MAKALAH
SOSIOLOGI AGAMA
“Agama Dan Perubahan Sosial”
Disusun Oleh:
Kelompok : 9
ADI RISKA HARYANTO : 4118062
BITCAR HADOMUAN : 4118076
RIDHO FAUZAN : 4118063
Dosen Pembimbing :
DR. SILFIA HANANI, S.Ag, S. Sos, M.Si.
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI BUKITTINGGI
TA. 2020
BAB I
PENDAHULUAN
Institusi sosial agama seperti gereja dalam konstek masyarakat kekinian tidak hanya berfungsi menyediakan layanan spiritual bagi jamahnya, tetapi juga terlibat aktif dalam penyelesain persoalan masyarakat sekitar. Perkembangan seperti ini paling tidak terjadi dalam konstek masyarakat amerika Abad ke-21 ditandai dengan perkembangan fenomenal pada bidang agama diberbagai belahan dunia. Beberapa gereja mengalami penurunan jamaah, sedangkan gereja-gereja lain cendrung kembali kenilai-kenilai tradisional. Islam merupakan agama yang mengalami peningkatan dalam jumlah penganutnya diseluruh dunia
Mejelaskan Agama dan Perubahan Sosual?
Menjelaskan Agama Sebagai Enabler?
Mejelaskan Agama Sebagai Constraint?
Menjelaskan Agama dan Modernitas?
BAB II
PEMBAHASAN
Agama
Pengertian Agama
bapak sosiologi “trinitas” sosiolog (Durkheim, Marx, dan Weber) banyak mencurahkan perhatiannya pada fenomena agama. Durkheim melihat agama sebagai suatu kreasi sosial “nyata” yang memperkuat solidaritas melalui kesamaan pandangan masyarakat mengenai moral. Melalui karyanya tersebut, Durkheim (dalam Nielsen, 2005:641) selain menelusuri asal-usul dan fungsi ritus-ritus dan kepercayaan agama primitif, juga mempelajari konteks sosial berbagai Pengertian agama
Agama merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Agama merupakan fenomena universal karena ditemukan di setiap masyarakat. Eksistensinya telah ada sejak jaman pra sejarah. Pada saat itu, orang sudah menyadari bahwa ada kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya yang alih-alih bisa dikontrolnya, kekuatan-kekuatan tersebut bahkan mempengaruhi kehidupannya. Pada jaman tersebut orang-orang Yunani kuno, misalnya sudah mulai memikirkan berbagai fenomena alam yang melingkupi dirinya dan mempertanyakan faktor-faktor penyebab terjadinya sesuatu.
Agama merupakan objek studi yang banyak mendapatkan perhatian dari para ahli ilmu sosial khususnya sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, sejarah, dan politik. Dalam sosiologi, sejarah perkembangan teori sosiologi agama dapat dikatakan identik dengan sejarah perkembangan sosiologi itu sendiri, Hal ini karena Comte sebagai pemahaman mendasar manusia, seperti waktu, ruang, kausalitas, dan sebagainya. Durkheim menggunakan kombinasi definisi substansi tentang agama, pembedaan antara sakral dan propan dengan pandangan fungsionalis mengenai efek sosial dari integrasi sosial.
Konsepsi agama menurut Durkheim meliputi perbedaan dua kategori yang saling berlawanan (oposisi biner), yakni antara yang sakral dan yang profan dan pembedaan antara kolektif dan individual. Konsefsi mengenai sakral (sacred) menunjuk pada sesuatu yang bersipat suci, ketuhanan, dan berada diluar jangkauan alam pikiran manusia. Sementara profan merupakan dunia nyata, dunia kehidupan sehari-hari yang berada di bawah kendali manusia. Agama merupakan domain masyarakat (kolektif) seperti ritual yang dilakukan secara bersama-sama.
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, tahun 2015), hal 21-22.
Pengertian Perubahan Sosial
Menurut Davis (1960:112), perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan mencakup unsur-unsur kebudayaan yang universal, sedangkan perubahan sosial meliputi perubahan dalam struktur sosial. Keterkaitan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan didasarkan pada perspektif bahwa perubahan kebudayaan yang ditimbulkan dan mempengaruhi organisasi sosial dan mengakibatkan terganggunya keseimbangan sosial.
Secara umum perubahan sosial dapat diartikan sebagai perubahan pola hubungan sosial dan struktur sosial. Misalnya perubahan peran istri dalam keluarga, berkurangnya sipat gotong royong pada masyarakat, dan perubahan penilaian terhadap tenaga kerja.
Setiap masyarakat mengalami perubahan yang dapat dibedakan berdasarkan dimensi waktu dan unsur yang berubah, baik yang mengarah ke pada kemajuan maupun ke arah kemunduran. Perubahan yang mengarah kepada kemunduran (regres) lebih dikedepankan sebagai dampak disfungsional dari penggunaan suatu inovasi, misalnya penggunaan mesin huller telah menghilangkan nilai ekonomis tenaga kerja wanita. Sedangkan perubahan yang bersifat progresif berorientasi pada kemajuan masyarakat dan menghargai martabatnya.
Ishomudin, Pengantar Sosiologi Agama,(Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 2002), hal 91
Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan
Di dalam masyarakat di mana terjadinya proses perubahan, terdapat faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi, dan faktor-faktor tersebut adalah antara lain :
Kontak dengan kebudayaan lain.
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah misalnya diffusion. Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain dan dari masyarakat kemasyarakat lain. Proses tersebut memampukan manusia menghimpun penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan adanya difusi, maka suatu penemuan baru yang telh diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan padamasyarakat luas sampai umat manusia didunia dapat menikmati kegunaanya. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudaan-kebudayaan masyarakat manusia.
Ada dua tipe difusi. Pertama, difusi intramasyarakat (intrasocietydiffusion) atau penyebaran unsur-unsur kebudayaan diantara satu kelompok masyarakat. Kedua, difusi antara masyarakat (intelsociety diffusiaon). Difusi intramasyarakat terpengaruh oleh Ada beberapa faktor:
tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang memengaruhi diterima atau tidak diterimanya unsur-unsur yang baru.
Unsur baru yang berlawanan dengan fungsi unsur yang lama, kemungkinan besar tidak akan diterima.
Kedudukan dan peranan sosial dari individu yang menemukan sesuatu yang baru akan memengaruhi hasil penemuanya itu dengan mudah diterima atau tidak.
Pemerintah dapat membatasi proses difusi tersebut.
Difusi antara masyarakat dipengaruhi oleh beberapa factor berikut:
Adanya kontak antara masyarakat-masyarakat tersebut.
Kemampuan untuk mendemontrasikan kemanfaatan penemuan baru
Pengakuan akan kegunaan penemuan baru tersebut.
Adaatau tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang menyayingi unsur-unsur penemuan baru tersebut.
Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan baru didunia ini.
Paksaan dapat juga dipergunakan untuk menerima suatu penemuan baru.
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Terj,(Jakarta: Rajawali, 1992), hal 218
Pertemuan antara individu dari suatu masyarakat dan induvidu dari masyarakat lainnya juga memungkinkan terjadinya difusi. Misalnya, hubungan antara individu ketikan bentuk masing-masing kebudayaannya hamper-hampir tidak berubah. Hubungan demikian dinamakan juga hubungan simbiotik. Cara lain yang mungkin pula dilakukan adalah memasukan secara damai (penetration pacifique). Sebagai contoh, unsur-unsur kebudayaan yang dibawa para pedangan untuak kemudian dimaksukkan kedalam kebudayaan penerima atau tidak sengaja dan tanpa paksaan. Akan tetapi, kadang-kadang penetratiaon pacifique juga dilakukan dengan sengaja, misalnya usaha yang dilakukan oleh penyiar agama. Cara lain adalah paksaan misalnya menaklukan masyarakat lain dengan perperangan. Sebenarnya, antara difusi dan akulturasi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua proses terebut memerlukan adanya kontak. Tanpa kontak tidak mungkin dua proses tersebut berlangsung. Akan tetapi, proses difusi berlangsung dalam keadaan ketika kontak tersebut tidak perlu secara langsung dan kontinu, seperti difusi dari penggunaan tembakau yang terbesar diseluruh dunia. Lain halnya dengan akulturasi yang memerlukan hubungan yang dekat, langsung, serta kontinu akulturasi yang memerlukan hubungan yang dekat yang ada kesinambungan. Proses difusi dapat menyebabkan lancarnya proses perubahan karna difusi memprkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan yang sering kali yang memerluan perubahan-perubahan dalam lembaga kemasyarakatan atau bahkan pergantian lembaga-lembaga kemasyarakatan lama dengan yang baru.
Agaman Dan Perubahan Sosial
Institusi sosial agama seperti gereja dalam konstek masyarakat kekinian tidak hanya berfungsi menyediakan layanan spiritual bagi jamahnya, tetapi juga terlibat aktif dalam penyelesain persoalan masyarakat sekitar. Perkembangan seperti ini paling tidak terjadi dalam konstek masyarakat amerika Abad ke-21 ditandai dengan perkembangan fenomenal pada bidang agama diberbagai belahan dunia. Beberapa gereja mengalami penurunan jamaah, sedangkan gereja-gereja lain cendrung kembali kenilai-kenilai tradisional. Islam merupakan agama yang mengalami peningkatan dalam jumlah penganutnya diseluruh dunia. Di Negara-negara berkembang komitmen agama sering didukung kesetian terhadap etnik dan bangsa. Para sosiologi agama dapat melakukan studi perbedaan manifestasi kepercayaan agama dan praktiknya dengan memfokuskan pada pandangan fondamentalis kelompok agama besar dunia, seperti Kristen, islam, yahudi. Fokus yang lain terletak pada bagaimana agama mengaruhi dan dipengaruhi oleh, misalnya kekuatan-kekuatan globalisasi, gender, politik internasional, dan imigrasi. Beberapa pertanyaan yang diajukan, misalnya apakah modernisai menyebabkan sekulerisasi? Faktor dan proses sosial apa saja yang memengaruhi kepercayaan, komitmen, praktif, dan konversi (pindah agama) seseorang? Apa pengaruh agama dalam mempertahankan dan atau menentang praktik dan institusi soaial yang mapan melalui transformasi polotik, budaya, atau media lain.
khususnya dikalangan komunitas Afro-amerika. Menurut Day (2003:332), dalam beberapa decade terakhir, kelompok-kelompok berbasis agama smakin terlibat dalam strategi demokratisasi komunitas selain usaha pengembangan entrepreneur untuk pembangunan ekonomi komunitas. Keduanya memperoleh momentum politik dan berjuataan memperbaiki kualitas hidup komunitas local melalui kemandirian. Organisai-organisai di luar gereja juga menyediakan dukungan sumber daya sumber daya dibutuhkan untuk usaha tersebut, seperti pelatihan, dana, dan saluran komunikasi. Meskipun demikian, organisasi lokal tidak mempunyai kemampuan penuh dalam marespon meningkatkannya jumlah masyarakat yang membutuhkan keselamatan, rumah yang terjangkau, pelatihan dan penempatan kerja, pendidikan, dan kesehatan.
Agama sendiri secara inheren sesungguhnya sudah mengandung unsur perubahan sosial sejak kelahirannya. Agama-agama besar dunia maupun berbagai aliran selalu terdapat keinginan atas semangat untuk melakukan perubahan sosial.
Menurut Mohammed dan Buqayan (2011), islam memperhatikan perubahan sosial sejak kelahirannya. Islam mengubah masyarskat sebelumnya yang tidak percaya kepada Tuhan (Allah Swt). Menjadi percaya yang terpencar diberbagai wilayah menjadi Ummah yang tunduk pada hukum islam syariah dan kepercayaan monoteistik dalam islam ialah mutlak. selain itu, islam mengubah baik kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi baik dalam sisi moralitas maupun etikanya.
Menurut Sherkat (2006:7-8), Agama bersifat ekstensif dalam arti menarik banyak pihak terlepas ruang dan waktu, tetapi dapat pula bersifat intensif yang memungkinkan konrol terhadap pemahaman dan prilaku. Agama merupsksn elemen ideologis yang paling kuat (powerfull) di setiap masyarakat. Orientasi agama membantu masyarakat mendefinisikan sesuatu itu baik atau buruk, dan mengarahkan tindakan kolektif. Meskipun teoretisi klasik berasumsi bahwa orientasi akhirat (otherworldly) mengindarkan aktifitas politik, penelitian terkini, menunjukkan bahwa kepercayaan,nilai, dan institusi agama merupakan faktor kerusial dalam mendukung taktin berkonflik.
AGAMA SEBAGAI “ENABLER”
Sosiologi secara khusus menaruh perhatian pada pemahamaan asal-usul dan perkembangaan modernitas dan melihat agama sebagai komponen krusial proses sosial modernisasi.
Dalam pandangan Weber, sikap asketisme terhadap dunia (inner-worldly acticism) berupa sikap menghindarkan diri dari kemewahan dunia dan konsumsi yang berlebihan menghasilkan semangat kapitalisme. Hal tersebut dimungkinkan karna etos kerja keras dan profesional pada satu sisi dan asketisme pada sisi lain menghasilkan surplus ekonomi dalam jumlah besar dan hal itu kemudian diinvestasikan ke dalam ekonomi.
Dalam menjelaskan hubungan antara agama dan perubahan sosial, Weber mengajukankan tiga hepotesis utama:
Berkaitan dengan efek agama terhadap aktifitas ekonomi.
Hubungan antara ide-ide agama dan stratifikasi.
Hubungan antara ide-ide agama dan perbedaan karakteristik peradaban barat.
Weber menjelaskan hubungan antara ide agama dan praktik dan etika artivitas ekonomi. Menurutnya kepercayaan agama dalam kondisi tertentu mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran dan perilaku ekonomi. Weber memfokuskan anlisis pada kelompok (sekte) protestan yang mempraktikkan asketisme, yakni metodis, calvinisme, baptisisme, dan pietisme.
Dalam pengantarnya terhadap sosiologi agama Weber, parsons berpendapat bahwa sosiologi agama Weber menaruh perhatian terhadap peran agama dalam proses perubahan sosial. Faktor agama ini dalam perubahan sosial tidak terlepas dari dikotomi antara yang suci dan profan juga antara idealisme agama dan sekuler dunia.
Karena agama Abrahamik menekankan keadilan, secara potensial berfungsi sebagai kekuatan kritik terhadap politik yang berlaku di muka bumi. Sosiologi sebelumnya yakni Mark dan Engels menaruh perhatian terhadap agama dan kaitannya dengan perubahan sosial. Menurut Hamilton (2001:98), Mark Engles memperhitungkan beberapa aspek agama dalam menganalisis gerakan agama, seperti Kristiani awal dan gerakan milleneal. Keduanya tertarik terutama potensi perubahan dunia dari pembrontakan dan revolusi yang dilakukan kelompok masyarakat yang tertindas.
Gerakan millennial merupakan suatu fenomena yang sering terjadi didunia ke-3 dan Negara berkembang. Fenomena tersebut lebih banyak menarik perhatian dari antropolog dan sejarawan dari pada sosiolog dalam hal ini, terdapat tipe studi dalam literature tentang gerakan millennial. Pertama, studi historis yang menggunakan konsep-konsep dan pendekatan sosiologis dan tipe kedua, studi antropopogis. Tipe pertama mendasarkan pada observasi dan yang kedua mendasarkan diri pada dokumen-dokumen yang mendiskripsikan kemunculan gerakan. Kedua tipe studi cendrung menghasilkan perbedaan interprestasi, tetapi saling melengkapi. Keduanya menghasilan basis konferatif mengenai gerakan dan penguji teori terhadap tipe gerakan agama. Ketika kebanyakan gerakan tersebut cendrung menghilang karena gagal memberikan pemajuan matrial, paling tidak gerakan tersebut telah menumbuhkan trasdisi agama penting.
Berbagai kajian tentang hubungan antara agama dan perubahan soaial terus berkembang dalam disiplin sosiologi agama dan cabang ilmu sosial. Agama dalam kontek studi sosiologi terlihat mempunyai terhadap dampak berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik, budaya, dan berbagai institusi sosial lain. Selain itu,fokus perhatian sosiolog terhadap keterkaitan antara agama dan perubahan sosial ialah bagimana agama berpengaruh terhadap asprk mikro berupa kehidupan pribadi manusia. Bebrapa contoh yang menunjukkan keterkaitan agama dengan berbagai institusi di masyarakat. Menurutnya, perhatian para ahli saat ini tentang islmisme lebih bersifat polotik dari pada bisnis sehingga dampak islam terhadap praktik bisnis tidak banyak diketahui, pada hal keduanya terkait erat sebagai contoh, islam menekan pada usaha kepada orang miskin dan mencari keuntungan tanpa melakukan eksploitasi. Dalam perbankan islam, bunga pinjaman dilarang karena hal itu merupakan bentuk ekspoloitasi terhadap orang yang memerlukan pinjaman. Bisnis internasional mengalami inovasi, seperti penetapan pembayaran dimuka terhadap pinjaman sebagai cara pembayaran bunga atau uang muka. Bagi prusahaan yang non muslim yang melakukan bisnis di Indonesia merekaa harus memahami penuk praktik seperti ini.
Secara tipikal semua masyarakat menghargai pemakan dan upacara. Usaaha bisnis yang dibangun di tanah bekas pemakaman, misalnya, dapat mengakibatkan isteria masa, seperti yang terjadi di malasyia. Pembukaan usaha bisnis baru cina menghindari pelaksanaannya selama upacara pemakaman terkait dengan kepercayaan bahwa upacara pemakaman merupakan pristiwa besar di Negara tersebut.
Sindung Haryanto, Sosiologi agama,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, tahun 2015), hal 237-240.
AGAMA SEBAGAI “CONTRAINT”
Agama selain sebagai faktor pendorong (enabler), terhadap peruabahan sosial, dapat pula sebaliknya, menjadi penghambat terjadinya perubahan di masyarakat. Unsur agama yang menjadi penghambat terebut terutama nilai-nilai atau keyakinan yang cendrung tidak marespon situasi yang telah berubah. Selain itu, kemungkinan terdapat faktor eksternal dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu di masyarakat yang tidak menghendaki terjadinya perubahan karena perubahn tersebut di anggap akan menganggu kemapanan dan kenyamanan yang selama ini di nikmatinya. Opsarvasi yang dilakukan baoz (1962:137) menemukan bahwa karakteristik peradapan pada saat ini di warna konflik antara tradisi, konservatif, dan radikallisme yang ditunjukkan merekontruksikan masa depan atas dasar kepentingan rasional.
Semantara itu, Ross dalam Imai dan Gelfand (2009:345) yang mengamati struktur sosial berhubungan denganterjadinya berbagai konflik di berbagai Negara berdasarkan 90 catatan etnografi masyarakat praindustri menemukan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat ikatan cross cutting yang lebih besar (saling silang antar kelompok sosial, seperti enisitas, agama, dan gender) memiliki tingkat konflik internal yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh dalam masyarakat yang memiliki ikatan crosscutting antara komunitas yang lebih besar, akan lebih besar kemungkinan bagi individu untuk mendapatkan dukungan dari orang lain, selain mempunyai loyaritas sejumlah kelompok sosila. Masyarakat yang rendah konflik di tandai oleh apeksi dan kehangatan hubungan sosial yang lebih besar.
Studi yang dilakukan Chaudhuri (2009:189-150) di india misalnya, menunjukkan bagaimana agama dan bahasa menjadi barrier bagi kaum imigran. Di india harus urbanisasi merupakan salah satu sosial penting yang berhungan dengan indusrialisasi di masyarakat. Hal itu mempunyai pengaruh signefikan terhadap ekonomi, fisokologi,sosial, dan budaya.
Dalam literatur sosiologi, karya Myrdal yang di liris pada 1968 merupakan contoh yang baik dalam mengambarkan bagaimana nilai-nilai agama menjadi penghalang terjadi perubahan sosial di berbagai Negara asia. Myrdal melakukan studi cukup mendalam selama 10 tahun d asia selatan. Menurt Myrdal (sebagaiman dikutip Harrison, 2000:31-32), faktor kultural, terutama agama merupakan hambatan utama modernisasi. Faktor tersebut tidak hanya mengenai cara aktifitas kewirusahaan, tetapi menyebar keseluruh bagian, mendominasi prilaku politik, ekonomi dan sosial.
Harus modernisasi di kebanyakan Negara islam rendah. Khususnya di kalang perempuan tinggi seiring dengan tingginya angka kematian anak dan laju dan laju pertubuhan penduduk. Turki merupan Negara sekuler, mengunakan pendekatan standar modern pemerintah pluralistik. Malasyia relatif sejahtera, tetapi ekonomi yang di hasilakn tidak professional karnan dominasi etnis cina yang menjadi moneritas penduduk. Negara produsen, seperti Saudi Arabia UEA dan quwait sangat kaya,tetapi tradisonal dalam bebrapa aspek, seperti kenyataan bahwa lebih dari saparo perempuan arap Saudi yang buta huruf. Lambatnya kemajuan dunia islam di beberapa dunia menjdi sangat konras dengan kekuatan proresif islam pada kelahirannya, jug ditandai dengan dominan kekaisaran Ottoman pada abad ke-15 dan ke-16. Di antara faktor yang menyebabkan penurunan peranan islam tersebut ialah pandangan dunia yang fatalistic.
Suatu fakta yang dapat dimungkiri menunjukkan bahwa kebanyakan Negara-negara islam atau Negara-negara yang mayoritas penduduknya islamsaat ini merupakan Negara bekas jajahan. Kolonisasi dan postkolonisai tidak pula membawa dampak perubahan besar di komunitas islam, antara lain menurunnya legistimasi para pemimpin agama tradisonal lain kontestasi nilai-nilai dengan nilai-nilai barat menurut reddig (2011) menurutnya otoritas dan legimitasi pemimpin agama tradisional dalam islam memunculkan gerakan-gerakan baru, seperti salafiah. Proses selanjutnya, modernisasi menyebabkan terjadinya erosi institusi tradosional, nilai, dan ikatan sosial secara fundamental merubah masyarakat islam.
Munculnya pluralitas daya hidup dan nilai menyebabkan ketidak pastian dan ketenganggan di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan barunya. Kontek masyarakat islam. Modernisasi merupakan perluasan kolonialisme. Kaum muslim di paksa meninggalakan tatanan tradisional dan mengadopsi nilai-nilai dan institusi barat sehingga menurunkan budaya dan identitas muslim.
Ibit
AGAMA DAN MODERNITAS
Modernitas merupakan istilah yang sering digunakan untuk menuju tahap perkembangan sejarah peradaban manusia yang dimulai pada abad ke -18 yakni abad dimulainya revolusi industri di Eropa. Revolusi industri ini mengakibatkan perubahan drastik di berbagai aspek kehidupan manusia. Revolusi industri mentransformasikan masyarak agraris kemasyarakat industrial dengan segala konsekuensi yang mengikutinya. Pembagian kerja menjadi lebih terpesialisasi karna produksi barang menggunakan mesin yang menyarankan pembagian kerja yang kaku (rigit), merupakan salah satu konsekuensi tersebut. Revolusi industri ini kemudian di ikuti dengan revolusi pada bidang lain, seperti revolusi budaya (meningkatnya peran pengetahuan ilmiah dan media masa), revolusi perkotaan (meningkatnya arus urbanisasi), dan revolusi ekonomi (meningkatnya motif ekonomi dalam setiap tindakan manusia). Revolusi industri pada sisi lain menimbulkan dampak negatif, seperti pengangguran, kriminalitas, prostitusi, dan kemiskinan.
Asghar Ali Engineer, Islam Pada kini,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004), hal 157.
Modernitas merupakan perubahan hubungan emosional face to face ke arah hubungan impersonal. Dari sisi ekonomi, modernitas identik dengan ekonomi yang di dukung modal, aktivitas individualistik, dan pekerjaan yang terspesialisasi atau terfragmentasi. Jadi, modernitas dan terbangunnya relasi sosial baru muncul dari disiplin sosiologi. Sosiologi merupakan disiplin yang lahir sebagai respons terhadap modernitas dengan mengembangkan model teoretis baru untuk menjelaskan tipe masyarakat baru. Tema yang sering muncul dalam teori sosial ialah peran yang di mainkan oleh agama dan ritual dan tingkat integritas masyarakat.
Imam Munawiw, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa,(Surabaya: Bina Ilmu, 2006), hal 447. Agama menjadi fokus perhatian para sosiolog klasik mulai dari Comte, Mark, hingga Durkheim. Semuanya menganalisis posisi agama dan ritualnya dalam masyarakat serta perubahannya.
Dalam karyanya yang berjudul The Devision Of Labour, Durkheim menyatakan peran penting agama khususnya dalam menjamin tatanan moral integrasi sosial, dan identitas personal. Dalam tulisan-tulisan yang kemudian, Durkheim menaruh perhatian pada kosekuensi moral dari modernisasi, khususnya ancaman bagi tatanan sosial akibat otonomitas individu yang meningkat.
Studi yang di lakukan Kluver dan Cheong (2007) menunjukkan bagaimana agama kemampuan adaptif terhadap modernitas. Studi yang di lakukan di Singapura dengan men interview sejumlah pemimpin berbagai agama di tunjukkan untuk mengetahui bagaimana para pemimpin agama memahami peran teknologi impormasi dalam praktek agama. Hasilnya menunjukkan luasnya penggunaan internet dan teknologi imformasi lain dan hal itu bukanlah ancaman bagi agama. Meluasnya internet dan kemajuan berbagai teknologi imformasi yang lain tak pula lagi membawa dampak luas bagi kehidupan manusia termasuk aspek agama dan hal itu memerlukan kajian mendalam.
Menurut Berger (2012), keberhasilan restorasi Meiji di Jepang merupakan bukti pertama yang mengkritik ide model tunggal modernitas. Jepang merupakan contoh Negara yang mengalami proses modernisasi radikal dengan kesadaran penuh menolak westernisasi. Saat ini ide persi alternatif modernitas menjadi semakin penting diberbagai tempat dengan kemunculan sejumlah pertanyaan, seperti: apa yang dapat membentuk modernitas isalam? Pertanyaan ini muncul dari Arab tetapi sebelumnya menjadi bahan perdebatan di Turki, Iran, dan Pakistan dengan memperhatikan integrasi imigran muslim di Eropa salah satu itu, muncul pertanyaan, seperti: apa relasi antara demokrasi sekuler dengan agama Hindu dan India? Antara demokrasi dan halacha di Israel? Dapatkah gereja ortodoks Rusia membuat penyesuain dengan Negara sekuler seperti halnya gereja Roma Katolik sejak Dewan Vatikan kedua? Bagaiman kebebasan beragama di akomodasi dalam” masyarakat harmonis” yang di proklamasikan oleh rezim berkuasa di cina? Terakhir, dalam pemilihan umum terkait di AS secara jelas menunjukkan bahwa agama masih menjadi isu sentral dalam “perang budaya” yang menjadi karakter modernitas amerika.
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, tahun 2015), hal 250-252.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaitan agama dan perubahan sosial, banyak dibuktikan oleh pengetahuan yang meliputi penulisan sejarah figure dalam perubahan sosial. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan sosial.
SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa memahami dan dapat menerangkan hubungan antara agama dan perubahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, tahun 2015), hal 21-22.
Ishomudin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 2002) hal 91.
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Terj, (Rajawali, tahun 1992), hal 218.
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, tahun 2015), hal 237-240.
Asghar Ali Engineer, Islam Pada Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tahun 2004), hal 157.
Imam Munawiw, mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran islam dari masa ke masa, (Surabaya: bina ilmu), hal 447.
17