Academia.eduAcademia.edu

Dialog Antar Agama dan Problem Intoleransi di Sulawesi Selatan

2020, Litera

Mansyur Achmad i Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) MENYALAKAN “LILIN”: DIALOG ANTAR AGAMA Copyright © KFN Indonesia Diterbitkan pertama kali oleh Litera. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved. Hak Penerbitan pada Penerbit Litera. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Cetakan Pertama: April 2020 xxviii+180 hlm, 15 cm x 22 cm ISBN: 978-623-7864-04-2 Editor : Ridwan al-Makassary & Yusuf Daud Perancang Sampul : Agung Penata Letak : Litera.co Diterbitkan oleh: Penerbit Suronatan NG II/863 Yogyakarya Telp. 0852-2633-0202 E-mail : [email protected] Bekerjasama dengan: KAICIID Fellows Network (KFN) Indonesia iv Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik MENYALAKAN “LILIN” KEBUDAYAAN UNTUK DIALOG ANTAR AGAMA Amanah NurishI18 Perjalanan kehidupan agama-agama di Nusantara ini mengalami fluktuasi ruang sosial kebudayaan dan fluktuasi ruang politik yang cukup dinamis. Namun, terkadang keadaan siklus politik di negeri kita yang tidak menentu ini tidak jarang memicu situasi konflik-konflik yang pernah ada dan berakibat pada kehidupan sekaligus kerukunan antar umat beragama. Sejarah kerukunan antar keyakinan dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama hadir dalam sendi-sendi masyarakat kita sejak zaman pra kolonial. Pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat yang memiliki bakat untuk berdialog, termasuk dalam mendialogkan hubungan antar agama dan keyakinan. Jika kita perhatikan, spirit dialog yang ada pada karakter masyarakat kita berkaitan dengan aspek ritual dan aspek spiritualitas di mana kedua aspek tersebut menjadi bagian dari identitas masyarakat yang tinggal di kawasan maritim seperti Indonesia. Masyarakat yang hidup di wilayah pesisir, perbukitan, dan pegunungan bagaimanapun mencerminkan interaksi mereka yang dekat dengan alam dibanding masyarakat yang hidup di daerah urban atau perkotaan. Fenomena geografis ini juga berpengaruh pada kehidupan dan kerukunan antar umat beragama. Bagaimanapun kearifan dan kebudayaan lokal sangat menjadi faktor penentu misi perdamaian di atas keragaman. Indonesia yang 18 Penulis adalah Antropolog Agama; Dosen Universitas Indonesia; KFN Indonesia 108 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama kaya dengan keanekaragaman budaya, agama, ras, suku, etnis, dan bahasa memiliki nuansa khas tersendiri di dalam mengaplikasikan kerukunan antar umat beragama. Oleh karenanya penting sekali untuk melihat kembali bagaimana metode dialog antar agama yang mestinya perlu juga disandingkan dengan dialog-dialog kebudayaan lokal demi membangun perdamaian serta kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Dialog Kebudayaan Sebagai Alternatif Gagasan dan ide dialog antar agama sejak tahun 1969 telah menjadi perhatian yang serius dan berhasil diambil alih oleh negara. Sebuah masa di mana pasca peristiwa 1965-66 konflik antar umat beragama terutama orang-orang Islam dan Kristen mulai mengalami fragmentasi. Ketika di masa Mukti Ali menjadi menteri agama (1972-1978) inisiatif dialog antar agama telah dikonstruksi oleh negara dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu menciptakan hubungan antar agama yang masih dipahami untuk membatasi dari pengaruh agama satu sama lainnya. Masyarakat dengan identitas agama tertentu harus memiliki jiwa toleransi tanpa harus terpengaruh ajaran-ajaran agama selain yang diyakininya. Namun demikian, ruang-ruang dialog antar agama yang dikonstruksi di masa pemerintahan orde baru ini berorientasi pada pendekatan struktural daripada pendekatan kultural. Menurut hemat saya, melalui kebijakan dan kontrol negara pendekatan dialog antar agama yang mulai dilembagakan perlahan-lahan mulai menggeser aspek kekayaan kultural yang sudah melekat pada kehidupan masyarakat. Wacana antar umat beragama lebih menguatkan atribut dan identitas-identitas keagamaan secara formal dan bersifat komunal sehingga meminggirkan unsur-unsur kultural yang juga penting untuk dibangun. Masyarakat cenderung memiliki kesadaran Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama 109 “beragama” daripada kesadaran “berkebudayaan”. Akibatnya tidak sedikit dari kita kehilangan identitas kebudayaan dan kearifan lokal yang dianggap bukan bagian penting dari agama itu sendiri. Hubungan agama dan budaya menjadi tercerai berai yang mestinya sejak awal menjadi perekat satu sama lain. Sebab seperti apa yang telah disinggung oleh Clifford Geertz (1973) bahwasanya kedudukan agama di Indonesia merupakan bagian dari simbolsimbol kebudayaan. Namun teori ini menjadi mentah dan kembali pecah. Narasi kehidupan antar umat beragama di Indonesia yang notabenenya cukup unik dan diwarnai berbagai macam konflik merupakan bukti nyata bahwa selama ini diskursus dialog antar umat beragama hingga hari ini belum banyak membantu programprogram perdamaian dan kerukunan secara holistik. Pasalnya, pendekatan yang digunakan masih mengadopsi model-model konvensional yang kurang melibatkan perspektif kebudayaan lokal. Selama para pegiat dialog antar umat beragama lebih banyak berkutat dengan aspek-aspek teologis dan ideologis daripada aspek-aspek kebudayaan dan kearifan lokal yang pelanpelan mulai luntur. Padahal prinsip kerukunan dan toleransi antar umat beragama lahir dan tumbuh dari nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. Artinya, kebudayaan yang kita miliki masing-masing mempunyai peran fundamental dalam membangun misi dan visi dialog antar agama, perdamaian, kerukunan, dan toleransi. Oleh sebab itu, inisiatif dialog antar agama harus lebih dikuatkan lagi konsep multikulturalisme yang berpangku pada aspek-aspek dialog kebudayaan sebagai payung kerkunan antar umat beragama. Kesenian dan Tradisi Lokal Sebagai Instrumen Dialog Tahun lalu, saya sempat menghadiri sebuah pertemuan dan rapat konsolidasi para pegiat isu-isu kerukunan antar umat beragama yang 110 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama diselenggarakan oleh kementerian agama di Jakarta. Pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri oleh lembaga-lembaga pemerintah seperti Kemenag, Dewan Pertimbangan Presiden, beberapa LSM atau NGO, para praktisi, peneliti, akademisi termasuk juga dari perwakilan FKUB. Maksud dari agenda itu tak lain membahas hasil-hasil penelitian dan kajian tentang bagaimana kehidupan antar umat beragama yang sedang mengalami polarisasi. Jika kita tarik ke belakang, konflik antar agama yang terjadi lebih banyak disebabkan karena unsur politis dan nuansa ideologis. Dengan kata lain, konflik-konflik yang telah terjadi lebih banyak dilatarbelakangi oleh benturan teologis dan ideologis. Hal ini yang barangkali menyebabkan kenapa kemudian aktivisme dialog antar agama lebih banyak melibatkan tokoh-tokoh agama daripada tokoh-tokoh adat dan para budayawan. Padahal menurut saya konflik dengan motif isu keagamaan memiliki hubungan erat dengan masalah rendahnya literasi kesenian dan kebudayaan. Seperti yang saya singgung di awal bahwasanya watak masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki watak dialogis dan menyukai kompromi. Hal ini dibuktikan dengan dasar negara yang ada pada Pancasila sila ke-3 tentang persatuan dan kerukunan. Peran agama, kesenian, dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain di dalam menciptakan kehidupan yang harmonis antar umat beragama. Agama secara teologis mengandung seruan moral untuk menjalin persatuan dan kerukunan sementara seni dan kebudayaan sebagai tali perekat dan kunci dialog untuk membangun perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Meskipun para pegiat kerukunan dan dialog antar agama telah melibatkan para pemangku adat dan tokoh-tokoh kebudayaan namun seringkali saya jumpai hal itu dilakukan karena peristiwa konflik sudah terjadi, action by accident. Kesadaran meletakkan kebudayaan sebagai salah satu instrumen dialog antar agama selama ini masih bersifat reaksioner atas konflik Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama 111 yang sudah terjadi, ketimbang bersifat preventif atau tindakan antisipasi terhadap gesekan dan konflik antar agama. Hal ini yang barangkali menyebabkan kenapa peran lembaga kerukunan antar umat beragama masih bersifat formal dan sektoral. Saya kira, dari berbagai peristiwa konflik-konflik antar agama termasuk konflik sektarian dan isu-isu radikalisme yang sedang meresahkan kita hari ini bisa menjadi pelajaran penting di mana peranan aktivisme dialog dan kerukunan antar umat beragama secara terus menerus mesti memperhitungkan aspek kesenian dan kebudayaan. Kita tidak bisa memisahkan aspek kesenian dan kebudayaan karena keduanya merupakan alat vital untuk membangun kerukunan antar umat beragama. Sayangnya, selama ini forum-forum dialog antar agama lebih berorientasi pada pendekatan keagamaan hingga perlahan-lahan meminggirkan pendekatan kesenian dan kebudayaan yang mengandung nilainilai kearifan lokal. Semenjak masa kolonial, masyarakat kita sudah terlalu kenyang dengan doktrin-doktrin keagamaan hingga melupakan dan meninggalkan kekayaan seni tradisi, hal ini yang menjadi salah satu penyebab bahwa isu-isu konflik yang terjadi selama ini selalu bersentuhan dengan isu agama, bukan bersentuhan dengan isu kebudayaan. Artinya, kita masih punya harapan baik untuk membangun pundi-pundi toleransi, perdamaian, dan kerukunan antar umat beragama dengan menggunakan aset-aset kebudayaan dan kearifan lokal sebagai instrumen pendekatan dialog antar agama. Sebelum kesenian dan tradisi-tradisi lokal kita habis disapu oleh kelompok-kelompok radikal yang mulai “memangsa” generasi muda. 112 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama * MEREBUT RUANG KULINER DALAM TRADISI DIALOG ANTAR AGAMA DI SULAWESI SELATAN Amanah Nurish23 Setelah melalui turbulence di atas ketinggian lebih dari 36 ribu kaki awak maskapai berhasil mendarat di Bandara Internasional “Ujung Pandang” alias Makassar, saya dan penumpang lainnya sempat dikejutkan dengan pemandangan lautan manusia yang berjubel dan berlalu lalang dengan wajah lesu. Di tengah hari, siang itu persis tanggal 8 Maret 2020 suasana di dalam bandara menyuguhkan pemandangan yang tidak lazim. Rupanya lautan manusia yang mengular di sepanjang antrian pintu keluar masuk adalah mereka para jamaah umroh yang batal berangkat ke Arab Saudi dan harus kembali ke kampung halaman masing-masing. Peristiwa ini juga terjadi di berbagai bandara terutama kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Makassar, dll. Sejak Februari 2020, pemerintah Saudi Arabia telah resmi menutup “tembok perbatasan” dari semua negara demi menjaga dan menghindari badai Covid-19 yang sudah tercium pada bulan Desember 2019 lalu. Tidak terkecuali Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang paling besar menyumbang devisa kepada pemerintah Saudi Arabia melalui Umroh dan Ibadah Haji, sekaligus tenaga buruh migran. Inilah yang menyebabkan hubungan diplomatis antara Indonesia dan 23 Penulis adalah Antropolog Agama; Dosen Universitas Indonesia; KFN Indonesia 140 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama Saudi sulit dibantah. Jejak historis telah melacak bahwasanya sejak abad ke-18 hingga hari ini orang-orang Indonesia memang gemar pergi ke Mekah baik untuk menunaikan ibadah Haji maupun Umroh. Tidak terkecuali masyarakat Sulawesi Selatan. Bencana Covid-19 seakanakan “melumpuhkan” hampir seluruh aktifitas manusia hari ini, termasuk aspek-aspek ritual keagamaan. Badai ini merubah wajah baru peradaban dunia. Satu per satu para pemimpin rohani dunia mulai menyuarakan untuk menutup pintu-pintu rumah ibadah. Tidak hanya di Mekah, rumah-rumah ibadah terbesar di dunia seperti Vatikan, vihara di Thailand, dan juga Temple Baha’i Haifa – Israel pun menutup pintu masuk demi menjaga penyebaran virus mematikan ini. Konon, Indonesia memang termasuk negara yang lambat dalam merespon isu pandemik Covid-19. Meski di tengah suasana kepanikan global karena Covid-19, kami sebagai bagian dari KAICIID Fellows Network (KFN) Indonesia masih harus melanjutkan agenda penting di kota Sulawesi Selatan dalam rangka membangun pundi-pundi “Dialog Antar Agama”. Beruntung ketika itu kebijakan social distancing masih belum berlaku, di mana masyarakat dihimbau untuk menghindar dan membatalkan acara yang bersifat publik dan mengundang kerumunan banyak orang. Meski dengan perasaan cemas, berkat kerjasama dan kekompakan seluruh tim KFN Indonesia dan panitia lokal (dalam hal ini YPMIC/ Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Cerdas) akhirnya acara kami terselenggara dengan capaian yang memuaskan. Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama 141 Keterangan Foto: Fasilitator KFN Indonesia, Amanah Nurish dan Wiwin Rohmawati, memfasilitasi Dialog dan Makan Malam Bersama Pegiat Damai Makassar dengan metode World Café di Kota Makassar Melalui perjumpaan di antara kami para pegiat interfaith dialogue, spirit untuk membangun komitmen penting dalam rangka proses “dialog antar agama” di Sulawesi Selatan telah melahirkan berbagai poin penting hingga perlu kami dokumentasikan di sini. Salah satu metode yang kita gunakan adalah bagaimana membangun dialog melalui meja makan. Meja makan merupakan arena kuliner yang menjadi jembatan para peserta yang telah kita undang dan kita beri kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Instrumen yang kita siasati ini telah berhasil memancing para peserta untuk melakukan perbincangan-perbincangan sederhana dengan para peserta lainnya. Di sinilah proses dan ruang dialog yang sedang kita bangun melalui seni ruang-ruang kuliner. Pada dasarnya masyarakat Indonesia memiliki bakat serta kegemaran seni kuliner yang cukup kaya. Dunia kuliner merupakan bagian dari unsur seni dan tradisi yang tidak pernah bisa kita tinggalkan. Kuliner lokal ala masyarakat Sulawesi Selatan hingga berujung pada diskusi yang lebih berbobot. Melalui ruang-ruang kuliner ini, masyarakat 142 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama kita terbiasa melakukan ritual berdialog termasuk dialog antar kelompok dan dialog antar agama. Agama, Perayaan, Dan Problem Intoleransi Sulawesi Selatan bukan hanya merupakan epos wilayah pesisir yang menghasilkan aneka kekayaan laut, namun juga merupakan wilayah agraris yang sangat kaya dengan hasil bumi dan rempahrempah. Jika dideteksi secara sosiologis dan antropologis, pada umumnya masyarakat Sulawesi Selatan memiliki gaya hidup yang berlimpah ruah dengan hasil kekayaan alam yang mengitarinya. Tidak heran, jika wilayah ini telah melahirkan tradisi intelektual dalam berkebudayaan dan keberagamaan. Sebagai wilayah pesisir, masyarakat Sulawesi Selatan yang mayoritas Muslim dalam sejarahnya dikenal sebagai daeah yang memiliki basis Tentara Islam Indonesia (TII) yakni sebuah gerakan Islam dan politik yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang kemudian melebur dengan DI/TII. Sebuah gerakan pasca revolusi Indonesia tahun 1950-an yang menghendaki negara Islam. Tradisi intelektual masyarakat Sulawesi Selatan di satu sisi membawa kabar baik akan sumbangsih di dunia pergerakan dan keIslaman, namun di sisi lain membawa kabar buruk bagi kelompok-kelompok masyarakat adat yang tinggal di dalamnya. Termasuk kelompok-kelompok agama minoritas seperti Baha’i. Apa yang pernah ditulis Snouck Hurgronje (1857-1936) tentang Islam di Nusantara tidak pernah bisa dilepaskan dari 3 aspek: ibadah, sosial masyarakat, dan politik—yang memang berlaku bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Meskipun tradisi sufisme dan tradisi tariqat cukup kuat, dua dekade belakangan ini iklim kehidupan beragama masyarakat Sulawesi Selatan mengalami pergeseran dan gejolak tersendiri. Tidak jarang benturan antar umat beragama di daerah ini meninggalkan jejak polusi konflik Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama 143 tersendiri. Secara sosiologis, masyarakat Sulawesi Selatan cukup beragam baik dari segi etnis, budaya, seni, bahasa, tradisi, maupun kelompok keagamaan dan kepercayaan lokal. Berbagai agama dan kepercayaan mampu hidup bergandengan tangan di wilayah Sulawesi Selatan, meskipun yang muncul di permukaan hanya kelompok-kelompok agama mayoritas. Oleh sebab itu, penting untuk mendeteksi ulang bagaimana sebenarnya perkembangan kehidupan agama dan aliran kepercayaan di wilayah ini. Ada tiga pertanyaan inti dan tema utama yang memang sengaja dilempar ke para peserta dialog dan kuliner pada 9 Maret 2020. Para peserta yang kita undang untuk acara dialog dan makan malam melibatkan dari berbagai macam latar belakang kelompok agama, suku, kelas sosial, gender, dan usia yang berbedabeda. Selain enam agama resmi, ada berbagai macam aliran-aliran kepercayaan lokal yang masih bertahan dan biasanya mereka tinggal di kawasan pedalaman. Sementara penduduk Sulawesi Selatan yang tinggal di daerah pesisir dan perkotaan kebanyakan dari kelompok Islam, Kristen, termasuk komunitas Tionghoa. Keterangan Foto: Peserta “Culinary Dialogue” berfoto bersama setelah kegiatan berakhir 144 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama Kami memancing pertanyaan kepada para peserta tentang situasi dan kondisi intoleransi di Sulawesi Selatan. Di mana bentuk-bentuk intoleransi itu antara lain adanya campur tangan oknum-oknum di jajaran pemerintah setempat terkait edaran pelarangan (yang bersifat seruan moral dan tidak mengikat secara hukum) seperti hari perayaan kelompok-kelompok agama tertentu yang dianggap sesat. Biasanya pelarangan semacam itu dialamatkan kepada kelompok minoritas termasuk Syiah, Ahmadiyah, dan orang-orang non Muslim lainnya. Bentuk-bentuk intoleransi di Sulawesi Selatan selain pada persoalan larangan ritual ibadah tertentu yang dianggap sesat oleh orang-orang Muslim, pelarangan pendirian tempattempat ibadah seperti gereja juga terjadi. Ada problem mayoritas dan minoritas di dalam kehidupan beragama—di mana kelompok minoritas seringkali menjadi sasaran tindakan intoleransi dan diskriminasi. Dalam hal ini yang paling diuntungkan posisinya adalah kelompok-kelompok mayoritas karena secara struktur kekuatan dan kekuasaan paling dominan. Dialog Antar Agama: Praktek Dan Partisipasi Karena masyarakat dan budayanya yang cukup majemuk, gesekan antar kelompok dan antar umat beragama kerap terjadi di Sulawesi Selatan seperti penolakan pendirian gereja atau tempat ibadah orang-orang non Muslim. Kabar baiknya adalah potensi dan tradisi intelektual masyarakat Sulawesi Selatan sangat bagus sehingga tidak menutup kemungkinan kaum generasi muda yang memiliki pemikiran progresif biasanya melakukan kerja-kerja pendampingan kepada masyarakat untuk mempromosikan upaya kerukunan antar umat beragama. Biasanya mereka rata-rata para intelektual dan aktivis muda yang belajar di luar Sulawesi Selatan. Pada umumnya masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi berdagang dan hilir mudik antar pulau bahkan antar negara dan hal Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama 145 ini yang menyebabkan salah satu faktor kenapa Makassar sebagai pusat kota memiliki kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Dengan potensi yang menunjang dan mendukung upaya-upaya perdamaian, terutama tokoh-tokoh muda mulai dari para aktivis perdamaian, akademisi, praktisi, hingga tokoh agama tidak jarang memulai inisiatif membangun upaya kerukunan dan toleransi antar umat beragama melalui dialog antar agama. Bentuk-bentuk inisiatif dialog antar agama yang telah diimplementasikan para pegiat perdamaian dan tokoh agama di Sulawesi Selatan memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Di antaranya pendekatan formal dengan basis antar organisasi dan instansi seperti penyelenggaraan dan pertemuan para tokoh antar agama dan keyakinan, seminar dan diskusi akademik di kampuskampus, paguyuban pemuda lintas agama, hingga mediasi antar umat beragama dengan pihak pemerintah setempat. Selain kegiatan formal, praktek-praktek dialog antar agama yang dilakukan para pegiat perdamaian dan kerukunan antar umat beragama di Sulawesi Selatan juga dalam bentuk kegiatan yang bersifat informal. Di antaranya seperti kunjungan ke tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, vihara, dll. Di samping itu juga ada bentuk-bentuk dialog antar agama yang berupa kemah dan kampanye perdamaian, menjalin kerjasama dengan pemerintah setempat untuk peringatan hari perdamaian sedunia, juga ada upaya membangun narasi melalui dunia online dengan menciptakan konten wacana mengenai isu perdamaian dan kerukunan. Di level ini tentu saja sasarannya para generasi muda terutama kaum milenial dan generasi z yang seharihari tidak lepas dari dunia gadget. Saya kira, masyarakat Sulawesi Selatan telah membuktikan bahwasanya kesadaran berdialog dalam membangun literasi bisa sangat progresif, meskipun di sisi lain intensitas konflik antar agama kerap terjadi. 146 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama Rekomendasi Dan Strategi Membangun Kerukunan Dan Toleransi Melalui implementasi dialog antar agama yang kami selenggarakan (KFN Indonesia) dengan pendekatan “ruang kuliner”—yang melibatkan berbagai tokoh agama, akademisi, aktivis, dan praktisi maka ada beberapa benang merah yang menarik untuk menjadi rujukan penting tentang bagaimana mewujudkan masyarakat yang harmonis dan toleran di Sulawesi Selatan. Di antara poinpoin yang saya sampaikan di sini semua murni dari pemikiran dan kesepakatan para peserta dialog yang terbagi menjadi 5 kelompok. 1. Mendorong stake holder dan komunitas lintas agama dan lintas suku dalam meningkatkan kesadaran berbineka mulai dari tingkat sekolah hingga universitas. 2. Memperkuat dialog antar agama. 3. Perlunya dukungan pemerintah untuk memfasilitasi pertemuan antar tokoh agama dan aliran kepercayaan untuk mewujudkan toleransi. 4. Memperkuat kurikulum pendidikan mengenai dialog antar agama, toleransi, dan perdamaian. 5. Membangun sinergi antar masyarakat sipil, pemerintah, praktisi, dan pegiat dialog antar agama, toleransi, dan perdamaian. 6. Mendukung generasi muda dari lintas agama dan aliran/ kepercayaan lokal termasuk kelompok agama minoritas lainnya. 7. Mengadakan pelatihan-pelatihan yang berbasis moderasi dan toleransi untuk para tokoh agama seperti para penceramah dan imam. Benang Merah Perjalanan etnografi selama di Sulawesi Selatan yang saya hadiri selama pertengahan Maret 2020 bersama tim KFN Indonesia bukan Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama 147 merupakan seremoni belaka. Namun, ada refleksi penting yang mungkin ke depan bisa menjadi blue print di mana dokumentasi yang telah kami selenggarakan bersama lembaga YPMIC (Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Cerdas) kota Makassar ini akan menjadi stimulasi bagi pegiat perdamaian dan dialog antar agama. Bentuk refleksinya adalah bagaimana menemukan benang merah di tengah problematika kehidupan antar umat beragama. Sebab, perdamaian dan toleransi antar umat beragama bukan sesuatu yang bersifat instan namun perlu terus menerus diupayakan melalui proses dialog di dalamnya. Pada akhirnya, inti dari gagasan yang ingin saya sampaikan di sini bahwa sesungguhnya apa yang bisa kita lakukan ya dilakukan dan dikerjakan, dan apa yang tidak mampu dilakukan ya jangan dipaksakan. Begitulah ruang-ruang dialog yang mestinya diterjemahkan dengan tujuan memudahkan secara teknis namun tetap ideal secara substansi. Inilah yang saya maksud bagaimana merebut ruang kuliner sebagai instrumen dialog antar agama yang secara antropologis selalu relevan dengan karakter masyarakat Indonesia dengan watak komunal. Apalagi urusan kuliner dan karpet merah di tengah himpunan meja makan, ini hal yang menggemberikan. Begitulah kerja-kerja dialog antar agama mesti bersifat menggembirakan, bukan menegangkan. 148 Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama