ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIHAT
Oleh: Reza Suhendri Tarigan
Pendahuluan
Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an adakalanya berbentuk lafaz, ungkapan, dan uslup yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Di samping ayat yang sudah jelas tersebut.
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah agar Al-Qur’an menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta. Ia menggariskan bagi makhluk-Nya akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, di mana Ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Salah satu persoalan ‘Ulumul Qur’an yang masih sering kita dengar tentang perselisihannya ialah masalah ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Telaah dan perdebatan di seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
Ulama-ulama salaf mereka tidak mau menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka hanya mengimani dan mengamalkan apa yang Allah maksud di dalam Al-Quran. Sedangkan dikalangan ulama muta’akhirin mereka berani menafsirkan maupun menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Entah apa alasan kongkrit kedua golongan ulama salaf yang tidak menafsirkan ayat-ayat mutasyabih dan ulama khalaf yang mencoba menafsirkan ayat-ayat mutasyabih ini.
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Kata “muhkam” dan “mutasyabih” adalah bentuk mudzakar, digunakan untuk mensifati kata-kata yang mudzakkar, seperti ungkapan al-qur`an yang muhkam atau yang mutasyabih. Sedangkan kata “muhkamat” atau “mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk mensifati kata yang juga muannats, seperti surah dan ayat muhkamat atau mutasyabihat.
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009)
Al-qur`an menampilkan kata “muhkam” yang terkait dengannya sebanyak tiga kali dalam bentuknya yang berbeda-beda, yaitu “muhkamat (QS. Ali-`imran[3]:7), uhkimat (QS. Hud[11]: 1), dan muhakkamah (QS. Muhammad [47]: 20). Sementara kata “mutasyabih” dalam berbagai ragam dan bentuknya dikemukakan sebanyak dua belas kali yang terpencar dalam beberapa surah dan ayat di dalam Al-Qur`an. Kedua kata tersebut memiliki beragam arti baik menurut etimologi maupun terminologi.
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)
Muhkam berarti (sesuatu) yang di kokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengkokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Allah mensifati Al-Qur’an dengan muhkam. Sebagaimana ditegaskan dalam firmannya (QS. Hud [11] : 1).
Manna’ al-Qattan, Mubaahits fi uluumul Qur’an (Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973)
االرۚ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang maha Bijaksan lagi Maha Tahu.
Mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena kemiripan di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang menyerupai dari segala segi antara satu dengan yang lain.
Ibid
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari uda hal serupa dengan yang lain. Dan syubah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Dengan pengertian ini Allah menyebut Al-Qur’an sebagai kitaban mutasyabihan matsani. Sebagaimana firmannya dalam surat Az-Zumar ayat 23:
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dari Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998)
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
Sementara itu secara terminology (istilah) para ulama berbeda pendapat tentang penegrtian muhkam dan mutasyabihI. Perbedaan pendapat itu antara lain sebagai berikut:
Ulama golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang diketahui makna maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan ditakwilkan, Sedangkan lafal mutasyabiha adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bias mengetahuinya.
Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (dihapuskan hukumnya)/. Sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang samar maksud perunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau pun tidak tercantum dalam dalil-dalil nash (teks dalil-dalil). Sebab,lafal mutasyabih termasuk hal yang diketahui Allah saja artinya.
Mayoritas ulama golongan ahlul fiqih yang berasal dari pendapat tidak bias ditakwilkan kecuali satu arah atau segi saja. Sedangkan lafal mutasyabih adalah artinya dapat di takwilkan seperti masalah surge, neraka, dan sebagainya.
Imam Ibnu Hanbal dan pengikut-pengikutnya mengatakan, lafal muhkam adalah lafal yang bias berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan keterangan yang lain. Mutasyabih, yang membutuhkan penjelasan arti maksudnya, karena adanya bermacam-macam takwilan terhadap lafal tersebut.
Imamul Haramin, bahwa lafal muhkam ialah lafal yang tepat susunan, dan tertibnya secara biasa, sehingga mudah dipahami arti dan maksudnya sedangkan lafal mutasyabih adalah lafal yang makna maksudnya tidak terjangkau oleh ilmu bahsa manusia, kecuali disertai dengan adanya tanda tanda atau isyaratnya yang menjelaskannya
Imam Ath-Thibi mengatakan, lafal muhkam ialah lafal yang jelas maknanya, sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafal muhkam itu diambil dari lafal ihkam (Ma’khuudzul ihkami) yang berarti baik atau bagus. Sedangkan lafal yang mutasyabih ialah sebaliknya, yakni yang susah di pahami, sehingga mengakibatkan kemusykilan atau kesukaran,
Imam Fakhruddin Ar-Razi berpendapat lafal muhkam ialah lafal yang petunjuknya kepada sesuatu makna itu kuat, seperti lafal yang nash,atau yang jelas, dan sebagainya, sedangkan lafal yang petunjuknya tidak kuat, seperti lafal yang global, yang musykil, yang ditakwili, dan sebaginya.
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
Abdul Dzalai HA, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000)
Secara epistemologi, para ulama berbeda pendapat dalam istilah muhkam dan mutasyabih. Muhkam yaitu lafadz yang artinya menunjukkan dalalah yang jelas dan pasti yang tidak memungkinkan untuk menta`wilkannya, ditakhsisikan, ataupun dinasakh. Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi bahwa:
Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas maupun dengan cara ta`wil. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan maksud dari huruf-huruf terpisah yang terdapat pada beberapa awal surah.
Muhkam adalah yang tidak dapat dita`wilkan kecuali hanya dengan satu penta`wilan saja, sedangkan mutasyabih adalah yang mungkin dapat dita`wilkan dengan banyak penta`wilan.
Muhkam adalah ayat yang menerangkan tentang faraidl, ancaman, dan harapan. Sedangkan mutasyabih adalah tentag ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah-kisah dan amstal.
Muhkam adalah lafadz yang tidak diulang-ulang. Sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
. Muhkamat adalah ayat-ayat yang tidak dinasakh, maka mutasyabihat adalah ayat-ayat atau ajaran-ajaran yang telah dinasakh.
Muhkam adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan halal dan haram, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat selain yang berkenaan dengan halal dan haram.
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)
Dari berbagai macam pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan kemantapannya serta tidak akan terjadi perselisihan dan kekurangan dalam al-qur`an. Lafal yang artinya dapat di ketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah lafalan al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bias ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Litera Antara Nusa, 1994)
Contoh-Contoh Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih, menyulitkan dalam membuat patokan kriterianya. Karena mungkin ayat-ayat ini disebut muhkam oleh suatu kelompok, tetapi dipandang mutasyabih oleh kelompok lain. Firman-firman yang berkenaan dengan surge dan neraka mislanya, bagi kebanyakan kaum muslimin disebut muhkamat, tapi bagi sebagian yang lain disebut mutasyabihat, karena gambaran tentang surga dan neraka itu dipahami sebahai metaphor-metafor yang tidak tentu menunjukkan pada hakikatnya.
Ibid
Ali ibnuu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain; ayat-ayat yang menghalalkan; ayat-ayat yang mengharamkan; ayat-ayat yang berisi ketentuan; ayat-ayat yang mengandung kewajiban; ayat-ayat yang harusnya diimani dan diamalkan.
Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan; ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian; ayat-ayat yang berisi beberapa variable; ayat-ayat yang mengandung sumpah; ayat-ayat yang hanya boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Alquran dengan ayat-ayat nasikh,ayat-ayat tentang halal,haram,hudud(hukuman),kewajiban,janji dan ancaman.
Sementara untuk ayat-ayat mutasyabah mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifatnya,antara lain:
Contoh Ayat Muhkam
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS:Al-Hujarat:13).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”,( QS:Al-Baqarah:21)
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya:” Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”(QS Al-Baqarah:275)
Contoh Ayat Mutasyabihat
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Artinya: “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy”. (QS Thaha:5)
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Artinya:” Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (QS Al-Qashas:88).
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka”(QS:Al-FAth:10),
Ayat diatas menegaskan bahwa di antara isi al-Qur’ān ada ayat yang muḥkam dan ayat yang mutashabbih. Ayat muḥkam ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat mutashabbih ialah ayat yang tidak jelas maksudnya. Ayat tersebut mengecam orang-orang yang mengikuti ayat mutashabbih dengan tujuan menimbulkan fitnah. Pada masa Khalīfah ’Umar ibn al-Khaṭṭāb ada seorang laki-laki bernama Sābigh, sering menanyakan maksud ayat-ayat mutashabbih yang dapat menimbulkan fitnah. Lalu Umar memukulnya dengan keras sehingga darah mengalir ke kedua tumitnya, kemudian mendeportasinya dari Madinah dan melarang kaum Muslimin bergaul dengannya.
Ayat yang muḥkam ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutashabbih: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka menyatakan agar orang-orang tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah Swt. Sedangkan orang yang mendalam ilmunya mereka berkata “Kami mengimaninya, semua datang dari Tuhan kami”.
Sebagian yang lain ada yang beranggapan, bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mengatakan: pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu dilimpahkan juga kepada orang-orang atau para ulama yang mendalami ilmunya. Sebab firman Allah yang diturunkan bagi mereka itu adalah pujian, kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka tidak berbeda dengan orang awam yang juga sama tidak faham betul dengan maknanya
Dalam kaitannya dengan pandangan-pandangan yang telah diketahui dan dikemukankan oleh para ulama diatas dapat dikatakan, bahwa diantara sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al qur’an menurut hasil pengamatan dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada lafal dan makna sekaligus. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini dapat dipelajari sebagai berikut:
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009)
Kesamaran pada lafal ayat
Adanya sebagian ayat ayat mutasyabihat didalam al qur’an disebabkan oleh kesamaran pada lafal mufrod maupun murakab (yang tersusun dalam kalimat). Yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad adalah adnya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan karena gharib (asing) atau musytarak ( bermakna ganda).
Kesamaran pada makna ayat
Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat, umumnya adalah berupa ayat ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah.
Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus
Kesulitan memahami ayat-ayat mutasyabihat karena kesamaran atua ketersembunyian maksud, dan juga dapat terjadi lafal dan makna secara sekaligus, namun meski demikian kesulitan tersebut akan dapat teratasi apabila seseorang memiliki ‘’sarana’’ yang memadai untuk menyingkap maknanya yang tersirat dibali lafal dan maknanya yang tersurat itu, sebagai contoh dapat dijumpai dalam firman Allah yaitu al qur’an surat Al Baqarah : ayat 189:
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah kerumah rumah itu dari pintu pintunya dan bertakwalah kepada allah agar kamu beruntung”
Dalam hubungannya kesamaran pada ayat-ayat tersebut, terdapat lima aspek yang terkait dengan hal itu, yaitu:
Aspek kuantitas, baik yang berkaitan dengan masalah masalah yang umum maupun yang khusus.
Aspek cara (Al Kaifiyah), yang termasuk dalam kategori ini adalah mengenai cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama atau kelaksanakan kesunahan.
Aspek waktu, dalam hal ini kesamaran atau ketersembunyian terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh ayat al Qur’an itu sendiri.
Aspek tempat, hal ini terkait erat dengan ketersembunyian atau kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat.
Aspek syarat, adalah syarat dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik mengenai ibadah maupun mu’amalah tidak dirinci dalam ayat ayat tersebut.
Ibid
Pendapat Para Ulama Mengenai Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabih
Dalam kitabAl Atqanu fi Ulumul Quran karya Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti (jilid 2) menyatakan bahwa menurut haki bin Habib Annasaibun, dalam masalah ini ada tiga pendapat, yaitu:
Semua ayat Al Quran adalah muhkam
Semuanya ayat Al Quran adalah mutasyabih
Ayat-ayat Al Quran ada yang muhkam da nada yang mutasyabih
Selanjutnya Subhi As-Shalih menjelaskan bahwa semua ayat al-Quran adalah muhkam kalau yang kita maksud dengan muhkam adalah kuat, kokoh, rapih, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal lafaz-lafaznya, rangkaian kalimatnya maupun maknanya.
Muhammad Ali al-Hasan, Pengantar ilmu-ilmu Al-Qur’an (Bogor: Pustaka Thanqul Izzah, 2007)
Di antara ayat-ayat mutashabbih dalam al-Qur’ān ada ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat tersebut apabila diartikan secara literal, akan menimbulkan pengertian bahwa Allah memiliki sifat kekurangan dan menyerupai makhluk-Nya. Menghadapi ayat-ayat mutashabbih tersebut, para ulama’ memiliki dua pandangan.
Pertama, metodologi tafwiḍ yang diikuti oleh mayoritas ulama salaf. Yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tersebut, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi zat-Nya, serta menyucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal yang baru. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengikuti metode ta‘wīl ijmālī terhadap teks-teks tersebut dan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah.
Muhammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī, Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kauniyyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997)
Mayoritas ulama salaf dengan mengikuti metodologi tafwiḍ atau ta‘wīl ijmālī, tidak mengartikan kata istiwa‘ dalam ayat tersebut dengan bersemayam dan bertempat di ‘Arsh. Dan tidak pula mengartikan datang dan turunnya Allah dalam ayat tersebut dengan datang atau turun seperti halnya makhluk yang berpindah dan bergerak dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ulama salaf berpandangan bahwa kata istiwa‘, datang dan turun dalam teks-teks tersebut memiliki makna-makna tersendiri yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak mengandung penyerupaan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Dari jawaban Imam Malik di atas, tampak bahwa ia tidak menjelaskan pengertian istiwa‘ seperti yang ditanyakan kepadanya, ia hanya memaklumkannya saja. Hal ini membuktikan bahwa menurut ulama salaf, ayat mutashabbih tidak dapat dipahami maknanya, karena hanya Allah saja yang dapat memahami makna sesungguhnya. Hal itu merupakan sikap kaum salaf dalam mensucikan Allah dari makna lahir kalimat pada sifat-sifat-Nya, karena makna harfiah demikian mustahīl bagi Allah. Mereka benar-benar mengimani sepenuhnya rahasia kandungan makna firman Allah mengenai sifat-Nya itu, dan mereka menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah.
Tentu saja teks-teks mutashabbih seperti di atas tidak boleh dibiarkan mengikuti makna literalnya tanpa melakukan ta‘wīl baik secara ijmālī maupun secara tafshilī (rinci). Membiarkan teks-teks tersebut tanpa melakukan ta‘wīl baik secara ijmālī maupun secara tafshilī, belum pernah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf, karena apabila ayat-ayat tersebut dibiarkan mengikuti makna literalnya, maka akan melahirkan pertentangan dengan ayat-ayat yang lain.
Kedua ayat di atas termasuk ayat mutashabbih yang tidak boleh dibiarkan mengikuti makna literalnya, misalnya dengan mengatakan bahwa Allah bertempat di arah atas atau di Arsh. Pengertian demikian akan bertentangan dengan ayat-ayat yang lain, misalnya dengan ayat,
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Baqarah/2 : 115).
Ayat ini apabila diartikan secara literal, maka akan melahirkan pemahaman bahwa Allah berada di seluruh arah di muka Bumi, Barat, Timur, Selatan dan Utara.
Demikian pula dengan ayat,
“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju kepada Tuhanku, dan dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS. al-Shaffat: 99).
Ayat ini apabila diartikan secara literal, akan melahirkan pemahaman bahwa Allah ada di Palestina, karena Nabi Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan akan pergi ke Palestina.
Demikianlah, ayat-ayat mutashabbih di atas apabila diartikan secara literal, akan menimbulkan pengertian yang paradoks. Ayat pertama menyimpulkan, bahwa Allah ada di ’Arsh. Ayat kedua menyimpulkan, bahwa Allah ada di arah atas. Ayat ketiga menyimpulkan, bahwa Allah ada di berbagai arah di muka bumi. Dan ayat terakhir menyimpulkan, bahwa Allah ada di Palestina
’Abdullah al-Harārī, al-Sharh al-Qāwim fī Hāl al-fāẓ al-Shirāṭ al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Masyari’, 1999).
Pendapat ulama’ salaf dengan pendapat ulama’ khalaf memiliki kesamaan dalam menanggapi sifat-sifat mutashabbih, yaitu tidak menyifati Allah dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk-Nya. Mereka sama-sama tidak berpegangan dengan arti-arti literal ayat-ayat mutashabbih tersebut. Mereka sepakat untuk menyucikan Allah dari sifat-sifat yang menjadi ciri khas makhluk-Nya dan bahwa maksud ayat-ayat mutashabbih tersebut bukanlah makna-makna yang dikenal dimiliki makhluk-Nya. Tidak seorang pun dari kalangan mereka yang meyakini bahwa turunnya Allah ke langit dunia dalam ayat di atas adalah turun secara jasadi seperti turunnya Malaikat dan manusia. Tidak pula di antara mereka yang meyakini bahwa maksud istiwa’ dalam ayat di atas adalah bahwa Allah itu duduk atau menetap di Arsy atau ada di arah atas tanpa bersentuhan dengan Arsy.
Ibid
Kesimpulan
Muhkam secara etimologi adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan kekacauan di dalamnya, dan ada mengatakan bahwa muhkam ialah swsuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan tidak membutuhkan kepada yang lain. Muhkam merupakan derivasi dari kata ahkama yaitu atqana. Ahkama al-kalam berarti mengkokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah.
Mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah ke adaan dimana salah salah satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena kemiripan di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang menyerupai dari segala segi antara satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Uhumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009
Abdullah, Mawardi, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014
Chirizin, Muhammad, Al Qur’an dari Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
Dzalai, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Al-Qatan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Litera Antara Nusa, 1994
Al-Hasan, Muhammad Ali, Pengantar ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Thanqul Izzah, 2007
Al-buti, Muhammad sa’id Ramadan, Kubrā al-Yaqīniyyāt al-Kauniyyah, Damaskus: Dar al-fikr, 1997
Al-Harari, Abdullah, al-Sharh al-Qāwim fī Hāl al-fāẓ al-Shirāṭ al-Mustaqim, Beirut: Dar al-Masyari, 1999
15