Academia.eduAcademia.edu

Pemahaman Aktivitas Psikis Manusia Sebagai Modalitas Konselor

Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam

Manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna di muka bumi ini memiliki kompleksitas dinamika psikologis yang tidak mudah dipahami begitu saja.Untuk mencapai pemahaman yang holistik diperlukan berbagai pendekatan, dan salah satunya adalah Ilmu Psikologi, yang kajian utamanya selain sikap dan perilaku, juga aktivitas psikis manusia. Pemahaman yang holistik tentang aktivitaspsikis manusia ini terkait dengan tiga hal, yaitu aktivitas kognitis, konatif dan aktivitas afektif. Hal ini karena menjadi bagian dari tuntutan kompetensi akademikdan profesionalisme konselor. Oleh sebab itu, dengan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang aktivitas psikis manusia ini, seorang konselor diharapkan lebih dapat dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dalam membantumanusia keluar dari permasalahannya, khususnya dalam pelayanan bimbingan dankonseling.

1 PEMAHAMAN AKTIVITAS PSIKIS MANUSIA SEBAGAI MODALITAS KONSELOR A. Said Hasan Basri Abstract Manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna di muka bumi ini memiliki kompleksitas dinamika psikologis yang tidak mudah dipahami begitu saja. Untuk mencapai pemahaman yang holistik diperlukan berbagai pendekatan, dan salah satunya adalah Ilmu Psikologi, yang kajian utamanya selain sikap dan perilaku, juga aktivitas psikis manusia. Pemahaman yang holistik tentang aktivitas psikis manusia ini terkait dengan tiga hal, yaitu aktivitas kognitis, konatif dan aktivitas afektif. Hal ini karena menjadi bagian dari tuntutan kompetensi akademik dan profesionalisme konselor. Oleh sebab itu, dengan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang aktivitas psikis manusia ini, seorang konselor diharapkan lebih dapat dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dalam membantu manusia keluar dari permasalahannya, khususnya dalam pelayanan bimbingan dan konseling. A. Pendahuluan Proses bimbingan dan konseling yang berlangsung di sekolah-sekolah di Indonesia saat ini, telah melewati era baru dengan paradigma baru yang lebih jelas dan terarah sesuai dengan harapan dunia pendidikan. Seperti yang dikatakan Willis1 bahwa paradigma baru tersebut terkait dengan landasan-landasan filosofis bimbingan dan konseling yang meliputi: (1) pedagogis, yakni suatu landasan yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual di antara peserta didik. (2) potensial, hal ini dimaksudkan layanan bimbingan dan konseling lebih diarahkan pada pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik sebagai individu. Adapun kelemahannya secara berangsur-angsur akan diatasinya sendiri. (3) humanistikreligius, artinya pendekatan terhadap peserta didik haruslah manusiawi dengan 1 Willis, S.S., Konseling Individual, teori dan Praktek. Cet Kelima. Bandung: Avabeta. 2010., hlm. 28 2 landasan ke-Tuhanan, dan peserta didik sebagai manusia dianggap sanggup mengembangkan diri dan potensinya. (4) profesional, yaitu proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara profesional atas dasar filosofis, teoritis, berpengetahuan dan berketerampilan serta berbagi teknik bimbingan dan konseling. Orientasi baru dalam bimbingan dan konseling tersebut telah mengarahkan pemberian layanan bimbingan di sekolah kepada peserta didik untuk lebih mengedepankan dan mengutamakan pengembangan dan pencegahan, bukan lagi menitik beratkan pada pendekatan kuratif yang bersifat klinis-terapiutik yakni hanya berupaya menangani para peserta didik yang bermasalah saja. Padahal menurut Willis2, kenyataannya di sekolah jumlah peserta didik yang bermasalah atau berperilaku menyimpang mungkin hanya satu atau dua orang saja atau dari 100 (seratus) orang peserta didik, paling banyak 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) persen (5% – 10%). Selebihnya, peserta didik yang tidak memiliki masalah (90-95%) kerapkali tidak tersentuh oleh layanan bimbingan dan konseling. Sehingga, bimbingan dan konseling memiliki citra buruk dan sering dipersepsi keliru dengan anggapan bimbingan dan konseling merupakan “polisi sekolah”, tempat menangkap dan menghukum peserta didik yang melakukan pelanggaran tata tertib dan aturan atau tindakan indisipliner. Orientasi baru penyelenggaraan layanan bimbingan konseling tersebut juga telah mendorong pendekatan yang lebih humanis dan mengedepankan konsep positif dalam penanganan peserta didik. Hal ini tentu menjadi linier dengan kajian psikologi, yang banyak mengurai aktivitas psikis manusia. Sehingga pelayanan bimbingan dan konseling bagi peserta didik dipusatkan pada tugas-tugas perkembangan peserta 2 Willis. S.S., Op.Cit., hlm. 27 3 didik sebagai fokus