Kesalahan siswa dalam menghadapi masalah pembelajaran yang keliru disebabkan oleh beberapa situasi diantaranya, siswa kurang bahkan cenderung tidak memahami materi yang disampaikan guru, selain itu siswa kesulitan dalam mengerjakan soal sehingga terjadi kesalahan didalamnya.
Masalah dihadapan seseorang timbul karena berbagai hal diantaranya tantangan (challenges), kesaksian dan kebingungan (witness and distraction) terhadap suatu fenomena / kejadian, serta halangan dan rintangan (obstacle and hibdrance). Kesalahan siswa dalam menghadapi masalah pembelajaran yang keliru disebabkan oleh beberapa situasi diantaranya, siswa kurang bahkan cenderung tidak memahami materi yang disampaikan guru, selain itu siswa kesulitan dalam mengerjakan soal sehingga terjadi kesalahan didalamnya. Kesalahan strategi terjadi jika siswa memilih jalan yang tidak tepat yang
Baik siswa maupun guru harus mengenal konsep diri, artinya apa yang dimiliki oleh individu baik karakter (watak), kemampuan ataupun sikap yang dilakukan pada saat itu dan menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut Adi W. Gunawan (2007 : 24) “Konsep diri diperoleh melalui proses pembelajaran, bukan faktor keturunan, diperkuat melalui pengalaman hidup yang dialami seseorang setiap hari, dapat berubah secara drastis serta mempengaruhi semua proses berpikir dan perilaku, dan mempengaruhi proses pembelajaran dan prestasi”. Konsep diri terbentuk ibarat saat seseorang memulai pembelajaran dianalogikan dengan sebuah meja yang belum memiliki kaki, seberapa kokoh kaki yang dipasang di bawah meja dipengaruhi oleh siapa yang memasang kaki tersebut, seberapa kuat emosi yang timbul saat itu, dan latihan terbimbing siswa.
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman seseorang dalam interaksinya dengan lingkungan. Menurut Robert M. Gagne (1965) “Belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Proses belajar yang terjadi di sekolah adalah proses belajar yang bersifat kompleks, menyeluruh, dan berkesinambungan.
Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan (2002 : 3), “Beberapa aliran yang berpengaruh terhadap dunia pendidikan dalam mengartikan belajar yaitu pada visi Behaviorisme, belajar adalah akibat konsekuensi dan kekuatan pengulang dari suatu perbuatan yang menghadirkan perbuatan tersebut kembali. Apabila perbuatan tersebut menyenangkan, ia akan terdorong untuk melakukan lagi. Sebaliknya, apabila perbuatan tersebut tidak nikmat (tidak sesuai dengan harapan), maka ia tidak akan terdorong untuk dilakukan lagi. Pada visi konsruksivisme, dalam pembuatan belajar seseorang bukan dari isi pembelajarannya yang penting (apa yang terpenting), melainkan bagaimana mempergunakan peralatan mental (pengetahuan) seseorang untuk menguasai hal-hal yang dipelajari. Pengetahuan itu diciptakan kembali dan dibangun dari dalam diri seseorang melalui pengalaman, pengamatan, pencernaan (mencerna materi), dan pemahamannya”. Selain itu, terdapat konsep belajar Humanistik, dan konsep belajar sepanjang hayat yang merupakan alternatif konsep belajar bagi siswa dalam menerapkan kemampuannya. Menurut Klien dalam Semiawan R (1993 : 2), “Proses eksperiensial (pengalaman) yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanen dan tidak dapat dijelaskan dengan keadaan sementara kedewasaan atau tendensi alamiah”. Rumusan tersebut agak behavioristik, menunjuk pada experiential learning (belajar pengalaman), disela dengan orientasi konstruktivisme sehingga tercipta konsep belajar Humanistik. Selain itu, menurut Bootzin, et al, dalam Semiawan R (1989), “Keunikan setiap individu yang menekankan harapan tinggi terhadap potensi individu, mengisyarakatkan kebebasan individu untuk membuat pilihan yang mengimplikasikan tanggung jawab individu terhadap perilakunya”. Rumusan tersebut berkembang menjadi konsep belajar sepanjang hayat sebagai alternatif belajar siswa.
