Academia.eduAcademia.edu

Potensi Kriya di Kabupaten Sumba Barat Daya

JSRW (Jurnal Senirupa Warna)

Sumba Barat Daya memiliki potensi budaya yang sangat mumpuni. Mulai dari hasil kriya berupa tenun Hinggi dan Lau, perhiasan manik dan logam, juga ritual adat Pasola. Sayangnya, hal itu masih kalah pamor dengan potensi di wilayah Sumba Timur. Salah satu keunikan karya tenun Sumba Barat Daya ialah nuansa yang statis dan warnanya yang terbatas. Upaya pariwisata yang semakin ramai tentunya membangkitkan roda perekonomian masyarakat. Namun, komoditas tenun dan kerajinan Sumba Timur yang mumpuni mengakibatkan roda perkenomian yang lebih baik dibandingkan Sumba Barat. Meskipun upacara Pasola sering digelar di Sumba Barat Daya dan banyak turis datang, hasil kriya dan tenunnya kurang berkembang dan diminati pasar. Program “Seniman Mengajar” selain untuk mendukung kegiatan tahunan, diharapkan hal itu mampu mengembangkan produk kriya agar tidak timpang dengan wilayah lainnya. Selain itu, kolaborasi berkesenian dilakukan lebih intensif, bersama seniman tari dan komunitas yang ada di sekitar Rum...

JSRW (Jurnal Senirupa Warna) Vol. 7 No. 1, Januari 2019, pg. 47-59 doi: 10.36806/JSRW.V7I1.67 Potensi Kriya di Kabupaten Sumba Barat Daya Lusiana Limono [email protected] Forum Kriya Kontemporer Indonesia (FKKI) Abstrak Sumba Barat Daya memiliki potensi budaya yang sangat mumpuni. Mulai dari hasil kriya berupa tenun Hinggi dan Lau, perhiasan manik dan logam, juga ritual adat Pasola. Sayangnya, hal itu masih kalah pamor dengan potensi di wilayah Sumba Timur. Salah satu keunikan karya tenun Sumba Barat Daya ialah nuansa yang statis dan warnanya yang terbatas. Upaya pariwisata yang semakin ramai tentunya membangkitkan roda perekonomian masyarakat. Namun, komoditas tenun dan kerajinan Sumba Timur yang mumpuni mengakibatkan roda perkenomian yang lebih baik dibandingkan Sumba Barat. Meskipun upacara Pasola sering digelar di Sumba Barat Daya dan banyak turis datang, hasil kriya dan tenunnya kurang berkembang dan diminati pasar. Program “Seniman Mengajar” selain untuk mendukung kegiatan tahunan, diharapkan hal itu mampu mengembangkan produk kriya agar tidak timpang dengan wilayah lainnya. Selain itu, kolaborasi berkesenian dilakukan lebih intensif, bersama seniman tari dan komunitas yang ada di sekitar Rumah Budaya Sumba melalui garapan tari, penataan kostum dan rias. Kata kunci kolaborasi, pasola, seniman mengajar, Sumba Barat Daya, tenun Abstract Southwest Sumba has a highly qualified cultural potential. Starting from the results of handicrafts in the form of Hinggi and Lau weaving, bead and metal jewelry, as well as Pasola traditional rituals. Unfortunately, it is still less prestigious than the potential in the East Sumba region. One of the unique works of Southwest Sumba is the static nuance and limited color. Increasingly crowded tourism efforts certainly raise the wheels of the people's economy. However, weaving and handicraft commodities in East Sumba are capable of producing better economic wheels than West Sumba. Although the Pasola ceremony is often held in Southwest Sumba and many tourists come, the handicrafts and weaving are underdeveloped and in demand by the market. In addition to supporting annual activities, the "Seniman Mengajar” program is expected to be able to develop craft products so that they are not lame with other regions. In addition, artistic collaboration is carried out more intensively, with dance artists and communities around the Sumba Cultural House through dance, costume and makeup arrangements. Keywords colaboration, pasola, seniman mengahar, Southwest Sumba, weaving Pendahuluan Latar Belakang, Kegiatan Seniman Mengajar 2019 di Kabupaten Sumba Barat Daya Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Sumba, daerah ini sudah lama menarik perhatian saya, khususnya Sumba Barat Daya. Sumba Barat Daya terkenal dengan wisata alamnya yang indah dan masih terdapat ritual budaya setempat yaitu ritual Pasola. Sebagai seorang pelaku dan penggiat kriya khususnya tekstil, saya menyayangkan bahwa produk kriya dan tenun Sumba Barat Daya yang memiliki potensi besar, kurang diangkat ke tingkat nasional. Kriya dan tenun Sumba Barat Daya kalah pamor dibandingkan tenun Sumba Timur walaupun sebenarnya sangat berpotensi. Wastra tenun Hinggi dan Lau serta perhiasan manik dan logam berupa Mamuli misalnya,sudah terkenal dan menjadi incaran kolektor sejak lama. Salah satu yang menjadi catatan saya yaitu bahwa motif tenun wilayah Sumba Barat terasa lebih statis dan terbatas warnanya. Oleh karenanya, perlu digali lebih mendalam perihal tenun dan seni kriya lainnya di wilayah Sumba Barat Daya, sehingga potensi ekonomi kreatifnya dapat dikembangkan. Sumba, pulau eksotis dengan kepercayaan Marapu, tradisi Pasola yang memikat turis mancanegara, resor Nihiwatu sangat terkenal dan sering memperoleh penghargaan internasional karena pemberdayaan masyarakat dan sadar lingkungan (eco tourism award). Kemolekan alam dan kain tenun Sumba sangat memikat banyak desainer asing dan lokal. Belakangan budaya Sumba sangat ramai dibicarakan di media sosial, terlebih ketika banyak aktris mengambil lokasi pemotretan di Sumba Timur, Peran Pater Robert Ramone dengan membangun Rumah Budaya Sumba sangatlah besar, hingga menarik perhatian arsitek Yori Antar dan beberapa desainer mengangkat budaya Sumba dalam karya-karyanya, serta membangun jalur Tenun. Upaya-upaya pariwisata mulai ramai bermunculan, turis domestik mulai banyak yang berkunjung. Turis biasanya akan berkeliling dari Sumba Barat untuk wisata alam dan pantai hingga Sumba Timur untuk berburu kain tenun, atau sebaliknya dari Sumba Timur menuju Sumba Barat. Sumba Timur dengan komoditas tenun dan kerajinan yang mumpuni tentu saja mengakibatkan roda perekonomian yang lebih baik dibandingkan Sumba Barat. Upacara Pasola banyak dilakukan di Sumba Barat Daya, sehingga pada saat itu banyak turis datang, namun hasil kriya dan tenunan kurang berkembang dan kurang diminati pasar, sehingga perlu adanya pengembangan selain untuk mendukung kegiatan tahunan, juga untuk pengembangan produk kriya dalam bentuk cinderamata. Di sana saya melakukan diskusi-diskusi nonformal yang santai biasa dilakukan di sela-sela kegiatan bersama narasumber lokal dan masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memberi kesadaran masyarakat setempat menggali potensi lokal dan menciptakan ekonomi kreatif yang berakar pada nilai tradisi, memahami keunggulan produk kerajinan yang ada. Sehingga hasil eksplorasi ini juga bermanfaat bagi dunia pendidikan sebagai kajian pembanding terhadap literatur-literatur sebelumnya. Dan bagi saya, sebagai pelaku kriya, kajian ini akan menjadi suatu karya riset sebagai pengayaan diri dan referensi dalam berkarya. Tulisan ini merupakan intisari dari laporan kegiatan saya dalam program "Seniman Mengajar" dari Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 2019. Program ini dirancang sebagai ruang dialog, kolaborasi, dan partisipasi antara seniman dengan masyarakat di daerah yang bertujuan untuk bertukar informasi, pengetahuan, berkarya, serta membangun jejaring untuk menciptakan ekosistem seni yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Kegiatan ini dilakukan selama 45 hari dengan berkegiatan, diskusi, dan tinggal di tengah-tengah masyarakat. Kali ini saya beruntung mendapatkan kesempatan mengambil bagian dan ditempatkan di Sumba Barat Daya. Kesempatan ini di samping melakukan kegiatan bersama masyarakat setempat juga saya manfaatkan untuk melakukan pemetaan atas kegiatan dan produk kriya di sana. Kegiatan berupa riset dan pemetaan kerajinan terutama wastra tenun dan anyaman bertujuan untuk: ● Mengajak seluruh komponen masyarakat dan pemerintah untuk ikut berperan aktif menjaga dan melestarikan keberlangsungan kriya tenun dan anyam yang ramah lingkungan dan mempunyai nilai ekonomi, mengembangkan motif tenunan untuk souvenir dengan kembali menggunakan teknik tenun yang telah ditinggalkan. ● Menjadi pemantik bagi para pelaku dan masyarakat untuk terus mengembangkan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari, serta dikembangkan menjadi produk ekonomi kreatif penunjang pariwisata. ● Memberikan gambaran bagaimana kekayaan kriya Sumba Barat Daya dilihat dari kacamata orang luar SBD, sehingga bisa menimbulkan kesadaran dan pemahaman yang menyeluruh mengenai kekayaan dan potensi yang dimiliki, yang selama ini tidak tergarap atau dipakai sebatas keperluan adat. ● Mendukung berkembangnya wisata budaya melalui kegiatan / aktivitas tenun, musik dan tari. ● Memberikan pemahaman mengenai potensi perkembangan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal dan berakar budaya. Mengajak masyarakat untuk mulai berkarya dan memerhatikan alam sekitar, serta menanam kembali apa yang telah diambil. Agar pembahasan tidak melebar, penulisan ini akan membahas: 1. Pemetaan Kriya Sumba Barat Daya. 2. Potensi pengembangan produk kriya yang mengarah pada peningkatan kualitas dan diferensiasi produk kerajinan yang mewakili 3 (tiga) suku yang ada di SBD, yaitu Loura, Wewewa (baca: Wejewa), dan Kodi. 3. Selain itu juga ditambahkan pembahasan mengenai kolaborasi tari yang mengangkat tema: tenun, sebagai pemantik ataupun sarana pembelajaran proses kriya kepada generasi muda dengan cara yang lebih menarik dan dikemas dalam bentuk hiburan (entertainment). Pembahasan Hasil Pemetaan Kriya Di Sumba Barat Daya (SBD) Setelah mengamati, berkeliling, wawancara dengan narasumber dan ahli di bidang kriya, serta melihat proses produksi yang tersebar di Kabupaten Sumba Barat Daya, saya menemukan beberapa potensi kriya yang menarik untuk dikembangkan, yaitu: 1. Kerajinan kulit kayu Wora dan Terepa. Wora (kulit kayu berwarna putih) dan Terepa (kulit kayu berwarna coklat) yang terdapat di Wewewa sangat memungkinkan untuk dibudidayakan dan dikembangkan menjadi produk fungsional, selain untuk keperluan kostum adat, misalnya dikembangkan untuk pembungkus telepon seluler, pembungkus laptop, tas dan dompet pesta. Akan menjadi sangat menarik apabila kemudian dipadukan lagi dengan teknik pewarnaan alami. Produk yang bisa dikembangkan dari kulit kayu ini antara lain: dompet, tas pesta, bungkus telepon seluler, bungkus laptop, aksesori seperti kalung, gantungan kunci, dan lain sebagainya. 2. Pewarnaan alami menggunakan bahan lokal yang ada di sekitar. Banyaknya ragam hayati yang tumbuh di SBD sangat memungkinkan untuk kembali menggali dan menginventarisir pewarna alami untuk penyelupan benang tenun, kulit kayu, pewarna pandan untuk Kaleku, dan lain sebagainya. 3. Kekuatan kriya SBD sebenarnya terletak di Kodi, karena masih terdapat beberapa ahli pintal kapas, ahli celup warna indigo, ahli anyam Kaleku, namun tidak menutup kemungkinan wilayah lain untuk mengembangkan bentuk kerajinan yang berakar kekayaan alam dan budaya yang ada, misalnya mengembangkan tenun Lambaleko menggunakan benang warna alami, sehingga SBD mempunyai produk tenun khas yaitu: Lambaleko dengan warna alami yang berkualitas. 4. Anyaman Kaleku dan tikar pandan yang sederhana perlu ditingkatkan kualitas dan tingkat kerapiannya. 5. Seni Ukir Batu yang terdapat di Wewewa mempunyai potensi untuk dikembangkan. Sumba Barat Daya didiami oleh 3 (tiga) suku, yaitu: Suku Kodi, Suku Wewewa, dan Suku Loura yang melingkupi Kota Tambolaka dengan masyarakat yang lebih heterogen. Sehingga dalam pemetaan ini akan terdapat beberapa istilah lokal untuk suatu benda atau teknik yang sama. A. Kain Tenun Kain/wastra selalu menjadi bagian dalam penanda hidup masyarakat tradisional, mulai kelahiran, masa akil baliq, sakit, menikah, sampai meninggal dunia selalu ditandai dengan kain. Tenunan sudah menjadi nafas dan jiwa masyarakat Sumba. Kegiatan menenun di Sumba merupakan pekerjaan perempuan. Proses sejak pemintalan kapas, ikat, celup hingga penenunan seringkali dibarengi ritual sesembahan, doa/mantra, nyanyian, bahkan tarian. Kain tradisional memainkan banyak peran dalam suatu masyarakat, sebagai media komunikasi, untuk menunjukkan identitas dan status sosial di masyarakat, juga sebagai media ekspresi estetis dengan muatan filosofis yang mendalam. Selain sebagai produk budaya (sebagai perekat persaudaraan dan kekeluargaan), kain juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sebagai harta warisan keluarga ataupun komoditas dagang. Seorang penenun di Wewewa yang sedang menenun sarung lambaleko. Terdapat 3 (tiga) jenis kain tenun yang terdapat di Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu: 1. Tenun ikat (Makete) 2. Tenun sulam (Humbi/Lumbi) 3. Tenun songket (Lambaleko) Keterampilan menenun merupakan keterampilan perempuan Kodi. Hubungan kawin mawin membuat ketrampilan ini berkembang, sehingga sekarang teknik tenun Lambaleko dikuasai juga oleh perempuan Wewewa dan Loura. Teknik tenun ikat mulai dari pintal kapas, pewarna alam dan sulam merupakan ketrampilan yang hanya dikuasai oleh perempuan Kodi. Sedangkan Lambaleko, dikuasai oleh penenun Kodi, Wewewa dan Loura. tenun ikat (Makete) sulam (Humbi) songket (Lambaleko) Ragam hias pada kain tenun Sumba Barat Daya pada umumnya berbentuk geometris, terdiri dari: ● Mamuli, simbol kemurnian dan kesuburan ● Uma Kalada, simbol rumah ● Belah ketupat simbol isi rumah, perabot dan lainnya Untuk motif tenun ikat, seringkali dikombinasikan dengan motif: ● Zigzag ● Sulur yang membentuk bingkai belah ketupat disebut dengan istilah: woloremba dalam Bahasa Kodi ● Titik-titik yang membentuk komposisi belah ketupat. ● Bunga enam kelopak menyerupai bentuk tameng lelaki yang disebut bunga keris Jika dilihat dari motif pada kain tenun yang selalu terhubung dengan rumah, isinya, simbol lelaki dan perempuan, dan kain adalah bahasa komunikasi terselubung maka bisa dikatakan segala aktivitas terpusat pada keluarga. Hubungan kekerabatan masyarakat SBD sangat erat, segala sesuatu harus diputuskan dalam lingkungan keluarga. Hal ini bisa dilihat dari perkawinan yang selalu diawali oleh pembicaraan dalam keluarga dan antar keluarga, kerabat yang meninggal selalu diurus oleh keluarga besar, dan lain sebagainya. Dari segi pemakaian: 1. Laki-laki mengenakan kain lebar yang di kedua ujungnya diberi tambahan pita anyam untuk menutup tenunan dan mengikat ujung kain, disebut dengan: Lengiti / Kabakul / Kalidir. Jika kain sudah dipasang Lengiti/ Kabakul/ Kalidir artinya kain tersebut telah selesai dibuat. Laki-laki mengenakan dua helai kain: ingi pabale (selempang), ingi kalabo (kain yang diikat di pinggang). Aksesori pelengkapnya adalah: kapouta (ikat kepala), kete kobu (ikat pinggang), katopo (parang), lele pungu (aksesori lengan), lagoro (giring-giring kaki). 2. Perempuan mengenakan sarung dua susun yang disambung. Aksesori pelengkapnya: tabelo (hiasan kepala), anting mamuli, anihida dengan mamuli / merangga (kalung), lele (gelang gading), lagoro (giring-giring kaki). Dari segi warna, pada dasarnya kain tenun SBD didominasi warna dasar: merah, hitam, dan biru. Motif bisa berwarna-warni: kuning, merah, hitam, putih. Seiring dengan perkembangan tenun Lambaleko, ketersediaan benang industri dan permintaan pasar di pasar, saat ini banyak sekali kain tenun Lambaleko dengan warna dasar bermacam-macam. Kain tenun yang dijual di Sumba Barat Daya B. Anyaman Menganyam ponda (pandan) di pagi hari untuk nopo (alas duduk/tikar) Anyaman Sumba Barat Daya pada umumnya menggunakan serat pandan, namun di Kodi ada juga yang menggunakan kulit kayu wora, bahkan kahu (gaharu), namun saat ini sangat sulit ditemui, kalaupun ada harganya sangat mahal. Adapun bentuk anyaman yang banyak dijumpai antara lain: 1. Nopo (tikar pandan) 2. Kaleku (tas sirih pinang) 3. Boti (wadah dengan tutup berbentuk labu) 4. Kadoge/ kolaka/ kaneghu (wadah tanpa tutup) 5. Kapepe (wadah dengan tutup) 6. Reba (penggantung piring) Kaleku khas Kodi menggunakan anyaman wora (kulit kayu) atau kahu (gaharu) untuk bagian luarnya yang disulam lagi dengan benang pintal kapas yang dicelup indigo dan anyaman pandan bagian dalamnya. Kaleku jenis ini sangat mahal harganya. kaleku Kodi kaleku Wewewa kaleku modern C. Kulit Kayu (Bark Cloth) Kulit kayu banyak dipakai sebagai kapouta (ikat kepala) lelaki Sumba Barat Daya. Kampung Adat Umbu Koba di Wewewa bahkan mengenakan pakaian tradisional yang disebut kalambi dan cawat dari kulit kayu. Terdapat 2 (dua) macam kulit kayu yang biasa dipakai, yaitu: 1. Terepa berwarna coklat 2. Wora berwarna putih Kulit kayu ini sebenarnya mempunyai potensi untuk dikembangnkan menjadi produk kriya ramah lingkungan, namun harus diimbangi dengan penanaman kembali pohon yang telah ditebang, sehingga tidak terjadi peremajaan dan tidak menghabisi alam. Kalambi kabala (pakaian dari kulit terepa), kapouta kabala (iket kepala dari kulit terepa), titian (pemukul kulit kayu dari tanduk kerbau) kapouta kabala kapouta dan kalambi terepa D. Ukir Batu Wewewa mempunyai studio ukir batu yang menarik untuk dikembangkan. Seni ukir batu yang sifatnya monumental dengan ragam hias Sumba akan memenuhi kebutuhan hotel yang makin banyak bermunculan seiring dengan meningkatnya pariwisata di Sumba. Kemungkinan membuka lapangan kerja sangat luas, terlebih dengan meningkatnya jumlah hotel beberapa tahun mendatang. Bengkel ukir batu di Wewewa milik Ama Jeffrey Ama Jeffry dan bengkel kerjanya Simpulan Dari pengamatan dan penelusuran selama 45 hari, pada dasarnya saya merasa perlu ada tindakan lebih lanjut terkait pengembangan produk kerajinan dan tenun yang berakar budaya dan berwawasan lingkungan. Diharapkan ke depannya Sumba Barat Daya mempunyai kriya unggulan dan bisa meningkatkan perekonomian, memenuhi kebutuhan pasar, dengan memperhatikan ‘local wisdom’ yang ramah lingkungan. Perkembangan teknologi dan pariwisata sedikit banyak akan memengaruhi kesenian dan tradisi yang ada. Dari segi produksi, material alami yang berganti bahan kimia jelas akan merusak lingkungan, limbah cair dan plastik makin menumpuk. Di sisi lain, ekosistem kreatif juga perlu dikembangkan, terutama dalam menjangkau generasi muda. Kedua aspek; lingkungan alam dan generasi muda kreatif menentukan masa depan. Dalam membangun kesadaran preservasi alam dirasa perlu menggandeng generasi muda sebagai pewaris dan penerus. Kolaborasi berkesenian juga perlu dilakukan lebih intensif, bersama seniman tari dan komunitas yang ada di sekitar Rumah Budaya Sumba melalui garapan tari, penataan kostum dan rias. Hal ini akan sangat menunjang eksistensi dari produk kriya tersebut. Tari dengan tema tenun ikat (Woloremba) dan harapan ke depan (Paga Aro) dikreasikan dan dikemas lebih menarik sehingga layak untuk dipentaskan pada festival atau untuk dinikmati wisatawan. Bentuk tarian diharapkan menjadi pemantik bagi generasi muda agar lebih tertarik mengenal dan mempelajari proses tenun ikat untuk kemudian bisa mengembangkan produk kriya yang berakar budaya Sumba untuk masa depan Sumba yang berkarakter. Jadi, yang terpenting dari semuanya ini adalah REGENERASI. Bagaimana membuat generasi muda mengetahui, memahami, dan kemudian mencintai produk budayanya sendiri. Melihat potensi ekonomi yang bisa dikembangkan, sehingga timbul keinginan untuk belajar dan mengembangkan produk yang ada. Daftar Pustaka Ramone, Robert, C.Ss.R. “Sumba: Forgotten Island”. Rumah Budaya Sumba. Nusa Tenggara Timur. Kreasi Mahasiswa PBI STKIP Weetabula. “Merekam Sumba: Aneka Cerita Tentang Sumba”. Unpar Press. 2019. Ramone, Robert, C.Ss.R. “25 Tahun Imamat” Redemptorist. Rumah Budaya Sumba, 2017. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Privinsi NTT. “Raga Ragam Tenunan Nusa Tenggara Timur.” Surya Pratama Fatufeto. Kupang, 2013. Gittinger, Mattiebelle. “To Speak with Cloth: Studies in Indonesian Textiles.” University of California, Los Angeles, 1989. Gittinger, Mattiebelle. “Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia.” Oxford University Press, 1985. Gittinger, Mattiebelle; Nina W. Gwatkin; Patricia L. Fiske. “Indonesian Textiles: Irene Emery Roundtable on Museum Textiles, 1979 Proceedings.” Textile Museum. University of Michigan, 1980. Hitchcock, Michael. “Indonesian Textiles.”. Basic Books. University of California, 1991. Jasper, J.E. dan Mas Pirngadie.“Seni Kerajinan Pribumi di Hindia Belanda Jilid 2: Tenun.” Dekranas. PT. Gramedia: Jakarta, 2017. Kusuma, Eiki Adnan. “The Island of Cotton: Textiles in Indonesia: The Eiko Kusuma Collection.” Fukuoka Art Museum, Tokyo, 2004. Maxwell, Robyn and Mattiebelle Gittinger. “Textile of Southeast Asia: Tradition, Trade, and Transformation.” Periplus Edition (HK) Limited, 2003.