Academia.eduAcademia.edu

Sistem imun

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Jumlah leukosit pada darah tikus yang sakit adalah lebih banyak dibandingkan jumlah leukosit pada darah tikus yang sehat. b. Jenis sel leukosit terbanyak dalam darah adalah sel neutrofil sedangkan sel leukosit yang paling sedikit yaitu sel basofil dimana presentase macam-macam leukosit pun dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti adanya gejala netrofenia, basofilia, infeksi dan infestasi parasit, kelainan hemopoiesis seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik, adanya penyakit mieloproliferati, infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun jamur, serta faktor musim dan kondisi lingkungan sekitarnya.

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN SISTEM IMUN Nama : Ahmad Arsyadi NIM : 12640024 Asisten : Mbak Tarminingsih Kelompok :1 Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014 I. Tujuan a. Perhitungan Jumlah Leukosit Menghitung dan membandingkan jumlah leukosit pada darah tikus yang sakit dan sehat. b. Hemogram Menghitung presentase macam-macam leukosit. II. Dasar Teori Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar dari penyakit (Irianto, 2012). Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang bersifat non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik. Daya tahan tubuh non-spesifik yaitu daya tahan terhadap berbagai bibit penyakit yang tidak selektif, artinya tubuh seseorang harus mengenal dahulu jenis bibit penyakitnya dan tidak harus memilihnya satu bibit penyakit tertentu saja untuk dihancurkannya. Adapun daya tahan tubuh spesifik yaitu daya tahan tubuh yang khusus untuk jenis bibit penyakit tertentu saja. Hal ini mencakup pengenalan dahulu terhadap bibit penyakit, kemudian memproduksi antibodi atau T-limfosit khusus yang hanya akan bereaksi terhadap bibit penyakit tersebut (Irianto, 2012). Daya tahan tubuh non-spesifik mencakup rintangan mekanis (kulit), rintangan kimiawi (lisozim dan asam lambung), sistem komplemen (opsinon, histamin, kemotoksin, dan kinin), interferon, fagositosis, demam, dan radang. Sedangkan daya tahan tubuh spesifik atau imunitas dibagi menjadi imunitas humoral yang menyangkut reaksi antigen dan antibodi yang komplementer di dalam tubuh dan imunitas seluler yang menyangkut reaksi sejenis sel (T-limfosit) dengan antigen di dalam tubuh (Irianto, 2012). Menurut Irianto (2012), secara umum sistem imun memiliki fungsi sebagai berikut: a. pembentuk kekebalan tubuh. b. Penolak dan penghancur segala bentuk benda asing yang masuk ke dalam tubuh. c. Pendeteksi adanya sel abnormal, infeksi dan patogen yang membahayakan. d. Penjaga keseimbangan komponen dan fungsi tubuh. Fox (2008) mengatakan bahwa sel-sel fagosit dalam innate immunity terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu; neutrofil, sel-sel mononuclear fagosit sistem yang terdiri atas monosit di dalam darah dan makrofag di jaringan ikat, serta organ fagosit yang spesifik seperti hati, spleen, limpa, paru-paru, dan otak (mikroglia). Neurofil dan monosit merupakan jenis sel leukosit yang berperan dalam aktivitas pertahanan tubuh terhadap benda asing yang masuk ke tubuh secara fagositosis. Menurut Irianto (2012), sel leukosit memiliki warna yang bening dan terdapat di dalam darah manusia, bentuknya lebih besar bila dibandingkan dengan sel darah merah (eritrosit), tetapi jumlahnya lebih sedikit. Sel darah putih berumur sekitar 12 hari dan keluar dari pembuluh kapiler apabila ditemukan antigen. Proses keluarnya leukosit ini disebut diapedesis. Leukosit yang berperan dalam melawan penyakit yang masuk ke dalam tubuh disebut sebagai antibodi. Sel darah putih dibuat dalam sumsum tulang merah (Irianto, 2012). Menurut Ganong (2003), pada keadaan normal terdapat 4000-11.000 sel leukosit/mL darah manusia. Dari jumlah tersebut, jenis terbanyak adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel. Sebagian besar sel tersebut mengandung granula netrofilik (netrofil), sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (esoinofil), dan sebagian lagi mengandung granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lain yang lazim ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit, serta monosit yang banyak mengandung sitoplasma, tidak bergranula, dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal. Kerjasama sel-sel tersebut menyebabkan tubuh memiliki sistem pertahanan yang kuat terhadap berbagai tumor dan infeksi virus, bakteri serta parasit (Ganong, 2003). Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear (PMN), karena inti memiliki berbagai jenis bentuk dan bersegmen. Neutrofil berupa sel bundar dengan diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranula halus dan di tengah terdapat nukleus bersegmen. Neutrofil matang/dewasa yang berada dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan neutrofil yang belum matang (neutrofil band) akan memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville & Bassert, 2008). Menurut Colville dan Bassert (2008), neutrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama (first line of defense). Neutrofil bersama dengan makrofag memiliki kemampuan fagositosis untuk menelan organisme patogen dan sel debris. Neutrofil merupakan sistem imun bawaan, dapat memfagositosis dan membunuh bakteri. Neutrofil akan mengejar organisme patogen dengan gerakan kemotaksis. Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri berasal dari enzim yang terkandung dalam granul yangdapat menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul neutrofil tersebut sering disebut dengan lisosom. Basofil memiliki nukleus berbentuk S dan bersifat fagosit. Basofil melepaskan heparin ke dalam darah. Heparin adalah mukopolisakarida yang banyak terdapat di dalam hati dan paru-paru. Heparin dapat mencegah pembekuan darah. Selain itu, basofil juga melepaskan histamine yaitu, suatu senyawa yang dibebaskan sebagai reaksi terhadap antigen yang sesuai. Sel basofil menyerap pewarna basa dan menjadi kelihatan berwarna biru (Irianto, 2012). Sel eosinofil berbentuk hamper seperti bola, berukuran 9 µm dalam keadaan segar. Eosinofil memiliki nukleus yang terdiri dari dua lobus dan bersifat fagosit dengan daya fagositosis yang lemah. Eosinofil mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dalam suatu jaringan yang mengalami reaksi alergi. Eosinofil juga dianggap dapat mendetosifikasi toksin yang menyebabkan radang. Eosinofil ini dilepaskan oleh sel basofil atau jaringan yang rusak. Sel eosinofil hanya sedikit dijumpai pada sel darah putih dan menyerang pewarna yang bersifat asam (eosin) dan kelihatan merah (Irianto, 2012). Menurut Irianto (2012), monosit memiliki satu nukleus besar dan berbentuk bulat telur atau seperti ginjal. Diameter monosit berukuran 9-12 µm. Monosit dapat berpindah dari aliran darah ke jaringan. Di dalam jaringan, monosit membesar dan bersifat fagosit menjadi makrofag. Makrofag ini bersama neutrofil merupakan leukosit fagosit utama, paling efektif, dan berumur panjang. Limfosit membentuk 25 persen dari seluruh jumlah sel darah putih. Limfosit berbentuk seperti bola dengan ukuran diameter 6-8 µm. Limfosit dibentuk di dalam kelenjar limpa dan sumsum tulang, sedangkan pada janin dibuat di hati. Terdapat dua jenis sel limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit yang tetap berada di sumsu tulang berkembang menjadi limfosit B. sedangkan limfosit yang berasal dari sumsum tulang dan pindah ke timus berkembang menjadi sel T. limfosit B berperan dalam pembentukan antibodi, sebaliknya limfosit T tidak menghasilkan antibodi (Irianto, 2012). Menurut Irianto (2012), dari kelima jenis leukosit di atas, neutrofil merupakan sel-sel yang paling banyak menyusun leukosit. Presentase bermacam-macam leukosit menurutnya adalah sebagai berikut; neutrofil 62 persen, eosinofil 2,3 persen, basofil 0,4 persen, monosit 5,3 persen, dan limfosit 30 persen. Adapun perbedaan kelima selsel tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: perbedaan gambar Tempat Pergerakan atau pembentukan peningkatan aktivitas Jaringan limpa Neutrofil sinyal kimiawi dari daerah yang diserang benda asing, fagositosis Sumsum tulang Eosinofil alergi, inflamasi, leukemia, fase penyembuhan infeksi Sumsum tulang Basofil alergi dan inflamasi, menghasilkan histamin (melawan alergen) dan heparin (mencegah pembekuan darah) Sumsum tulang Monosit fagositosis, dapat berpindah ke jaringan menjadi makrofag pembentukan Limfosit B Sumsum tulang (menetap) antibodi, respon imun spesifik Limfosit T Sumsum tulang mencerna