bumi, dan manusia. Selain itu, orang Jepang juga sering melukis fusuma, yaitu pintu sorong atau dinding kertas rumah mereka dengan lukisan burung, bunga, atau lukisan lingkungan alam yang sederhana apa adanya. Hal yang sama juga terjadi dalam seni sastra. Sepertinya sangat sulit untuk memilah antologi puisi Jepang yang luput dari ungkapan sentuhan alam. Karya-karya sastra orang Jepang sangat pekat menunjukkan kecintaan mereka terhadap alam. Lingkungan alam Jepang yang berada dalam cakupan wilayah angin musim, membuat negeri Matahari Terbit itu memiliki iklim sedang dengan pemandangannya yang indah. Kondisi iklim semacam ini, kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu penyebab yang amat potensial dalam melahirkan cara berpikir orang Jepang yang bersifat naturalistis; yaitu cara berpikir yang memandang bahwa “yang mutlak” adalah sama dengan “dunia gejala,” atau “dunia fenomena” adalah merupakan sesuatu “yang mutlak.” Kecuali itu, lingkungan angin musim yang bersifat sedang, menjadikan rerumputan maupun pepohonan tumbuh rimbun dan rindang. Kondisi semacam ini relatif tidak menimbulkan tekanan bagi manusia, bahkan sebaliknya kondisi iklim yang sedang dengan perubahan suhu udara yang tidak ekstrem lebih mendorong timbulnya suasana keakraban ketimbang tekanan. Singkat kata, di tengah lingkungan alam yang dianggap bersahabat tersebut, alam relatif tidak menjadi musuh bagi manusia MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125 Jepang, tetapi malah sebaliknya menyatu dalam kehidupan mereka. Paham Keduniawian (Genseshugi) Agama-agama di dunia pada umumnya, cenderung memandang bahwa dunia fana ini sebagai lingkungan yang kotor dan penuh dosa. Sedangkan dunia kemudian atau dunia setelah kematian, adalah dunia yang suci. Dunia tanpa penderitaan, dunia tanpa kekhawatiran, dan merupakan lingkungan ideal yang dapat dilewati dengan tenang dan tenteram. Akan tetapi, dalam pandangan agama Shinto kuno Jepang tidaklah demikian halnya, karena dalam agama tersebut yang diakui hanyalah nilai di dunia fana ini (Nakamura, 1991:37). Singkatnya, agama Shinto kuno tidak memandang adanya dunia kemudian atau dunia setelah kematian. Ketika agama Budha masuk ke Jepang dan dalam tempo tidak terlalu lama telah menyebar luas ke dalam sendisendi kehidupan orang Jepang, ternyata dalam proses penyerapan ajaran Budha tersebut orang Jepang relatif tidak mengubah paham keduniawian mereka. Bahkan sebaliknya, mereka menuntun dan mengakulturasikan agama Budha ke dalam paham keduniawian yang mereka anut tersebut (Nakamura, 1991:39). Dengan kata lain, orang Jepang tampaknya kurang begitu peduli terhadap sisi ideal dunia menurut agama Budha India dan Cina, bahkan sebaliknya mereka memanfaatkan pandangan keduniawianya dalam proses penyerapan ajaran Budha tersebut. Pandangan tentang “hidup” dan “mati” dalam ajaran Budha India, misalnya, adalah memandang bahwa setiap manusia dengan kekuatan karmanya masing-masing akan berputar dalam lingkaran samsara rokudo (inkarnasi enam jalan/tingkatan), meliputi: (1) jigoku-kai atau dunia neraka; (2) gaki-kai atau dunia setan; (3) chikusho-kai atau dunia binatang; (4) ashura-kai atau dunia dewa galak yang suka perang; (5) ningen-kai atau dunia manusia; dan (6) tenjoo-kai atau dunia peri (alam kayangan). Dalam pandangan orang Jepang, mereka dapat saja melewati lingkaran samsara (reinkarnasi) dari dunia neraka sampai ke dunia peri (kayangan) dengan mudah, yaitu cukup dengan hanya menyatakan niat atau menyebut nama