Academia.eduAcademia.edu

Sejarah Perkembangan Hukum Islam

2021

Hukum Islam menjadi hukum yang kuat dan berkembang pesat pada era kerajaan Islam di Nusantara. Salah satu bukti penerapan hukum Islam di Indonesia pada era kerajaan ialah adanya literatur fikih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad ke- 16 Masehi. Contoh literatur fikih yang dimaksud ialah Sirathal Mustaqim karya Nuruddin Arraniri, Sabillah Mustabin karya Arsyad al-Banjari, dan Undang Undang yang dibentuk oleh Sultan Adam dari Kesultanan Banjar dimana Undang Undang ini mengatur tentang hukum Islam.

MAKALAH HUKUM ISLAM SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Disusun Guna Memenuhi Nilai Ujian Tengah Semester Disusun Oleh: Ida Ayu Dampaty Anja Anjani D1A020226 Hukum Islam C2 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2021 KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia” ini dengan tepat waktu. Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Fatahullah, S.H., M.H. selaku Dosen mata kuliah Hukum Islam yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan makalah ini. Terimakasih juga saya sampaikan kepada teman-teman dan keluarga yang telah mendukung saya secara moral dengan menyemangati saya untuk menyelesaikan makalah ini. Saya selaku penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi materi, penulisan, dan bahasa. Maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk meningkatkan kemampuan saya dalam membuat makalah untuk kedepannya. Saya berharap makalah “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia” ini dapat menambah wawasan para pembaca tentang sejarah dari hukum Islam dan perkembangannya di Indonesia, sehingga tercapailah tujuan dari penulisan makalah ini. Mataram, 8 April 2021 Penulis, Ida Ayu Dampaty Anja Anjani DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………..………………………….…..…………………………….…..…i DAFTAR ISI……………………………………..……………………………….………………………….……….…....ii BAB I PENDAHULUAN………………………..………………………….……………….……………….…….....1 A. Latar Belakang……………………………………….………………………….……….……………………...….1 B. Rumusan Masalah……………………………...……………………………..……….…………………….…...2 BAB II PEMBAHASAN………………………………….…………………………………………….…….…....…..3 A. Perkembangan Hukum Islam Sebelum Penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Belanda dan Pasca Penjajahan Belanda……………………….…………………………………………….3 B. Teori-Teori Yang Mempengaruhi Pasang Surutnya Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia ………………………………………………………………..….…………………………...….5 C. Perkembangan Peradilan Agama Sebagai Institusi Penegak Hukum Islam Di Indonesia……………………………………………………………………………………………………..……….7 BAB III PENUTUP………………………………………..….…...….…………………………….….……………..10 A. Kesimpulan…………………………………………..…….…….….……….………………………………….….10 DAFTAR PUSTAKA………………….……………..…………………….…………………………….………..…..11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Islam pertama kali masuk ke Nusantara melalui perdagangan. Para pedagang Arab dan Persia yang menganut ajaran Islam melewati selat malaka yang merupakan jalur utama perdagangan dan singgah di bagian paling utara dari pulau Sumatera. Para pedagang Arab yang singgah ini tidak hanya berdagang tetapi sebagian dari mereka juga merupakan mubalig yang menyebarkan agama Islam melalui dakwah. Ketika para pedagang Arab menetap di bagian utara pulau Sumatera mereka membentuk komunitas muslim yang akhirnya lama kelamaan berkembang menjadi besar dan akhirnya berdirilah kerajaan kerajaan Islam di Aceh, seperti kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara yang merupakan kerajaan Islam di Tertua di Indonesia, Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Dengan masuknya Islam di Nusantara, dikenal lah yang namanya teori syahadat yaitu ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat maka konskuensinya ia harus menaati hukum islam. Hukum Islam pun menjadi hukum positif di tiap tiap wilayah milik kerajaan Islam di Nusantara. Salah satu pakar hukum islam ada di kerajaan Samudera Pasai, pakar hukum islam yang berada di kerajaan Samudera Pasai adalah pakar hukum islam bermazhab syafi’i. Sehingga banyak pakar hukum Islam dari kerajaan Malaka Malaysia yang bertandang ke kerajaan Samudera Pasai untuk meminta putusan hukum Islam. Diluar Aceh seperti di Jawa Kerajaan Mataram Islam sudah memiliki pengadilan Serambi Masjid Agung yang bertugas untuk memutuskan perkara pidana dan perdata hukum islam. Hukum Islam menjadi hukum yang kuat dan berkembang pesat pada era kerajaan Islam di Nusantara. Salah satu bukti penerapan hukum Islam di Indonesia pada era kerajaan ialah adanya literatur fikih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad ke- 16 Masehi. Contoh literatur fikih yang dimaksud ialah Sirathal Mustaqim karya Nuruddin Arraniri, Sabillah Mustabin karya Arsyad al-Banjari, dan Undang Undang yang dibentuk oleh Sultan Adam dari Kesultanan Banjar dimana Undang Undang ini mengatur tentang hukum Islam. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perkembangan hukum Islam sebelum penjajahan Belanda, masa penjajahan Belanda dan pasca penjajahan Belanda? 2. Apa saja teori-teori yang mempengaruhi pasang surutnya perkembangan hukum Islam di Indonesia? 3). Bagaimana perkembangan peradilan agama sebagai institusi penegak hukum Islam di Indonesia? BAB II PEMBAHASAN A. Perkembangan Hukum Islam Sebelum Penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Belanda dan Pasca Penjajahan Belanda 1. Sebelum Penjajahan Belanda Sirathal Mustaqim merupakan buku yang dijadikan pedoman oleh qodhi (hakim) dan guru guru agama dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Buku ini diterbitkan oleh Syekh Abdul Ra’uf Singkel seorang mufti terkemuka yang diangkat oleh Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Mataram Islam pada saat dipimpin oleh Sultan Agung merubah tata hukum di kerajaan dengan membuat pengadilan Serambi Masjid Agung yang menerapkan hukum qishas yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan pepatah "utang nyawa dibayar nyawa". Hukum Islam berkembang dengan pesat dan kuat hingga bisa menggeser hukum Hindu dan hukum Jawa Kuno yang merupakan hukum asli penduduk lokal. Di Kalimantan hukum Islam berkembang dengan adanya Kesultanan Banjar yang dipimpin Oleh Sultan Suryanullah. Hukum islam sangat kental di kesultanan ini, hal ini tercermin dari adagium yang terdapat pada bai’at (janji) kerajaan yang berbunyi “I pati baraja’an dika andika badayan sara.” yang artinya saya tunduk pada perintah tuanku karena tuanku berhukumkan hukum syara’, dari sinilah hukum Islam pun tumbuh dan berkembang di kerajaan Banjar. Seiring berjalannya waktu hukum Islam di Indonesia semakin beragam dengan masuknya berbagai mazhab seperti syaf’i dan hanafi. Kondisi ini digunakan oleh Belanda untuk mengadu domba sesama Islam di Indonesia untuk memenuhi agenda politik mereka. 2. Masa Penjajahan Belanda Pada masa penjajahan Belanda mereka kesusahan untuk mengimplementasikan hukum mereka di Tanah Air karena Hukum Islam sudah mengakar kuat di Nusantara. Sehingga VOC memberlakukan hukum kewarisan Islam kepada umat Muslim Indonesia yang ditetapkan dalam Statuta Batavia tahun 1642, memberlakukan kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang ditetapkan dalam compendium freijer dan Kitab Hukum Mogharraer, serta memberlakukan secara penuh hukum Islam khususnya hukum perkawinan yang ditetapkan dalam teori reception in complex yang diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg. Namun karena Belanda khawatir kaum Muslim Indonesia akan merebut kemerdekaan maka Belanda pun gencar melakukan Kristenisasi agar masyarakat Indonesia menjadi loyal terhadap Belanda. Akan tetapi rencana ini gagal karena justru malah membuat masyarakat Indonesia yang beragama Islam semakin taat akan hukum Islam. Pada tahun 1922 pemerintahan Belanda memutuskan untuk membentuk komisi yang bertugas untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama. Kebijakan Belanda ini pun berhasil melemahkan posisi dari hukum Islam hingga menjelang kemerdekaan pada tahun 1942. 3. Pasca Penjajahan Belanda Kemunculan hukum Islam setelah penjajahan Belanda terlihat dalam piagam Jakarta yang menyebutkan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya.” Tetapi dengan mempertimbangkan kesatuan bangsa maka kalimat tersebut dihapus dan diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Setelah kemerdekaan Indonesia Belanda tetap melakukan Agresi militer sehingga Indonesia dan Belanda akhirnya membuat beberapa perjanjian seperti perjanjian Renville, Linggarjati, Roem Royen dan Konferensi Meja Bundar yang akhirnya menetapkan bahwa bentuk negara Indonesia tidak lagi kesatuan melainkan negara serikat. Konstitusi Republik Indonesia Serikat sangat sulit untuk menampung aspirasi hukum Islam karena sangat dipengaruhi oleh paham liberal barat. Tokoh muslim dari Sumatera Barat yaitu Muhammad Natsir mengajukan mosi untuk mengembalikan bentuk negara Indonesia menjadi kesatuan. Akibat mosi natsir KRIS pun diganti dengan UUDS 1950. Pada era orde lama posisi hukum islam meredup dan menjadi kabur karena partai Masyumi yang merupakan partai aspirasi kaum muslim dibubarkan oleh Soekarno pada 15 Agustus 1960 karena pemberontakan yang dilakukan para tokohnya. Memasuki era orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto dan dengan tumbangnya para PKI serta kembalinya tokoh Masyumi. Hukum Islam kini mendapatkan tempat sebagai salah satu sumber hukum nasional di Indonesia namun belum tegas tempatnya. Menteri Agama K.H. Mohammad Dahlan mengajukan RUU tentang perkawinan umat Islam namun RUU ini ditolak. Meskipun begitu pada era orde baru hukum Islam mulai berkembang lagi dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan. Pada era reformasi ini posisi hukum Islam semakin jelas contohnya seperti di parlemen dimana sekarang terdapat banyak partai Islam seperti Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan dan ada juga ormas Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Front Hizbullah, Pelajar Islam Indonesia, dll. Hukum Islam kini juga sudah diimplementasikan sebagai hukum daerah seperti di Aceh dimana telah diterapkan qanun atau perda syariat. Contoh lain dari perkembangan hukum Islam di era reformasi yaitu lahirnya Undang Undang No. 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji, Undang Undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang Undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan. B. Teori-Teori Yang Mempengaruhi Pasang Surutnya Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia 1. Teori Kredo atau Syahadat Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa apabila seseorang telah mengucap kalimat syahadat maka ia sudah memeluk Islam dan harus menaati hukum Islam. Teori ini adalah kelanjutan dari prinsip Tauhid yang ada pada filsafat hukum Islam. Barangsiapa yang telah mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad SAW ialah utusan Allah maka ia harus taat dan patut terhadap apa yang telah diperintahkan Allah SWT. Dengan adanya teori ini maka seiring bertumbuhnya populasi muslim di Indonesia pada era kerajaan Islam maka semakin berkembanglah hukum Islam di dalam masyarakat tersebut. 2. Teori Receptie in Complexu Teori ini menyatakan bahwa bagi umat Islam hukum Islam berlaku sepenuhnya karena ia telah memeluk Islam meskipun dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan. Teori ini diakui oleh para ahli hukum dan budaya Belanda bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam sehingga dalam peradilan politik hukum yang diberlakukan adalah hukum Islam. Dasar konstitusional dari teori ini termuat dalam Reglement op het beleid der Regeening Van Nederlandsch Indie yang terdapat dalam StbL Belanda 1854: 129 atau StbL Hindia Belanda 1855: 2. Teori ini sebelumnya juga sudah pernah diberlakukan pada era VOC dimana diberlakukan hukum kewarisan dan hukum perkawinan berdasar hukum Islam bagi orang Indonesia di pengadilan VOC hal ini dikenal dengan nama Compendium Freiger. 