Academia.eduAcademia.edu

Menyoal Demokrasi Digital di Indonesia

2016, Demokrasi Digital Dalam Pilkada Serentak 2017

Tulisan ini berangkat dari pemikiran bahwa dinamika yang sekarang terjadi di internet memperlihatkan bagaimana masyarakat sekarang ini, mengutip Manuel Castell, sedang menggunakan internet untuk melakukan counter-power, melakukan kontestasi kekuasaan atas pemahaman yang ajeg atas bernegara, beragama, dan berekonomi. Masyarakat sedang melakukan adu wacana akan gagasan NKRI, agama yang mayoritas, dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki. Saat ini sedang terjadi perluasan ruang publik-sosial politik ke cyberspace yang disebut demokrasi digital sehingga apa yang terjadi di internet sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan. Namun berbagai catatan mengenai keberadaan demokrasi yang berjalan dengan memanfaatkan teknologi informasi dari internet dan media sosial bukan berarti tidak mendapat halangan dan ancaman. Halangan dan ancaman atas demokrasi di internet ini saya bagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang berasal dari regulasi atau peraturan negara, sedang yang kelompok kedua yang berasal dari kekuatan anti-demokrasi yang juga hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

EDISI 22 Desember 2016 Menyoal Demokrasi Digital di Indonesia I NTERNET telah menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi kerja pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis.Pemanfaatan teknologi internet untuk gerakan masyarakat sipil terutama terlihat mulai tahun 2011 lewat gerakan Arab Springyang berawal dari Tunisia, Indignadas di Spanyol, hingga gerakan Occupy yang mendunia, sampai-sampai TIME magazine menobatkan tahun 2011 menjadi Tahunnya Para Pemrotes. Warga garda depan yang ingin melakukan perubahan politik dengan pola pikirteknologi itukemudian disebut John Postill (2014) sebagai kelompok Teknolog Pembebasan/Freedom Technologist. Oleh Damar Juniarto* * Penulis adalah Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFENET, pegiat di Forum Demokrasi Digital/ FDD dan Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi/GEMA DEMOKRASI. DEMOKRASI DIGITAL DALAM PILKADA SERENTAK 2017 EDISI 22 Kelompok Teknolog Pembebasan ini memainkan peranan penting dalam menumbangkan rezim otoriter Presiden Zen el-Abedine Ben Ali di Tunisia. Postill menemukan peran pengacara dan blogger Riadh Guerfali yang membuat situs TuniLeaks berisi bocoran kawat diplomatik AS, lalu terhubung dengan mantan aktivis Ali Bouazizi yang mengunggah video pembakaran diri sepupunya Mohamed Bouazizi penjaja makanan di Facebook, kemudian video itu diberitakan ke seluruh Arab oleh Al Jazeera yang dilarang masuk ke Tunisia. Al Jazeera adalah media baru yang memanfaatkan media sosial dan blog untuk memotong birokrasi yang ketat dan memberitakan secara cepat kejadian di masyarakat. Tatkala pemerintah Tunisia melakukan sensor Facebook, kelompok Anonymous melakukan Operasi Tunisia dengan menyerang situs-situs pemerintah Tunisia dengan bantuan dari netizen Tunisia sehingga pada akhirnya Presiden Ben Ali jatuh dan gerakan sipil ini meluas ke Syria, Irak, hingga Libya. Di Spanyol, Postill menemukan peran pengacara hak cipta digital Carlos Sanchez Almeida yang membuat gerakan digital #NoLesVotes bersama sejumlah aktivis internet untuk mengajak warga Spanyol tidak lagi memberi suara untuk partai mayoritas sejak partai besar Spanyol mengeluarkan RUU tentang copyright akibat tekanan Amerika Serikat. Gerakan tersebut dilanjutkan oleh Gala Pin, Simona Levi, Javier Toret dan kawankawannya dengan membentuk organisasi payungDemocracia Real Ya/Demokrasi Sekarang Juga yang melakukan aksi massa ke jalan-jalan Madrid, termasuk melibatkan hacker ternama Isaac Hacksimov yang memutuskan