Budha; maka siapa pun orangnya akan terselamatkan dan akan dapat terlahir kembali di dunia manusia (Nakamura, 1991:41-45). Berkaitan dengan pemikiran di atas, Shinran Shonin (1173-1262), seorang pemuka salah satu sekte Budha Jepang Jodoshinshu, memberikan fatwa yang berbunyi: “zenninnna o mote ojo o togu, iwan ya akunin o ya” (Kasahara, 1985:136), yang secara harafiah berarti: “orang baik dapat terselamatkan, apalagi orang jahat.” Fatwa Shinran ini mempertegas bahwa orang jahat yang 122 menyadari dengan sejujurnya akan kejahatannya, akan lebih sukuwareta (terselamatkan) ketimbang orang baik yang lebih mengiakan atau menyetujui basa-basi pujian sebagai orang baik bagi dirinya dari orang lain. Dengan kata lain, seseorang dapat dikategorikan sebagai “orang jahat” dan “orang baik” berdasarkan orientasi kesadaran dirinya sendiri. Oleh karena itu, menurut Shinran, “orang baik” (zennin) adalah orang yang dengan sepenuh hati menyadari bahwa dirinya adalah “orang yang jahat” (orang yang tidak baik), karena ia tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari nafsu keduniawian namun selalu berusaha untuk mendapat keselamatan dari Budha. Sedangkan “orang jahat” (akunin), adalah orang yang sangat merasa yakin bahwa dirinya adalah orang yang baik, dan oleh karenanya ia merasa sudah pasti terselamatkan oleh Budha. Agama Budha yang mengalami akulturasi dengan cara berpikir orang Jepang seperti di atas, juga banyak tercermin dalam antologi puisi Jepang mulai sekitar abad ke-7. Misalnya dalam sebuah gubahan Otomo Tabito (665 – 751), seorang penyair Jepang pada zaman Nara (abad ke7–8 M), yang sebagai- mana dikutip dari Nakamura (1991:38-39) berbunyi: Kono yo ni shi tanoshiku araba komu yo ni wa mushi ni tori nimo ware wa nari namu Ikeru mono tsuhi ni mo shinuru mono ni araba ima aru hodo wa tanoshiku arana Terjemahannya, lebih kurang sebagai berikut: Bila di dunia ini telah ku reguk segala bahagia, ku rela terlahir kembali sebagai unggas atau pun serangga. Bila dikatakan yang hidup ini akhirnya kan mati jua, kini selagi ku hidup kan kuraih segala bahagia. Melalui untaian syair di atas, pada satu sisi Otomo Tabito ingin mengungkapkan kesadaran orang Jepang terhadap lingkaran inkarnasi yang harus mereka lalui, dan di sisi yang lain secara eksplisit ia bermaksud mengambarkan bagaimana ajaran agama Budha yang diyakini oleh orang Jepang diekspresikan ke dalam paham keduniawian yang mereka anut, dengan memandang dunia fana ini sebagai tujuan akhir bagi keyakinan agama Budha Jepang. 123 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125 Menerima dan Mengakui Tabiat Manusia yang Alami Seperti halnya ketika orang Jepang berusaha menerima dan membenarkan makna “apa adanya” dari dunia alam semesta ini, maka begitu pula pandangan mereka terhadap perasaan dan keinginan alami manusuia normal. Mereka mengakui perasaan dan keinginan nafsu manusia normal “apa adanya,” bahkan ada kecenderungan mereka untuk tidak mengendalikan atau menahan nafsu tersebut (Nakamura, 1991:58). dengan.” Dalam pandangan agama Budha Jepang, di antara dunia nafsu dengan dunia agama sulit untuk dibedakan “mana yang sebab” dan “mana yang akibat,” karena kaitan kedua dunia tersebut sangat erat. Tampaknya merupakan suatu yang dibenarkan oleh pandangan orang Jepang, bahwa di antara cinta dan nafsu seksual dengan yang bersifat keagamaan, bukanlah merupakan suatu paradoks. Mengutamakan Cinta Terhadap Manusia Kasih (Aijo) Di zaman kuno, orang Jepang banyak menciptakan lagu-lagu cinta