EDISI 22 Desember 2016
Menyoal Demokrasi Digital
di Indonesia
I
NTERNET telah menjadi instrumen
paling kuat dalam abad ke-21 untuk
meningkatkan
transparansi
dalam
mengawasi
kerja
pemerintahan,
memberi akses pada informasi, dan juga
memfasilitasi warga untuk berpartisipasi
dalam membangun masyarakat yang
demokratis.Pemanfaatan teknologi internet
untuk gerakan masyarakat sipil terutama
terlihat mulai tahun 2011 lewat gerakan Arab
Springyang berawal dari Tunisia, Indignadas
di Spanyol, hingga gerakan Occupy yang
mendunia, sampai-sampai TIME magazine
menobatkan tahun 2011 menjadi Tahunnya
Para Pemrotes. Warga garda depan yang ingin
melakukan perubahan politik dengan pola
pikirteknologi itukemudian disebut John
Postill (2014) sebagai kelompok Teknolog
Pembebasan/Freedom Technologist.
Oleh Damar Juniarto*
*
Penulis adalah Regional
Coordinator Southeast Asia
Freedom of Expression
Network/SAFENET, pegiat di
Forum Demokrasi Digital/
FDD dan Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi/GEMA
DEMOKRASI.
DEMOKRASI DIGITAL
DALAM PILKADA SERENTAK 2017
EDISI 22
Kelompok
Teknolog
Pembebasan
ini memainkan peranan penting dalam
menumbangkan rezim otoriter Presiden
Zen el-Abedine Ben Ali di Tunisia. Postill
menemukan peran pengacara dan blogger
Riadh Guerfali yang membuat situs TuniLeaks
berisi bocoran kawat diplomatik AS, lalu
terhubung dengan mantan aktivis Ali Bouazizi
yang mengunggah video pembakaran diri
sepupunya Mohamed Bouazizi penjaja
makanan di Facebook, kemudian video itu
diberitakan ke seluruh Arab oleh Al Jazeera
yang dilarang masuk ke Tunisia. Al Jazeera
adalah media baru yang memanfaatkan media
sosial dan blog untuk memotong birokrasi
yang ketat dan memberitakan secara cepat
kejadian di masyarakat. Tatkala pemerintah
Tunisia melakukan sensor Facebook, kelompok
Anonymous melakukan Operasi Tunisia
dengan menyerang situs-situs pemerintah
Tunisia dengan bantuan dari netizen Tunisia
sehingga pada akhirnya Presiden Ben Ali jatuh
dan gerakan sipil ini meluas ke Syria, Irak,
hingga Libya.
Di Spanyol, Postill menemukan peran
pengacara hak cipta digital Carlos Sanchez
Almeida yang membuat gerakan digital
#NoLesVotes bersama sejumlah aktivis
internet untuk mengajak warga Spanyol tidak
lagi memberi suara untuk partai mayoritas
sejak partai besar Spanyol mengeluarkan RUU
tentang copyright akibat tekanan Amerika
Serikat. Gerakan tersebut dilanjutkan oleh
Gala Pin, Simona Levi, Javier Toret dan kawankawannya dengan membentuk organisasi
payungDemocracia
Real
Ya/Demokrasi
Sekarang Juga yang melakukan aksi massa
ke jalan-jalan Madrid, termasuk melibatkan
hacker ternama Isaac Hacksimov yang
memutuskan untuk berkemah di lapangan
Madrid dan direplikasi di seluruh Spanyol
dan menjadi inspirasi gerakan Occupy yang
mendunia. Mereka inilah, menurut Postill,
para aktor demokrasi yang baru. (John Postill,
2014)
Pendapat lain juga ditulis oleh Manuel
Castells, sosiolog terkemuka dari Universitat
Oberta de Catalunya Spanyol yang kerap
meneliti tentang masyarakat informasi,
komunikasi dan globalisasi. Dalam bukunya
Networks of Outrage and Hope, Manuel
Desember 2016
Castells menunjukkan minatnya padagerakangerakan masyarakat sipil yang terjadi pada
2011 untuk meruntuhkan rezim-rezim diktator
di berbagai belahan dunia yang ia anggap
sama seperti menyebarnya viral gagasangagasan dan imaji-imaji akan masyarakat yang
bebas dari penindasan.