pengembangan diri. Hal ini juga tidak lepas dengan konsep bimbingan dan konseling itu sendiri yang secara praktis diaplikasikan dalam seting dunia pendidikan, mulai dari level Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT), yang sasarannya adalah peserta didik. Di sisi lain, era globalisasi yang berkembang dewasa ini telah membawa perubahan besar pada kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Termasuk peserta didik sebagai masyarakat sekolah. Semakin majunya media informasi telah membawa perubahan pada segala bidang baik budaya, tatanan nilai, maupun norma masyarakat, sistem pendidikan, serta perekonomian dan lain sebagainya. Bangsa Indonesia yang sejak runtuhnya orde baru kemudian memasuki era reformasi. Sedikit banyak telah membawa berbagai perubahan terhadap berbagai segi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Kebebasan dalam banyak hal dengan mengatasnamakan hak asasi semakin marak mewarnai dunia modern saat ini. Sehingga tidak heran jika kebebasan tersebut membawa dampak. Misalnya, kebebasan mengekspresikan diri di kalangan remaja, yang dalam banyak kasus sering salah tempat dengan membentuk kelompok-kelompok atau genk-genk, yang pada akhirnya bentrok dan terlibat tawuran antar kelompok atau genk. Fenomena tersebut di atas, perlu dicari solusi yang tepat agar konsekuensikonsekuensi perubahan tersebut tidak semakin bertambah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pencegahan terhadap berbagai kemungkinankemungkinan seperti yang tersebut di atas, serta pengembangan diri dengan pendidikan yang lebih tepat bukan hanya tuntutan prestasi dan kompetensi semata, tetapi aspek-aspek sosial yang mengandung nilai-nilai sosial yang baik serta aspekaspek psikologis yang mengedepankan pendekatan pendidikan termasuk bimbingan 4 dan konseling yang lebih humanis. Selain itu, pastinya pendekatan moral yang menekankan niai-nilai religius. Selain itu, tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana dijabarkan dalam pasal 4 UU no 20 tahun 2002 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa”.3 Di samping itu, penyempurnaan kurikulum pendidikan yang telah dilakukan Departemen Pendidikan Nasional dengan menekankan pada basis kompetensi dasar dalam rangka meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia yang dapat merespon tantangan perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional4 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Pendidikan Nasional mengamanatkan kurikulum KTSP,5 dengan mengacu kepada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).6 Menindaklanjuti kebijakan pendidikan yang diamanatkan undang-undang tersebut, konselor sekolah atau guru pembimbing sebagai elemen utama dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan penyelenggaraan 3 Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2002, Tentang Tujuan Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 5 Peraturan Pemerintah RI. Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Pendidikan Nasional. 6 Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta. 2008., hlm 4. 4 5 pendidikan berwawasan khusus di tingkat sekolah tersebut, dituntut untuk memahami berbagai paradigma baru yang terkandung di dalamnya yaitu mengenai kerangka dasar KTSP, prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum KTSP, komponen-komponen KTSP, tujuan penyelenggaraan sekolah dan standar isi, kompetensi lulusan, struktur program, pelaksanaan KTSP yang berhubungan dengan pengorganisasian dan pembelajaran serta evaluasi atau penilaian. Pemahaman dalam prespektif KTSP tersebut, konselor sekolah atau guru pembimbing diharapkan mampu mengembangkan kurikulum yang mengarah pada pengembangan kecakapan hidup (life skill) peserta didik. Kecakapan hidup tersebut meliputi kecapakan umum dan kecakapan spesifik seperti kecakapan personal, sosial, akademik dan vokasional7. Di samping itu, guna mewujudkan visi pendidikan nasional yang mencanangkan tahun 2025 sebagai tonggak pencapaian insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif (insan kamil atau insan paripurna), Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 42, juga menuntut bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, dalam rangka mendukung terwujudnya visi dan tujuan pendidikan nasional8. Hal ini diperkuat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, Pasal 8 yang menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani. Sertifikat pendidik bagi guru dalam jabatan diperoleh melalui sertifikasi 7 Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. Op. Cit., hlm 5 8 Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. 6 dengan penilaian portofolio atau melalui jalur pendidikan. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial9. Melihat pentingnya peningkatan kualitas dan kompetensi serta profesionalisme guru pembimbing atau konselor sekolah dalam mewujudkan tujuan dan visi pendidikan nasional tersebut. Maka konselor sekolah atau guru pembimbing hendaknya perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam perannya sebagai pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah. Artinya guru pembimbing harus memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan fungsinya. Salah satu modalitas yang dapat membantu tugas profesionalisme konselor sekolah atau guru pembimbing adalah pengetahuan yang memadai tentang peserta didik sebagai manusia yang unik, kompleks dengan aktivitas-aktivitas psikis yang khas. Pengetahuan tentang aktivitas-aktivitas psikis manusia ini dapat dipelajari dalam ilmu psikologi. Psikologi dalam aplikasi perannya sebagai ilmu tentang perilaku manusia, telah memancang kapasitasnya bagi bimbingan dan konseling. Hal ini menjadi salah satu modal, yang kemudian secara jelas telah dituangkan sebagai landasan bimbingan dan konseling. Menurut Yusuf dan Nurihsan10 (2010: 157) sasaran bimbingan dan konseling adalah peserta didik (baik siswa ataupun mahasiswa) yang merupakan pribadi-pribadi yang dalam proses perkembangan ke arah kematangan. Masingmasing sasaran tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan bersifat unik. Artinya, terdapat perbedaan individual menyangkut kecerdasan, emosi, sikap, kebiasaan, dan kompetensi, serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu, pemahaman 9 10 Undang-Undang RI. Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Yusuf, S.L.N. & Nurihsan, J. Landasan Bimbingan dan Konseling. Cet. Kelima. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2010., hlm. 157. 7 yang mendalam tentang aktivitas psikis manusia sebagai pribadi mutlak harus dimiliki oleh konselor sekolah atau guru pembimbing. Individual differences yang khas dan unik pada karakteristik sasaran inilah yang membutuhkan psikologi sebagai ilmu yang membahas perilaku manusia. Apalagi menurut Yusuf dan Nurihasan11 peserta didik sebagai sasaran bimbingan dan konseling berada dalam proses perkembangan menuju ke arah kematangan. Proses perkembangan itu sendiri tidak selalu berlangsung linier (sesuai dengan arah yang diharapkan atau norma yang dijunjung tinggi), tetapi bersifat fluktuatif dan bahkan terjadi stagnasi atau diskontinuitas perkembangan. Apalagi peserta didik seringkali dihadapkan pada persoalan-persoalan perkembangan. Sehingga menimbulkan masalah-masalah psikologis. Baik masalah yang terkait dengan persoalan-persoalan pribadi, sosial, belajar dan karir. Misalnya dalam bidang sosial, peserta didik sering menghadapi masalah adaptasi atau penyesuaian diri. Berdasarkan uraian tersebut di atas, memperjelas gambaran bahwa memang selayaknya jika konselor sekolah atau guru pembimbing membekali diri dengan modalitas pengetahuan, kompetensi dan skill yang memadai. Salah satu modalitas tersebut, yakni pengetahuan tentang aktivitas-aktivitas psikis manusia, yang akan diurai lebih lanjut sebagai upaya memberikan gambaran yang lebih luas bahwa pengetahuan tentang aktivitas psikis manusia ini sangat penting dan bermanfaat dalam implementasi pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. 11 Yusuf, S.L.N. & Nurihsan, J. Op. Cit., hlm., 157 8 B. Konsep manusia dan hakikatnya Manusia merupakan satu-satunya makhluk sempurna yang di diciptakan Allah SWT, karena selain dikaruniai fisik yang bagus juga dikaruniai akal sebagai modalitas utama dalam proses berpikir dan berperilaku di samping hati sebagai pusat kendali dari perasaan manusia. Oleh sebab itu, untuk mengetahui hakikat dirinya, manusia selalu memikirkan apa, dan siapa dirinya, sehingga untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut manusia berfilsafat untuk menemukan konsep teoritis dari pertanyaan-pertanyaan itu. Pembahasan tentang hakikat manusia sifatnya sangat kompleks, banyak sekali ahli yang mengemukakan konsep hakikat manusia ini. Bertens12 menyebut manusia sebagai homo sapiens, yaitu manusia arif yang memiliki akal budi dan mengungguli semua makhluk hidup yang lain. Manusia juga disebut sebagai homo faber, yaitu manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan memproduksi alatalatnya sendiri. Di samping itu manusia juga dikatakan sebagai homo ludens, yaitu manusia yang bermain khususnya kaitan antara permainan dan kebudayaan manusia13. Menurut Stevenson dan Haberman14 konsepsi hakikat manusia dapat dilihat dari manusia sebagai individu. Hal ini berkaitan dengan makna dan tujuan hidup, apa yang sebaiknya dilakukan, diusahakan, dan apa yang diharapkan. Kedua adalah manusia sebagai masyarakat, berkaitan dengan visi komunitas manusia yang bagaimnana yang diharapkan terwujud dan perubahan sosial apa yang harus 12 Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT. Gramedia. 