Pembelajaran merupakan bagian dalam pendidikan. Pembelajaran tidak hanya sebatas pada teori yang diajarkan guru, namun pada model dan media belajar yang variatif serta mendukung peranan peserta didik. Menurut Abdul Majid (2013 : 4), “Pembelajaran bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kekelompok orang melalui berbagai upaya dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan”.
Menurut Mudyaharjo (2010:3),
pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup pendidikan adalah segala situasi
hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Seiring dengan
perkembangan zaman, Mendikbud (dalam Mulyasa, 2013:60)
mengungkapkan bahwa perubahan dan pengembangan kurikulum
merupakan persoalan yang sangat penting, karena kurikulum harus
senantiasa disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal yang mendasari perlunya
pengembangan kurikulum 2013 menurut Mulyasa (2013: 60-61) adalah
berdasarkan beberapa hasil studi internasional tentang kemampuan peserta
didik Indonesia dalam kancah internasional.
Kegiatan belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan
belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif. Namun
kemampuan untuk mengajar melalui kegiatan kerjasama kelompok kecil akan
memungkinkan untuk menggalakkan kegiatan belajar aktif dengan cara khusus.
Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan
siswa kepada teman-temannya memungkinkan mereka untuk memperoleh
pemahaman dan penguasaan materi pelajaran.
Aktivitas belajar sebagian besar siswa kelas IV SDN 2 Perumnas Way
Halim masih terlihat siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru, malas-
malasan dalam kegiatan belajar, kurangnya respon siswa terhadap pertanyaan
yang diberikan oleh guru. Hal ini disebabkan karena siswa merasakan kegiatan
pembelajaran yang kurang menarik karena kelas masih didominasi oleh guru
sehingga siswa menjadi pasif dan interaksi timbal balik antara guru dan siswa
kurang, serta antara siswa dengan siswa tidak terjadi sehingga pada akhirnya hasil
belajar mereka rendah dan tidak memenuhi standar KKM yang ditetapkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin mencoba
melakukan penelitian dengan judul, “Artificial Intiligence (the tempest and pressure period dalam pembelajaran siswa)”
Tabel 1 – Indikator pemecahan masalah IDEAL dan bentuk kegiatan siswa menurut Wena (2013: 91)
Tabel 2 – KD dan Indikator matriks pada kurikulum 2013 menurut Masriyati (2015: 1)
Tabel 2.1 Kisi-kisi analisis soal kemampuan pemecahan masalah ditinjau dari strategi kemampuan pemecahan masalah IDEAL
Banyaknya siswa laki-laki di sebuah kelas adalah siswa perempuan
strategi pemecahan masalah ideal terdiri dari lima tahap pembelajaran, yaitu identifikasi masalah (Identify the problem), mendefinisikan masalah (Define the problem), mencari solusi permasalahan (Explore the solution), melaksanakan strategi pembelajaran (Act on the strategy), dan mengkaji kembali dan mengevaluasi pengaruh belajar (Look back and evaluate the effect).
Indikator tersebut digunakan untuk mengetahui pada tahapan mana saja siswa tersebut memahami kemampuan masalah IDEAL apakah pada sebagian proses atau keseluruhannya.