Castells menulis bagaimana ia sebagai
bagian dari mahasiswa yang ikut terlibat dari
gerakan mahasiswa ’68 merasa menemukan
lagi gerakan sipil yang dulu dikenalnya,
meskipun untuk gerakan masyarakat sipil
yang baru ini ia menandai adanya perubahan
yang cukup signifikan di mana teknologi
informasi memiliki peranan menghasilkan
komunikasi otonom yang tidak terpenjara oleh
kepentingan dari media dan pemilik modal.
Dengan adanya internet, terjadi apa
yang disebut Castells dengan “mass selfcommunication”, yakni penggunaan Internet
dan jaringan nirkabel sebagai platform dari
komunikasi digitalsehingga produksi pesan
dilakukan secara otonom oleh warga dan sulit
dikontrol oleh pemerintah atau korporasi. Itu
yang menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari gerakan masyarakat baru ini. (Manuel
Castells, 2012)
Peran Internet Dalam Gerakan
Demokrasi Indonesia
Titik inilah yang saya pikir dapat
dijadikan pintu masuk untuk serius
memertimbangkan peranan internet dalam
demokrasi di Indonesia. Kembali ke tahun
1994 hingga awal tahun 2000 ketika internet
mulai digunakan oleh gerakan prodemokrasi
di Indonesia hingga David T. Hill dan Krishna
Sen menulis bahwateknologi komunikasi
seperti Internet memainkan peran sentral
untuk menggulingkan kediktatoran Soeharto
(David T. Hill dan Krisna Sen, 2005).
Pada 20 tahun yang lalu, masyarakat
Indonesia masih mengandalkan cara
mendapatkan informasi melalui media
konvensional: koran, majalah, radio dan
televisi. Selain itu, internet baru diperkenalkan
ke masyarakat Indonesia, selisih setahun dari
kepopulerannya di Amerika Serikat. Internet
Service Provider (ISP) baru muncul sehingga
orang mulai mempunyai email pribadi
dan bisa berselancar dengan peramban
29
Netscape Navigator, yang dikembangkan
dari pendahulunya NSCA Mosaic. Dengan
internet, orang mulai tukar menukar informasi
melalui email, meskipun tradisi menulis surat
masih sangat kuat.
Di zaman Orde Baru, kontrol informasi
berjalan begitu kuat mulai dari aturan surat
izin terbit yang dikeluarkan oleh Departemen
Penerangan, intervensi ke meja redaksi oleh
rezim, hingga pembunuhan wartawan. Salah
satu kontrol informasi dikenal dengan nama
bredel (dari kata breidel yakni pembatasan),
yang dianggap “pencabut nyawa” bagi
media yang kritis. Begitu dicabut Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dengan
seketika media tersebut tidak bisa beroperasi.
Praktek bredel ini merupakan warisan
ketakutan pemerintah kolonial atas media
pers yang dikelola kaum nasionalis. Untuk
mengatasinya dikeluarkan haatzai artikelen,
yaitu undang-undang yang mengancam pers
apabila dianggap menerbitkan tulisan-tulisan
yang “menaburkan kebencian” terhadap
pemerintah.
Pada tanggal 21 Juni 1994, SIUPP tiga media
besar di Indonesia yakni Detik, Tempo, Editor
dicabut Departemen Penerangan. Lewat Surat
Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994,
ketiga media ini ditutup karena dianggap tidak
menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila
yang sehat dan bertanggung jawab sehingga
mengganggu stabilitas nasional. Meskipun
bertentangan dengan Undang-undang Pers
yang saat itu berlaku, UU Nomor 21 Tahun
1982, kekuasaan yang otoriter menyebabkan
ada kebuntuan informasi.
Kebuntuan informasi ini segera disikapi
oleh kalangan media saat itu. Setelah
pembredelan terjadi, pada bulan Agustus 1994
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan dan
AJI menerbitkan majalah Suara Independen.
Isinya menyebarluaskan informasi yang
seringkali bertolak belakang dengan informasi
yang telah disetir oleh kekuasaan otoriter di
bawah Soeharto. Tapi tak lama, tiga orang
yang bergiat di majalah yang menyiasati
seolah penerbitannya berada di Australia itu,
Ahmad Taufik, Danang KW, dan Eko Maryadi,
akhirnya ditangkap dan dipenjara.