1987., hlm. 1 Bertens, K. Op. Cit., hlm. 1 14 Stevenson, L. dan Haberman, D. L. Sepuluh Teori: Hakikat Manusia. Terjemahan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2001., hlm. 3 13 9 dilakukan. Menurut Marx dalam Stevenson dan Haberman15 juga mengatakan bahwa hakikat riil manusia adalah keseluruhan hubungan-hubungan sosial. Marx menolak adanya Tuhan dan menganggap bahwa tiap pribadi adalah produk dari tahapan ekonomis tertentu dari masyarakat manusia tempat orang hidup. Manusia sebagai individu juga memiliki kebebasan untuk memutuskan apa yang diinginkannya (Sartre dalam Stevenson dan Haberman16. Thomas Aquinas memandang manusia dari akalnya yang mampu mengenali kebenaran dalam kawasan yang ilmiah. Manusia sebagai pribadi adalah makhluk individual yang dianugrahi kodrat rasional, yang disebut makhluk individual, kalau hidup adalah makhluk yang merupakan kesatuan antara jiwa dan badan, maka sejauh jiwa sudah bersatu dengan badan, haruslah disebut sebagai pribadi yang utuh (Dister dalam Sutrisno dan Hardiman17. Bagi Aquinas, tidak ada pra-eksistensi jiwa sebelum dipersatukan dengan badan18. Menurut Khan pribadi adalah sesuatu yang sadar akan identitas numerik mengenai dirinya sendiri pada waktu yang berbeda-beda. Jiwa itu sadar, maka jiwa adalah pribadi. Manusia tidak hanya menerima, menilai, dan menyusun teori mengenai yang ada, namun juga menjadi agen dalam melakukan sesuatu dalam mempengaruhi dunia. Menurutnya manusia melakukan A karena ingin meraih B, manusia percaya dalam keadaan seperti ini A akan menjadi jalan paling efektif untuk mencapai B, yang diistilahkan sebagai “imperatif hipotesis”19. 15 Stevenson, L. dan Haberman, D. L. Op. Cit., hlm. 4 Ibid., hlm 4 17 Sutrisno, M dan Hardiman, F. B. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius.1992., hlm. 40 18 Hadiwiyono, H. Sari Sejarah Filsafat I. Yogyakarta: Kanisius. 1980., hlm. 110 19 Stevenson, L. dan Haberman, D. L. Op. Cit., hlm. 176-177 16 10 Kapasitas unsur kehidupan yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, dapat berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Baik perubahan fisiologis maupun perubahan-perubahan dalam segi psikologis. Menurut Walgito20, bagaimana manusia berkembang juga dipengaruhi oleh factor-faktor lingkungan, selain kapasitas yang dimiliki tentunya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan terhadap dirinya sendiri, manusia mutlak dapat menentukan tindakan dan keinginannya sendiri. Jika manusia melakukan sesuatu, itu karena ada alasannya, atau dengan kata lain, manusia bertindak karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia juga dapat mengembangkan dirinya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial yang dapat hidup bermasyarakat. C. Konsepsi psikologi tentang manusia Psikologi berasal dari kata “psyche” yang berarti “jiwa” dan “logos” yang berarti “ilmu” atau “ilmu pengetahuan”. Oleh sebab itu, kata psikologi sering diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa atau ilmu jiwa21, karena jiwa itu sendiri tidak tampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi adalah perilaku atau aktivitas yang merupakan manifestasi atau penjelmaan dari kehidupan jiwa (psikis) itu sendiri. Oleh sebab itu psikologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas hidup kejiwaan. Perilaku itu sendiri meliputi 20 Walgito, B. Pengantar Psikologi Umum. Edisi Refisi. Cet. Kelima. Yogyakarta: Andi Offset. 1997., hlm. 43 11 perilaku yang tampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak tampak (covert behavior) atau aktivitas motorik, kognitif dan emosional manusia22. Atkinson dkk23 juga sependapat bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia. Akar psikologi dapat ditelusuri pada abad keempat dan kelima sebelum masehi. Ahli filsafat Yunani Socrates, Plato, dan Aristoteles mengajukan pertanyaan fundamental tentang pikiran. Sedangkan Hipokrates, (bapak kedokteran) melakukan banyak observasi penting tentang bagaimana otak mengendalikan organ lainnya. Kemudian pada abad kesembilan belas psikologi ilmiah lahir, dengan gagasan yang mengatakan bahwa pikiran dan perilaku dapat menjadi subjek analisis ilmiah24. Psikologi merupakan suatu pendekatan empiris terhadap perilaku manusia yang diperkaya oleh biologi dengan ilmu pengetahuan alamnya dan sosiologi serta antropologi dengan ilmu sosialnya25. Menurut Atkinson dkk26 psikologi juga menghadapi pertanyaan kompleks tentang sifat manusia yang dahulu dianggap semata-mata hanya literatur dan filosofis belaka. Padahal saat ini psikologi telah berkembang dan mampu berperan dalam peningkatan kesejahteraan manusia dan memecahkan berbagai macam permasalahan individu dan sosial. Pemakaian psikoterapi untuk mengatasi gangguan perilaku dan emosional adalah salah satu contohnya. Riset psikologi tentang belajar telah menghasilkan perkembangan instruksi yang dibantu komputer, riset tentang daya ingat telah berperan dalam 22 Woodworth, R.S., dan Marquis, D. Psychology, Experimental Psychology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co.1957., hlm. 8. 