identifikasi masalah (Identify the problem), mendefinisikan masalah (Define the problem),mencari solusi permasalahan (Explore the solution),melaksanakan strategi pembelajaran (Act on the strategy),dan mengkaji kembali dan mengevaluasi pengaruh belajar (Look back and evaluate the effect)
Secara umum, tahap-tahap pemecahan masalah yaitu memahami masalah, menyusun strategi, melaksanakan strategi dan memeriksa hasil pembelajaran yang diperoleh. Akan tetapi dari langkah-langkah kemampuan pemecahan masalah yang diberikan, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Syah, (2010: 132) faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah siswa adalah:
Faktor internal siswa adalah faktor yang berasal dalam diri siswa itu sendiri yang terdiri dari dua aspek yaitu: aspek fisiologis yang mencakup tentang keberadaan kondisi fisik siswa, dan aspek psikologis yang mencakup tingkat kecerdasan dan sikap siswa,
Faktor lingkungan sosial adalah faktor yang melibatkan keberadaan para guru, staf tata usaha (TU), dan teman siswa lainnya yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kemauan siswa dalam kegiatan belajar mengajar,
Faktor non sosial adalah faktor yang keberadaannya berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan pembelajaran siswa,
Faktor pendekatan belajar pada proses belajar siswa untuk melakukan strategi atau metode yang digunakan siswa untuk peningkatan hasil belajar siswa.
Masalah dapat bersifat tertutup (closed problem) dan dapat bersifat terbuka (open problem).
Dalam pembelajaran matematika, suatu kondisi dikatakan sebagai masalah (problem) apabila penyelesaian kondisi tersebut tidak segera ditemukan. Kondisi tersebut bisa berupa soal-soal yang dipelajari siswa, namun tidak semua soal merupakan pemicu terjadinya masalah. Masalah dapat bersifat tertutup (closed problem) dan dapat bersifat terbuka (open problem). Menurut Sumarmo (2015: 3) bahwa suatu masalah dapat dikatakan tertutup apabila memiliki satu jawaban atau satu cara penyelesaian, serta suatu masalah dapat dikatakan terbuka apabila memiliki beragam jawaban atau beragam solusi penyelesaian.
Kemampuan pemecahan masalah atau problem-solving merupakan alternatif solusi bagi siswa dalam meningkatkan hasil belajar siswa serta meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Fadillah (2009: 2) bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu aktivitas kognitif (pengetahuan umum) yang komplekssebagai proses untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui dan untuk menyelesaikannya diperlukan strategi pemecahan masalah yang unik dan variatif bagi siswa.
Sumarmo (2015: 3) berpendapat bahwa dalam pengajuan masalah (problem posing), terkandung kegiatan menyusun masalah baru (arrange the new problems) atau merefomulasi masalah semula (reform the formerly problem) berdasarkan serangkaian data atau informasi (dari soal-soal) yang disajikan. Oleh karena itu, teknik analisis masalah ini merupakan suatu alternatif siswa dalam menghadapi masalah, selain itu, cara ini dapat membantu dan meringankan siswa dalam menghadapi kesulitan siswa selama pembelajaran berlangsung.
Oleh karena itu, sebuah masalah matematis perlu diselesaikan secara bertahap. Selain itu, guru harus mengetahui serta menerapkan kemampuan pemecahan masalah (problem solving intelligence) yang beimbang terhadap seluruh siswa.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti saat kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), didapatkan bahwa kebanyakan siswa memiliki masalah matematis pada pembelajaran matriks, masalah tersebut dialami siswa terutama dalam mengerjakan suatu model soal pada matriks. Masalah tersebut biasanya berupa masalah objektif dan masalah subjektif. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah siswa sebagai alternatif siswa dalam mengetahui segala informasi mengenai materi pembelajaran yang akan dipelajari, yaitu materi matriks kelas X SMK. Kemampuan pemecahan masalah matematis dapat berjalan dengan baik apabila strategi kemampuan pemecahan masalah dapat diterapkan dan dipahami oleh siswa. Strategi pemecahan masalah IDEAL adalah salah satu dari berbagai macam jenis strategi pemecahan masalah yang efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Strategipemecahan masalah IDEAL terdiri dari 5 tahapan analisis,
Berdasarkan kedua studi penelitian yang telah dibahas sebelumnya, fokus perbedaan penelitian tersebut adalah metode penelitian yang digunakan kebanyakan pada pendekatan kuantitatif, sedangkan peneliti hanya menggunakan pendekatan kualitatif. Selain itu, terdapat persamaan model penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sejauh mana kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan strategi pemecahan masalah IDEAL.
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa masalah timbul karena berbagai hal diantaranya tantangan (challenges), kesaksian (witness) dan kebingungan (distraction) seseorang terhadap suatu kejadian dalam pembelajaran. Selain itu, masalah juga disebabkan akibat hambatan dan rintangan (obstacle and hibdrance) dalam proses belajar. Masalah matematis (mathematical problem) adalah kondisi dimana terjadi kesenjangan dan harapan seseorang dalam memahami serta menyelesaikan materi matematika. Menurut Yuwono (2016: 4) bahwa masalah matematika dapat diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu:
Kesenjangan dalam persoalan mencari (problem to find) yaitu kesenjangan seseorang dalam mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai serta objek tertentu yang diketahui dalam soal yang merupakan hal terpenting dalam menyelesaikan suatu masalah matematis.
Kesenjangan dalam persoalan membuktikan (problem to prove) yaitu kesenjangan seseorang dalam memberikan prosedur untuk menentukan apakah suatu pertanyaan atau persoalan bersifat benar atau tidak benar dengan melibatkan hipotesis dan menarik suatu kesimpulan.
Desain penelitian adalah pedoman atau prosedur serta teknik dalam perencanaanpenelitian yang berguna sebagai panduan untuk membangun strategi yang menghasilkan model atau blue print penelitian. disebut juga dengan penelitian sebab akibat merupakan salah satu ide berpikir ilmiah untuk menyusun suatu riset metodologi.
peneliti memfokuskan penelitian terhadap proses belajar siswa, bukan hasil akhir pembelajaran siswa. Selain itu, sasaran penelitian yang difokuskan adalah lembar analisis model matriks, lembar pengamatan dan aktivitas siswa, serta lembar tes kemampuan pemecahan masalah sebagai dasar dalam melaksanakan observasi di sekolah. Penelitian studi kasus adalah salah satu jenis penelitian yang memusatkan diri secara intensif pada suatu objek tertentu. .
Selanjutnya, peneliti akan mengembangkan materi tersebut dengan analisis setiap soal matriks yang dibagi dalam 3 siklus pembelajaran. Setiap siklus pembelajaran terdiri dari 3 tahapan yaitu kegiatan pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Materi yang dianalisis meningkat setiap siklusnya, namun peneliti akan segera menyampaikan di akhir
Akan tetapi, penelitian ini hanya membatasi pada kegiatan menganalisis soal terhadap materi yang dipelajari dengan analisis strategi kemampuan pemecahan IDEAL. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah cara guru dalam mengasah kemampuan para siswa untuk menganalisis permasalahan tersebut sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang dihadapi mereka. Pada metode ini terdapat beberapa kelebihan diantaranya: meningkatkan keaktifan siswa, terutama saat proses pembelajaran berlangsung, dan siswa dapat mengasah kemampuan intelegensi yang dimilikinya. Selain itu, terdapat beberapa kelemahan dalam metode ini, yaitu kemampuan problem solving pada pembelajaran membutuhkan waktu yang cukup lama, dan beberapa diantara metode ini dapat menyulitkan para siswa, khususnya dalam kemampuan memecahkan suatu masalah.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini melibatkan analisis setiap soal matriks. Kegiatan ini dibagi dalam 3 siklus dimana setiap siklus terdiri dari 3 tahapan yaitu tahap pra-pelaksanaan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Berikut ini adalah kegiatan yang akan dilaksanakan saat pelaksanaan penelitian di sekolah, yaitu sebagai berikut. Pada siklus 1, topik yang dipelajari tentang bentuk-bentuk matriks, operasi dan kesamaan matriks. Diharapkan siswa mampu mendeskripsikan serta memahami topik pada siklus ini
Berikut ini adalah contoh peta konsep dari matriks menurut Suherman (2009: 183) yaitu sebagai berikut, agar siswa dapat memahami setiap materi yang dipelajari tanpa paksaan atau tekanan yang berarti. Gambar 1 – Peta Konsep Matriks menurut Suherman (2009: 183)
Matriks adalah susunan bilangan yang terdiri dari bilangan dan kolom. Notasi matriks ditulis dalam huruf besar dan anggota matriks ditulis dalam huruf kecil atau angka yang disusun dalam kurung siku atau kurung biasa. Selain itu, ordo (ukuran) matriks adalah banyaknya baris (garis horizontal) dan kolom (garis vertikal) yang terdapat dalam matriks yaitu,
masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut.“Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh siswa dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
(ordo matriks) = (banyak baris pada matriks) x (banyak kolom pada matriks)
Rumus 1 – Ordo matriks menurut Suherman (2009: 184)
Secara umum, Matriks terdiri dari matriks baris, matriks kolom, matriks persegi dengan ordo yang sama, matriks identitas, matriks konstanta, matriks segitiga atas, dan matriks segitiga bawah. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada matriks adalah diagonal utama dan diagonal samping dimana pada determinan dan invers matriks diperlukan pengetahuan tentang diagonal utama dan diagonal samping. Selain itu, operasi matriks terdiri dari (a) operasi penjumlahan dan pengurangan dengan memperhatikan ordo, baris, dan kolom matriks, serta (b) perkalian matriks yang terdiri dari perkalian scalar dengan matriks dan perkalian matriks dengan matriks. Berikut ini adalah notasi matriks secara lengkap menurut Athari (2015: 3) yaitu sebagai berikut.
Pada aplikasi matriks terdapat operasi baris elementer (OBE) dengan melihat persamaan matriks AB = C biasanya ditentukan nilai dari matriks A atau matriks B. Selain itu, terdapat aplikasi lainnya pada matriks dalam menyelesaikan persamaan linear. Terdapat berbagai strategi dalam menyelesaikan permasalahan pada matriks, sehingga strategi pemecahan masalah adalah salah satu solusi dalam menyelesaikan suatu permasalahan matriks.
pelajaran matematika yang dipahami siswa tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan oleh siswa
Adjie dan Maulana (2006: 7) menyebutkan bahwa terdapat empat jenis masalah matematika pada siswa yaitu masalah translasi, masalah aplikasi, masalah proses, dan masalah teka-teki. Penjabarannya yaitu sebagai berikut.
Masalah translasi yaitu masalah yang dialami siswa tentang bagaimana cara melakukan translasi (perpindahan) dari bentuk verbal ke bentuk matematika, dimana masalah tersebut membutuhkan kemampuan menafsirkan atau menerjemahkan kata yang sering didengar siswa ke dalam simbol matematika dan diselesaikan dengan menganalisisnya ke bentuk yang lebih sederhana.
Masalah aplikasi yaitu masalah yang dialami siswa tentang bagaimana cara menerapkan berbagai teori serta konsep yang dipelajarinya, dimana masalah tersebut membutuhkan berbagai macam keterampilan dan prosedur matematis agar siswa dapat menyadari kegunaan maematika yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah proses yaitu masalah yang dialami siswa tentang bagaimana cara menyusun langkah-langkah penyelesaian, merumuskan pola penyelesaian dan menemukan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah matematika, dimana proses tersebut membutuhkan peran siswa dalam menyeleksi masalah di berbagai situasi serta cermat dalam menyelediki suatu permasalahan matematika yang dihadapinya.
Masalah teka-teki yaitu masalah yang dialmi siswa tentang bagaimana cara siswa menyelesaikan masalah berupa pertanyaan atau soal latihan yang bersifat tak rutin (non routine problems) agar siswa dapat mencapai tujuan afektif (sikap dan kepribadian) sesuai yang diharapkannya.
Dalam pembelajaran matematika, suatu kondisi dikatakan sebagai masalah (problem) apabila penyelesaian kondisi tersebut tidak segera ditemukan. Kondisi tersebut bisa berupa soal-soal yang dipelajari siswa, namun tidak semua soal merupakan pemicu terjadinya masalah. Masalah dapat bersifat tertutup (closed problem) dan dapat bersifat terbuka (open problem). Menurut Sumarmo (2015: 3) bahwa suatu masalah dapat dikatakan tertutup apabila memiliki satu jawaban atau satu cara penyelesaian, serta suatu masalah dapat dikatakan terbuka apabila memiliki beragam jawaban atau beragam solusi penyelesaian. Dapat disimpulkan bahwa masalah matematis didasari atas kesenjangan dan harapan siswa dalam memahami suatu materi pelajaran serta merupakan suatu rangkaian permasalahan
Faktor internal siswa, faktor lingkungan sekolah, faktor lingkungan keluarga dan masyarakat (faktor sosial)
Faktor kesulitan belajar, dimana siswa tersebut memiliki kesulitan saat memahami materi matematika yang dihadapinya serta kesulitan siswa dalam mengerjakan dan menyelesaikan soal matematika.
(IDEAL problem solving)
Soal-soal tipe ini jarang dinyatakan secara tuntas dalam kalimat soal, umumnya soal-soal tipe ini berkenaan dengan soal proyek atau latihan kegiatan mandiri siswa.
Tidak hanya soal yang menjadi pemicu dari suatu masalah. Selain itu, masalah yang terjadi pada siswa biasanya didapati oleh pembelajaran yang keliru. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmaniah (2017: 6) bahwa terdapat kesalahan langkah yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam soal matematika antara lain:
Kesalahan siswa dalam mengoperasikan proses langkah pengerjaannya (pengerjaan soal) tetapi jawaban akhirnya benar.
Kesalahan siswa dalam menjawab, tetapi langkah pengerjaannya benar.
Kesalahan dalam mengerjakan operasi dasar. (perkalian dan pembagian)
Sumarmo (2015: 3) berpendapat bahwa dalam pengajuan masalah (problem posing), terkandung kegiatan menyusun masalah baru (arrange the new problems) atau merefomulasi masalah semula (reform the formerly problem) berdasarkan serangkaian data atau informasi (dari soal-soal) yang disajikan. Oleh karena itu, teknik analisis masalah ini merupakan suatu alternatif siswa dalam menghadapi masalah, selain itu, cara ini dapat membantu dan meringankan siswa dalam menghadapi kesulitan siswa selama pembelajaran berlangsung.
2.1.2 Definisi masalah matematis
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa masalah timbul karena berbagai hal diantaranya tantangan (challenges), kesaksian (witness) dan kebingungan (distraction) seseorang terhadap suatu kejadian dalam pembelajaran. Selain itu, masalah juga disebabkan akibat hambatan dan rintangan (obstacle and hibdrance) dalam proses belajar. Masalah matematis (mathematical problem) adalah kondisi dimana terjadi kesenjangan dan harapan seseorang dalam memahami serta menyelesaikan materi matematika. Menurut Yuwono (2016: 4) bahwa masalah matematika dapat diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu:
Kesenjangan dalam persoalan mencari (problem to find) yaitu kesenjangan seseorang dalam mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai serta objek tertentu yang diketahui dalam soal yang merupakan hal terpenting dalam menyelesaikan suatu masalah matematis.
Kesenjangan dalam persoalan membuktikan (problem to prove) yaitu kesenjangan seseorang dalam memberikan prosedur untuk menentukan apakah suatu pertanyaan atau persoalan bersifat benar atau tidak benar dengan melibatkan hipotesis dan menarik suatu kesimpulan.
Dari masalah matematis yang telah dipaprkan, dapat disimpulkan bahwa masalah matematis didasari atas kesenjangan dan harapan siswa dalam menganalisis soal ataupun dalam memahami suatu materi.Oleh karena itu, sebagai guru hendaknya memberikan suatu alternatif solusi dalam menyelesaikan suatu materi pembelajaran dan tidak memberatkan siswa dalam menyelesaikan masalah dihadapannya.Menurut Fadillah (2009: 2) bahwa suatu pertanyaan atau persoalan merupakan suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahui.