Sensor informasi semakin menjadi-jadi
dan pers berada di titik petaka. Sadar bahwa
30
tidak bisa bergerak bebas, masyarakat mulai
mencari informasi alternatif. Setahun berlalu,
internet mulai digemari anak muda. Apalagi
saat itu, Yahoo! sudah memulai jasa pembuatan
email gratis sehingga orang berlomba untuk
memiliki email gratis. Search engine, mailinglist, internet relay chat (IRC) semakin akrab
dengan masyarakat sehingga tercetus gagasan
untuk memanfaatkannya sebagai lalu lintas
informasi alternatif, pengganti yang buntu
tadi itu.
Pada tahun 1994, Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yakni
gerakan mahasiswa untuk memperjuangkan
demokrasi di Indonesia sudah menggunakan
email untuk berbagi informasi dan koordinasi.
Dikembangkan
dengan
sistem
Sentra
Informasi untuk mencegah terlacaknya
informasi SMID oleh intelejen negara, jaringan
email pro demokrasi ini mayoritas berisi
runtutan kronologis berita aksi mahasiswa/
buruh yang dikirim oleh anggota SMID
dan update beritanya sewaktu terjadi
penangkapan terhadap mahasiswa atau buruh
yang berdemonstrasi ke Sentra Informasi
yang berada di luar negeri, untuk lalu dikirim
lewat email kepada organisasi dan pribadipribadi yang memerlukan berita alternatif
untuk mengimbangi media yang terhegemoni
oleh kekuasaan. Meskipun berita-berita ini
masih beredar secara terbatas, namun sudah
ada kesadaran menggunakan internet untuk
perubahan sosial.
Di bawah tanah, tersembunyi dalam
identitas palsu, digalang sebuah organisasi
layanan berita internet yang dikelola oleh
sebuah jaringan rahasia. Penggagas jaringan
rahasia ini adalah Goenawan Mohammad,
pemimpin redaksi Majalah Tempo. Di saat ia
maju untuk memperjuangkan status hukum
Majalah Tempo di Mahkamah Agung, secara
sembunyi-sembunyi, jaringan ini dipersiapkan
untuk bekerja secara rapi. Jaringan rahasia ini
kemudian dikenal dengan nama “Blok M”
dan Irawan Saptono menjadi koordinatornya.
Irawan bertugas mengatur nama palsu seperti
Ghufron, Tosca, dll., menyiapkan tempat
persembunyian, dan menulis laporan untuk
dikirim ke John MacDougall.
Blok M bekerjasama dengan Nusanet
dan mailing-list
[email protected] yang
DEMOKRASI DIGITAL
DALAM PILKADA SERENTAK 2017
EDISI 22
dimoderatori oleh John MacDougall, sehingga
berita yang ditulis oleh Blok M kemudian
diposting oleh John MacDougall di mailinglist apakabar dan dengan sendirinya meluas
masuk ke ruang-ruang privat lewat email
pribadi. Berita ini kemudian disebarkan lagi
antar mailing-list atau bisa juga diforward.
Saat itu Blok M mengelola enam layanan
berita bawah tanah ini: Pipa untuk berita
umum, Bursa untuk berita ekonomi. Lalu ada
SiaR untuk berita umum, Istiqlal untuk opini,
Matebeam untuk berita dari Timor Timur,
Mambramo untuk berita dari Papua, Meunasah
untuk berita dari Aceh, TNI Watch untuk berita
tentang TNI, dan Goro-Goro tentang lelucon
politik. Dua yang pertama segera ditutup
karena “tidak aman”. Selain itu, Blok M juga
menerbitkan media cetak yaitu X-Pose dan
Bergerak!
Di saat yang sama, kelompok-kelompok
pro demokrasi lain juga mulai menggunakan
email mengikuti pola yang ada, termasuk
juga membentuk mailing-list baru dengan
keragaman tema. Tujuannya tetap sama:
menggunakan internet sebagai “jalan lain”
untuk melawan sensor dan represi informasi
oleh kekuasaan otoriter Orde Baru.
Di luar kelompok jurnalis, mahasiswa
merintis “jalan lain” untuk melawan
hegemoni informasi. Dengan memanfaatkan
lalu lintas informasi melalui email,
mahasiswa membangun webzine/webportal
untuk menyuarakan pendapat mahasiswamahasiswa di Indonesia mengenai kondisi
sosial masyarakat dan negara.Pada Mei 1998,
diluncurkan KQ ONLINE Kampus & Kita di
http://www.bubu.com/kampus yang dimotori
oleh Lembaga Pendidikan, Penerbitan, dan
Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M)
bekerjasama dengan Bubu.net. Media baru
ini berbentuk webzine, bentuknya berbeda
dengan mailing-list dan menawarkan tempat
untuk berkomentar lewat forum diskusi online.
Lembaga yang sama mencetak koran pamflet
Mahasiswa Bergerak dan membangun basis data
informasi di website berisi terjemahan tulisan,
risalah, berita untuk dipakai oleh publik secara
bebas. Mahasiswa-mahasiswa bekerja di
kampusnya masing-masing, mengirim berita
melalui email, dan secara berkala webzine dan
website ini diperbaharui isinya. Setiap kali ada
Desember 2016
bahan baru, informasi ini disebarkan melalui
mailing-list yang ada kepada publik.
Barulah pada Juli 1998, muncul portal
berita Detik.com yang dikelola oleh Budiono
Darsono, wartawan eks Detik dan kawankawannya. Sejak itu, kebebasan informasi
menemukan “jalan lain” karena adanya
perkembangan teknologi informasi dan
tercatat memiliki kekuatan untuk membuat
perubahan sosial yang berarti.
Tumbangnya
Orde
Baru
otomatis
mengubah lanskap media konvensional.
SIUPP tidak lagi menjadi momok dengan
dibubarkannya Departemen Penerangan oleh
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Secara luar biasa, jumlah media meningkat
drastis. Dari situasi ketika informasi dibatasi
di zaman kekuasaan Soeharto, kini informasi
meluap-luap. Tak hanya di media konvensional,
media digital pun juga mengalami hal yang
sama. Selain Detik.com, muncul juga Astaga.
com yang mendapat investasi besar dari
Afrika Selatan hingga portal-portal berita lain
yang terus bermunculan.
Sayang pada akhirnya media-media
yang begitu banyak ini tutup satu per satu
bukan karena aturan sensor dari kekuasaan,
tetapi karena sebab-sebab yang sifatnya
internal dari dirinya sendiri: mismanajemen,
kegagalan menguasai distribusi, perolehan
iklan yang sedikit, dll. Masyarakat sendiri
sudah mulai pintar untuk memilah informasi
dari media, karena mereka mulai mengenal
beragam sumber informasi, baik lewat media
konvensional maupun dari media digital.
Lalu lompat ke tahun 2009, muncul
gerakan Cicak versus Buaya di Facebook
sebagai bukti bagaimana media sosial dapat
berperan untuk mengumpulkan mereka
yang sepakat untuk melindungi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kelompok
yang dipercaya ingin mengerdilkan peran
KPK dengan menyatakan KPK tak lebih dari
cicak yang akan berhadapan dengan buaya.
Jutaan followers berhasil dikumpulkan oleh
gerakan masyarakat sipil ini dan ratusan
dapat dikerahkan secara organik untuk
membendung upaya penggembosan KPK.
Kemudian pada tahun 2013, gerakan
warga Rembang, Jawa Tengahsecara kolektif
dan sengaja memutuskan memakai internet/
31
media sosial ketika melihat fakta mediamedia di Jawa Tengah dibungkam untuk
memberitakan persoalan keberadaan pabrik
semen di Rembang. Perjalanan mereka
dimulai dari belajar memakai media sosial dan
sempat harus menghadapi serangan bertubitubi dari buzzer yang berhasil membajak
hashtag #SaveRembang yang mereka pakai
sebelumnya. Namun perebutan ruang tersebut
kemudian dimenangkan oleh gerakan warga
Rembang setelah mereka mengubah strategi
lapangan dengan mengganti hashtag menjadi
#RembangMelawan yang lebih progresif
dan #DemiRembang yang memanfaatkan
penggalangan dukungan lewat platform petisi
online Change.org.
Sangat
menarik
untuk
dipelajari
bagaimana warga desa seperti di Rembang
yang selama ini dipersepsi terbelakang
dalam pemanfaatan teknologi internet, justru
sekarang menjadi contoh gerakan masyarakat
baru
yang berhasil memadupadankan
antara model gerakan tradisional lewat jalur
kebudayaan dan gerakan modern lewat jalur
sosial media.
