Mansyur Achmad
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
MENYALAKAN “LILIN”: DIALOG ANTAR AGAMA
Copyright © KFN Indonesia
Diterbitkan pertama kali oleh Litera.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved.
Hak Penerbitan pada Penerbit Litera.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Cetakan Pertama: April 2020
xxviii+180 hlm, 15 cm x 22 cm
ISBN: 978-623-7864-04-2
Editor
: Ridwan al-Makassary & Yusuf Daud
Perancang Sampul : Agung
Penata Letak
: Litera.co
Diterbitkan oleh:
Penerbit
Suronatan NG II/863 Yogyakarya
Telp. 0852-2633-0202
E-mail :
[email protected]
Bekerjasama dengan:
KAICIID Fellows Network (KFN) Indonesia
iv
Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik
MENYALAKAN “LILIN” KEBUDAYAAN
UNTUK DIALOG ANTAR AGAMA
Amanah NurishI18
Perjalanan kehidupan agama-agama di Nusantara ini mengalami
fluktuasi ruang sosial kebudayaan dan fluktuasi ruang politik
yang cukup dinamis. Namun, terkadang keadaan siklus politik
di negeri kita yang tidak menentu ini tidak jarang memicu situasi
konflik-konflik yang pernah ada dan berakibat pada kehidupan
sekaligus kerukunan antar umat beragama. Sejarah kerukunan
antar keyakinan dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia
sebenarnya sudah cukup lama hadir dalam sendi-sendi masyarakat
kita sejak zaman pra kolonial. Pada dasarnya masyarakat kita adalah
masyarakat yang memiliki bakat untuk berdialog, termasuk dalam
mendialogkan hubungan antar agama dan keyakinan.
Jika kita perhatikan, spirit dialog yang ada pada karakter
masyarakat kita berkaitan dengan aspek ritual dan aspek
spiritualitas di mana kedua aspek tersebut menjadi bagian dari
identitas masyarakat yang tinggal di kawasan maritim seperti
Indonesia. Masyarakat yang hidup di wilayah pesisir, perbukitan,
dan pegunungan bagaimanapun mencerminkan interaksi mereka
yang dekat dengan alam dibanding masyarakat yang hidup
di daerah urban atau perkotaan. Fenomena geografis ini juga
berpengaruh pada kehidupan dan kerukunan antar umat beragama.
Bagaimanapun kearifan dan kebudayaan lokal sangat menjadi
faktor penentu misi perdamaian di atas keragaman. Indonesia yang
18
Penulis adalah Antropolog Agama; Dosen Universitas Indonesia; KFN
Indonesia
108
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
kaya dengan keanekaragaman budaya, agama, ras, suku, etnis, dan
bahasa memiliki nuansa khas tersendiri di dalam mengaplikasikan
kerukunan antar umat beragama. Oleh karenanya penting sekali
untuk melihat kembali bagaimana metode dialog antar agama
yang mestinya perlu juga disandingkan dengan dialog-dialog
kebudayaan lokal demi membangun perdamaian serta kerukunan
antar umat beragama di Indonesia.
Dialog Kebudayaan Sebagai Alternatif
Gagasan dan ide dialog antar agama sejak tahun 1969 telah menjadi
perhatian yang serius dan berhasil diambil alih oleh negara. Sebuah
masa di mana pasca peristiwa 1965-66 konflik antar umat beragama
terutama orang-orang Islam dan Kristen mulai mengalami
fragmentasi. Ketika di masa Mukti Ali menjadi menteri agama
(1972-1978) inisiatif dialog antar agama telah dikonstruksi oleh
negara dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu menciptakan
hubungan antar agama yang masih dipahami untuk membatasi
dari pengaruh agama satu sama lainnya. Masyarakat dengan
identitas agama tertentu harus memiliki jiwa toleransi tanpa harus
terpengaruh ajaran-ajaran agama selain yang diyakininya. Namun
demikian, ruang-ruang dialog antar agama yang dikonstruksi di
masa pemerintahan orde baru ini berorientasi pada pendekatan
struktural daripada pendekatan kultural. Menurut hemat saya,
melalui kebijakan dan kontrol negara pendekatan dialog antar
agama yang mulai dilembagakan perlahan-lahan mulai menggeser
aspek kekayaan kultural yang sudah melekat pada kehidupan
masyarakat.
Wacana antar umat beragama lebih menguatkan atribut dan
identitas-identitas keagamaan secara formal dan bersifat komunal
sehingga meminggirkan unsur-unsur kultural yang juga penting
untuk dibangun. Masyarakat cenderung memiliki kesadaran
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
109
“beragama” daripada kesadaran “berkebudayaan”. Akibatnya
tidak sedikit dari kita kehilangan identitas kebudayaan dan
kearifan lokal yang dianggap bukan bagian penting dari agama itu
sendiri. Hubungan agama dan budaya menjadi tercerai berai yang
mestinya sejak awal menjadi perekat satu sama lain. Sebab seperti
apa yang telah disinggung oleh Clifford Geertz (1973) bahwasanya
kedudukan agama di Indonesia merupakan bagian dari simbolsimbol kebudayaan. Namun teori ini menjadi mentah dan kembali
pecah.
Narasi kehidupan antar umat beragama di Indonesia yang
notabenenya cukup unik dan diwarnai berbagai macam konflik
merupakan bukti nyata bahwa selama ini diskursus dialog antar
umat beragama hingga hari ini belum banyak membantu programprogram perdamaian dan kerukunan secara holistik. Pasalnya,
pendekatan yang digunakan masih mengadopsi model-model
konvensional yang kurang melibatkan perspektif kebudayaan
lokal. Selama para pegiat dialog antar umat beragama lebih
banyak berkutat dengan aspek-aspek teologis dan ideologis
daripada aspek-aspek kebudayaan dan kearifan lokal yang pelanpelan mulai luntur. Padahal prinsip kerukunan dan toleransi
antar umat beragama lahir dan tumbuh dari nilai-nilai Bhineka
Tunggal Ika. Artinya, kebudayaan yang kita miliki masing-masing
mempunyai peran fundamental dalam membangun misi dan visi
dialog antar agama, perdamaian, kerukunan, dan toleransi. Oleh
sebab itu, inisiatif dialog antar agama harus lebih dikuatkan lagi
konsep multikulturalisme yang berpangku pada aspek-aspek dialog
kebudayaan sebagai payung kerkunan antar umat beragama.
Kesenian dan Tradisi Lokal Sebagai Instrumen Dialog
Tahun lalu, saya sempat menghadiri sebuah pertemuan dan rapat
konsolidasi para pegiat isu-isu kerukunan antar umat beragama yang
110
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
diselenggarakan oleh kementerian agama di Jakarta. Pertemuan
tersebut tidak hanya dihadiri oleh lembaga-lembaga pemerintah
seperti Kemenag, Dewan Pertimbangan Presiden, beberapa LSM
atau NGO, para praktisi, peneliti, akademisi termasuk juga dari
perwakilan FKUB. Maksud dari agenda itu tak lain membahas
hasil-hasil penelitian dan kajian tentang bagaimana kehidupan
antar umat beragama yang sedang mengalami polarisasi. Jika kita
tarik ke belakang, konflik antar agama yang terjadi lebih banyak
disebabkan karena unsur politis dan nuansa ideologis. Dengan kata
lain, konflik-konflik yang telah terjadi lebih banyak dilatarbelakangi
oleh benturan teologis dan ideologis. Hal ini yang barangkali
menyebabkan kenapa kemudian aktivisme dialog antar agama lebih
banyak melibatkan tokoh-tokoh agama daripada tokoh-tokoh adat
dan para budayawan. Padahal menurut saya konflik dengan motif
isu keagamaan memiliki hubungan erat dengan masalah rendahnya
literasi kesenian dan kebudayaan.
Seperti yang saya singgung di awal bahwasanya watak
masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki watak dialogis dan
menyukai kompromi. Hal ini dibuktikan dengan dasar negara yang
ada pada Pancasila sila ke-3 tentang persatuan dan kerukunan. Peran
agama, kesenian, dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama
lain di dalam menciptakan kehidupan yang harmonis antar umat
beragama. Agama secara teologis mengandung seruan moral untuk
menjalin persatuan dan kerukunan sementara seni dan kebudayaan
sebagai tali perekat dan kunci dialog untuk membangun perdamaian
dalam kehidupan masyarakat. Meskipun para pegiat kerukunan
dan dialog antar agama telah melibatkan para pemangku adat dan
tokoh-tokoh kebudayaan namun seringkali saya jumpai hal itu
dilakukan karena peristiwa konflik sudah terjadi, action by accident.
Kesadaran meletakkan kebudayaan sebagai salah satu instrumen
dialog antar agama selama ini masih bersifat reaksioner atas konflik
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
111
yang sudah terjadi, ketimbang bersifat preventif atau tindakan
antisipasi terhadap gesekan dan konflik antar agama. Hal ini yang
barangkali menyebabkan kenapa peran lembaga kerukunan antar
umat beragama masih bersifat formal dan sektoral.
Saya kira, dari berbagai peristiwa konflik-konflik antar
agama termasuk konflik sektarian dan isu-isu radikalisme yang
sedang meresahkan kita hari ini bisa menjadi pelajaran penting
di mana peranan aktivisme dialog dan kerukunan antar umat
beragama secara terus menerus mesti memperhitungkan aspek
kesenian dan kebudayaan. Kita tidak bisa memisahkan aspek
kesenian dan kebudayaan karena keduanya merupakan alat vital
untuk membangun kerukunan antar umat beragama. Sayangnya,
selama ini forum-forum dialog antar agama lebih berorientasi pada
pendekatan keagamaan hingga perlahan-lahan meminggirkan
pendekatan kesenian dan kebudayaan yang mengandung nilainilai kearifan lokal. Semenjak masa kolonial, masyarakat kita
sudah terlalu kenyang dengan doktrin-doktrin keagamaan hingga
melupakan dan meninggalkan kekayaan seni tradisi, hal ini yang
menjadi salah satu penyebab bahwa isu-isu konflik yang terjadi
selama ini selalu bersentuhan dengan isu agama, bukan bersentuhan
dengan isu kebudayaan. Artinya, kita masih punya harapan baik
untuk membangun pundi-pundi toleransi, perdamaian, dan
kerukunan antar umat beragama dengan menggunakan aset-aset
kebudayaan dan kearifan lokal sebagai instrumen pendekatan
dialog antar agama. Sebelum kesenian dan tradisi-tradisi lokal
kita habis disapu oleh kelompok-kelompok radikal yang mulai
“memangsa” generasi muda.
112
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
*
MEREBUT RUANG KULINER
DALAM TRADISI DIALOG ANTAR AGAMA
DI SULAWESI SELATAN
Amanah Nurish23
Setelah melalui turbulence di atas ketinggian lebih dari 36 ribu
kaki awak maskapai berhasil mendarat di Bandara Internasional
“Ujung Pandang” alias Makassar, saya dan penumpang lainnya
sempat dikejutkan dengan pemandangan lautan manusia yang
berjubel dan berlalu lalang dengan wajah lesu. Di tengah hari,
siang itu persis tanggal 8 Maret 2020 suasana di dalam bandara
menyuguhkan pemandangan yang tidak lazim. Rupanya lautan
manusia yang mengular di sepanjang antrian pintu keluar masuk
adalah mereka para jamaah umroh yang batal berangkat ke Arab
Saudi dan harus kembali ke kampung halaman masing-masing.
Peristiwa ini juga terjadi di berbagai bandara terutama kota-kota
besar seperti Surabaya, Jakarta, Makassar, dll.
Sejak Februari 2020, pemerintah Saudi Arabia telah resmi
menutup “tembok perbatasan” dari semua negara demi menjaga
dan menghindari badai Covid-19 yang sudah tercium pada bulan
Desember 2019 lalu. Tidak terkecuali Indonesia, sebagai negara
dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang paling besar
menyumbang devisa kepada pemerintah Saudi Arabia melalui
Umroh dan Ibadah Haji, sekaligus tenaga buruh migran. Inilah
yang menyebabkan hubungan diplomatis antara Indonesia dan
23
Penulis adalah Antropolog Agama; Dosen Universitas Indonesia; KFN
Indonesia
140
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
Saudi sulit dibantah.
Jejak historis telah melacak bahwasanya sejak abad ke-18
hingga hari ini orang-orang Indonesia memang gemar pergi ke
Mekah baik untuk menunaikan ibadah Haji maupun Umroh. Tidak
terkecuali masyarakat Sulawesi Selatan. Bencana Covid-19 seakanakan “melumpuhkan” hampir seluruh aktifitas manusia hari ini,
termasuk aspek-aspek ritual keagamaan. Badai ini merubah wajah
baru peradaban dunia. Satu per satu para pemimpin rohani dunia
mulai menyuarakan untuk menutup pintu-pintu rumah ibadah.
Tidak hanya di Mekah, rumah-rumah ibadah terbesar di dunia
seperti Vatikan, vihara di Thailand, dan juga Temple Baha’i Haifa –
Israel pun menutup pintu masuk demi menjaga penyebaran virus
mematikan ini.
Konon, Indonesia memang termasuk negara yang lambat
dalam merespon isu pandemik Covid-19. Meski di tengah
suasana kepanikan global karena Covid-19, kami sebagai bagian
dari KAICIID Fellows Network (KFN) Indonesia masih harus
melanjutkan agenda penting di kota Sulawesi Selatan dalam rangka
membangun pundi-pundi “Dialog Antar Agama”. Beruntung
ketika itu kebijakan social distancing masih belum berlaku, di mana
masyarakat dihimbau untuk menghindar dan membatalkan acara
yang bersifat publik dan mengundang kerumunan banyak orang.
Meski dengan perasaan cemas, berkat kerjasama dan kekompakan
seluruh tim KFN Indonesia dan panitia lokal (dalam hal ini YPMIC/
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Cerdas) akhirnya acara
kami terselenggara dengan capaian yang memuaskan.
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
141
Keterangan Foto: Fasilitator KFN Indonesia, Amanah Nurish dan Wiwin
Rohmawati, memfasilitasi Dialog dan Makan Malam Bersama Pegiat
Damai Makassar dengan metode World Café di Kota Makassar
Melalui perjumpaan di antara kami para pegiat interfaith dialogue,
spirit untuk membangun komitmen penting dalam rangka proses
“dialog antar agama” di Sulawesi Selatan telah melahirkan berbagai
poin penting hingga perlu kami dokumentasikan di sini. Salah satu
metode yang kita gunakan adalah bagaimana membangun dialog
melalui meja makan. Meja makan merupakan arena kuliner yang
menjadi jembatan para peserta yang telah kita undang dan kita
beri kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Instrumen
yang kita siasati ini telah berhasil memancing para peserta untuk
melakukan perbincangan-perbincangan sederhana dengan para
peserta lainnya. Di sinilah proses dan ruang dialog yang sedang
kita bangun melalui seni ruang-ruang kuliner. Pada dasarnya
masyarakat Indonesia memiliki bakat serta kegemaran seni kuliner
yang cukup kaya. Dunia kuliner merupakan bagian dari unsur
seni dan tradisi yang tidak pernah bisa kita tinggalkan. Kuliner
lokal ala masyarakat Sulawesi Selatan hingga berujung pada diskusi
yang lebih berbobot. Melalui ruang-ruang kuliner ini, masyarakat
142
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
kita terbiasa melakukan ritual berdialog termasuk dialog antar
kelompok dan dialog antar agama.
Agama, Perayaan, Dan Problem Intoleransi
Sulawesi Selatan bukan hanya merupakan epos wilayah pesisir
yang menghasilkan aneka kekayaan laut, namun juga merupakan
wilayah agraris yang sangat kaya dengan hasil bumi dan rempahrempah. Jika dideteksi secara sosiologis dan antropologis, pada
umumnya masyarakat Sulawesi Selatan memiliki gaya hidup yang
berlimpah ruah dengan hasil kekayaan alam yang mengitarinya.
Tidak heran, jika wilayah ini telah melahirkan tradisi intelektual
dalam berkebudayaan dan keberagamaan. Sebagai wilayah pesisir,
masyarakat Sulawesi Selatan yang mayoritas Muslim dalam
sejarahnya dikenal sebagai daeah yang memiliki basis Tentara
Islam Indonesia (TII) yakni sebuah gerakan Islam dan politik
yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang kemudian melebur
dengan DI/TII. Sebuah gerakan pasca revolusi Indonesia tahun
1950-an yang menghendaki negara Islam. Tradisi intelektual
masyarakat Sulawesi Selatan di satu sisi membawa kabar baik akan
sumbangsih di dunia pergerakan dan keIslaman, namun di sisi lain
membawa kabar buruk bagi kelompok-kelompok masyarakat adat
yang tinggal di dalamnya. Termasuk kelompok-kelompok agama
minoritas seperti Baha’i.
Apa yang pernah ditulis Snouck Hurgronje (1857-1936)
tentang Islam di Nusantara tidak pernah bisa dilepaskan dari 3
aspek: ibadah, sosial masyarakat, dan politik—yang memang
berlaku bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Meskipun tradisi sufisme
dan tradisi tariqat cukup kuat, dua dekade belakangan ini iklim
kehidupan beragama masyarakat Sulawesi Selatan mengalami
pergeseran dan gejolak tersendiri. Tidak jarang benturan antar
umat beragama di daerah ini meninggalkan jejak polusi konflik
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
143
tersendiri. Secara sosiologis, masyarakat Sulawesi Selatan cukup
beragam baik dari segi etnis, budaya, seni, bahasa, tradisi, maupun
kelompok keagamaan dan kepercayaan lokal. Berbagai agama
dan kepercayaan mampu hidup bergandengan tangan di wilayah
Sulawesi Selatan, meskipun yang muncul di permukaan hanya
kelompok-kelompok agama mayoritas.
Oleh sebab itu, penting untuk mendeteksi ulang bagaimana
sebenarnya perkembangan kehidupan agama dan aliran kepercayaan
di wilayah ini. Ada tiga pertanyaan inti dan tema utama yang
memang sengaja dilempar ke para peserta dialog dan kuliner pada
9 Maret 2020. Para peserta yang kita undang untuk acara dialog
dan makan malam melibatkan dari berbagai macam latar belakang
kelompok agama, suku, kelas sosial, gender, dan usia yang berbedabeda. Selain enam agama resmi, ada berbagai macam aliran-aliran
kepercayaan lokal yang masih bertahan dan biasanya mereka
tinggal di kawasan pedalaman. Sementara penduduk Sulawesi
Selatan yang tinggal di daerah pesisir dan perkotaan kebanyakan
dari kelompok Islam, Kristen, termasuk komunitas Tionghoa.
Keterangan Foto: Peserta “Culinary Dialogue” berfoto bersama setelah kegiatan
berakhir
144
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
Kami memancing pertanyaan kepada para peserta tentang situasi
dan kondisi intoleransi di Sulawesi Selatan. Di mana bentuk-bentuk
intoleransi itu antara lain adanya campur tangan oknum-oknum
di jajaran pemerintah setempat terkait edaran pelarangan (yang
bersifat seruan moral dan tidak mengikat secara hukum) seperti
hari perayaan kelompok-kelompok agama tertentu yang dianggap
sesat. Biasanya pelarangan semacam itu dialamatkan kepada
kelompok minoritas termasuk Syiah, Ahmadiyah, dan orang-orang
non Muslim lainnya. Bentuk-bentuk intoleransi di Sulawesi Selatan
selain pada persoalan larangan ritual ibadah tertentu yang dianggap
sesat oleh orang-orang Muslim, pelarangan pendirian tempattempat ibadah seperti gereja juga terjadi. Ada problem mayoritas
dan minoritas di dalam kehidupan beragama—di mana kelompok
minoritas seringkali menjadi sasaran tindakan intoleransi dan
diskriminasi. Dalam hal ini yang paling diuntungkan posisinya
adalah kelompok-kelompok mayoritas karena secara struktur
kekuatan dan kekuasaan paling dominan.
Dialog Antar Agama: Praktek Dan Partisipasi
Karena masyarakat dan budayanya yang cukup majemuk, gesekan
antar kelompok dan antar umat beragama kerap terjadi di
Sulawesi Selatan seperti penolakan pendirian gereja atau tempat
ibadah orang-orang non Muslim. Kabar baiknya adalah potensi
dan tradisi intelektual masyarakat Sulawesi Selatan sangat bagus
sehingga tidak menutup kemungkinan kaum generasi muda yang
memiliki pemikiran progresif biasanya melakukan kerja-kerja
pendampingan kepada masyarakat untuk mempromosikan upaya
kerukunan antar umat beragama. Biasanya mereka rata-rata para
intelektual dan aktivis muda yang belajar di luar Sulawesi Selatan.
Pada umumnya masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi
berdagang dan hilir mudik antar pulau bahkan antar negara dan hal
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
145
ini yang menyebabkan salah satu faktor kenapa Makassar sebagai
pusat kota memiliki kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, dan
kebudayaan. Dengan potensi yang menunjang dan mendukung
upaya-upaya perdamaian, terutama tokoh-tokoh muda mulai dari
para aktivis perdamaian, akademisi, praktisi, hingga tokoh agama
tidak jarang memulai inisiatif membangun upaya kerukunan dan
toleransi antar umat beragama melalui dialog antar agama.
Bentuk-bentuk inisiatif dialog antar agama yang telah
diimplementasikan para pegiat perdamaian dan tokoh agama di
Sulawesi Selatan memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Di
antaranya pendekatan formal dengan basis antar organisasi dan
instansi seperti penyelenggaraan dan pertemuan para tokoh antar
agama dan keyakinan, seminar dan diskusi akademik di kampuskampus, paguyuban pemuda lintas agama, hingga mediasi antar
umat beragama dengan pihak pemerintah setempat. Selain kegiatan
formal, praktek-praktek dialog antar agama yang dilakukan para
pegiat perdamaian dan kerukunan antar umat beragama di Sulawesi
Selatan juga dalam bentuk kegiatan yang bersifat informal. Di
antaranya seperti kunjungan ke tempat-tempat ibadah seperti
masjid, gereja, vihara, dll. Di samping itu juga ada bentuk-bentuk
dialog antar agama yang berupa kemah dan kampanye perdamaian,
menjalin kerjasama dengan pemerintah setempat untuk peringatan
hari perdamaian sedunia, juga ada upaya membangun narasi melalui
dunia online dengan menciptakan konten wacana mengenai isu
perdamaian dan kerukunan. Di level ini tentu saja sasarannya para
generasi muda terutama kaum milenial dan generasi z yang seharihari tidak lepas dari dunia gadget. Saya kira, masyarakat Sulawesi
Selatan telah membuktikan bahwasanya kesadaran berdialog
dalam membangun literasi bisa sangat progresif, meskipun di sisi
lain intensitas konflik antar agama kerap terjadi.
146
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
Rekomendasi Dan Strategi Membangun Kerukunan Dan
Toleransi
Melalui implementasi dialog antar agama yang kami selenggarakan
(KFN Indonesia) dengan pendekatan “ruang kuliner”—yang
melibatkan berbagai tokoh agama, akademisi, aktivis, dan praktisi
maka ada beberapa benang merah yang menarik untuk menjadi
rujukan penting tentang bagaimana mewujudkan masyarakat
yang harmonis dan toleran di Sulawesi Selatan. Di antara poinpoin yang saya sampaikan di sini semua murni dari pemikiran dan
kesepakatan para peserta dialog yang terbagi menjadi 5 kelompok.
1. Mendorong stake holder dan komunitas lintas agama dan lintas
suku dalam meningkatkan kesadaran berbineka mulai dari
tingkat sekolah hingga universitas.
2. Memperkuat dialog antar agama.
3. Perlunya dukungan pemerintah untuk memfasilitasi pertemuan
antar tokoh agama dan aliran kepercayaan untuk mewujudkan
toleransi.
4. Memperkuat kurikulum pendidikan mengenai dialog antar
agama, toleransi, dan perdamaian.
5. Membangun sinergi antar masyarakat sipil, pemerintah, praktisi,
dan pegiat dialog antar agama, toleransi, dan perdamaian.
6. Mendukung generasi muda dari lintas agama dan aliran/
kepercayaan lokal termasuk kelompok agama minoritas lainnya.
7. Mengadakan pelatihan-pelatihan yang berbasis moderasi dan
toleransi untuk para tokoh agama seperti para penceramah dan
imam.
Benang Merah
Perjalanan etnografi selama di Sulawesi Selatan yang saya hadiri
selama pertengahan Maret 2020 bersama tim KFN Indonesia bukan
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama
147
merupakan seremoni belaka. Namun, ada refleksi penting yang
mungkin ke depan bisa menjadi blue print di mana dokumentasi
yang telah kami selenggarakan bersama lembaga YPMIC (Yayasan
Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Cerdas) kota Makassar ini akan
menjadi stimulasi bagi pegiat perdamaian dan dialog antar agama.
Bentuk refleksinya adalah bagaimana menemukan benang merah
di tengah problematika kehidupan antar umat beragama. Sebab,
perdamaian dan toleransi antar umat beragama bukan sesuatu yang
bersifat instan namun perlu terus menerus diupayakan melalui
proses dialog di dalamnya.
Pada akhirnya, inti dari gagasan yang ingin saya sampaikan
di sini bahwa sesungguhnya apa yang bisa kita lakukan ya
dilakukan dan dikerjakan, dan apa yang tidak mampu dilakukan
ya jangan dipaksakan. Begitulah ruang-ruang dialog yang mestinya
diterjemahkan dengan tujuan memudahkan secara teknis namun
tetap ideal secara substansi. Inilah yang saya maksud bagaimana
merebut ruang kuliner sebagai instrumen dialog antar agama yang
secara antropologis selalu relevan dengan karakter masyarakat
Indonesia dengan watak komunal. Apalagi urusan kuliner dan
karpet merah di tengah himpunan meja makan, ini hal yang
menggemberikan. Begitulah kerja-kerja dialog antar agama mesti
bersifat menggembirakan, bukan menegangkan.
148
Menyalakan “Lilin” Dialog Antar Agama