Dalam pembelajaran matematika, suatu kondisi dikatakan sebagai masalah (problem) apabila penyelesaian kondisi tersebut tidak segera ditemukan. Kondisi tersebut bisa berupa soal-soal yang dipelajari siswa, namun tidak semua soal merupakan pemicu terjadinya masalah. Masalah dapat bersifat tertutup (closed problem) dan dapat bersifat terbuka (open problem). Menurut Sumarmo (2015: 3) bahwa suatu masalah dapat dikatakan tertutup apabila memiliki satu jawaban atau satu cara penyelesaian, serta suatu masalah dapat dikatakan terbuka apabila memiliki beragam jawaban atau beragam solusi penyelesaian.
Kemampuan pemecahan masalah atau problem-solving merupakan alternatif solusi bagi siswa dalam meningkatkan hasil belajar siswa serta meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Fadillah (2009: 2) bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu aktivitas kognitif (pengetahuan umum) yang komplekssebagai proses untuk mengatasi suatu masalah yang ditemui dan untuk menyelesaikannya diperlukan strategi pemecahan masalah yang unik dan variatif bagi siswa. Oleh karena itu, sebuah masalah matematis perlu diselesaikan secara bertahap. Selain itu, guru harus mengetahui serta menerapkan kemampuan pemecahan masalah (problem solving intelligence) yang beimbang terhadap seluruh siswa.
Kesulitan tersebut ditandai dengan siswa sering melamun di dalam kelas, tertidur saat kegiatan belajar di kelas dimulai, tidak kosentrasi di dalam kelas sehingga siswa tersebut lupa apa yang ditanyakan gurunya, dan tidak percaya diri saat mengerjakan soal dari materi yang dipelajarinya atau saat ditanyakan oleh gurunya. Karena berbagai kesulitan yang dialami siswa selama pembelajaran di sekolah, khususnya kesulitan siswa dalam memahami pelajaran matematika serta kesulitan dalam mengerjakan soal-soal matematika, sehingga hal tersebut menyebabkan siswa mengalihkan perhatian lain yang sering tidak disukai guru yaitu terlalu sering minta izin keluar kelas, mengobrol di dalam kelas, sering tidak masuk kelas saat kegiatan pembelajaran berlangsung, dan sebagainya.
Dalam pengertian masalah belajar di atas, maka dapat dirincikan jenis-jenis siswa yang mengalami permasalahan dalam belajar, yaitu sebagai berikut:
Siswa yang tidak mampu mencapai tujuan belajar atau hasil belajar sesuai dengan pencapaian teman-teman seusianya yang ada dalam kelas yang sama. Sesuai dengan tujuan belajar yang tercantum dalam Kurikulum bahwa siswa dikatakan lulus atau tuntas dalam suatu pelajaran jika telah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan oleh tiap-tiap guru bidang studi. KKM dibuat berdasarkan intake (pencapaian) siswa di dalam kelas. Apabila seorang siswa tidak mencapai kriteria tersebut, maka yang bersangkutan dikatakan bermasalah dalam pelajaran tersebut.
Siswa yang mengalami keterlambatan akademik, yakni siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi tetapi tidak menggunakan kemampuannya secara optimal. Belum tentu semua siswa yang terdapat dalam satu kelas memiliki kemampuan yang sama, ada beberapa siswa dengan kemampuan intelegensi diatas rata-rata bahkan super. Kondisi inilah yang menyebabkan si siswa cerdas ini harus menyesuaikan kebutuhan asupan kecerdasannya dengan kemampuan teman-teman sekelasnya, sehingga siswa yang seharusnya sudah berhak diatas teman-teman sebayanya dipaksa menerima kondisi sekitarnya.