untuk berkemah di lapangan Madrid dan direplikasi di seluruh Spanyol dan menjadi inspirasi gerakan Occupy yang mendunia. Mereka inilah, menurut Postill, para aktor demokrasi yang baru. (John Postill, 2014) Pendapat lain juga ditulis oleh Manuel Castells, sosiolog terkemuka dari Universitat Oberta de Catalunya Spanyol yang kerap meneliti tentang masyarakat informasi, komunikasi dan globalisasi. Dalam bukunya Networks of Outrage and Hope, Manuel Desember 2016 Castells menunjukkan minatnya padagerakangerakan masyarakat sipil yang terjadi pada 2011 untuk meruntuhkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan dunia yang ia anggap sama seperti menyebarnya viral gagasangagasan dan imaji-imaji akan masyarakat yang bebas dari penindasan. Castells menulis bagaimana ia sebagai bagian dari mahasiswa yang ikut terlibat dari gerakan mahasiswa ’68 merasa menemukan lagi gerakan sipil yang dulu dikenalnya, meskipun untuk gerakan masyarakat sipil yang baru ini ia menandai adanya perubahan yang cukup signifikan di mana teknologi informasi memiliki peranan menghasilkan komunikasi otonom yang tidak terpenjara oleh kepentingan dari media dan pemilik modal. Dengan adanya internet, terjadi apa yang disebut Castells dengan “mass selfcommunication”, yakni penggunaan Internet dan jaringan nirkabel sebagai platform dari komunikasi digitalsehingga produksi pesan dilakukan secara otonom oleh warga dan sulit dikontrol oleh pemerintah atau korporasi. Itu yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan masyarakat baru ini. (Manuel Castells, 2012) Peran Internet Dalam Gerakan Demokrasi Indonesia Titik inilah yang saya pikir dapat dijadikan pintu masuk untuk serius memertimbangkan peranan internet dalam demokrasi di Indonesia. Kembali ke tahun 1994 hingga awal tahun 2000 ketika internet mulai digunakan oleh gerakan prodemokrasi di Indonesia hingga David T. Hill dan Krishna Sen menulis bahwateknologi komunikasi seperti Internet memainkan peran sentral untuk menggulingkan kediktatoran Soeharto (David T. Hill dan Krisna Sen, 2005). Pada 20 tahun yang lalu, masyarakat Indonesia masih mengandalkan cara mendapatkan informasi melalui media konvensional: koran, majalah, radio dan televisi. Selain itu, internet baru diperkenalkan ke masyarakat Indonesia, selisih setahun dari kepopulerannya di Amerika Serikat. Internet Service Provider (ISP) baru muncul sehingga orang mulai mempunyai email pribadi dan bisa berselancar dengan peramban 29 Netscape Navigator, yang dikembangkan dari pendahulunya NSCA Mosaic. Dengan internet, orang mulai tukar menukar informasi melalui email, meskipun tradisi menulis surat masih sangat kuat. Di zaman Orde Baru, kontrol informasi berjalan begitu kuat mulai dari aturan surat izin terbit yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, intervensi ke meja redaksi oleh rezim, hingga pembunuhan wartawan. Salah satu kontrol informasi dikenal dengan nama bredel (dari kata breidel yakni pembatasan), yang dianggap “pencabut nyawa” bagi media yang kritis. Begitu dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dengan seketika media tersebut tidak bisa beroperasi. Praktek bredel ini merupakan warisan ketakutan pemerintah kolonial atas media pers yang dikelola kaum nasionalis. Untuk mengatasinya dikeluarkan haatzai artikelen, yaitu undang-undang yang mengancam pers apabila dianggap menerbitkan tulisan-tulisan yang “menaburkan kebencian” terhadap pemerintah. Pada tanggal 21 Juni 1994, SIUPP tiga media besar di Indonesia yakni Detik, Tempo, Editor dicabut Departemen Penerangan. Lewat Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994, ketiga media ini ditutup karena dianggap tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab sehingga mengganggu stabilitas nasional. Meskipun