Mata Kuliah : Psikologi Kehamilan, Persalinan dan Nifas
Dosen pengampuh : Dr.dr.Saidah Syamsuddin, Sp.Kj
PSIKOTIK POSTPARTUM DAN PENANGANANNYA
DARI ASPEK KEBIDANAN
OLEH :
MIKA SUGARNI
(P102182015)
PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN
PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan saya kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin saya tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "PSIKOTIK POSTPARTUM DAN PENANGANANNYA DALAM ASPEK KEBIDANAN” yang saya sajikan berdasarkan data dari berbagai sumber buku dan jurnal. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara menyusun makalah yang baik dan sesuai kaidah.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.
Makassar, 25 Maret 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER …………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR.......................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang......................................................................... 1
Rumusan Masalah.................................................................... 3
Tujuan...................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Psikotik Postpartum.............................................. 5
Faktor Pemicu Psikotik Postpartum....................................... 5
Gejala dan Patofiologi Psikotik Postpartum.......................... 7
Pertimbangan Diagnostik....................................................... 9
Pencegahan............................................................................. 12
Gangguan Psikotik................................................................. 12
Penanganan dalamAspek Kebidanan..................................... 13
Penatalaksanaan Psikotik Postpartum.................................... 17
Pengobatan............................................................................ 18
Komplikasi………………………………………………… 20
Prevalensi............................................................................... 20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................... 22
Saran..................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting dan harus mendapatkan perhatian. Gangguan jiwa berat memberi beban pemerintah, keluarga dan masyarakat. Produktivitas pasien menurun dan menimbulkan beban biaya besar bagi pasien dan keluarga. Bagi pemerintah, gangguan jiwa menjadi beban layanan kesehatan karena menghabiskan biaya yang besar. Gangguan jiwa masih dianggap penyakit memalukan dan menjadi aib pasien dan keluarga. Persepsi masyarakat yang negatif mengakibatkan penderita tak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak mendukung kesembuhan. Survei riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan angka pemasungan mencapai 14,3%.[12]
Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan prioritas dari pengembangan kesehatan di beberapa negara berkembang dan belum berkembang, khususnya di Indonesia. Pengembangan tersebut diarahkan kepada peningkatan kesehatan fisik dan mental ibu. Salah satu masalah ibu postpartum adalah masalah psikologis yang menyangkut depresi postpartum dan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan ibu secara tidak langsung.[10]
Perubahan psikologis selama masa nifas berkaitan dengan meningkatnya kesehatan ibu. kebanyakan ibu yang baru melahirkan akan tampak gembira, penuh cinta kasih dan sangat tenang. Kenyataannya tidak semua ibu menunjukkan gambaran emosi yang sama.[7]
Psikotik postpartum (PP) kondisi keadaan mental yang parah, dengan elemen psikotik dan gangguan mood yang terjadi setelah melahirkan dan sering digambarkan sebagai darurat psikiatri. Psikosis postpartum terjadi pada 1 hingga 2 per 1000 kelahiran dengan puncak onset dalam dua minggu pertama setelah kelahiran. Timbulnya psikotik postpartum biasanya tiba-tiba, tak terduga, dan parah.[6]
National institute for Health and Care Excellene (NICE) saat ini membahas mengenai perawatan kesehatan mental sebelum dan sesudah kelahiran dan merekomendasikan agar para profesional layanan kesehatan waspada terhadap kemungkinan gejala psikotik postpartum dalam dua minggu pertama setelah melahirkan. Namun, hanya setengah dari perempuan yang memiliki akses ke layanan kesehatan mental spesialis p erinatal, dan hambatan pribadi dan tingkat layanan untuk menerima perawatan yang sesuai telah diuraikan. Rekomendasi NICE lainnya termasuk untuk penyedia layanan kesehatan mental untuk: membuat rencana perawatan terkoordinasi; menyediakan intervensi medis dan terapi dan mempertimbangkan peran dukungan pasangan, dan efek potensial dari episode perinatal pada hubungan pasangan. [6]
Kehamilan dan persalinan adalah saat-saat perubahan yang cukup besar, menempatkan peningkatan tuntutan pada pasangan. Hubungan yang pasangan memiliki satu sama lain, dan hubungan yang mereka bangun dengan bayi mereka selama postnatal, membantu untuk memberikan landasan bagi perkembangan bayi. Membangun fondasi ini bisa sulit dalam keadaan terbaik, tetapi masalah kesehatan mental perinatal menyebabkan tantangan tambahan. Perawatan, dan jalannya pemulihan dari psikotik postartum telah digambarkan sebagai proses yang panjang dan sulit, sering melibatkan penerimaan psikiatris dari ibu. Sementara pemahaman tentang dampak masalah kesehatan mental perinatal untuk ibu mungkin membaik, literatur memberikan sedikit informasi tentang dampak kesulitan tersebut pada pasangan, atau pada hubungan mereka dengan bayi baru mereka dan ibu. [6]
Sebagai peristiwa yang tragis tetapi jarang terjadi, kematian ibu merupakan bagian kecil dari keseluruhan beban kesehatan ibu yang buruk. Morbiditas ibu, masalah kesehatan yang ditanggung oleh wanita selama kehamilan, persalinan dan periode postpartum, juga berkontribusi terhadap beban ini secara besar-besaran. Mengukur beban kehamilan dan morbiditas post-partum terkait sangat penting untuk mencapai tujuan kesehatan dan pembangunan yang diartikulasikan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan orang-orang dari Strategi Global untuk kesehatan Wanita, Anak-anak, dan Remaja. Tingkat keparahan, kejadian, dan waktu kondisi ibu yang menyebabkan morbiditas, dan pengukuran dampaknya terhadap kehidupan perempuan, adalah masalah utama dalam konsep tualisasi morbiditas ibu.[14]
Kesehatan mental adalah kontributor signifikan terhadap beban p eny akit global. WHO memperkirakan bahwa untuk wanita usia rep roduksi (15-49), gangguan mental dan perilaku menyumbang sekitar 64 juta global tahun cacat seumur hidup (DALYs) kecacatan yang hilang antara tahun 2000 dan 2012. Beban ini juga tampaknya meningkat dari waktu ke waktu. Antara 2000 hingga 2012, gangguan mental dan perilaku meningkat dari 5,9% menjadi 7,3% sebagai proporsi dari DALY semua penyebab. [14]
Saat ini nosologi psikiatrik dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM -5) tidak mengenali psikosis pascapartum sebagai gangguan yang berbeda; sebaliknya, jika seorang wanita memenuhi kriteria untuk gangguan psikotik singkat, DSM -5 menyarankan untuk menambahkan "dengan onset postpartum" sebagai specifier jika onsetnya selama kehamilan atau dalam waktu 4 minggu postpartum. Beberapa dokter percaya bahwa jangka waktu untuk specifier postpartum harus diperpanjang hingga 6 bulan setelah melahirkan berdasarkan pengalaman klinis yang menunjukkan bahwa episode dapat hadir setelah 4 minggu. Karena psikosis selama periode perinatal biasanya terjadi dalam 4 minggu pertama periode postpartum, maka ulasan ini akan fokus pada psikosis postpartum sebagai lawan dari perinatal (yang umumnya mencakup periode ante dan intra-partum) psikosis yang lebih luas. [14]
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
Apakah pengertian psikotik postpartum ?