Contoh yang kurang lebih senada juga bisa
dilihat pada gerakan masyarakat Ciptagelar,
Jawa Barat yang memilih memakai teknologi
informasi untuk mencapai tujuan-tujuan
demokratis yang mereka bayangkan, semisal
dengan memproduksi siaran televisi sendiri
lewat CigaTV, mengupayakan jalur komunikasi
nirkabel antar warga dengan pemanfaatan
OpenBTS serta pemakaian internet untuk
memecahkan persoalan warga.
Di Indonesia juga sudah terjadi
pemanfaatan internet untuk demokrasi.
Pemilu 2014 menandai inisiatif digital
untuk meningkatkan kualitas demokrasi di
Indonesia. Dalam Temu Demokrasi Digital
2014 yang digagas Forum Demokrasi Digital
(FDD) John Muhammad dari Public Virtue
Institute menyebutkan setidaknya pada
2014 telah lahir 64 inisiatif di internet berupa
platform, website dan mobile apps yang berusaha
memperbaiki demokrasi dengan rincian ada
33 buah inisiatif berbasis platform/website,
30 buah berbasis mobile application dan 1 buah
berbasis keduanya. Ini diluar inisiatif yang
bersifat partisan atau yang dilahirkan oleh
media massa.
32
Dari 34 platform atau website tersebut, 20
buah ditujukan khusus untuk kepentingan
Pemilu, 6 buahtidak terkait langsung dengan
Pemilu dan 8 buah berguna/bermanfaat untuk
keduanya. Sementara, dari 31 aplikasi itu,
seluruhnya (100%) terkait dengan kepentingan
pemilu.
Jika dipetakan berdasar fungsinya, dari 34
platform/website tersebut: (a) ada 4 lembaga
yang melakukan pemantauan media sosial
termasuk diantaranya Politicawave, Provetic dan
aspirasikita.org; (b) ada 4 yang berbentuk wadah
petisi daring dengan pengguna terbanyak
adalah Change.org (900.000); (c) ada 16 yang
melakukan voter education; (d) ada 10 yang
mengerjakan pelacakan latar belakang politisi;
(e) ada 9 yang melakukan e-countingtermasuk
kawalpemilu.org; (f) ada 9 yang melakukan
public assessment seperti Meteranpolitik.org
dan KawalMenteri 2; (g) ada 7 yang melakukan
election watchdog termasuk MataMassa.org
dan ini yang paling menarik (h) ada 8 yang
melakukan netizen proposal, yakni seperti:
kabinetrakyat.org, KAUR dan kawalmenteri.
org. Background checking, e-counting, public
assessment, election watchdog dan netizen proposal
adalah inisiatif terbaru di Indonesia dan hanya
terjadi di 2014.
Sementara, jika dipetakan berdasar
metodenya,
dari
34
platform/website
tersebut: (a) ada 29 yang menggunakan cara
penyajian data; (b) ada 7 yang menggunakan
cara review aggregator, seperti: jariungu.
com dan meteranpolitik.org; (c) ada 21 yang
menggunakan cara crowdsourcing; (d) ada
6 yang menggunakan cara voting machine;
(e) ada 4 yang menggunakan cara crawling
machine dan (f) ada 7 yang dilengkapi dengan
opini/analisis. (John Muhammad, 2014)
Situs kawalpemilu.org yang berbasis
e-counting menjadifenomenal pada Pemilu
2014 lalu karena berhasil mengawal suara
publik dan mengontrol kinerja KPU. Dengan
pendekatan crowdsourcing dan big data,
situs yang diinisiasi oleh Ainun Najib ini
menghimpun inisiatif dan itikad warga
untuk mengawal dan mengontrol jalannya
Pemilu yang difasilitasi oleh Internet. Situs
kawal pemilu kemudian bertransformasi
menjadi kawalpresiden.org. Situs ini mampu
menjembatani conversational leadership ala
DEMOKRASI DIGITAL
DALAM PILKADA SERENTAK 2017
EDISI 22
Jokowi yang selama ini gemar blusukan dan
ngobrol bersama rakyat sehingga percakapan
(conversations) bisa terjalin nyaris tanpa batas.
(Yohanes Widodo, 2015)
Beberapa contoh tadi memberi kesan kuat
pada saya bahwa peranan internet cukup
signifikan ketika kita berbicara mengenai
wajah demokrasi hari ini. Hal ini sejalan dengan
gelombang pemanfaatan teknologi internet
terutama media sosial di berbagai belahan
dunia bahwa hari ini internet bukan lagi hanya
memampukan seseorang untuk menggunakan
hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi
juga mampu menyuarakan hak asasi manusia
dan mendorong kemajuan masyarakat ke
arah yang lebih baik dan memilikiperanan
untuk memenuhi hak warga atas kebenaran.
Tanpa akses ke informasi yang memadai yang
disediakan oleh internet, maka gagasan akan
transparansi, akuntabilitas pejabat publik,
pemberantasan korupsi ataupun partisipasi
publik dalam proses penyusunan kebijakan,
lebih sulit untuk terwujud.
Dalam pemikiran saya, dinamika yang
sekarang terjadi di internet memperlihatkan
bagaimana masyarakat sekarang ini sedang
menggunakan internet untuk melakukan
counter-power,
melakukan
kontestasi
kekuasaan ataspemahaman yang ajeg atas
bernegara, beragama, dan berekonomi.
Masyarakat sedang melakukan adu wacana
akan gagasan NKRI, agama yang mayoritas,
dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki.
Saat ini sedang terjadi perluasan ruang
publik-sosial politik ke cyberspaceyang disebut
demokrasi digitalsehingga apa yang terjadi di
internet sebetulnya merupakan kepanjangan
tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan.
Sejumlah Masalah DalamDemokrasi
Digital
Namun berbagai catatan mengenai
keberadaan demokrasi yang berjalan dengan
memanfaatkan teknologi informasi dari
internet dan media sosial bukan berarti tidak
mendapat halangan dan ancaman. Halangan
dan ancaman atas demokrasi di internet ini
saya bagi ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama yang berasal dari
regulasi atau peraturan negara, sedang yang
kelompok kedua yang berasal dari kekuatan
Desember 2016
anti-demokrasi yang juga hidup dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Kehadiran Undang-Undang Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11
Tahun 2008 atau disingkat UU ITE sejak tahun
2008 merupakan bentuk regulasi yang semula
dianggap bisa melindungi kepentingan
swasta, negara, dan publik dari ancamanancaman kejahatan siber (cybercrimes). Di
dalam kategori kejahatan siber itu, pembuat
kebijakan pada saat itu memasukkan 3 pasal
mengenai defamasi, penodaaan agama dan
ancaman online yang dianggap bisa mengisi
kekosongan regulasi untuk menjerat para
pelaku kejahatan yang memakai teknologi
informasi.
Akan tetapi, SAFENET/Southeast Asia
Freedom of Expression Network mencatat ada
lebih dari 215 pelaporan ke polisi atas dasar
defamasi, penodaan agama, dan ancaman
dari sejumlah pasal yang ada di dalam UU
ITE. 90% dari pelaporan merupakan dugaan
pelanggaran atas pencemaran nama baik (pasal
27 ayat 3 UU ITE). (SAFENET, November
2016) Elaborasi data lebih mendalam yang
dilakukan oleh Remotivi mengungkap bahwa
dari pelaporan pasal pencemaran nama, 50%
merupakan pelaporan yang dilakukan oleh
aparatur negara. (Remotivi, 2016)
Organisasi ini juga menilai munculnya
4 pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas
dendam, barter hukum, membungkam
kritik dan terapi kejut, yang membias dari
tujuan awalnya. Jika semula pasal-pasal
ini dimaksudkan untuk menangkap para
penjahat siber, tetapi kini malah lebih sering
dipakai untuk mengkriminalisasikan warga
yang memanfaatkan internet dan media
sosial untuk menyampaikan keluhan, opini,
isi pikirannya, polemik, hingga kritik kepada
pimpinan daerah.
Sekalipun UU ITE ini telah direvisi per 26
Oktober 2016 dan disahkan menjadi UndangUndang Nomer 19 Tahun 2016 namun
permasalahan masih belum dituntaskan
sampai ke akarnya yaitu keberadaan pasalpasal tersebut di dalam UU ITE.
Selain UU ITE, SAFENET juga melihat
kebijakan sensor lewat praktik filtering dan
blokir situsweb yang dipakai juga untuk
merepresi kebebasan ekspresi alih-alih untuk
33
membendung kejahatan berbasis diskriminasi
etnis dan ras serta terorisme. Sehingga
implikasinya pada demokrasi dapat dilihat dari
sejumlah indikator, antara lain:
Pertama, terjadi efek jeri sehingga
pengguna internet/media sosial takut untuk
memanfaatkan lagi teknologi internet ini
untuk demokrasi. Kedua, terjadi penutupan
media online baik karena pemiliknya dituntut
dengan UU ITE atau situswebnya diblokir
oleh Kominfo atas aduan masyarakat. Ketiga,
pelemahan gerakan-gerakan masyarakat baru
dengan cara mengkriminalisasikan aktoraktor demokrasinya dengan UU ITE. Untuk
contoh yang terakhir dapat merujuk pada
pemidanaan 11 aktivis dalam setahun terakhir
(SAFENET, 2016).
Kelompok kedua yang saya pikir telah
mengancam demokrasi digital adalah para
pengguna internet dan media sosial untuk
agenda anti-demokrasinya.Pertama, ancaman
datang dari bentuk-bentuk “slacktivisme”
yakni bentuk kegiatan online yang tak punya
dampak langsung pada perubahan sosial.
Bentuknya mulai dari membubuhkan “like”
pada status/facebook page hingga petisi
online yang tidak mengubah apapun di dalam
kenyataan. Ancaman-ancaman ini sangat
melemahkan upaya untuk menjadikan media
sosial punya dampak kepada perubahan
sosial.Terhadap yang terakhir ini, perlahan
mulai dikenali sebagai ancaman yang serius
karena menjadikan “social cause” hanya
sebagai bendera/slogan kosong dari kegiatan
marketing. Karena sulit dibedakan antara
slacktivisme dan aktivisme sosial di tahapan
awal, banyak masyarakat yang terjebak dan
kemudian berapriori pada perubahan sosial
yang hendak ditawarkan lewat media sosial.
Mereka takut perubahan yang ditawarkan
hanyalah perubahan semu. Sikap skeptis
mulai juga muncul dengan mengatakan
bahwa kekuatan media sosial untuk
melakukan perubahan sosial tak lain hanyalah
gembar-gembor omong kosong dari social
media evangelists. Bila skeptisisme ini meluas,
bukan tidak mungkin media sosial justru kian
melemah.
Kedua, ancaman datang dari sisi
teknologinya. Algoritma News Feed di
Facebook memang dibuat berdasarkan
34
ketertarikan seseorang. Jadi, sistem tersebut
akan menampilkan konten-konten yang
dirasa diinginkan oleh pengguna. Namun,
konten-konten tersebut tak dibuat untuk bisa
membedakan apakah konten yang ditampilkan
fakta atau bukan. Karena itu, hampir mungkin
seseorang hanya akan melihat konten yang
sesuai dengan ketertarikannya meskipun hal
itu palsu. Konten yang ditampilkan di News
Feed akan melewatkan semua informasi dari
sudut pandang berbeda. Hal itu menurut
sebagian orang tentu berpengaruh pada
pendapat seseorang karena diberi informasi
yang sama terus-menerus.Inilah yang disebut
oleh Eli Pariser sebagai gelembung filter (filter
bubble).
Dalam buku The Filter Bubble: What the
Internet Is Hiding from You, Eli Pariser menulis
bahwa Google dan Facebook sebagai mesin
pencari dan situs jejaring sosial paling
populer memiliki sistem rekomendasi yang
menyesuaikan dengan perilaku berinternet
kita. Setiap pencarian informasi di Google
akan tercatat, setiap interaksi dan perubahan
profil di Facebook akan tercatat.
Begitu juga di platform Twitter. Pilihan
berkawan sudah menentukan jenis informasi
yang didapat sebuah akun berdasarkan
gelembung filter yang bekerja. Akibatnya di
Twitter, pencarian informasi lebih bergantung
pada tanda pagar (hashtag) yang menjadi
trending topic. Catatan inilah yang digunakan
dalam merekomendasikan sebuah informasi.
Bahkan dalam algoritma Twitter, teknologi
yang ada saat ini tidak bisa membedakan mana
ekspresi politik yang datang dari individu dan
mana yang difabrikasi untuk menyampaikan
dukungan oleh akun bot atau akun yang
disebut pendengung (buzzer) politik.
Ketiga,
dilakukannya
kampanye
kebencian dengan
mengkafir-kafirkan
pemeluk agama lain di luar kelompoknya,
diskriminasi terhadap kelompok LGBT,
praktik pengarusutamaan informasi bohong
lewat buzzer dan bot, serta trolling kebencian
yang dilancarkan secara masif dan terencana.
Ada banyak kelompok yang harus diwaspadai
karena secara aktif mereka paham cara kerja
internet dan media sosial untuk mereproduksi
pesan yang mereka perjuangkan.
Dengan model komunikasi Web 3.0,
DEMOKRASI DIGITAL
DALAM PILKADA SERENTAK 2017
EDISI 22
dunia siber sebenarnya menawarkan output
informasi yang beragam dan demokratis.
Maksudnya, karena setiap pengguna memiliki
kesempatan yang sama untuk menyampaikan
pendapat,
mengolah
informasi,
lalu
kemudian menyebarkan kepada pihak lain,
sehingga perbedaan pendapat adalah sebuah
konsekuensi logis dari teknologi informasi
yang disruptif semacam media sosial. Namun
dengan eksistensi masalah yang mengancam
demokrasi itu, jalan mulus demokrasi digital
masih perlu diperjuangkan.
Maka dari itu dibutuhkan upaya bersama
dari mereka yang mempercayai teknologi
internet bisa digunakan untuk demokrasi
agar masalah ini tertangani secara baik,
karena bila tidak lekas-lekas diatasi maka
Desember 2016
akan menimbulkan persoalan serius dalam
demokrasi Indonesia.
Cara yang saya sarankan untuk
menanganinya yakni merevisi (lagi) berbagai
regulasi yang menghambat demokrasi digital
dengan perspektif menghargai hak asasi
manusia dalam teknologi baru, melakukan
literasi digital di kalangan usia muda (anak
dan remaja) agar mereka melek pemanfaatan
internet yang demokratis, dan konsolidasi
dari para kelompok teknologi pembebasan
untuk terus mendorong pemanfaatan internet
untuk demokrasi di Indonesia. Konsolidasi ini
barangkali benihnya sudah ada, tapi masih
perlu diperluas dengan melibatkan lebih
banyak pihak semisal gerakan perempuan dan
para pendidik di sekolah-sekolah.[dam]
Daftar Pustaka
Castells, Manuel. 2015. Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age, 2nd Edition,
UK: Polity Press.
Harsono, Andreas. “Blok M”. 2011 http://www.andreasharsono.net/2011/07/blok-m.html diakses 10
Desember 2016
Juniarto, Damar. “Jalan Lain: Di Balik Internet di Indonesia 1994-2013″, presentasi di acara Traceroute
Party, April 2013.
La Rue, Frank. 2011. “Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right
to freedom of opinion and expression” http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/
docs/17session/A.HRC.17.27_en.pdf diakses 18 September 2016
La Rue, Frank. 2013. “Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the
right to freedom of opinion and expression” http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/
HRCouncil/RegularSession/Session23/A.HRC.23.40_EN.pdf diakses 18 September 2016
Pariser, Eli. 2011. The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You.
Postill, John. 2014. The Year of Freedom Technologist, dimuat dalam Savage Minds http://savageminds.org/2014/07/09/the-year-of-the-freedom-technologist/#more-11429 diakses 5 Januari 2016
Muhammad, John. Presentasi di Temu Demokrasi Digital, Desember 2014.
Remotivi. 2016. “Kritis Berpendapat, Penjara Kau Dapat”, http://www.remotivi.or.id/infografis/80/
Kritis-Berpendapat,-Penjara-Kau-Dapat
diakses 10 Desember 2016
SAFENET. 2015. “Pola Pemidanaan Pasal-Pasal Karet UU ITE”. http://www.slideshare.net/damarjuniarto/polapola-pemidanaan-pasalpasal-karet-uu-ite diakses 10 Agustus 2016
SAFENET. 2016. “The Struggle for Digital Democracy in Indonesia”. http://www.slideshare.net/damarjuniarto/the-struggle-for-digital-democracy-in-indonesia diakses 18 September 2016
Steele, Janet. 2007. Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru.
TEMPO, Tim Majalah, Alumni Majalah Tempo, 1994. Buku Putih Tempo: Pembredelan Itu.
Wawancara dengan Andreas Harsono, Lisa Febriyanti, Andy Yentriyani
Widodo, Yohanes. “Aksi Massa di Dunia Maya” Bernas Jogja, 12-13 Januari 2015
35