bertentangan dengan Undang-undang Pers yang saat itu berlaku, UU Nomor 21 Tahun 1982, kekuasaan yang otoriter menyebabkan ada kebuntuan informasi. Kebuntuan informasi ini segera disikapi oleh kalangan media saat itu. Setelah pembredelan terjadi, pada bulan Agustus 1994 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan dan AJI menerbitkan majalah Suara Independen. Isinya menyebarluaskan informasi yang seringkali bertolak belakang dengan informasi yang telah disetir oleh kekuasaan otoriter di bawah Soeharto. Tapi tak lama, tiga orang yang bergiat di majalah yang menyiasati seolah penerbitannya berada di Australia itu, Ahmad Taufik, Danang KW, dan Eko Maryadi, akhirnya ditangkap dan dipenjara. Sensor informasi semakin menjadi-jadi dan pers berada di titik petaka. Sadar bahwa 30 tidak bisa bergerak bebas, masyarakat mulai mencari informasi alternatif. Setahun berlalu, internet mulai digemari anak muda. Apalagi saat itu, Yahoo! sudah memulai jasa pembuatan email gratis sehingga orang berlomba untuk memiliki email gratis. Search engine, mailinglist, internet relay chat (IRC) semakin akrab dengan masyarakat sehingga tercetus gagasan untuk memanfaatkannya sebagai lalu lintas informasi alternatif, pengganti yang buntu tadi itu. Pada tahun 1994, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yakni gerakan mahasiswa untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia sudah menggunakan email untuk berbagi informasi dan koordinasi. Dikembangkan dengan sistem Sentra Informasi untuk mencegah terlacaknya informasi SMID oleh intelejen negara, jaringan email pro demokrasi ini mayoritas berisi runtutan kronologis berita aksi mahasiswa/ buruh yang dikirim oleh anggota SMID dan update beritanya sewaktu terjadi penangkapan terhadap mahasiswa atau buruh yang berdemonstrasi ke Sentra Informasi yang berada di luar negeri, untuk lalu dikirim lewat email kepada organisasi dan pribadipribadi yang memerlukan berita alternatif untuk mengimbangi media yang terhegemoni oleh kekuasaan. Meskipun berita-berita ini masih beredar secara terbatas, namun sudah ada kesadaran menggunakan internet untuk perubahan sosial. Di bawah tanah, tersembunyi dalam identitas palsu, digalang sebuah organisasi layanan berita internet yang dikelola oleh sebuah jaringan rahasia. Penggagas jaringan rahasia ini adalah Goenawan Mohammad, pemimpin redaksi Majalah Tempo. Di saat ia maju untuk memperjuangkan status hukum Majalah Tempo di Mahkamah Agung, secara sembunyi-sembunyi, jaringan ini dipersiapkan untuk bekerja secara rapi. Jaringan rahasia ini kemudian dikenal dengan nama “Blok M” dan Irawan Saptono menjadi koordinatornya. Irawan bertugas mengatur nama palsu seperti Ghufron, Tosca, dll., menyiapkan tempat persembunyian, dan menulis laporan untuk dikirim ke John MacDougall. Blok M bekerjasama dengan Nusanet dan mailing-list [email protected] yang DEMOKRASI DIGITAL DALAM PILKADA SERENTAK 2017 EDISI 22 dimoderatori oleh John MacDougall, sehingga berita yang ditulis oleh Blok M kemudian diposting oleh John MacDougall di mailinglist apakabar dan dengan sendirinya meluas masuk ke ruang-ruang privat lewat email pribadi. Berita ini kemudian disebarkan lagi antar mailing-list atau bisa juga diforward. Saat itu Blok M mengelola enam layanan berita bawah tanah ini: Pipa untuk berita umum, Bursa untuk berita ekonomi. Lalu ada SiaR untuk berita umum, Istiqlal untuk opini, Matebeam untuk berita dari Timor Timur, Mambramo untuk berita dari Papua, Meunasah untuk berita dari Aceh, TNI Watch untuk berita tentang TNI, dan Goro-Goro tentang lelucon politik. Dua yang pertama segera ditutup karena “tidak aman”. Selain itu, Blok M juga menerbitkan media cetak yaitu X-Pose dan Bergerak! Di saat yang sama, kelompok-kelompok pro demokrasi lain juga mulai