Apa saja faktor pemicu psikotik postpartum ?
Apa gejala dan patofisiologi psikotik postpartum ?
Apa pertimbangan diagnostik psikotik postpartum ?
Apa saja pencegahan psikotik postpartum ?
Apa saja gangguan psikotik ?
Bagaimana penanganan dalam aspek kebidanan ?
Bagaimana penatalaksanaan psikotik postpartum ?
Apa pengobatan psikotik postpartum ?
Apa saja komplikasi yang bisa terjadi pada psikotik postpartum ?
Bagaimana prevalensi kasus psikotik postpartum ?
Tujuan
Tujuan dari makalah ini merujuk dari rumusan masalah yang ada diatas, yaitu :
Untuk memahami pengertian psikotik postpartum
Untuk mengetahui faktor pemicu psikotik postpartum
Untuk mengetahui gejala dan patofisiologi psikotik postpartum
Untuk mengetahui pertimbangan diagnostik yang diambil
Untuk mengetahui pencegahan dari psikotik postpartum
Untuk mengetahui gangguan psikotik
Untuk mengetahui penanganan dalam aspek kebidanan
Untuk mengetahui penatalaksanaan psikotik postpartum
Untuk mengetahui pengobatan psikotik postpartum
Untuk mengetahui komplikasi dari psikotik postpartum
Untuk mengetahui prevalensi yang terjadi terkait psikotik postpartum
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Psikotik Postpartum
Psikosis postpartum adalah gangguan psikotik dengan karakteristik mencakup halusinasi,delusi, agitasi dan kesulitan untuk tidur,menunjukkan sikap aneh dan tidak masuk akal (irasional). Meskipun, psikosis postpartum cenderung jarang (1 hingga 2 perempuan per 1000 proses melahirkan), hal ini menunjukkan adanya emergensi psikiatrik karena baik ibu dan bayi (dan mungkin anak lainnya) berada dalam kondisi yang mengancam bahaya. Meskipun psikosis postpartum umumnya dimulai pada minggu pertama postpartum, gangguan ini cenderung tidak terdeteksi hingga terjadi cedera serius.[1]
Postpartum psikis adalah masalah kejiwaan serius yang dialami ibu selepas bersalin dan ditandai dengan agitasi yang hebat, pergantian perasaan yang cepat, depresi dan delusi.[8]
Kasus depresi berat yang disebut Postpartum Psychosis ini merupakan keadaan yang paling parah sebagai lanjutan dari depresi postpartum, yang merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan waham, halusinasi, dan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). [9]
Singkatnya, psikosis pascapartum adalah kondisi kejiwaan dengan mekanisme onset terkait dengan perubahan fisiologis tertentu (misalnya, ritme hormonal, imunologis, sirkadian) yang menyebabkan penyakit pada wanita yang rentan secara genetik.[2]
Faktor Pemicu Psikotik Postpartum
Pada kasus psikotik postpartum penderita akan bertingkah laku aneh, melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dan membahayakan dirinya dan bayinya. Kondisi ini sangat berbahaya dan akan semakin buruk bila tidak segera dilakukan terapi [9]. Hal ini sebagian besar dipicu oleh :
Adanya riwayat keluarga menderita kelainan psikiatri
Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit sikiatri
Adanya masalah keluarga dan perkawinan. [15]
Faktor risiko yang telah diidentifikasi termasuk memiliki masalah kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya (seperti Bipolar Disorder), primipara, konflik perkawinan, kurangnya dukungan sosial, dan adanya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.[6]
Dalam jurnal Florio. A.D[5], factor yang mempengaruhi psikotik postpartum ialah :
Faktor genetik
Ada bukti kuat bahwa kerentanan terhadap memicu psikosis afektif oleh agregat kelahiran di Indonesia berhubungan dengan keluarga dan dapat menentukan subtipe yang relevan secara genetis dari gangguan bipolar. Bukti dari penelitian dalam keluarga menunjukkan hal itu episode PP adalah penanda untuk bentuk yang lebih kekeluargaan dari BD dan bahwa kerentanan spesifik terhadap pemicu nifas BD bersifat keluarga. Bukti dari studi hubungan menunjukkan kemungkinan lokasi gen kerentanan pada kromosom. Gen kandidat tertentu, seperti yang terlibat dalam serotoninergik, hormonal dan inflamasi jalur, juga telah diselidiki. [5]
Faktor-faktor hormonal
Kurangnya bukti yang melibatkan faktor psikososial dan pertimbangan timbulnya tiba-tiba selama waktu utama perubahan fisiologis menunjukkan bahwa secara biologis, mungkin hormonal adalah faktor penting. Peran beberapa hormon (termasuk estrogen, progesteron, prolaktin, hormon perangsang folikel dan hormon lutein) telah dipertimbangkan, tetapi bukti menunjuk pada hormon dalam etiologi PP sebagian besar masih bersifat tidak langsung. [5]
Kurang tidur
Hipotesis yang masuk akal adalah bahwa kurang tidur selama persalinan.[4] Para peneliti telah secara konsisten melaporkan bahwa wanita dengan psikosis memiliki gangguan tidur yang parah, yang sering menunjukkan gejala psikotik pada periode postpartum. Gangguan tidur akibat persalinan dan persalinan dapat memulai gangguan sirkadian dan berkontribusi pada munculnya episode mania atau keadaan campuran.[2]
Penyebab psikotik postpartum