benda (berpindah ke asing atau sel timus) tubuh yang terserang benda asing, respon imun spesifik (Anonim, 2008) Menurut Guyton (2008), jumlah leukosit dalam darah dapat dipengaruhi oleh kondisi tubuh, stress, kurang makan, atau disebabkan oleh faktor lain seperti; jenis spesies, kondisi pakannya, umur, kondisi lingkungan, dan musim. Untuk pengukuran leukosit, dapat digunakan larutan Turk untuk pengenceran dan alat berupa haemasitometer yang berupa bilik hitung. Haemasitometer adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan sel secara cepat dan dapat digunakan untuk konsentrasi sel yang rendah. Bentuk haemasitometer terdiri dari dua counting chamber dan tiap chamber-nya memiliki garis-garis mikroskopis pada permukaan kaca. Luas total dari chamber adalah 9 mm2. Chamber tersebut nantinya akan ditutup dengan coverslip yang tingginya 0,1 mm di atas chamber floor (Irianto, 2012). Penghitungan konsentrasi sel pada alat ini bergantung pada volume di bawah coverslip. Pada chamber terdapat Sembilan kotak besar berukuran 1 mm2 dan kotakkotak kecil, dimana satu kotak besar sama dengan 25 kotak kecil sehingga kotak besar tersebut memiliki volume sebesar 0,0001 mL. Adapun kotak yang paling kecil berfungsi untuk mempermudah perhitungan sel (Irianto, 2012). Tikus putih (Rattus norvegicus L.) adalah hewan yang mamalia yang merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan sebagai model dalam penelitian. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mammalian besar, lama produksi ekonomis (2,5-3 tahun), berukuran kecil sehingga mudah dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan, dan memiliki struktur anatomi dan fisiologi yang identik dengan manusia. Adapun jumlah sel leukosit normal pada tikus putih ini adalah 500013000 sel/mm3 darahnya (Anonim, 2008). III. Bahan dan Metode Kerja a. Alat dan Bahan Perhitungan Jumlah Leukosit Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah gelas obyek, kaca penutup, mikroskop cahaya, dan hemasitometer tipe improved Neubauer. Bahan yang dibutuhkan adalah darah tikus sehat dan sakit, larutan Turk, serta preparat apus darah. b. Metode Kerja 1. Perhitungan Jumlah Leukosit Percobaan kali ini dilakukan dengan dihisapnya darah tikus hingga angka 1,0 pada mikropipet dan kemudian dibersihkan ujungnya menggunakan kertas hisap. Setelah itu, larutan Turk dalam botol flakon dihisap hingga angka 11. Langkah selanjutnya dilakukan dengan dilepaskannya karet dari pipet yang digunakan untuk menghisap kemudian dipegang kedua ujungnya menggunakan ibu jari dan jari telunjuk lalu dikocok selama dua menit. Setelah dilakukan, dibuang beberapa tetes (2-3 tetes) untuk selanjutnya digunakan untuk menghitung jumlah leukosit. Setelah bilik hitung dan gelas penutupnya disiapkan, percobaan dilanjutkan dengan ditempelkannya ujung pipet pada tepi gelas penutup sehingga cairan dalam pipet dapat masuk dengan sendirinya ke dalam bilik hitung. Langkah berikutnya adalah dilihat di bawah mikroskop dan dihitung jumlah leukosit yang terdapat di dalam empat bilik hitung kemudian dimasukkan ke dalam tabel berikut: Bilik Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3 Kel. 4 Kel. 5 Kel. 6 1 2 3 4 Total Jumlah sel leukosit/mm3 2. Hemogram Percobaan ini diawali dengan pembuatan preparat apus darah. Metode pembuatannya di awali dengan diteteskannya sampel darah di atas preparat kemudian diratatipiskan menggunakan kaca preparat lain. Setelah kering, preparat tersebut diteteskan larutan metanol 70% lalu diinkubasikan hingga metanol menguap. Selanjutnya, preparat ini diteteskan larutan Gemsa 10% hingga sampel darah berwarna ungu. Preparat apus darah yang telah disiapkan selanjutnya diletakkan di bawah mikroskop lalu diamati dengan perbesaran lemah sampai didapatkan bidang pandang yang terdapat sel-sel darah kemudian dipindahkan ke perbesaran kuat. Langkah selanjutnya adalah ditentukannya jenis dan jumlah leukosit yang ditemukan pada setiap bidang pandang dengan ketentuan setiap kolom untuk 10 leukosit sehingga diperoleh 100 leukosit (10 kolom) dan dipilih bidang pandang secara acak namun merata ke seluruh apusan (tidak termasuk bidang pandang yang sudah diamati sebelumnya). Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah penghitungan presentase masing-masing leukosit kemudian dimasukkan ke dalam tabel berikut: Jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 100 leukosit Neutrofil Eosinofil Basofil Limfosit Monosit jumlah IV. Hasil dan Pembahasan a. Perhitungan Jumlah Leukosit Percobaan ini bertujuan untuk menghitung dan membandingkan jumlah leukosit pada darah tikus yang sakit dan sehat. Namun, pada praktikum kali ini, praktikan hanya menggunakan sampel darah tikus yang sehat. Adapun prinsip kerja percobaan ini adalah dengan dihisapnya darah tikus dan larutan Turk secara berurutan menggunakan mikropipet lalu dikocok kemudian diteteskan pada bilik hitung dan diamati di bawah mikroskop untuk dihitung. Setelah praktikan melakukan percobaan ini, didapatkan hasil sebagai berikut: No. Konsentrasi darah (mL) Jumlah sel leukosit/mm3 1. 0,1 8075 2. 0,1 5925 3. 0,1 2875 4. 0,1 3475 5. 0,1 6725 6. 0,1 2225 Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga kelompok yang sampel darah tikusnya memiliki jumlah leukosit total/mm3 di bawah ratarata yaitu kelompok tiga, empat, dan enam, sedangkan tiga kelompok lainnya, yaitu kelompok satu, dua dan lima normal. Penentuan ini didasarkan pada literatur yang mnyatakan bahwa dalam keadaan normal, darah tikus putih adalah berkisar 5000-13000 sel/mm3 darahnya (Anonim, 2008). Hasil ini menunjukkan adanya penyimpangan jumlah leukosit total dari yang seharusnya keseluruhan sampel darah yang digunakan pada setiap kelompok adalah memiliki jumlah leukosit total yang normal. Hal ini dikarenakan pada percobaan kali ini semua kelompok menggunakan sampel darah yang berasal dari tikus putih yang semuanya dalam keadaan sehat. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemungkinan adanya kekeliruan praktikan dalam menghitung jumlah sel leukosit pada setiap bilik hitung ataupun karena adanya kemungkinan tikus putih pada kelompok tiga, empat, dan enam yang mengalami leukoponia. Leukopenia adalah kondisi klinis yang terjadi bila sumsum tulang memproduksi sangat sedikit sel darah putih sehingga tubuh tidak terlindung terhadap banyak bakteri dan agenagen lain yang mungkin masuk mengenai jaringan (Guyton, 2008). Leukopenia dapat terjadi karena berawal dari berbagai macam penyebab. Diantaranya adalah infeksi usus, keracunan bakteri, septicemia, kehamilan, partus, serta radiasi sinar-X dan sinar-ɤ. Radiasi sinar-X dan sinar-ɤ (gamma) yang berlebihan serta penggunaan obat-obatan yang berlebihan, akan menyebabkan kerusakan sumsum tulang. Dengan rusaknya sumsum tulang, maka kemampuan sumsum tulang untuk memproduksi sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) pun menurun (dalam kasus ini dikhususkan leukosit yang mengalami penurunan). Kondisi tersebut akhirnya akan mengakibatkan neutropenia (produksi neutrofil menurun), monositopenia (produksi monosit menurun), dan eosinopenia (produksi eosinofil menurun) yang berujung pada menurunnya jumlah komponenkomponen leukosit secara keseluruhan sehingga terjadi leukoponia (Guyton, 2008). Menurut Miale (1972), selain leukoponia dapat terjadi pula leukositosis yaitu keadaan dimana jumlah leukosit melebihi batas normalnya. Menurutnya, leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik. Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan emosi, kejang, takhikardi paroksismal, partus dan haid. Menurutnya, derajat peningkatan leukosit pada infeksi akut tergantung dari beratnya infeksi, usia, daya tahan tubuh, dan efisiensi sumsum tulang. Selain itu, faktor eksternal seperti kondisi lingkungan dan musim juga mempengaruhi derajat peningkatan leukosit.Namun pada percobaan ini praktikan tidak menemukan adanya peristiwa leukositosis melainkan leukoponia. b. Hemogram Percobaan ini bertujuan untuk menghitung presentase macam-macam leukosit. Adapun prinsip kerja percobaan ini adalah dengan diletakkannya preparat apus darah yang sudah dibuat sebelumnya di bawah mikroskop lalu diamati dan dihitung hingga diperoleh 100 leukosit dari 10 bidang pandang untuk kemudian dipresentasikan masing-masing jenis leukosit yang ada. Setelah praktikan melakukan percobaan ini, didapatkan hasil sebagai berikut: No. 1. kelompok Kelompok 1 Jenis leukosit Neutrophil Jumlah leukosit Presentase (10 bidang pandang) (%) Eosinophil Basophil Limfosit Monosit 2. 3. 4. 5. Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Neutrophil 41 41 Eosinophil 11 11 Basophil 18 18 Limfosit 25 25 Monosit 5 5 Neutrophil 8 8 Eosinophil 1 1 Basophil 6 6 Limfosit 75 75 Monosit 10 1 Neutrophil 1 1 Eosinophil 1 1 Basophil 85 85 Limfosit 5 5 Monosit 8 8 Neutrophil 3 3 Eosinophil 7 7 Basophil - Neutrophil Eosinophil Basophil Limfosit Monosit 6. Kelompok 6 Limfosit 73 73 Monosit 17 17 Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata presentase dari sel neutrofil adalah 13 persen , sel eosinofil 5 persen, sel basofil 27 persen, sel limfosit 44 persen, dan sel monosit adalah sebesar 4 persen. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa jeinis sel leukosit terbanyak pada percobaan ini adalah sel limfosit sedangkan jenis yang paling sedikit adalah sel monosit. Hasil ini berbeda dengan literatur yang menyatakan bahwa dalam keadaan normal, jenis sel leukosit yang paling banyak adalah sel neutrofil yaiut sekitar 62 persen sedangkan jenis sel yang paling sedikit adalah basofil sebesar 0,4 persen (Irianto, 2012). Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemungkinan adanya kekeliruan praktikan dalam menghitung jumlah jenis sel leukosit pada setiap bidang pandang ataupun karena adanya kemungkinan diantara tikus putih yang diambilkan darahnya sebagai sampel mengalami gejala netropenia dan basofilia. Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang dari nilai normal. Penyebab netropenia dapat dikelompokkan atas tiga golongan yaitu meningkatnya pemindahan netrofil dari peredaran darah, gangguan pembentukan netrofil dan yang terakhir yang tidak diketahui penyebabnya seperti infeksi tifoid, infeksi virus, protozoa dan rickettisa, cyclic neutropenia, serta chronic idiopathic neutropenia (Miale, 1972). Menurut Miale (1972), basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil melebihi nilai normal. Basofilia sering dijumpai pada polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik. Pada penyakit alergi seperti eritroderma, urtikaria pigmentosa dan kolitis ulserativa juga dapat dijumpai basofilia. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan melepaskan histamin dari granulanya. Oleh karena kedua faktor tersebut menyebabkan jumlah neutrofil yang seharusnya paling banyak menjadi lebih sedikit dibandingkan sel limfosit, sedangkan sel basofil yang seharusnya paling sedikit menjadi lebih banyak dibandingkan sel leukosit lainnya selain sel limfosit. Adapun faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi presentase leukosit diferensial ini adalah infeksi dan infestasi parasit, kelainan hemopoiesis seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik, adanya penyakit mieloproliferatif, serta dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun jamur, serta faktor musim dan kondisi lingkungan sekitarnya (Miale, 1972). V. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Jumlah leukosit pada darah tikus yang sakit adalah lebih banyak dibandingkan jumlah leukosit pada darah tikus yang sehat. b. Jenis sel leukosit terbanyak dalam darah adalah sel neutrofil sedangkan sel leukosit yang paling sedikit yaitu sel basofil dimana presentase macammacam leukosit pun dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti adanya gejala netrofenia, basofilia, infeksi dan infestasi parasit, kelainan hemopoiesis seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik, adanya penyakit mieloproliferati, infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun jamur, serta faktor musim dan kondisi lingkungan sekitarnya. VI. Daftar Pustaka Anonim. (2008). Harvard Steps test. http://www.fitnessvenues.com/uk/fitness-testing-harvard-step-test, diakses pada tanggal 10 April 2014, pukul 17.40. Colville, T. dan Bassert, J.M. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technician. Missouri: Elsevier. Fox, S.I. (2008). Human Physiology Tenth Edition. New York: McGraw-Hill. Ganong, W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Guyton AC. 2008. Kedokteran EGC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Irianto, K. (2012). Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Alfabeta. Irianto, K. (2012). Mikrobiologi. Bandung: CV. Yrama Widya. Miale JB. 1972. Laboratory Medicina Hematology. St. Louis: The C.V. Mosby Companya. Yogyakarta, 15 April 2014 Asisten, ( Praktikan, ) (Ahmad Arsyadi)