Academia.eduAcademia.edu

Makna Merayakan Kemerdekaan di tengah Pandemi

Bulan ini kita akan merayakan kemerdekaan negara kita Indonesia yang ke-76. Biasanya dalam merayakan kemerdekaan tersebut, masyarakat dan pemerintah senantiasa mengadakan acara-acara yang bersifat seremonial maupun yang bersifat memeriahkan seperti lomba-lomba sederhana yang biasanya diadakan di kampung-kampung. Acara-acara tersebut

Makna Merayakan Kemerdekaan di tengah Pandemi Bulan ini kita akan merayakan kemerdekaan negara kita Indonesia yang ke-76. Biasanya dalam merayakan kemerdekaan tersebut, masyarakat dan pemerintah senantiasa mengadakan acara-acara yang bersifat seremonial maupun yang bersifat memeriahkan seperti lomba-lomba sederhana yang biasanya diadakan di kampung-kampung. Acara-acara tersebut tentu saja menarik kerumunan orang untuk berkumpul di satu atau beberapa tempat. Namun, mengingat kondisi pandemi yang tengah melanda, tentu saja acara-acara merayakan kemerdekaan yang menarik kerumunan tersebut sebaiknya ditiadakan. Hal ini penting dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit Covid-19 yang hingga saat ini masih belum terkendali. Pemerintah telah dan akan selalu melakukan himbauan kepada masyarakat untuk tidak berkerumun. Masyarakat sendiri akan lebih baik jika menaati himbauan tersebut untuk sementara waktu. Lantas bagaimana kita akan merayakan kemerdekaan tersebut tanpa harus berkerumun dan menciptakan keramaian yang bisa saja justru menjadi momok bagi diri kita sendiri dan orang lain? Apakah ada cara lain yang bisa kita tunjukkan dalam memaknai perayaan kemerdekaan tersebut? Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, silahkan simak pembahasan berikut. Makna Harfiah Merayakan Kemerdekaan Ditelaah dari sudut pandang kebahasaan Merayakan Kemerdekaan merupakan sebuah frasa yang terdiri dari dua kata, yaitu merayakan dan kemerdekaan. Kata merayakan berasal dari kata dasar raya yang dapat berarti besar. Kata raya tersebut sangat terbatas penggunaannya di mana ia selalu menjadi sebuah kata yang menyertai kata yang lain dalam pembentukan sebuah frasa, misalnya pada frasa jagat raya, hari raya, alam raya, dan lain sebagainya. Imbuhan campuran me-kan pada kata dasar raya tersebut menjadikan kata yang bersangkutan mengandung arti membuat sesuatu menjadi besar. Pada konteks yang sedang kita bahas saat ini merayakan juga dapat berarti memuliakan, memperingati, dan memestakan. Sedangkan kata kemerdekaan berasal dari kata dasar merdeka. Kata merdeka tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 3 makna yang sebetulnya masih saling berkaitan. Tiga makna tersebut, yaitu: 1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya; berdiri sendiri; 2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan, dan 3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.1 Imbuhan ke-an pada kata dasar tersebut mengubah kategori gramatika, yang semula adjektiva (kata sifat) pada kata merdeka, menjadi nomina (kata benda) pada kata kemerdekaan. Hampir tidak ada perubahan makna yang signifikan pada perubahan kategori gramatika tersebut. Kedua kata masih mengindikasikan sebuah hubungan makna dengan kebebasan dan keleluasaan. Yang perlu digarisbawahi adalah pada penggunaannya dalam membentuk sebuah frasa atau klausa yang bermakna, misalnya pada Indonesia merdeka dan kemerdekaan Indonesia. Pada frasa yang pertama kata merdeka menyifati Indonesia atau dengan tegas menunjukkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Frasa tersebut menjadi tidak bermakna jika kata merdeka diganti dengan kata kemerdekaan sehingga frasa tersebut menjadi Indonesia kemerdekaan yang justru terasa aneh dan tidak dapat diterima oleh nalar kebahasaan kita. Pada frasa yang kedua kemerdekaan Indonesia, dua kata yang membentuk frasa tersebut sama-sama berkategori nomina. Kata kemerdekaan sebagai nomina memiliki cakupan yang sangat luas, yang bisa saja dapat berarti kemerdekaan siapapun atau apapun. Kata Indonesia pada frasa tersebut menjadi pembatas dari kemerdekaan tersebut, bahwa yang dimaksud di sini tidak lain dan tidak bukan adalah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Apabila kata kemerdekaan pada frasa tersebut diganti dengan merdeka sehingga menjadi merdeka Indonesia, frasa tersebut dalam nada yang netral tidak terlalu bermakna. Frasa dengan susunan yang demikian hanya akan bermakna jika dinyatakan dalam sebuah seruan yang bertujuan untuk membangkitkan. Merayakan Kemerdekaan di tengah Pandemi Sebelumnya telah dibahas perihal makna harfiah dari frasa merayakan kemerdekaan. Pada musim yang biasa, merayakan bisa berarti memeriahkan di mana dalam sebuah kemeriahan itu selalu menghadirkan banyak orang. Tanpa adanya banyak orang, tidak akan ada yang namanya kemeriahan. Kemeriahan selalu identik dengan keramaian yang berlawanan arti dengan yang namanya kesepian. Namun, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sendiri, disebutkan bahwa merayakan juga berarti memperingati. Jika ditelaah secara mendalam, kata tersebut berasal dari kata dasar ingat. Sebuah peringatan pada 1 Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/merdeka tingkatan makna yang terdalam adalah berarti proses mengingat secara terus-menerus dan berusaha untuk kejadian yang penting tersebut tidak akan pernah terlupakan, karena ialah yang telah menjadi dasar atas keberadaan kita saat ini. Proses mengingat ini akan lebih efektif jika dilakukan dalam sebuah kondisi hening. Keramaian seringkali melenakan dan menghanyutkan kita kepada arah yang hanya bertujuan untuk melepaskan penat, bersenda gurau dan senang-senang belaka. Tidak ada kontemplasi di dalamnya. Padahal proses kontemplasi inilah, dan juga refleksi, yang dapat mengarahkan kita pada jenis kebermanfaatan atau keberartian seperti apa yang hendak kita berikan dalam mengisi kemerdekaan bangsa dan negara ini. Berkaitan dengan merayakan kemerdekaan di tengah pandemi ini, kontemplasi dan refleksi tersebut ditujukan untuk menguraikan dua hal yang sangat penting. Yang pertama adalah perihal menjaga kesadaran dan kepekaan. Kesadaran di sini merupakan kesadaran tentang arti penting sebuah kemerdekaan. Masing-masing dari kita selayaknya mengetahui tentang seluk beluk perjuangan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu kita di setiap generasi. Pengetahuan tentang kegigihan dan kecerdasan dalam menyelesaikan berbagai macam permasalahan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dapat menjadi acuan bagi kita yang hidup di masa kini. Pada satu arus perjuangan tersebut, tidak dapat dipungkiri selalu terdapat perbedaanperbedaan pendapat dalam menyikapi sebuah permasalahan. Masalah lain yang biasa muncul dari pernyataan sebuah pendapat adalah ego yang tersembunyi di kepala. Pendapat yang telah dinyatakan tersebut harus dimenangkan apapun taruhannya. Dan seperti itulah yang terjadi pada penanganan pandemi kali ini. Pemerintah dan masyarakat masih belum mampu bersinergi mencapai keterpaduan. Kita masih belum bisa mencapai level keterpaduan yang pernah ditunjukkan oleh pemerintah pada masa kepemimpinan Bung Karno, pasukan gerilya pimpinan Panglima Soedirman, dan rakyat di sepanjang garis perjuangan dalam melawan Agresi Militer Belanda pada kurun waktu 1947-1948 yang hendak bercokol kembali di bumi Nusantara.2 Kepekaan kita masih terkondisikan oleh ego-ego dan naluri jalang untuk mempertahankan keberlangsungan diri sendiri. Ego-ego tersebut seringkali menimbulkan antipati. Sebagian rakyat bahkan telah menutup mata tentang kebenaran adanya pandemi ini. Ada yang menyebut tentang konspirasi, dan ada yang hanya sibuk saling tuding tentang siapa yang bersalah tanpa 2 Berkaitan dengan Agresi Militer Belanda, silahkan membaca pembahasan pada berbagai sumber, baik online maupun offline. Untuk sumber online, saya merujuk pada laman Wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I dan https://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II melakukan investigasi mendalam sedikit pun. Budaya kritis kita hanyalah tentang berteriak dan mencaci, serta berusaha menjatuhkan lawan-lawan yang kita anggap berseberangan. Sementara itu di pihak lain ego pemerintah sebagai pihak yang berkuasa dan memiliki otoritas untuk mengeluarkan kebijakan adalah sedikitnya kemauan untuk mau mendengar aspirasi masyarakat. Bahkan pendapat ahli pun akan dicampakkan jika menghambat laju pertumbuhan ekonomi yang diharapkan oleh pemerintah. Pendapat-pendapat tersebut baru diimplementasikan ketika harapan-harapan egois tersebut berbenturan dengan kenyataan yang menyakitkan. Hal kedua yang perlu diuraikan dalam kontemplasi dan refleksi kita perihal merayakan kemerdekaan di tengah pandemi adalah tentang mengatasi ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Ketakutan dan kekhawatiran ini seringkali muncul disebabkan oleh ego yang tidak terkontrol. Di tengah pandemi ini, ego yang seringkali mementingkan diri sendiri menumpulkan kepekaan kita untuk bersimpati dan berempati terhadap beban dan kesusahan yang dialami orang lain. Bersimpati dan berempati juga berarti menghampiri. Sedangkan dalam masa pandemi yang penuh ketidakpastian ini, menghampiri dan berbagi kehangatan dalam sebuah pelukan adalah sesuatu yang harus dihindari karena berlawanan dengan kaidah social distancing yang harus diterapkan untuk memutus mata rantai penularan virus yang mematikan ini. Hal ini sebenarnya sangat lumrah muncul di dalam benak kita. Tidak ada di antara kita yang ingin tertular oleh penyakit berbahaya dan mematikan. Kita semua ingin senantiasa sehat dan terbebas dari segala marabahaya. Namun kekhawatiran dan ketakutan berlebih ini harus segera diatasi sedari masih dalam benak masing-masing individu. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mencari sebuah sandaran. Sandaran ini bisa terbagi dalam dua bentuk, yaitu sandaran materialisme dan sandaran religius. Sandaran materialisme di sini sama sekali tidak berkaitan dengan paham materialistik yang mementingkan harta benda seperti yang selama ini kita pahami. Materialisme ini berkaitan dengan kesadaran dan pemahaman kita bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki bentuk-bentuk yang pasti. Bentuk-bentuk itu memiliki ciri khas tertentu yang dapat dipelajari oleh manusia. Dan, antara bentuk yang satu dengan bentuk yang lain memiliki hubungan-hubungan, baik hubungan itu menjalin keterikatan ataupun sekedar hubungan yang bertentangan. Ciri khas dan hubungan antar bentuk itulah yang selama ini menjadi fokus dunia ilmu pengetahuan atau sains modern. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan, manusia mampu mengenali sebuah penyakit berbahaya serta penyebab-penyebabnya, serta memungkinkan mereka untuk mencari formula apa saja yang paling tepat untuk menyembuhkan sebuah penyakit. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat memetakan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Mereka dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan dengan mengenali fenomena-fenomena yang ada di masa sekarang serta dengan berkaca pada sejarah pengetahuan pada masa lampau. Penguasaan ilmu pengetahuan memberikan kepastian, meskipun kita harus tetap berhati-hati untuk tidak terlalu memastikan sesuatu yang belum benar-benar datang. Ilmu pengetahuan dalam genggaman memberikan ketenangan dan kedamaian, dan ketenangan dan kedamaian dapat disetarakan dengan kemerdekaan. Ia merdeka dari ketakutan dan kekhawatiran yang setiap saat selalu datang mengancam. Sandaran yang kedua adalah sandaran religius. Sandaran ini berkaitan dengan pengakuan terhadap keterbatasan yang senantiasa melekat pada diri. Sebanyak apapun pengetahuan yang telah kita raih, di sana masih senantiasa terdapat misteri-misteri yang bisa saja membuat kita jatuh tersungkur. Di hadapan misteri yang maha dahsyat tersebut kita berserah. Dan berserah di sini bukan berarti kita menyerah terhadap keadaan atau masalah yang tengah menimpa. Berserah lebih dekat pada sebuah pengertian untuk meletakkan segala ketakutan dan kekhawatiran terhadap segala kemungkinan, dan menyerahkan segala sesuatunya terhadap sebuah kekuatan kehendak yang tidak mungkin dibendung. Ketakutan dan kekhawatiran yang sudah tidak terlalu mengekang diri tersebut akan menjadikan langkah perjuangan kita terasa lebih ringan, sehingga pengorbanan-pengorbanan tidak dianggap lagi menjadi sebuah beban, tetapi dimaknai sebagai sebuah arus kesadaran pengejawantahan jatidiri seorang insan. Kesimpulan Merayakan kemerdekaan di tengah pandemi memang harus dilakukan dengan cara yang berbeda. Karena acara-acara yang menarik keramaian tidak lagi memungkinkan, tidak ada cara lain untuk merayakan kemerdekaan kali ini selain dengan menikmati keheningan. Tentu, menikmati keheningan ini tidak boleh diartikan dengan bermalas-malasan. Menikmati keheningan merupakan sebuah proses menjaga kesadaran dan kepekaan kita sebagai manusia dengan banyak melakukan kontemplasi dan refleksi terhadap permasalahan yang melanda bangsa ini. Kontemplasi dan refleksi berlanjut pada aksi. Masing-masing kita setidaknya harus mengambil sebuah peran minimal dalam mengisi kemerdekaan yang telah dianugerahkan ini. Menikmati keheningan juga berarti melepas ketakutan dan kekhawatiran karena kondisi luar diri yang mencekam. Dan untuk itu dibutuhkan sandaran yang akan memberikan kekuatan sebagai penopang untuk terus bertahan. Sandaran tersebut dapat berupa sandaran materi ilmu pengetahuan maupun sandaran religius yang berakar pada sebuah laku kepasrahan. Tentu kita harus banyak belajar untuk dapat menggenggam sandaran tersebut. Seseorang harus banyak membaca; membaca apa saja, bisa tulisan maupun keadaan. Belajar inilah yang secara perlahan akan melapangkan dada dan perasaan kita, serta membuka pikiran kita tentang betapa maha luasnya keseluruhan yang bisa diproyeksikan oleh nalar. Dan ketika kesadaran kita bersinggungan dengan kemahaluasan ini maka merayakan kemerdekaan tersebut benar-benar telah bertemu dengan maknanya yang paling intim.