Para ahli tidak benar-benar yakin mengapa postpartum kejiwaan terjadi. Namun, mereka menawarkan berbagai penjelasan mengenai terjadinya disorder dengan perubahan hormone. Alasan yang lain dapat dikemukakan atau factor yang turut berkontribusi termasuk kurangnya dukungan social dan emosional, rasa rendah diri karena perempuan postpartum memiliki rasa kurang memadai sebagai seorang ibu, merasa terpencil dan sendiri, mengalami masalah keuangan, serta terjadi perubahanyang besar dalam kehidupan, seperti pindah rumah atau memulai pekerjaan baru.[8]
Gejala dan Patofisiologi Psikotik Postpartum
Postpartum psychosis (PP) adalah gangguan kejiwaan yang parah yang mempengaruhi sekitar satu atau dua dari setiap 1.000 wanita segera setelah melahirkan (paling sering dalam 6 minggu). Gejala utama termasuk halusinasi, delusi, disorganisasi kognitif, dan kelainan suasana hati . Risiko PP sangat dapat diprediksi, dengan risiko yang baru-baru ini dilaporkan sebesar 35% untuk wanita dengan riwayat gangguan afektif bipolar atau PP sebelumnya. Meskipun PP terjadi bersamaan dengan gejala sisa biologis persalinan, dasar neurobiologisnya masih kurang dipahami.[4]
Gejala awal atau prodromal dari psikosis pascapartum termasuk insomnia, fluktuasi suasana hati, dan lekas marah, dengan munculnya mania, depresi, atau keadaan campuran. Meskipun fluktuasi suasana hati yang cepat adalah ciri khas dari penyakit ini, wanita yang menderita psikosis pascapartum sering memiliki gejala yang tidak khas pada pasien dengan gangguan bipolar. Misalnya, delusi mood yang tidak selaras adalah umum dan sering terkait dengan tema persalinan. Perilaku yang tidak teratur, tidak biasa, dan pikiran obsesif mengenai bayi baru lahir sering terjadi. Psikosis postpartum terkenal karena penampilannya yang seperti delirium, dengan gejala kognitif seperti disorientasi, kebingungan, derealization, dan depersonalisasi. Wanita memiliki insiden gejala yang relatif rendah seperti penyisipan pikiran, penarikan atau penyiaran, pengalaman pasif, suara halusinasi yang memberikan komentar berjalan, atau penarikan sosial. Delusi dari pembunuhan altruistik (seringkali dengan bunuh diri ibu terkait) untuk "menyelamatkan mereka berdua dari nasib yang lebih buruk daripada kematian" dapat terjadi dan merupakan eksplorasi penting dalam pemeriksaan klinis. Psikosis postpartum dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri dan pembunuhan bayi.[2]
Perubahan biologis yang paling intensif dipelajari dalam PP adalah yang terjadi pada hormon reproduksi ibu yang tak lama setelah melahirkan; Namun, tidak ada perbedaan dalam kadar absolut estrogen atau progesteron yang telah diidentifikasi pada wanita yang mengembangkan episode PP . Tanggung jawab genetik terhadap PP juga telah disarankan: studi keterkaitan pada wanita dengan afektif bipolar dan PP melibatkan daerah kromosom 16p dan 8q (daerah yang sebelumnya terkait dengan kerentanan gangguan bipolar), sementara studi asosiasi genetik telah memberikan bukti sugestif, meskipun tidak meyakinkan dan kurangnya bukti. varian risiko dalam gen kandidat yang terlibat dalam jalur serotonergik, tergantung hormon, atau respons stres.[4]
Hambatan utama dalam mengidentifikasi risiko biologis dan faktor protektif untuk PP termasuk prevalensi gangguan rendah, heterogenitas gejala antar pasien yang tinggi, kurangnya aksesibilitas ke jaringan otak pasien, dan kurangnya sejarah sistem model yang dapat diterima. Namun, memahami patofisiologi PP sangat penting untuk mengidentifikasi target terapi baru (untuk obat yang lebih manjur dengan efek samping yang lebih sedikit) dan biomarker prediktif (untuk identifikasi wanita yang paling 'berisiko' sebelum, atau selama, kehamilan, sehingga memfasilitasi sebelumnya, intervensi klinis yang lebih individual).[4]
Bukti terbaru telah menyoroti peran penting yang potensial untuk sistem kekebalan dalam timbulnya PP: wanita dengan gangguan ini memiliki tingkat disfungsi tiroid autoimun dan pre-eklampsia yang lebih tinggi (dianggap sebagai penyakit ketidakcocokan ibu-janin yang imunologis) dan beberapa kasus PP melibatkan respon autoimun terhadap N-methy l- D reseptor asam -aspartic. Hubungan antara patofisiologi PP dan sistem kekebalan mungkin tidak mengejutkan, mengingat bahwa disregulasi sistem kekebalan, ditandai dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi serum seperti interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor-α, dan perubahan dalam ekspresi gen yang terkait sekarang fitur menonjol dalam model patofisiologis depresi (termasuk dalam periode postp artum) , gangguan afektif bipolar dan psikosis.[4]
Menurut Widyasih, dkk[15] beberapa gejala yang umumnya ditemukan pada kasus psikotik postpartum yaitu :
Gangguan tidur
Cepat marah
Gaya bicara yang keras
Menarik diri dari pergaulan
Gejala psikosis postpartum
Perasaan yang diperintah oleh Tuhan atau kekuatan di luar diri untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan, seperti merugikan diri atau bayi
Perasaan kebingungan yang intens
