Academia.eduAcademia.edu

PEMKOT KUPANG DAN REFORMASI PERIZINAN

Max Weber (1958), pernah berpendapat bahwa efisiensi birokrasi dan buruknya perilaku birokrasi hanya mungkin dapat dihindari melalui reformasi struktur yang “pendek” dan tidak “gemuk”. Pendapat Weber ini menuai penggenapannya di Indonesia. Tumpang tindihnya izin dalam struktur perizinan di Indonesia saat ini telah menghasilkan ketidakjelasan, yaitu apakah suatu izin usaha melakukan fungsi kontrol atau fungsi informasi. Fungsi informasi berarti bahwa tujuan utama dari suatu izin adalah untuk memberikan informasi kepada pemerintah mengenai kegiatan-kegiatan usaha. Peranan ini dapat dan harus dilakukan oleh TDP. Suatu izin kontrol dikeluarkan jika sebuah perusahaan memenuhi aturan-aturan tertentu dan dapat dicabut atau perusahaan tersebut dikenai sanksi, jika melanggar hukum. Fungsi kontrol biasanya diterapkan untuk mengurangi dan memantau eksternalitas kegiatan-kegiatan usaha, seperti polusi dan kecelakaan yang dapat terjadi. Fungsi ini dapat dilakukan oleh izin atas aktivitas produl-produk tertentu dan bukan oleh izin-izin sektoral.

PEMKOT KUPANG DAN REFORMASI PERIZINAN Oleh. Paul SinlaEloE Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT Tulisan ini pernah di publikasikan dalam Harian Umum, TIMOR EXPRESS, pada tanggal 31 Juli 2009 Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi serta maraknya tindak korupsi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini dan harus segera diatasi demi terwujudnya masyarakat yang adil didalam kemakmuran dan makmur didalam keadilan. Permasaalahan ini, oleh Eko Prasodjo (2007) dapat terjadi karena tidak berjalannya reformasi birokrasi atau dalam bahasa yang lebih “lunak” di sebut reformasi yang dilakukan selama ini hanya berjalan dengan “setengah hati”. Karenanya, menyaksikan birokrasi dinegeri ini, serasa melihat birokrasi kolonial. Untuk solusinya, Max Weber (1958), pernah berpendapat bahwa efisiensi birokrasi dan buruknya perilaku birokrasi hanya mungkin dapat dihindari melalui reformasi struktur yang “pendek” dan tidak “gemuk”. Sehingga birokrasi dapat berjalan cepat, akurat sekaligus aparat birokratnya dapat bekerja maksimal dan berorientasi pada pelayanan publik. Sejalan dengan pikiran Weber, maka pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis untuk memperbaiki kinerja birokrasi, diantaranya INPRES No. 3 Tahun 2006, tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Dalam aturan ini telah disusun kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kinerja birokrasi perizinan dan penyederhanaan proses perizinan. Kebijakan ini sejalan dengan masalah utama berkaiatan dengan peraturan dalam sistem perizinan di Indonesia, yakni jenis usaha yang berbedabeda memiliki fungsi yang tumpang tindih. Secara yuridis, setiap izin usaha tampaknya memiliki fungsi yang berbeda-beda (The Asia Foundation, 2007). Meskipun demikian, dalam prakteknya beberapa dari di antara izin tersebut saling tumpang tindih. Sebagai contoh, baik Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) maupun Tanda Daftar Perusahaan (TDP) mengumpulkan jenis informasi yang sama. Terlebih lagi, SIUP merupakan salah satu syarat agar sebuah perusahaan dapat berperan serta dalam lelang-lelang yang dilaksanakan oleh pemerintah dan untuk mengajukan permohonan pinjaman ke pihak perbankan. Dengan demikian, SIUP lebih diwajipkan daripada TDP. Begitu pula dengan perusahaan perdagangan, industri dan pariwisata tidak hanya harus memiliki SIUP, Izin Usaha Industri/Tanda daftar Industri (IUI/TDI), dan Surat izin Usaha Khusus (SIUK), namun juga izin aktivitas khusus dan izin produk khusus. Tumpang tindihnya izin dalam struktur perizinan di Indonesia saat ini telah menghasilkan ketidakjelasan, yaitu apakah suatu izin usaha melakukan fungsi kontrol atau fungsi informasi. Fungsi informasi berarti bahwa tujuan utama dari suatu izin adalah untuk memberikan informasi kepada pemerintah mengenai kegiatan-kegiatan usaha. Peranan ini dapat dan harus dilakukan oleh TDP. Suatu izin kontrol dikeluarkan jika sebuah perusahaan memenuhi aturan-aturan tertentu dan dapat dicabut atau perusahaan tersebut dikenai sanksi, jika melanggar hukum. Fungsi kontrol biasanya diterapkan untuk mengurangi dan memantau eksternalitas kegiatan-kegiatan usaha, seperti polusi dan kecelakaan yang dapat terjadi. Fungsi ini dapat dilakukan oleh izin atas aktivitas produl-produk tertentu dan bukan oleh izin-izin sektoral. Disamping masalah peraturan diatas, terdapat juga tantangan-tantangan birokratis sehubungan dengan pelaksanaaan izin usaha. Pelaksanaaan izin usaha pada kenyataannya seringkali mengalami kekurangan kemampuan dan sumber daya pemerintah, yang membatasi pemerintah dalam memberikan Page 1 of 3 perlindungan sosial, kontrol pasar, atau pengumpulan informasi yang semestinya dilakukan oleh izin-izin usaha tersebut. (The Asia Foundation, 2007). Dalam hal pemberian perlindungan sosial, tidak jelas apakah pejabat pemerintah melakukan pemantauan acak atau sistematis setelah suatu izin dikeluarkan untuk menjamin agar perusahaan-perusahaan yang menerima izin tersebut mematuhi syrata-syarat yang ditetapkan. Kontrol pasar juga tidak mungkin dilaksanakan oleh sistem perizinan yang ada saat ini. Sebagi contoh, SIUP semestinya tidak diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing, dan dengan demikian akan membatasi kegiatan-kegiatan perdagangan hanya bagi perusahaan-perusahaan Indonesia saja. Namun dalam prakteknya, perusahaan-perusahaan asing dapat memperoleh izin ini dan melakukan perdagangan di dalam maupun luar negeri. Sementara, dalam hal informasi usaha yang semestinya diperoleh dari pemberian TDP, pemerintah tidak memeiliki mekanisme untuk menjamin agar seluruh data diajukan oleh Pemerintah Daerah kepada departemen sesuai di Pemerintah Pusat. (The Asia Foundation, 2007). Lebih lanjut, The Asia Foundation (2007) dalam analisisnya juga menemukan bahwa informasi dalam TDP tidak diperbaharui oleh perusahaanperusahaan yang telah memilikinya, meskipun peraturan mengharuskan demikian. Berkaiatan dengan beberapa permasaalahan diatas, perlu diketahui bahwa upaya untuk meningkatkan kinerja birokrasi perizinan pada dasarnya sudah diupayakan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini sebelum lahirnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 di atas, diantaranya melalui kebijakan tentang pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) yang ditunagkan dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1997 Nomor 503/125/PUOD tentang Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1998, tentang Pelayanan Terpadu Satu Atap. Hanya saja hingga saat ini harapan terhadap terselenggaranya penyederhanaan perizinan melalui PTSA dirasakan kurang maksimal sehingga perlu dilakukan berbagai perbaikan. Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006, tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Pemerintah selanjutnya menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP). Ide dasar dari peraturan ini adalah meminta pemerintah daerah untuk menyederhanakan proses penerbitan perizinan dan non perizinan terkait dengan usaha melalui pengembangan sistem penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu. Out put yang ingin dicapai Permendagri ini pada dasarnya ada dua, yakni: Pertama, Memperluas akses publik terhadap pelayanan perijinan yang berkualitas. Kedua, Mendorong peningkatan investasi, dengan menyederhanakan proses-proses perijinan. Sedangkan Impact yang bisa diperoleh adalah terjadi peningkatan PAD dari sektor perizinan serta terminimalisrnya tindak korupsi pada sektor perizinan. Secara konseptual, The Asia Foundation (2007) berpendapat bahwa PPTSP merupakan Penyelenggaraan perizinan mulai dari tahap permohonan sampai penerbitan dokumen dilakukan secara terpadu dalam satu tempat dengan melakukan: Pemangkasan tahapan dan prosedur, Transparansi biaya, Penyederhanaan persyaratan, Pengurangan waktu rata-rata pemrosesan perizinan dan Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan. Sedangkan prinsip dasar dari PPTSP adalah Pertama, Hanya Ada Satu Tempat Yang dituju oleh masyarakat ketika memerlukan Perizinan. Kedua, Pengelolaan perizinan dari tahap penerimaan permohonan sampai dengan penandatanganan serta pendokumentasian ada dalam satu instansi. Ketiga, Dalam mengelola perizinan PPTSP berkoordinasi dengan SKPD Teknis. Keempat, Masyarakat/pemohon hanya datang dua kali yaitu: ketika memasukkan permohonan dan ketika membayar dan mengambil perizinan serta hanya bertemu dengan petugas pelayanan. Kelima, PPTSP tidak melakukan transaksi pembayaran. Keenam, Ada kejelasan prosedur, persyaratan, biaya dan ketentuan lainnya. (The Asia Foundation, 2007). Pada konteks Kota Kupang, PPTSP merupakan salah satu upaya yang efektif dan bukti kongkrit komitmen Pemerintah Kota Kupang (PEMKOT Kupang) yang kuat dalam melakukan reformasi birokrasi menuju Good Governance, Clean Government dan bebas KKN. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa Hasil survei dari Transparancy International, Indonesia (TII), menempatkankan Kota Kupang sebagai Kota Page 2 of 3 paling korup di Indonesia pada tahun 2008, dengan IPK 2,97. Indikator utama yang dipakai oleh TII untuk menentukan Kota Kupang sebagai kota terkorup tahun 2008 adalah buruknya pelayanan umum berkaitan dengan pengajuan izin usaha. PPTSP juga, sejalan dengan tujuan pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, yakni: Pertama, Meningkatkan kualitas Pelayanan kepada Masyarakat. Kedua, Mempercepat Kesejahteraan Masyarakat. Ketiga, Mewujudkan Efektifitas dan Efisiensi Penyelenggara Pemerintahan. Dalam rangka mempercepat perwujudan PPTSP di Kota Kupang dan sebagai bentuk tindak lanjut dari adanya Permendagri No. 24 Tahun 2006, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Permendagri No. 20 Tahun 2008, Tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu di Daerah, maka PEMKOT Kupang dan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT) merasa penting untuk sama-sama bekerja demi realisasinya. Kerjasama ini terjalin atas kesadaran penuh dari PEMKOT Kupang bahwa Perizinan merupakan sebuah bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dan tidak dapat digantikan oleh pihak swasta pada satu sisi dan pada sisi yang lain sejalan dengan kerja-kerja PIAR NTT selama ini, yakni advokasi pengentasan kemiskinan struktural dengan mendorong tata kelola pemerintahan yang bersih dari KKN. Kesepakatan untuk sama-sama bekerja (baca: Shering program dan anggaran) dalam membentuk PPTSP ini, tertuang dalam perjanjian kerja sama Nomor: 20/HK/Pemkot/2008 dan Nomor: 01/PIAR-MoU/2008 – XII, tertanggal 1 Desember 2008. Pada akhirnya perlu diketahui bahwa untuk membentuk PPTSP yang sesuai dengan PERMENDAGRI No. 24 Tahun 2006, maka ada sejumlah langkah strategis yang telah disepakati dan atau sementara ditindaklanjuti oleh PEMKOT Kupang dan PIAR NTT, yaitu: Pertama, Penyamaan Persepsi tentang PPTSP yang diarahkan pada perwujudan persepsi antara kepala daerah, aparat pemerintah baik eksekutif maupun legislatif serta masyarakat tentang pentingnya PPTSP sebagai salah satu upaya reformasi birokrasi. Kedua, Pembentukan Komitmen semua pihak yang berkepentingan untuk mendukung dan mendorong terwujudnya PPTSP dan menjadikan program ini sebagai program bersama yang harus dudukung bersama-sama. Ketiga, Penyiapan Anggaran APBD terkait dengan operasionalisasi PPTSP. Keempat, Penyusunan Grand Design PPTSP (NB: Menyusun Arah kebijakan penyelenggaraan PTSP, yang meliputi visi dan misi, asas, prinsipprinsip dasar yang dianut, dan pendekatan dalam pelayanan perizinan. Menentukan tindakan-tindakan yang diperlukan dari level kebijakan, level organisasi yang terkait dengan perangkat daerah dan lembaga-lembaga lainnya, hingga level operasional. Menyepakati bentuk-bentuk penyederhanaan yang harus dilakukan meliputi pilihan bentuk perangkat daerah, penyederhanaan prosedur, persyaratan, biaya, dan jumlah perizinan serta rekomendasi izin-izin yang akan disatu-pintukan. Menetapkan langkah–langkah untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama terkait dengan peningkatan transparansi, kepastian hukum, kenyamanan, dan kepuasan masyarakat). Kelima, Penyusunan berbagai kebijakan untuk mendukung PPTSP dari kebijakan terkait dengan kelembagaan hingga ketatalaksanaan. Keenam, Penyusunan Standar Pelayanan yang diberlakukan untuk mengukur kinerja yang wajib ditaati oleh PPTSP. Ketujuh, Penyusunan Prosedur Tetap (Standard Operating Procedure) atau pedoman instruksional tertulis untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan tugas rutin dengan cara yang efektif dan efisien guna menghindari terjadinya variasi atau penyimpangan dalam proses penyelesaian kegiatan oleh setiap aparatur. Kedelapan, Penetapan Mekanisme Pengaduan dan media pengaduan yang akan disediakan. Kesembilan, Penyiapan Prasarana dan Sarana yang dibutuhkan dari mulai infrastruktur gedung hingga peralatan kantor untuk mendukung kinerja PPTSP. Kesepuluh, Penyiapan SDM dari mulai analisa kebutuhan, mekanisme perekrutan hingga peningkatan kapasitas yang dilakukan. Kesebelas, Pembangunan Sistem Informasi berbasis komputer dan keluasan akses berbasis IT. Keduabelas, Diseminasi/Penyebarluasan Informasi Penyelenggara PTSP Kepada Masyarakat yang dilakukan baik langsung maupun tidak langsung. Ketigabelas, Monitoring dan evaluasi kinerja PPTSP. Page 3 of 3