dengan cara pengungkapan terus terang dan gembira. Kecenderungan seperti ini, hingga sekarang pun masih sangat mencolok. Begitu juga ketika Konfusianisme yang asketis (ascetis) tengah marak-maraknya dianut masyarakat Jepang pada zaman Edo (abad ke-17—19 M), para Konfusianis Jepang mengalami kesulitan untuk menginterpretasikan makna etis dalam gubahan-gubahan puisi mereka, karena bisa jadi hasilnya akan paradoks dengan pola ideal yang mereka dambakan. Ciri lainnya dalam cara berpikir orang Jepang, adalah menjunjung tinggi sosok atau wajah alami manusia sebagai representasi dari pengutamaan cinta kasih (aijo). Sesuatu yang merupakan kemurnian cinta kasih terhadap orang lain, yang dalam agama Budha disebut jihi (karuna), sangat diutamakan dan karenanya ditekankan untuk dipahami secara mendalam oleh para penganut agama Budha Jepang. Bahkan di kalangan bushi (prajurit/militer), terutama dalam pandangan bushido (jalan hidup bushi) hal ini menjadi salah satu aspek moral yang amat penting. Dalam bentuk penerimaan agama Budha pun, kecenderungan orang Jepang seperti ini sangat kuat. Sekadar contoh, misalnya penghapusan disiplin/kaidah agama Budha yang di dalam agama Budha di India maupun di Cina tidak terjadi. Aliran agama Budha yang ketat dalam menjalankan disiplin keagamaan, tampaknya sulit untuk diterima oleh orang Jepang. Jika dalam ajaran agama Budha India emosi dan nafsu keduniawiaan merupakan sesuatu hal yang harus dihilangkan, namun pandangan semacam ini malah menjadi sebaliknya di Jepang. Bahkan orang Jepang dipandang lebih bersimpati kepada pribadi dirinya sendiri daripada mengindahkan kedisiplinan atau kaidah agama. Di Jepang pada masa lampau, seperti halnya juga di negara lain, peperangan bukanlah sesuatu yang asing. Seusai perang, orang yang selamat dari peperangan biasanya akan mendoakan arwah teman-temannya yang telah gugur. Akan tetapi di Jepang, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka bahwa pihak yang menang perang itu bukan saja mendoakan arwah bagi pihak mereka sendiri, tetapi juga mendoakan arwah di pihak lawan yang gugur dalam peperangan tersebut. Sebagai contoh, ketika berakhirnya perang “genkou” atau “bun ei – koan no eki,” yaitu perang antara Jepang dengan Cina (Mongol) pada pertengahan zaman Kamakura (1185-1335), Shogun Hojo Tokimune (1251-1248) sebagai pemegang tampuk kekuasaan ketika itu, menyatakan belasungkawa bukan hanya bagi anak buah, sahabat, dan kerabatnya yang gugur dalam peperang tersebut, tetapi juga terhadap arwah lawan-lawannya. Kegiatan yang bersifat keagamaan seperti ini, banyak ditemukan setelah berakhirnya perang Jepang – Cina. Ritual-ritual tersebut berpijak pada ajaran yang paling khas dalam agama Budha, di mana kawan atau pun lawan, semuanya akan “terselamatkan” dengan cinta kasih Budha. Pendeta Nichiren (1222-1282) dalam pengakuannya mengungkapkan, bahwa: “fureshiki ni mo namida, tsuraki ni mo namida,” yang artinya: “dalam susah air mata, dalam senang pun air mata.” Sedangkan Onkou (1718-1804), seorang pendeta Budha sekte Shingon, juga mengungkapkan: dotoku to wa ningen no shizen no honsei ni shitagau koto da. Artinya, “yang disebut dengan moral adalah sesuatu yang mengikuti tabiat alami manusia”. Oleh karena itu, terhadap beberapa kebiasaan seperti: meminum minuman keras, memakan daging, melakukan hubungan seksual dan perbuatanperbuatan lainnya yang di dalam agama Budha di India maupun di Cina dilarang, namun di dalam agama Budha Jepang tidak secara tegas dipermasalahkan. Dalam