Siswa yang secara nyata tidak dapat mencapai kemampuannya sendiri (tingkat IQ yang diatas rata-rata). Maksudnya, yaitu siswa yang memiliki intelegensi diatas rata-rata normal tetapi tidak mencapai tujuan belajar yang optimal. Misalnya KKM pada Mata Pelajaran A sebanyak 65, kemudian nilai yang dicapainya 70. Padahal seharusnya dengan tingkat intelegensi seperti itu, yang bersangkutan bisa mendapat nilai minimal 80 bahkan lebih.
Siswa yang sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memilki bakat akademik yang kurang memadai dan perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pendidikan atau pengajaran khusus. Siswa yang mengalami kondisi seperti ini yakni siswa yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan sangat sering bermasalah dalam pembelajaran. Seringkali Guru kehabisan ide untuk menangani siswa yang seperti ini, bimbingan pelajaran tambahan atau ekstra menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah semacam ini.
Siswa yang kekurangan motivasi dalam belajar, yakni keadaan atau kondisi siswa yang kurang bersemangat dalam belajar seperti jera dan bermalas-malasan. Siswa yang seperti ini biasanya didukung oleh kondisi atau lingkungan apatis, yang tidak peduli terhadap perkembangan belajar siswa. Lingkungan keluarga yang apatis, yang tidak berperan dalam proses belajar anak bisa menyebabkan si anak menjadi masa bodoh, sehingga belajar menjadi kebutuhan yang sekedarnya saja. Lingkungan masyarakat yang merupakan media sosialisasi turut berperan penting dalam proses memotivasi siswa itu sendiri.
Siswa yang bersikap dan memiliki kebiasaan buruk dalam belajar, yaitu kondisi siswa yang kegiatannya atau perbuatan belajarnya sehari-hari antagonistik dengan seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur-ulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahui dan sebagainya. Besarnya kesempatan yang diberikan oleh Guru untuk menyelesaikan tugas menyebabkan siswa mengulur-ulur pekerjaan yang seharusnya diselesaikan segera setelah diperintahkan, Guru yang terlalu disiplin dan berwatak tegas juga menjadi faktor berkurangnya perhatian (attention) yang seharusnya diberikan oleh siswa kepada Guru.
Siswa yang sering tidak mengikuti proses belajar mengajar di kelas, yaitu siswa-siswa yang sering tidak hadir atau menderita sakit dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga kehilanggan sebagian besar kegiatan belajarnya. Seringkali materi pelajaran yang telah disampaikan oleh Guru pada pertemuan jauh sebelumnya kemudian siswa dituntut untuk mengikuti dan menguasai materi pelajaran dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan si siswa menjadi tertekan dan terbebani oleh materi belajar yang banyak.
Siswa yang mengalami penyimpangan perilaku (kurangnya tata krama) dalam hubungan intersosial. Pergaulan antar teman sepermainan yang tidak seumuran dan tidak mengeyam bangku pendidikan menyebabkan si anak atau siswa terpengaruh dengan pola perilaku dan pergaulan yang serampangan, seperti berbicara dengan nada yang tinggi dengan orang yang lebih tua, sering membuat kegaduhan atau keributan di dalam masyarakat. Kemudian siswa yang bersangkutan membawa perilaku buruknya tersebut kedalam lingkungan sekolah yang lambat laun menyebabkan teman-teman lainnya terpengaruh dengan pola perilakunya, baik dalam berbicara ataupun dalam memperlakukan orang lain.
Kerangka berpikir adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan kita. Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan pustakan dan hasil penelitian yang relevan.[16] Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan sesama ilmuan, adalah alur-alur pikiran yang logis dalam membangun suatu kerangka berfikir yang membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis. Jadi kerangka berfikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah di deskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti. Sintesa tentang hubungan variabel tersebut, selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis.[17]
terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara materi pelajaran yang dipelajari siswa terhadap kemampuan dan potensi yang dimiliki siswa tersebut, sehingga timbul kesulitan pada siswa dan menghambat mereka dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas