Reformasi Birokrasi Pendidikan, Perspektif Politik1
Wawan E. Kuswandoro2
Abstract
Why educational bureaucracy reforms? This, lead local government goes to its
effectiveness in managing most people in their territorial. The basic assumption used by
this article is that education bureaucracy containing strategic instrument of political
schemes that reach most citizen. Such a paradigm, this article argues that theoretical
concept of bureaucracy and it’s reforms, especially that in education sector, must have
a central position in relationship to general efforts of government system reforms in
district area. Usage of application models of it to ensure evolutional shaped
bureaucracy reforms will lead to one face of democratic accountabilities shown by
citizen engagement. Bureaucracy controlled by public or to be called ‘citizen
committee’, building public-based school management and some kind of making
education institution becomes more opened and transparent, electing school manager
by people are some kinds of positive outcome will be reach to proof and make
bureaucracy reforms real.
Keywords: reforms, bureaucracy, effective government.
I
Menakar Urgensi Reformasi Birokrasi Pendidikan
Mengawali tulisan ini, penulis ingin terlebih dahulu mengeksplanasi birokrasi dan
urgensi reformasi birokrasi pendidikan. Weber, sebagaimana dikutip oleh Priyatmoko, MA,
dalam “Kekuasaan Birokratik dan Cara-cara Mengontrolnya”, cenderung memandang birokrasi
merupakan proses yang tak terelakkan sebagai konsekuensi rasionalisasi dan modernisasi. Ia
berharap bahwa kekuasaan birokrasi dapat dikontrol oleh para pemimpin politik dan pengusaha,
utamanya pemimpin kharismatik. Sementara, Mises lebih melihat pertumbuhan kekuasaan
birokrasi merupakan akibat langsung dari pilihan politik para elite, khususnya ideologi Negara
! "
$ % &" ' % ( ( (
(
'
+) (* ,
- % ! + -,
% % ( (4 " 5" % % ( (4
"5( "
#
) ( (
".
/
(
0/ 1/
* !
% 2
'
"&
3
1
yang intervensionis. Mises mencemaskan kekuasaan birokrasi sebagai manifestasi ideologi
totaliterisme yang mengancam demokrasi, kebebasan individu, dan kemakmuran ekonomi
melalui mekanisme pasar3. Dan mengapa birokrasi pendidikan layak untuk diperhatikan dengan
memperbaiki kualitas layanannya, yakni dengan mereformasinya? Ada 2 alasan yang
melatarbelakanginya.
Pertama, pendidikan merupakan instrumen kebijakan politik pemerintah. Terdapat
keterkaitan antara politik dengan pendidikan. M. Sirozi, Ph.D menunjukkan keterkaitan itu
dengan menyebutkan bahwa pendidikan dan politik merupakan dua elemen penting dalam
system social politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya
sering dilihat sebagai bagian-bagian terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apaapa, padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat4. Di
Negara-negara Barat, kajian antara politik dan pendidikan dimulai oleh Plato dalam bukunya
Republic, yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan
metode pendidikan. Berikut ini kesan Allan Bloom5 tentang Republic:
“For me, (Republic is) the book on education, because it really explain to me what I
experience as a man and teacher, and I have almost always used it to point out what we
should not hope for, as a teaching of moderation and resignation”.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah
adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan
bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok
elite yang secara terus-menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama dan pendidikan.
Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas pendidikan dan aktivitas
politik. Abernethy dan Coombe (1965:287) mengungkapkan, education and politics are
inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka
(1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek,
yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment),
dan peranan politik kaum cendekia (the political roles of the intellegents).
3
Priyatmoko, MA., Kekuasaan Birokrasi dan Cara-cara Mengontrolnya, artikel materi kelas.
M. Sirozi, Ph.D, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik
Penyelenggaraan Pendidikan, Penerbit Rajawali Press, 2005, halm. 1.
/
- ((
678397:
4
2
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada
dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya, filsafat pendidikan di suatu Negara
seringkali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh Negara tersebut. Abernethy
dan Coombe (1965:287) menulis sebagai berikut:
“A government’s education policy reflect, and sometimes betray, its view of society or
political creed. The formulation of policy, being a function of government, is essentially part
of the political process, as are the demands made on government by the public for its
revision”.6
Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada
kehidupan politik. Abernethy dan Coombe (1965:287) mencatat empat aspek kehidupan
masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh
pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas social, ide-ide dan sikap. Mereka menulis:
“And the implementation of education policy has political consequences by affecting, among
other things, types and levels of employment, social mobility, and the ideas and attitudes of
the population”.7
Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam suatu masyarakat
terus meningkat seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Di
Negara-negara berkembang, dinamika tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahanperubahan tersebut terjadi lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam proses
yang menghantarkan Negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy dan Coombe
(1965:287) mengamati hal-hal berikut ini:
“In general, the political significance of education in contemporary societies increases with
the degree of change a society in undergoing. The massive changes which developing
countries have already experienced and those, whether included of not, which are in process,
render all the more conspicuous the reciprocal relationship between politics and education in
these areas”.8
Kutipan di atas paling tidak menggambarkan dua hal. Pertama, eratnya hubungan antara
politik dan pendidikan. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan
sosial politik masyarakat. Di Indonesia, kebijakan pendidikan diarahkan untuk menciptakan
manusia yang merdeka dan demokratis dengan memiliki kekuatan pada aspek-aspek keimanan
menurut agama yang dianutnya. Karena itu urusan pendidikan tidak sekadar merupakan hak dan
0
(
(; "
8
7
3
kebutuhan masyarakat, tetapi juga merupakan kewajiban negara kepada warga negaranya.
Warganegara berhak memperoleh pendidikan, sedang negara wajib memfasilitasinya. Hubungan
pendidikan dan negara menjadi begitu penting, karena pengaturan umum perihal pendidikan
harus diadakan dan itu berarti peran negara dan pemerintah mutlak diperlukan. Dalam kaitan
itulah maka penyusunan kebijakan yang dikembangkan pemerintah dalam bidang pendidikan
menjadi sangat penting. Indonesia termasuk negara yang memasukkan urusan pendidikan ke
dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). Karena itu, pengaturan lebih lanjut tentang
pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang amanat konstitusi tersebut.
Dalam kaitan ini, maka pendidikan bisa dipandang sebagai tujuan. Tetapi, dalam konteks yang
lebih makro, pendidikan dijadikan sebagai instrumen negara untuk merealisasi tujuan negara
yang lebih besar. Dengan cara pandang seperti itu, maka pendidikan merupakan instrumen
kebijakan negara untuk mencapai tujuan. Dalam tataran kebijakan, telah diputuskan bahwa
sistem penyelenggaraan dan kewenangan pengembangan pendidikan diserahkan kepada masingmasing daerah (desentralisasi). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari reformasi
pemerintahan yang sudah dijalankan.
Teori-teori yang sangat menarik untuk dikutip dalam membahas kaitan antara pendidikan
dan demokratisasi, yang dikemukakan secara lebih kompleks, antara lain pernah dilontarkan oleh
Samuel P. Huntington. Menurut Huntington (1991), terdapat beberapa faktor pendorong bagi
terciptanya perubahan pada struktur sosial dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat, yang pada
gilirannya mendorong terjadinya demokratisasi. Salah satunya adalah pendidikan. Diagram di
bawah ini menunjukkan hubungan antar variable dari konsepsi Huntington tersebut.
"
"
!
Sumber:
Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, University of
Oklahoma Press, 1991, (Diindonesiakan dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti,
1997).
4
Demokratisasi yang dibangun melalui keterkaitan pendidikan dan politik ini,
menunjukkan perkembangan suatu kajian khusus yaitu politik pendidikan (the politics of
education). Menurut Sirozi, mengutip Dale, konsentrasi kajian politik pendidikan ada pada
peran Negara. Melalui studi politik pendidikan, Dale yakin dapat menjelaskan pola-pola
kebijakan, proses pendidikan dalam masyarakat. Kimbrough setuju dengan istilah politik
pendidikan (the politics of education) dan melandasi penjelasannya pada pengertian politik itu
sendiri9. Ia setuju dengan Kammerer bahwa politik adalah the prosess of making significant
community-wide decisions. Thomas H. Eliot menulis dalam “Toward an Understanding of
Public School Politics”, yang dimuat di American Political Science Review, Volume 53, Nomor
4, Desember 1959, halaman 1032-1052, bahwa sudah saatnya ilmuwan politik tidak takut
dengan perkataan “pendidikan”, karena pendidikan adalah bagian tak terpisahkan dari
kepentingan dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, tulis Eliot, pendidikan juga merupakan
objek studi bagi para ilmuwan politik. Berikut kata Eliot:
“Surely it is high time to stop being frightened by a word. Politics includes the making of
governmental decisions, and the effort of struggle to gain or keep the power to make those
decisions. Public school are part of government. They are political entities. They are a fit
subject for study by political scientists.”10
Eliot menambahkan bahwa persoalan pendidikan bukan persoalan politik biasa, tetapi
merupakan persoalan politik yang krusial untuk dikaji, baik oleh ilmuwan politik maupun oleh
ilmuwan pendidikan. Artikel Eliot tersebut berhasil memotivasi para ilmuwan politik dan
pendidikan untuk meneliti aspek-aspek politik dari persoalan pendidikan. Sedangkan Kirst dan
Mosher yakin bahwa perkembangan tersebut bertitik tolak dari suatu kesadaran bahwa isu-isu
dan problematika pendidikan membutuhkan model analisis sains kebijakan (policy-science)11.
Kedua, birokrasi pendidikan sebagaimana yang ditampilkan (performance) sampai
sekarang ini, menyebabkan kelambanan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kelambanan
praktik penyelenggaraan pendidikan sampai pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Ace
Suryadi, Ph.D., sejak menjabat Staf Ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi
Pendidikan,
mencatat hal ini dengan baik. Dalam sebuah makalahnya yang disampaikan pada forum
6 Dalam
10
Sirozi, op.cit. halm. 83-84.
Ibid. halm. 86.
11
Ibid. halm. 87.
5
Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah pada tahun 2003, ia membuat
pernyataan yang menarik. Menurutnya, “Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam
suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah
membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa
demikian? Karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang
paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.”
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita”
sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era
desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami
realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling
berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang
menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak
berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti”
tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem
pendidikan kita tak pernah terhenti dari keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang
menjadi
faktor
sebab
dari
menurunnya
semangat
partisipasi
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Karenanya, berawal dari arti penting dan urgensi
birokrasi pemerintahan pada sektor pendidikan ini,
tulisan ini hendak menyajikan upaya
reformasi birokrasi pemerintah daerah, pada sektor pendidikan. Yang bertujuan, disamping
mengikis jeratan kekuasaan birokrasi yang melilit dan menghambat praktik penyelenggaraan
pendidikan, terutama di tingkat satuan pendidikan (sekolah), yang lebih penting adalah
mengoperasionalkan otonomi sekolah dalam arti sesungguhnya, sekaligus mengembalikan fungsi
dan kepemilikan sekolah kepada pemiliknya, yakni masyarakat.
II
Mengenali Birokrasi dan Politik pada Praktik Pemerintahan di Indonesia
Untuk meletakkan reformasi birokrasi (pendidikan) pada konteks birokrasi dan politik di
Indonesia, perlu memahami pula birokrasi dan politik di Indonesia. Kedudukan, posisi dan
keterkaitan antara keduanya penting untuk dipahami terlebih dahulu sebelum melakukan
pembahasan upaya reformasi birokrasi, yang didasarkan pada kepentingan masyarakat, yakni
6
untuk memenuhi citizen satisfaction, kepuasan warga masyarakat. Pada umumnya birokrasi pada
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, menampakkan performance kinerja yang kurang
bagus. Seorang pemerhati pemerintahan dan mantan Sekkota Surabaya, Dr. Ir Alisjahbana, MA
menyatakan pendapatnya tentang birokrasi pemerintahan, sebagai lembaga yang menampakkan
inefesiensi dalam pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan, yang kemudian berkembang
menjadi stigma negatif pada birokrasi pemerintahan. Stigma inilah yang menampilkan performa
birokrasi yang kurang bertanggungjawab: jadual kerjanya tidak terukur dan tanpa kontrol.
Gerakan disiplin pegawai yang sering dikumandangkan para birokrat, dengan misalnya merazia
pegawai yang tidak disiplin,
sepintas menampakkan “kegalakan birokrasi”, namun
sesungguhnya upaya tersebut hanya sesaat. Setelah razia, para aparat birokrasi tersebut kembali
santai dan kurang peduli pada tugas-tugasnya. Lebih lanjut Alisjahbana menyatakan bahwa
aparat birokrasi (pegawai negeri pemerintahan), di tengah-tengah keburukan birokrasi tersebut,
senantiasa tampak “digdaya”. Alisjahbana, mengutip Yayan Sakti Suryandaru, peneliti dari Pusat
Kajian Komunikasi Surabaya, melihat kecenderungan ini lantaran para pegawai negeri lebih
berperan sebagai “penguasa” ketimbang abdi negara. Sebagai penguasa, pegawai negeri diilhami
peran-peran “ambtenaar” di jaman Belanda. Mereka dengan bebas bisa memerintah masyarakat
dan merasa memiliki hak istimewa (previlege) yang membedakannya dari orang kebanyakan12.
Pandangan dan pengamatan (pengakuan?) dari seorang (mantan) praktisi birokrasi ini menarik
untuk dicermati walaupun pengamatan Alisjahbana dilakukan setelah ia purna tugas, namun
tetap (sekaligus) bertindak selaku “responden” atau “informan” yang sangat baik karena ia
adalah (leader) pelaku birokrasi. Inilah hal yang dicemaskan Weber bahwa birokrasi
menciptakan kelas baru para pejabat yang memegang kekuasaan luar biasa di wilayah
administrasi, menjadi bersifat menguasai, dan memaksakan agenda-agendanya sendiri. Yang
paling menakutkan, ini dapat melahirkan kediktatoran para pejabat, bukannya para pekerja13.
Melengkapi pencermatan (tepatnya: pengakuan) Alisjahbana tentang wajah birokrasi di atas,
Fadillah Putra, seorang kritikus birokrasi dan kebijakan publik dari Yayasan Averroes,
mencatat beberapa kelemahan birokrasi pemerintahan, yang berawal dari kebiasan birokrasi dan
aturan kepegawaian, yang berimplikasi kepada output layanan birokrasi itu sendiri; yaitu:
12
Alisjahbana, Dr., Ir., MA., Potret Buram Birokrasi dan Upaya Membenahinya, makalah Seminar “Mencari Figur
Walikota Ideal, Kota Probolinggo, 3 Juni 2006.
13
Priyatmoko, MA., Kekuasaan Birokrasi dan Cara-cara Mengontrolnya, makalah materi kelas pada pasca sarjana
IIS Universitas Airlangga Surabaya.
7
rahasia jabatan, netralitas pegawai, dan monoloyalitas pegawai birokrasi pemerintah. Rahasia
jabatan, membuat aparat birokrasi cenderung menyembunyikan informasi yang layak diketahui
publik14. Memang ada beberapa jenis informasi yang boleh dikomunikasikan dengan publik dan
ada beberapa yang tidak boleh karena bersangkut paut dengan data pribadi, proses hukum
seseorang, dsb., namun aparat pada umumnya cenderung untuk enggan bersinggungan dengan
publik berkaitan dengan informasi yang seharusnya tidak perlu disembunyikan. Hal kedua
menurut Fadillah Putra, adalah netralitas pegawai dan monoloyalitas pegawai. Dalam prinsip
netralitas, pegawai tidak ikut membuat kebijakan kecuali hanya menawarkan masukan-masukan
secara internal. Mereka tidak boleh mempublikasikan pendapatnya itu. Hal ini sering membuat
pegawai merasa dihalangi hak-hak sipil dan moralnya untuk bebas berpendapat di muka umum.
Para pendukung prinsip ini membandingkan dengan pegawai perusahaan swasta yang tetap setia
kepada pemimpinnya, meskipun mereka tidak menerima kebijakan pemimpin, serta mereka tidak
pernah menyebarluaskan pendapatnya kepada masyarakat luas. Persoalannya, meskipun secara
teoretis prinsip netralitas ini bisa diterima, namun bagaimana penerapannya sehingga tetap dapat
menjamin monoloyalitas pegawai, yaitu mengabdi kepada kepentingan masyarakat, bangsa, dan
negara secara umum tanpa memihak golongan atau pribadi anggota masyarakat tertentu. Bahkan
menurut Spiegelman, netralitas pegawai negeri tidak lebih dari sebuah mitos. Sedangkan
Corbett menulis bahwa jika pegawai bersedia untuk menerima kekuatan untuk mengambil
keputusan, mereka juga harus menerima konsekuensinya, termasuk hak publik untuk mengetahui
apa yang sedang dikerjakan oleh pejabat, apa yang ia pikir15. Hiruk pikuk kekecewaan atas
praktik penyelenggaraan pemerintahan adalah gejala yang terjadi di semua tempat dan di semua
waktu. Kenyataan ini dibuktikan terhitung sejak adagium Lord Acton, power tends to corrupt,
absolutely power tend to corrupt absolutely, sampai pada teknologi mutakhir yang dipakai
Kruger sebagai rent-seeking society. Meskipun begitu, keinginan untuk lari dari kenyataan ini
pun bukannya tidak pernah ada. Seperti hukuman regulasi post power accountability yang
menimpa Tjun Doo Hwan di Korea Selatan. Abstraksi semacam inilah yang rupanya mengilhami
Gerald E. Caiden. Ia memiliki kegalauan yaitu bahwa proses akuntabilitas atas amanat yang
ditimpakan pada para pejabat publik, seringkali tidak dapat berjalan dengan mulus16.
14
Fadillah Putra, Kapitalisme Birokrasi, PUSPeK Averroes dan LKiS, halaman 45.
Ibid., halaman 50.
16
Ibid., halaman 54.
15
8
Kenyataan bahwa birokrasi di Indonesia lebih melayani kepentingan birokrat sendiri
(atasan) daripada melayani rakyat, dan mereka lebih “takut” kepada atasan ketimbang kepada
“pemberi amanat” untuk bertugas-fungsi di birokrasi, yakni rakyat (publik), masih tampak
hingga saat ini, di tengah-tengah terjadinya transisi paragdigmatik dan derasnya arus kampanye
good governance. Penampakan birokrasi yang berorientasi pada “penyelamatan diri di hadapan
atasan”, berujung pada kecenderungan program instansi-instansi pemerintah yang juga
berorientasi proyek, dan memenuhi rutinitas dan ritual birokrasi yang kurang berorientasi pada
hasil. Para pegawai pemerintah (birokrat) bekerja atas dasar tuntutan kesesuaian RASK (Rencana
Anggaran Satuan Kerja) dengan format pertanggungjawaban tatkala diperiksa oleh instansi
pemeriksa keuangan. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa mereka sebenarnya bekerja bukan
untuk (memajukan) masyarakatnya, namun demi kebutuhan birokrasi mereka sendiri.
III
Citizen Satisfaction, Organisasi Publik, Pertanggungjawaban Publik, Jabatan
Publik dan Peran Publik
Gagasan mereformasi birokrasi (pendidikan) sebagaimana maksud tulisan ini, dalam
konteks birokrasi seperti paparan di atas, memerlukan piranti yang memadai, tidak “sekadar”
mengubah praktik birokrasi seperti yang dipersepsi oleh pemerintah dan ditempuh “hanya”
dengan “mereformasi” personalia (mutasi pegawai). Meminjam gagasan Osborne17, bahwa
mengubah “DNA” birokrasi pemerintah, dalam hal ini birokrasi pendidikan, dapat didefinisikan
(secara operasional) untuk mengubah inti penggerak birokrasi itu sendiri, baru gagasan reformasi
birokrasi benar-benar dapat diwujudkan. Masih menggunakan logika Osborne, birokrasi milik
pemerintah –seperti yang tampak pada saat ini-, harus diganti menjadi “birokrasi” milik
masyarakat18. Gagasan utamanya adalah pada pengembalian manajemen sekolah kepada
pemiliknya: masyarakat. Sebagai ilustrasi perbandingan, sejenak marilah menengok ke belakang,
pada saat praktik penyelenggaraan sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah
yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk
mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya
meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu,
17
18
Osborne, David dan Ted Gaebler, 2005, Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Penerbit PPM.
Osborne, dalam ibid., halaman 57-60, menyebutnya sebagai pemerintahan milik masyarakat
9
kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable
development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa
bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu,
pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolahsekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No.
10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di
tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik
masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan
sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi
pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”,
mulai berubah (turun derajat) menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya,
masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan
ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah19.
Di era ketika kebijakan desentralisasi diberlakukan di berbagai sektor –termasuk di
bidang pendidikan--, dan ketika otonomi diterjemahkan sebagai hak sekolah dan masyarakat
untuk merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang lebih kontekstual,
maka ada banyak hal yang telah dicoba dilakukan dan dikembangkan pemerintah untuk
memperbaiki mutu pendidikan. Selain mencanangkan diberlakukannya pendekatan Manajemen
Berbasis Sekolah (School Based Management), dan berbagai program sejenis, yang tak kalah
strategis adalah pembentukan lembaga baru sebagai mitra pemerintah dan sekolah seperti Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah yang diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi keterlibatan
dan peran aktif masyarakat untuk ikut serta memperbaiki kualitas pendidikan. Seperti dikatakan
F. Korten20 bahwa selama ini sistem sentralistik ternyata terbukti kurang bisa memberikan
pelayanan yang efektif bagi guru maupun anak didik, tidak mampu menjamin kesinambungan
kegiatan di tingkat lokal, memiliki keterbatasan dalam beradaptasi dengan permasalahan lokal,
dan menciptakan rasa ketergantungan pada pihak lain daripada rasa mandiri. Yang perlu diingat
dalam hal desentralisasi pendidikan adalah implementasinya harus berorientasi pada misi
19
Suryadi, Ace, 2003, dalam Wawan E. Kuswandoro, Pendidikan Kita Untuk Siapa: Tinjauan Reinventing
Governance for Education Reforms, Jurnal Reformasi Pendidikan “Cendekia”, Vol. 2, No. 2, Mei-Oktober 2006.
#: " '(
+ 67 ,
- (
! (
' % ( ( +& ", *
'(
( (
( #::0
10
utamanya. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu
mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah
terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi
pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam
mengembangkan kabupaten/ kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan
dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan. Depdiknas memiliki keleluasaan untuk
membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS
mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang
paling mengetahui operasional pendidikan. Bukan tidak mungkin bila kurikulum di-set up pada
level satuan pendidikan (sekolah). Sesuai dengan strategi ini sekolah bukanlah bawahan dari
birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab
terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari
kepuasan masyarakat (citizen satisfaction). Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk
mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom
sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu
masyarakat. Masyarakat dapat membuat citizen charter untuk melakukan kontrol terhadap mutu
pendidikan di sekolah, untuk mengawal desentralisasi dan birokrasi, supaya (meminjam istilah
Ignas Kleden) terjadi linking & de-linking antara elemen-elemen tersebut. Gagasan
desentralisasi pendidikan yang dilontarkan Ace Suryadi di atas dan gagasan
ukuran
keberhasilan pendidikan berdasarkan kepuasan masyarakat tersebut tampaknya hanya akan
menjadi wacana pemanis lokakarya jika tidak dibarengi dengan suatu langkah konkret untuk
membumikan gagasan tersebut. Desentralisasi pendidikan, yang diarahkan pada otonomi
pendidikan dan otonomi sekolah dan kepuasan masyarakat selaku pengguna jasa pendidikan
akan berhenti sebagai wacana dan konsep yang tampaknya cerdas. Berdasarkan pengamatan
penulis, daerah tetap akan mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan otonomi
pendidikan dan otonomi sekolah untuk memenuhi tanggungjawab sekolah kepada masyarakat/
publik. Bukan hanya persoalan komitmen dan political will yang kurang dari pemerintah daerah,
tetapi memang, daerah tidak memiliki referensi dan konsep untuk mengoperasionalkan konsep
otonomi pendidikan tersebut.
11
Bentuk yang paling mudah dan dekat dari otonomi sekolah adalah memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada sekolah untuk mengembangkan (manajemen) sekolahnya
menurut sekolah masing-masing. Dalam konteks ini adalah memberikan ruang yang seluasluasnya kepada sekolah dan masyarakat untuk mengembangkan sekolah menurut konsep
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS ini memungkinkan sekolah bersama masyarakat
menentukan pengembangan sekolah secara mandiri. Dan mengingat masyarakat adalah
pengguna jasa pendidikan, yang berhak atas mutu layanan terbaik sekolah bagi mereka, maka
masyarakat menjadi agen penentu bagi pencapaian tujuan manajemen sekolah tersebut. Sistem
manajemen sekolah harus bertanggungjawab kepada masyarakat selaku user, pengguna jasa
pendidikan, sekaligus memenuhi konsepsi kepuasan masyarakat. Kepuasan masyarakat (citizen
satisfaction) harus mendasari manajemen sekolah, yang benar-benar bertumpu pada hak-hak
masyarakat selaku “pemilik” sekolah. Gagasan penulis “Membangun Sekolah Milik
Masyarakat”21 sebenarnya ingin mengembalikan sekolah beserta pengelolaannya sesuai dengan
pesan-pesan dan semangat otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat
dalam pengertian ini tidak sekadar melibatkan masyarakat secara parsial, misalnya tindakan
membantu atau menyumbang (kebutuhan) sekolah, namun dalam arti yang utuh. Konsep
partisipasi masyarakat ini, hingga kini masih sebatas wacana walaupun diformalkan dalam
peraturan pemerintah22, karena penyelenggara, terutama yang di daerah, masih belum
menangkap esensi dari partisipasi masyarakat (publik) dalam manajemen sekolah. Sementara
(manajemen) sekolah masih terbayang-bayangi kekuasaan birokrasi pemerintahan yang kaku,
penuh rutinitas dan formalitas, dan cenderung menghambat kreativitas, yang dalam beberapa
kasus malah membelenggu kepala sekolah. Dalam pengertian ini sekolah merupakan lembaga
atau organisasi publik, dan melayani kepentingan publik yakni jasa pendidikan. Masyarakatlah
pengguna jasa (konsumen jasa) pendidikan tersebut. Sehingga sekolah harus dikelola sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan para pengguna jasa pendidikan tersebut, yakni masyarakat
(publik). Sebagai sebuah organisasi publik yang melayani kepentingan publik, dan dibangun di
atas
kepentingan
publik
pula,
maka
sebetulnya
yang
harus
diubah
adalah
jenis
pertanggungjawabannya. Sekolah sebenarnya bertanggungjawab kepada siapa? Konsep
organisasi publik yang mengabdi kepada kepentingan publik, mengharuskan sekolah sebagai
21
Kuswandoro, Wawan E., “Membangun Sekolah Milik Masyarakat”, artikel, 2006, belum terpublikasi.
Hingga kini masih berstatus Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yakni RPP Partisipasi Masyarakat dalam
Pengelolaan Pendidikan.
22
12
organisasi publik, harus bertanggungjawab kepada publik (masyarakat), bukan kepada birokrat,
karena sekolah (organisasi publik) mengemban amanat publik.
Bertolak dari deskripsi di atas, maka perlu untuk segera melakukan reformasi birokrasi
pendidikan pada pemerintah daerah. Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk memberi
ruang
yang
memadai
bagi
bekerjanya
sistem
pengelolaan
sekolah
berikut
pertanggungjawabannya yang didasarkan pada konsepsi MBS di atas, yakni meletakkan
pertanggungjawaban manajemen sekolah pada sistem pertanggungjawaban publik. ‘Reformasi
birokrasi’ yang dimaksudkan, adalah memberi ruang yang luas bagi bekerjanya sistem birokrasi
yang melibatkan publik secara aktif dan legal dalam birokrasi dan penyelenggaraan pendidikan,
sejak perencanaan sampai pertanggungjawaban. Sistem ini bekerja hanya bila memfungsikan
sekolah sebagai daerah otonom pendidikan, dan kepala sekolah sebagai jabatan publik. Upaya
ini sekaligus untuk melakukan kontrol birokrasi untuk memenuhi akuntabilitas demokratik.
IV
Kontrol Birokrasi dan Akuntabilitas Demokratik
Barangkali tesis di atas akan mengundang pertanyaan, mengapa harus. Tidak cukupkah
dengan kontrol birokrasi oleh masyarakat dengan pola partisipasi? Menurut pendapat penulis
berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, pola partisipasi yang selama ini dianut dan
diamalkan (atas prakarsa pemerintah), berjalan semu dan tidak efektif. Masyarakat yang
berpartisipasi masih setengah-setengah (tidak sepenuhnya melakukan partisipasi) karena
disamping stamina untuk berpartisipasi amat terbatas, masih adanya anggapan bahwa ruang
partisipasi bagi mereka merupakan tugas para aparat birokrasi pemerintahan yang telah digaji
(dengan uang rakyat). Dan pihak aparat birokrasi yang ditempati untuk berpartisipasi juga
menerima dengan setengah hati pula. Umumnya mereka tidak rela jika “kavlingan haknya”
(baca: wilayah/ lahan birokrasinya) sebagian ditempati oleh masyarakat. Sebagian memaknainya
sebagai hal yang merepotkan birokrasi yang telah “tertata apik” (status quo birokrasi). Sebagian
memaknai sebagai bentuk pengurangan “rejeki” birokrasinya.
Sebagai bentuk konkret dari pengoperasian otonomi beserta konsep organisasi publik dan
pengabdian bagi kepentingan publik, sehingga harus bertanggungjawab kepada publik selaku
pihak yang memberi kuasa untuk menjalankan birokrasi pemerintahan (bidang pendidikan),
adalah benar-benar mengembalikan “kepemilikan” sekolah (organisasi publik tersebut) kepada
13
publik (masyarakat). Masyarakatlah yang menjalankan manajemen sekolah karena merekalah
sebenarnya user sekaligus “pemilik” sekolah. Masyarakatlah yang lebih tahu kebutuhannya. Di
sini dibutuhkan ‘birokrasi” pendidikan yang benar-benar melayani kebutuhan masyarakat.
Konsepsi pendidikan yang direncanakan dari dan oleh rakyat untuk kebutuhan rakyat benarbenar dikonkretkan. Atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai “demokratisasi pendidikan”
melalui birokrasi terbuka untuk rakyat. Dalam konsepsi ini pula, kontrol birokrasi dapat dengan
sendirinya dan seutuhnya telah tercapai. Dan lebih lanjut akan tercapai apa yang disebut
akuntabilitas demokratik pada praktik birokrasi (pendidikan) yang terbarukan dengan
model ini.
Akuntabilitas demokratik, sebagaimana
dikemukakan oleh Robert O. Keohane,
mengasumsikan bahwa pemerintah selaku pihak yang diserahi amanat untuk menjalankan tugastugas kepemerintahan (bidang pendidikan, pen.) harus memberikan pertanggungjawaban kepada
pihak-pihak yang sudah memberikan amanah tersebut. Dalam hal ini dikenal adanya dua jenis
akuntabilitas yaitu akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal
diberikan kepada dua pihak, yaitu mereka yang memberikan otoritas kekuasaan kepada
pemerintah dan mereka yang memberikan dukungan finansial. Sedangkan akuntabilitas eksternal
adalah pertanggungjawaban kepada mereka yang dalam kehidupan sehari-hari menjadi sasaran
atau korban dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah23. Dengan demikian, sekaligus
terbangun mekanisme input and output dan check and balances dalam pembangunan
pendidikan24.
Dalam konsepsi ini, dalam pandangan penulis, birokrat karir akan bertanggungjawab
kepada birokrat pada hirarki di atasnya (atasan) dan birokrasi yang dibawahnya juga akan
bertanggungjawab dan mengabdi kepada birokrasi di atasnya. Maka, kinerja yang ditampakkan
didedikasikan untuk memperoleh penilaian di mata hirarki birokrasi di atasnya. Sedangkan
birokrat publik akan bertanggungjawab dan berdedikasi kepada publik yang mempercayainya
dan mengamanatinya atau memberinya kuasa untuk menyelenggarakan tugas-tugas birokrasinya.
Argumentasi dalam konsep ini sejalan dengan gagasan Weber untuk melakukan kontrol
terhadap birokrasi tatkala birokrasi tumbuh seiring dengan makin besarnya pengetahuan teknis
(ditopang dengan kerahasiaan) dan (tanpa disadari) mendatangkan pengaruh yang melampaui
23
Robert O. Keohane, 2002, dalam Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Arah Realisasi Otonomi Daerah,
2004, halaman xiii.
24
Kuswandoro, Wawan E., “Seni Membangun Pendidikan”, artikel, Harian Suara Rakyat, 28 Agustus 2006.
14
batas netralitasnya. Meminjam logika Weber, bahwa kepemimpinan para politisi dan
entrepreneur (wiraswastawan/ pengusaha) dipandang Weber dapat mengimbangi capaian
birokrasi dan memulihkan kebebasan. Weber mengatakan bahwa para politisi bertanggungjawab
kepada rakyat, tidak kepada birokrat. Sementara itu, pengusaha merupakan “tipe” tandingan bagi
birokrat. Birokrat adalah mereka yang dalam kerjanya menolak risiko dan mementingkan
ketertiban, sedangkan pengusaha adalah mereka yang berani mengambil risiko-risiko besar, dan
keahlian mereka merupakan sumber kekuasaan dan pengetahuan alternatif (pengganti) bagi para
birokrat25.
Penulis mengadopsi sebagian pemikiran Weber untuk ditransformasi pada “format baru”
jabatan publik bagi kepala sekolah yang berasal dari kalangan masyarakat luas, tidak terkecuali
pengusaha. Hanya saja penulis masih belum berani mencoba formula praktisi politik untuk
substitusi jabatan publik untuk sekolah ini. Pola dan logikanya saja yang penulis sepakati untuk
keluar dari stagnasi birokrasi yang dijalankan oleh birokrat karir sebagaimana dimaksud paparan
di atas. Dengan mengikuti alur pemikiran argumentasi tersebut, birokrasi pendidikan hendaknya
dijalankan dengan “birokrasi” publik. Maka, jabatan “birokrasi”nya hendaknya juga berupa
jabatan publik. Sebagai tambahan argumentasi penulis, bahwa model ini dapat ditempuh
dengan suatu pemilihan yang melibatkan komunitas (stakeholders) pendidikan. Dalam pemilihan
tersebut, para kandidat diberi kesempatan untuk memaparkan pemikiran-pemikirannya untuk
memajukan pendidikan dan lembaga yang bakal dipimpinnya di hadapan para pemakai jasa
pendidikan yakni masyarakat (publik). Atau yang menurut istilah Weber, Mises maupun
Gaebler, adalah konsumen, yakni konsumen jasa pendidikan. Merekalah para tuan (meminjam
istilah ekonomi: para “pemegang saham”) atau pemberi otoritas, yang akan memilih atau
memberi amanat kepada “birokrat” pendidikan persekolahan (kepala sekolah), dan yang akan
meminta pertanggungjawabannya kelak. Pola pertanggungjawaban publik yang melengkapi
model ini benar-benar dijalankan dengan melibatkan publik. Sebagai perbandingan, Swiss telah
sukses dengan pemilihan umum untuk memilih para guru26 yang akan dipercaya dan ditugasi
masyarakat untuk mencerdaskan anak-anak rakyat. Logikanya sederhana: rakyat berhak untuk
menentukan pola pencerdasan bagi anak-anak rakyat, termasuk memilih para guru bagi anakanaknya.
25
Priyatmoko, MA., op.cit.
Thut, I dan Don Adams, Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer, terj., (judul asli: Educational
Patterns in Contemporary Societies), Pustaka Pelajar, 2005.
26
15
V
Kesimpulan, Peluang dan Tantangan
Kesimpulan
Menilik urgensi pendidikan sebagai salah satu layanan public yang amat strategis bagi
pemerintah dan amat bermanfaat bagi masyarakat, sedangkan praktik birokrasi yang
melingkupinya menyebabkan kemerosotan dan kemandekan penyelenggaraan pendidikan. Maka,
agenda reformasi birokrasi pendidikan tidak dapat ditawar lagi. Hanya saja persoalannya,
reformasi yang bagaimana. Tulisan di atas, menawarkan suatu model transformasi “birokrasi”
publik, yaitu dengan mereformasi jabatan tertinggi pada level satuan pendidikan (sekolah) yakni
kepala sekolah sebagai jabatan publik. Logika pemikirannya adalah kekakuan dan kemandekan
birokrasi pendidikan, termasuk persekolahan yang menjadi ujung tombak layanan pendidikan,
terjadi karena kungkungan birokrasi yang melingkupinya. Kepala sekolah, selaku seorang
birokrat karir, bertanggungjawab dan berdedikasi kepada (aparat) birokrasi di atasnya. Kinerja
birokrasinya pun diabdikan untuk memenuhi hasrat penilaian birokratis yang mengesampingkan
kepentingan masyarakat. Paradigma ini diubah dengan menjadikan pertanggungjawaban
“birokrasi” persekolahan tidak lagi kepada birokrasi diatasnya, melainkan kepada masyarakat
(publik) selaku pengguna jasa pendidikan, atau konsumen jasa pendidikan. Model ini hanya
dipenuhi dengan menjadikan kepala sekolah sebagai jabatan publik, yang dipilih oleh dan
bertanggungjawab kepada para konsumen pengguna jasa pendidikan (masyarakat, publik). Atau,
dengan kata lain, mengembalikan kepemilikan sekolah kepada publik (masyarakat) sekaligus
memperkuat (kembali) peran masyarakat.
Peluang
Konsep tersebut memiliki peluang :
1. Arus besar demokratisasi telah meluas di kalangan masyarakat dan pemerintah.
2. Adanya institusi pengawal demokratisasi pada level “birokrasi” sekolah dan pemerintah
daerah, walaupun belum optimal, yakni Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, yang
dapat menjadi pelopor gerakan demokratisasi sekolah melalui reformasi birokrasi model
ini.
16
3. Tersedianya SDM yang cukup banyak dan berkualitas di masyarakat yang siap mensupply kebutuhan jabatan ini, termasuk kepala sekolah yang kini sedang menjabat.
4. Wacana kompetensi penyelenggara pendidikan, termasuk kepala sekolah telah menjadi
wacana publik. Dan masyarakat menunggu hasil kemajuan manajemen sekolah yang
konkret dari figur kepala sekolah yang benar-benar kapabel. Kepala sekolah yang kapabel
diharapkan muncul melalui penerapan model ini.
5. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang telah diterima baik secara konseptual maupun
praktis, merupakan investasi sosial yang bagus, walaupun pelaksanaan belum optimal
karena keterbatasan pemahaman operasional terhadap konsep tersebut. Model dalam
tulisan di atas dapat menjadi jalan keluar yang strategis terhadap operasionalisasi MBS
tersebut secara utuh.
6. Kewenangan
dan
tanggungjawab
daerah
dalam
penyelenggaraan
pendidikan
sebagaimana diatur dalam UU No 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah, yakni meliputi
penetapan mutu sumberdaya manusia, kelengkapan sarana & prasarana, serta
permasalahan pembiayaan pendidikan.
7. Jaminan regulasi yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
3 Pasal 4 tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, yang antara lain menyebutkan,
bahwa pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Tantangan
Konsep ini akan menghadapi tantangan:
1. Para pemegang kebijakan publik, birokrat karir, termasuk kepala sekolah pada awalnya
mungkin akan merespons negatif, karena dianggap tidak lazim dan belum terbiasa,
walaupun konsep ini sejalan dengan demokratisasi daerah dan mendukung kemajuan
pendidikan dan kemajuan daerah.
2. Tantangan kompetensi dan kompetisi terbuka yang fair play pada perekrutan kepala
sekolah. Tetapi dapat menjadi peluang karena membuka kesempatan luas bagi siapa saja
yang memiliki kemampuan dan kompetensi.
17
3. Tantangan konstitusi dan pekerjaan ekstra bagi legislatif. Tetapi dapat menjadi peluang
dan didukung DPRD ketika implementasi konsep ini berimplikasi pada kebutuhan adanya
payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan tugas DPRD.
4. Implikasi biaya. Walaupun sebenarnya dapat diatasi mengingat hal ini adalah kebutuhan
bersama.
________________
Referensi
Buku-buku
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Erwan Agus Purwanto, Ph.D dan Wahyudi Kumorotomo, MPP (Eds.), 2005, Birokrasi Publik dalam
Sistem Politik Semi Parlementer, Penerbit Gava Media, Yogyakarta.
Fadillah Putra, 2003, Partai Politik dan Kebijakan Publik, Averroes Press (Malang) dan Pustaka Pelajar
(Yogyakarta).
Fadillah Putra, 2001, Kapitalisme Birokrasi, PUSPeK Averroes (Malang) dan LKiS (Yogyakarta).
Giddens, Anthony, 2004, Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial, Penerbit Pedati, Pasuruan.
Huntington, Samuel P., The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, University of
Oklahoma Press, 1991, (Diindonesiakan dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti,
1997).
Jones, Charles O., 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
Juliantara, Dadang, 2004, Pembaruan Kabupaten, Penerbit, Pembaruan, Jogyakarta.
Kuswandoro, Wawan E., (Ed.), 2006, Revitalisasi Pembangunan Pendidikan Kota Probolinggo, Dewan
Pendidikan Kota Probolinggo.
Miftah Thoha, Prof. Dr., MPA., 2004, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawaliu Press, Jakarta.
Osborne, David dan Ted Gaebler, 2005, Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Penerbit
PPM.
Osborne, David dan Peter Plastrik, 2004, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan
Wirausaha, Penerbit PPM.
Sirozi, M., Ph.D, 2005, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan
Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada.
Thut, I dan Don Adams, Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer, terj., (judul asli:
Educational Patterns in Contemporary Societies), Pustaka Pelajar, 2005.
Artikel, Makalah
1.
2.
3.
Alisjahbana, Dr. Ir., MA., Potret Buram Birokrasi dan Upaya Membenahinya, makalah Seminar “Mencari
Figur Walikota Ideal, Menuju Probolinggo Adil dan Sejahtera”, Probolinggo, 3 Juni 2006.
Bailey, Margo, Representative Bureaucracy: Understanding Its Past to Address Its Future, Public
Administration Review, Maret/ April 2004, halaman 246, Academic Research Library.
Basu, Susanto (University of Michigan), dan David D. Li (Hong Kong University of Science and
Technology), A Theory of The Reform of Bureaucratic Institution, makalah, Januari 2000.
18
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Cheung, Anthony B.L., The Politics of Administrative Reform in Asia: Paradigms and Legacies, Paths and
Diversities, An International Journal of Policy, Administration and Institution, Vol. 18, No. 2, April 2005,
p. 257-282.
DeHoog, Ruth Hoogland, Citizen Satisfaction With Local Governance: A Test of Individual, Jurisdictional,
and City Specific Explanation, Journal of Politics, Vol. 52, No. 3, August 1990.
Hood, Christopher, dan Martin Lodge, Competency, Bureaucracy, and Public Management Reform: A
Comparative Analysis, An International Journal of Policy, Administration and Institution, Vol. 17 No. 3,
Juli 2004, p. 313-333.
Kuswandoro, Wawan E., 2006, Membangun Sekolah Milik Masyarakat, artikel.
Kuswandoro, Wawan E., Seni Membangun Pendidikan, artikel, Harian Suara Rakyat, 28 Agustus 2006.
Kuswandoro, Wawan E., Pendidikan Kita Untuk Siapa: Tinjauan tentang Reinventing Governance for
Education Reforms, Jurnal Reformasi Pendidikan “Cendekia”, Vol. 2, No. 2, Mei – Oktober 2006.
Lim, Hong-Hai, Representative Bureaucracy: Rethinking Substantive Effects and Active Representation,
Public Administration Review, Mar-Apr 2006.
Moon, Myung-Jae, dan Patricia Ingraham, Shaping Administrative Reform and Governance: An
Examination of the Political Nexus Triad in Three Asian Countries, An International Journal of Policy,
Administration and Institution, Vol. 11 No. 1, Januari 1998, p. 77-100.
Oksenberg, Michel, dan Bruce J. Dickson, Kerangka Analisis Reformasi Politik (Judul Asli: “The Origins,
Process, and Outcomes of Great Political Reforms; A Framework of Analysis”), dalam Dankwart A.
Rustow dan Kenneth Paul Erickson, Eds., Comparative Political Dynamics: Global Research Perspectives,
New York: HarperCollins Publishers, 1991, halaman 235-261, Penerjemah, Drs. Jurianto, Seri Publikasi
Informasi, 1998.
Priyatmoko, Kekuasaan Birokratik dan Cara-cara Mengontrolnya, makalah materi kelas pada program
pascasarjna (S-2) IIS Universitas Airlangga.
Riggs, Fred W., Modernity and Bureaucracy, Public Administration Review, Juli/ Agustus 1997, halaman
370, ABI/ INFORM Research halaman 347.
Waterman, Richard W., The Venues of Influence: The New Theory of Political Control of the Bureaucracy,
Journal of Public Administration Research and Theory, Jan 1998.
Waterman, Richard W., Principal-Agent Model: An Expansion?, Journal of Public Administration
Research and Theory, April 1998.
Wood, B. Dan, dan John Bohte, The Politics of Administration Design, Department of Political Science,
Texas A & M University, makalah pada “Scientific Study of The Bureaucracy Conference”, Texas A & M
University, 2-3 Februari, 2001.
________
19