agama Budha di India dan Cina, dunia nafsu dengan dunia agama dibedakan secara tegas. Sebaliknya, kedua dunia yang berlawanan ini di Jepang menjadi “sousoku,” yang secara harafiah berarti “sama Semangat Toleransi Memaafkan (Yuwa) (Kanyou) dan Dalam interaksi di antara sesama warga masyarakat sepanjang perjalanan sejarah Jepang, tampaknya semangat untuk bertoleransi dan saling memaafkan, merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam cara berpikir orang Jepang ketimbang semangat untuk saling menaklukkan. Akan tetapi, bukan berarti sejak dulu MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125 124 tidak pernah terjadi hubungan saling mengalahkan bahkan saling menaklukkan di antara sesama mereka. Shinto), dan sebaliknya kami adalah pengejawantahan hotoke. Sesungguhnya, semangat untuk bertoleransi dan saling memaafkan di sini, lebih dilandasi oleh ketatnya kontrol sosial dan kuatnya tekanan terhadap individu orang Jepang di dalam kehidupan bermasyarakat, jika dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Dengan demikian, dari segi kesadaran subyektif masing-masing orang Jepang, jelas sekali yang tampak muncul ke permukaan adalah semangat toleransi dan saling memaafkan tersebut. Ada beberapa alasan yang memungkinkan lahirnya pemikiran di atas. Pertama, akulturasi ajaran agama Budha dan Shinto serta penyatuan para dewa Budha dengan para dewa Shinto yang bersifat sinkretis itu, pada dasarnya bersifat fungsional bagi orang Jepang. Dalam arti, ajaran apa pun dan dewa mana pun akan diterima dan dipandang baik, sepanjang tidak mendatangkan gangguan bagi ketertiban sosial masyarakat mereka. Bahkan ketika orang Jepang menerima aturan hukum agama dari luar yang bersifat universal, dalam interpretasi mereka sangatlah menonjol kecenderungan untuk menyerasikannya dengan perkembangan zaman yang berlaku, serta menyesuaikannya dengan tradisi dan selera masyarakat mereka sendiri. Orang Jepang tidak membenci secara serius orang yang berdosa. Salah satu contoh, tidak ada bentuk hukuman sadis dalam sistem hukum Jepang. Meskipun ada model hukuman yang disebut “haritsuke,” yaitu suatu bentuk hukuman mati pada sekitar abad ke-16 dengan cara memaku seluruh tubuh orang yang dihukum yang dibaringkan di atas sebilah papan, tetapi itu merupakan sebuah model hukuman yang ditiru dari Barat dan baru dikenal di Jepang setelah memasuki abad ke-16. Diperkirakan model hukuman tersebut merupakan pengaruh dari orang-orang Kristen yang menyebarkan ajaran Kristen ke Jepang. Begitu pula dengan model hukuman lainnya yang disebut “hikei” atau “hiaburi,” yaitu hukuman bakar yang dilakukan terhadap orang Jepang penganut Katholik pada abad ke-16, sehubungan dengan dilarangnya agama Katholik pada masa itu. Selain itu, dalam pemikiran orang Jepang, pandangan tentang “kualat seumur hidup” atau “berdosa selamalamanya,” tidak sempat mendarah-daging dalam pranata kehidupan mereka. Bagi orang Jepang, tak peduli apakah seseorang itu orang baik atau orang jahat, jika ia meninggal dunia (mati), mereka akan terselamatkan oleh Budha. Oleh karena itu, dalam pemikiran mereka, bagaimana pun jahatnya seseorang semasa hidupnya, jika ia telah meninggal maka ia tidak lagi akan terbebani tanggung jawab apa pun, karena semua orang yang mati akan menjadi Budha dan disebut dengan istilah “hotoke” (dewa Budha). Bahkan dapat saja terjadi fenomena sebaliknya, yaitu ketika seseorang yang dianggap jahat semasa hidupnya, namun setelah ia meninggal menjelma menjadi roh yang istimewa, kuburannya dianggap keramat dan dikunjungi banyak peziarah. Semangat toleransi orang Jepang juga tampak dalam pertemuan agama Shinto dan Budha, terutama adanya perpaduan di antara dewa-dewa Shinto dengan dewadewa Budha. Agama Budha Jepang sudah sejak awal penyebarannya sangat akrab dengan Shinto, sehingga membuahkan kesatuan di antara Budha dan Shinto sebagaimana tercermin dalam konsep “honchisuijaku.” Suatu pemikiran yang memandang bahwa “hotoke” (dewa Budha) adalah pengejawantahan “kami” (dewa Kedua, setelah agama Budha menyebar ke berbagai pelosok negeri Jepang, terlihat kecenderungan pada sebagian besar sekte agama Budha Jepang untuk memandang bahwa kaidah hukum agama mereka harus “jikisoou,” yaitu harus sesuai dengan waktu dan ruangnya. Bahkan kalangan Konfusianist Jepang pada zaman Edo (abad ke-17 s/d abad ke-19), acap kali menolak doktrin-doktrin yang mereka anggap tidak sesuai dengan “nihon no michi” (cara Jepang). Kecenderungan cara berpikir orang Jepang seperrti ini, mengandung dua resiko. Ketika cara berpikir mereka terlalu menekankan pada kekhasan waktu dan menjauh dari yang universal, maka pemikiran orang Jepang akan mudah menjadi suatu occasionalisme yang sangat lentur terhadap waktu dan keadaan tertentu. Sebaliknya, jika cara berpikir mereka terlalu menekankan pada kekhususan yang bersifat ruang, maka mereka akan mudah terjerumus ke dalam pemikiran yang bersifat sentralisme etnik yang kerdil dan picik. Penutup Dalam keseluruhan paparan di atas, saya telah mencoba mengungkapkan beberapa ciri yang menonjol dalam cara berpikir orang Jepang yang bersifat naturalistis, pragmatis, dan realistis. Suatu pola berpikir yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari akulturasi ajaran agama Budha, agama Shinto, dan Konfusianisme, yang pada gilirannya melahirkan berbagai sekte agama Budha Jepang yang bersifat sinkretis. Semua perbedaan dalam berbagai ajaran agama yang mereka terima, ternyata tidak menimbulkan paradoks bagi orang Jepang, bahkan sebaliknya, semuanya serba harmonis dan serasi, semuanya serba bermakna dan berfungsi dalam kehidupan orang dan masyarakat Jepang, sesuai dengan perkembangan zamannya baik dari sisi waktu maupun dari sisi ruang. 125 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125 Bagi masyarakat Jepang modern di abad ke-21 ini, adanya pola berpikir yang bersifat naturalistis, pragmatis, dan realistis tersebut di atas—secara langsung maupun tidak langsung— ikut andil dalam menampilkan suatu “kontradiksi tetapi serasi” di antara wajah masyarakat Jepang yang bersifat shukyoteki (agamis) di satu sisi, dengan wajah masyarakat Jepang yang gensezokuteki (modern, sekuler) di sisi yang lain. Daftar Acuan Egaku, Maeda, Miyasaka Yusho. 1986. Bukyo ‘Agama Budha–Penyebaran dan Perubahannya.’ Osaka: Shoseki. Edisi pertama. Eichiro, Ishida. 1973. Nihon Bunka Ron ‘Argumentasi Kebudayaan Jepang.’ Tokyo: Chikuma Shobo. Edisi ke-12. Hajime, Nakamura. 1991. Nihonjin no Shii Hoho atau Cara Berpikir Orang Jepang. Tokyo: Shunjusha. NHZ jilid III. Ichiro, Hori. 1985. Nihon no Shukyo (Agama Jepang). Tokyo: Miraisya. Kazuo, Kasahara. 1973. Nihonshi Kenkyu ‘Studi Sejarah Jepang.’ Tokyo: Yamakawa Shuppansha. Edisi ke-10. Masahiro, Kusunoki. 1974. Risei to Shinko ‘Kepercayaan dan Akal Budi.’ Tokyo: Miraisya. Mitsuda, Ino Ue. 1989. Nihon Jodokyo (Ajaran Jodo Jepang). Tokyo: Ymakawa Shuppansha. Teruji, Ishizu. 1971. Shukyo Keiken no Kisoteki Kozo ‘Struktur Dasar dan Pengalaman Beragama.’ Tokyo: Sobunsya. Edisi 4.