3. Teori Receptie Teori ini menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi rakyat pribumi dan hukum Islam hanya bisa berlaku bagi rakyat pribumi apabila hukum Islam itu diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini muncul karena Belanda melakukan rekayasa yang sistemastis dan berlanjut, dimana mereka mengarahkan para ahli hukum mereka untuk memusnahkan keeksistensian dari hukum Islam ditengah masyarakat Indonesia, karena Belanda khawatir jika hukum Islam semakin kuat dan mereka gagal menanamkan budaya barat maka Indonesia bisa saja melepaskan diri atau memerdekaan diri dari Hindia Belanda. Pencabutan hukum Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda, akhirnya dilakukan dengan terbitnya pasal 134 ayat (2) LS. 1925, yang berbunyi "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan diselesaikan oleh, hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat memtia dan sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi." Dengan diundangkannya pasal 134 ayat (2) LS. 1925 tersebut, maka secara de jure, tamatlah hukum Islam di Indonesia. 4. Teori Receptie Exit Teori ini muncul setelah merdekanya Indonesia dan setelah ditetapkannya UUD 1945 sebagai dasar hukum negara. Teori ini menyatakan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Belanda berdasarkan kepada teori receptie harus exit dari Indonesia karena tidak sejalur dan bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Selain itu teori receptie juga bertentangan dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 5. Teori Receptie A Contrario Dalam teori ini dinyatakan bahwa hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum Islam didahulukan sebagai hukum yang berlaku dibanding hukum adat. Teori yang dikemukakan Sayuti Thalib ini adalah kontra dari teori receptie. Teori ini sejalan dengan pemikiran Prof. Subhi Mahmassani dimana beliau menyatakan bahwa “Adat kebiasaan hanya boleh dijadikan dasar hukum apabila tidak bertentangan dengan ketentuan nash dari ahli Fiqh.” Sebab ketentuan nasfi syari’at lebih kuat kedudukannya daripada adat kebiasaan. C. Perkembangan Peradilan Agama Sebagai Institusi Penegak Hukum Islam Di Indonesia 1. Pre Kolonial Pada era kerajaan Islam sudah terlihat cikal bakal peradilan yang kelak menjadi peradilan agama seperti yang kita ketahui sekarang. Contohnya seperti: a. Kerajaan Mataram Islam saat dibawah kepemimpinan Sultan Agung yang mengubah tata hukum dan pengadilannya menjadi pengadilan serambi masjid agung dan menerapkan hukum qishas. b. Kerajaan Cirebon yang membentuk pengadilan agama yang bertugas mengadili perkara subversive (kejahatan kepada kerajaan) dengan berlandaskan pada norma yang telah ditetapkan para pemuka agama dan penghulu. 2. Era Kolonial Pada tahun 1800an pemerintah Belanda mengakui hukum Islam melalui Pasal 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie yang berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.” Peradilan agama lalu dibentuk pada 1 Agustus 1882 sebagai badan peradilan yang terkait sistem kenegaraan melalui putusan Raja Belanda atau Konninklijk Besluit oleh Raja Willem III 19 Januari 1882 Nomor 24 yang termuat dalam staatsblad 1882 nomor 152. Di Kalimantan Selatan dan Timur pemerintah Belanda membentuk Mahkamah Syariah untuk mengadili perkara kewarisan dan perkawinan. 3. Pendudukan Jepang Pada zaman pendudukan Jepang Pengadilan Agama mendapat nama baru yaitu Sooryo Hooin. Pemerintah Jepang juga mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang beiris pembentukan Gunsei Hooin yaitu Pengadilan Pemerintah Bala Tentara. Dalam pasal 3 UU No. 14 Tahun 1942 ini disebutkan bagian bagian dari Gunsei Hooin, yaitu: a. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri) b. Keizai Hooin (Hakim Polisi) c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten) d. Gun Hooin (Pengadilan kewedanan) e. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi) f. Sooryoo Hooin (Rapat Agama) 4. Pasca Kemerdekaan Dengan dikeluarkannya Undang Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI No. 14 tahun 1970 maka kedudukan Peradilan Agama kini setara dengan Pengadilan lainnya sebagai Lembaga kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan. Pada saat ini pengadilan agama memegang tugas dan fungsi penting yaitu: a. Tugas Dalam pasal 49 Undang Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah dijelaskan bahwa peradilan agama mengemban tugas untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara umat Islam di bidang perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah dan ekonomi syariah. b. Fungsi Mengadili Pengadilan Agama berfungsi untuk memeriksa, menerima, mengadili dan menyelesaikan perkara yang telah menjadi kewenangannya dalam tingkat pertama. Pembinaan Pengadilan Agama berfungsi untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada para pejabat strukturan dan fungsional dibawah jajarannya baik menyangkut administrasi peradilan, teknis yudisial dan administrasi umum. Pengawasan Pengadilan Agama berfungsi mengawasi tugas dan tingkah laku dari Hakim, Panitera Sekretaris, Panitera Pangganti dan Jurusita serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. Nasehat Pengadilan Agama berfungsi memberikan pertimbangan dan nasehat terkait hukum Islam kepada instansi pemerintah sekitar. Administratif Pengadilan Agama berfungsi untuk menyelenggarakan administrasi pengadilan dan juga administrasi umum. Fungsi Lain Mengkoordinir pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi terkait serta melakukan pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset sepanjang diatur dalam keputusan Mahkamah Agung RI. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hukum Islam sudah hadir di Nusantara dari zaman kerajaan. Pertama kali muncul di bagian utara pulau Sumatera akibat perdagangan, hingga akhirnya membentuk komunitas muslim dan lama kelamaan menjadi suatu kerajaan besar yang memiliki pakar hukum yang terkenal. Meskipun dengan kedatangan Belanda yang mencoba untuk menghapuskan hukum Islam dengan mengeluarkan teori receptie dan aturan aturan lainnya, umat Islam Indonesia tetap berpegang teguh pada hukum Islam sesuai dengan teori syahadat yang terdapat dalam Al-Quran. Saat Indonesia merdeka perlahan tapi pasti hukum Islam mulai direstorasi dan diperjelas kedudukannya dalam hukum nasional kita. Pengadilan agama pada tahun 1970 resmi dijadikan badan peradilan yang setara dengan pengadilan nasional yang bertugas untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara umat Islam di bidang perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah dan ekonomi syariah.. Parlemen yang dahulu berisikan komunis dan nasionalis pada era orde lama telah berubah pada era reformasi dimana kini sekarang mulai terdapat perwakilan partai partai yang bisa memberikan aspirasi aspirasi berdasar hukum Islam ke dalam parlemen Indonesia. Hukum Islam juga semakin terlihat jelas kedudukannya dengan munculnya ormas Islam dalam masyarakat dan ditetapkannya hukum Islam sebagai hukum daerah di Aceh melalui qanun atau perda syariat yang telah diresmikan semenjak 2001 melaui Undang Undang nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi Daerah Istimewa Aceh. Dengan ditetapkannya qanun di Aceh hukum islam akhirnya bisa kembali memperkaya khazanah tradisi hukum Indonesia bahkan banyak yang diadopsi menjadi hukum positif dan hukum nasional. DAFTAR PUSTAKA Gunawan, Hendra. 2018. Jurnal Al-Maqasid “Potret Perjalanan Hukum Islam Di Indonesia” Volume 4 Nomor 1 Edisi Januari – Juni 2018 . Basyir, Ahmad Azhar. 1992. Jurnal Unisia “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa.” No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992 https://journal.uii.ac.id/ Jarir, Abdullah. 2018. Jurnal UIN Banten “Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia” Vol. 14 No. 2 (Desember-Juli 2018) http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/ahkm/article/view/1489 Yudhi Wijaya Dalam. 2019. “Sejarah Pengadilan Agama UNAAHA” http://www.pa-unaaha.go.id/profildasar/sejarah/46#:~:text=Pada%20Pada%20periode%20tahun%201882,keputusan%20raja%20Belanda%20(Konninklijk%20Besluit) [Diakses pada 8 April 2021] “Tugas Pokok & Fungsi” https://web.pa-sumber.go.id/tugas-pokok-fungsi/ [Diakses 9 April 2021] 14 4