23 Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Smith, E. E., and Bem, D. J. Pengantar Psikologi. Edisi Kesebelas. Jilid II. Terjemahan. Batam: Interaksara.1999., hlm. 15. 24 Ibid., hlm. 56 25 Ibid., hlm. 14. 26 Ibid., hlm. 14. 12 pemahaman tentang pernyataan saksi mata di pengadilan, serta riset dalam psikologi sosial telah membantu mendesain suatu program untuk mengurangi prasangka dan konflik dalam kelompok. Menurut Atkinson dkk27 ilmu psikologi dapat dipandang dari: (1) perspektif biologi mengkaitkan tindakan manusia dengan peristiwa yang terjadi di dalam tubuh, terutama di otak dan sistem syaraf. (2) perspektif perilaku mengurusi hanya aktivitas eksternal dari organisme yang dapat diobservasi dan diukur. (3) perspektif kognitif mengurusi proses mental seperti perasaan, pengingatan, penalaran, pemutusan, dan pemecahan masalah, dan kaitan proses tersebut dengan perilaku. (4) perspektif psikoanalitik menekankan motif bawah sadar yang berasal dari impuls seksual dan agresif yang direpresi (ditekan) pada masa anak-anak. (5) prespektif fenomenologis memfokuskan pada pengalaman subyektif seseorang dan motivasi ke arah aktualisasi diri. Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Kapasitas unsur kehidupan yang dimiliki manusia dapat berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Baik perubahan fisiologis maupun perubahan-perubahan dalam segi psikologis. Menurut Walgito28, bagaimana manusia berkembang dibicarakan secara mendalam dalam psikologi perkembangan sebagai salah satu psikologi khusus yang membicarakan tentang masalah perkembangan manusia. Pandangan psikologi tentang manusia ini tercermin dalam teori konvergensi yang dikemukakan William Stern, bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir (faktor endogen) maupun faktor lingkungan (faktor 27 28 Ibid., hlm. 56. Walgito, B., Op.Cit., hlm. 43. 13 eksogen). Artinya baik pembawaan dari lahir maupun pengalaman atau lingkungan memiliki peranan penting dalam perkembangan manusia. Jadi pandangan psikologi tidak timpang seperti yang dikemukakan Schopenhauer dengan teori nativismenya, dengan memandang bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor bawaan sejak lahir atau faktor keturunan semata. Psikologi juga menolak teori empirisme yang dikemukakan oleh John Locke yang dikenal dengan teori tabularasa. Dimana perkembangan manusia ditentukan oleh pengalaman empiriknya atau pengalaman-pengalamannya yang diperoleh selama perkembangannya semata29. Jadi, pandangan psikologi yang ideal dapat dijelaskan bahwa manusia dalam kehidupannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan fisik ini merupakan lingkungan yang berupa alam seperti keadaan tanah dan musim dan lingkungan sosial baik keluarga maupun masyarakat sangat menentukan kondisi perkembangan manusia. Selain itu faktor sifat bawaan dari lahir atau keturunan, juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dalam mewarnai kehidupan manusia. Oleh sebab agar dapat mencapai perkembangan hidup yang positif manusia dituntut untuk dapat berinteraksi secara sehat dengan lingkungannya, serta mengembangkan sifat-sifat positif yang dibawanya sejak lahir. D. Aktivitas psikis manusia sebagai modalitas konselor Bimbingan dan konseling menempatkan ilmu psikologi sebagai landasan dan menjadi modalitasnya dalam upaya memahami dinamika psikologis manusia khususnya yang terkait dengan aktivitas psikisnya. Hal ini perlu diuraikan lebih lanjut, karena pandangan psikologi tentang manusia yang juga menjadi sasaran 29 Ibid., hlm. 45. 14 bimbingan dan konseling banyak memberikan kontribusi bagi bimbingan itu sendiri. Psikologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa tentunya dapat memberikan gambaran bahwa jiwa manusia tersebut merefleksikan berbagai tingkah laku dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa tentunya memiliki kemampuan atau kekuatan. Kemampuan manusia menurut Walgito30 meliputi (1) kemampuan menerima stimulus dari luar, atau kemampuan yang berkenaan dengan aktivitas kognisi yang berfungsi sebagai pengenalan. (2) Kemampuan untuk melahirkan apa yang terjadi dalam jiwanya, atau kemampuan yang berkenaan dengan aktivitas konasi yang berfungsi sebagai refleksi motif atau kemauan manusia. (3) Kemampuan untuk melihat akibat dari stimulus yang menimbulkan keadaan dalam jiwa tersebut, atau kemampuan yang berkenaan dengan aktivitas emosi yang merefleksikan perasaan manusia. Berikut ini berbagai aktivitas psikis manusia yang harus dipahami oleh professional bimbingan dan konseling, khusunya guru pembimbing di sekolah. Karena, ini dapat menjadi modal dasar dalam membantu peserta didik sebagai sasaran bimbingan dan konseling untuk keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya. 1. Aktivitas psikis manusia yang terkait dengan kognisi Aktivitas kognisi merupakan manifestasi kemampuan manusia untuk menerima stimulus dari luar yang meliputi: a. Persepsi, persepsi merupakan suatu proses penginderaan atau diterimanya stimulus oleh individu melalui reseptornya. Kemudian diteruskan ke pusat susunan syaraf atau otak, dan terjadilah proses psikologis dengan kata lain 30 Walgito, B., Op.Cit., hlm. 51. 15 individu mengalami proses persepsi karena dirinya menyadari apa yang dilihat, didengar dan lain sebagainya31. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses persepsi, antara lain tingkat perhatian individu, kualitas dan kuantitas stimulus, dan faktor individu itu sendiri. Jika individu mengalami kesalahan dalam mengartikan stimulus, maka hal itu disebut sebagai ilusi. b. Bayangan, bayangan sering disebut juga sebagai tanggapan. Ketika proses persepsi terjadilah gambaran dalam jiwa seseorang, dan ternyata gambaran sebagai hasil persepsi tidak langsung hilang setelah pengamatan selesai. Ternyata manusia memiliki kemampuan lain selain persepsi, yaitu kemampuan untuk membayangkan atau menanggap kembali hal-hal yang telah diamatinya. Tanggapan berbeda dengan persepsi yang membutuhkan objek serta terikat oleh ruang dan waktu. Tanggapan meskipun lebih samar objeknya tetapi dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. c. Fantasi, fantasi merupakan kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapantanggapan atau bayangan-bayangan baru. Fantasi dapat membuat manusia melepaskan diri dari keadaan yang dihadapinya dan menjangkau ke depan ke keadaan-keadaan yang akan datang. Fantasi dapat terhadi secara disadari maupun secara tidak disadari (biasanya terjadi pada anak-anak). d. Ingatan, ingatan merupakan hubungan pengalaman dengan masa lampau. Kemampuan ini menunjukkan bahwa manusia mampu untuk menyimpan dan menimbulkan kembali apa yang telah pernah dialaminya. Akan tetapi tidak seluruhnya apa yang pernah dialami itu tetap tinggal dalam ingatan serta tidak seluruhnya dapat dimunculkan kembali. Oleh sebab itu kemampuan ingatan 31 Davidoff, L . L. Introduction to Psychology. International Book Company, International Student Edition. Tokyo: McGraw-Hill. 1981., hlm. 53. 16 manusia terbatas. Proses masuknya pengalaman ke dalam ingatan tersebut dapat terjadi dengan sengaja memasukkan pengalaman ataupun pengetahuan ke dalam jiwanya. Dapat juga dengan cara tidak sengaja dimasukkan ke dalam ingatan. Fungsi kedua dari ingatan adalah menyimpan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana agar yang telah dipelajari atau yang telah dimasukkan tersebut dapat disimpan dengan baik. Fungsi menimbulkan kembali hal-hal yang telah disimpan dalam ingatan. Menimbulkan kembali ingatan yang tersimpan dapat dibedakan sebagai pemanggilan kembali dan pengenalan kembali apa yang disimpan. e. Berpikir, berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih atau menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pemecahan masalah yang sedang dihadapi, dan pengertian-pengertian tersebut merupakan bahan atau materi berpikir. Pengertian dapat diperoleh baik disengaja maupun tidak disengaja. Perolehan pengertian tanpa sengaja berupa pengalaman-pengalaman manusia. Sedangkan pengertian yang diperoleh dengan sengaja kadang-kadang disebut sebagai pengertian ilmiah. f. Inteligensi, inteligensi menurut Thorndike dalam Skinner32 merupakan kemampuan seseorang untuk merespon dengan baik sesuai dengan stimulus yang diterimanya. Sedangkan Terman dalam Walgito33 menyatakan bahwa inteligensi kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak. Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Freeman34 yang menyatakan bahwa inteligensi itu adalah kemampuan untuk menyatukan pengalaman dan menemukan situasi baru dengan 32 Skinner, C.E. Educational Psychology. Prentice Hall Inc: New York. 1959., hlm. 133. Walgito, B., Op.Cit., hlm. 134 34 Freeman, F.S. Theory and Practice of Psychological Testing. New York: Henry Holt and Company. 1950., hlm. 134. 33 17 respon yang sesuai, kemampuan belajar, kemampuan untuk melaksanakan tugas, serta kemampuan untuk berpikir abstrak. Adapun faktor yang membentuk inteligensi menurut Spearman35 dalam Walgito36 meliputi dua faktor, yaitu kemampuan umum dan kemampuan khusus. 2. Aktivitas psikis manusia yang terkait dengan konasi Aktivitas konasi merupakan manifestasi kemampuan manusia untuk merefleksikan kemauannya, atau motif yang melatarbelakangi manusia bertindak. Sebagai makhluk hidup manusia atau semua organisme di dunia berbuat atau bertindak karena didorong oleh suatu kekuatan yang datang dari dalam dirinya. Dorongan yang datang dari dalam dirinya itu dinamakan motif. Dorongan tersebut tertuju pada suatu tujuan tertentu, akan tetapi ada pula perbuatan atau tindakan manusia yang tidak didorong oleh motif tertentu, dimana perbuatan itu berlangsung secara otomatis. Oleh sebab itu di bawah ini akan dijelaskan jenis tindakan atau perbuatan manusia. a. Perbuatan atau tindakan yang reflektif, yaitu perbuatan yang terjadi tanpa disadari oleh individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu tindakan sebagai suatu reaksi dari stimulus yang diterima tidak sampai ke otak sebagai pusat kesadaran. Maka dari itu jalan yang ditempuh stimulus sampai terjadinya reaksi akan lebih pendek bila dibandingan stimulus yang disadari. Jalannya stimulus melalui reseptor kemudian efektor baru kemudian terjadi respon. b. Perbuatan yang disadari, yaitu perbuatan manusia atas dasar adanya motif dari individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu stimulus yang diterima oleh individu 35 36 Walgito, B., Op.Cit., hlm. 134. Ibid., hlm. 134. 18 itu sampai pada pusat kesadaran di otak. Jalan yang ditempuh stimulus melewati reseptor, menuju pusat lalu efektor, baru terjadi respon. Adapun macam-macam motif menurut Woodworth dan Marquis dalam Walgito37 dapat dibedakan menjadi: a. Motif yang berhubungan dengan kebutuhan jasmaniah (organic need), yaitu motif yang berhubungan dengan kelangsungan hidup individu. Misalnya, minum, makan, bernafas, seks, dan kebutuhan jasmaniah lainnya. b. Motif darurat (emegency motives), yaitu motif untuk tindakan-tindakan dengan segera karena keadaan sekitar menuntutnya, misalnya motif untuk melepaskan diri dari bahaya, motif melawan, serta motif untuk bersaing, dan lain sebagainya. c. Motif objektif (obyective motive), merupakan motif untuk mengadakan hubungan dengan keadaan sekitarnya, baik terhadap individu lain maupun benda. Misalnya motif eksplorasi, motif manipulasi, serta minat. 3. Aktivitas psikis manusia yang terkait dengan afeksi (emosi) Aktivitas afeksi merupakan refleksi dari perasaan manusia. Perasaan atau ekspresi emosi biasanya disifatkan sebagai suatu keadaan dari diri manusia pada suatu waktu tertentu. Misalnya orang merasa sedih, senang, marah, dan lain sebagainya bila individu tersebut mendengar, melihat, atau mencium sesuatu. Oleh sebab itu perasaan disifatkan sebagai suatu keadaan jiwa sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang pada umumnya datang dari luar, dan peristiwa tersebut pada umumnya menimbulkan goncangan pada individu yang bersangkutan. Maka dari itu reaksi individu terhadap keadaan atau peristiwa tersebut tidak sama antara satu dengan yang lain. 37 Walgito, B., Op.Cit., hlm. 151 - 152 19 Perasaan berhubungan dengan peristiwa persepsi, bersifat subjektif dan menjadi reaksi kejiwaan terhadap stimulus yang mengenainya. Oleh sebab itu ada individu yang merespon peristiwa berbeda-beda. Perasaan dikaitkan dengan waktu menurut Stern dalam Walgito38 digolongkan menjadi tiga. Yaitu: a. Perasaan-perasaan sekarang, artinya perasaan yang bersangkutan dengan keadaan sekarang. Hal ini berkenaan dengan situasi yang aktual. b. Perasaan-perasaan yang menjangkau maju, berkaitan kdengan kejadian-kejadian di masa depan, atau masih dalam pengharapan. c. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan waktu yang telah lalu, atau melihat ke belakang apa yang telah terjadi. Misalnya orang sedih ingat kegagalan. Kohnstamm dalam Walgito39 mengklasifikasikan perasaan: a. Perasaan keinderaan, adalah perasaan yang berkaitan dengan alat indera. Misalnya perasaan yang berhubungan dengan pengecapan, manis, pahit, asin, tawar, dan lain sebagainya. b. Perasaan kejiwaan, masih dikelompokkan lagi menjadi, perasaan intelektual, kesusilaan, keindahan, kemasyarakatan, harga diri, dan perasaan ketuhanan. 1) Perasaan intelektual, merupakan jenis perasaan yang timbul jika individu dapat memecahkan suatu persoalan, atau mendapat hal baru sebagai buah kerja intelektualnya. 2) Perasaan kesusilaan, timbul jika individu mengalami hal-hal yang baik atau buruk menurut norma-norma kesusilaan. Individu akan merasa positif jika telah berbuat baik, atau sebaliknya mengalami perasaan negatif jika telah melakukan perbuatan jelek. 38 39 Walgito, B., Op.Cit., hlm. 139. Ibid., hlm. 143. 20 3) Perasaan keindahan, perasaan ini timbul jika individu mengamati sesuatu yang indah atau jelek. 4) Perasaan kemasyarakatan, perasaan ini muncul dalam hubungan dengan orang lain. Kalau orang mengikuti keadaan orang lain maka muncul adanya perasaan yang menyertainya. Misalnya perasaan kebangsaan. 5) Perasaan harga diri adalah perasaan yang menyertai harga diri seseorang. Positif jika mendapatkan penghargaan, dan negatif jika kecewa. 6) Perasaan ke Tuhanan, perasaan ini menyertai kepercayaan kepada Tuhan yang memiliki sifat serba sempurna. Perasaan percaya ini akan membuat manusia akan berbuat baik, dan sholeh. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa tentunya dapat memberikan gambaran bahwa jiwa manusia tersebut merefleksikan berbagai tingkah laku dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas psikis manusia merefleksikan aktivitas kognisi, aktivitas konasi, dan aktivitas aktivitas afeksi atau ekspresi emosi. E. Penutup Di halaman pendahuluan pada penjelasan Peraturan Menteri Pendidikan Naasional Nomor 27 tahun 2008 tentang Sandar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, dinyatakan bahwa keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan 21 instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6)40. Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor41. Konteks tugas konselor sebagai pengampu pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal dan nonformal, berada dalam kawasan pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum42. Sedangkan ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling senantiasa harus digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan43. Adapun sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI. Nomor 27 Tahun 2008. Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. hlm, 3 42 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI. Nomor 27 Tahun 2008. OP. Cit. hlm 3 43 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI. Nomor 27 Tahun 2008. Op. Cit. hlm 3 41 22 menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan44. Oleh sebab itu, unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat kompetensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional45. Dalam rangka mewujudkan kompetensi akademik konselor sekolah atau guru pembimbing inilah pemahaman terhadap aktivitas psikis manusia yang menyangkut aktivitas kognisi, konasi dan afektif (emosi) sangat dibutuhkan. Karena hal itu dapat menjadi modalitas profesionalisme konselor atau guru pembimbing dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah. Karena hal ini akan membantu dalam memahami secara mendalam tentang konseli yang dilayani. Akhirnya penutup yang paling tepat adalah pesan kepada konselor sekolah atau guru pembimbing untuk lebih memperdalam dan memperluas pengetahuan terkait dengan aktivitas psikis manusia, sebagai wujud pengembangan kompetensi akademik dan profesionalisme yang dapat menjadi modalitas dalam pelayanan bimbingan dan konseling. 44 45 Ibid. hlm 3-4 Ibid. hlm 4 23 DAFTAR PUSTAKA Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Smith, E. E., and Bem, D. J. Pengantar Psikologi. Edisi Kesebelas. Jilid II. Terjemahan. Batam: Interaksara. 1999. Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT. Gramedia. 1987. Davidoff, L. L. Introduction to Psychology. International Book Company, International Student Edition. Tokyo: McGraw-Hill. 1981. Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, Jakarta. 2008. Freeman, F.S. Theory and Practice of Psychological Testing. New York: Henry Holt and Company. 1950. Hadiwiyono, H. Sari Sejarah Filsafat I. Yogyakarta: Kanisius. 1980. Morgan, C.T., King, R.A., dan Robinson, N.M. Introduction to Psychology. International Book Company. Tokyo: McGraw-Hill. 1984. Peraturan Pemerintah RI. Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI. Nomor 27 Tahun 2008. Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Skinner, C.E. Educational Psychology. Prentice Hall Inc: New York. 1959. Stevenson, L. dan Haberman, D. L. Sepuluh Teori: Hakikat Manusia. Terjemahan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2001. Sutrisno, M dan Hardiman, F. B. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius.1992. Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2002, Tentang Tujuan Pendidikan Nasional. __________. Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. __________. Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Woodworth, R.S., dan Marquis, D. Psychology, Experimental Psychology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. 1957. 24 Walgito, B. Pengantar Psikologi Umum. Edisi Refisi. Cet. Kelima. Yogyakarta: Andi Offset. 1997. Willis, S.S. Konseling Individual, teori dan Praktek. Cet Kelima. Bandung: Avabeta. 2010. Yusuf, S.L.N. & Nurihsan, J. Landasan Bimbingan dan Konseling. Cet. Kelima. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2010.