menggunakan email mengikuti pola yang ada, termasuk juga membentuk mailing-list baru dengan keragaman tema. Tujuannya tetap sama: menggunakan internet sebagai “jalan lain” untuk melawan sensor dan represi informasi oleh kekuasaan otoriter Orde Baru. Di luar kelompok jurnalis, mahasiswa merintis “jalan lain” untuk melawan hegemoni informasi. Dengan memanfaatkan lalu lintas informasi melalui email, mahasiswa membangun webzine/webportal untuk menyuarakan pendapat mahasiswamahasiswa di Indonesia mengenai kondisi sosial masyarakat dan negara.Pada Mei 1998, diluncurkan KQ ONLINE Kampus & Kita di http://www.bubu.com/kampus yang dimotori oleh Lembaga Pendidikan, Penerbitan, dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) bekerjasama dengan Bubu.net. Media baru ini berbentuk webzine, bentuknya berbeda dengan mailing-list dan menawarkan tempat untuk berkomentar lewat forum diskusi online. Lembaga yang sama mencetak koran pamflet Mahasiswa Bergerak dan membangun basis data informasi di website berisi terjemahan tulisan, risalah, berita untuk dipakai oleh publik secara bebas. Mahasiswa-mahasiswa bekerja di kampusnya masing-masing, mengirim berita melalui email, dan secara berkala webzine dan website ini diperbaharui isinya. Setiap kali ada Desember 2016 bahan baru, informasi ini disebarkan melalui mailing-list yang ada kepada publik. Barulah pada Juli 1998, muncul portal berita Detik.com yang dikelola oleh Budiono Darsono, wartawan eks Detik dan kawankawannya. Sejak itu, kebebasan informasi menemukan “jalan lain” karena adanya perkembangan teknologi informasi dan tercatat memiliki kekuatan untuk membuat perubahan sosial yang berarti. Tumbangnya Orde Baru otomatis mengubah lanskap media konvensional. SIUPP tidak lagi menjadi momok dengan dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Secara luar biasa, jumlah media meningkat drastis. Dari situasi ketika informasi dibatasi di zaman kekuasaan Soeharto, kini informasi meluap-luap. Tak hanya di media konvensional, media digital pun juga mengalami hal yang sama. Selain Detik.com, muncul juga Astaga. com yang mendapat investasi besar dari Afrika Selatan hingga portal-portal berita lain yang terus bermunculan. Sayang pada akhirnya media-media yang begitu banyak ini tutup satu per satu bukan karena aturan sensor dari kekuasaan, tetapi karena sebab-sebab yang sifatnya internal dari dirinya sendiri: mismanajemen, kegagalan menguasai distribusi, perolehan iklan yang sedikit, dll. Masyarakat sendiri sudah mulai pintar untuk memilah informasi dari media, karena mereka mulai mengenal beragam sumber informasi, baik lewat media konvensional maupun dari media digital. Lalu lompat ke tahun 2009, muncul gerakan Cicak versus Buaya di Facebook sebagai bukti bagaimana media sosial dapat berperan untuk mengumpulkan mereka yang sepakat untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kelompok yang dipercaya ingin mengerdilkan peran KPK dengan menyatakan KPK tak lebih dari cicak yang akan berhadapan dengan buaya. Jutaan followers berhasil dikumpulkan oleh gerakan masyarakat sipil ini dan ratusan dapat dikerahkan secara organik untuk membendung upaya penggembosan KPK. Kemudian pada tahun 2013, gerakan warga Rembang, Jawa Tengahsecara kolektif dan sengaja memutuskan memakai internet/ 31 media sosial ketika melihat fakta mediamedia di Jawa Tengah dibungkam untuk memberitakan persoalan keberadaan pabrik semen di Rembang. Perjalanan mereka dimulai dari belajar memakai media sosial dan sempat harus menghadapi serangan bertubitubi dari buzzer yang berhasil membajak hashtag #SaveRembang yang mereka pakai sebelumnya. Namun perebutan ruang tersebut kemudian dimenangkan oleh gerakan warga Rembang setelah mereka mengubah strategi lapangan dengan mengganti hashtag menjadi #RembangMelawan yang lebih progresif dan #DemiRembang yang memanfaatkan penggalangan dukungan lewat platform petisi online Change.org. Sangat menarik untuk dipelajari bagaimana warga desa seperti di Rembang yang selama ini dipersepsi terbelakang dalam pemanfaatan teknologi internet, justru sekarang menjadi contoh gerakan masyarakat baru yang berhasil memadupadankan antara model gerakan tradisional lewat jalur kebudayaan dan gerakan modern lewat jalur sosial media. Contoh yang kurang lebih senada juga bisa dilihat pada gerakan masyarakat Ciptagelar, Jawa Barat yang memilih memakai teknologi informasi untuk mencapai tujuan-tujuan demokratis yang mereka bayangkan, semisal dengan memproduksi siaran televisi sendiri lewat CigaTV, mengupayakan jalur komunikasi nirkabel antar warga dengan pemanfaatan OpenBTS serta pemakaian internet untuk memecahkan persoalan warga. Di Indonesia juga sudah terjadi pemanfaatan internet untuk demokrasi. Pemilu 2014 menandai inisiatif digital untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam Temu Demokrasi Digital 2014 yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD) John Muhammad dari Public Virtue Institute menyebutkan setidaknya pada 2014 telah lahir 64 inisiatif di internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi dengan rincian ada 33 buah inisiatif berbasis platform/website, 30 buah berbasis mobile application dan 1 buah berbasis keduanya. Ini diluar inisiatif yang bersifat partisan atau yang dilahirkan oleh media massa. 32 Dari 34 platform atau website tersebut, 20 buah ditujukan khusus untuk kepentingan Pemilu, 6 buahtidak terkait langsung dengan Pemilu dan 8 buah berguna/bermanfaat untuk keduanya. Sementara, dari 31 aplikasi itu, seluruhnya (100%) terkait dengan kepentingan pemilu. Jika dipetakan berdasar fungsinya, dari 34 platform/website tersebut: (a) ada 4 lembaga yang melakukan pemantauan media sosial termasuk diantaranya Politicawave, Provetic dan aspirasikita.org; (b) ada 4 yang berbentuk wadah petisi daring dengan pengguna terbanyak adalah Change.org (900.000); (c) ada 16 yang melakukan voter education; (d) ada 10 yang mengerjakan pelacakan latar belakang politisi; (e) ada 9 yang melakukan e-countingtermasuk kawalpemilu.org; (f) ada 9 yang melakukan public assessment seperti Meteranpolitik.org dan KawalMenteri 2; (g) ada 7 yang melakukan election watchdog termasuk MataMassa.org dan ini yang paling menarik (h) ada 8 yang melakukan netizen proposal, yakni seperti: kabinetrakyat.org, KAUR dan kawalmenteri. org. Background checking, e-counting, public assessment, election watchdog dan netizen proposal adalah inisiatif terbaru di Indonesia dan hanya terjadi di 2014. Sementara, jika dipetakan berdasar metodenya, dari 34 platform/website tersebut: (a) ada 29 yang menggunakan cara penyajian data; (b) ada 7 yang menggunakan cara review aggregator, seperti: jariungu. com dan meteranpolitik.org; (c) ada 21 yang menggunakan cara crowdsourcing; (d) ada 6 yang menggunakan cara voting machine; (e) ada 4 yang menggunakan cara crawling machine dan (f) ada 7 yang dilengkapi dengan opini/analisis. (John Muhammad, 2014) Situs kawalpemilu.org yang berbasis e-counting menjadifenomenal pada Pemilu 2014 lalu karena berhasil mengawal suara publik dan mengontrol kinerja KPU. Dengan pendekatan crowdsourcing dan big data, situs yang diinisiasi oleh Ainun Najib ini menghimpun inisiatif dan itikad warga untuk mengawal dan mengontrol jalannya Pemilu yang difasilitasi oleh Internet. Situs kawal pemilu kemudian bertransformasi menjadi kawalpresiden.org. Situs ini mampu menjembatani conversational leadership ala DEMOKRASI DIGITAL DALAM PILKADA SERENTAK 2017 EDISI 22 Jokowi yang selama ini gemar blusukan dan ngobrol bersama rakyat sehingga percakapan (conversations) bisa terjalin nyaris tanpa batas. (Yohanes Widodo, 2015) Beberapa contoh tadi memberi kesan kuat pada saya bahwa peranan internet cukup signifikan ketika kita berbicara mengenai wajah demokrasi hari ini. Hal ini sejalan dengan gelombang pemanfaatan teknologi internet terutama media sosial di berbagai belahan dunia bahwa hari ini internet bukan lagi hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga mampu menyuarakan hak asasi manusia dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik dan memilikiperanan untuk memenuhi hak warga atas kebenaran. Tanpa akses ke informasi yang memadai yang disediakan oleh internet, maka gagasan akan transparansi, akuntabilitas pejabat publik, pemberantasan korupsi ataupun partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, lebih sulit untuk terwujud. Dalam pemikiran saya, dinamika yang sekarang terjadi di internet memperlihatkan bagaimana masyarakat sekarang ini sedang menggunakan internet untuk melakukan counter-power, melakukan kontestasi kekuasaan ataspemahaman yang ajeg atas bernegara, beragama, dan berekonomi. Masyarakat sedang melakukan adu wacana akan gagasan NKRI, agama yang mayoritas, dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki. Saat ini sedang terjadi perluasan ruang publik-sosial politik ke cyberspaceyang disebut demokrasi digitalsehingga apa yang terjadi di internet sebetulnya merupakan kepanjangan tangan dari apa yang sulit terjadi di lapangan. Sejumlah Masalah DalamDemokrasi Digital Namun berbagai catatan mengenai keberadaan demokrasi yang berjalan dengan memanfaatkan teknologi informasi dari internet dan media sosial bukan berarti tidak mendapat halangan dan ancaman. Halangan dan ancaman atas demokrasi di internet ini saya bagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang berasal dari regulasi atau peraturan negara, sedang yang kelompok kedua yang berasal dari kekuatan Desember 2016 anti-demokrasi yang juga hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Kehadiran Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 atau disingkat UU ITE sejak tahun 2008 merupakan bentuk regulasi yang semula dianggap bisa melindungi kepentingan swasta, negara, dan publik dari ancamanancaman kejahatan siber (cybercrimes). Di dalam kategori kejahatan siber itu, pembuat kebijakan pada saat itu memasukkan 3 pasal mengenai defamasi, penodaaan agama dan ancaman online yang dianggap bisa mengisi kekosongan regulasi untuk menjerat para pelaku kejahatan yang memakai teknologi informasi. Akan tetapi, SAFENET/Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat ada lebih dari 215 pelaporan ke polisi atas dasar defamasi, penodaan agama, dan ancaman dari sejumlah pasal yang ada di dalam UU ITE. 90% dari pelaporan merupakan dugaan pelanggaran atas pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3 UU ITE). (SAFENET, November 2016) Elaborasi data lebih mendalam yang dilakukan oleh Remotivi mengungkap bahwa dari pelaporan pasal pencemaran nama, 50% merupakan pelaporan yang dilakukan oleh aparatur negara. (Remotivi, 2016) Organisasi ini juga menilai munculnya 4 pola pemidanaan baru yaitu: aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik dan terapi kejut, yang membias dari tujuan awalnya. Jika semula pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber, tetapi kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, polemik, hingga kritik kepada pimpinan daerah. Sekalipun UU ITE ini telah direvisi per 26 Oktober 2016 dan disahkan menjadi UndangUndang Nomer 19 Tahun 2016 namun permasalahan masih belum dituntaskan sampai ke akarnya yaitu keberadaan pasalpasal tersebut di dalam UU ITE. Selain UU ITE, SAFENET juga melihat kebijakan sensor lewat praktik filtering dan blokir situsweb yang dipakai juga untuk merepresi kebebasan ekspresi alih-alih untuk 33 membendung kejahatan berbasis diskriminasi etnis dan ras serta terorisme. Sehingga implikasinya pada demokrasi dapat dilihat dari sejumlah indikator, antara lain: Pertama, terjadi efek jeri sehingga pengguna internet/media sosial takut untuk memanfaatkan lagi teknologi internet ini untuk demokrasi. Kedua, terjadi penutupan media online baik karena pemiliknya dituntut dengan UU ITE atau situswebnya diblokir oleh Kominfo atas aduan masyarakat. Ketiga, pelemahan gerakan-gerakan masyarakat baru dengan cara mengkriminalisasikan aktoraktor demokrasinya dengan UU ITE. Untuk contoh yang terakhir dapat merujuk pada pemidanaan 11 aktivis dalam setahun terakhir (SAFENET, 2016). Kelompok kedua yang saya pikir telah mengancam demokrasi digital adalah para pengguna internet dan media sosial untuk agenda anti-demokrasinya.Pertama, ancaman datang dari bentuk-bentuk “slacktivisme” yakni bentuk kegiatan online yang tak punya dampak langsung pada perubahan sosial. Bentuknya mulai dari membubuhkan “like” pada status/facebook page hingga petisi online yang tidak mengubah apapun di dalam kenyataan. Ancaman-ancaman ini sangat melemahkan upaya untuk menjadikan media sosial punya dampak kepada perubahan sosial.Terhadap yang terakhir ini, perlahan mulai dikenali sebagai ancaman yang serius karena menjadikan “social cause” hanya sebagai bendera/slogan kosong dari kegiatan marketing. Karena sulit dibedakan antara slacktivisme dan aktivisme sosial di tahapan awal, banyak masyarakat yang terjebak dan kemudian berapriori pada perubahan sosial yang hendak ditawarkan lewat media sosial. Mereka takut perubahan yang ditawarkan hanyalah perubahan semu. Sikap skeptis mulai juga muncul dengan mengatakan bahwa kekuatan media sosial untuk melakukan perubahan sosial tak lain hanyalah gembar-gembor omong kosong dari social media evangelists. Bila skeptisisme ini meluas, bukan tidak mungkin media sosial justru kian melemah. Kedua, ancaman datang dari sisi teknologinya. Algoritma News Feed di Facebook memang dibuat berdasarkan 34 ketertarikan seseorang. Jadi, sistem tersebut akan menampilkan konten-konten yang dirasa diinginkan oleh pengguna. Namun, konten-konten tersebut tak dibuat untuk bisa membedakan apakah konten yang ditampilkan fakta atau bukan. Karena itu, hampir mungkin seseorang hanya akan melihat konten yang sesuai dengan ketertarikannya meskipun hal itu palsu. Konten yang ditampilkan di News Feed akan melewatkan semua informasi dari sudut pandang berbeda. Hal itu menurut sebagian orang tentu berpengaruh pada pendapat seseorang karena diberi informasi yang sama terus-menerus.Inilah yang disebut oleh Eli Pariser sebagai gelembung filter (filter bubble). Dalam buku The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You, Eli Pariser menulis bahwa Google dan Facebook sebagai mesin pencari dan situs jejaring sosial paling populer memiliki sistem rekomendasi yang menyesuaikan dengan perilaku berinternet kita. Setiap pencarian informasi di Google akan tercatat, setiap interaksi dan perubahan profil di Facebook akan tercatat. Begitu juga di platform Twitter. Pilihan berkawan sudah menentukan jenis informasi yang didapat sebuah akun berdasarkan gelembung filter yang bekerja. Akibatnya di Twitter, pencarian informasi lebih bergantung pada tanda pagar (hashtag) yang menjadi trending topic. Catatan inilah yang digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi. Bahkan dalam algoritma Twitter, teknologi yang ada saat ini tidak bisa membedakan mana ekspresi politik yang datang dari individu dan mana yang difabrikasi untuk menyampaikan dukungan oleh akun bot atau akun yang disebut pendengung (buzzer) politik. Ketiga, dilakukannya kampanye kebencian dengan mengkafir-kafirkan pemeluk agama lain di luar kelompoknya, diskriminasi terhadap kelompok LGBT, praktik pengarusutamaan informasi bohong lewat buzzer dan bot, serta trolling kebencian yang dilancarkan secara masif dan terencana. Ada banyak kelompok yang harus diwaspadai karena secara aktif mereka paham cara kerja internet dan media sosial untuk mereproduksi pesan yang mereka perjuangkan. Dengan model komunikasi Web 3.0, DEMOKRASI DIGITAL DALAM PILKADA SERENTAK 2017 EDISI 22 dunia siber sebenarnya menawarkan output informasi yang beragam dan demokratis. Maksudnya, karena setiap pengguna memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat, mengolah informasi, lalu kemudian menyebarkan kepada pihak lain, sehingga perbedaan pendapat adalah sebuah konsekuensi logis dari teknologi informasi yang disruptif semacam media sosial. Namun dengan eksistensi masalah yang mengancam demokrasi itu, jalan mulus demokrasi digital masih perlu diperjuangkan. Maka dari itu dibutuhkan upaya bersama dari mereka yang mempercayai teknologi internet bisa digunakan untuk demokrasi agar masalah ini tertangani secara baik, karena bila tidak lekas-lekas diatasi maka Desember 2016 akan menimbulkan persoalan serius dalam demokrasi Indonesia. Cara yang saya sarankan untuk menanganinya yakni merevisi (lagi) berbagai regulasi yang menghambat demokrasi digital dengan perspektif menghargai hak asasi manusia dalam teknologi baru, melakukan literasi digital di kalangan usia muda (anak dan remaja) agar mereka melek pemanfaatan internet yang demokratis, dan konsolidasi dari para kelompok teknologi pembebasan untuk terus mendorong pemanfaatan internet untuk demokrasi di Indonesia. Konsolidasi ini barangkali benihnya sudah ada, tapi masih perlu diperluas dengan melibatkan lebih banyak pihak semisal gerakan perempuan dan para pendidik di sekolah-sekolah.[dam] Daftar Pustaka Castells, Manuel. 2015. Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age, 2nd Edition, UK: Polity Press. Harsono, Andreas. “Blok M”. 2011 http://www.andreasharsono.net/2011/07/blok-m.html diakses 10 Desember 2016 Juniarto, Damar. “Jalan Lain: Di Balik Internet di Indonesia 1994-2013″, presentasi di acara Traceroute Party, April 2013. La Rue, Frank. 2011. “Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression” http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/ docs/17session/A.HRC.17.27_en.pdf diakses 18 September 2016 La Rue, Frank. 2013. “Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression” http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/ HRCouncil/RegularSession/Session23/A.HRC.23.40_EN.pdf diakses 18 September 2016 Pariser, Eli. 2011. The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. Postill, John. 2014. The Year of Freedom Technologist, dimuat dalam Savage Minds http://savageminds.org/2014/07/09/the-year-of-the-freedom-technologist/#more-11429 diakses 5 Januari 2016 Muhammad, John. Presentasi di Temu Demokrasi Digital, Desember 2014. Remotivi. 2016. “Kritis Berpendapat, Penjara Kau Dapat”, http://www.remotivi.or.id/infografis/80/ Kritis-Berpendapat,-Penjara-Kau-Dapat diakses 10 Desember 2016 SAFENET. 2015. “Pola Pemidanaan Pasal-Pasal Karet UU ITE”. http://www.slideshare.net/damarjuniarto/polapola-pemidanaan-pasalpasal-karet-uu-ite diakses 10 Agustus 2016 SAFENET. 2016. “The Struggle for Digital Democracy in Indonesia”. http://www.slideshare.net/damarjuniarto/the-struggle-for-digital-democracy-in-indonesia diakses 18 September 2016 Steele, Janet. 2007. Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru. TEMPO, Tim Majalah, Alumni Majalah Tempo, 1994. Buku Putih Tempo: Pembredelan Itu. Wawancara dengan Andreas Harsono, Lisa Febriyanti, Andy Yentriyani Widodo, Yohanes. “Aksi Massa di Dunia Maya” Bernas Jogja, 12-13 Januari 2015 35