Melihat atau mendengar hal-hal yang tidak nyata
Perubahan mood atau tenaga yang ekstrem
Ketidakmampuan untuk merawat bayi
Memory lapses (periode kebingungan yang serupa dengan amnesia)
Serangan kegelisahan yang tak terkendali
Pembicaraannya tidak dapat dipahami atau mengalami gangguan komunikasi.[8]
Pertimbangan Diagnostik
Wanita dengan psikosis pascapersalinan memerlukan perawatan tingkat tinggi, dan rawat inap psikiatrik rawat inap direkomendasikan untuk penilaian dan perawatan diagnostik. Gejala klinis sangat bervariasi. Bahkan pada seorang wanita, fluktuasi gejala yang cepat disebut sebagai "gambaran kaleidoskopik psikosis pascapartum". Penilaian suasana hati dan gejala psikotik (termasuk pemikiran pasien yang membahayakan dirinya sendiri atau anak-anaknya) di beberapa titik waktu postpartum berguna untuk penilaian diagnostik dan keselamatan ibu dan bayi.[2] Pertimbangan diagnostik yaitu :
Mania atau episode campuran (dengan atau tanpa fitur psikotik);
Episode depresi dengan fitur psikotik; dan
Episode psikotik nonafektif (terjadi pada <10% kasus).
Beberapa wanita (diperkirakan 20% -50%) mengalami episode psikotik hanya selama periode postpartum, tanpa kekambuhan di luar waktu rentan ini. Gejala psikotik dapat diabaikan karena mereka berfluktuasi atau disembunyikan. Penting untuk bertanya kepada pasien dan keluarganya tentang gejala awal psikosis, seperti ide paranoid, pikiran yang mungkin dianggap tidak biasa oleh orang lain, atau perasaan bersalah yang kuat. Gejala psikotik yang tertekan sering kali meliputi pikiran bunuh diri dan pembunuhan bayi (misalnya, anak saya lebih baik tanpanya), dan pasien seperti itu membutuhkan tingkat perawatan yang lebih tinggi untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi. Penilaian harus mencakup pertanyaan langsung tentang pemikiran bunuh diri dan pembunuhan bayi. Pasien mungkin mengalami gangguan persepsi, baik pendengaran dan visual, dengan perintah langsung untuk tindakan berbahaya. Pemeriksaan harus mencakup penilaian untuk penyebab psikosis yang dapat diobati, termasuk infeksi akut, kehilangan darah dan anemia peripartum, dan eksaserbasi prediksi penyakit endokrin dan / atau autoimun. Pengujian laboratorium harus mencakup hitung darah lengkap untuk mengevaluasi proses infeksi (termasuk mastitis dan endometritis), urinalisis untuk menilai sistitis, dan skrining metabolik yang komprehensif. Hipoparatiroidisme primer telah dilaporkan pada wanita postpartum yang mengalami psikosis, inkontinensia feses, kejang, dan hipokalsemia. Penyakit autoimun tiroid terjadi pada 5% -7% wanita selama periode postpartum, dan persentase lebih tinggi pada wanita dengan psikosis postpartum (hingga 20%). Pemantauan fungsi tiroid disarankan, terutama pada pasien dengan antibodi positif peroksidase tiroid karena wanita- wanita ini berada pada risiko tertinggi untuk disfungsi tiroid. Kami merekomendasikan pengukuran hormon perangsang tiroid, T4 bebas, dan antibodi peroksidase tiroid baik pada saat diagnosis dan beberapa bulan kemudian. Ada rebound postpartum yang didokumentasikan dengan baik dari antibodi peroksidase tiroid selama bulan-bulan pertama pascapersalinan, dan skrining negatif awal segera pascapersalinan tidak mengesampingkan penyakit tiroid. [2]
Gejala neurologis, termasuk kejang, penurunan kesadaran, diskinesia, gejala motorik terbuka, dan gejala ekstrapiramidal meningkatkan indeks kecurigaan untuk ensefalitis anti- NMDAR. Skrining primer untuk ensefalitis NMDAR dapat dilakukan dalam serum, tetapi positif palsu sering terjadi, dan analisis CSF lebih disukai. Gejala neurologis merupakan indikasi bagi MRI untuk mengevaluasi apakah ada kelainan otak lainnya. [2]
Dalam penilaian untuk diagnostic pasien psikotik biasanya mengalami gangguan penilaian realita yang berat dan sering disertai disabilitas kognitif dan emosi sehingga kemampuan berfungsi normal sangat terganggu. Pasien sering berbicara dan berperilaku aneh, mengalami halusinasi, dan mempertahankan ide-ide yang tidak sesuai dengan fakta (waham). Mereka sering mengalami kebingungan dan disorientasi serta sering tidak menyadari penyakitnya (tilikan kurang).[13]
Terakhir, melahirkan anak adalah tantangan fisiologis untuk jalur metabolisme yang mungkin menjadi stres oleh keadaan katabolik pasca melahirkan yang ekstrim. Kesalahan metabolisme bawaan sejak lahir yang sebelumnya tidak diketahui dapat muncul dengan gambaran klinis yang mirip dengan psikosis pascapartum. Informasi klinis yang penting dalam diagnosis banding adalah pemeriksaan neurologis yang abnormal, kejang, dan, pada gangguan siklus urea, riwayat penghindaran konsumsi protein oleh pasien. Konsentrasi serum amonia akan mengidentifikasi adanya gangguan siklus urea. Tes positif dapat diikuti dengan analisis asam amino plasma dan studi lebih lanjut. Tinjauan terhadap penggunaan alkohol dan narkoba serta penapisan obat harus dilakukan untuk mengidentifikasi sindrom toksik atau penarikan yang dapat muncul dengan gejala psikotik.[2]
Pada umumnya diagnosis psikosis masa nifas ditegakkan jika wanita yang depresi mengutarakan pikiran bunuh diri atau mengalami delusi.[11]
Pencegahan
Membimbing wanita berisiko tinggi untuk psikosis melalui kehamilan dan periode postpartum adalah tantangan bagi para profesional perawatan kesehatan. Kami merekomendasikan algoritma pengobatan yang berbeda untuk wanita dengan gangguan bipolar kronis dan wanita dengan riwayat psikosis terbatas pada periode postpartum. Pada wanita dengan gangguan bipolar, profilaksis selama kehamilan meningkatkan kemungkinan mempertahankan stabilitas suasana hati selama kehamilan dan mencegah kekambuhan postpartum. Sebaliknya, pengobatan profilaksis segera setelah lahir pada wanita dengan riwayat psikosis terbatas pada periode postpartum adalah tepat.[2]
Untuk mengurangi jumlah penderita ini sebagai anggota keluarga hendaknya harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan ibu serta memberikan dukungan psikis agar tidak merasa kehilangan perhatian. Saran kepada penderita untuk :
Beristrahat yang cukup
Mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang
Bergabung dengan orang-orang yang baru
Bersikap fleksible
Berbagi cerita dengan orang terdekat
Sarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga medis
Gangguan psikotik
Gangguan psikotik ini dapat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu[9] :
Skizofrenia, disebut juga pemecahan kepribadian
Paranoid, kondisi paranoid ditandai oleh adanya kecurigaan yang tak beralasan yang terus menerus yang pada puncaknya dapat menjadi tingkah laku agresif
Psikosis manis-depresif, menyangkut aspek emosi penderita, penderita mudah menjadi sangat gembira ataupun sedih, sangat agresif atau diam seperti patung.
Penanganan dalam Aspek Kebidanan
Komunikasi terapeutik dalam kebidanan
Keterampilan berkomunikasi bidan dengan klien merupakan suatu keharusan sebagai bagian dalam kegiatan intervensi kebidanan. Untuk membentuk hubungan interpersonal antara bidan dan klien, bidan harus mengerti dan memperhatikan semua komunikasi yang dilakukannya, baik itu komunikasi verbal maupun nonverbal. Untuk bisa mendengarkan klien, bidan perlu menghadirkan dirinya secara fisik maupun emosional.[7]
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik menggambarkan kemampuan atau keterampilan bidan untuk membantu pasien beradaptasi dengan stress, gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain[7] :
Tujuan komunikasi terapeutik dalam kebidanan[7] ialah
Membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan serta pikirannya
Membantu mengambil tindakan yang efektif umtuk pasien
Membantu pasien dalam pertumbuhan pribadi, yakni :
Realisasi diri, seperti sikap penerimaan diri dan rasa hormat pada diri sendiri
Mengenal identitas diri yang jelas dan integritas yang tinggi
Meningkatkan kemampuan klien dalam mencapai tujuan personal yang realitas
Tahap interaksi dengan pasien dalam komunikasi terapeutik[7]
Preinteraksi
Masa persiapan sebelum mengevaluasi dan berkomunikasi dengan pasien. Pada masa ini bidan perlu membuat rencana interaksi dengan pasien, yaitu melakukan evaluasi diri, menetapkan tahapan hubungan interaksi, atau menjadwalkan interaksi
Perkenalan
Kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu. Hal yang perlu dilakukan bidan ialah memberi salam, memperkenalkan diri menanyakan nama pasien, menyepakati masalah pasien dan mengakhiri perkenalan
Orientasi
Memvalidasi keakuratan data dan mengevaluasi hasil tindakan yang lalu. Beberapa hal yang harus diperhatikan ialah memberi salam.
Fase kerja
Meningkatkan pengertian dan pengenalan pasien tentang diri sendiri, perasaan, pikiran dan perilakunya, mengembangkan, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan klien secara mandiri, menyelesaikan masalah yang dihadapi, melaksanakan terapi kebidanan, melakukan kolaborasi dan melaksanakan observasi dan pemantauan
Fase terminasi
Terminasi sementara, yakni akhir dari tiap pertemuan bidan dengan pasien, terdiri dari tahap evaluasi hasil, tahap tindak lanjut dan tahap untuk kontrak yang akan dating
Terminasi akhir, yakni jika pasien akan pulang dari rumah sakit yang isi percakapannya meliputi tahap evaluasi, dan tahap eksplorasi perasaan.
Langkah kerja komunikasi terapeutik dalam kebidanan[7]
Pengkajian
Menentukan kemampuan dalam proses informasi, mengevaluasi data tentang status mental pasien, mengevaluasi kemampuan pasien dalam berkomunikasi, mengobservasi kejadian yang terjadi, mengidentifikasi perkembangan pasien, menentukan sikap pasien.
Rencana tujuan
Membantu pasien memenuhi kebutuhan sendiri, membantu pasien menerima pengalaman, meningkatkan harga diri pasien, memberi dukungan.
Implementasi
Memperkenalkan diri pada pasien, membantu pasien mendapatkan gambaran pengalamannya, menganjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dan menggunakan komunikasi untuk meningkatkan harga diri pasien.
Evaluasi
Tahap ketika pasien dapat mengembangkan kemampuan dalam mengkaji dan memenuhi kebutuhan. Komunikasi lebih jelas, terbuka, dan terfokus pada masalah, membantu menciptakan lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan.
Terapi psikologis
Kegiatan terapis psikologis hanya boleh dilakuakn oleh seorang bidan dalam konteks terbatas, yakni memberikan edukasi psikologis yang berkaitan dengan aspek kebidanan, bukan pada usaha penyembuhan sakit jiwa (psikopatologi). [7]
Terapi individual
Terapi individual adalah pembentukan hubungan yang terstruktur antara terapis (bidan) dan klien untuk mencapai perubahan pada diri klien. Terapis bekerja dalam rangka menyelesaikan konflik, masalah emosional dan mengembangkan cara yang tepat untuk kebutuhan klien. Terapi ini ditujukan untuk ibu hamil atau pasca hamil yang mempunyai masalah psikologis yang berkaitan dengan rasa takut, cemas, stress, frustasi, depresi atau kegagalan mengambil keputusan.
Terapi kognitif
Terapi kognitif menggunakan beberapa strategi untuk memodifikasi keyakinan dan sikap klien yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Ketika pandangan negative pasien sudah mengarah ke masalah psikopatologis, seorang bidan harus mengarahkan klien ke ahlinya (psikiater). Jadi terapi kognitif yang boleh diberikan atau dilakukan oleh bidan hanya untuk masalah-masalah ringan
Terapi keluarga
Terapi keluarga berarti seluruh anggota keluarga diikutsertakan dalam usaha membantu penyelesaian klien dimana keluarga memberikan kontribusi terhadap masalah klien tersebut. Penerapan terapis keluarga kepada klien yang memiliki masalah dalam relasi social atau kegagalan klien untuk membina hubungan dengan pasangannya (suami) dan anggota keluarga.
Secara teoritis, gejala-gejala yang ada pada klien tidak terlepas atau sebagai dari gejala-gejala yang ada dalam keluarga berupa hubungan yang disfungsional dan pola komunikasi yang tidak sehat. Perilaku ekstrem dapat dilihat seperti keterlibatan anggota yang berlebihan atau sebaliknya kurang.
Terapi perilaku
Ada lima Teknik dasar terapi perilaku, sebagaimana disebutkan berikut ini :
Terapi model peran, disini terapis (bidan) memberikan contoh perilaku yang diinginkan dan klien mempelajarinya melalui praktik dan imitasi. Model peran sering digunakan untuk pengondisian dan desensitisasi.
Pengondisian operan yang disebut dengan penguatan positif, bidan memberi penghargaan kepada klien karena telah membuat perubahan perilaku positif. Modifikasi perilaku terjadi ketika pasien mencapai tujuan perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya.
Terapi desensitisasi, ditujukan kepada klien yang menderita akibat phobia diperkenalkan secara berulang=ulang kepada stimulus yang menimbulkan phobia disaat klien berada dalam kondisi rileks. Secara bertahap meningkatkan stimulus dengan cara mengajarkan klien untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya
Terapi pengendalian diri, dalam hal ini klien dilatih untuk belajar bagaimana mengubah kata-kata negative atau sikap negative dan membimbungnya sampai klien mampu memperoleh pengendalian atas tindakannya.
Terapi aversi (menghindar) atau terapi reflek terkondisi, terapi ini didasarkan pada prinsip penguatan negative. Perilaku aneh atau abnormal yang dipilih disandingkan dengan pengalaman yang tidak nyaman, dan klien segera belajar untuk tidak mengulangi perilaku demi menghindari konsekuensi negative akibat perilaku tersebut.
Lakukan rujukan
Penanganan terakhir yang dilakukan bidan adalah pedoman menyarankan bahwa rujukan harus dipertimbangkan untuk mereka dengan gejala sedang yang berkembang pada akhir kehamilan atau postpartum awal atau gejala ringan dan keluarga riwayat gangguan bipolar atau psikosis nifas (COG). Layanan psikiatri harus memiliki jalur perawatan prioritas wanita hamil dan postpartum dan perawatan secara berganda.[5]
Penatalaksanaan Psikotik Postpartum
Postpartum kejiwaan dianggap menjadi darurat kesehatan mental. Oleh karena itu, memerlukan perhatian segera. Hal ini dikarenakan wanita yang menderita penyakit kejiwaan tidak selalu mampu atau bersedia untuk berbicara dengan seseorang tentang disorder-nya, mereka kadang-kadang membutuhkan pasangan atau anggota keluarga yang lain untuk membantu mereka mendapatkan penanganan medis yang mereka butuhkan. Kondisi ini biasanya diatasi dengan pemberian obat, biasanya obat antipsikosis dan terkadang antidepresan dan/atau antiansietas. Banyak wanita yang juga dapat merasakan manfaat dari konseling dan dukungan psikologis kelompok. Dengan perawatan yang baik, sebagian besar perempuan dapat pulih dari kekacauan. [8]
Penatalaksanaan menurut Widyasih (2012)[15]
Pemberian anti depresan atau lithium
Sebaiknya menyusui dihentikan karena anti depresan disekresi melalui ASI
Perawatan di rumah sakit
Penatalaksanaan menurut Sinclair (2010)[11]
Buat rujukan ke psikiater
Panduan antisipasif : psikiater akan memprogramkan wanita dihospitalisasi untuk dievaluasi, sebagai langkah antisipasi bunuh diri, dan padaawal terapi. Terapi dapat meliputi terapi kejut listrik (ECT) dan pemberianantidepresan,obat-obatan neuroleptik, SSRI, dan litium karbonat
Pasangan akan membutuhkan dukungan
Pengobatan alternatif : beberapa ahli merekomendasikan terapi homeopatik.
Pengobatan
Pengobatan standar untuk psikosis pascapartum termasuk antipsikotik dan seringkali lithium dan benzodiazepin. Pendekatan perawatan ini sedikit berbeda dari merawat pasien dengan penyakit psikotik nonpostpartum, yang umumnya tidak akan menerima penstabil suasana hati, seperti lithium. Termasuk penstabil suasana hati untuk psikosis pascapartum diperlukan karena hubungan antara psikosis pascapartum dan gangguan bipolar, yang dirawat dengan penstabil suasana hati.[3]
Obat Antipsikotik dan Psikotropika Lainnya
Pilihan obat antipsikotik dan psikotropika lain untuk mengobati psikosis pascapartum didasarkan pada status menyusui pasien. Manfaat pengobatan harus dipertimbangkan terhadap risiko pajanan bayi yang menyusui terhadap obat. Karena psikosis pascapartum adalah keadaan darurat psikiatrik, manfaat dari pengobatan dianggap lebih besar daripada potensi dampak buruk apapun pada bayi yang menyusui yang terpapar obat. Risiko psikosis pascapartum yang tidak diobati pada bayi termasuk penolakan bayi, hubungan orangtua yang buruk, bunuh diri, pembunuhan bayi, kegagalan jangka panjang untuk ikatan dengan anak, keterlambatan perkembangan bayi, dan kegagalan untuk berkembang.[2]
Banyak ibu termasuk pasien dalam presentasi ini memutuskan bahwa manfaat pengobatan lebih penting daripada menyusui dan memilih untuk memberi makan bayi mereka dengan susu formula. Bahkan jika pasien memilih untuk memberi susu botol kepada bayinya, pertimbangkan untuk memberikan obat-obatan yang dianggap lebih aman untuk menyusui karena pasien mungkin perlu melanjutkan psikotropika selama kehamilan berikutnya untuk mencegah episode psikotik berikutnya. Semua obat psikotropika masuk ke dalam ASI. [2]
Studi tentang efek jangka panjang dari obat-obatan ini pada bayi terbatas, tetapi para ahli cenderung merekomendasikan olanzapine, quetiapine, dan risperidone lebih dari aripiprazole dan ziprasidone.
Lithium sering digunakan untuk mengobati psikosis pascapartum. Studi yang meneliti risiko pada bayi setelah paparan lithium dalam jangka panjang melalui ASI belum dilakukan, tetapi American Academy of Pediatrics tidak menganjurkan penggunaannya selama menyusui karena kekhawatiran tentang toksisitas pada bayi. [2]
Pengaturan tidur penting untuk mengobati gangguan bipolar dan untuk mencegah episode mendatang. Untuk memastikan keselamatan bayi dan ibu sebelum pulang, pendidikan keluarga sangat penting untuk membangun tindak lanjut yang dekat, tidur yang cukup , dan pengurangan stres. Pemisahan dari bayi mungkin diperlukan setelah keluar, dan seseorang harus memantau bayi setiap saat sampai penyedia layanan kesehatan mental rawat jalan memastikan bahwa semua gejala psikotik telah sembuh. Perawatan yang berhasil dari psikosis pascapersalinan membutuhkan komunikasi yang erat antara penyedia kesehatan mental, dokter anak, dan dokter kandungan atau penyedia kesehatan wanita. Karena pendekatan tim erat setelah keluar dari unit psikiatrik akut diperlukan, perawatan pasien dan anaknya menyediakan kesempatan pendidikan bagi individu yang bekerja di klinik perawatan terintegrasi. [2]
Komplikasi
Mengabaikan bayi
Rujukan ke tim perlindungan tidak harus rutin, tetapi harus dilakukan sebagai hasil dari penilaian risiko. Tambahan kewaspadaan dan perawatan diperlukan dalam kasus-kasus ini, mungkin meningkatkan risiko kerusakan mental ibu kesehatan, dan bahkan mengarah pada bunuh diri.
Bunuh diri atau pembunuhan bayi
Saat membahas gejala mood rendah, tanyakan secara sensitif apakah wanita itu merasa hidup itu tidak layak dijalani dan apakah dia pernah berpikir untuk melukai bayinya memungkinkan dokter untuk menilai aspek risiko paling serius. Ini penting untuk dicatat bahwa bertanya tentang pikiran bunuh diri tidak tidak meningkat, melainkan cenderung mengurangi, risiko wanita mengambil hidupnya.
Perulangan non-nifas
Meskipun ada kekurangan informasi tentang tingkat kekambuhan non-nifas, Robertson et al. Menemukan indeks PP 62% wanita mengalami setidaknya satu episode afektif non-nifas selama rata-rata 9 tahun masa tindak lanjut.[5]
Prevalensi
Pasien dengan gangguan bipolar memiliki risiko episode psikotik tertinggi selama periode postpartum, dengan sebuah penelitian melaporkan 260 episode psikosis perpengiriman di antara wanita dengan gangguan bipolar. 13 Studi seperti ini menunjukkan bahwa episode psikosis postpartum mungkin merupakan varian atau presentasi atipikal dari gangguan bipolar yang mendasarinya atau kecenderungan untuk mengembangkan gangguan tersebut. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan 58 pasien dengan psikosis postpartum dengan ke 52 individu dengan psikosis terkait nonchild bearing, gejala manik lebih umum di antara kelompok postpartum. 15 Studi keluarga telah menunjukkan bahwa risiko penyakit kejiwaan di antara kerabat tingkat pertama wanita dengan psikosis pascapartum adalah 10% hingga 50%, yang lebih tinggi daripada populasi umum.[3]
Brockington dan koleganya menemukan bahwa pasien dengan psikosis pascapartum memiliki mood mood, distractibility , dan confusion yang lebih tinggi daripada pasien dengan psikosis yang tidak terkait dengan kehamilan. Pasien dengan psikosis postpartum lebih cenderung mengalami gangguan sensorium, kualitas delusi yang aneh, dan kehilangan ingatan. Psikosis dengan onset setelah persalinan meliputi tingkat disorganisasi pemikiran yang tinggi, delusi referensi, delusi penganiayaan, dan tingkat yang lebih tinggi dari ide dan perilaku pembunuhan. Studi ini juga melaporkan gejala seperti halusinasi visual, taktil, dan penciuman dan presentasi yang mirip dengan delirium. [3]
Chandra dan rekannya menemukan bahwa 53% wanita dengan psikosis postpartum memiliki delusi tentang bayi, termasuk keyakinan bahwa seseorang akan membahayakan atau membunuh bayi atau bahwa bayi itu akan dirugikan oleh ASI mereka. Dibandingkan dengan wanita dengan gangguan bipolar, Oostheuizen dan rekan menemukan bahwa wanita dengan psikosis postpartum memiliki delusi kontrol, seperti perasaan di bawah pengaruh kekuatan yang sangat kuat yang mengendalikan tindakan mereka. Pikiran bayi adalah umum di antara pasien dengan psikosis pascapartum, dan sekitar 4% wanita melakukan pembunuhan bayi. [3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Psikosis postpartum adalah keadaan darurat psikiatris yang membutuhkan perawatan segera untuk mencegah hasil yang mengerikan seperti bunuh diri atau pembunuhan bayi.
Periode postpartum adalah masa peningkatan risiko untuk timbulnya atau memperburuk ketidakstabilan suasana hati terutama pada wanita dengan gangguan bipolar. Meskipun status nosologis PP tetap kontroversial, umumnya dianggap sebagai episode psikotik gangguan bipolar.
Ulasan ini mengkonfirmasi tingkat psikosis nifas yang relatif rendah; namun kekurangan studi yang memenuhi kriteria kelayakan dan menyoroti kesenjangan kritis dalam pengetahuan, prevalensi psikosis nifas dari studi skala besar di seluruh dunia. Seperti dijelaskan di atas, psikosis pascapartum adalah penanda utama untuk risiko gangguan afektif di masa depan, yang merupakan kontributor signifikan terhadap beban penyakit global. Penulis merekomendasikan bahwa perhatian lebih lanjut diberikan untuk mengidentifikasi psikosis nifas dan memantau kejadian secara lebih konsisten pada skala global. Deteksi psikosis nifas yang tepat diperlukan untuk meningkatkan peluang bahwa seorang wanita akan menerima perawatan yang memadai, yang dapat membantu mengurangi beban penyakit global dan meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Saran
Sebagai seorang bidan yang menjadi salah satu care provider terhadap kelangsungan hidup ibu dan bayi diharapkan agar lebih memberikan asuhan psikologis secara dini dan mendalam terhadap ibu hamil, bersalin dan pasca bersalin, melakukan pendampingan dan dukungan secara spiritual bahwa proses hamil merupakan salah satu kodrat seorang wanita agar ibu dapat memahami dan mencintai dirinya sendiri serta dukungan suami, keluarga, kerabat, sahabat juga sangat penting untuk tetap menjaga psikologis ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, Martha Raile. 2017. Nursing theorists and Their Work, 8th edition. Indonesia : ELSEVIER (Singapore) Pte Ltd.
Bergink, V., Natalie R., Katherine L.W. 2016. Postpartum Psychosis: Madness, Mania, dan Melancholia in Motherhood. Journal : American Journal of Psychiatry. Diambil dari : https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2016.16040454
Cranford, K., Joanna Gedzi and Victoria Su. 2018. 2. Postpartum Psychosis in a Young VA Patient Diagnosis, Implications, and Treatment Recommendations. Vol.1, Feb. 2018. Diambil dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term (24 Maret 2019)
Dazzan, P., M ontserrat F., and Wi l l i am D. 2018. 5. Do Defective Immune System-Mediated Myelination Processes Increase Postpartum Psychosis Risk. Diambil dari : (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/) (24 maret 2019)
Florio, A.D., Sue Smith and Ian Jones. 2013. Postpartum Psychosis. Journal : Royal College of Obstetricians dan Gy naecologists. Diambil dari : http://onlinetog.org
Holford, N., Sue C., Jessi ca Heron and Ian Jones. 2018. The Impact of Postpartum Psychosis on Partners. Vol.1, Oct 2018. Diambil dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=the+impact+of+postpartum+on+partners (24 Maret 2019)
Janiwarty, Bethsaida., dan Herri Zan Pieter. 2013. Pendidikan Psikologi untuk Bidan. Yogyakarta : Rapha Publishing.
Mansur, H., dan Temu Budiarti. 2014. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Marmi dan Margiyati. 2013. Pengantar Psikologi Kebidanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Cetakan I
Nasri ,Z., Arief W., Endang W.G. 2017. Determinants Factors of Postpartum Depression in East Lombok. Vol.1, Mar.2017. Diambil dari : http://dx.doi.org/10.22435/hsr.v20i3.6137.89-95 (24 Maret 2019)
Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC. Hal.316. Di ambil dari:
https://books.google.co.id/books?id=NL-RVR1nywYC&printsec= frontcover#v=o ne page&q&f=false (24 Maret 2019)
Setiati, E., Sumarni D.W dan Sri S. 2017. Social support and medication obedience with recurrence of schizophrenia patients in Purworejo. Journal of Community Medicine and Public Health. Vol. 33 Nomor 6 Halaman 305-310. Diambil dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term (24 Maret 2019)
Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC. Di ambil dari : https://books.google.co.id/books?id=Lcqocb5k5jAC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false (24 Maret 2019)
VanderKrui, R., M aria B., Dori C., Tom A., Say L., Cohen L.S. 2017. The global prevalence of postpartum psychosis: a systematic review. Journal : BMC Psychiatry. Diambil dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term (24 Maret 2019)
Widyasih, Hesty., Suherni dan Anita Rahmawati. 2012. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta : Fitramaya. Cetakan VI.